Disusun Oleh :
1. Dandi Rustandi
2. Pitri Nuraini
3. Puji Nursyami
4. Rahma Khoirul F
5. Septriamalita
b. Al-Hadist
Sumber hukum Islam yang kedua adalah Al-Hadist, yakni segala
sesuatu yang berlandaskan pada Rasulullah baik berupa perkataan, perilaku,
diamnya beliau. Di dalam Al-Hadist terkandung aturan-aturan yang merinci
segala aturan yang masih global dalam Al-quran. Kata hadits yang mengalami
perluasan makna sehingga disinonimkan dengan sunnah, maka dapat berarti
segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari
Rasulullah SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum islam.
c. Ijma’
Kesepakatan seluruh ulama mujtahid pada satu masa setelah zaman Rasulullah
atas sebuah perkara dalam agama. ”Dan ijma’ yang dapat
dipertanggung jawabkan adalah yang terjadi di zaman sahabat, tabi'in (setelah
sahabat), dan tabi'ut tabi'in (setelah tabi'in). Karena setelah zaman mereka para
ulama telah berpencar dan jumlahnya banyak, dan perselisihan semakin
banyak, sehingga tak dapat dipastikan bahwa semua ulama telah bersepakat.
d. Qiyas
Sumber hukum Islam yang keempat setelah Al-Quran, Al-Hadits dan Ijma’
adalah Qiyas. Qiyas berarti menjelaskan sesuatu yang tidak ada dalil nashnya
dalam Al quran maupun hadits dengan cara membandingkan sesuatu yang
serupa dengan sesuatu yang hendak diketahui hukumnya tersebut.
Hukum islam diikuti dan dilaksanakan juga oleh para pemeluk agama islam dalam
kerajaan-kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Ngampel dan kemudian Mataram.
Ini dapat dibuktikan dari karya para pujangga yang hidup di masa itu.Di antara karya
tersebut dapat disebut misalnya Sajinatul Hukum (Moh.Koesnoe, 1982:2). Bahwa
sebelum Belanda mengukuhkan kekuasaannya di Indonesia, hukum Islam sebagai
hukum yang berdiri sendiri telah ada dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang di
samping kebiasaan atau adat penduduk yang mendiami kepulauan Nusantara ini.
Menurut Soebardi, terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa islam berakar
dalam kesadaran penduduk kepulauan nusantara.
4. Tujuan Hukum Islam
Tujuan hukum islam secara umum adalah Dar'ul mafasid wajalbul mashalih
(mencegah terjadinya kerusakan dan mendatangkan kemaslahatan). Abu Ishaq
As-Shatibi merumuskan lima tujuan hukum islam:
a. Memelihara agama
Agama adalah sesuatu yang harus dimiliki oleh setiap manusia oleh
martabatnya dapat terangkat lebih tinggi dan martabat makhluk lain dan
memenuhi hajat jiwanya. Agama islam memberi perlindungan kepada
pemeluk agama lain untuk menjalankan agama sesuai dengan keyakinannya.
b. Memelihara jiwa
Menurut hukum islam jiwa harus dilindungi. Hukum islam wajib memelihara
hak manusia untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya. Islam melarang
pembunuhan sebagai penghilangan jiwa manusia dan melindungi berbagai
sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk mempertahankan kemaslahatan
hidupnya.
c. Memelihara akal
Islam mewajibkan seseorang untuk memelihara akalnya, karena akal
mempunyai peranan sangat penting dalam hidup dan kehidupan manusia.
Seseorang Tidak akan dapat menjalankan hukum islam dengan baik dan benar
tanpa mempergunakan akal sehat.
d. Memelihara keturunan
Dalam hukum islam memelihara keturunan adalah hal yang sangat
penting.Karena itu, meneruskan keturunan harus melalui perkawinan yang sah
menurut ketentuan Yang ada dalam Al-Qur’an.
e. Memelihara harta
Menurut ajaran islam harta merupakan pemberian Allah kepada manusia
untuk kelangsungan hidup mereka. Untuk itu manusia sebagai khalifah di
bumi dilindungi haknya untuk memperoleh harta dengan cara-cara yang halal,
sah menurut hukum dan benar menurut aturan moral. Jadi hukum islam
ditetapkan oleh Allah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia itu sendiri,
baik yang bersifat primer, sekunder, maupun tersier (dharuri, hajiy, dan
tahsini).
5. Kontribusi Umat Islam Dalam Perumusan Dan Penegakan Hukum Islam
Hukum islam ada 2 jenis, diantaranya :
a. Al- tsabat (stabil) hukum islam sebagai wahyu akan tetap dan tidak berubah
sepanjang masa.
b. At-tathawwur (berkembang), hukum islam tidak kaku dalam berbagai kondisi
dan situasi sosial.