Anda di halaman 1dari 10

Sosiologi

merupakan

ilmu

yang

mempunyai

beberapa

paradigma (multiple

paradigm). Setiap paradigma memiliki obyek kajian, teori, metode analisa yang berbeda. Meskipun masih banyak terjadi perdebatan penggolongan paradigma dalam ilmu sosiologi. Namun menurut George Ritzer, secara garis besar ada tiga paradigma yang mendominasi dalam keilmuan sosiologi, yakni:

1. Paradigma Fakta Sosial


Paradigma ini merupakan sumbangsih dari pemikiran Durkheim yang didasarkan atas karyanya The Rules of Sociological Method (1895) dan Suicide (1897). Paradigma fakta sosial dirintis Durkheim sebagai antitesis atas tesis Comte dan Herbert Spencer. Comte dan Herbert Spencer berpendapat bahwa dunia ide adalah pokok bahasan dalam sosiologi. Dengan tegas pendapat ini ditolak oleh Durkheim. Menurut Durkheim, dunia ide bukanlah obyek riset dalam sosiologi. Sebab dunia ide itu hanyalah sebagai suatu konsepsi pikiran dan bukan sesuatu yang dapat dipandang. Bagi Durkheim, pendapat Comte dan Herbert Spencer ini menjerumuskan sosiologi pada bidang filsafat dan tidak berdiri sendiri. Padahal sosiologi adalah ilmu yang berdiri sendiri dan lepas dari bidang filsafat. Fakta sosial bersifat eksternal, umum (general), dan memaksa (coercion). Fakta sosial mempengaruhi tindakan-tindakan manusia. Tindakan individu merupakan hasil proses pendefinisian reslitas sosial, serta bagaimana orang mendefinisikan situasi. Asumsi yang mendasari adalah bahwa manusia adalah makhluk yang kreatif dalam membangun dunia sosialnya sendiri. Fakta sosial inilah yang menjadi pokok persoalan penyelidikan sosiologi. Fakta social dinyatakan oleh Emile Durkheim sebagai barang sesuatu (Thing) yang berbeda dengan ide. Barang sesuatu menjadi objek penyelidikan dari seluruh ilmu pengetahuan. Ia tidak dapat dipahami melalui kegiatan mental murni (spekulatif). Tetapi untuk memahaminya diperlukan penyusunan data riil diluar pemikiran manusia. Fakta sosial ini menurut Durkheim terdiri atas dua macam : 1. Dalam bentuk material : Yaitu barang sesuatu yang dapat disimak, ditangkap, dan diobservasi. Fakta sosial inilah yang merupakan bagian dari dunia nyata contohnya arsitektur dan norma hukum. 2. Dalam bentuk non-material : Yaitu sesuatu yang ditangkap nyata ( eksternal ). Fakta ini bersifat inter subjective yang hanya muncul dari dalam kesadaran manusia, sebagai contao egoisme, altruisme, dan opini.

Pokok persoalan yang harus menjadi pusat perhatian penyelidikan sosiologi menurut paradigma ini adalah fakta-fakta sosial. Secara garis besar fakta sosial terdiri atas dua tipe, masing-masing adalah struktur sosial dan pranata sosial. Secara lebih terperinci fakta sosial itu terdiri atas : kelompok, kesatuan masyarakat tertentu, system sosial, peranan, nilai-nilai, keluarga, pemerintahan dan sebagainya. Menurut Peter Blau ada dua tipe dasar dari fakta sosial : 1. Nilai-nilai umum ( common values ) 2. Norma yang terwujud dalam kebudayaan atau dalam subkultur. Dengan demikian, kajian fakta sosial terdiri atas kelompok, kesatuan masyarakat tertentu, sistem sosial, peranan, nilai-nilai, keluarga, pemerintahan dan sebagainya. Sedangkan teori yang tergabung dalam paradigma ini yaitu, teori fungsionalisme struktural, teori konflik, teori sistem, dan teori sosiologi makro. Namun yang dominan dari teori ini yang biasa digunakan oleh para penganut fakta sosial, yaitu teori fungsionalisme struktural, dan teori konflik.

Teori Fungsionalisme Struktural Pemikiran teori fungsionalisme struktural lahir berkat sumbangan pemikiran biologis yang dikonsepkan oleh Comte dan Herbert Spencer. Di mana masyarakat dianalogikan sebagai organisme biologis. Maksudnya, masyarakat terdiri dari organ-organ yang saling bergantung guna kebertahanan hidup. Kemudian lebih lanjut teori ini dikembangkan oleh Durkheim. Karena pengaruh dari Comte dan Herbert Spencer, Durkheim mengonsepkan teori sosiologinya dengan terminologi organisme. Menurut Durkheim, masyarakat merupakan sebuah kesatuan yang di mana didalamnya terdapat bagian-bagian yang memiliki fungsinya masing-masing, dan saling menyatu dalam keseimbangan. Untuk itu, teori ini lebih menekankan social order dan mengabaikan konflik atau masyarakat bergerak dalam kondisi statis dan seimbang. Menurut George Ritzer, konsep-konsep utama dari teori ini adalah fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifest dan keseimbangan. Adapun tokoh-tokoh dalam teori ini antara lain, Durkheim, Talcott Parsons, Robert K. Merton, dan Herbert J. Gans. Adapun kelemahan dari teori ini yaitu bersifat tertutup terhadap proses terjadinya perubahan sosial, karena terlalu menekankan order dan kemapanan struktur sosial yang sudah formal. Kelemahan lainnya adalah bahwa struktur fungsionalmempertahankan status quo dan tidak membuka kepada orang atau hal lain berperan. Keterlibatan non status quo dipandang sebagai ancaman bagi masyarakat dan pemegang status quo.

Teori Konflik Teori konflik merupakan teori yang lahir sebagai kritik atas teori fungsionalisme struktural. Teori ini dikembangkan oleh Marx. Tokoh teori ini antara lain, Marx, George Simmel, Lewis A. Coser, dan Ralf Dahrendorf. Menurut teori ini, masyarakat berada dalam ketidakseimbangan yang selalu ditandai dengan adanya pertentangan atau konflik. Jika teori fungsionalisme struktural memandang keteraturan terjadi karena masyarakat terikat secara informal atas institusi sosialnya, maka teori konflik memandang itu terjadi karena adanya pemaksaan oleh pihak yang berkuasa. Konsep utama teori konflik yaitu dominasi, paksaan dan kekuasaan. Adapun kelemahan dari teori ini menolak keseimbangan dalam masyarakat dan terlalu menekankan perubahan dalam konteks konflik. Kemudian untuk metode yang digunakan dalam paradigma fakta sosial yaitu interviukuesioner. Menurut George Ritzer, untuk metode interviu-kuesioner memang bersifat ironi. Sebab, metode ini tidak mampu menyajikan informasi yang bersifat fakta sosial, atau informasi yang didapat lebih bersifat subyektif dari informan. Walaupun begitu, bagi para penganut fakta sosial metode interviu-kuesioner merupakan sesuatu metode yang cocok dalam penelitian empiris mereka guna mendapatkan fakta-fakta sosial yang menjadi subject mattersosiologi.

Dalam melakukan pendekatan terhadap pengamatan fakta sosial ini dapat dilakukan dengan berbagai metode yang banyak untuk ditempuh, baik interviu maupun kuisioner yang terbagi lagi menjadi berbagai cabang dan metode-metode yang semakin berkembang. Kedua metode itulah yang hingga kini masih tetap dipertahankan oleh penganut paradigma fakta sosial sekalipun masih adanya terdapat kelemahan didalam kedua metode tersebut.

2. Paradigma Definisi dan Metode Social


Paradigma ini dilandasi analisa Weber tentang tindakan sosial (social action). Analisa Weber dengan Durkheim sangat terlihat jelas. Jika Durkheim memisahkan struktur dan institusi sosial, sebaliknya Weber melihat ini menjadi satu kesatuan yang membentuk tindakan manusia yang penuh arti atau makna. Tindakan sosial merupakan tindakan individu yang mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. Sebaliknya, tindakan individu yang diarahkan kepada benda mati atau obyek fisik semata tanpa dihubungkan dengan tindakan orang lain bukan suatu tindakan sosial.

Menurut Weber, mempelajari perkembangan pranata haruslah juga melihat tindakan manusia. Sebab tindakan manusia merupakan bagian utama dari kehidupan sosial. Bagi Weber, sosiologi merupakan ilmu yang berusaha menafsirkan dan memahami tindakan sosial serta berbagai hubungan sosial sampai kepada penjelasan kausal. Untuk itu, paradigma ini disebut juga sebagai sosiologi interpretatif. Paradigma definisi sosial didukung oleh beberapa teori, seperti teori aksi, teori interaksionisme simbolik, teori fenomenologi, dan teori etnometodologi.

Teori Aksi Teori aksi atau teori bertindak pada awalnya dibangun berdasarkan pemikiran Weber, Durkheim dan Pareto. Menurut Weber, individu melakukan suatu tindakan berdasarkan atas pengalaman, persepsi, pemahaman dan atas suatu obyek stimulus atau situasi tertentu. Di sini Weber melihat tindakan sosial berkaitan dengan interaksi sosial. Sesuatu tidak akan dikatakan tindakan sosial jika individu tersebut tidak mempunyai tujuan dalam melakukan tindakan tersebut. Dengan konsep rasionalitas, Weber membagi beberapa macam tindakan sosial. Semakin rasional tindakan sosial tersebut, maka semakin mudah memahaminya. Adapun pembagian tindakan sosial itu terbagi menjadi empat macam, yaitu : Pertama, tindakan rasionalitas instrumental, yaitu tindakan yang ditentukan oleh harapan-harapan yang memiliki tujuan untuk dicapai dan menentukan nilai dari tujuan itu sendiri. Bila individu tersebut bertindak rasional maka tindakannya pun dapat dipahami. Kedua, rasionalitas yang berorientasi nilai, yaitu tindakan yang didasari oleh kesadaran keyakinan mengenai nilai-nilai yang penting seperti etika, estetika, agama, dan nilai-nilai lainnya yang mempengaruhi tingkah laku manusia dalam kehidupannya. Tindakan ini masih rasional meski tidak serasional tindakan pertama, sehingga tindakannya masih dapat dipahami. Ketiga, tindakan afektif (affectual), yaitu tindakan yang ditentukan oleh kondisi kejiwaan dan perasaan individu yang melakukannya. Tindakan ini dilakukan seseorang berdasarkan perasaan yang dimilikinya, biasanya timbul secara spontan begitu mengalami suatu kejadian. Tindakan ini sukar dipahami karena kurang rasional. Keempat tindakan tradisional, yaitu tindakan yang didasarkan atas kebiasaan-kebiasaan yang telah mendarah daging. Tindakan ini biasanya dilakukan atas dasar tradisi atau adat istiadat secara turun-temurun. Tindakan ini pun sukar dipahami karena kurang rasional bahkan tidak rasional. Setelah Weber, teori aksi berkembang ketika sosiolog Amerika Charles Horton Cooley membuktikan bahwa sesuatu yang mempunyai arti penting dalam kehidupan bermasyarakat

adalah kesadaran subyektif. Cooley juga membuktikan bahwa perasaan-perasaan individual, sentimen, dan ide-ide merupakan faktor yang mendorong manusia untuk berinisiatif atau mengakhiri tindakannya terhadap orang lain. Sedangkan Talcott Parsons menyatakan, bahwa penggunaan istilah action (aksi atau tindakan) dimaksudkan untuk membedakan teori ini dengan teori perilaku, yang menggunakan istilah behavior (perilaku atau tindakan yang dilakukan berulang-ulang). Aksi menunjukkan adanya suatu aktivitas, kreativitas dan proses penghayatan diri individu. Sedangkan perilaku menunjukkan adanya penyesuaian mekanistik perilaku, sebagai respon terhadap stimulus (rangsangan) dari luar. Menurut Parsons, teori perilaku mengabaikan sifat kemanusiaan manusia dan subyektivitas tindakan manusia. Sebaliknya, teori aksi sangat memperhatikan sifat kemanusiaan manusia dan subyektivitas tindakan manusia. Teori aksi terus berkembang seiring banyaknya para sosiolog mengembangkan teori ini, khususnya para sosiolog Amerika. Karya terkemukan yang menjadi rujukan dari teori aksi antara lain, Florian Znaniecki melalui karyanya The Method of Sociology (1934) dan Social Actions (1936), Robert Morrison MacIver melalui karyanya Sociology: Its Structure and Changes (1931), dan Talcott Parsons melalui karyanya The Structure of Social Action (1937). Sekitar tahun 1940-an teori aksi mencapai puncak perkembangannya. Karya karya di atas kemudian menjadi landasan Roscoe Hinkle untuk merumuskan asumsi dari teori aksi. Menurut Roscoe Hinkle, tindakan manusia muncul dari kesadarannya sendiri sebagai subyek, dan dari situasi eksternal dalam posisinya sebagai obyek. Sebagai subyek, manusia bertindak atau berperilaku tertentu dengan maksud untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Dalam bertindak manusia menggunakan cara, teknik, prosedur, metode, serta perangkat yang diperkirakan cocok untuk mencapai tujuan. Kelemahan dari teori ini, cenderung memfokuskan analisis pada level individu dan mengabaikan faktor kolektivisme.

Teori Interaksionisme Simbolik Awal sejarah munculnya teori interaksionis simbolik sebagai persfektif baru yang dilatarbelakangi atas kemandekan aplikasi teori aksi. Landasan teori ini didasarkan pada analisis Weber. Teori interaksionis simbolik memfokuskan pada pembahasan individu yang terkait pada hubungan antara simbol dan interaksi yang terjadi (interaksi sosial mikro). Awalnya teori ini dikembangkan di Universitas Michigan oleh John Dewey dan Charles Horton Cooley. Kemudian John Dewey pindah mengajar ke Universitas Chicago. Kepindahan John Dewey diikuti dengan mengembangkan teori interaksionis

simbolik. Ternyata teori interaksionis simbolik mendapat apresiasi yang sangat baik. Sehingga Universitas Chicago dianggap sebagai tempat yang pertama kali berkembangnya teori interaksionis simbolik. Maka teori ini juga dikenal sebagai aliran Chicago. Dari John Dewey, teori interaksionis simbolik kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh beberapa tokoh sosiolog Amerika seperti William Isaac Thomas, George Herbert Mead,Herbert Blumer, Robert E. Park, William James, Ernest Burgess, James Mark Baldwin, Manfred Kuhn dan Kimball Young. Prinsip dasar dari teori ini yaitu, a) manusia pada dasarnya memiliki kemampuan berpikir, b) kemampuan berpikir ini kemudian dibentuk melalui interaksi sosial, c) individu dalam setiap interaksi dengan orang lain mempelajari makna dan simbol yang memungkinkan mereka menggunakan kemampuan berpikirnya, d) setiap individu dapat memodifikasi makna dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan tafsir mereka atas situasi yang ada, e) setiap individu dapat menentukan tindakan apa yang dilakukan setelah individu tersebut menafsirkan situasi, f) dari interaksi ini kemudian individu tersebut menciptakan kelompok dan masyarakat. Adapun kelemahan dari teori ini adalah mengabaikan pembahasan pada struktur sosial makro, seperti nilai-nilai, norma sosial, hukum, serta institusi sosial dan terlalu fokus pada pembahasan interaksi sosial mikro, yaitu hubungan antar pribadi.

Teori Fenomenologi Teori ini membahas mengenai bagaimana kehidupan bermasyarakat itu terbentuk. Berangkat dari pandangan Weber, Alfred Schultz sebagai seorang tokoh yang mengembangkan teori ini memandang bahwa tindakan manusia menjadi suatu hubungan sosial bila manusia memberikan arti atau makna tertentu terhadap tindakannya itu, dan manusia lain memahami pula tindakannya itu sebagai sesuatu yang penuh arti. Dengan kata lain, teori ini berpendapat bahwa manusia atau individu bisa menciptakan dunia sosialnya sendiri dengan memberikan arti kepada perbuatan-perbuatannya itu. Teori ini muncul sebagai reaksi atas anggapan yang memandang bahwa manusia atau individu dibentuk oleh kekuatan- kekuatan sosial yang mengitarinya. Untuk melakukan studi fenomenologis orang harus tinggal dalam masyarakat yang bersangkutan agar ia bisa menangkap arti fenomena sosial yang ada dalam masyarakat tersebut.

Teori Etnometodologi Etnometodologi merupakan cabang dari fenomenologi. Etnometodologi berusaha pengungkap realitas dunia kehidupan dari individu atau masyarakat. Sekalipun

etnometodologi oleh beberapa pakar dipandang sebagai sebuah studi pembaharuan dalam sosiologi, etnometodologi sememiliki kesamaan dengan beberapa pendekatan sosiologi sebelumnya yaitu fenomenologi, interaksionis simbolik dan teori Talcott Parsons.[10] Teori ini dikembangkan oleh Harold Garfinkel seorang dosen sosiologi di Universitas California of Los Angeles (UCLA). Teori ini mulai berkembang sekitar tahun 1950-an. Sesudah Grafinkel muncullah beberapa pakar yang mengembangkan studi

etnometodologi di antaranya Jack Douglas, Egon Bittner, Aaron Cicourel, Roy Turner, Don Zimmerman dan D. Lawrence Wieder. Dari beberapa pakar ini, Jack Douglas yang dinilai paling lengkap pembahasan etnometodologinya. Etnometodologi mempelajari dan berusaha menangkap arti dan makna kehidupan sosial suatu masyarakat berdasarkan ungkapan-ungkapan atau perkataan-perkataan yang mereka ucapkan baik secara eksplisit maupun implisit. Sementara Garfinkel menekankan, pokok masalah etnometodologi tidak lain adalah pertukaran komunikasi yang di dalam penelitian etnometodologis disebut proses-proses komunikasi menuju saling memahami di antara para pelaku komunikasi. Menurut teori ini, seorang sosiolog tidak perlu memberikan arti atau makna kepada apa yang dibuat oleh orang lain atau kelompok, tetapi tugas sosiolog adalah menemukan bagaimana individu atau masyarakat mengonstruksi kehidupan sosialnya dan mencoba menemukan bagaimana mereka memberi arti atau makna kepada dunia sosialnya sendiri. Pada pengaplikasian teori etnometodogi, Grafinkel berusaha menekankan pada kekuatan pengamatan atau pendengaran dan eksperimen melalui simulasi. Pada level metode penelitian. Metode penelitian empiris yang digunakan para penganut paradigma definisi sosial cenderung ke arah metode observasi. Sebab menurut penganut paradigma ini, dengan metode observasi akan didapatkan tindakan subyek yang wajar, dan tidak dibuat-buat atau spontan. Metode ini terdiri dari empat tipe teknik observasi yaitu, (a) participant observation, yaitu peneliti tidak memberitahukan maksud dan tujuan penelitiannya kepada subyek yang diamatinya atau bersifat tertutup, (b) participant as observer, di sini peneliti memberitahukan maksud dan tujuan penelitiannya kepada subyek yang ditelitinya atau bersifat terbuka, (c) observer as participant, yaitu penelitian yang dilakukan dalam waktu singkat sehingga menuntut peneliti untuk merencanakan penelitiannya secara sistematis dan teliti sebelum turun ke lapangan penelitian, dan (d) complete observer,yaitu posisi peneliti dalam mengamati subyek tidak berpartisipasi

secara langsung dan dalam hal ini subyek tidak menyadari bahwa dirinya sedang diamati. Variabel penelitian ini bisa bersifat ndividual atau kelompok.

3. Paradigma Perilaku Sosial Paradigma ini memusatkan perhatian pada hubungan antar individu dan hubungan individu dengan lingkungannya. Paradigma ini menyatakan bahwa obyek studi sosiologi yang konkrit dan realistis adalah perilaku manusia atau individu dan kemungkinan perulangannya. Menurut paradigma ini, tingkah yang tampak laku seorang

individu mempunyai hubungan dengan lingkungan yang mempengaruhi ia dalam bertingkah laku. Tingkah laku manusia atau individu di sini lebih ditentukan oleh sesuatu diluar dirinya seperti norma-norma, nilai-nilai atau struktur sosialnya. Jadi dalam hal ini individu kurang sekali memiliki kebebasan. Max Weber mendefinisikan sosiologi sebagai ilmu tentang institusi-institusi sosial, sosiologi Weber adalah ilmu tentang perilaku sosial. Menurutnya terjadi suatu pergeseran tekanan ke arah keyakinan, motivasi, dan tujuan pada diri anggota masyarakat, yang semuanya memberi isi dan bentuk kepada kelakuannya. Kata perikelakuan dipakai oleh Weber untuk perbuatan-perbuatan yang bagi sipelaku mempunyai ARTI SUBYEKTIF. Mereka dimaksudkan! Pelaku hendak mencapai suatu TUJUAN, atau ia didorong oleh MOTIVASI. Perikelakuan menjadi SOSIAL menurut Weber terjadi hanya kalau dan sejauh mana arti maksud subyektif dari tingkahlaku membuat individu memikirkan dan menunjukan suatu keseragaman yang kurang lebih tetap. Pelaku individual mengarahkan kelakuannya kepada penetapan penetapan atau harapan harapan tertentu yang berupa kebiasaan umum atau dituntut dengan tegas atau bahkan dibekukan dengan undang undang. Orang yang dimotivir untuk membalas atas suatu penghinaan di masa lampau, mengorientasikan tindakannya kepada orang lain. Itu kelakuan sosial. Menurut Weber Kelakuan sosial juga berakar dalam kesadaran individual dan bertolak dari situ. Tingkah laku individu merupakan kesatuan analisis sosiologis. Bukan keluarga, negara, partai, dll. Weber berpendapat bahwa studi kehidupan sosial yang mempelajari pranata dan struktur sosial dari luar saja, seakan-akan tidak ada inside-story, dan karena itu mengesampingkan pengarahan diri oleh individu, tidak menjangkau unsur utama dan pokok dari kehidupan sosial itu. Sosiologi sendiri haruslah berusaha menjelaskan dan menerangkan kelakuan manusia dengan menyelami dan memahami seluruh arti sistem subyektif.

Weber membuat klasifikasi mengenai perilaku sosial atau tindakan sosial menjadi 4 yaitu : 1. Kelakuan yang diarahkan secara rasional kepada tercapainya suatu tujuan. Dengan kata lain dapat dikatakan sebagai kesesuaian antara cara dan tujuan.

Contohnya Bekerja Keras untuk mendapatkan nafkah yang cukup. 2. Kelakuan yang berorientasi kepada nilai. Berkaitan dengan nilai nilai dasar dalam masyarakat, nilai disini seperti keindahan, kemerdekaan, persaudaraan, dll. misalnya ketika kita melihat warga suatu negara yang berasal dari berbagai kalangan berbaur bersama tanpa membeda-bedakan. 3. Kelakuan yang menerima orientasi dari perasaan atau emosi atau Afektif . contohnya seperti orang yang melampiaskan nafsu mereka. 4. Kelakuan Tradisional bisa dikatakan sebagai Tindakan yang tidak memperhitungkan pertimbangan Rasional. Contohnya Berbagai macam upacara \ tradisi yang dimaksudkan untuk melestarikan kebudayaan leluhur.

TIGA PARADIGMA ILMU SOSIAL FAKTA SOSIA, DEFINISI SOSIAL, DAN PERILAKU SOSIAL

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Teori dan Konsep Perubahan Sosial

RIKI SAFARI NURBAKTI 170110110173

UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM S1 ILMU ADMINISTRASI NEGARA BANDUNG 2012

Anda mungkin juga menyukai