Anda di halaman 1dari 32

TUGAS MAKALAH

SUMBER - SUMBER HUKUM ISLAM FIQH YANG


MUTTAFAQ

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Fiqih

Dosen Pengampu : Mubasyiroh, S.S., M.Pd.I

Disusun oleh :

1. Rohmatul Ilmiyah (2206021100)

2. Zilvia Inayatul Ma’la (220602110049)


3. Putri Eka Apriliani (220602110123)

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK
IBRAHIM MALANG
2023
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur atas kehadirat Allah SWT. yang memberikan rahmat,
hidayah serta rahmat-Nya sehingga dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan
tepat waktu. Makalah ini ditulis dengan judul Sumber - sumber dan dalil-dalil fiqh
yang muttafaq.

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas yang diberikan
oleh dosen mata kuliah Studi Fiqih, Ibu Mubasyiroh, S.S., M.Pd.I . Tidak hanya itu,
makalah ini juga memiliki tujuan untuk menambah pengetahuan tentang sumber –
sumber hukum fiqih dalam Islam.

Terima kasih kami haturkan kepada semua pihak yang telah memberikan
dukungan dan pengetahuan sehingga makalah ini bisa selesai tepat waktu. Tugas
ini tentunya tidak jauh dari istilah sempurna. Oleh sebab itu, kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari seluruh pembaca, agar
penulis menjadi lebih baik kedepannya.

Malang, 4 September 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

BAB I ...................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN .................................................................................................. 4
1.1. Latar Belakang .......................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 5
1.3 Tujuan .......................................................................................................... 5
BAB II .................................................................................................................... 6
PEMBAHASAN .................................................................................................... 6
2.1 Sumber Hukum yang Muttafaq ................................................................ 6
2.2 Sumber dan Dalil Hukum Fiqih................................................................ 7
1.2.1 Al-Qur’an .............................................................................................. 7
2.2.2 Hadits ................................................................................................... 11
2.2.3 Ijma’ ..................................................................................................... 18
2.2.4 Qiyas..................................................................................................... 22
BAB III ................................................................................................................. 30
PENUTUP ............................................................................................................ 30
A. Simpulan ...................................................................................................... 30
B. Saran ............................................................................................................ 30
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 31

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sumber hukum Islam merupakan hal yang paling mendasar dalam proses
penetapan sebuah hukum1. Secara terminologi Al-Quran dan sunnah, Fiqih adalah
pengetahuan yang luas dan mendalam mengenai perintah-perintah dan realitas
Islam dan tidak memeiliki relevansi khusus dengan bagian ilmu tertentu. Akan
tetapi, dalam terminology ulama, istilah fiqih secara khusus diterapkan pada
pemahaman yang mendalam atas hukum-hukum Islam. Allah berfirman dalam Al-
Qur’an surat Huud ayat 91 yang artinya :

“Mereka berkata: “Hai Syu’aib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang
kamu katakan itu dan Sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang yang
lemah di antara Kami; kalau tidaklah Karena keluargamu tentulah kami Telah
merajam kamu, sedang kamupun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi kami”.

Dari ayat diatas, dapat dipahami bahwa arti fiqih secara leksikal adalah
pemahaman, sedangkan objek yang dipahami bersifat umum, bias berupa kalimat
yang digunakan dalam komunikasi atau dialog, berupa ciptaan Allah, berupa tubuh
manusia dan fungsinya, dan sebagainya.

Sumber hukum Islam dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu sumber
hukum Islam yang muttafaq (disepakati) dan sumber hukum Islam yang mukhtalaf
(diperselisihkan)2. Sumber hukum yang muttafaq terdiri dari Al-Qur’an, hadits,
ijma’, dan qiyas. Makalah ini ditulis dengan tujuan untuk mengetahui sumber-
sumber dan dalil-dalil hukum fiqih yang muttafaq.

1
Sulistiani, Siska Lis (Maret, 2018), PERBANDINGAN SUMBER HUKUM ISLAM. TAHKIM,
Jurnal Peradaban dan Hukum Islam. 1 (1), 102-116
2
Wiguna, S. (2021). Fiqih Ibadah.

4
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan sumber hukum muttafaq?
2. Apa saja sumber dan dalil hukum fiqih?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari sumber hukum yang muttafaq.
2. Untuk mengetahui sumber dan dalil hukum fiqih.

5
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Sumber Hukum yang Muttafaq

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia sumber adalah asal sesuatu. Pada
hakekatnya yang dimaksud dengan sumber hukum adalah tempat kita dapat
menemukan atau menggali hukumnya. Sumber hukum Islam adalah asal (tempat
pengambilan) hukum Islam. Sumber hukum Islam disebut juga dengan istilah dalil
hukum Islam atau pokok hukum Islam atau dasar hukum Islam. Sumber hukum
Islam disebut juga dengan istilah dalil hukum Islam atau pokok hukum Islam atau
dasar hukum Islam. Kata ‘sumber’ dalam hukum fiqih adalah terjemah dari lafadz
‫ مصدر‬- ‫ مصادر‬lafadz tersebut terdapat dalam sebagian literatur kontemporer sebagai
ganti dari sebutan dalil (‫ )الدليل‬atau lengkapnya adalah al adillah asy-syar’iyyah
(‫)األدلة الشرعية‬. Sedangkan dalam literatur klasik, biasanya yang digunakan adalah
kata dalil atau al adillah asy-syar’iyyah, dan tidak pernah kata mashadir al-ahkam
asy-syar’iyyah (‫)مصادر األحكام الشرعية‬. Mereka yang menggunakan kata mashadir
sebagai ganti al-adillah beranggapan bahwa kedua kata tersebut memiliki arti yang
sama3.

Sumber hukum dalam Islam, ada yang disepakati (muttafaq) para ulama dan
ada yang masih dipersilisihkan (mukhtalaf).Adapun sumber hukum yang disepakati
(muttafaq) oleh jumhur ulama (Mayoritas Ulama) adalah Al Qur’an, Hadits, Ijma’
dan Qiyas. Sedangkan sumber hukum yang masih diperselisihkan (mukhtalaf) yaitu
seperti istihsan, maslahah mursalah, urf, istishab, sadduz-dzari'ah, syar'u man
qablana, dan qaulusshahabi4. Para jumhur Ulama juga sepakat dengan urutan dari
dalil atau sumber hukum Islam yang muttafaq yaitu (Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan
Qiyas), namun hal tersebut berbeda dari kalangan Mu’tazilah yang menempatkan
akal dalam urutan pertama sebelum Al-Qur’an, sunnah, ijma dan qiyas5.

3
Syarifuddin, A. (2011). Ushul Fiqih Jilid 1. Jakarta: Kencana.
4
Epistimilogi Hukum Islam Kontemporer. Yogyakarta: CV Pustaka Ilmu Group, 2019), 16
5
Khairudin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum
Perkawinan di Dunia Muslim (Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2013), 174-175

6
2.2 Sumber dan Dalil Hukum Fiqih
Dalam menentukan suatu hukum dalam Islam harus memiliki landasan atau
sumber. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 59 yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri diantara kamu. Dan jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalilah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.

Ayat diatas menjelaskan bahwa setiap hukum yang dilakukan oleh manusia
harus memiliki sumber atau dalil yang dapat digunakan sebagai acuan dalam
melakukan hukum tersebut. Dan kita sebagai umat Islam diwajibkan untuk
mengamalkan perintah yang terkandung dalam dua sumber hukum Islam yang
utama yaitu, Al-Qur’an dan Haditst. Apabila didalam keduanya belum ditemukan
secara jelas tentang masalah terbaru, maka Al-Qur’an dan Haditst memerintahkan
para ulama untuk mencurahkan pemikirannya dalam menetapkan hukum, dan hasil
kesepakatannya yang dinamakan ijma’. Ijma’ dapat digunakan sebagai sumber
hukum Islam yang ketiga.

1.2.1 Al-Qur’an
A. Pengertian Al-Qur’an

Sumber-sumber hukum Islam merupakan segala sesuatu yang melahirkan


ketentuan hukum untuk mengatur umat Islam. Para ulama telah menyepakati
bahwa Al-Qur’an sebagai sumber hukum utama bagi umat Islam, hadits/Sunnah,
ijma’. Al-Qur’an merupakan wahyu atau kalamullah yang sudah terjamin
keontentikannya dan juga terhindar dari intervensi tangan manusia. Dengan
penyucian tersebut meneguhkan Al-Qur’an sebagai sumber hukum utama yang
memiliki sifat dinamis, benar, dan mutlak. Nabi Muhammad SAW menjelaskan
secara rinci hal-hal yang masih bersifat umum di dalam Al-Qur’an baik secara
lisan maupun perbuatan yang nyata dengan penuh ketaatan6.

6
Sulistiani, Siska Lis (Maret, 2018), PERBANDINGAN SUMBER HUKUM ISLAM. TAHKIM,
Jurnal Peradaban dan Hukum Islam. 1 (1), 102-116

7
Al-Qur’an secara bahasa berasal dari kata qara’a – yaqra’u – qira’atan –
qur’anan, yaitu sesuatu yang dibaca berulang-ulang atau bacaan. Secara istilah
merupakan Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dari
surat al-Fatihah dan berskhir dengan an-Nas, tertulis di mushaf dan diriwayatkan
secara mutawatir sampai kepada kita serta membacanya sebagai ibadah. Allah
berfirman dalam Al-Qur’an surat Al Baqarah ayat 22 yang artinya:

“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami
wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang
semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu
orang-orang yang benar.”

Ayat diatas menjelaskan bahwa Al-Quran merupakan sumber yang sah


dan tidak mempunyai keraguan. Turunnya al-Qur’an turun secara periodik atau
bertahap tujuannya agar memperbaiki umat manusia, diantaranya sebagai
penjelas, kabar gembira, seruan, sanggahan terhadap musyrikin, teguran dan
juga ancaman7. Akan tetapi, terdapat perbedaan pendapat dari berbagai ulama’
tentang proses turunnya al-Qur’an, ada yang berpendapat bahwa al-Qur’an turun
pada malam hari (lailatu al-qadar), ada pula pendapat yang mengatakan
bahwa al-Qur’an turun melalui tiga proses tahapan. Tahap pertama diturunkan
di Lauh al-Mahfudz, kemudian diturunkan ke langit pertama di Bait al-Izzah,
dan terakhir diturunkan kepada Nabi Muhammad secara berangsur-angsur sesuai
kebutuhan serta peristiwa yang sedang terjadi atau dihadapi oleh Nabi SAW.

Wahyu yang termuat dalam al-Qur’an, menetapkan norma dan konsep dasar
hukum Islam yang sekaligus merombak norma atau aturan yang sudah menjadi
tradisi di tengah-tengah masyarakat apabila tidak sesuai. Walaupun demikian,
hukum Islam juga mengakomodasi berbagai tradisi yang tidak berlawanan
dengan norma-norma ketentuan dalam wahyu Ilahi tersebut.

B. Kandungan Hukum dalam Al-Quran

Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam dengan mengindikasi bahwa


agama Islam menghendaki agar sifat-sifat yang termaktub dalam ajaran dan

7
al-Zuhaili, W. (2006). Ushul al-Fiqh al-Islamiy, al-Juz al-Tsaniy. Damaskus: Dar al-Fikr.

8
kenetuan yang mengatur perilaku manusia dalam al-Qur’an diterapkan dalam
waktu dan kondisi yang tepat. Misalnya dikehendaki keutamaan sifat pemaat,
tetapi juga diwaktu tertentu dikehendaki pula ketentuan hukum dilaksanakan
dengan tegas. Sifat pemberi maaf, tidak menggampangkan tindak kejahatan
mudah dilakukan tetapi menghendaki manusia agar bersifat jujur dan berani
menerangkan yang benar. Al-Qur’an menghendaki manusia agar selalu berbuat
baik, sekalipun terhadap orang yang pernah berbuat jahat kepadanya. Al-
Qur’an mengajarkan manusia untuk tetap suci, tetapi tidak dikebiri. Manusia
harus berbakti kepada Allah ta’ala, tetapi tidaklah menjadi rahib atau pertapa.
Manuasia harus berendah hati, tetapi jangan melupakan harga diri. Manusia
dapat menggunakan hal-haknya, tanpa mengganggu hak-hak orang lain.
Manusia diwajibkan mendakwahkan agama dengan jalan hikmah dan
kebijaksanaan.

Pembagian hukum dalam al-Qur’an dibagi menjadi 3 sebagaimana dengan


pernyataan Wahbah Zuhaili dalam kitab Ushul al-Fiqh al-Islamiyi8,
diantaranya:

1. Hukum Akidah (I’tiqadiyah) merupakan sesuatu yang berkaitan dengan


keyakinan manusia kepada Allah SWT, malaikat, kitab, rasul, dan hari
akhir.
2. Hukum Etika (Khuluqiyyah) adalah suatu perilaku yang berkaitan dengan
kepribadian diri, yaitu, kejujuran, rendah hati, dermawan, dan menghindari
sifat-sifat buruk pada dirinya seperti sifat iri, dengki, sombong, dan dusta
3. Hukum Amaliyah (Amaliyah) suatu perilaku sehari-hari yang berhubungan
dengan sesama manusia. Hukum tersebut dibagi menjadi dua, yaitu
muamalah ma’a Allah atau pekerjaan yang berhubungan dengan Allah dan
muamalah ma’a an-Naas atau pekerjaan yang berhubungan langsung
dengan manusia baik secara pribadi maupun kelompok.

C. Dalil Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum

8
al-Zuhaili, W. (2006). Ushul al-Fiqh al-Islamiy, al-Juz al-Tsaniy. Damaskus: Dar al-Fikr.

9
Dalil yang menjadi landasan bahwa Al-Qur'an menajdi sumber hukum
Islam salah satunya adalah surat Al Isra ayat 88:

Artinya: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang
serupa Al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa
dengan Dia, Sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang
lain".

Dan dalil lain di dalam surat Al-Baqarah ayat 23 yang artinya : Dan jika
kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada
hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur’an itu
dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang
benar.

Ditinjau dari segi hukum, isi pokok kandungan Al-Qur’an terbagi


menjadi tiga bagian, yaitu sebagai berikut:

a. Akidah atau Keimanan yaitu keyakinan yang sudah tertanam kuat di dalam
hati. Akidah ini terkait dengan keimanan terhadap hal-hal yang gaib yang
terangkum dalam rukun iman (arkānu mān). Hukum yang mengatur
hubungan rohaniah dengan Allah SWT. dan hal – hal lain yang berkaitan
dengan keimanan. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid atau
Ilmu Kalam.
b. Syari’ah atau Ibadah merupakan hukum yang mengatur tentang tata cara
ibadah baik yang berhubungan langsung dengan al-Khaliq (Pencipta) yaitu
Allah SWT. yang disebut ibadah mahdah, maupun yang berhubungan
dengan sesama makhluknya yang disebut dengan ibadah ghairu mahdah.
Ilmu yang mempelajari tata cara ibadah tersebut dinamakan ilmu fikih.
c. Akhlak atau Tingkah Laku yaitu Al-Qur’an menuntun bagaimana
seharusnya manusia berakhlak atau berperilaku baik berakhlak kepada
Allah SWT, kepada sesama manusia, akhlak terhadap makhluk Allah SWT
atau yang lain, dan hubungan manusia dengan alam semesta. Hukum ini

10
tecermin dalam konsep perbuatan manusia yang tampak, mulai dari gerakan
mulut (ucapan), tangan, dan kaki9

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Al-Qur’an merupakan


Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui perantara malaikat
Jibril dan sebagai salah satu mukjizat dan tanda kenabian Nabi Muhammad SAW,
Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam pertama. Isi pokok kandungan Al-Qur’an
yaitu menjelaskan dan mengatur mengenai hukum aqidah dan keimanan, syariah
atau ibadah serta akhlak maupun budi pekerti.

2.2.2 Hadits
A. Pengertian Hadits

Hadits juga disebut dengan sunnah, namun umumnya kita lebih


sering menggunakannnya dengan kata Hadits. Sunnah secara bahasa berarti
cara yang dibiasakan atau cara yang terpuji. Sedangkan Hadits
memiliki beberapa arti yaitu: dekat, baru, berita. Hadits berasal dari kata
haddatsa yuhadditsu secara bahasa memiliki banyak arti di antaranya:

a. Al-Jadid (yang baru), yang merupakan lawan dari al-qadim (yang lama).
b. Al-Khabar (kabar atau berita)10, seperti sesuatu yang dipindahkan dari
seseorang kepada seseorang, dari penjelasan tersebut maka diambil
perkataan sebagai Hadits rasulullah11
c. Al-Qarib (yang dekat, yang belum lama terjadi), seperti dalam perkataan
“Haditsul ahli bil Islam” yang artinya orang yang baru memeluk agama
Islam12.

Sebagian ulama berpendapat bahwa sebenarnya kata Hadits dan


sunnah memiliki kesamaan dalam hal arti , yaitu sama-sama dari segala berita
yang bersumber dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan maupun
taqrir Nabi. Namun terdapat pendapat lain yang mengatakan bahwa
pemakaian kata Hadits berbeda dengan sunnah. Kata Hadits dipakai untuk

9
Wiguna,. Fiqih Ibadah, 4-5
10
Muhammadibn Mukarram ibn Manzhur, Lisan al- `Arab, (Mesir: Dar al-Misriyyah), juz.II, h.
436-439
11
Muhammad Ajjaj al-Khatib, As Sunnah Qabla Tadwin, (Beirut: Dar al-Fikr, 1971), 20
12
Muhammad Ajjaj al-Khatib, As Sunnah …., 20

11
menunjukkan segala berita dari Nabi secara umum. Sedangkan kata sunnah
biasanya dipakai untuk menyatakan berita yang bersumber dari Nabi yang
berkenaan dengan hukum syara’. Atau dengan kata lain sunnah itu lebih
condong kepada hasil deduksi hukum yang bersumber dari Hadits. Jadi
Hadits adalah media pembawa sunnah. Klaim ini dapat dibuktikan dengan
istilah uswah yang dikatagorikan sebagai sunnah13.

Dijelaskan oleh Prof. Dr Wahbah az-Zuhaili alasan mengapa beliau memilih


kata Sunnah dari pada Khabar atau Atsar. Beliau mengatakan bahwa khabar seperti
Haditst yang artinya sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW atau sahabat atau
selainnya dari perkataan, perbuatan atau ketetapan atau sifat. Sedangkan atsar
merupakan Haditst marfu’ atau mauquf (sebagian Ulama’ Fiqh mengkhususkan
atsar dengan Hadits mauquf). Adapun sunnah adalah perkataan Nabi SAW dan
perbuatannya dan ketetapannya dan sifatnya 14.

B. Macam- macam Hadits

Adapun Sunnah atau Hadits dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:

1) Sunnah Qouliyah

Sunnah Qouliyah ini umumnya dinamakan dengan khabar, atau berita


berupa perkataan Nabi SAW. yang didengar atau disampaikan oleh seorang atau
beberapa orang sahabat kepada yang lain. Misalnya:(La Dharara wala Dhirara)
Artinya: Tidak ada kemadharatan dan tidak pula memadhoratkan. Hadits ini adalah
Sunnah Qauliyah yang memberikan pengaruh kepada umat Islam, agar tidak
membuat kemadharatan bagi dirinya juga bagi orang lain15.

2) Sunnah Fi'liyah

Sunnah Fi’liyah memiliki arti yaitu setiap perbuatan yang dilakukan Nabi
SAW. yang diketahui dan disampaikan oleh sahabat kepada orang lain, misalnya
seperti cara shalat, cara berwudlu yang dipraktekan oleh Nabi SAW. Sunnah fi'liyah

13
Rofiq, A. Z. (2023). Adillatul Ahkam Al Muttafaq Alaih Fi Al-Ihtijaji Biha: Dalil-Dalil/Sumber
Hukum Yang Disepakati Para Ulama. An-Nahdlah, 9(2), 88-116
14
Rofiq, A. Z. (2023). Adillatul Ahkam Al Muttafaq Alaih Fi Al-Ihtijaji Biha: Dalil-Dalil/Sumber
Hukum Yang Disepakati Para Ulama. An-Nahdlah, 9(2), 88-116
15
Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami ḥadiṡ Nabi SAW, (Bandung : Karisma, 1993), 17.

12
ini dibedakan menjadi beberapa bentuk, ada yang harus diikuti oleh umatnya, dan
ada yang tidak harus diikuti, bentuk-bentuk tersebut yaitu:

a. Gharizah atau Nafsu yang terkendalikan oleh keinginan dan gerakan


kemanusiaan contohnya yaitu seperti gerakan badan dan gerakan anggota
badan. Sunnah fi'liyah ini menunjukan tidak ada kewajiban untuk diikuti dan
sifatnya mubah16.
b. Sesuatu yang tidak berhubungan dengan Ibadah, yang oleh sebagian ahli ushul
disebut al-Jibilah.Hal itu lebih pada urusan, keduniaan, budaya dan kebiasaan,
seperti kebiasaan berdiri, duduk, setrategi berperang, cara bercocok tanam dan
lainnya. Pada bagian ini tidak ada perintah untuk diikuti dan diperhatikan,
Jumhur ulama memandangnya kepada jenis Mubah17.
c. Perangai yang membawa kepada tuntunan syara’ menurut kebiasaan yang baik
dan tertentu. Misalnya seperti petunjuk cara makan yang ditunjukan Nabi
SAW, cara minum yang diajarkan Nabi SAW. Hal tersebut lebih dari sekedar
urusan jibilah, tapi sebawah dari urusan al-qurbah/ ibadah18.
d. Sesuatu yang bersifat khusus bagi Nabi SAW. dan tidak boleh diikuti oleh
umatnya, contohnya seperti melakukan shaum wishal, dan beristri lebih dari
empat. Adapun urusan al-Qurbah/ ibadah yang bersifat umum tidak hanya bagi
Nabi SAW. saja, tetapi itu harus diikuti oleh orang muslim, seperti Puasa
Ramadhan, shalat lima waktu, ibadah hajji, dll. Apa yang dilakukan Nabi
SAW. berupa penjelasan terhadap sesuatu yang bersifat mujmal/ samar tidak
jelas. Maka hukumnya sama dengan yang hukum mujmal tersebut. Seperti
perintah shalat dalam Al-qur'an yang mujmal, diperjelas oleh Nabi SAW.
dengan perbuatannya, demikian juga ibadah Haji19.
e. Apa yang dilakukan Nabi SAW. menjelaskan akan kebolehan/ jawaz,
contohnya seperti yang diriwayatkan An-Nawawi tentang wudhu Nabi SAW.

16
M. Fadlil Said An Nadwi, Qowā’idul Asāsīyah Fi ‘Ilmi Musṭālaḥil Ḥadiṡ, (Surabaya :
AlHidayah, 2007), hlm. 12
17
M. Fadlil Said An Nadwi, Qowā’idul Asāsīyah Fi ‘Ilmi Musṭālaḥil Ḥadiṡ, (Surabaya :
AlHidayah, 2007), hlm. 12
18
M. Fadlil Said An Nadwi, Qowā’idul Asāsīyah Fi ‘Ilmi Musṭālaḥil Ḥadiṡ, (Surabaya :
AlHidayah, 2007), hlm. 12
19
M. Fadlil Said An Nadwi, Qowā’idul Asāsīyah Fi ‘Ilmi Musṭālaḥil Ḥadiṡ, (Surabaya :
AlHidayah, 2007), hlm. 12

13
(R.Bukhari) ini menunjukan bahwa orang yang berwudhu boleh satukali-
satukali dan boleh duakali-duakali20.

3) Sunnah Taqririyyah

Sunnah Taqririyah merupakan suatu perbuatan atau ucapan sahabat yang


dilakukan di hadapan Nabi SAW. atau sepengetahuan Nabi , namun Nabi hanya
terdiam (tidak melarang ataupun meng iya-kan), maka sikap diam dan tidak
melarangnya, menunjukan persetujuan nabi. hal ini kerena kalaulah Nabi tidak
setuju, tentu Nabi tidak akan membiarkan Sahabatnya berbuat atau mengatakan
yang salah, krena Nabi itu Ma'sum (terjaga dari berbuat dan menyetujui sahabat
berbuat kemunkaran, karena membiarkan dan menyetujui atas kemunkaran sama
dengan berbuat kemunkaran21.

Berikut merupakan beberapa contoh dari sunnah taqririyah pada masa


sahabat adalah sebagai berikut:

a. Amr ibn al-'Ash, yang tidak mandi junub ia hanya tayamum karena malam
sangat dingin dan hawatir akan sakit. Hal itu disampaikan pada Nabi SAW.
Nabi bertanya kepadanya, Ia menjawab "saya ingat firman Allah SWT
janganlah kamu membunuh diri kamu sendiri". Maka Nabi tertawa dan tidak
berkomentar apapun.
b. Taqrir Nabi SAW. terhadap para wanita yang keluar dari rumah untuk hadir di
masjid dan mendengarkan khutbah-khutbah.
c. Taqrir Nabi terhadap harta para sahabat yang diperoleh ketika mereka musyrik,
misalnya dengan cara riba. Nabi SAW. tidak menyuruh untuk
mengembalikannya, tapi hendaklah bertaubat dari pekerjaannya yang telah
lalu.
d. Taqrir Nabi SAW. terhadap para Lelaki membantu pekerjaan istrinya di rumah,
seperti memasak, mencuci, membuat kue, membereskan rumah dll. dengan
seizinn dan ridhanya.

20
M. Fadlil Said An Nadwi, Qowā’idul Asāsīyah Fi ‘Ilmi Musṭālaḥil Ḥadiṡ, (Surabaya :
AlHidayah, 2007), hlm. 12
21
M. Fadlil Said An Nadwi, Qowā’idul Asāsīyah Fi ‘Ilmi Musṭālaḥil Ḥadiṡ, (Surabaya :
AlHidayah, 2007), 15

14
e. Taqrir Nabi terhadap ingkar janjinya Abu Bakar, yang berjanji saat Ia marah
tidak akan makan. Tentu Nabi tahu jika janjinya ditepati akan membawa
kemadharatan22.

Para Ulama Hanafiyah membagi hadits yang ditinjau dari sisi periwayatannya
yaitu aterdapat hadits: Mutawatir, Masyhur dan Ahad. Sedangkan menurut jumhur,
hadits dibagi menjadi; Hadits Mutawatir dan Ahad, Hadits masyhur masuk pada
pembagian Hadits ahad menurut ulama jumhur. 20

Para Ulama Hanafiyah membagi hadits yang ditinjau dari sisi


periwayatannya yaitu aterdapat hadits: Mutawatir, Masyhur dan Ahad 23. Sedangkan
menurut jumhur ulama, hadits dibagi menjadi; Hadits Mutawatir dan Ahad, Hadits
masyhur masuk pada pembagian Hadits ahad menurut ulama jumhur24.

1) Hadits Mutawatir

Hadits yang diriwayatkan oleh sekian banyak sahabat yang menurut


kebiasaan mustahil mereka bersepakan untuk berdusta, kemudian dari para
sahabat itu diriwayatkan pula oleh para tabi'in dan orang berikutnya dalam
jumlah yang seimbang seperti para sahabat yang meriwayatkan pertama kali.
Hadits mutawatir itu banyak kita jumpai pada sunnah amaliyah (yang langsung
dikerjakan oleh Rasulullah) seperti cara mengerjakan shalat, shaum, haji dan
lain-lain, perbuatan itu disaksikan oleh banyak orang. Pada sunnah qauliyah
tidak sebayank sunnah amaliyah yang mencapai derajat mutawatir. Adapun
Hadits Mutawattir tersebut bisa dibedakan lagi menjadi tiga yaitu:

a. Mutawatir lafdzi

Yaitu jika redaksi dan kandungan sunnah yang disampaikan banyak


perawi itu adalah sama benar dalam lafazh dan ma’nanya.

b. Mutawatir ma’nawi

22
M. Fadlil Said An Nadwi, Qowā’idul Asāsīyah Fi ‘Ilmi Musṭālaḥil Ḥadiṡ, (Surabaya :
AlHidayah, 2007
23
Mahmud Abu Rayyah, Adwa’ ‘ala al-Sunnah dan Subhi al-Salih, ‘Ulum alHadith wa
Mustalahuh, (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 2003), 150-151
24
Moh. Anwar, dkk, Ilmu Musthalah Hadits, (Surabaya: Al-Ikhlas 1981), 14.

15
Yaitu yang berbeda susunan redaksinya satu sama lain, tapi susunan
masing-masing redaksi yang berbeda itu mempunyai hal-hal yang sama.
seperti shalat magribtiga rakaat, diterangkan dalam beberapa riwayat; Ada
riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi SAW. shalat magrib 3 rakaat di
rumahnya - Nabi shalat magrib 3 rakaat dalam safat, - Nabi shalat magrib 3
rakaat di Mekah Nabi shalat magrib 3 rakaat di Madinah. Sahabat-sahabat
Nabi shalat magrib 3 rakaat diketahui Nabi SAW. Dari bermacam-macam
riwayat ini ada kesamaan yaitu 'shalat magrib adalah berjumlah 3 rakaat'.

c. Mutawatir ‘Amaliy

Menurut M. Syuhudi Ismail menjelaskan bahwa Hadits mutawatir


‘amaliy adalah amalan agama (ibadah) yang dikerjakan oleh Rasulullah
SAW., kemudian diikuti para sahabat, dilanjutkan oleh para tabi’in dan
seterusnya diikuti oleh generasi demi generasi sampai saat ini. Mutawatir
‘Amali yaitu Hadits yang menyangkut perbuatan Rasulullah yang
disaksikan dan ditiru tanpa perbedaan oleh banyak orang, kemudian juga
dicontoh dan diperbuat tanpa perbedaan oleh orang banyak pada generasi-
generasi berikutnya, yang dinyatakan dalam kaidah ilmu Hadits.

2) Hadits ahad

Hadits Ahad adalah yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW. Kebanyakan


orang dak sampai pada batas Mutawatir dalam tiga masa 25. Hadits ahad ini
disebut juga dengan khabar Ahad. Hadits Ahad ini terbagi kepada : Masyhur,
Shahih, Hasan, dan Dhaif.26.

a. Hadits masyhur adalah hadits yang diriwayatkan dari Nabi SAW. oleh para
shahabat atau kelompok orang banyak yang tidak sampai pada batas
mutawatir, kemudian diriwayatkan pada masa tabi'in dan masa tabiut' tabi'in
oleh sejumlah orang yang sampai pada batas nutawatir. Dan dalam definisi

25
Syaikh Manna Al-Qathan, Mabahits Fi Ulumil Hadits, (Kairo: Maktabah Wahbah, Cetakan
Kedua, 1992), 98.
26
Munzier, Suparta, Dan Untung Ranuwijaya, Ilmu Hadits, (Jakarta: Citra Niaga Rajawali Pers,
1993), 81.

16
lain, masyhur adalah yang mempunyai jalan yang terbatas lebih dari dua
jalan27.
b. Hadits Gharib yaitu setiap hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi,
baik pada setiap tingkatan sanad atau pada sebagian tingkatan sanad dan
bahkan mungkin hanya pada satu tingkatan sanad28.
c. Hadits Hasan, merupakan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh perawi
yang adil, namun kurang ketelitiannya, sanadnya bersambung sampai
kepada Rasulullah, tidak mepunyai cacat dan tidak berlawanan dengan
periwayatan orang yang lebih terpercaya.
d. Hadits Dhaif yiatu hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih
dan hadits hasan.Terdapat berbagai macam jenis Hadits Dhaif, antara lain
Hadits Maudhu, inilah sejelek-jeleknya hadits dhaif, mursal, muallq,
munqathi, mudallas, mudtharib, mudraj, munkar dan mubham. Hadits Dhaif
tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum.

C. Dalil-dalil Hadits Sebagai Sumber Hukum

Terdapat banyak ayat ayat yang menunjukan bahwa kaum muslimin


diperintah untuk mengikuti Allah SWT dan Rasulnya SAW. dengan ungkapan
yang berbeda-beda yaitu sebagai berikut:

1) Al-Quran, dalam Surah Al-Imron ayat 32:

artinya "Katakanlah (Nabi Muhammad); Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya;jika


kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orangorang
kafir”.

2) Al-Quran, dalam Surah Al-Ahzab ayat 36:

Artinya: Tidaklah pantas bagi mukmin dan mukminat, apabila Allah dan
Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketentuan, akan ada pilihan (yang lain)

27
Yuslem, Ulumul Hadits, (Jakarta: Pustaka Hidayah 2006), 209
28
Yuslem, Ulumul Hadits, 215-216.

17
bagi mereka tentang urusan mereka. Siapa yang mendurhakai Allah dan
Rasul-Nya, sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata.

3) Al-Quran, dalam Surah Al-Nisa’ ayat 8 yang artiya:


“Siapa yang menaati Rasul (Muhammad), maka sungguh telah menaati
Allah. Siapa yang berpaling, maka Kami tidak mengutus engkau (Nabi
Muhammad) sebagai pmelihara mereka.

2.2.3 Ijma’
Ijma’ merupakan sumber hukum ketiga setelah Al-Qur'an dan hadits. Arti dari
ijma’ secara etimologis yaitu berasal dari kata ajma’a, yajmi’u, ijma’an yang
mengikuti wazan if’alan. Ijma’ mempunyai arti yaitu sepakat, setuju dan
sependapat. Ijma’ yaitu kebulatan tekad atau niat29. Seperti firman Allah SWT َyang
artinya: “...karena itu bulatkan keputusan dan (kumpulkan) sekutu-sekutumu...”
(QS.Yunus: 71) Secara istilah Ijma‟ merupakan sumber kuat dalam menetapkan
hukum-hukum Islam dan menduduki tingkatan ketiga dalam urutan sumber hukum
Islam30. Ijma’ adalah ketetapan hati untuk melakukan sesuatu atau keputusan
berbuat sesuatu. Ijma’ adalah kesepakatan semua mujtahid dari ijma’ umat Nabi
Muhammad dalam satu masa setelah beliau wafat. Kesepakatan seluruh ulama
mujtahid pada satu masa setelah zaman Rasulullah atas sebuah perkara dalam
agama. Dan ijma’ yang dapat dipertanggung jawabkan adalah yang terjadi di zaman
sahabat, tabi'in (setelah sahabat), dan tabi‟ut tabi'in (setelah tabi'in). Karena setelah
zaman mereka para ulama telah berpencar dan jumlahnya banyak, dan perselisihan
semakin banyak, sehingga tak dapat dipastikan bahwa semua ulama telah
bersepakat31.

A. Dalil atau Dasar Hukum Ijma’

Ulama ushul Fiqh sepakat bahwa ijma’ adalah sah dijadikan sebagai
landasan hukum, hal ini didasarkan pada surat an-Nisa’ ayat 115 yang artinya:
“Dan barang siapa yang menentang Rasulullah SAW. sesudah jelas kebenaran

29
Dinata, M. F. (2021). Konsep Ijma’Dalam Ushul Fikih Di Era Modern. Al-Ilmu, 6(1), 37-52.
30
Sulistiani, Siska Lis (Maret, 2018), PERBANDINGAN SUMBER HUKUM ISLAM. TAHKIM,
Jurnal Peradaban dan Hukum Islam. 1 (1), 102-116.
31
Dinata, M. F. (2021). Konsep Ijma’Dalam Ushul Fikih Di Era Modern. Al-Ilmu, 6(1), 37-52.

18
baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang mukmin, kami
biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan kami
masukan ia ke dalam neraka jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat
kembali”. Ayat tersebut memberikan peringatan atau ancaman terhadap golong
yang menentang Rasullullah SAW. dan tidak mengikuti jalan orang mukmin.
Menurut Muhammad Abu Zahrah, menjelaskan wajib hukumnya mengikuti
jalan orang mukmin dan termasuk hasil kesepakatan (ijma’) mereka. Allah
berfirman dalam surat an-Nisa’ ayat 59 yang artinya : “Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan Ulil Amri diantara kamu”.
Didalam Hadits-hadits Rasulullah, banyak sekali yang menjelaskan kedudukan
ijma’, diantaranya hadits yang diriwayatkan dari Abu Daud dan Tarmizi: “Laa
Tajtami'u ummati ‘ala al khatha’ ” (tidak mungkin umatku akan bersepakat
dalam kesesatan), dan dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Ahmad dan al-
Tabrani: “sa altu ‘azza wa jalla an laa tajtami’u ummati ‘alaa dholalah fa a'tha
nihaa” (aku memohon kepada Allah agar umatku tidak bersepakat terhadap
sesuatu yang sesat, lalu Allah mengabulkannya).

B. Syarat Ijma’

Musṭafā al-Zuhailī menyebutkan 7 (tujuh) syarat ijmak yang dianggap


paling urgen dalam kitab al-Wajīz fī Uṣūl al-Fiqh al-Islāmī, antara lain adalah
sebagai berikut:

1. Ijmak yang disepakati oleh para mujtahid tidak boleh bertentangan dengan
naṣ (al-Qur’an dan Hadits) dan ijmak sebelumnya. Sebagaimana diketahui
bahwa ijmak sebagai dalil syar’ī menduduki urutan ketiga setelah al-Qur’an
dan Hadits, dan ijmak harus disandarkan pada naṣ. Dengan demikian, ijmak
tidak dibenarkan apabila bertentangan dengan al-Qur’an dan Hadits. Ijmak
juga tidak boleh bertentangan dengan ijmak sebelumnya32.
2. Ijmak harus disandarkan pada dalil-dalil syar’ī, yaitu al-Qur’an dan Hadits,
baik secara langsung atau tidak. Oleh karena para mujtahid tidak akan bisa
sampai pada batas kebenaran tanpa ada rujukan atau sandaran. Pendapat ini

32
Syaripudin, A., & Kasim, M. (2020). Konsep Dasar Ijmak sebagai Sumber Hukum Islam.
BUSTANUL FUQAHA Jurnal Bidang Hukum Islam, 1(1), 28-43

19
didukung oleh Ibnu Hazm yang berkata bahwa “tidak ada ijmak kecuali
disandarkan pada naṣ.” Nabi SAW. tidak pernah menetapkan suatu hukum
kecuali bersandar pada wahyu, sebagaimana disebutkan oleh Allah dalam
Q.S. Al-Najm/53: 3-4. Jika ijmak tidak punya landasan dalil, maka ia
dinyatakan tidak sah. Terkait landasan ijmak ulama, maka mereka berbeda
pendapat. Mayoritas ulama Ushul Fiqh berpendapat bahwa landasan ijmak
terdiri dari dalil qaṭ’ī, yaitu al-Qur’an dan Hadits mutawatir33.
3. Para mujtahid yang terlibat dalam ijmak harus satu masa dan harus mencapai
jumlah yang banyak (jumlah yang mencapai batas mutawatir) yaitu, jumlah
yang tidak memungkinkan mereka (secara ‘aqlī) bersepakat dalam
kebohongan. Terkait batasan jumlah mutawatir dalam perawi Hadits, ulama
berbeda pendapat. Di antara mereka ada yang berpendapat sebanyak 4, 5, atau
10 orang (karena itulah minimal dari jama’ katsrah). Ada juga yang
berpendapat harus mencapai 40 orang, 50 orang bahkan ada yang berpendapat
300 orang bahkan lebih34.
4. Kesepakatan tersebut hanya bisa dilakukan oleh para imam mujtahid.
kesepakatan yang tidak melibatkan para imam mujtahid tidak dapat
dikategorikan ijmak dalam arti bahwa tidak bisa disebut sebagai sumber
hukum Islam35.
5. Menurut jumhūr ulama, ijmak hanya berlaku pada hukum syar’ī, tidak pada
yang lain. Sementara sebagian yang lain berpendapat sebaliknya yaitu ijmak
juga dapat berlaku pada semua perkara36.
6. Berlalunya masa, maka syarat keenam ini masih diperselisihkan di kalangan
para ulama. Sebagaimana diketahui bahwa ijmak harus dilakukan oleh para
mujtahid pada satu masa. Ijmak berlaku sebagai sumber hukum Islam sejak
ditetapkannya. Tidak harus menunggu wafatnya para mujtahid yang terlibat
di dalamnya. Terkait wafatnya para imam mujtahid yang tergabung dalam

33
Syaripudin, A., & Kasim, M. (2020). Konsep Dasar Ijmak sebagai Sumber Hukum Islam.
BUSTANUL FUQAHA Jurnal Bidang Hukum Islam, 1(1), 28-43
34
Syaripudin, A., & Kasim, M. (2020). Konsep Dasar Ijmak sebagai Sumber Hukum Islam.
BUSTANUL FUQAHA Jurnal Bidang Hukum Islam, 1(1), 28-43
35
Syaripudin, A., & Kasim, M. (2020). Konsep Dasar Ijmak sebagai Sumber Hukum Islam.
BUSTANUL FUQAHA Jurnal Bidang Hukum Islam, 1(1), 28-43
36
Syaripudin, A., & Kasim, M. (2020). Konsep Dasar Ijmak sebagai Sumber Hukum Islam.
BUSTANUL FUQAHA Jurnal Bidang Hukum Islam, 1(1), 28-43

20
ijmak menurut Imam Ahmad bin Hambal dan sebagian kecil ulama Syafi'iyah
merupakan salah satu syarat kekuatan hujjah suatu ijmak37.
7. Tidak diperbolehkan ada hukum ijma’ sebelumnya yang berkaitan dengan
permasalahan yang sama38.

C. Macam-macam Ijma’

Ijma yang sampai saat ini masi dipakai dilihat dari segi cara terjadinya
kesepakatan terhadap hukum syara’ itu maka ijma dapat dibagi menjadi dua bentuk
yaitu ijma sharih dan ijma sukuti. Ijma’ Sharih disebut juga ijma’ hakiki. Para
ushuliyyin bersepakat ia merupakan hujjah Syar’iyah dalam mazhab jumhur ulama.
Ijma’ sharih ini yang dapat dijadikan hujjah (dalil hukum)39. Ijma’ Sharih ialah,
setiap mujtahid menyatakan bahwa mereka menerima semua yang disepakati.
Menurut ulama jumhur ijma’ sharih ini yang dapat dijadikan hujjah (dalil hukum)40.
Sedangkan imam syafi’i juga sepakat bahwa ijma’ sharih yang dapat dijadikan
hujjah (dalil hukum), sehingga Imam Syafi’i mengatakan sebagai berikut: jika
engkau atau salah seorang ulama mengatakan,”hukum ini telah disepakati”, maka
niscaya setiap ulama yang engkau temui juga mengatakan seperti apa yang engkau
katakan”. Dari kedua kutipan diatas dapat diketahui bahwa Ijma’ sharih merupakan
Ijma’ yang didapatkan melalui kesepakatan para fuqaha’ yang dapat dijadikan
sumber dalam mengambil atau memutuskan suatu hukum.

Sementara Ijma’ Sukuti atau disebut ijma’ I’tibar (tanggapan) karena


sesungguhnya orang diam saja tidak ada kepastian bahwa ia setuju. Oleh karena itu,
tidak ada kepastian mengenai terwujudnya kesepakatan dan terjadinya Ijma’ dan
karena itulah hal tersebut masih dipertentangkan kehujjahannya, jumhur ulama
berpendapat bahwa Ijma’ sukuti bukanlah hujjah. Sebagian mujtahid pada saat
menampilkan pendapatnya secara jelas mengenai suatu peristiwa dengan sistem
fatwa atau dalam majlis, sedangkan mujtahid yang lain tidak memberikan respon

37
Syaripudin, A., & Kasim, M. (2020). Konsep Dasar Ijmak sebagai Sumber Hukum Islam.
BUSTANUL FUQAHA Jurnal Bidang Hukum Islam, 1(1), 28-43
38
Syaripudin, A., & Kasim, M. (2020). Konsep Dasar Ijmak sebagai Sumber Hukum Islam.
BUSTANUL FUQAHA Jurnal Bidang Hukum Islam, 1(1), 28-43
39
Makfiyati, N., Sarjaya, S., Sayehu, S., & Hidayat, A. (2022). IJMA’SUKUTI PERSPEKTIF
USHULIYIN (Analysis Argumentatif dan Aplikatif). Public Sphare: Jurnal Sosial Politik,
Pemerintahan dan Hukum, 1(1)
40
Dinata, M. F. (2021). Konsep Ijma Dalam Ushul Fikih Di Era Modern. Al-Ilmu, 6(1), 37-52.

21
atau komentar terhadap pendapat tersebut, baik mengenai kecocokan pendapat atau
perbedaannya.

. Fungsi ijma' yaitu memiliki otoritas menentukan keputusan hakim benar


atau salah. Pada dasarnya ijma' menurut ulama mempunyai kekuatan dalam
menetapkan hukum dan memiliki pendapat tersendiri. Qiyas tidak dapat mencapai
status hukum kecuali didukung oleh ijma'. Fungsi ijma' bersifat mandiri, ijma'
memiliki andil besar bagi syari'ah dalam menghapuskan pertimbangan nilai
pribadi.

Meski Al-Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tetapi


tidak semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detail oleh Al-Qur'an
maupun Haditst. Selain itu perbedaan keadaan saat turunnya Al-Qur'an dengan
kehidupan modern. Sehingga jika terdapat masalah baru maka diperlukan aturan-
aturan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, saat itulah umat Islam memerlukan Ijma’
sebagai sumber hukum yang ketiga setelah Al-Qur‟an dan Haditst.

2.2.4 Qiyas
Sumber hukum setelah Al-Qur’an, Hadits, dan Ijma’ adalah qiyas. Secara
etimologi, qiyas merupakan bentuk masdar dari kata qâsa- yaqîsu, yang artinya
ukuran, mengetahui ukuran sesuatu. qiyas berarti qadara yang artinya mengukur,
membandingkan sesuatu dengan yang semisalnya. Dalam perkembanganya, kata
qiyas banyak digunakan sebagai ungkapan dalam upaya penyatuan antara dua hal
yang berbeda, baik penyamaan yang berbentuk inderawi, seperti pengqiyasan dua
buah buku. Atau pengqiyasan secara maknawiyah, misalnya “Fulan tidak bisa
diqiyaskan dengan si Fulan”, artinya tidak terdapat kesamaan dalam bentuk ukuran.
Adapun arti qiyas secara terminologi menjadi perdebatan ulama, antara yang
mengartikan qiyas sebagai metode penggalian hukum yang harus tunduk pada nash,
dan yang mengartikan qiyas sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri di luar
nash41.

Jumhur ulama mempergunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal


yang tidak jelas nashnya baik dalam Al-Qur’an, Hadits, pendapat sahabat maupun

41
Dinata, MF (2020). Qiyas sebagai Metode Penetapan Hukum Islam. Al-Ilmu , 5 (2), 168-181.

22
ijma’ ulama’. Para ahli hukum dari masa Rasulullah hingga sekarang selalu
mempergunakan qiyas dalam setiap masalah hukum agama. Dan mereka sepakat
bahwa, sesuatu yang setara dengan hak adalah hak, dan yang setara dengan bathil,
bathil pula. Maka tidak dibenarkan seseorang mengingkari kebenaran qiyas, sebab
ia merupakan upaya mempersamakan (menganalogikan) masalah dan
membandingkannya. Sejalan dengan pendapat tersebut, Ibnul Qayim
mengatakan,bahwa lintas pengambilan hukum itu seluruhnya bertitik tolak pada
prinsip persamaan antara dua hal serupa dan prinsip perbedaan antara dua hal yang
berbeda. Apabila dibalik prinsip tersebut tidak mempersamakan antara dua hal
serupa, niscaya pengambilan hukum menjadi tertutup.42

A. Dasar Keabsahan Qiyas Sebagai Landasan Hukum

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama’ terkait keabsahan qiyas


sebagai landasan hukum. Jumhur ulama ushul fiqh sepakat, bahwa qiyas dapat
dijadikan sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam dan sekaligus sebagai
dalil hukum Islam yang bersifat praktis. Sedangkan menurut mazhab
Nidzamiyah, Zahiriyah, dan sebagian Syi’ah berpendapat sebaliknya, yakni
qiyas tidak bisa dijadikan sebagai landasan hukum.43 Pendapat jumhur ulama’
mengenai qiyas ini adalah sebagai berikut:

1. Berdasarkan ayat Al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 59 yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”.

Ayat ini menunjukkan, bahwa jika ada perselisihan pendapat diantara


ulama tentang hukum suatu masalah, maka solusinya adalah dengan

42
Sulistiani, Siska Lis (Maret, 2018), Perbandingan Sumber Hukum Islam. Tahkim, Jurnal
Peradaban Dan Hukum Islam. 1 (1), 102-116.
43
Abdul Karim al-Khatib., Ijtihad; Menggerakkan Potensi Dinamis Hukum Islam, Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2005, hal. 87-88.

23
mengembalikannya kepada al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW. Cara
mengembalikannya yaitu dengan qiyas.

2. Hadits yang berisi dialog antara Rasulullah SAW., dengan sahabat Muadz
bin Jabal ketika Muadz itu dikirim menjadi hakim di Yaman. Dalam dialog
itu, Muadz ditanya oleh Rasulullah SAW, bahwa dengan apa engkau akan
memutuskan perkara yang dihadapkan kepadamu? Kemudian Muadz
menjawabnya dengan mengatakan bahwa ia akan memutuskan hukum
dengan berdasarkan kitab Allah (al-Quran) dan jika tidak didapatkan dalam
kitab Allah, ia putuskan berdasarkan Sunnah Rasulullah SAW. Dan
seterusnya dengan hasil ijtihadnya sendiri jika hukum suatu masalah tidak
ditemukan dalam dua sumber hukum tersebut. Mendengar jawaban itu,
Rasulullah SAW., mengatakan: Segala pujian bagi Allah yang telah
memberikan taufiq atas diri utusan Rasulullah.(HR. Tirmidzi)44.
3. Alasan lain yang dikemukakan oleh jumhur adalah ijma’ para sahabat.
Dalam praktiknya, para sahabat menggunakan qiyas, seperti apa yang
dilakukan sahabat Abu Bakar terkait dengan persoalan kalalah yang
menurutnya, adalah orang yang tidak mempunyai ayah dan anak laki-laki.
Pendapat ini dikemukakan Abu bakar berdasarkan pendapat akalnya, dan
qiyas termasuk kedalam pendapat akal. Bahkan dalam kisah yang amat
popular juga adalah bahwa Umar bin al-Khattab menulis surat kepada Abu
Musa al-Asy’ari, ketika ia ditunjuk sebagai menjadi hakim di Bashrah, Irak.
Dalam suratnya yang panjang itu, Umar menekankan agar dalam menghadapi
berbagai persoalan yang tidak ditemukan hukumnya dalam nash, agar Abu
Musa menggunakan qiyas. Menurut Jumhur Ulama ushul fiqh, baik terhadap
pendapat Abu Bakar maupun terhadap sikap Umar ibn al-Khattab di atas,
tidak satu orang sahabat pun yang membantahnya.
4. Secara Logika, menurut jumhur Ulama ushul fiqh, bahwa hukum Allah
mengandung kemaslahatan untuk umat manusia dan untuk itulah maka
hukum disyariatkan. Apabila seorang mujtahid menjumpai kemaslahatan
yang menjadi ‘Illat dalam suatu hukum yang ditentukan oleh nash dan

44
Satria Effendi, M. Zein. . Ushul Fiqh , Cet. I; Jakarta: Kencana, 2005, hal. 132

24
terdapat juga dalam kasus yang sedang ia carikan hukumnya, maka ia
menyamakan hukum kasus yang ia hadapi dengan hukum yang ada pada nash
tersebut. Dasarnya adalah kesamaan ‘Illat antara keduanya.

Adapun pendapat ulama’ yang dikemukakan oleh kelompok penolak qiyas


adalah sebagai berikut:

1. Firman Allah SWT.dalam surat al-Hujurat ayat 1 yang artinya:

‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan


RasulNya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
mendengar lagi Maha Mengetahui .’

Ayat ini, menurut mereka, melarang seseorang untuk beramal


dengan sesuatu yang tidak ada dalam al-Quran dan Sunnah Rasulullah
SAW. Sehingga menurut mereka, mempedomani qiyas, merupakan sikap
beramal dengan sesuatu yang di luar al-Quran dan Sunnah Rasulullah, dan
karenanya dilarang45.

2. Dasar Hadits yang digunakan menurut mereka adalah Hadits yang


diriwayatkan oleh al-Daraquthni yang artinya: ‘Sesungguhnya Allah SWT
menentukan berbagai ketentuan, maka jangan kamu abaikan; menentukan
beberapa batasan, jangan kamu langgar; Dia haramkan sesuatu, maka
jangan kamu melanggar larangan itu. Dia juga mendiamkan hukum sesuatu
sebagai rahmat bagi kamu, tanpa unsur kelupaan, maka janganlah kamu
bahas hal itu.’ (H.R. al-Daraquthni).

Hadits ini menurut mereka, menunjukkan bahwa sesuatu itu


adakalanya wajib, adakalanya haram, dan adakalanya didiamkan saja, yang
hukumnya berkisar antara dimaafkan dan mubah (boleh)46. Apabila
diqiyaskan sesuatu yang didiamkan syara’kepada wajib, misalnya, maka ini
berarti telah menetapkan hukum wajib kepada sesuatu yang dimaafkan dan
dibolehkan.

45
Dinata, MF (2020). Qiyas sebagai Metode Penetapan Hukum Islam. Al-Ilmu , 5 (2), 168-181
46
Dinata, MF (2020). Qiyas sebagai Metode Penetapan Hukum Islam. Al-Ilmu , 5 (2), 168-181

25
3. Mereka juga beralasan dengan sikap sebagian sahabat yang mencela qiyas,
meskipun sebagian sahabat lainnya bersikap diam atas celaan sahabat
tersebut. Hal ini, menurut mereka, menunjukan bahwa para sahabat secara
diam-diam sepakat ( ijama’ sukuti ) untuk mencela qiyas. Umar ibn
alKhattab sendiri pernah berkata:Hindarilah orang-orang yang
mengemukakan pendapatnya tanpa alasan, Karena mereka itu termasuk
musuh Sunnah dan hindarilah orang-orang yang menggunakan qiyas. Kisah
ini diriwayatkan oleh Qasim ibn Muhammad, yang menurut para ahli
Hadits, periwayatannya munqathi ’(terputus para penuturnya).

B. Rukun dan Syarat Qiyas

Para ahli Ushul yang mempergunakan qiyas sebagai dalil dalam


menetapkan ketika qiyas itu telah memenuhi rukunnya47. Rukun qiyas ada
empat:

a. Ashlun, yaitu merupakan hukum pokok yang diambil persamaan atau


sesuatu yang ada nash hukumnya. Syarat-syarat ashl: 1. Hukum yang
hendak dipindahkan kepada cabang masih ada pada pokok. Kalau sudah
tidak ada misalnya, sudah dihapuskan (mansukh) maka tidak mungkin
terdapat perpindahan hukum. 2. Hukum yang ada dalam pokok harus hukum
Syara’ bukan hukum akal atau hukum bahasa.
b. Far’un, yaitu merupakan hukum cabang yang dipersamakan atau sesuatu
yang tidak ada nash hukumnya. Syarat-syarat: 1. Hukum cabang tidak lebih
dulu adanya daripada hukum pokok. 2. Cabang tidak mempunyai kekuatan
sendiri. 3. ‘‘Illat yang terdapat pada hukum cabang harus sama dengan ‘Illat
yang terdapat pada pokok. 4. Hukum cabang harus sama dengan hukum
pokok.
c. ‘Illat , yaitu sifat yang menjadi dasar persamaan antara hukum cabang
dengan hukum pokok. Syarat-syaratnya: 1. ‘Illat harus berupa sesuatu yang
terang dan tertentu. 2. ‘Illat tidak berlawanan dengan nash, apabila
berlawanan maka nash yang didahulukan.

47
Dinata, MF (2020). Qiyas sebagai Metode Penetapan Hukum Islam. Al-Ilmu , 5 (2), 168-181

26
d. Hukum, yaitu merupakan hasil dari qiyas tersebut. Lebih jelasnya biasa
dicontohkan bahwa Allah telah mengharamkan arak, karena merusak akal,
membinasakan badan, menghabiskan harta. Maka segala minuman yang
memabukkan dihukumi haram. Kemudian, ternyata minuman yang
memabukkan bukan saja terbuat dari anggur, bisa saja terbuat dari biji-bijian
dan buah-buahan lainnya. Ini diberi nama al-nabidz. Lalu ulama mujtahid
menganalogikan (mengqiyas-kan), antara khamar dan nabibz, karena ada
kesamaannya. Rukun qiyasnya sebagai berikut: a) Khamar merupakan
hukum asal b) Nabidz merupakan hukum cabang c) Hukum asal khamar
dalam Al-Qur’an adalah haram d) Ilatnya adalah sama-sama memabukkan.
Kesimpulannya, nabidz hukumnya adalah haram, karena di-qiyaskan
dengan khamar48.

C. Macam-Macam Qiyas

Ulama ushul diantaranya al-Amidi dan asy-Syaukani, mengemukakan


bahwa qiyas terbagi kepada beberapa segi, antara lain :
a. Dilihat dari segi kekuatan `illat yang terdapat pada furu`:

1. Qiyas aulawi, yaitu qiyas yang `illat-nya mewajibkan adanya hukum. Dan
hukum yang disamakan (cabang) mempunyai kekuatan hukum yang lebih
utama dari tempat menyamakannya (ashal). Misalnya, berkata kepada
kedua orang tua dengan mengatakan “uh”, “eh”, “buset”, atau kata -kata lain
yang menyakitkan maka hukumnya haram. Sesuai dengan firman Allah
dalam QS. Al-Isra ayat 23 yang artinya:

“.... maka sekali – kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya


perkataan “ah”.....”

Maka mengqiyaskan berkata “uh”, “buset”, dan sebagainya bahkan dengan


memukul itu hukumnya lebih utama. Dengan demikian, berkata “uh” saja

48
Mardani, Ushul Fiqh, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), h. 179-180

27
tidak boleh apalagi memukulnya, karena memukul tentu lebih
menyakitkan49.

2. Qiyas musawi, yaitu qiyas yang `illat-nya mewajibkan adanya hukum yang
sama antara hukum yang ada pada ashal dan hukum yang ada pada furu`
(cabang)50. Contohnya keharaman memakan harta anak yatim sesuai
dengan firman Allah dalam QS. An – Nisa ayat 10 yang artinya :

“Sesungguhnya orang – orang yang memakan harta anak yatim secara


aniaya, maka sesungguhnya mereka itu menelan api neraka ke dalam
perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api neraka yang menyala –
nyala”.

3. Qiyas adna, yaitu `illat yang ada pada far`u (cabang) lebih rendah bobotnya
dibandingkan dengan `illat yang ada pada ashal. Misalnya sifat
memabukkan yang terdapat dalam minuman keras seperti bir itu lebih
rendah dari sifat memabukkan yang terdapat pada minuman keras khamr
yang diharamkan dalam al-Qur`an51.

b. Dilihat dari segi kejelasan `illat hukum.

1. Qiyas jaly, yaitu qiyas yang `illat nya ditegaskan oleh nash bersamaan
dengan penetapan hukum ashal, atau `illat-nya itu tidak ditegaskan oleh
nash, tetapi dapat dipastikan bahwa tidak ada pengaruh dari perbedaan
antara ashal dan furu`. Contohnya, dalam kasus dibolehkannya bagi musafir
laki-laki dan perempuan untuk mengqashar shalat ketika perjalanan,
sekalipun diantara keduanya terdapat perbedaan (kelamin). Tetapi
perbedaan ini tidak mempengaruhi terhadap kebolehan wanita mengqashar
shalat. `illat-nya adalah sama-sama dalam perjalanan. Dan mengqiyaskan

49
Mardani, Ushul Fiqh, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013), h. 179-180
50
Mardani, Ushul Fiqh, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013), h. 179-180
51
Mardani, Ushul Fiqh, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013), h. 179-180

28
memukul orang tua kepada larangan berkata “ah” seperti pada contoh qiyas
aulawi sebelumnya52.
2. Qiyas khafy, yaitu qiyas yang `illat-nya tidak disebutkan dalam nash.
Contohnya mengqiyaskan pembunuhan dengan menggunakan benda berat
kepada pembunuhan dengan menggunakan benda tajam dalam
pemberlakuan hukum qiyas, karena `illat-nya sama-sama yaitu
pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja53.

52
Mardani, Ushul Fiqh, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013), h. 179-180
53
Mardani, Ushul Fiqh, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013), h. 179-180

29
BAB III

PENUTUP
A. Simpulan
Kesimpulan pada makalah ini adalah sebagai beriku:
1. Sumber hukum dalam Islam, ada yang disepakati (muttafaq) para ulama
dan ada yang masih dipersilisihkan (mukhtalaf).Adapun sumber hukum
yang muttafaq merupakan hukum yang telah disepakati oleh jumhur ulama
(Mayoritas Ulama).
2. Sumber-sumber hukum Islam terdiri dari Alquran, Al-hadist, Ijma dan
Qiyas. Bagi setiap Muslim, segala apa yang dilakukan dalam kehidupannya
harus sesuai dengan kehendak Allah SWT sebagai realisasi dari keimanan
kepada-Nya. Kehendak Allah tersebut dapat ditemukan dalam kumpulan
wahyu yang disampaikan melalui Nabi-Nya, Muhammad SAW yaitu
Alquran dan penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh Nabi Muhammad
SAW mengenai wahyu Allah tersebut, yaitu as-Sunnah. Kehendak atau titah
Allah yang berhubungan dengan perbuatan manusia,di kalangan ahli ushul
disebut “hukum syara”, sedangkan bagi kalangan ahli fiqh, “hukum syara”
adalah pengaruh titah Allah terhadap perbuatan manusia tersebut. Seluruh
kehendak Allah tentang perbuatan manusia itu pada dasarnya terdapat
dalam alquran dan penjelassannya dalam Sunnah Nabi. Tidak ada yang
luput satu pun dari alquran. Namun alquran itu bukanlah kitab hukum. Jadi,
hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama
Islam.
B. Saran
Banyak aliran-aliran Islam pada zaman ini yang bermuculan dan
mengatasnamakan bahwa mereka merupakan golongan Islam yang benar.
Namun, agama merupakan suatu hal yang tidak bisa dipermainkan. Jadi
alangkah baiknya mempelajari dulu suatu hukum-hukum Islam berdasarkan
sumber dan sanad yang jelas agar tidak terpengaruh oleh golongan yang tersesat.

30
DAFTAR PUSTAKA

Abdul., (2005). Ijtihad; Menggerakkan Potensi Dinamis Hukum Islam, Jakarta:


Gaya Media Pratama, hal. 87-88.
Al-Zuhaili, W. (2006). Ushul al-Fiqh al-Islamiy, al-Juz al-Tsaniy. Damaskus: Dar
al-Fikr.
Dinata, M. F. (2021). Konsep Ijma Dalam Ushul Fikih Di Era Modern. Al-Ilmu,
6(1), 37-52.
Dinata, MF (2020). Qiyas sebagai Metode Penetapan Hukum Islam. Al-Ilmu , 5
(2), 168-181
Junaidi, M., (2019). Epistimilogi Hukum Islam Kontemporer. Yogyakarta: CV
Pustaka Ilmu Group, 16
Khairudin Nasution, (2013) Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan
Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim. Yogyakarta:
ACAdeMIA + TAZZAFA, 174-175
M. Fadlil Said An Nadwi, (2007), Qowā’idul Asāsīyah Fi ‘Ilmi Musṭālaḥil Ḥadiṡ,
Surabaya : AlHidayah, 2
Mahmud Abu Rayyah, Adwa’ ‘ala al-Sunnah dan Subhi al-Salih, ‘Ulum alHadith
wa Mustalahuh, (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 2003), 150-151
Makfiyati, N., Sarjaya, S., Sayehu, S., & Hidayat, A. (2022). IJMA’SUKUTI
PERSPEKTIF USHULIYIN (Analysis Argumentatif dan Aplikatif).
Public Sphare: Jurnal Sosial Politik, Pemerintahan dan Hukum, 1(1)
Mardani, (2013). Ushul Fiqh, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, , h. 179-180
Moh. Anwar, dkk, (1981). Ilmu Musthalah Hadits. Surabaya: Al-Ikhlas 14.

Muhammad Ajjaj al-Khatib, (1971). As Sunnah Qabla Tadwin, Beirut: Dar al-
Fikr,20
Muhammadibn Mukarram ibn Manzhur, Lisan al- `Arab, (Mesir: Dar al-
Misriyyah), juz.II, h. 436-439
Munzier, Suparta, Dan Untung Ranuwijaya, (1993), Ilmu Hadits, Jakarta: Citra
Niaga Rajawali Pers, 81.

31
Rofiq, A. Z. (2023). Adillatul Ahkam Al Muttafaq Alaih Fi Al-Ihtijaji Biha: Dalil-
Dalil/Sumber Hukum Yang Disepakati Para Ulama. An-Nahdlah, 9(2),
88-116.
Satria Effendi, M. Zein. (2005). Ushul Fiqh , Cet. I; Jakarta: Kencana, , hal. 132
Sulistiani, Siska Lis (Maret, 2018), Perbandingan Sumber Hukum Islam. Tahkim,
Jurnal Peradaban Dan Hukum Islam. 1 (1), 102-116.
Syaikh Manna Al-Qathan, (1992) Mabahits Fi Ulumil Hadits, Kairo: Maktabah
Wahbah, Cetakan Kedua.
Syarifuddin, A. (2011). Ushul Fiqih Jilid 1. Jakarta: Kencana.
Syaripudin, A., & Kasim, M. (2020). Konsep Dasar Ijmak sebagai Sumber Hukum
Islam. BUSTANUL FUQAHA Jurnal Bidang Hukum Islam, 1(1), 28-43
Wiguna, S. (2021). Fiqih Ibadah.
Yuslem, Ulumul Hadits, (Jakarta: Pustaka Hidayah 2006), 209
Yusuf Qardhawi, (1993), Bagaimana Memahami ḥadiṡ Nabi SAW, Bandung :
Karisma, 17.

32

Anda mungkin juga menyukai