Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

SUMBER-SUMBER DAN DALIL-DALIL FIQIH YANG MUTTAFAQ


(ALQURAN, HADIST, IJMA', QIYAS)

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Pendidikan Islam
Dosen Pengampu: Drs. H.Syamsul Arifin, M.Ag

KELOMPOK 1 PAI -A
Disusun Oleh:
Rubayyi Firdaus (210101110010)
Nanda Nisfatul Lailiyah (210101110019)
Zulkifli Al Ansori (210101110115)

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
TAHUN AJARAN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala
rahmat dan hidayahnya sehingga makalah yang berjudul ”Kebijakan Pemerintah
Tentang Pembinaan Kerukunan Beragama” ini dapat tersusun sampai dengan selesai.
Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya. Kami
sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa para
pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami.
Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca
demi kesempurnaan makalah ini.

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... ii


DAFTAR ISI.................................................................................................................. iii
BAB I PEMBUKAAN ................................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG ........................................................................................ 1
B. RUMUSAN MASALAH .................................................................................... 2
C. TUJUAN PEMBAHASAN ................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................ 3
A. PENGERTIAN SUMBER HUKUM ISLAM DAN HUKUM
MUTTAFAQ ...................................................................................................... 3
B. DALIL HUKUM ISLAM YANG DISEPAKATI ............................................. 4
C. MACAM-MACAM SUMBER HUKUM ISLAM MUTTAFAQ ..................... 4
1. AL-QURAN .................................................................................................. 4
2. HADIST/AS-SUNNAH ................................................................................ 9
3. IJMA’ ........................................................................................................... 10
4. QIYAS ......................................................................................................... 14
BAB III PENUTUP ....................................................................................................... 20
A. KESIMPULAN .................................................................................................. 20
B. SARAN ............................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 22

iii
BAB I
PEMBUKAAN
A. Latar Belakang
Semua ajaran agama mempunyai sumber hukum yang berisi rambu-rambu berupa
perintah, larangan, anjuran dan batasan-batasan yang bersifat mengikat. Dalam
menjalani kehidupan beragama atau segala aktivitas sosial, pemeluk agama haruslah
selalu mengikuti ketentuan dari sumber hukum yang ada dan disepakati sehingga
ketentuan tersebut harus dijadikan pegangan para penganutnya. Dalam hal ini agama
Islam menempatkan beberapa sumber hukum yang dijadikan rujukan. Namun pada
pembahasan kali ini hanya berfokus pada empat sumber hukum utama, yaitu Al-
Qur’an, Hadist, Ijma dan Qiyas. Sumber-sumber hukum Islam adalah segala sesuatu
yang melahirkan ketentuan hukum yang mengatur umat Islam. 1 Mengingat dari masih
minimnya pengetahuan tentang segala aspek yang berhubungan dengan sumber
hukum Islam dan hukum muttafaq, maka di pembahasan ini akan diuraikan hal yang
berkaitan dengan semua itu.
Sumber hukum Islam yang pertama adalah Al-Qur’an yang senantiasa terjaga
keotentikanya berisikan firman Allah SWT (kalamullah), di dalamnya memuat
perintah, larangan, hukum, dan syariat yang ditujukan langsung untuk manusia
sebagai khalifah di bumi. Segala sesuatu yang ada dalam dilamnya bertujuan agar
manusia selamat menempuh kehidupan di dunia dan akhirat. Sumber hukum
berikutnya adalah hadist, yakni berupa perkataan Rasullullah yang memiliki fungsi
memperjelas isi dalam Al-Qur’an terutama yang masih bersifat umum. Nabi
Muhammad SAW sebagai manusia pilihan yang tentunya terbebas dari hawa nafsu
yang salah, karena sesungguhnya perkataan dan perbuatan beliau selalu ada dalam
bimbingan Allah SWT. Di samping kedua sumber hukum tersebut terdapat juga Ijma
dan Qiyas walaupun Al-Qur’an dan Hadist sudah sempurna dan suah diperjelas oleh
hadist, tetapi pemahaman manusia yang tidak sempurna, maka perlu adanya
penjabaran terhadap sesuatu yang belum bisa dipahami secara mendalam 2 . Seiring
dengan perkembangan zaman yang diikuti perubahan sosial, ternyata banyak
memunculkan permasalahan baru. Adanya Ijma dan Qiyas salah satunya adalah untuk
menjawab tuntutan dan jawaban terhadap permasalahan baru yang timbul.

1
Muanif Ridwan dkk, “SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM DAN IMPLEMENTASINYA
( Kajian Deskriptif Kualitatif Tentang Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma). ”, Journal of Islamic Studies,
Vol. 1 No. 2. (Januari, 2021). hal. 29
2
Ibid.,hal.30

1
Dari uraian di atas tampak begitu sangat pentingnya umat Islam untuk mengetahui
dan paham akan sumber-sumber hukum Islam, terutama yang terkait dengan Al-
Qur’an, Hadist, Ijma, dan Qiyas. Keempat sumber hukum yang inti ini dalam ajaran
Islam, ketika sudah diketahui secara luas dan mendalam kemudian dapat di
implementasikan dalam kehidupan, maka dapat dipastikan manusia akan selalu
mempunyai dasar dalam melakukan perbuatan yang sesuai dengan ajaran agama,
karena sejatinya setiap agama mengajarkan kebenaran, terutama agama Islam yang
merupakan agama samawi yang orientaasinya tidak hanya mengejar kebahagiaan
jangka pendek tetapi juga bertujuan mendapat kebahagiaan yang hakiki. Adanya
sumber hukum Islam adalah untuk mengatur kehidupan kehidupan manusia.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian sumber hukum Islam dan Hukum Muttafaq?
2. Apa dalil dari sumber hukum islam yang disepakati?
3. Apa saja macam-macam Sumber Hukum Islam muttafaq?

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui pengertian dari sumber hukum islam dan Hukum Muttafaq
2. Untuk mengetahui dalil yang dijadikan sebagai sumber hukum yang disepakati
3. Untuk mengetahui macam dari sumber hukum islam yang muttafaq

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sumber Hukum Islam dan Hukum Muttafaq
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia sumber adalah asal sesuatu. Pada
hakikatnya yang dimaskud dengan sumber hukum adalah tempat kita dapat
menemukan atau menggali hukumnya. Sumber hukum islam adalah asal (tempat
pengambilan) hukum islam. Sumber hukum islam disebut juga dengan istilah dalil
hukum islam atau pokok hukum islam atau dasar hukum islam.
Kata ‘sumber’ dalam hukum fiqh adalah terjemah dari lafadz ‫مصادر – مصدر‬, lafadz
tersebut terdapat dalam Sebagian literatur kontemporer sebagai ganti dari sebutan
dalil (‫ )الدليل‬atau lengkapnya (‫)األدلة الشرعية‬. Sedangkan dalam literatur klasisk, dan
tidak pernah kata (‫)مصادر األحكام الشرعية‬. Mereka yang menggunakan kata mashadir
sebagai ganti al-adillah beranggapan bahwa kedua kata tersebut memiliki arti yang
sama 3.Dilihat secara etimologis, kedua makna itu tidak sinonim.
Hukum menurut bahasa berarti menetapkan sesuatu atau tidak menetapkannya.
Sedangkan menurut istilah ahli ushul fiqh, hukum adalah perintah dari Allah SWT
yang mewajibkan mukalaf untuk memilih atau berbuat dan tidak berbuat. Yang
dimaksud dengan sumber hukum adalah segala sesuatu yang melahirkan atau
menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan mengikat, yang apabila
dilanggar akan mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata. Hukum Islam adalah
hukum yang berasal dan menjadi bagian dari agama Islam. Jadi sumber hukum islam
adalah segala hal yang dijadikan dasar, acuan, pedoman syariat islam.
Istilah muttafaq ‘alaihi gabungan dari frasa muttafaq (‫ )متفق‬yang artinya
disepakati, dan frasa alaih (‫ )عليه‬yang artinya atasnya. Sehingga gabungan dari dua
frasa ini, muttafaq ‘alaihi artinya sesuatu yang disepakati. 4 Yang dimaksud dengan
sumber-sumber fiqih yang disepakati adalah bahwa semua ulama dari berbagai
mazhab sepakat untuk menggunakan sumber fiqih itu dalam melakukan istimbath atau
menarik kesimpulan hukum. 5 Sumber hukum Muttafaq adalah sumber hukum Islam
yang telah disepakati oleh seluruh umat Islam. Sumber hukum islam yang muttafaq
diantaranya al-qur’an, hadis, ijma’, dan qiyas.

3
Amir Syarifudin, Ushul… hlm.51.
4
https://konsultasisyariah.com/28530-makna-hadis-muttafaq-alaih.html
5
http://suduthukum.com/

3
Sedangkan ‘dalil hukum’ berarti sesuatu yang memberi petunjuk dan menenuntun
kita dalam menemukan hukum Allah SWT. Kata ‘sumber’ digunakan untuk al-quran
dan sunnah, karena memang keduanya menjadi wadah sebagai hukum syara’, dan
untuk ijma’ dan qiyas cara dalam menemukan hukum. Dan kata ‘dalil’ digunakan
untuk al-quran, sunnah, ijma’, dan qiyas 6.

B. Dalil Hukum yang Disepakati


Allah selalu memerintahkan hambanya untuk melakukan setiap ibadah itu dengan
didasari oleh Al-Quran dan Hadist. Kedua dalil syara’ ini adalah merupakan wadah
hukum syara’ yang paling utama. Seperti yang difirmankan oleh Allah dalam QS An-
Nisa:59 yang artinya
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian,
jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah
(Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Arti yang terkandung pada ayat diatas adalah perintah untuk menaati Allah dan
Rosul-Nya maka berarti menaati Al-Quran dan Hadist. Sedangkan pada kata ulil amri
itu berarti perintah untuk menaati pemimpin kaum muslimin dalam hal pembentukan
hukum islam yang telah dsepakati oleh para mujtahidin dalam artian berarti perintah
mengikuti ijma’. Sedangkan pada kata mengembalikan segala sesuatu yang adanya
perbedaan pendapat kepada Allah dan Rosulnya adalah perintah untuk melakukan
qiyas.7

C. Macam-Macam Sumber Hukum Islam Muttafaq


1. Al-Quran
- Pengertian Al-Quran
Al-Qur’an secara etimologi berasal dari kata qara’a-yaqrou, yang berarti bacaan.
Mengutip pendapat Subhi As Salih, kata Al-Qur’an itu berbentuk masdar dengan arti

6
Ibid.
7
Candra, Aldi, et al. "Ushul Fiqh Kontemporer Koridor Dalam Memahami Konstruksi Hukum
Islam." Pamekasan: Duta Media Publishing (2020). Hlm 72.

4
isim maf’ul, yaitu sesuatu yang dibaca. 8Sedangkan secara terminologi, Al-Qur’an
diartikan sebagai kalam Allah SWT yang diturunkan pada Nabi Muhammad SAW,
dimulai dari surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan surah An-Nas. Para ulama
memberikan penjelasan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah berupa wahyu yang
diterima Nabi Muhammad SAW, kemudian ditulis dalam mushaf, diturunkan secara
mutawatir (berangsur-angsur) dan membaca merupakan ibadah yang bernilai pahala
di sisi Allah SWT.
Berdasarkan pemaparan tentang definisi Al-Qur’an di atas, tentunya
mengisyaratkan bahwa Al-Qur’an harus selalu menjadi hal yang tidak asing lagi
untuk dibaca dan dikaji terus menerus oleh umat muslim. Sehingga dapat dikatakan
sudah menjadi keharusan umat muslim untuk mahir membaca Al-Qur’an, lebih
jauhnya dapat mengetahui arti dari bacaannya, memaknai isi kandungan dari ayatnya,
serta dapat mengaplikasikan nilai-nilai kebaikan di dalamnya pada kehidupan sehari-
hari. Seorang cendekiawan muslim pernah menyatakan kalimat The Holy Qur’an the
best guide for muslim, pernyataan tersebut mempertegas tentang Al-Qur’an adalah
sebaik-baiknya pemandu bagi umat muslim, karena seseorang yang selalu berpegang
teguh dan menjadikanya pedoman ( way of life), maka tidak akan pernah tersesat
selamanya.
- Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum
Al-Qur’an merupakan kitab suci, di dalamya memuat ajaran-ajaran yang luas,
yakni melingkupi seluruh aspek kehidupan manusia, maka ajaranya tidak hanya
terbatas pada praktek keagamaan saja. Sehingga memunculkan klaim kunci dari
keselamatan dunia dan akherat adalah berpedoman pada Al-Qur’an. Di samping
syariat dalam Al-Qur’an yang selalu relevan terhadap perkembangan zaman dan
mampu menyesuaikan dengan perubahan. Hal tersebut merupakan salah satu bukti
bahwa Al-Qur’an diturunkan bukan hanya sekedar untuk umat terdahulu tetapi
berlaku juga bagi umat sepanjang masa. Kebenaran ajarannyapun tidak akan pernah
habis di makan waktu.
Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam mengindikasikan agar umat Islam
berprilaku sesuai aturan di dalamnya serta mampu menerapkannya. Seperti Al-Qur’an
menghendaki manusia untuk berbuat kebaikan, membela kebenaran, bersikap jujur

8
Muanif Ridwan dkk, “SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM DAN IMPLEMENTASINYA
( Kajian Deskriptif Kualitatif Tentang Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma). ”, Journal of Islamic Studies,
Vol. 1 No. 2. (Januari, 2021). hal. 32.

5
dan mencegah berbuat kejahatan kepada orang lain sekalipun pada seorang pembenci.
Al-Qur’an mengajarkan manusia untuk tetap suci baik pikiran, tindakan maupun
perkataan agar selalu mendapatkan keridhaan Allah SWT. Manusia dapat
menjalankan hak-haknya, tanpa harus mengganggu hak orang lain dan diwajibkan
juga mendakwahkan agama tetapi dengan jalan hikmah dan kebijaksanaan. 9 Semua
hukum telah di atur sedemikian rupa dalam Al-Qur’an melalui kandungan makan
ayat-ayatnya secara rinci dan jelas yang menjadi petunjuk bagi orang yang bertaqwa,
yaitu mereka yang menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi laranganya.
Al-Qur’an sebagai sumber hukum juga pedoman hidup, banyak menjelaskan
prinsip yang mengatur kehidupan manusia baik yang berhubungan dengan Allah SWT
maupun dengan sesama manusia atau makhluk lainya. Seperti terdapat dalam Al-
Qur’an peraturan tentang beribadah kepada Allah SWT, aturan berkeluarga, aturan
bermasyakat, serta masih banyak lagi aturan yang berkenaan dengan kehidupan
manusia sebagai khalifah di bumi.
Kitab Al-Qur’an sebagai kitabul Hukmi Wa Syariat sesuai dengan Q.S Al-Maidah
ayat 49-50 yang artinya.
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-
hatilah kamu terhadap mereka , supaya mereka tidak memalingkan kamu dari
sebagian apa yang diturunkan Allah kepadamu, jika mereka berpaling (dari hukum
yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah maka sesungguhnya Allah
menghendaki agar menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-
dosa mereka dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.
Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih
baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Q.S. Al-Maidah :49-50).
Berdasarkan arti dari ayat di atas sangat jelas bahwa Allah SWT memerintahkan
untuk menjadikan syariatnya sebagai landasan hukum, karena di dalamnya terdapat
kebaikan, rahmat, keberkahan dan kebahagiaan bagi setiap hamba yang menaati nya
dan Allah SWT melarang hambanya mengikuti hawa nafsu yang dapat menyesatkan
dengan menjadikanya landasan hukum padahal di dalamnya terdapat kezaliman dan
kesewenang-wenangan. Kedudukan Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam sebagian
besar bersifat umum, walaupun ada juga yang bersifat mendetail.

9
Ibid.,hal 32

6
- Pokok-pokok Ajaran Al-Qur’an
Al-Qur’an memuat pokok-pokok ajaran yang terkandung di dalamnya, antara lain
1. Aqidah
Aqidah artinya ketetapan yang tidak ada keraguan pada orang yang mengambil
keputusan. Sedangkan pengertian dalam agama adalah berkaitan dengan keyakinan,
seperti aqidah dengan adanya Allah SWT dan para rasulnya. Al-Qur’an sebagai
sumber aqidah Islam, maka apa yang disampaikan dalam Al-Qur’an wajib diimani
dan diamalkan.10 Landasan aqidah yang ada dalam Al-Qur’an salah satunya seperti
terdapat dalam Q.S. Al-Ikhlas, ayat 1-4, yang artinya
“Katakanlah: Dialah Allah, yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang
bergantung padanya segala sesuatu, dia tidak beranak dan tidak pula diperanakan,
dan tidak seorangpun yang setara dengan dia”.
2. Ibadah
Ibadah secara etimologi berarti merendahkan diri serta tunduk. Dalam arti yang
lebih luas ibadah diartikan taat kepada Allah SWT dengan melaksanakan segala
perintahnya. Ibadah terdiri atas ibadah lisan, ibadah hati dan ibadah anggota badan.
Rasa takut (khauf) dan tawakal merupakan ibadah hati, kemudian yang termasuk
ibadah lisan adalah berzikir serta menjaga dari perkataan tercela. Sedangkan ibadah
yang berkaitan dengan anggota badan, diantaranya shalat, puasa, zakat, haji dan masih
banyak lagi.
Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa tujuan penciptaab manusia adalah untuk
beribadah, Allah SWT berfirman :
“ Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah
kepadaku” (Q.S. Adz-Dzariyat: 56).
Allah menciptakan manusia adalah untuk beribadah kepadanya, itupun untuk
kebaikan manusia sendiri dan telah disiapkan balasan terbaik bagi hambanya yang
taat, walaupun sejatinya Allah tidak butuh pada manusia namun manusia yang justru
sangat butuh pada Alllah SWT yang maha berkuasa atas segala sesuatu.
3. Akhlak
Menurut bahasa akhlak berasal dari kata khuluqun, yang berarti budi, yaitu
sesuatu yang tersimpan dalam hati, sulit diketahui orang lain, namun memiliki efek

10
Rachmat Syafe’I, Al-Hadist Aqidah, Social, Dan Hukum, ( Bandung: Pustaka Setia, 2000),
hal 14

7
serta pengaruh besar terhadap prilaku manusia. Di samping akhlak merupakan buah
dari proses penerapan aqidah dan syariah. Sehingga tidak mungkin akhlak akan bagus
tanpa pondasi aqidah dan syariah11. Nabi Muhammad SAW adalah role model yang
harus dicontoh dalam penerapan akhlak, sebagaimana di sebutkan dalam Al-Qur’an.
Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya telah ada pada diri rasulullah itu suri tauladan yang baikbagimu,
yaitu bagi orang-orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat
dan dia banyak menyebut Allah.” (Q.S. Al-Ahzab:21).
4. Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan dan
peningkatkan kemampuan dan pemahaman manusia dari berbagai kenyataan, karena
ilmu dapat memberikan kepastian tentang sesuatu. Ilmu pengetahuan merupakan salah
satu isi pokok kandungan Al-Qur’an. Kata ilm dalam Al-Qur’an disebutkan kurang
lebih sebanyak 105, karena dalam Islam pengetahuan dan ilmu itu sangat penting
bahkan sudah menjadi keharusan umat Islam berpengetahuan. 12 Allah SWT berfirman
dalam Al-Qur’an Surah Al-Mujadalah ayat 11, yang artinya:
“ Allah SWT akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman diantara kalian
dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat” (Q.S. Al-Mujadallah:11).
5. Ibrah Tentang Sejarah
Secara etimologi berasal dari kata bahasa Arab Syajarotun, yang berarti pohon.
Sehingga diadopsi ke dalam bahasa Indonesia dikenal dengan sejarah. Al-Maqrizi
mengemukakan bahwa sejarah sesuatu yang memberikan informasi tentang peristiwa
yang telah terjadi. Kisah-kisah dalam Al-Qur’an sarat dengan makna edukatif bagi
manusia agar senantiasa belajar dari kejadian masa lalu. Firman Allah SWT dalam
Al-Qur’an Surah Al-A’raf ayat 178, yang artinya:
“Maka kisahkanlah kisah-kisah agar mereka berfikir”. (Q.S.Al-A’raf ayat 178).
Pemberian contoh kisah-kisah umat terdahulu dalam Al-Qur’an serta akibat yang
dialami orang-orang yang menentang Allah serta berprilaku tidak baik, kebanyakan
mereka mendapatkan azab. Sehingga manusia selanjutnya bisa berkaca pada kejadian
itu serta dapat mengambil pelajaran.

11
Ibid., hal 15
12
Ibid., hal. 17

8
2. Hadist/ As-Sunnah
- Pengertian Hadist atau As-Sunnah
Hadits ialah suatu perkataan atau berita. Hadits ialah suatu perkataan, informasi
dari Rasulullah SAW. Sedangkan al-Sunnah merupakan jalan hidup yang dilewati
atau di jalani atau suatu yang telah dibiasakan. Sunnah Rasul ialah yang biasa
dijalankan dalam kebiasaan hidup Rasulullah berupa seperti perkataan dan perbuatan
serta persetujuan Rasul. Hal ini senada dengan pendapat Musthafa ash-Shiba’i bahwa
kata sunnah artinya jalan terpuji. 13Sunnah adalah segala perkataan, perbuatan, taqrir,
sifat fisik, atau akhlaq yang ditinggalkan Rasul, serta perilaku kehidupan baik
sebelum diangkat menjadi Rasul atau setelah kerasulan beliau. Adapun menurut
“Ulama’ Fiqh”, Sunnah merupakan segala sesuatu yang datang dari Nabi yang bukan
bersifat fardu atu tidak wajib dilakukan, hanya saja menjalankan akan mendatangkan
kebaikan.
- Hadits Sebagai Sumber Hukum
Hadits atau Sunnah merupakan sumber hukum Islam kedua memiliki peranan
yang penting setelah al-Qur’an. Hadits merinci keumuman paparan ayat-ayat al-
Qur’an, karena al-Qur’an sebagai kitab suci dan pedoman hidup umat Islam
diturunkan pada umumnya dalam kata-kata yang perlu dirinci dan dijelaskan lebih
lanjut, agar dapat dipahami dan diamalkan. Hadits juga berfungsi antara lain menjadi
penjelas terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang belum jelas atau menjadi penentu hukum
yang tidak ada dalam al-Qur’an.14
Adapun As-Sunnah dibagi dalam empat macam, yakni:
1. Sunnah Qauliyah ialah segala perkataan Rasulullah
2. Sunnah Fi‟liyah ialah semua perbuatan Rasulullah
3. Sunnah Taqririyah ialah penetapan dan pengakuan dari Nabi terhadap
pernyataan maupun perbuatan orang lain.
4. Sunnah Hammiyah ialah sesuatu yang sudah direncanakan untuk dikerjakan
tetapi tidak sampai dikerjakan.

13
Ahmad Muhtadi, Al-Qur’an dan Hadist Sebagai Sumber Hukum Islam, (Desember,2020),
hal.23.
14
Ibid., hal 24

9
Hadits sebagai salah satu sumber hukum Islam memiliki fungsi sebagai berikut:
1. Menegaskan atau menjelaskan lebih jauh ketentuan yang dijelaskan dalam al-
Qur’an. Contohnya dalam al-Qur’an menjelaskan ayat berkaitan dengan shalat
tetapi tata cara dalam pelaksanaanya diuraikan dalam Sunnah.
2. Sebagai penjelas dari isi al-Qur’an. Dalam al-Qur’an manusia diperintahkan
oleh Allah mendirikan shalat. Namun tidak dijelaskan tentang jumlah raka’at,
cara pelaksanaannya, rukun, dan syarat dalam mendirikan shalat. Maka fungsi
Sunnah menjelaskan dan memberikan contoh jumlah raka’at dalam setiap
shalat, cara dan rukun sampai pada syarat syah mendirikan shalat.
3. Menambahkan atau mengembangkan suatu yang tak ada atau masih samar-
samar mengenai ketentuannya dalam al-Qur’an. Misalnya larangan Nabi untuk
mengawini seorang perempuan dengan bibinya. Larangan sebagian itu tidak
ada dalam al-Qur’an. Tetapi jika dilihat hikmah dari larangannya jelas bahwa
mencegah rusaknya bahkan terputusnya hubungan silaturahim kerabat dekat
yang merupakan perbuatan tak disukai dalam agama Islam.
Pada prinsipnya posisi hadits terhadap al-Qur’an berfungsi sebagai penjelas,
penafsir, dan perinci terhadap hal-hal yang masih bersifat global. Namun demikian,
hadits juga bisa membentuk hukum tersendiri mengenai hal yang tidak ada dalam al-
Qur’an.
3. Ijma’
- Pengertian Ijma’
Secara etimologi kata ijma’ berasal dari bahasa arab ajma’a- yujmi’u yang
memiliki arti kebulatan tekad terhadap suatu persoalan atau kesepakatan tentang suatu
masalah 15 , atau ketetapan hati untuk melakukan sesuatu atau keputusan berbuat
sesuatu. Dalam artian singkatnya ijma’ berarti kesepakatan (al-Ittifāq). 16Sedangkan
secara terminologi banyak sekali ungkapan-ungkapan dari para ulama yakni ijma’
menurut jumhur ulama yaitu "Kesepakatan pendapat semua mujtahid pada suatu masa
17
sesudah Rasulullah wafat terhadap suatu hukum syara' yang amali." Sedangkan
menurut ulama syiah ijma’ adalah “Kesepakatan suatu komunitas karena kesepakatan

15
Wiguna, Satria. "FIQIH IBADAH." (2021). Hlm 6.
16
Syaripudin, Ahmad, and M. Kasim. "Konsep Dasar Ijmak sebagai Sumber Hukum
Islam." BUSTANUL FUQAHA: Jurnal Bidang Hukum Islam 1.1 (2020): 28-43. Hlm 31.
17
Haries, DR H. Akhmad, M. S. I. S AG, and H. S. Maisyarah Rahmi. Ushul Fikih: Kajian
Komprehensif Teori, Sumber Hukum Dan Metode Istinbath Hukum. Bening Media Publishing, 2021.
Hlm 82.

10
mereka dalam menetapkan hukum syara.” 18 Menurut istilah ushul fiqh, sebagaimana
dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan, adalah “kesepakatan para mujtahid dari
kalangan umat Islam tentang hukum syariah pada suatu waktu setelah Nabi wafat.”
Kesepakatan harus dilakukan oleh semua ulama mujtahid bukan hanya sebagian dan
bukan seseorang yang buka ulama mjtahid seperti orang awam dan orang yng belum
memenuhi syarat mujtahid. Menurut madzhab Maliki, kesepakatan tersebut sudah
dianggap ijma, meskipun hanya kesepakatan para mujtahid madinah yang disebut
dengan ijma'al madinah. 19
Menurut Romli dalam bukunya Muqaranah Mazahib Fil Ushul mengatakan
bahwa Ijma’ dapat berarti sepakat atau konsensus dari sejumlah orang terhadap
sesuatu perkara. Menurut para ulama ushul kontemporer salah satunya Ali Abdul
Razak dalam bukunya al-Ijma’ Fi al-Syari’at al-Islamiyat menungkapkan bahwa
Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid umat Islam pada suatu masa atas suatu
perkara hukum syara’. 20
Al-Ghazali mengatakan bahwa ijma' adalah kesepakatan
umat Nabi Muhammad secara khusus tentang masalah agama. Menurut Abdul
Wahab Khalaf, ijma' adalah kesepakatan pada semua mujtahid Muslim pada suatu
keadaan setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW tentang hukum syara' tentang suatu
peristiwa, jadi ijma' juga berarti kesepakatan bersama atau bulat (konsensus). 21
Dari beberapa pengertian yang diambil dari para ulama dapat disimpulkan ijma’
berarti sebuah kesepakatan yang dilakukan oleh para ulama mujtahid terhadap suatu
peristiwa atau kejadian yang hukumnya belum ditemukan didalam Al-Quran dan
Hadis, namun landasan pengambilan kesepakatannya tetap merujuk kepada sumber
hukum utama islam yaitu Al-Quran dan Hadist. Kesepakatan para mujtahid itu hanya
berlaku pada suatu masa tertentu bukan berarti berlaku sampai hari kiamat karena
terkadang suatu masalah yang bermunculan pada setiap masanya berubah dan
berbeda-beda.
- Latar Belakang Munculnya Ijma’
Pada masa setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW dan terhentinya wahyu turun
lalu muncullah beberapa persoalan yang membutuhkan jalan keluar, solusinya tidak

18
Darmawan, Darmawan. "Ushul Fiqh." (2020). Hlm 72.
19
Latif, Abdul. "FIQH, USHUL FIQH DAN KAIDAH FIQH." Ushul Fiqih dan Kaedah
Ekonomi Syariah (2022): 1. Hlm 54.
20
Asrowi, Asrowi. "Ijma dan Qiyas dalam Hukum Islam." Aksioma Al-Musaqoh: Journal of
Islamic Economics and Business Studies 1.1 (2018). Hlm 34.
21
Candra, Aldi, et al. "Ushul Fiqh Kontemporer Koridor Dalam Memahami Konstruksi
Hukum Islam." Pamekasan: Duta Media Publishing (2020). Hlm 83.

11
ditemukan di Al-Quran dan Hadist karena bersifat global sedangkan persoalan atau
masalah baru selalu berkembang sehingga muncullah gagasan ijma’ ini dari kalangan
orang mukmin. Nampaknya gagasan ijma’ muncul sebagai kebtuhan sosio-politik
yang kemudian di setujui pada masa-masa selanjutnya atas dasar Al-Quran dan
Hadist. Ijma' dimulai dengan pendapat individu (ijtihad) dan berpuncak pada
penerimaan dan persetujuan universal oleh ummat atau pendapat tertentu dalam
jangka panjang. Ijma' muncul dengan sendirinya dan tidak dipaksakan pada umat. 22
Ijma’ pada masa sahabat nabi seperti Abu Bakar dan Umar terkesan seperti hasil
permusyawaratan mereka terhadap suatu masalah yang mewakili rakyat atas dasar
kepala negara, sedangkan pada saat masa para khulafa’ ijma’ sudah bukan lagi
mementingkan permusyawaratan namun lebih ke arah persetujuan antara para ahli
ijtihad dan para fuqaha’ terhadap suatu peristiwa atau permasalahan. 23

- Bentuk-Bentuk Ijma’ atau macam-macam ijma’


Ada 2 yaitu:
1. Ijma‘ Sharih (jelas, bersih atau murni). Yaitu kesepakatan mujtahid terhadap
24
hukum mengenai suatu peristiwa. Masing-masing bebas mengeluarkan
pendapat secara jelas dan terbuka baik secara lisan maupun perbuatan.
Masing-masing ulama mujtahid menyatakan persetujuan yang sama terhadap
suatu hukum yang telah disepakati sehingga bentuk ijma' ini tidak terjadi
perdebatan antara para mujtahid.25 Ijma' ini bisa disebut juga ima' bayani atau
ijma' qathi'. Dikarenakan dinamakan dengan ijma' qathi' maka ijma' ini
ditetapkan sebagai dalil yang sah untuk penetapan hukum syariat islam.
2. Ijma’ Sukuti, secara bahasa berarti diam. sebuah pendapat dimana disebut
sebagai ijma' sukuti jika seorang mujtahid mengungkapkan pendapat mereka
dengan jelas dan jelas tentang hukum atau peristiwa melalui perkataan dan
perbuatan, sedangkan mujtahid yang hidup pada semasanya mengetahui
pendapat tersebut namun dia diam saja atau tidak berkomentar apa-apa. Ijma'
sukuti ini bersifat dzanni yang berarti tidak mengikat dan hukumnya masih
diragukan. Jadi tidak menjadi kendala bagi mujtahid yang lain untuk

22
Latif, Abdul. "FIQH, USHUL FIQH DAN KAIDAH FIQH." Ushul Fiqih dan Kaedah
Ekonomi Syariah (2022): 1. Hlm 55.
23
Asrowi, Asrowi. "Ijma dan Qiyas dalam Hukum Islam." Aksioma Al-Musaqoh: Journal of
Islamic Economics and Business Studies 1.1 (2018). Hlm 33-34.
24
Darmawan, Darmawan. "Ushul Fiqh." (2020). Hlm 77.
25
Candra, Aldi, et al. "Ushul Fiqh Kontemporer Koridor Dalam Memahami Konstruksi
Hukum Islam." Pamekasan: Duta Media Publishing (2020). Hlm 84.

12
26
mengeluarkan pendapat yang berbeda setelah ijma' diputuskan. kehujjahan
ijma’ sukuti untuk dijadikan sumber hukum terdapat banyak perbedaan antar
ulama, seperti imam syafi’i menganggap ijma’ sukuti tidak bisa disebut
sebagai ijma’ sehigga tidak bisa dijadikan sumber hukum, dikalangan pengikut
imam Abu Hanifah menganggap ijma’ sukuti sebagai dalil qath’i yang harus
diikuti, sedangkan sebagaian kalangan pengikut Hanafiyah dan Syafiiyah
menganggap ijma’ sukuti tidak bisa disebut ijma’ lebih teptnya disebut dalil
dzanni. 27Menurut imam Al-Ghazali ijma’ sukuti tidak bisa disebut ijma’. 28
- Rukun-Rukun Ijma’
Ada 4 yaitu:
1. Yang melakukan mujtahid harus lebih dari satu orang mujtahid jika hanya ada
satu orang mejtahid yang berpendapat maka bukan disebut sebagai ijma’.
2. Semua mujtahid dari seluruh dunia sepakat atas suatu hukum yang ditetapkan
jika yang sepakat hanya dari kalangan tertentu saja tidak semua kalangan
maka hukum yang disepakati tidak disebut sebagai ijma’ karena tidak
memennuhi syarat ijma’ yaitu ijma’ harus melalui kesepakatan seluruh
mujtahid pada masanya.
3. Masing-masing dari mujtahid mengungkapkan pendapatnya secara terang-
terangan secara lisan mengemukakan fatwa-fatwa tentang suatu hukum.
4. Lalu kesepakatan didapat dari semua mujtahid tanpa terkecuali. Jika
kesepakatan didapatkan hanya dari beberapa mayoritas ulama maka
kesepakatan itu tidak bisa dijadikan ijma’ yang bersifat qath’i. 29
- Syarat-Syarat Ijma’
1. Ijma’ yang disepakati tidak boleh bertentangan dengan sumber hukum utama
islam yaitu Al-Quran dan Hadist. Ijma’ harus selalu disandarkan dengan dalil-
dalil syar’isebagai landasan pengambilan kesepakatan.
2. Ijma’ dilakukan dari semua imam mujtahid yang hidup pada satu masa.

26
Wiguna, Satria. "FIQIH IBADAH." (2021). Hlm 7.
27
Syaripudin, Ahmad, and M. Kasim. "Konsep Dasar Ijmak sebagai Sumber Hukum
Islam." BUSTANUL FUQAHA: Jurnal Bidang Hukum Islam 1.1 (2020): 28-43. Hlm 40.
28
Latif, Abdul. "FIQH, USHUL FIQH DAN KAIDAH FIQH." Ushul Fiqih dan Kaedah
Ekonomi Syariah (2022): 1. Hlm 57.
29
Haries, DR H. Akhmad, M. S. I. S AG, and H. S. Maisyarah Rahmi. Ushul Fikih: Kajian
Komprehensif Teori, Sumber Hukum Dan Metode Istinbath Hukum. Bening Media Publishing, 2021.
Hlm 83-84.

13
3. Kesepakatan hanya bisa dilakukan oleh imam mujtahid bukan dari kalangan
orang yang bukan imam mujtahid. Kebulatan pendapat yang bukan ulama
mujtahid tidak disebut ijma‟ ulama,
4. Para imam mujtahid sepakat untuk membahas suatu permasalahan hukum
yang muncul secara bersama-sama. Kesepakatan pendapat harus nyata dan
semua mujtahid setuju. 30
- Kedudukan Ijma’ Sebagai Hujjah dan Dalil Hukum
Jumhur ulama ushul fiqih berpendapat jika rukun ijma’ sudah terpenuhi maka
hukum yang dihasilkan dari kesepakatan itu menjadi hujjah qath’i (pasti). Ijma’
ini menjadi wajib untuk ditaati, jika diingkari maka bahkan bisa dianggap kafir.
Ijma’ ini menjadi hukum syara’ yang qath’i dan menempati urutan ketiga sebagai
dalil syara’ setelah Al-Quran dn Hadist. Alasan para jumhur ulama ushul fiqih
menetapkan ijma’ sebagai dalil syara’ yang ketiga adalah karena didasarkan pada
QS. An-Nisa:59 yang berbunyi:
‫الرسُ ْو َل َواُو ِلى ْاْلَ ْم ِر مِ ْنكُ ْم‬ َ ٰ ‫يٰٓاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ا َمنُ ْٰٓوا اَطِ ْيعُوا‬
َّ ‫ّللا َواَطِ ْيعُوا‬
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul
dan uli al-amri di antara kamu.”
Menurut jumhur ulama ushul fiqih lafal ulil amri disini maksudnya adalah
para mujtahid dan pemberi fatwa yang menduduki sebagai pemimpin masyarakat.
31
Sedangkan ibnu abbas menafsirkan ulil amri sebagai para ulama.
4. Qiyas
- Pengertian Qiyas
Secara etimologi, qiyas merupakan bentuk masdar dari kata qâsa- yaqîsu, yang
artinya ukuran, mengetahui ukuran sesuatu. 32 Dalam artian lain qiyas yaitu
menetapkan bagi sesuatu dengan apa yang semisalnya. 33 Secara bahasa juga dapat
diartikan “menyamakan”. Secara terminologi, menurut ulama ushul fiqh, qiyas
berarti menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya kepada kejadian
lain yang ada nashnya, dalam hukum yang telah ditetapkan oleh nash karena

30
Ridwan, Muannif, M. Hasbi Umar, and Abdul Ghafar. "SUMBER-SUMBER HUKUM
ISLAM DAN IMPLEMENTASINYA." Borneo: Journal of Islamic Studies 1.2 (2021): 28-41. Hlm 37.
31
Darmawan, Darmawan. "Ushul Fiqh." (2020). Hlm 79-80.
32
Dinata, Muhd Farabi. "Qiyas Sebagai Metode Penetapan Hukum Islam." Al-Ilmu 5.2
(2020): 168-181. Hlm 170.
33
Azhari, Fathurrahman. "Qiyas Sebuah Metode Penggalian Hukum Islam." Syariah: Jurnal
Hukum Dan Pemikiran 13.1 (2014). Hlm 1.

14
adanya kesamaan dua kejadian itu dalam illat hukumnya. (Abdul Wahab Khallaf,
2002: 74).34
Secara istilah terdapat banyak pendapat dari para ulama ahli ushul, redaksi
katanya saja yang beda namun pada dasarnya maknanya sama yaitu:
1. Menurut imam Al-Ghazali: “ Qiyas adalah Membawa hukum yang belum
diketahui kepada hukum yang sudah diketahui dalam rangka menetapkan
hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya,
disebabkan sesuatu yang menyatukan keduanya, baik hokum maupun
sifat.”
2. Menurut Al-Amidi, qiyas adalah: “Suatu Ibarat dari mempersamakan ‘illat
yang ada pada furu’ dengan ‘illat yang ada pada asal yang di istinbatkan
dari hukum asal.” 35
3. Syaikh Muhammad al-Khudari Beik menyebutkan Qiyas adalah
memberlakukan ketentuan hukum yang ada pada pokok (asal) kepada
cabang (persoalan baru yang tidak disebutkan nash-nya) karena adanya
pertautan illat keduanya. 36
Dari beberapa definisi diatas maka dapat disimpulkan qiyas adalah suatu upaya
para ulama menyamakan sesuatu yang belum ada hukumnya dengan seseuatu yang
sudah ada hukumnya atas dasar karena ada kesamaan alasan antara keduanya untuk
menentukan suatu hukum pada sesuatu yang baru. Qiyas hanya dapat dilakukan
apabila telah diyakini bahwa benar-benar tidak ada satupun nash yang dapat
dijadikan dasar untuk menetapkan hukum. 37
- Kehujjahan Qiyas dan Dasar Keabsahan Qiyas Sebagai Landasan Hukum
Banyak ulama berpendapat bahwa qiyas itu menjadi hujjah syariah (sumber
hukum syariah) untuk hukum amal dan tindakan manusia, dan berada di tingkat
keempat dari dali-dalil syara' yaitu setelahnya ijma'. 38 Keabsahan qiyas sebagai
landasan hukum, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul fiqh.
Sebagian besar ulama ushul fiqh sepakat bahwa qiyas dapat digunakan sebagai

34
Muslimin, Edy. "QIYAS SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM." Mamba'ul'Ulum (2019):
242-250. Hlm 244.
35
Naya, Farid. "Membincang Qiyas Sebagai Metode Penetapan Hukum Islam." Jurnal
Syariah dan ekonomi Islam 11 (2017): 175-177. Hlm 172.
36
Asrowi, Asrowi. "Ijma dan Qiyas dalam Hukum Islam." Aksioma Al-Musaqoh: Journal of
Islamic Economics and Business Studies 1.1 (2018). Hlm 36.
37
Dinata, Muhd Farabi. "Qiyas Sebagai Metode Penetapan Hukum Islam." Al-Ilmu 5.2
(2020): 168-181. Hlm 173.
38
Darmawan, Darmawan. "Ushul Fiqh." (2020). Hlm84.

15
landasan penegakan hukum Islam dan sekaligus sebagai dalil praktis hukum
Islam. Sedangkan menurut pendapat Nidzamiyah, Zahiriyah, dan sebagian
madzhab Syi'ah, berkata sebaliknya qiyas tidak dapat dijadikan landasan hukum. 39
Alasan para jumhur ulama menetapkan qiyas sebagai dalil hukum syara’ yang
keempat adalah didasari dari QS An-Nisa:59 dan pada hadist yang berisi dialog
antara Rosulullah SAW dengan Muadz bin Jabal yang artinya:
“ Bagaimanakah kamu memutusi perkara bila dikemukakan masalah kepadamu?
Jawab Muadz, aku memutuskan dengan Kitabullah. Maka jika masalah itu tidak
terdapat di dalam kitab Allah? Tanya Rasul selanjutnya. Maka dengan Sunnah
Rasulullah SAW, jawabannya. Kemudian Rasul menanyakannya lebih lanjut. Jika
masalah itu tidak terdapat dalam sunnah Rasulullah? Aku berijtiha>d dengan
pendapatku dan berusaha dengan segenap tenaga, katanya. Lalu Muadz
meneruskan ceritanya, ujarnya: Rasulullah SAW lalu menepuk dadanya dan
seraya bersabda: Segala puji milik Allah yang telah membimbing utusan
Rasulullah karena telah membuat keridhoan Allah dan Rasul-Nya.”40
Hadis di atas menurut mayoritas ulama ushul fiqh mengandung pengakuan
Rasulullah terhadap qiyas, karena praktik qiyas adalah satu macam dari ijtihad
yang mendapatkan pengakuan dari Rasulullah saw dalam dialog tersebut.41
- Rukun-Rukun Qiyas
Rukun merupakan elemen terpenting yang harus dipenuhi karena peentu
sesuatu hal itu sah atau tidaknya. Salah satunya pada qiyas, didalam qiyas ada
rukun-rukun yang harus dipenuhi agar qiyas dapat di terapkan. Rukun-rukun qiyas
ada 4 yaitu:
1. Al-ashl secara bahasa merupakan lafaẓ musytarok yang bisa diartikan
sebagai asas, dasar, sumber, dan pangkal. Aṣl sering disebut juga
musyabbah bih (‫ ) مشبّو بَو‬atau yang diserupai; maqīs „alaih (‫عليو‬
َ ‫ ) مقيس‬atau
tempat mengqiyaskan. yang berarti ashl merupakan tempat atau kejadian
atau kasus yang dijadikan sebagai ukuran, pembanding, atau disamai. 42

39
Naya, Farid. "Membincang Qiyas Sebagai Metode Penetapan Hukum Islam." Jurnal
Syariah dan ekonomi Islam 11 (2017): 175-177. Hlm 175.
40
Winarto, Ashif Jauhar, and Muhammad Lathoif Ghozali. "Analisis pada Fluktuasi Harga
Paket Data Internet di Platform Digital Dana dan LinkAja dengan Metode Qiyas." Jurnal Hukum
Ekonomi Syariah 6.01 (2022): 96-106. Hlm 96.
41
Naya, Farid. "Membincang Qiyas Sebagai Metode Penetapan Hukum Islam." Jurnal
Syariah dan ekonomi Islam 11 (2017): 175-177. Hlm 176.
42
Fuad, Ahmad Masfuful. "Qiyas Sebagai Salah Satu Metode Istinbāṭ Al-
Ḥukm." Mazahib 15.1 (2016): 42-60. Hlm 47.

16
Secara terminologi suatu peristiwa yang sudah ada nashnya dalam Al-
Quran, Hadist, maupun Ijma, yang dijadikan tempat atau dasar untuk
mengqiyaskan untuk diambil persamaannya. 43 syarat dari rukun Al-Ashl
ini adalah hukum asal tidak mansukh atau tidak dihapus, hukum yang
digunakan asalnya adalah hukum syara’ yang jelas dan mutlak, hukum asal
yang digunakan bukan hukum yang dikecualikan. 44
2. Al-far’u, Secara etimologis, far’ berarti cabang. Dalam konteks qiyas, far’
diartikan sebagai kasus yang ingin diserupakan kepada aṣl karena tidak
45
adanya nas yang secara jelas menyebutkan hukumnya, maka dari itu
Far’u akan disamakan hukumnya dengan ashl. Far’u dapat disebut juga
maqis (yang dianalogikan) dan musyabbah (yang diserupakan). Syarat
far’u yaitu tidak pernah ada nash lain yang telah menentukan humunya,
ada kesamaan illat antara al-ashl dan al-far’u, tidak terdapat dalam dalil
qath’i, hukum yang terdapat pada al-ashl sama dengan hukum yang ada di
al-far’u. 46
3. hukum ashal adalah hukum syara’yang terdapat pada ashal yang hendak
ditetapkan pada far’u dengan jalan qiyas. 47 syarat hukum ashal ini yaitu,
hukum tersebut adalah hukum syara’ bukan hukum yang lainnya, illah
hukumnya dapat ditemukan dan dipahami, hukum ashal tetapberlaku
meskipun rosulullah telah wafat jadi hukum yang tidak dimansukh.
4. Illah’, Menurut arti bahasa, illat diartikan sebagai hujah atau alasan.
Sedang secara terminologis, illat adalah sifat yang menjadi landasan
hukum aṣhal atau suatu sifat yang terdapat pada ashal. 48 Suatu sebab yang
menghubungkan antara pokok dan cabang atau suatu sifat yang terdapat
pada ashal. Syarat illat yang harus dipenuhi yaitu, illat nya bersifat jelas
dan nyata, illat harus mengandung hikmah yang sesuai dengan hukum dan
tujuan hukum, illat dapat diukur dan jelas batasnya, suatu sifat yang

43
Asrowi, Asrowi. "Ijma dan Qiyas dalam Hukum Islam." Aksioma Al-Musaqoh: Journal of
Islamic Economics and Business Studies 1.1 (2018). Hlm 39.
44
Darmawan, Darmawan. "Ushul Fiqh." (2020). Hlm 89.
45
Fuad, Ahmad Masfuful. "Qiyas Sebagai Salah Satu Metode Istinbāṭ Al-
Ḥukm." Mazahib 15.1 (2016): 42-60. Hlm 47.
46
Darmawan, Darmawan. "Ushul Fiqh." (2020). Hlm89.
47
Naya, Farid. "Membincang Qiyas Sebagai Metode Penetapan Hukum Islam." Jurnal
Syariah dan ekonomi Islam 11 (2017): 175-177. Hlm 178.
48
Asrowi, Asrowi. "Ijma dan Qiyas dalam Hukum Islam." Aksioma Al-Musaqoh: Journal of
Islamic Economics and Business Studies 1.1 (2018). Hlm 40.

17
terdapat bukan hanya pada peristiwa yang ada nashnya, tapi juga harus ada
pada peristiwa-peristiwa lain yang hendak ditetapkan hukumnya.49
- Bentuk-Bentuk Qiyas
a. Dilihat dari segi kekuatan `illat yang terdapat pada furu` qiyas dibagi menjadi
tiga yaitu:
1. Qiyas aulawi, yaitu qiyas yang `illat-nya mewajibkan adanya hukum. Dan
hukum yang disamakan (cabang) mempunyai kekuatan hukum yang lebih
utama dari tempat menyamakannya (ashal) atau dalam artian cabangnya
membutuhkan kekuatan hukum yang lebih besar karena illatnya lebih
besar dari pada illat ashal. Seperti mengqiyaskan hukum haram memukul
kedua orang tua dan mengucapkan kata-kata yang menyakitkan kepada
hukum mengatakan “ah” yang terdapat dalam surat al-Isra’: 23
2. Qiyas musawi, yaitu qiyas yang `illat-nya mewajibkan adanya hukum yang
sama antara hukum yang ada pada ashal dan hukum yang ada pada furu`
(cabang).atau dalam artian illat yang ada pada ashal dan furu’ sama
bobotnya. Seperti: mengqiyaskan antara membakar harta anak yati sebagai
illat furu’ dengan larangan memakanharta anak yatim pada QS An-Nisa:10
3. Qiyas al-Adna, yaitu qiyas dimana illatnya yang terdapat pada cabang
lebih rendah bobotnya dibandingkan dengan illat yang terdapat dalam
ashal jadi lebih ringan illatnya pada furu’. Seperti: sifat memabukkan yang
terdapat pada minuman keras seperti bir lebih rendah daripada sifat
memabukkan yang terdapat pada khamr yang telah diharamkan oleh Allah
pada QS Al-Maidah:90. 50
b. Dilihat dari segi kejelasan `illat hukum. Qiyas dibagi menjadi dua yaitu:
1. Qiyas Jali, yaitu qiyas berdasarkan illat yang ditegaskan dalam Al-Qur'an
dan as-Sunnah, atau tidak secara eksplisit dinyatakan dalam salah satu
sumber ini, tetapi berdasarkan penelitian, diduga kuat tidak ada illat.
Misalnya, mengqiyaskan memukul orang tua terhadap larangan
mengatakan "ah".
2. Qiyas Khafi, yaitu qiyas yang illatnya tidak disebutkan di dalam nash
secara nyata, sehingga untuk menemukan illat hukumnya memerlukan

49
Darmawan, Darmawan. "Ushul Fiqh." (2020). Hlm 90-91.
50
Dinata, Muhd Farabi. "Qiyas Sebagai Metode Penetapan Hukum Islam." Al-Ilmu 5.2
(2020): 168-181. Hlm 178-179.

18
ijtihad. Seperti: mengqiyaskan pembunuhan menggunakan benda tumpul
dengan pembunuhan menggunakan benda tajam ada persamaan illat yaitu
sama-sama ada unsur kesengajaan yaitu niat membunuh. 51

51
Naya, Farid. "Membincang Qiyas Sebagai Metode Penetapan Hukum Islam." Jurnal
Syariah dan ekonomi Islam 11 (2017): 175-177. Hlm 181.

19
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sumber hukum islam adalah segala hal yang dijadikan dasar, acuan, pedoman
syariat islam. Sumber-sumber fiqih yang disepakati adalah bahwa semua ulama dari
berbagai mazhab sepakat untuk menggunakan sumber fiqih itu dalam melakukan
istimbath atau menarik kesimpulan hukum. Sumber hukum Muttafaq adalah sumber
hukum Islam yang telah disepakati oleh seluruh umat Islam. Sumber hukum islam
yang muttafaq diantaranya al-qur’an, hadis, ijma’, dan qiyas. Allah selalu
memerintahkan hambanya untuk melakukan setiap ibadah itu dengan didasari oleh
Al-Quran dan Hadist. Kedua dalil syara’ ini adalah merupakan wadah hukum syara’
yang paling utama. Seperti yang difirmankan oleh Allah dalam QS An-Nisa:59.
Macam-Macam Sumber Hukum Islam Muttafaq ada 4 yaitu Al-Quran, Hadist,
Ijma', Qiyas., Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT yang diturunkan pada Nabi
Muhammad SAW, dimulai dari surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan surah An-Nas.
Al-Quran sebagai sumber hukum islam yang pertama. Pokok-pokok ajaran Al-Quran
ad 5 yaitu akidah, ibadah, akhlak, ilmu pengetahuan, sejarah.
Sunnah adalah segala perkataan, perbuatan, taqrir, sifat fisik, atau akhlaq yang
ditinggalkan Rasul, serta perilaku kehidupan baik sebelum diangkat menjadi Rasul
atau setelah kerasulan beliau. Sunnah sebagai sumber hukum islam yang kedua.
Sunnah dibagi menjadi 4 yaitu sunnah qauliyah, sunnah fi'liyah, sunnah taqririyah,
sunnah hammiyah. posisi hadits terhadap al-Qur’an berfungsi sebagai penjelas,
penafsir, dan perinci terhadap hal-hal yang masih bersifat global. Namun demikian,
hadits juga bisa membentuk hukum tersendiri mengenai hal yang tidak ada dalam al-
Qur’an.
Ijma' adalah Kesepakatan pendapat semua mujtahid pada suatu masa sesudah
Rasulullah wafat terhadap suatu hukum syara' yang amali. Ijma' muncul karena
banyaknya problematika baru yang memperlukan hukum namun hukumnya tidak
ditemukan dalam Al-Quran dan Hadist. Ijma' menjadi sumber hukum islam yang
ketiga. Bentuk-bentuk ijma' dibagi menjadi dua yaitu ijma' sharih dan ijma'sukuti.
Melakukan ijma' harus ada Rukun dan syarat yang harus dipenuhi oleh ahli ijtihad
agar ijma' sah menjadi dalil yang qath'i.
Qiyas berarti menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya kepada
kejadian lain yang ada nashnya, dalam hukum yang telah ditetapkan oleh nash karena

20
adanya kesamaan dua kejadian itu dalam illat hukumnya. Qiyas menjadi sumber
hukum islam yang keempat setelah ijma'. Rukun-rukun qiyas yaitu ashl, furu', hukum
ashl, dan illat. sedangkan qiyas dari segi kekuatan illat dari furu' nya dibagi menjadi 3
yaitu qiyas aulawi, qiyas musawi, qiyas adna. Dilihat dari segi kejelasan illatnya
dibagi menjadi 2 yaitu qiyas jali, dan qiyas khafi
B. Saran
Dalam penulisan makalah ini, penulis berharap bagi pembaca, penulis menyadari
bahwa masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan baik dari bentuk maupun
isinya. Maka dari itu, Penulis menyarankan kepada pembaca agar ikut peduli dalam
pembuatan makalah ini, yaitu dengan memberi saran dan kritik demi perbaikan
makalah selanjutnya. Dan semoga dengan adanya makalah ini, dapat bermanfaat bagi
para pembaca dan dapat menambah cakrawala ilmu pengetahuan yang lebih luas.

21
DAFTAR PUSTAKA

Asrowi, A. (2018). Ijma dan Qiyas dalam Hukum Islam. Aksioma Al-Musaqoh:
Journal of Islamic Economics and Business Studies, 1(1).

Azhari, F. (2014). Qiyas Sebuah Metode Penggalian Hukum Islam. Syariah: Jurnal
Hukum Dan Pemikiran, 13(1).

Candra, A., Wahdi, A., Fathullah, H. S., Shalihah, I., & Misnatun, S. L. H. (2020).
Ushul Fiqh Kontemporer Koridor Dalam Memahami Konstruksi Hukum
Islam. Pamekasan: Duta Media Publishing.

Darmawan, D. (2020). Ushul Fiqh.

Dinata, M. F. (2020). Qiyas Sebagai Metode Penetapan Hukum Islam. Al-Ilmu, 5(2),
168-181.

Fuad, A. M. (2016). Qiyas Sebagai Salah Satu Metode Istinbāṭ Al-


Ḥukm. Mazahib, 15(1), 42-60.

Haries, D. H. A., S AG, M. S. I., & Maisyarah Rahmi, H. S. (2021). Ushul Fikih:
Kajian Komprehensif Teori, Sumber Hukum Dan Metode Istinbath Hukum.
Bening Media Publishing.

http://suduthukum.com/

https://konsultasisyariah.com/28530-makna-hadis-muttafaq-alaih.html

Latif, A. (2022). FIQH, USHUL FIQH DAN KAIDAH FIQH. Ushul Fiqih dan
Kaedah Ekonomi Syariah, 1.

Muhtadi, Ahmad, (2020) “ Al-Qur’an dan Hadist Sebagai Sumber Huku


Islam.Tulunggagung: SATU Press.

Muslimin, E. (2019). QIYAS SEBAGAI SUMBER HUKUM


ISLAM. Mamba'ul'Ulum, 242-250.

Naya, F. (2017). Membincang Qiyas Sebagai Metode Penetapan Hukum Islam. Jurnal
Syariah dan ekonomi Islam, 11, 175-177.

22
Ridwan, M., Umar, M. H., & Ghafar, A. (2021). SUMBER-SUMBER HUKUM
ISLAM DAN IMPLEMENTASINYA. Borneo: Journal of Islamic
Studies, 1(2), 28-41.

Syafe’I Rachmat, Al-Hadist, Aqidah, Akhlak, Social, dan Hukum (Bandung: Pustak
Setia, 2000).

Syaripudin, A., & Kasim, M. (2020). Konsep Dasar Ijmak sebagai Sumber Hukum
Islam. BUSTANUL FUQAHA: Jurnal Bidang Hukum Islam, 1(1), 28-43.

Wiguna, S. (2021). FIQIH IBADAH.

Winarto, A. J., & Ghozali, M. L. (2022). Analisis pada Fluktuasi Harga Paket Data
Internet di Platform Digital Dana dan LinkAja dengan Metode
Qiyas. Jurnal Hukum Ekonomi Syariah, 6(01), 96-106.

23

Anda mungkin juga menyukai