Anda di halaman 1dari 14

IJTIHAD DAN MAQASID SYARI’AH

DOSEN PEMBIMBING : FITRI DUROTUL QOLBIAH S.H.,ME

DI SUSUN OLEH:

ADISTI LUTHFIAH

ARBAIN MAIMUNAH

TUTI HIDAYAH

DZIL ILMAN

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS PENDIDIKAN ISLAM DAN KEGURUAN

INSITUT AGAMA ISLAM NUSANTARA

Jl.Gajah Mada Muara Bulian Batang Hari Jambi


KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT,tuhan yang maha pengasih,lagi maha
Penyayang.Sholawat serta salam,semoga selalu tercurahkan kepada sohib ar-risalah Nabi Muhammad
SAW,kepada keluarganya,kepada para sahabatnya,dan kepada seluruh umatnya sampai akhir
zaman.Atas rahmat dan karunia Allah SWT kami dapat menyelesaikan makalah STUDI HUKUM ISLAM
yang berjudul “Ijtihad dan maqosid syari’ah”.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu,terutama dari
segi pembelajaran kepada dosen pembimbing mata kuliah studi hukum islam yakni Ibu FITRI DUROTUL
QOLBIAH S.H.,ME

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas yang telah diberikan,jika banyak terdapat kesalahan
dan masih jauh dari kata sempurna.Kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalh
ini bermanfaat bagi kita semua.

Muara bulian,oktober 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………………………………
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………………………..

BAB 1 PENDAHULUAN……………………………………………………………………………..
A.Latar belakang……………………………………………………………………………………..
B.Rumusan Masalah………………………………………………………………………………..
C.Tujuan Pembahasan…………………………………………………………………………….

BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………………………….
A.Pengertian Hadist Ijtihad…………………………………………………………………..…
B.Pengertian Maqosit Syari’ah………………………………………………………………..

BAB III PENUTUP……………………………………………………………………………………..


A.Kesimpulan…………………………………………………………………………………………..
B.Saran…………………………………………………………………………………………………….
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………………………
BAB 1

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Ide tentang pembaruan hukum keluarga Islam di Indonesia telah memicu


perdebatan di kalangan intelektual hukum di Indonesia. Ada pihak yang menilai bahwa legislasi
hukum keluarga Islam di Indonesia tidak memerlukan perubahan. Ahmad Rofiq, misalnya,
menyatakan bahwa Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai legislasi hukum keluarga Islam di
Indonesia, belum perlu untuk direvisi. Alasannya, KHI adalah cerminan pandangan hukum Islam
yang sesuai dengan konteks Indonesia, dan juga merupakan kesepakatan (ijma) ulama
Indonesia.1 Namun, di sisi lain banyak pula yang berpendapat sebaliknya. Euis Nurlaelawati
salah satunya, memandang perlunya pembaruan dalam KHI sebagai representasi hukum
keluarga Islam di Indonesia. Pembaruan tersebut dipandang perlu agar KHI selaras dengan
konteks, terutama dalam hal hak-hak anak dan perempuan.2 Ide pembaruan hukum keluarga
Islam Indonesia memang banyak dihubungkan dengan isu-isu mengenai persamaan dan
keadilan. Baik KHI maupun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU
Perkawinan) dinilai masih bernuansa diskriminatif-patriarkis.3 Musdah Mulia menilai bahwa
bahwa ketimpangan gender dalam bidang hukum di Indonesia terjadi dalam tiga aspek hukum
sekaligus, yaitu materi hukum (content of law), budaya hukum (culture of law), dan struktur
hukum (structure of law). Selain itu, beberapa ketentuan dalam hukum keluarga Islam di
Indonesia juga diidentifikasi sebagai akar terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT) sehingga mereduksi hak-hak kemanusiaan perempuan.

B.Rumusan Masalah

1.Apa yang dimaksud ijtihad


2.Apa yang dimaksud dengan Maqosid Syari’ah

C.Tujuan Penulisan

1.mengetahui pengertian ijtihad


2.mengetahui Maqosid Syari’ah
BAB II

PEMBAHASAN

1.Pengertian Ijtihad

Risalah islamiyyah yang di bawa oleh NABI Muhammad SAW telah di yakini sebagai
ajaran yang iniversal tidak terbatas dan di batasi oleh waktu dan tempat tertentu.Isi dan muatan
ajarannya mengandung nuansa kasih saying dan rahmat ilahi untuk seluruh lapisan umat manusia
dimana saja berada;yang mengantarkan kebahagiaan dan kesuksesan hidup di dunia serta kebahagiaan
dan keselamatan hidup di akhirat.

Ajaran yang bersifat universal ini di harapkan dapat merespon seluruh aspek aktivitas
kehidupan dan kepentingan manusia di sepanjang zaman yang mengacu kepada sumber ajaran al-quran
dan hadist.Implementasi dari seluruh aktivitas manusia untuk mencapai tujuan yang di dambakannya itu
diikat oleh seperangkat aturan-aturan dan norma-norma hukum.Semua itu teraktualisasi dalam bentuk
ayat-ayat hukum dan hadist-hadist hukum, baik berkaitan dengan hubungan vertical kepada Allah SWT
maupun secara horizontal antara sesame manusia dan lingkungannya.

Akan tetapi, -secara tehnis- ayat-ayat hukum yang bersifat universal dan global itu
jumlahnya relative sedikit.dari sejumlah 6.000 lebih ayat al-quran,hanya sekitar 228 ayat (3,4 %) saja
yang memuat aturan-aturan dan norma-norma hukum yang berkaitan dengan sosial
kemasyarakatan.Sebagaimana halnya ayat-ayat hukum (ayat al-ahkam),jumlah hadist-hadist hukum
(ahdis al-ahkam) pun tidak begitu banyak.Dari sekiat ribu hadist nawawi,menurut perkiraan Ibm al-
qayyim,hanya sekitar 500 buaah saja.Pendapat lain ada yang menyebutkan sekitar 1200 buah
hadist,disamping juga ada yang memperkirakan sekitar 3000 buah hadist hukum.

jika ditinjau dari segi eksistensi dan keberadaannya seluruh teks-teks nas ayat-ayat hukum itu
adalah di yakini kebenarannya bahwa semua itu berasal dari Allah SWT.Akan tetapi,di lihat dari segi
penunjukkan (dilalah) terhadap muatan informasi yang di bawa oleh ayat-ayat hukum tersebut
bervariasi.Disatu pihak penunjukan (dilalah) dari ayat-ayat tersebut,tegas,dan lugas (qot’I ad-
dalalah);dipihak lain tidak tegas,tidak jelas,dan tidak lugas (zanni ad-dilalah).

1
.Lihat: Al-qur’an al-karim Q.s.34 (Saba) : 28
2
.Abd al-Wahhab Khallaf, I’Im Usul al-Fiqh,(al-Qahirah: Dar al-Kuwatiyyah,1942),h.11.Abd al-qodir ‘Audah,at-Tasyri al-
inai al-islami,(Beirut > mussasah ar-Risaklah,1994), h.16.
3.Ibid,h.11. Mahmud syaitut,al-islam ‘’aqidah wa syari’ah,.12-13.
4.Abd al-wahhab khallaf telah mengklafikasi jumlah ayat-ayat hukum yang berkaitan dengan sosial kemasyrakatan
5.Sayyid Muhammad musa,Al-ijtihad wa mada Hajatina ilaih fi Haza al-‘Asr,(mesir:Dar al-kutub al-
arabiyyah,t.th,h.180.
6.Abd al-wahhab khallaf, ‘IIm usul al-fiqh,h.34-35.
7.Abd al-wahhab khallaf memberikan definisi bahwa teks nas (baik ayat maupun hadist) yang qat’I ad-dalalah
Berbeda hal-halnya dengan ayat-ayat hukum,eksistensi dan keberadaan (wurut) hadist-hadist
hukum bervariasi.Ada yang di yakini bahwa hadist hukum tersebut benar-benar berasal dari Nabi,karena
di dukung oleh informasi yang mutawatir.Sebaliknya,ada yang tidak di yakini berasal dari Nabi,karena
tidak didukung oleh informasi yamutawatir .Disamping itu,ditinjuau dari segi penunjukan
(dilalah)nya,sebagaimana halnya ayat hukum,hadist hukum bervariasi.Ada yang penu jukannya
tegas,jelas dan lugas,dan sebaliknya terdapat hadist hukum yang penunjukannya tidak tegas,jelas dan
lugas.Dikalangan pakar usul fiqh dikenal dengan” qat’i-awurut wa al-qat’I ad-dilalah”.Sebaliknya,jika
eksistensi (wurut) hadist tersebut tidak mutawatir dan muatannya tidak tegas,jelas dan lugas,kalangan
pakar usul fiqh menyebutnya sebagai “zanni al wurut” dan “zanni ad-dilalah”.

Para ulama usul fiqh sepakat bahwa terhadap seluruh ayat-ayat dan hadist-hadist hukum yang
berlandaskan kepada informasi yang mutawatir,dan di dukung oleh penunjukan (dilalah) terhadap
muatan yang di bawanya itu adalah tegas,jelas dan lugas.Semua itu akan berkekuatan hukum yang qat’i
bersifat absolut dan benar,universal,permamen,tidak berubah dan tidak diubah.Sehingga di dalamnya
tidak ada peluang untuk melakukan ijtihad,sesuai dengan statement mereka:

‫ال مسا غ لالجتها د فيما فيه نص صريح قطعي‬

Artinya: Tidak ada peluang (tempat) untuk berijtihad terhadap kasus hukum yang (didukung) oleh teknas
dan pasti.

Sedangkan ayat-ayat hukum,dan hadist-hadist hukum yang tidak berlandaskan kepada informasi
yang mutawatir,serta tidak di dukung oleh penunjukan (dilalah) nya yang tegas,jelas dan lugas (zanni ad-
dilalah),harun nasution menyebutnya sebagai yang tidak bersifat absolut;tidak bersifat relative,tidak
universal,tidak kekal,berubah dan boleh di ubah.

Secara etimologis kata “ijtihad” merupakan bentuk masdar dari lafaz ijtihada-yajtahidu-
ijtihadan,yang di ambil dari akar kata jahada-yajhadu-jahdan yang berarti mengarahkan segala
kemampuan atau menanggung beban.Ijtihad menurut bahasa adalah pengarahan seluruh daya upaya
yang dimiiki secara oktimal dan maksimal.

8
.Ibid,h.2016.Harun Nasution ,ijtihad sumber ketiga ajaran islam,dalam haidar Bagir (Ed),ijtihad dalam sorotan,
(bandung:Mizan,1988,h.112.
9.
Harun Nasution,ijtihad:sumber ketiga ajaran islam,h.112.
10
.’Abd al-wahhab khallaf, ‘IIm usul al-fiqh,h.216-217
11
.Ibrohim Mustafa,dkk,al-mu’jam al-wasit,(mesir:maktabah ‘IImiyyah,t.th),juz 1,h.142.Ibn manzur,lisan al-‘araf,
(Beirut:jilid 1,h.521.Louis Ma’luf,qamus Munjid,(Beirut:Dar al-mas masyriq,1977),h.106.Muhammad asy-
syaukani,Irsyad al-fuhul,(mesir:Mustafa Babi al-halabi,1939),h.250.
Secara termologis (istilah) para ulama telah memberikan definisi dengan berbagai
versinya,antara lain:

A.Abd al-wahhab khallaf:Ijtihad adalah pencurahan daya kemampuan untuk menghasilkan


hukum (berdasarkan dalil-dalil syara’ yang detail.

B.Muhammad abu Zahra:Ijtihad adalah pencurahan daya upaya dari seorang faqih (ahli hukum
islam) dalam rangka mengistimbatkan hukum yang berkaitan dengan hukum ‘amaliyyah berdasarkan
argumentasi yang detail.

C.Menurut al-Amidi: ijtihad adalah:Pengarahan segala daya upaya untuk mencari hukun yang
bersifat zanni,dimana seseorang tidak mampu lagi untuk berusaha maksimal dari itu.

D.Menurut asy-syhaukani:iJhad adalah pencurahan segala upaya di dalam mencari hukum


syar’qiah yang bersifat “amaliah” (praktis) dengan menggunakan beberapa metode istinbat,(penggalian
hukum).

Dari beberapa devinisi yang telah di kemukakan dapatlah di pahami bahwa ada beberapa
komponen dari hakikat ijtihad,yaitu:

Pertama : Subyek (pelaku) dari ijtihad sendiri adalah “al-faqih”,atau juga di sebut “ al-mujtahid”.

Kedua : makanisme dan proses berlangsungnya ijtihad,yaitu: adanya pengerahan dan


pencurahan daya upaya serta kemampuan maksimal yang di miliki oleh seorang mujtahid “,baik dalam
bentuk penggalian hukum (istinbat al-hukm) maupun penerapan dan aktualisasinya (tatbiq al-hukm).

Ketiga : obyek kajian yang akan dicapai dan di peroleh oleh mujtahid itu sendiri adalah status
hukum syar’I yang bersifat praktis (‘amali),dan yang bersifat zanni.Ketiga komponen tersebut di atas
-menurut al-ghazali-disebut sebagai “arkan al-ijtihad”.

12
.Abd al-wahhab khallaf,IIm usul al-fiqh,h.216.
13
.Muhammad abu Zahra,usul al-fiqh,h.301.
14
.al-Amidi,al-ihkam fi usul al-ahkam,juz lv,(cairo:dar al-ittihad al-‘arabiyyah,t.th.),h.141.
15
.Muhammad bin ali bin Muhammad asy-syaukani,irsyad al-fuhul fi tahqiq al-haq min ‘IIm al-usul,(mesir:dar al-
fiqh,t.th.),h.250.
16
.Muhammad Abu Zahra,usul al-fiqh,h.301.
2.Pengertian Maqāṣid Syarī„ah

Secara bahasa, maqāṣid syarī„ah terdiri dari dua kata, yaitu maqāṣiq dan syarīah„ Kata
maqāṣid merupakan jama„ dari maqṣad yang berarti maksud atau tujuan.Dalam al-Qamūs al-
Mubīn fī Iṣtilahāt al-Uṣūliyyīn, maqāṣid adalah hal-hal yang berkaitan dengan maslahah dan
kerusakan di dalamnya. Sedangkan “syariah” secara bahasa adalah jalan menuju sumber mata
air. Kata asy-syarī„ah dalam kamus Munawir diartikan peraturan, undangundang, hukum.
Sedangkan arti “syarī„ah” secara istilah apabila terpisahkan dengan kata maqāṣid memiliki
beberapa arti. Menurut Ahmad Hasan, syariah merupakan annuṣūṣ al-muqaddasah (nash-nash
yang suci) dari al-Qur‟an dan sunnah yang mutawatir yang sama sekali belum dicampuri oleh
pemikiran manusia. Dalam wujud ini menurut dia, syariah disebut aṭ-ṭariqah al-mustaqimah
(cara, ajaran yang lurus). muatan syariah ini meliputi aqidah, amaliyah dan khuluqiyyah.
Maqāṣid syarī„ah dijelaskan oleh Imam as-Syatibi bahwa syari‟at bertujuan mewujudkan
kemaslahatan hidup manusia di dunia maupun di akhirat.

Untuk mewujudkan kemaslahatan tersebut harus dengan adanya bukti-bukti atau dalil-
dalil yang jelas. Maqāṣid syarī„ah mencakup hikmah-hikmah dibalik hukum, maqāṣid syarī„ah
juga merupakan tujuan-tujuan baik yang ingin dicapai oleh hukum Islam, dengan membuka
sarana menuju kebaikkan atau menutup sarana menuju keburukan. Maqāṣid syarī„ah
mencakup “menjaga akal dan jiwa manusia” menjelaskan larangan tegas terhadap minuman
beralkohol dan minuman penghilang akal lainnya. Selain itu makna maqāṣid syarī„ah adalah
sekumpulan maksud Ilahiyah dan konsep-konsep moral yang menjadi dasar hukum Islam.
Maqāṣid as-syarī„ah dapat pula mempresentasikan hubungan antara hukum Islam dengan ide-
ide terkini tentang hak-hak asasi manusia, pembangunan dan keadaban.

15
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (London: Mac Donald & Evan Ltd., 1980), h. 767
16
Muhammad Hamid Usman, Al-Qāmūs al-Mubīn fī Iṣtilahi al-Uṣuliyyin (Riyadh: Dar al-Zahm, 2002), h. 282
17
Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syariah (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 20
18
Munawwir, Al Munawwir: Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progesif, 1997), h. 711
19
Kutbhuddin Aibak, Metodologi Hukum Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 50
3.Kehujjahan Maqāṣid Syari„ah

Semua perintah dan larangan Allah dalam al-Qur'an dan sunnah mempunyai tujuan
tertentu dan tidak ada yang sia-sia. Semuanya mempunyai hikmah tujuan, yaitu sebagai rahmat
bagi umat manusia, hal tersebut sesuai dengan firman Allah swt. di dalam QS. al-Anbiyaa'/21:
107 yang berbunyi:

‫وما ار سلناك اال رحمة للعا لمين‬

Terjemahnya: Dan tidaklah Kami mengutusmu, kecuali menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Berdasarkan ayat tersebut Allah swt. memberitahukan bahwa Allah swt. menjadikan
Muhammad saw. sebagai rahmat bagi alam semesta. Berbahagialah di dunia dan di akhirat
mereka yang menerima rahmat tersebut dan mensyukurinya. Sedangkan yang menolak dan
mengingkarinya merugi di dunia dan di akhirat.

Rahmat untuk seluruh alam dalam ayat di atas diartikan dengan kemaslahatan umat.
Sedangkan, secara sederhana maslahat dapat diartikan sebagai sesuatu yang baik dan dapat
diterima oleh akal yang sehat. Diterima akal mengandung pengertian bahwa akal dapat
mengetahui dan memahami motif di balik penetapan suatu hukum, yaitu karena mengandung
kemaslahatan untuk manusia, baik dijelaskan sendiri alasannya oleh Allah atau dengan jalan
rasionalisasi. Kemaslahatan yang dijelaskan secara langsung oleh Allah swt.

20
As-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Usul as-Syari’ah, Jilid II (Kairo: Mustafa Muhammad, t.th.), h. 6
21
Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah, terj. Rosidin dan Ali Abd el Mun‟im (
Jakarta: Mizan, 2015), h. 32
22
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya (Jakarta: Diponegoro, 2005), h. 26
23
Ibn Katsir, Tafsir Ibnu Katsier, terjemahan H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy (Surabaya: PT. Bina
Ilmu, 2004) 24Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya..., h. 321

Ada beberapa aturan hukum yang tidak dijelaskan secara langsung oleh syari' (pembuat
syari'at) dan akal sulit untuk membuat rasionalisasinya, seperti penetapan waktu shalat zhuhur
yang dimulai setelah tergelincirnya matahari. Meskipun begitu bukan berarti penetapan hukum
tersebut tanpa tujuan, hanya saja belum dapat dijangkau oleh akal manusia secara rasional.
Mashlahah sebagai dalil hukum tidak dapat dilakukan karena akal tidak mungkin menangkap
makna mashlahah dalam masalah-masalah juz‟i. hal ini disebabkan dua hal yaitu:

A. Jika akal mampu menangkap maqāṣid as-syarī„ah secara parsial dalam tiaptiap
ketentuan hukum, maka akal adalah penentu/hakim sebelum datangnya syara‟.

B. Jika anggapan bahwa akal mampu menangkap maqāṣid as-syarī„ah secara parsial
dalam tiap-tiap ketentuan hukum itu dianggap sah-sah saja maka batallah keberadaan
atsar/efek dari kebanyakan dalil-dalil rinci bagi hukum, karena kesamaran substansi
mashlahah bagi mayoritas akal manusia. Menyangkut kehujjahan maslahat dalam
perspektif ulama ushul (ushulliyun) dan fuqaha (ahli hukum Islam), ada dua hal yang
patut digaris bawahi: Pertama, semua ulama sepakat menerima kehujjahan maslahat
selama keberadaannya mendapatkan dukungan nash (maslahah mu‟tabarah). Kedua,
perbedaan ulama dalam menanggapi masalah baru terjadi ketika mereka mendiskusikan
kehujjahan.

4. Pembagian Maqashid Syari’ah

Secara substansial maqashid syariah mengandung kemaslahatan, baik ditinjau dari


maqashid al-syari’ (tujuan Tuhan) maupun maqashid almukallaf (tujuan hamba). maqashid al-
syari’ (tujuan Tuhan) ialah maqashid yang diletakkan oleh Allah dalam mensyariatkan hukum.
Tujuannya ialah mengambil kebaikan dan menolak kejahatan di dunia dan akhirat. Sedangkan,
maqashid al-mukallaf adalah tujuan syariat bagi hamba dalam melakukan sesuatu perbuatan.
maqashid al-mukallaf berperan menentukan sah atau batal sesuatu amalan.

25
Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir....
26
Muhammad Said Rhomadhon al-Buthi, Dhowabit al-Mashlahah fi al-Syariah alIslamiyah (Beirut: Dar al Muttahidah,
1992), h. 108
27
Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam (Yogyakarta: UII Press, 2002), h. 155 maslahah mursalah dan bila
terjadi pertentangan (ta‟arud) antara

A.Maqashid Syariah ditinjau dari cangkupan:


1) Maqashid ‘Ammah
yaitu, tujuan-tujuan yang diperhatikan dan hendak diwujudkan oleh syariat di seluruh
atau mayoritas bab-bab hukumnya. Contoh: penyebaran rahmat bagi alam semesta (QS:
Al-Anbiya:107), Penegakan keadilan (Qs. An-Nahl: 90), menghilangkan kesulitan atau
memudahkan( QS. Al-Baqarah: 185)

2) Maqashid Kash-shah
yaitu, tujuan-tujuan yang hendak diwujudkan oleh syariat pada bab tertentu atau bab-
bab hukum yang sejenis. Contoh : tujuan syariat dalam hukum-hukum terkait
munakahat diantaranya adalah memperkuat dan memperbesar hubungan kekerabatan
antar masyarakat disamping menjaga kesucian diri lahir dan batin, serta memastikan
garis nasab manusia (Qs. An-Nisa: 1)

2) Maqashid Jauziyah yaitu, tujuan syariat di masing-masing hukum syar’i. contoh:


tujuan disyariatkannya gadai dalam Islam untuk tawatsuq keterikatan dan
kepercayaan.

B. Maqasid Syariah ditinjau dari tingkat kebutuhannya: Maqasid syariah pada


pembagian ini terbagi menjadi: Maqasid Dharuriyah (Primer), Maqasid Hajiyah
(Sekunder) dan Maqasid Tahsiniyah (Tersier).

1) Maqasid Dharuriyah (Primer) Maqasid dharuriyah adalah tujuan-tujuan dari


kebutuhan manusia yang harus dipenuhi atau eksistensinya wajib terpenuhi.

8
Kesimpulan Nuruddin al-Khadīmi tersebut diambil karena sebelum Imām Syātibi, para ulama semisal Abu Bakar al-
Qaffāl (w: 365 H / 975 M), al-Juwaini (w: 478 H / 1185 M) alGhazāli (w: 505 H / 1111 M), Izzuddin bin Abd. Salam (w:
660 H / 1261 M), al-Qarrafi (w: 684 H / 1285 M), dan Ibn al-Qayyim (w: 751 H/1350 M), hanya menyinggung tentang
maqāshid secara sekilas di tengah pembahasan mereka seputar masalah fiqh atau ushul fiqh. Nuruddin alKhadimi, Al-
Maqashid fi al-Mazhab al-Maliki, Cet. I; Tunis: Dār al-Tunisiyah, 2003, hal. 30-36.
9
Berkaitan dengan mashlahah dan perubahan fatwa. Lihat misalnya. Muhammad Roy Purwanto dan Johari,
Perubahan Fatwa Hukum dalam Pandangan Ibn Qayyim al-Jauziyyah (Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 2017);
Muhammad Roy Purwanto, Reformulasi Konsep Mashlahah sebagai Dasar dalam Ijtihad Istishlahi (Yogyakarta:
Universitas Islam Indonesia, 2017)

2) Maqasid Hajiyah (sekunder)


Ialah tujuan-tujuan yang disandarkan pada barometer hajat kebutuhan manusia. Yang
mana jika kebutuhan ini tidak terpenuhi, hanya berimbas pada timbulnya kesulitan yang tidak
sampai fatal akibatnya. Maqasid hajiah“Al mashalih al hajiyah” yang memiliki arti
kemashlahatan yang dibutuhkan. Seperti kemashlahatan transaksi jual-beli, pertanian,
kerjasama dalam perdagangan. Sebagai contoh dari maqasid hajiyah adalah; diperbolehkannya
memakai sutera bagi orang yang terkena penyakit kulit. Hal ini dikarenakan jika ia tidak
memakai sutera akan mengakibatkan penyakitnya bertambah parah. Begitu juga dibolehkannya
salam (akad pesan memesan), sewa-menyewa, muzara’ah (pemanfaatan pertanian dengan cara
pemilik tanah memberikan alat, benih dan hewan kepada yang hendak menanaminya dan
hasilnya akan dibagi sesuai kesepakatan bersama), mudharabah (kongsi), qiradh (investasi), dan
sebagainya. Dan Juga kebolehan qashar (meringkas) shalat bagi musafir, berbuka bagi orang
yang sakit, melihat aurat dengan sebab tertentu, dan lain-lain.

3) Maqasid Tahsiniyah (tersier).

Adalah tujuan yang dilandaskan pada barometer kebutuhan manusia yang bersifat
sebagai pelengkap atau penyempurna. Dinamakan maqasid tahsiniyah tidak lain karena
posisinya sebagai supelmen dalam kehidupan manusia sekaligus memperindah interaksi sosial
diantara mereka. Maqasid tahsiniyah - sebagaimana dikemukakan Imam Syatibi - termasuk
dalam katagori makarim al Akhlak (keluhuran budi pekerti). (Al Muwafaqat fi Ushul as Syari’at,
2:11). Contoh maqasid tahsiniyah seperti; menjaga kebersihan tubuh, menutup aurat, memakai
parfum sesuai ketentuan syari’at, kode etik pada saat kita makan, minum, berpakaian, dan lain
sebagainya.

10
Tentang perbedaan penafsiran ulama dalam hal fiqh, bias dilihat lebih jauh dalam, Muhammad Roy Purwanto,
“Different Qiraat and Its Implication in Differerent Opinion of Islamic Jurisprudence”, dalam Jurnal al-Mawarid, Vol. 8.
Nomor 2. 2013.

BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan

Islam mengajarkan kebenaran dan tata nilai yang bersifat abadi dan universal, yang
harus dipercayai dan diamalkan oleh setiap muslim, di mana dia berada dan kapan dia hidup.
Setelah wafatnya nabi Muhammad dan daerah Islam bertambah luas serta persoalan sosial
keagamaan semakin komplek, maka penggalian hukum istinbat al-hukm merupakan sebuah
kebutuhan. Di sinilah awalnya ijtihad dilakukan untuk menyelesaikan persoalan umat.

Sedangkan Maqashid al-Syari’ah sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri yang sejajar dengan Ushul
Fikih, tidak lagi menjadi sub bab dalam Ushul Fikih secara substansial (independen). Konsep maqashid
adalah kebutuhan yang urgen bagi kalangan ulama dalam istinbath hukum demi terpecahkannya
persoalan kontemporer.

B.Saran

Demikian makalah ini dapat diselesaikan dengan maksimal. Penulis menyadari bahwa
makalah ini masih kurang sempurna dan banyak kekurangan, baik secara teknis maupun
referensi. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis senantiasa mengharapkan
adanya kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca agar dapat menambah
cakrawala wawasan penulis. Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam menyusunan makalah ini, semoga makalah ini memberikan manfaat bagi
penulis pada khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Amin.

DAFTAR PUSTAKA
Ayubi, Muhammada Hiayam,al-Ijtihad wa Muqtadayat al-Asr,’Amman : Dar al-Fikr,t.th.
Al-Khadimi, Nuruddin ibnu Mukhtar, Al-Maqashid fi al-Mazhab al-Maliki, Cet. I; Tunis: Dār al-Tunisiyah,
2003

Anda mungkin juga menyukai