(MAQASHID)
Disusun Oleh :
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
TAHUN 2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum Islam bersumber dari Wahyu Tuhan yang terdapat dalam al-Qur’an
dan sunnah Rasulullah yang diyakini untuk mencapai kemaslahatan manusia.
Apabila sebuah hukum tidak menciptakan kemaslahatan bagi manusia, maka perlu
adanya tinjauan kembali terhadap hukum tersebut dan dibuatkan sebuah hukum
baru yang lebih maslahah dengan tidak menafikan ajaran-ajaran prinsipil agama1 ,
dan tidak bertentangan dengan Nash. Kajian terhadap Maqashid al-Syariah itu
sangat penting dalam upaya istibath hukum, karena Maqashid al-Syariah bisa
menjadi landasan penetapan hukum. Pertimbangan ini menjadi suatu keharusan
bagi masalah-masalah yang tidak ditemukan ketegasannya dalam Nash. Islam
diturunkan ke bumi dilengkapi dengan jalan kehidupan yang baik (syari’ah) yang
diperuntukkan untuk manusia. Berupa nilai-nilai agama yang diungkapkan secara
fungsional dan dalam makna yang konteks yang ditujuan untuk mengarahkan
kehidupan manusia, baik secara individual maupun secara social (kolekti
kemasyarakatan). Pembicaraan tentang tujuan pembinaan hukum Islam atau
maqasid syari’ah merupakan pembahasan penting dalam hukum Islam yang tidak
luput dari perhatian ulama’ serta pakar hukum Islam. Bila diteliti perintah dan
larangan Allah dalam Al-Qur’an, begitu pula perintah dan larangan Nabi dalam
sunnah yang terumuskan dalam fiqh, akan terlihat bahwa semuanya mempunyain
tujuan tertentu dan tidak ada yang sia-sia. Semuanya mempunyai kemaslahatan
bagi umat manusia. Pada pembahasan kali ini penulis akan membahas tentang
definisinya, hujjah, cara mengetahui dan tujuan mengetahui maqashid syari’ah,
macam-macamnya, dan contoh penerapannya.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
1
Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah (Jakarta: Amzah, t. th.), h. 1.
sesama manusia (hubungan horizontal). Agama Islam juga merupakan
nikmat Allah yang tertinggi dan sempurna seperti yang dinyatakan dalam
Al-Qur’an surat al-Maidah ayat 3 :
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-
cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama
bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja
berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”
Agama Islam juga harus dipelihara dari ancaman orang-orang yang tidak
bertanggung jawab yang hendak meruska akidahnya, ibadah-ibadah,
akhlaknya, atau yang akan mencampur adukkan kebenaran ajaran Islam
dengan berbagai paham dan aliran yang batil.
2) Memelihara Jiwa
Islam melarang pembunuhan dan pelaku pembunuhan diancam dengan
hukuman Qisas (pembalasan yang seimbang), diyat (denda) dan kafarat
(tebusan). Sehingga dengan demikian diharapkan agar seseorang sebelum
melakukan pembunuhan, berfikir secara dalam terlebih dahulu, karena jika
yang dibunuh mati, maka seseorang yang membunuh tersebut juga akan
mati, atau jika yang dibunuh tersebut cidera, maka si pelakunya akan
cidera yang seimbang dengan perbuatannya.
Pemeliharaan ini merupakan tujuan kedua hukum Islam, karena itu hukum
Islam wajib memelihara hak manusia untuk hidup dan mempertahankan
kehidupannya. Untuk itu hukum islam melarang pembunuhan sebagai
upaya menghilangkan jiwa manusia dan melindungi berbagai sarana yang
dipergunakan oleh manusia dan mempertahankan kemaslahatan hidupnya.2
2
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam (Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2005), H. 63.
Termasuk kepada binatang ternak, kurma, hingga lebah, seperti yang
tertuang dalam surat An-Nahl ayat 66 :
3
Saifudin Zuhri, Ushul Fiqih Akal Sebagai Sumber Hukum Islam (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
2009), h. 64.
4
Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Bumi aksara, 1992), h. 67.
jual beli, syirkah (perseroan), mudharobah (berniaga dengan harta orang
lain) dan lainnya.
5
Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h.
333.
Pengelompokan ini didasarkan pada tingkat kebutuhan dan skala prioritas.
Urutan ini akan terlihat kepentingannya, ketika kemaslahatan yang ada
pada tingkat masing-masing tingkatan itu sama lain bertentangan. Dalam
hal ini, peringkat dlaruriyah menempati tingkatan pertama, disusul oleh
peringkat hajiyah, kemudian disusul oleh tahsiniyah. Namun disisi lain,
dapat dilihat bahwa peringkat ketiga melengkapi peringkat kedua, dan
peringkat kedua melengkapi peringkat pertama.
B. Contoh Bagian Syariah (Maqashid)
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang
terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan;
karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”.
Perintah ini dikaitkan dengan arti makanan itu sendiri bagi manusia,
yakni membentuk keturunan yang sehat tidak hanya jasmani tapi juga rohani.
Maka MUI mengeluarkan fatwa tentang sertifikasi halal guna melindungi umat
Islam dari makanan, minuman dan obat-obatan serta kosmetik yang tidak halal
dikonsumsikan atau dipakai. Dalam konteks inilah upaya sertifikasi halal bagi
suatu produk terkait dengan Maqashid Syari’ah yang muatan intinya adalah
kemaslahatan umat manusia.
Disamping itu pula, sertifikasi halal bagi suatu produk diperlukan
karena bagi Islam keharaman suatu makanan tidak semata tergantung dari
‘illah yang dapat dijadikan sebagai salah satu sebab pengharaman. Artinya,
suatu makanan sering pula dilihat secara ta’abbudi (kepatuhan terhadap
Tuhan). Sebagai contoh, pengharaman memakan daging babi atau makanan
yang mengandung lemak babi. Walaupun sudah dapat dipastikan bahwa
makanan tersebut terbebas dari cacing pita yang dapat merusak kesehatan
manusia, namun tidak merubah hukumnya menjadi halal.
Kedua, Intervensi Harga Oleh Pemerintah Pada Saat Distorsi Pasar.
Distorsi Pasara adalah suatu fakta yang terjadi di lapangan (mekanisme pasar),
yang mana fakta tersebut tidak sesuai dengan teori-teori yang seharusnya
terjadi di dalam sebuah mekanisme pasar. (Seperti; rekayasa penawaran
(ikhtikar/monopoli/penimbunan) dan rekayasa permintaan (ba’I najasy), tadlis
(penipuan), ketidak pastian (taghrir). Ketika distorsi harga terjadi di pasar, Ibnu
Taimiyah mengajarkan bahwa pemerintah boleh campur tangan dalam masalah
harga. Secara tekstual Ibnu Taimiyah melanggar nash Hadist Nabi Muhammad
yang berbunyi, “Telah mengabarkan kepada kami 'Amr bin 'Aun telah
mengabarkan kepada kami Hammad bin Salamah dari Humaid serta Tsabit
dan Qatadah dari Anas, ia berkata; Pernah terjadi krisis pada masa Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam, lalu orang-orang berkata; "Wahai Rasulullah,
harga barang-barang telah melonjak, oleh karena itu tetapkanlah harga untuk
kami! " Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya
Allah adalah Pencipta, Dzat yang membentangkan rizqi serta Pemberi rizqi
dan yang menentukan harga. Sesungguhnya aku berharap dapat bertemu
dengan Rabbku, sementara tidak ada salah seorang dari kalian yang menuntut
kezhaliman yang pernah aku lakukan terhadapnya, baik yang berkaitan
dengan darah maupun harta”.
Akan tetapi dengan pertimbangan kemaslahatan, regulasi perekonomian
bisa berubah dari teks nash kepada konteks nash yang mengandung maslahah,
di mana terjadi situasi yang berbeda dengan masa Nabi. Maka dari itu
Intervensi Harga oleh Pemerintah pada saat distorsi pasar bisa dilakukan
berdasarkan pertimbangan maslahah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Maqashid adalah bentuk jamak dari maqsud yang berarti kesengajaan atau
tujuan, dan Syariah secara bahasa berarti jalan menuju sumber air. Jadi,
Maqashid Syari’ah adalah maksud Allah selaku pembuat syariah untuk
memberikan kemaslahatan kepada manusia di dunia dan akherat. Yaitu dengan
terpenuhinya kebutuhan dlaruriyah, hajuyah, dan tahsiniyah agar manusia bisa
hidup dalam kebaikan dan dapat menjadi hamba Allah yang baik.
Kerangka Maqashid Syari’ah dibagi menjadi; (1) Dlaruriyah, adalah
penegakan kemaslahatan agama dan dunia. Selanjutnya, Dlaruriyah terbagi
menjadi lima poin yang biasa dikenal dengan al-kulliyat al-khamsah, yaitu; (a)
penjagaan terhadap agama (Hifz al-Din), (b) penjagaan terhadap jiwa (Hifz al-
Naf), (c) penjagaan terhadap akal (Hifz al-‘Aql), (d) penjagaan terhadap
keturunan (Hifz al-Nasl), (e) Penjagaan terhadap harta benda (Hifz alMal). (2)
Hajiyah, adalah didefinisikan sebagai hal-hal yang dibutuhkan untuk
mewujudkan kemudahan dan menghilangkan kesulitan yang dapat
menyebabkan bahaya dan ancama. (3) Tahsiniyah, adalah melakukan
kebiasaan-kebiasaan yang baik dan menghindari yang buruk sesuai dengan apa
yang telah diketahui oleh akal sehat.
DAFTAR PUSTAKA
Ismail, Muhammad Syah. Filsafat Hukum Islam. Bumi Aksara : Jakarta, 1992.
Umam, Khairul dan Ahyar Aminudin. Ushul Fiqih. Bandung : Pustaka Setia,
2001. Zuhri, Saifudin. Ushul Fiqih Akal Sebagai Sumber Hukum Islam.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2009.