Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

QAWAID FIQH JINAYAH


Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Qawaid Fiqh Jinayah
Dosen Pembimbing : Dr. Ishaq M.Ag

Disusun Oleh :
1. Arinismatul Izzah (212102040012)
2. Hida Wahida Rahmaniyah (212102040035)
3. Muhammad Risqiantono (212102040030)
4. Muhammad Zulkarnain Fikri (212102040023)

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KIAI HAJI ACHMAD SIDDIQ JEMBER
2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas seluruh limpahan rahmat serta
nikmatnya sehingga kami dapat meramapungkan makalah qawaid fiqh jinayah ini dengan waktu
yang tepat.

Ada pula tujuan dari penulisan makalah ini yaitu untuk memenuhi syarat nilai dari dosen
pada mata kuliah Qawaid fiqh jinayah. Selain itu makalah ini juga memiliki tujuan untuk lebih
menambah pengetahuan terkait Qawaid fiqh jinayah bagi para pembaca dan juga kami selaku
penulis.

Tak lupa juga kami ucapkan banyak terima kasih kepada bapak Dr. Ishaq M.Ag selaku
dosen pembimbing mata kuliah Qawaid fiqh jinayah yang dengan senang hati memberikan tugas
makalah ini sehingga kami lebih bisa menambah wawasan. Kami juga ucapkan banyak terima
kasih kepada berbagai pihak yang telah bersedia membagi ilmu serta pengetahuannya sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Jember, 10 Oktober 2022

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. iii

A. Latar Belakang .......................................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ..................................................................................................... 1
C. Tujuan Masalah ......................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ iv

1. Pengertian Qawaid Al-Fiqhiyah .................................................................................. 3


2. Perbedaan Qawaid Al-Fiqhiyah dengan Qawaid Al-Ushuliyah ................................... 4
3. Hubungan Qawaid Al-Fiqhiyah dengan Qawaid Al-Ushuliyah ................................... 6
4. Hubungan Fiqh dan Ushul Fiqh......................................................................................6
5. Ushul Fiqh Dalam Metodologi Hukum Islam .............................................................. 8

BAB III PENUTUPAN .................................................................................. 11

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 12

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai landasan aktivitas umat islam sehari-hari dalam usaha memahami maksud maksud ajaran islam
(maqasidusy syari'ah) secara lebih menyeluruh, keberadaan qawaid fiqhiyak menjadi sesuatu yang amat penting.
baik dimata para ahli usul (usuliyun) maupun fuqaha, pemahaman terhadap qawaid fiqhiyah adalah mutlak
diperlukan untuk melakukan suatu "ijtihad" atau pembaharuan pemikiran dalam permasalahan-permasalahan
kehidupan manusia. Manfaat keberadaan gaw'id fiqhiyah adalah untuk menyediakan panduan yang lebih praktis
yang diturunkan dari nash asalnya yaitu Al-qur'an dan Al-hadits kepada masyarakat Maqasidasy syari'ah
diturunkan kepada manusia untuk memberi kemudahan dalam pencapaian pemecahan masalah hukukm.
Qawaid Al-Fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua khususnya
mahasiswa fakultas syari'ah. Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali
apa itu Qawaid Al-Fiqhiyah, Maka dari itu dalam makalah ini memuat tentang kaidah-kaidah fiqh, dan beberapa
urgensi dari kaidah-kaidah fiqh. Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang
menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam
menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan.
Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan lebih
mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Qawaid Al-Fiqhiyah ?
2. Bagaimana Perbedaan Qawaid Al-Fiqhiyah dengan Qawaid Al-Ushuliyah ?
3. Bagaimana Hubungan Qawaid Al-Fiqhiyah dengan Qawaid Al-Ushuliyah ?
4. Bagaimana Hubungan Fiqh dan Ushul Fiqh ?
5. Bagaimana Ushul fiqh dalam metodologi Hukum Islam ?

C. Tujuan Masalah

1
1. Menjelaskan Pengertian Qawaid Al-Fiqhiyah
2. Menjelaskan Perbedaan Qawaid Al-Fiqhiyah dengan Qawaid Al-Ushuliyah
3. Menjelaskan Hubungan Qawaid Al-Fiqhiyah dengan Qawaid Al-Ushuliyah
4. Menjelaskan Hubungan Fiqh dan Ushul Fiqh
5. Menjelaskan Ushul fiqh dalam metodologi Hukum Islam

BAB II
2
PEMBAHASAN

1. Pengertian Qawaid Al-Fiqhiyah

Qawaid Al-Fiqhiyyah adalah kata majemuk yang terbentuk dari dua kata, yakni kata qawaid dan
fiqhiyyah, kedua kata itu memiliki pengertian tersendiri. Secara etimologi, kata qaidah jamaknya qawaid
berarti asas, landasan, dasar atau fondasi sesuatu, baik yang bersifat kongkret, materi, atau inderawi
maupun yang bersifat abstrak, non materi dan non indrawi seperti ushuluddin (dasar agama).

1. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kaidah yaitu rumusan asas yang menjadi
hukum aturan yang sudah pasti, patokan dalil.Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan
(membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdo`a): "Ya Tuhan kami terimalah
daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.Sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah mengadakan makar, maka
Allah menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya (QS. al-Nahl 26)
Kata fiqhiyyah berasal dari kata fiqh ditambah dengan ya nisbah yang berfungsi sebagai
penjenisan, atau penyandaran. Secara etimologi fiqh berarti pengetahuan, pemahaman, atau
memahami maksud pembicaraan dan perkataannya. Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang
mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di
antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka
itu dapat menjaga dirinya.
2. Mereka berkata: "Hai Syu`aib, kami tidak banyak mengetahui (mengerti) tentang apa yang
kamu katakan itu dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang yang lemah di antara
kami; kalau tidaklah karena keluargamu tentulah kami telah merajam kamu, sedang kamupun
bukanlah seorang yang berwibawa di sisi kami.
3. Siapa yang dikehendaki Allah mendapatkan kebaikan, akan diberikan-Nya pengetahuan
dalam agama. Secara terminologi Kata fiqh dikemukakan oleh Jamaluddin al-Asnawy (w.772 H).
4. Ilmu tentang hukum-hukum syara` yang praktis yang diusahakan dari dalil-dalilnya yang
terperinci. Berdasarkan beberapa definisi di atas, secara garis besar para ulama terbagi menjadi
dua kelompok dalam mendefinisikan qawaid fiqhiyyah. Hal ini berdasarkan atas realita bahwa
ada sebagian ulama yang mendefinisikan qawaid fiqhiyyah sebagai suatu yang bersifat universal,
dan sebagian yang lain mendefinisikan sebagai sesuatu yang bersifat mayoritas (aghlabiyyah)
saja.
Perbedaan ini berangkat dari perbedaan persepsi yang berpendapat bahwa qawaid fiqhiyyah bersifat
universal berpijak kepada realita bahwa pengecualia yang terdapat dalam qawaid fiqhiyyah relatif sedikit,
disamping itu mereka berpegang kepada qaidah-qaidah bahwa pengecualian tidak mempunyai hukum,
sehingga tidak mengurangi sifat universal qawaid fiqhiyyah.Ulama yang berpendapat bahwa qawaid
fiqhiyyah bersifat mayoritas karena secara realitas bahwa seluruh qawaid fiqhiyyah mempunyai
pengecualian, sehingga penyebutan universal terhadap qawaid fiqhiyyah kurang tepat. Dengan demikian,
para ulama sepakat qawaid fiqhiyyah mengandung pengecualian, namun mereka tidak satu pendapat
dalam memandang pengecualian tersebut. Begitu pula para ulama menyebutkan istilah yang berbeda
terhadap qawaid fiqhiyyah. Ada yang menyebut dengan qadhiyah (proposisi), ada yang menyebut dengan
al-hukmu (Hukum), dan ada yang menyebut dengan al-Ashl (pokok) .Para ulama yang menyebutkan
qawaid fiqhiyyah dengan qadhiyyah memandang bahwa qawaid fiqhiyyah adalah aturan - aturan yang
3
mengatur perbuatan-perbuatan mukallaf. Karena itu qawaid fiqhiyyah merupakan aturan-aturan yang
berhubungan dengan perbuatan para mukallaf. Para ulama yang menyebutkan qawaid fiqhiyyah dengan
rumusan hukum beralasan bahwaqawaid fiqhiyyah merupakan aturan yang mengatur tentang hukum-
hukum syara’ sehingga tepat sekali apabila didefinisikan sebagai hukum, karena memang mengandung
hukum-hukum syara’. Disamping itu, mayoritas hukum adalah qadhiyyah hukum merupakan bagian
penting dari sebuah qadhiyyah, karena menjadi parameter yang sangat penting dan kebenaran sebuah
qadhiyyah. Sedangkan para ulama yang mendefiniskan qawaid fiqhiyyah dengan sebutan al-ashl,
termasuk ulama kontemporer, terlebih dahulu mengkompromikan definisi-definisi yang telah ada,
kemudian mereka melihat bahwa pada dasarnya qawaid fiqhiyyah adalah aturan-aturan pokok tentang
perbuatan mukallaf yang dapat menampung hukum-hukum syara’.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan, bahwa pendapat para ulama yang memandang qawaid fiqhiyyah
disebutkan dengan al-hukm atau al-ashl itulah pendapat yang tepat, karena dua istilah itu yang menjadi
ciri utama dari qawaid fiqhiyyah.

2. Perbedaan Qawaid Al-Fiqhiyah dengan Qawaid Al-Ushuliyah

Sumber hukum pokok bagi umat Islam adalah Al-Qur’an dan Hadis, namun seiring perkembangan
zaman dan semakin banyaknya problem dalam kehidupan manusia, maka dalam rangka itu diperlukan
ijtihad dengan metodologi yang jelas sebagai rujukan yang tepat terhadap berbagai macam masalah yang
belum ada secara syariat dalam Al-Qur’an maupun Hadis. Dalam fiqh dikenal dua kaidah yang sama-sama
bisa disebut sebagai metodologi dalam perumusan fiqh yaitu kaidah ushuliyah dan kaidah fiqhiyah.
Seorang Mujtahid menjadikan keduanya sebagai produk ijtihad dalam merespon perkembangan zaman
yang secara umum tidak ditemukan dalam AlQur’an dan Hadis. Kaidah ushuliyah dan kaidah fiqhiyah
ibarat dua sisi yang tidak dapat dipisahkan antara satu sama lain, karena keduanya saling mengisi dan
melengkapi, dimana kaidah ushuliyah sebagai landasan hukum yang bersifat fundamental sedangkan
kaidah fiqhiyah sebagai landasan hukum yang bersifat instumental dalam menyimpulkan dan merangkai
teknis penerapan hukum tersebut.
Menurut Miftahul A dan A. Faishal Haq, dalam bukunya Ushul Fiqh: Kaidah-Kaidah Penetapan
Hukum Islam, menjelaskan bahwa Kaidah Ushuliyah yaitu kaidah-kaidah yang dapat digunakan untuk
memahami hukum-hukum mengenai perbuatan manusia, yang ada dalam nash Al-Qur’an dan Hadist yang
telah dihasilkan oleh ulama ushul fiqh berdasarkan penelitian mereka terhadap ketentuan atas undang-
undang bahasa arab. Menurut Azat Ubaid ad-Da’asi dalam bukunya yang berjudul Al-Qawaid Al-
Fiqhiyyah ma’a Syarhi al-Mujaz, Menjelaskan bahwa Kaidah (qawaid) merupakan jamak dari kata
qoidah, yang secara etimologi berarti asas, dasar, pangkal dari segala sesuatu. sedangkan fiqh adalah
paham atau tahu. Menurut istilah yang digunakan para ahli fiqh (fuqaha), Fiqih ialah ilmu yang
menerangkan hukum-hukum syari’at Islam yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.
4
Adapun Perbedaan Qawaid Fiqhiyyah dan kaidah Ushul Fiqh. Secara lebih rinci dan jelas dapat diamati
dalam uraian di bawah ini :

1. Al-qawaid al-ushuliyyah adalah kaidah-kaidah bersifat kulli (umum) yang dapat


diterapkan pada semua bagian-bagian dan objeknya. Sedangkan al-qawaid fiqhiyyah adalah
himpunan hukum-hukum yang biasanya dapat diterapkan pada mayoritas bagian-bagiannya.
Namun, kadangkala ada pengecualian dari kebiasaan yang berlaku umum tersebut.
2. Al-qawaid al-ushuliyyah atau ushul fiqh merupakan metode untuk mengistinbathkan
hukum secara benar dan terhindar dari kesalahan. Kedudukannya persis sama dengan ilmu nahwu
yang berfungsi melahirkan pembicaraan dan tulisan yang benar. Al-qawaid al-ushuliyyah sebagai
metode melahirkan hukum dari dalil-dalil terperinci sehingga objek kajiannya selalu berkisar
tentang dalil dan hukum. Misalnya, setiap amar atau perintah menunjukkan wajib dan setiap
larangan menunjukkan untuk hukum haram. Sedangkan al-qawaid al-fiqhiyyah adalah ketentuan
(hukum) yang bersifat kulli (umum) atau kebanyakan yang bagian-bagiannya meliputi sebagian
masalah fiqh. Objek kajian al-qawaid al-fiqhiyyah selalu menyangkut perbuatan mukallaf.
3. Al-qawaid al-ushuliyyah sebagai pintu untuk mengistinbathkan hukum syara’ yang bersifat
amaliyyah. Sedangkan al-qawaid al-fiqhiyyah merupakan himpunan sejumlah hukum-hukum
fiqh yang serupa dengan ada satu illat (sifat) untuk menghimpunnya secara bersamaan. Tujuan
adanya qawaid fiqhiyyah untuk menghimpun dan memudahkan memahami fiqh.
4. Al-qawaid al-ushuliyyah ada sebelum ada furu’ (fiqh). Sebab, al-qawaid al-ushuliyyah
digunakan ahli fiqh untuk melahirkan hukum (furu’). Sedangkan al-qawaid al-fiqhiyyah muncul
dan ada setelah ada furu’ (fiqh). Sebab, al-qawaid al-fiqhiyyah berasal dari kumpulan sejumlah
masalah fiqh yang serupa, ada hubungan dan sama substansinya.
5. Al-qawaid al-ushuliyyah adalah himpunan sejumlah persoalan yang meliputi tentang dalil-
dalil yang dapat dipakai untuk menetapkan hukum. Sedangkan al-qawaid al-fiqhiyyah merupakan
himpunan sejumlah masalah yang meliputi hukum-hukum fiqh yang berada di bawah cakupannya
semata.

3. Hubungan Qawaid Al-Fiqhiyah dengan Qawaid Al-Ushuliyah

5
Qawaid ushuliyyah adalah qaidah untuk meng-istinbath- kan hukum dari dalil-dalil yang terperinci.
Sedangkan qawaid fiqhiyyah adalah qaidah untuk mengetahui hukum-hukum, memeliharanya dan
mengumpulkan hukum-hukum yang serupa serta menghimpun masalah- masalah yang berserakan dan
mengoleksi makna- maknanya.
Qowaid Ushuliyah dan Qowaid fiqhiyyah adalah kaidah-kaidah universal yang didalamnya terkandung
bagian-bagian persoalan yang sama, yang dapat dikelompokkan dalam satu garis besar yang sama yang
kemudian melahirkan berbagai macam cabangcabang fiqh. Kaidah-kaidah hukum tidaklah disusun dalam
suatu kurun waktu tertentu. Hukum-hukum itu baru tersusun secara sistematis di kemudian hari sejalan
dengan perkembangan dan pertumbuhan ijtihad di kalangan para pakar dan pendiri madzhab dalam hukum
islam. Hukum Islam dan ijtihad dalam hukum Islam dan keberadaan Qowaid Ushuliyah dan Qowaid
fiqhiyyah, ibaratdua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain, saling
mengisi dan melengkapi. Interelasi kedua kaidah hukum ini adalah bahwa Qowaid Usuliyah berfungsi
sebagai landasan hukum yang bersifat fundamental sedangkan Qowaid Usuliyah bersifat instrumental
dalam menyimpulkan dan merangkai teknis penerapan hukum tersebut. Selain itu interelasi antara Qowaid
Ushuliyah dan Qowaid Fiqhiyyah adalah sebagai connector penghubung antara kesempurnaan Illahiah
dengan pemikiran fana manusia dalam memahami maksud dari sang pencipta alam semesta Allah SWT.
Pengaplikasian hukum Islam kontemporer amat tergantung dari pengaplikasian Qowaid Ushuliyah dan
Qowaid Fiqhiyyah dalam ushul fiqh, sebagai kaidah baku yang sudah ditetapkan maka hal ini harus
menjadi perhatian utama ketika melakukan pembahasan hukum Islam kontemporer, hal ini juga bertujuan
untuk mematahkan omong kosong tentang Al-Quran dan Sunnah yang dikatakan telah ketinggalan zaman,
karena sesungguhnya Al-Quran dan Sunnah di turunkan Allah SWT untuk menjawab segala persoalan di
segala zaman dan sebagai wahyu dari Nabi terakhir Rasulullah SAW tentu tidak akan pernah ketinggalan
zaman, hanya saja pemikiran manusia yang terkadang tidak mampu memahami secara sempurna makna
Illahiah yang terkandung dalam Al-Quran dan Sunnah tersebut.

4. Hubungan Fiqh dan Ushul fiqh

Fiqh adalah proses pembelajaran untuk mengetahui hukum-hukum (syariat) Islam, ushul fiqh dapat
diartikan sebagai kaidah-kaidah yang dibutuhkan untuk mengeluarkan hukum dan perbuatan-perbuatan
manusia yang dikehendaki oleh fiqh. Hubungan antara fiqh dan shul Fiqh sangat erat, hingga tidak dapat
dipisahkan. Keduanya saling melengkapi, dalam satu tujuan untuk menerapkan hukum Islam terhadap
orang-orang mukallaf.

6
Hubungan ilmu Ushul Fiqh dengan Fiqh adalah seperti hubungan ilmu mathiq (logika) dengan filsafat,
bahwa mantiq merupakan kaedah berfikir yang memelihara akal agar tidak ada kerancuan dalam berfikir.
Juga seperti hubungan antara ilmu nahwu dalam bahasa arab, dimana ilmu nahwu merupakan gramatikal
yang menghindarkan kesalahan seseorang di dalam menulis dan mengucapkan bahasa arab. Demikian
juga Ushul Fiqh adalah merupakan kaidah yang memelihara fuqaha’ agar tidak terjadi kesalahan di dalam
mengistimbatkan (menggali) hukum. Ilmu fiqh merupakan produk dari ushul fiqh. Ilmu Fiqh
berkembang karena berkembangnya ilmu ushul fiqh. Ilmu fiqh akan bertambah maju manakala ilmu ushul
fiqh mengalami kemajuan karena Ilmu ushul fiqh semacam alat yang menjelaskan metode
dan sistem penentuan hukum berdasarkan dalil-dalil naqli maupun aqli. Ilmu ushul fiqh adalah ilmu alat-
alat yang menyediakan bermacam-macam ketentuan dan kaidah sehingga diperoleh ketetapan hukum
syariat yang harus diamalkan manusia.
Ushul fiqh lahir lebih dulu dari fiqh karena fiqh diciptakan dari ushul fiqh. Peran ushul fiqh untuk
menciptakan hukum dan dalil-dalil yang terinci dan kuat. Kedudukan ushul fiqh sebagai dasar dari
fiqh Islam, artinya ushul fiqh merupakan sumber-sumber/ dalil-dalil dan bagaimana cara menunjukkan
dalil tersebut kepada hukum syariat secara garis besar. Tanpa pembahasan mengenai ushul fiqh, maka
Fiqh tidak dapat diciptakan karena dasar ushul fiqh harus dipahami lebih dahulu.
Al-Qur’an, hadits rasul dan ijtihad adalah bahan yang diselidiki oleh ilmu ushul fiqh, hasil
penyelidikannya berupa fiqh. Ilmu khusus untuk mengolah sumber hukum dan mencabut serta melahirkan
garis hukum daripadanya yang disebut ilmu ushul fiqh.
Untuk memudahkan pemahaman dalam masalah seperti ini, kami kemukakan contoh- contoh tentang
perintah mengerjakan sholat berdasarkan Al- Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW. Firman Allah
SWT dalam QS. Al-Isra’ yang terjemahannya sebagai berikut:

َ َ َّ ُُ َّ ٰ َ َّ ُ ْ َّ ُ ْ َ ً ْ
ِ‫ٱلصل ٰو ةِ أ ِق ِم‬ ِ ِ ‫ل ٱلش ْمسِ ِلدل‬
‫وك‬ ِ ‫ق ِإ‬
ِ ِ ‫ل غس‬ ِ ‫مش ُهودا كانِ ِٱلف ْجرِ ق ْرءانِ ِإ‬
ِ ِ ‫ن ِۖٱلف ْجرِ وق ْرءانِ ٱل ْي‬
Artinya :“Dirikanlah sholat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula)
sholat shubuh. Sesungguhnya sholat shubuh itu disaksiakn ( oleh Malaikat).” (QS. Al- Isra: 78)
Nabi Muhammad SAW telah bersabda dalam hadits-Nya yang berbunyi:

َّ َّ ُ َّ ْ َ َّ ُّ َ ُ َ ِ ُ
ِ‫ول قالِ( م ِالكِ ع ْن‬
ُِ ‫اَلل ر ُس‬
ِِ ‫َل‬ِ ‫اَلل ص‬ ِ ِ ِ ‫َل رأ ْيت ُم‬
ِ ‫)وسلمِ علي ِِه‬: ‫ون كما وصلوا‬ ِ ِ ‫)البخاري رواه( أص‬
Artinya : Dari Malik (telah bersabda Rasulullah saw): “Shalatlah sebagaimana kamu melihatku bershalat”.
(HR. Muttafaqun alaihi).
Dari firman Allah SWT dan Hadist Nabi Muhammad SAW belum dapat diketahui, apakah hukmnya
mengerjakan shalat itu, baik wajib, sunat, atau harus. Dalam masalah ini Ushul Fiqh memberikan dalil
7
bahwa hukum perintah atau suruhan itu asalnya wajib, terkecuali adanya dalil lain yang memalingkannya
dari hukumannya yang asli itu. Hal itu dapat dilihat dari kalimat perintah mengenai mengerjakan Shalat
bagi umat Islam.

5. Ushul Fiqh Dalam Metodologi Hukum Islam

Hukum adalah titah Allah yang berkenaan dengan perbuatan-perbuatan mukallaf, baik berupa perintah
untuk melakukan suatu perbuatan, perintah untuk tidak melakukan suatu perbuatan, atau memilih antara
melakukan perbuatan atau tidak melakukannya. Menurut sebagian pakar pendahulu ilmu ushul fiqh, titah
Allah dalam definisi di atas adalah kalam nafsi azali, yaitu suatu firman atau kalam Allah sendiri yang
sifatnya kekal abadi. Kalam Allah mempunyai dua petunjuk yang disebut sebagai dalalah. Pertama adalah
dalalah lafdziyyah, yaitu petunjuk berupa lafadz-lafadz dalam bentuk al Quran; kedua adalah dalalah
ma'nawiyyah yaitu petunjuk yang berupa makna-makna yang mengambil bentuk sunnah, al-ijma
(kesepakatan para ahli hukum Islam tentang kedudukan hukum suatu peristiwa hukum pada masa
tertentu), Qiyas atau analogi dan semua yang dianggap atau dijadikan dalil atau indikasi (qarinah). Dasar-
dasar dan pedoman pokok-pokok yang telah terkodifikasi dalam ranah istinbâth al ahkam disebut 'ilmu
ushul fiqih. Ilmu ushul fiqih tidak bisa dilepaskan dari proses ijtihad yang telah berlangsung sejak awal
Islam hingga para sahabat Rasulullah SAW. Ushul fiqih terdiri dari dua kata: Ushûl, yang artinya pokok-
pokok dan Al-figh secara etimologis berarti pengetahuan atau pemahaman. Dengan demikian, menurut
Juhaya S Praja, al-fiqh secara terminologis adalah ilmu tentang hukum-hukum syariah. Ilmu Fiqih adalah
seperangkat pengetahuan untuk menetapkan kedudukan hukum perbuatan setiap orang mukallaf.
Berdasarkan dua istilah ini, maka ushul fiqh berarti kaidah kaidah dan perundang-undangan universal
sebagai pedoman bagi siapa saja yang akan melakukan istinbath hukum syari'ah dari dalil dalilnya secara
terperinci. Ilmu ushul fiqih adalah pengetahuan tentang kaidah-kaidah ushul yang dapat membantu
mujtahid (orang yang melakukan ijtihad) dalam melakukan istinbat hukum yang shahih dari sumber dan
dalil-dalil hukum.
Abdul Malik Ibn Abdillah Ibn Yusuf Al-Juwayni dalam kitab karangannya, al-Burhan fi Ushul al Fiqh,
memberikan kata kunci bagi al-figh sebagai al-ilm bi ahkam al-taklif, seperangkat pengetahuan mengenai
hukum-hukum pembebanan (taklif). Seraya mengkritik beberapa pendapat yang menyatakan bahwa
kandungan terbesar dari masalah-masalah syar'iyyah adalah asumsi-asumsi (dhanûn), al Juwayni
menyatakan bahwa asumsi (dhann) bukanlah berdasar dari pemahaman (figh). Dengan demikian, al-fiqh
adalah al-ilm bi wujûb al-amal 'inda qiyâm al-dhannûn (fiqih atau pemahaman adalah seperangkat ilmu
8
pengetahuan dalam ranah praksis (amal) ketika munculnya asumsi-asumsi. Dengan demikian, ushul fiqih
adalah dalil-dalil fiqih itu sendiri. Abu Zahrah menyatakan bahwa yang disebut dengan fiqih secara
etimologis adalah pemahaman yang mendalam yang dengannya bisa diketahui maksud dan tujuan dari
perkataan dan perbuatan itu. Sementara secara terminlogis, fiqh adalah seperangkat pengetahuan tentang
hukum-hukum syariat dengan dalil-dalilnya secara terperinci. Dengan demikian, Ushul fiqih dalam
pengertian ini adalah apa saja yang dibangun di atasnya tentang fiqih (mâ yubnâ 'alayhi al-figh). Tegasnya
adalah pengetahuan tentang kaidah kaidah yang mendeskripsikan tentang manhaj manhaj atau ragam
metodologi dalam istinbat hukum. Penegasan yang lebih operasional tentang pengertian ushul al-fiqh
dikemukakan oleh Dr. Wahbah Zuhayli dalam al-Wajiz fi Ushul al Fiqh. Bagi guru besar fikih Islam dan
Madzhab Universitas Damaskus ini menyatakan bahwa Ushul fikih bermakna adillah al-Fiqhi. Tegasnya
adalah kaidah-kaidah yang mengantarkan seorang mujtahid pada istinbat hukum-hukum syar'iyyah praktis
dari dalil-dalilnya secara terperinci. Kata kunci dari pengertian ushul fiqih al-Zuhayli adalah al-Qawaid
atau kaidah kaidah. Dengan demikian, berdasarkan pengertian ini, ushul fiqih mesti memuat dalil dalil
atau kaidah-kaidah bagi seorang mujtahid dalam rangka memutuskan suatu perkara hukum.
Ilmu ushul fiqih tidak terlepas dari ilmu kalam. Ilmu kalam adalah ilmu yang membicarakan tentang
pokok-pokok agama (ushûl al-din) yang menjelaskan argumentasi rasional tentang kemahaesaan Allah,
kerasulan para rasul secara umum, khususnya kerasulan Nabi Muhammad SAW dan pilar-pilar keimanan.
Berdasarkan ilmu kalam inilah ditetapkan sumber-sumber syariat dan pembentukan hukum di atasnya. Di
sisi lain, ilmu ushul fiqih membangun kaidah kaidahnya berdasarkan premis-premis ilmu kalam, seperti
pembahasan dalil (argumen) dan pembagiannya. Dengan demikian, tersusunlah dalil yang menjamin
pengetahuan yang bersifat meyakinkan (ilmu) dan yang bersifat hipotesis (dhanni). Demikian pula dengan
prosedur untuk mengetahui dalil dan prosedur penelitian hukum, pengetahuan tentang siapa hakikat
pembuat hukum, apa yang dapat menetapkan hukum, menjelaskan apakah akal atau wahyu yang
menetapkan nilai baik (tahsin) dan buruk (taqbih) suatu tindakan dalam hubungannya dengan hukum
taklif. Hukum taklif adalah hukum yang harus dilakukan oleh orang yang memenuhi kelayakan hukum,
yaitu orang muslim yang berakal sehat dan telah dewasa.
Pada kenyataannya, al-Quran dan al-Sunnah sebagai sumber hukum Islam ditulis dalam bahasa Arab,
maka pengetahuan tentang struktur bahasa Arab menjadi penting dan harus dikuasai oleh setiap orang
yang akan melakukan ijtihad. Pengetahuan struktur bahasa Arab yang mesti diketahui seorang mujtahid
antara lain:
1. Al-Amr (kalimat perintah)
2. Al-Nahyu (kalimat larangan)
3. Al-Am (kalimat yang mengandung makna dan hukum yang berlaku umum)
9
4. Al-Khash (kalimat yang mengandung
makna dan hukum yang khusus)
5. Ijma' (kesepakatan hukum tertentu di kalangan fuqaha pada masa tertentu)
6. Al-Tabyîn (kalimat yang mengandung penjelasan hukum)
7. Qawâid lughawiyyah (kaidah-kaidah hukum yang disusun berdasarkan kaidah bahasa Arab)
Sejarah menunjukkan bahwa proses pembentukan fiqih dan syariah itu berpangkal pada dua hal:
1. Ushul fiqih yang dasarnya adalah kaidah-kaidah hukum (qawaid al ahkam) yang dirumuskan
berdasarkan lafaz-lafaz bahasa Arab dan apa yang mungkin timbul darinya berupa: al naskh
(penghapusan hukum oleh hukum yang lain), dan al-tarjih (pengambilan hukum yang
argumentasinya lebih kuat).
2. Kaidah-kaidah fikih yang universal (qawaid kulliyyah fiqhiyyah) dalam butir-butir kaidah yang
jumlahnya sangat banyak yang terangkum, misalnya dalam kitab al-Asybah wa al Nadhair karya
Imam al-Suyuthi.
Berdasarkan dua hal itu, maka dirumuskanlah hukum-hukum syariat yang biasa disebut al- ahkam al-
khomsah (lima hukum) yang meliputi: wajib (al-ijab), sunnat (al-nadb), haram (al tahrim), makruh (al-
karahah), mubah (al Ibahah).

BAB III

10
PENUTUP

A. Kesimpulan

Secara etimologi fiqh berarti pengetahuan, pemahaman, atau memahami maksud pembicaraan dan
perkataannya. Para ulama yang memandang qawaid fiqhiyyah disebutkan dengan al-hukm atau al-ashl
itulah pendapat yang tepat, karena dua istilah itu yang menjadi ciri utama dari qawaid fiqhiyyah.
Qawaid ushuliyyah adalah qaidah untuk meng-istinbath- kan hukum dari dalil-dalil yang
terperinci. Sedangkan qawaid fiqhiyyah adalah qaidah untuk mengetahui hukum-hukum, memeliharanya
dan mengumpulkan hukum-hukum yang serupa serta menghimpun masalah- masalah yang berserakan
dan mengoleksi makna- maknanya.
Qawaid Al-Fiqhiyah dan Qawaid Al-Ushuliyah memiliki hubungan yang erat, dimana didalamnya
terkandung bagian-bagian persoalan yang sama, yang dapat dikelompokkan dalam satu garis besar yang
sama yang kemudian melahirkan berbagai macam cabangcabang fiqh.
Hubungan ilmu Ushul Fiqh dengan Fiqh adalah seperti hubungan ilmu mathiq (logika) dengan
filsafat, bahwa mantiq merupakan kaedah berfikir yang memelihara akal agar tidak ada kerancuan dalam
berfikir.

11
DAFTAR PUSTAKA

Usman, Muchlis, Qa`idah- qa`idah Ushuliyyah Dan Fiqhiyyah, (Jakarta: Raja Grafindo persada, 1999), Cet. III

Zarqa, Ahmad bin Muhammad al-, Syarh al-Qawa'id Fiqhiyyah, Dimasyqi: Darul Ilmi, 1938, Cet. II

https://www.dictio.id/t/bagaimana-hubungan-fiqh-dengan-ushul-fiqh/121666

12

Anda mungkin juga menyukai