Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

TABIAT-TABIAT HUKUM ISLAM


Disusun Untuk Memehunu Tugas Terstruktur
Mata Kuliah Filsafat Hukum Islam
Dosen Pengampu : Izzuddin, M.A
Tanggal Presentasi : Jum’at, 8 Desember 2023

kelompok 12:

M Ali At-Thantowi 2283110004


Sri Wahyuni 2283110012
Tyas Laksmi Windriya 2283110018

KELAS 3A
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SYEKH NUR JATI CIREBON
1445 H/ 2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. Pendahuluan
Hukum Islam atau yang dapat dikenal dengan Islamic law dalam bahasa Inggris
hanya populer dalam istilah resmi di Indonesia, dalam literatur Arab istilah hukum Islam
tidak ditemui baik dalam al-Qur’an maupun hadits. Namun, kedua kata ini secara
terpisah dapat ditemukan dalam al-Qur’an dan Sunnah disebut al-syari’ah al-Islamiyah
(syariah Islam) dan al-fiqh al-Islami (fikih Islam). Oleh karena itu, sebagian ulama
berpendapat bahwa hukum Islam sama dengan syariah dan sebagian ulama lain
berpendapat bahwa hukum Islam sama dengan fiqih.
Agama Islam merupakan agama yang paling benar yang benar di sisi Allah tidak
ada agama selain agama Islam dalam menjalankan hukum Islam manusia dibebani
ketika sudah mencapai usia baligh dan itu suatu kewajiban yang harus ditunaikan karena
kewajiban itu dibebankan kepada orang yang mampu menjalankannya, adapun
karakteristik hukum Islam yang ada di dalam Alquran disebutkan yang pertama adalah
sempurna ataukah kamu yang kedua hukum Islam itu bersifat elastis sesuai dengan
zaman selanjutnya hukum Islam itu bersifat wathaniyah menempuh jalan tengah tidak
condong ke kanan dan tidak condong kekiri karena itu hukum Islam untuk
menyelaraskan di antara kenyataan dan fakta dengan ideal dan cita-cita, selanjutnya
hukum Islam bersifat universal dan dinamis karena semua kembali kepada Alquran dan
hadisyang selanjutnya adalah sistematis dari pernyataan bahwa hukum Islam itu bersifat
sistematis adalah hukum Islam itu mencerminkan sejumlah doktrin yang berjalan secara
logis dalam pikiran manusia. Olehkarena itu hukum Islam mempunyai karakteristik yang
sempurna sehingga dapat sesuai dengan akal dan fitrah manusia.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud karakteristik hukum Islam yang sempurna?
2. Apa yang dimaksud karakteristik hukum Islam yang imbang?
3. Apa yang dimaksud karakteristik hukum Islam yang berkembang?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui karakteristik hukum Islam yang sempurna.
2. Untuk mengetahui karakteristik hukum Islam yang imbang.
3. Untuk mengetahui karakteristik hukum Islam yang berkembang

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Takamul (Sempurna)
Hukum Islam berisi tentang tuntunan Allah yang berkaitan dengan
perbuatan manusia yang menyangkut perintah, larangan dan kebolehan untuk
mengerjakan atau meninggalkan sesuatu.1 Islam merupakan agama dengan
penganut yang beragam, terdapat perbedaan bangsa, suku dan lain sebagainya,
namun hukum Islam membuat ummat dalam satu kesatua yang bulat. Dalam
hal yang umum ummat Islam akan bersatu padu, meskipun terdapat perbedaan
dalam hal kebudayaan. Hukum Islam yang takamul atau dalam bahasa
Indonesia berarti sempurna, bulat dan tuntas memiliki maksud bahwa hukum
Islam menghimpun segala sudut dan segi yang berbeda-beda dalam satu
kesatuan. Sehingga hukum Islam tidak menghendaki adanya pertentangan
antara ushul dan furu’, namun satu sama lain saling melengkapi, kuat
menguatkan, seperti pohon yang semakin banyak cabangnya akan semakin
kokoh dan teguh batangnya, semakin subur pertumbuhannya dan semakin
segar kehidupannya.
Hukum Islam memiliki sifat syumul, dimana hukum Islam dapat
melayani kelompok yang bertahan degan hal yang sudah usang maupun
kelompok yang menginginkan adanya perubahan, dapat melayani kelompok
ahli naqli maupun ahli ’aqal, dapat melayani ahlul kitab was sunnah juga dapat
melayani ahlul ra’yu wal qiyas dan mampu berbaur dengan segala golongan
masyarakat dan tingkat kecerdasannya.
Ketika berasimilasi, hukum Islam akan memberi, menerima dan
menolak serta membantah segala kaidah yang telah ditetapkan, hukum Islam
tidak akan kehilangan kepribadiannya, namun tidak pula kaku, tidak pula
terpaku pada sesuatu, dan tidak berlebih-lebihan.
Hukum Islam yang memiliki sifat syumul akan memiliki kemampuan
untuk menampung segala perkembangan di masyarakat juga berjalan seiring
dengan perkembangan zaman. Hukum Islam dapat mempertemukan hal-hal
yang saling bertentangan dengan fleksibel dan lurus tanpa memihak pada salah
satu pihak. Manusia yang tersusun dari ruhi (kejiwaan) dan maddi (materi)

1
Beni Ahmad Saebani, Filsafat Hukum Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 42.
3
tidak akankehilangan salah satunya, karena dalam hukum Islam keduanya
akan selalu ada, oleh karena itu maka dalam hukum Islam mengatur
permasalahan mengenai ibadah, muamalah, siasat, kenegaraan, jinayat dan
lain sebagainya. 2
Hukum Islam dinilai memenuhi kebutuhan hidup manusia, baik yang
bersifat primer, sekunder dan tersier, yang dalam hukum Islam masing-masing
disebut daruriyat, hajjiyat dan tahsiniyat. Pertama, kebutuhan primer adalah
kebutuhan utama yang harus dipelihara sebaik mungkin oleh hukum Islam
meliputibeberapa kepentingan pemeliharaan terhadap (1) Agama, (2) Jiwa, (3)
Akal, (4) Keturunan, dan (5) Harta.
Pemeliharaan agama merupakan tujuan dari hukum Islam karena
merupakan pedoman hidup baik dalam hubungan dengan Tuhannya maupun
dengan manusia lain dan benda di alam dunia, ketiga komponen tersebut
berjalan beriringan dengan begitu agama yang dianut seseorang harus
menjamin kemerdekaan untuk beribadah menurut keyakinannya.
Pemeliharaan jiwa yakni hukum Islam harus sejalan dengan hak
manusia untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya, dengan sebab itu
hukum Islam melarang adanya pembunuhan yang dijelaskan dalam surat al
Isra ayat 33 sebagai upaya melindungi manusia dan mempertahankan
kemaslahatan hidupnya.
Pemeliharan akal sangat penting oleh hukum Islam karena dengan akal
manusia dapat berpikir tentang Allah, alam semesta dan dirinya sendiri serta
dapat mengembangkan pengetahuan dan teknologi. Penggunaan akal harus
mengarah pada sesuatu yang menimbulkan maslahat bukan untuk hal hal yang
menimbulkan mudharat bagi kehidupannya. Dengan begitu hukum Islam
melarang meminum minjman yang memabukkan (khamr) sebagaimana yang
dijelaskan dalam surah almaidah ayat 90.
Pemeliharan keturunan sangat penting untuk pemurnian darah yang
dijaga dan berkelanjutan bagi silsilah keluarga umat Islam. Hal ini tercermin
dalam hubungan darah yang menjadi syarat sesorang untuk saling mewarisi
sebagaimana dijelaskan dalam surah an Nisa ayat 11, kemudian larangn-
larangan perkawinan yang dijelaskan secara rinci dalam Qs. An Nisa ayat 23,
serta larangan berzina yangdijelaskan dalam Qs. Al-Isra ayat 32

2
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1998), 105-106.
4
Pemeliharaan harta, Allah memberikan rizky kepada manusia untuk
mempertahankan dan melangsungkan kehidupannya dengan baik, dengan
begitu hukum Islam melindungi hak manusia untuk memperoleh harta dengan
cara yang halal dan melindungi kepentingan harta seseorang, masyarakat dan
negara. Seperti dilarang melakukan penipuan yang dijelaskan dalam Qs. An -
Nisa ayat 29, penggelapan yang dijelaskan dalam Qs. An-Nisa ayat 58,
perampasan dalam Qs. Al-Maidah ayat 33 dan pencurian dalam Qs. Al-
Maidah ayat 38. Pemeliharaan harta seseorang diatur hingga seseorang itu
meninggal sampai peralihan harta tersebut kepada kerurunannya.
Kemudian hukum Islam memenuhi kebutuhan sekunder (hajiyat), yaitu
kebutuhan yang diperlukan untuk merealisasiskan kebutuhan primer seperti
kemerdekaan, persamaan dan sebagainya yang bersifat menunjang eksistensi
kebutuhan primer itu sendiri. Kebutuhan tersier (tahsiniyyat) adalah kebutuhan
hidup manusia yang dipenuhi setelah kebutuhan primer dan sekunder
terpenuhi, kebutuhan tersier dipenuhi untuk memelihara kebaikan hidup
manusia dalam masyarakat seperti sandang, pangan, perumahan dan lain
sebagainya. 3

B. Wasatiyat (Imbang, harmonis)


Konsep wasatiyat merupakan salah satu konsep utama dalam hukum
Islam dengan tujuan membentuk karakteristik pada ummat Islam. Allah
menyebutkan bahwa umat Islam merupakan ummatan wasathan yaitu umat
yang seimbang dalam mengejar kebutuhan jasmani dan rohani. Manusia
membutuhkan agama yang seimbang karena tawazun merupakan sunnatullah.
Tidak condong pada kebendaan ataupun kejiwaan merupakan salah
satu karakteristik hukum Islam. Permasalahan yang dilalui oleh manusia, baik
jasmani dan rohani, hubungan dengan sesama makhluk, bahkan hubungan
manusia dengan Sang Khalik. Hukum Islam yang imbang dapat dilihat dalam
ayat-ayat al-Isra 29, an-Nisa 129, al-Furqan ayat 67, surahal-Maidah ayat 89
dan surah al-Baqarah ayat 238 serta 143.
Islam mengharuskan penganutnya untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan tubuh dan jiwa. Hukum Islam hadir dan mempatkan pada posisi
dimana ummatnya berada pada posisi mementingkan hal-hal yang berkaitan

3
Mustofa dan Abdul Wahid, Hukum Islam Kontemporer (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), 6-8.
5
dengan urusan dunia dan akhirat. Dalam hal ibadah, Islam tidak menghendaki
penganutnya untuk selalu beribadah dengan mengejar akhirat tetapi melupakan
kebutuhannya di dunia, begitu pula pada manusia yang hanya mengejar dunia
tetapi melupakan akhirat.4
Karakter wasatiyat dalam Islam ialah al-hanafiyah al-samhah yaitu
mencari kebenaran dengan lapang dada, terbuka, serta toleran, sehingga dapat
diketahui bahwa Islam melarang adanya paksaan dalam hal menerima
kebenaran.
Konsep wasatiyat menimbulkan budi luhur dalam agama, terutama
dalam permaslahan fiqh yang kerapkali terdapat perbedaan yang sudah
selayaknya direspon dengan keterbukaan dan lapang dada, dengan konsep
wasatiyat ini umat Islam tidak akan mudah untuk menyalahkan satu sama lain
ketika dihadapkan dengan perbedaan karena masing-masing memiliki dalil
dan ulama mazhab yang dianutnya.
Dalam surah an-Nisa ayat 129 merupakan salah satu ayat yang
membahas mengenai konsep wasatiyat dalam bidang keluarga, dimana
seorang suami janganlah berat sebelah terhadap salah satu istrinya yang
membuat pihak yang lain terkatung-katung, ditalak tidak namun dipergaulipun
tidak, sehingga tidak boleh hanya memihak pada salah satu istrinya yang
membuat istri yang lain merasa kecewa, begitulah salah satu hukum Islam
yang seimbang.
Konsep wasatiyat juga tercantum dalam Qs. Al-Isra ayat 29 yang
menjelaskan agar tidak berlaku berlebih-lebihan, seperti boros, kikir dan dan
tidak memberikan sesuatu kepada orang, dalam tafsir ini jika dilihat konsep
wasathiyahnya ialah tidak boleh berlebihan terutama dalam sikap belanja,
mengindari sikap boros karena akan menjadikan miskin serta mengalami
kesulitan dibelakang hari. Selanjutnya dalam Qs. Al-Maidah ayat 89 terdapat
pula konsep wasatiyat dimana memberikan makanan kepada fakir miskin
ketika melaksanakan kafarat disesuaikan dengan kebiasaan yang berlaku.
Dalam Qs. Al-Baqarah ayat 238 terdapat konsep wasatiyat kerjakanlah
sembahyang lima waktu dengan terus menerus jangan kadang shalat kadang
tidak, yang dimaksud sembahyang wustha disini adalah sembahyang yang
paling utama, dan yang paling baik pelaksanaannya, berkualitas banyak ulama

4
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, 106.
6
yang berselisih paham mengenai makna shalat wustha ada yang mengatakan
sembahyang subuh ada yang mengatakan sembahyang asar tetapi pendapat
yang lebih kuat adalah sembahyang asar. Sedangkan shalat asar adalah shalat
pertengahan antara subuh zuhur dan maghrib isya, antara siang dan menjelang
malam maghrib maknanya adalah wasathiyat dalam hukum Islam
pertengahan.

C. Harakah ( Dinamis)
Setiap perbuatan manusia secara tidak sadar pasti berkaitan dengan
hukum, supaya kita menyadari persoalan hukum tentu harus memahaminya.
Seorang muslim tentu tidak akan lepas dengan hukum islam, oleh sebab itu
harus dipahami bagaimana persoalan hukum, terutama hukum islam. Semakin
berkembangnya zaman hukum islam dapat berubah seiring munculnya
persoalan baru, dengan begitu para mujtahid dituntut untuk mampu
menetapkan hukum terhadap suatu persoalan hukum yang baru. Pemikiran dan
ijtihad para ulama sangat berperan agar setiap perubahan dapat terjawab
ketentuan hukumnya, salah satunya dengan menafsirkan nash. Penafsiran ini
berlandaskan tujuan, maksud dan hakikat syara’ terlebih pada persoalan
hukum yang tidak tercantum dalam nash. Dari sinilah kemudian muncul
menjadi fiqh imam mazhab.
Hukum islam dalam dinamina kehidupan manusia bersifat dinamis
akan perubahan sosial. Hukum islam tumbuh mengitari berbagai situasi dan
kondisi umat islam. Menurut Ahmad Hasan dalam bukunya The Earlyn
Development of Islamic Jusripridence, melahirkan epistemologi fiqh yang
menyimpulkan bahwa pada dasarnya merupakan resultante dan interaksi pada
ulama dengan fakta sosial yang mengelilinginya. Karakteristik pemikiran
mengenai hukum islam merujuk pada pemikiran orisinil pada mujtahid dalam
dinamisasi dan Kontekstualisasi fiqhdikalangan umat islam.
Misalnya pandangan M. Hasbi Ash-Shiddieqy, seorang ulama
Indonesia menegaskan mengenai konsep al maslahah al mursalah
(kemaslahatan dalam perspektif syara’) yang berasaskan kemanfaatan dan
keadilan serta sadd adzdzari’ah (mencegah terjadinya kerusakan) merupakan
teori dalam Kontekstualisasi hukum islam. Pada prinsipnya ini muncul dari
kombinasi yang dipegang pada imam mazhab, terutama aliran Madinah dan

7
Kufah yang terbukti mampu membawa ketertiban dalam masyarakat. Maslahat
(al-maslahah) diartikan secara singkat sebagai suatu yang baik dan bermanfaat,
misalkan menuntu ilmu itu terhadap kemaslahatan bagi kehidupan, maka
menuntu ilmu merupakan penyebabtimbulnya kemaslahatan itu sendiri.
Secara eksplisit hukum islam yang bersifat dinamis ini upaya
memahami dan menjalankan hukum islam sesuai dengan konteks zamannya.
Banyak metode pendekatan ketika mengkaji terhadap permasalahan ini,
terutama pada pemahaman terhadap konteks. Para mujtahid memiliki berbagai
metode penafsiran untuk menetapkan hukum islam. Dengan
mengaktualisasikan sumber hukum islam yakni Al-Qur’an, As-Sunnah dengan
memahami langsung nash yang terkandung didalamnya sedangkan Ijma dan
Qiyas merupakan ijtihad berbagai persoalan yang tidak dijumpai dalam Al-
Qur’an dan Hadist. Menurut Ahmad Zaki Yamani ciri hukum islam terbagi
dalam dua bagian:

a) Syariat islam itu luwes, dapat berkembang dan menanggapi semua


persoalan;

b) Dalam pusaka perbendaharaan hukum islam memiliki dasar yang mantap


untuk memecahkan masalah secara cepat dan cermat bagi persoalan yang tidak
mampu dipecahkan oleh sistem hukum Barat maupun prinsip hukum Timur.
Dengan mengaplikasikan hukum islam, apapun perbuatannya baik
dalam hal ibadah maupun muamalah suatu barang tertentu dalam memiliki
persoalannya sendiri. Karakter hukum islam yang universal dan fleksibel
melahirkan dua dimensi, thubut (konsistensi) dan tatawur (transformasi) yang
menjadikan hukum islam selalu relevan dengan perubahan. Hukum islam
sejauh ini sudah mengakar di Indonesia, melihat dari segi historis dan
sosiologis mayoritas penduduk Indonesia beragama islam sehingga hukum
5
islam kemudian banyak diambil dan dijadikan hukum positif.

5
Izomiddin, Pemikiran dan Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Prenadama Group, 2018), 95-98
8
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa, pertama hukum
Islam memiliki karakteristik takamul atau sempurna dimana hukum Islam
menghimpun mencakup semua hal baik yang berkaitan dengan hal yang baru
maupun yang lama dan juga menjangkau pada semua ummat Islam serta hal-hal
yang berkaitan dengannya. Kedua, hukum Islam memiliki karakteristik
wasatiyat atau imbang, dimana hukum Islam berada di tengah sehingga
penganutnya harus mementingkan antara hal-hal yang berkaitan dengan jasmani
maupun rohani. Ketiga, hukum Islam juga memiliki karakteristik harakah atau
dinamis, sehingga hukum Islam tidak akan tertinggal dengan perkembangan
zaman yang ada dan tetap akan menyesuaikan dengan kondisi yang ada.

9
Daftar Pustaka

Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Falsafah Hukum Islam. Jakarta: PT. Bulan


Bintang, 1993.
Izomidin. Pemikiran dan Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Prenadama Group, 2018.
Mustofa, dan Abdul Wahid. Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Saebani, Beni Ahmad. Filsafat Hukum Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2008.

10

Anda mungkin juga menyukai