Anda di halaman 1dari 18

PEMBERLAKUAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA (KAJIAN

TEORITIS DAN HISTORIS) 1

Oleh : Chairul Lutfi, S.H.I.,S.H.,M.H.2

Pendahuluan
A. Latar Belakang
Hukum Islam sebagai hukum yang hidup dan berkembang di dunia hari ini
digambarkan oleh Imran Ahsan Khan Nyazee sebagai sebuah pohon yang berurat
dalam, berpohon besar, berdahan dan beranting banyak, berdaun dan berbuah. Urat
tunggang dan akarnya berasal dari Qur‟an dan Sunnah Nabi. Batangnya
dikembangkan melalui formulasi para fuqahâ‟ sepanjang zaman. Daun dan buahnya
dikembangkan oleh negara melalui produk perundang-undangan modern dan
yurisprudensi peradilan. Menurut Nyazee, daun yang menjadi tugas negara dapat
dirapihkan dan ranting-ranting kecil serta benalu yang merusak pohon secara umum
dapat dipotong, tetapi batang dan akarnya tidak boleh dibongkar karena tindakan
seperti ini akan membongkar akar dan batang hukum Islam sebagai hukum yang
berasal dari wahyu. Dengan demikian, pembaharuan hukum Islam sepanjang masa
harus memperhatikan teori ini.3

1
Aritikel ditulis untuk memenuhi tugas pada mata Kuliah Politik Hukum Magister Hukum
Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia Tahun 2017
2
Alumni S1 Hukum Bisnis Syariah Fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, S1
Ilmu Hukum Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) “Sunan Giri Malang, S2 Magister Hukum Ekonomi
Syariah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan S2 Hukum Ekonomi
Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Praktisi Ekonomi Syariah, Konsultan Hukum dan akivitas
sejak tahun 2014-sekarang menjadi Staf Ahli di Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD
RI)
3
Imran Ahsan Khan Nyazee, “Theories of Islamic Law: The Methodology of Ijtihad”, Kuala Lumpur:
The Other Press, 2002, hal. 52-55. Dalam Rifyal Ka‟bah, “Hukum Islam Sebagai Hukum Negara Di
Indonesia” Innovatio, Vol. IX, No. 2, Juli-Desember 2010, h.194
1
Hukum Islam adalah bagian dari hukum nasional Indonesia, dan sebagai
hukum negara diterapkan melalui Peradilan Agama dan Mahkamah Syariyah Aceh
yang merupakan salah satu peradilan negara di bawah Mahkamah Agung. Hukum
Islam berakar dari kenyataan bahwa ummat Islam merupakan mayoritas di negeri ini.
Walaupun telah terjadi turun-naik prosentasi jumlah penduduk dari sensus ke sensus,
fakta masih menunjukkan ummat Islam sebagai mayoritas. Hukum Islam didukung
oleh berbagai pendidikan hukum Islam, baik swasta maupun negeri, dari tingkat dasar
sampai ke perguruan tinggi, yang tersebar di seluruh perdada Indonesia dari dahulu
sampai sekarang. Sebagian hukum Islam telah dijabarkan dalam berbagai kompilasi,
perundang-undangan, peraturan daerah, qanun dan fatwa ulama.4
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis merumuskan masalah
bagaimana pemberlakuan hukum Islam di Indonesia dari aspek kajian teoritis dan
historis ?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penulisan makalah ini bertujuan
untuk mengetahui dan memahami pemberlakuan hukum Islam di Indonesia dari
aspek kajian teoritis dan historis.

4
Rifyal Ka‟bah, “Hukum Islam Sebagai Hukum Negara Di Indonesia” Innovatio, Vol. IX, No. 2, Juli-
Desember 2010, h.191-192
2
Pembahasan
A. Pengertian Hukum Islam
Hukum Islam adalah terjemahan dari Islamic Law. Dalam Islam sebenarnya
tidak dikenal istilah “hukum Islam”, tetapi syariat Islam (asy-Syariah al-Islâmiyyah)
atau fiqh Islam (al-Fiqh al-Islâmî). Syariat Islam secara umum berarti agama Islam
itu sendiri, tetapi kemudian dalam perkembangannya, berarti pemahaman para
fuqahâ‟ berdasarkan Qur‟an dan Sunnah serta ijtihâd mereka sendiri terhadap af‘âl al-
mukallafîn (perbuatan orang dewasa), menyangkut salah satu dari lima “kaedah
hukum” (al-ahkâm al-khamsah), yaitu wâjib, sunnat, harâm, makrûh dan mubâh.
Dengan demikian, syariat atau fiqh Islam menyangkut semua perbuatan orang
dewasa, baik kehidupan yang sangat pribadi seperti kebersihan fisik dan alat vital,
atau kehidupan keluarga dan rumah tangga, maupun kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Inilah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai Islamic Law
(Hukum Islam) atau Islamic Jurisprudence (Ilmu Hukum Islam).5

B. Piagam Madinah Sebagai Konsensus Politik


Sumber utama pembentukan konstitusi dalam hukum Islam adalah al-Qur‟an
dan Sunah. Berhubung al-Qur‟an bukan buku undang-undang, karena tidak merinci
secara detail bagaimana hubungan antara penguasa dan rakyatnya serta hak dan
kewajiban masing-masing pihak. Al-Qur‟an hanya memuat dasar-dasar atau prinsip
umum ketatanegaraan secara global dan ayat yang mengatur tentang ketatanegaraan
pun tidak banyak jumlahnya. Oleh karena itu, ayat yang masih global tersebut
dijabarkan oleh Nabi dalam sunahnya, baik perkataan, perbuatan atau ketetapannya.
Namun penerapannya tidak harus mutlak, karena al-Qur‟an dan Sunah menyerahkan
sepenuhnya kepada manusia untuk membentuk dan mengatur pemerintahan serta

5
Rifyal Ka‟bah, “Hukum Islam Sebagai Hukum Negara Di Indonesia” h.192
3
menyusun konstitusi yang sesuai dengan perkembangan zaman dan konteks sosial
masyarakatnya.6
Kemunculan negara konstitusional di kalangan umat Islam berasal dari
proses sejarah yang panjang. Catatan sejarah yang fenomenal di zaman Rasulullah
Saw ialah kelahiran konstitusi tertulis pertama yang kemudian dikenal dengan
konstitusi Madinah (Piagam Madinah). Negara Madinah yang didirikan Nabi
Muhammad saw pada tahun pertama hijrah atau tahun 622 M dinilai sebagai cikal-
bakal pendirian Negara Islam. Konstitusi ini merupakan piagam politik untuk
mengatur kehidupan bersama yang masyarakatnya terdiri dari berbagai macam
golongan.7
Pada tahap selanjutnya sejarah Islam juga memperlihatkan fluktuasi
penerapan berbagai varian model negara konstritusional. Dalam tradisi kesarjanaan
muslim, konstitusi bersumber dari dari pewahyuan al-Qur‟an dan keputusan Nabi saw
sering disebut dengan syari‟at. Karena itu, sumber utama sumber utama konstitusi
adalah al-Qur;an dan Sunnah Nabi saw. Instruksi-instruksi spesifik dari kedua sumber
tersebut kemudian diperluas dan dikodifikasikan kedalam fiqh oleh para fuqoha atau
yuris dengan menggunakan instrumen-instrumen interpretatif atau sumber prosedural
syrai‟at seperti qiyas (penalaran logis), ijma’ (kesepakatan), maslahah (kepentingan
umum) dan lain-lain.8
Abdul Halim mengutip pendapat Din Syamsudin yang mengatakan bahwa
ada tiga pola hubungan antara agama dan negara. Pertama, pola integralistik yang
menawarkan konsep bersatunya negara dan agama. Agama dan negara tidak dapat
dipisahkan. Apa yang menjadi wilayah agama otomatis menjadi wilayah politik.
Konsekwensi dari pandangan ini, maka Islam harus menjadi dasar negara, bahwa

6
Bertitik tolak dari hal itu, teori-teori hukum Islam seperti ijma‟, qiyas, istihsan dan maslahah
mursalah memegang peranan yang sangat penting dalam perumusan konstitusi, namun penerapan
teori-teori tersebut tidak boleh bertentangan dengan ruh syari‟at.
7
Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, dan Ni‟matul Huda, “Teori dan Hukum Konstitusi”, Jakarta; Raja
Grafindo Persada, 2003, h.57
8
Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabaian, “Politik Syari‟at Islam”, Jakarta; Pustaka
Alvabet, 2004,h.4.
4
syari‟ah harus diterima sebagai konstitusi negara. Model teori ini lebih menekankan
pada aspek legal formal idealisme politik Islam. Kedua, pola simbiotik yang
menawarkan pandangan bahwa agama dan negara berhubungan satu sama lain secara
timbal balik dan saling memerlukan. Model teori politik ini, lebih menekankan
pada subtansi daripada bentuk negara yang legal formal. Ketiga, pola sekularistik
yang memisahkan antara agama dan negara. Model teori politik ini, negara
menghilangkan sama sekali agama (syari‟ah) dari dasar negaranya dan mengadopsi
sepenuhnya hukum dari negara barat.9
Nabi yang kapasitasnya sebagai penjelas terhadap ayat al-Qur‟an, dalam
menghadapi masyarakat Madinah yang majemuk antara golongan muslim dan non
muslim, kemudian Nabi membuat perjanjian tertulis dengan mereka. Perjanjian
tersebut dibuat pada tahun pertama Hijrah, sebelum perang Badar dan dikenal dengan
nama “Piagam Madinah”. Langkah-langkah Nabi membuat perjanjian Piagam
Madinah sebagai keputusan yang amat luhur dan merupakan fase politik yang telah
diperlihatkan Nabi dengan segala kecakapan, kemampuan, dan pengalamannya yang
membuat orang tunduk hormat kepadanya dengan rasa kagum.10
Isi perjanjian itu, terutama menitikberatkan persatuan kaum muslimin dan
non muslim khususnya kaum yahudi, dengan menjamin kebebasan beragama bagi
semua golongan, menekankan kerjasama, persamaan hak dan kewajiban di antara
semua golongan dalam mewujudkan pertahanan dan perdamaian, dan mengikis
segala bentuk perbedaan pendapat yang timbul dalam kehidupan bersama. Banyak
pakar politik menyatakan bahwa Piagam Madinah merupakan Konstitusi Negara
tertulis pertama di Dunia.11
Beberapa prinsip penting telah diletakkan dalam konstitusi itu, yaitu,
persamaan, keadilan, kebebasan beragama, jaminan sosial dan tanggung jawab

9
Abdul Halim, “Politik Hukum Islam di Indonesia”, Jakarta; Ciputat Press, 2005, h.11-12.
10
Musdah Mulia, “Negara Islam Pemikiran Politik Husain Haekal”, Jakarta; Paramedadina,. 2001,
hal.187-188.
11
Zaenal Abidin Ahmad, “Piagam Nabi Muhammad Saw Sebagai Konstitusi Negara Tertulis Pertama
di Dunia”, Jakarta; Bulan Bintang, 1973, h.31
5
bersama dalam keamanan.12 Dalam piagam inilah untuk pertama kali dirumuskan ide-
ide yang sekarang menjadi pandangan hidup modern di dunia, seperti kebebasan
beragama, hak setiap kelompok untuk mengatur hidup sesuai dengan keyakinannya,
kemerdekaan hubungan ekonomi antar golongan serta kewajiban bela negara.13
Piagam Madinah sebagai dokumen politik yang patut dikagumi sepanjang
sejarah dan sekaligus membuktikan bahwa Nabi Muhammad Saw bukan hanya
seorang rasul melainkan juga seorang negarawan.14 Piagam tersebut sangat
revolusioner dan sangat mendukung gagasan Nabi bagi terciptanya suatu masyarakat
yang tertib dan majemuk, yang sebelumnya masyarakat Arab tidak pernah hidup
sebagai satu komunitas antar suku dengan suatu kesepakatan15 dan piagam madinah
sekaligus sebagai landasan hukum hidup bernegara bagi masyarakat majemuk di
Madinah. Oleh sebab itu, terwujudnya suatu perjanjian tertulis yang dibuat oleh Nabi
dan diterima oleh semua golongan dapat dipandang sebagai proses pendahuluan dari
terbentuknya negara di Madinah dibawah pimpinan Nabi Saw.16
Pemerintahan pada masa awal Islam yaitu sejak hijrah Nabi Saw dan selama
menetap di Madinah lebih bercorak demokratis. Prinsip demokratis merupakan ciri
utama sebagai negara hukum. Karena dalam demokrasi terdapat pengakuan prinsip
persaudaraan ,persamaan dan kebebasan warga negara. Prinsip persamaan dan
kebebasan yang bertumpu pada pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia
dalam kepemerintahan Nabi telah tertulis dalam konstitusi yaitu pada Piagam
Madinah. Khusus teori pemisahan kekuasaan negara yaitu Eksekutif, Yudikatif dan
Legislatif, walupun belum dikenal oleh pemerintahan di masa Nabi, namun Nabi
telah mewujudkan dalam pemerintahannya pembagian tugas kenegaraan dengan cara
mengangkat orang-orang yang memenuhi syarat dibidangnya. Tercatat dalam sejarah

12
Muhammad Hamidullah, “Pengantar Studi Islam”, Jakarta; Bulan Bintang, 1974, h.25-26. Lihat
Munawir Sadzali, “Islam dan Tata Negara”, Jakarta; UI Press, 1990, h.9-10
13
Nurcholis Madjid, “Islam Doktrin dan Peradaban”, Jakarta; Paramadina, 1992, h.195.
14
Munawir Sadzali, “Islam dan Tata Negara”, h.15-16..
15
Asghar Ali, “Islam dan Pembebasan”, Yogyakarta; LKIS, 1993, h.19.
16
Musdah Mulia, “Negara Islam Pemikiran Politik Husain Haekal”, h.172-175.
6
Ali bin Abi Thalib dan Mu‟adz bin Jabal adalah dua orang diangkat Nabi sebagai
Qadi (Hakim) yang bertugas di propinsi yang berbeda, mereka ini telah memenuhi
kualifikasi tersebut. Ini memberi isyarat bahwa jauh sebelum orang mengenal prinsip
Peradilan Bebas, Nabi saw pada abad ke 7 secara subtansial telah melaksanakan
prinsip tersebut dalam rangka menegakkan keadilan dan kebenaran. Terkait unsur
pemisahan negara Eksekutiuf, Yudikatif dan Legislatif yang belum dikenal dimasa
Nabi, tidak menjadi persoalan, karena dalam suatu negara hukum yang penting bukan
atau tidaknya pemisahan secara mutlak trias politica, persoalannya adalah dapat dan
tidaknya alat-alat kekuasaan negara itu terhindar dari praktek birokrasi dan tirani.17

C. Pemberlakuan Hukum Islam di Indonesia


Menurut ulama fiqh, pada mulanya pola hubungan pemerintah dengan rakyat
ditentukan oleh adat istiadat. Al ‘aadah al muhakkamah (kebiasaan-kebiasaan/tradisi
menjadi hukum). Karena adat istiadat ini tidak tertulis, maka dalam hubungan
tersebut tidak terdapat batasan-batasan yang tegas tentang hak dan kewajiban masing-
masing pihak. Akibatnya karena pemerintah memegang kekuasaan, tidak jarang
pemerintah bersikap absolut dan otoriter terhadap rakyat yang dipimpinnya. Sebagai
reaksi, rakyatpun melakukan pembrontakan, perlawanan, bahkan revolusi untuk
menjatuhkan pemerintah yang berkuasa secara absolut tersebut.18
Akibat dari revolusi tersebut, lahirlah pemikiran untuk menciptakan undang-
undang dasar atau konstiusi sebagai pedoman dan “aturan main” dalam hubungan
antara pemerintah dan rakyat.19 Namun tidak selamanya konstitusi itu dibentuk lewat
revolusi, ada juga yang dibangun karena lahirnya sebuah negara baru, contoh seperti

17
Ismail Suny, “Pembagian Kekuasaan Negara”, Jakarta; Aksara Baru, 1978, h. 49-50
18
Muhammad Iqbal, “Fiqh Siayasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam”, Jakarta; Gaya Media
Pratama, 2001, h.155.
19
Contoh kasus ini adalah revolusi Perancis tahun 1789 yang melawan kesewenang-wenangan Raja
Lauis XVI. Dalam revolusi ini, rakyat berhasil menjatuhklan raja dan memenggal leherrnya dan
keluarganya. Contoh lain yang kontemporer adalah revolusi Iran yang dipimpin oleh Ayatullah
Khumeini yang berhasil menjatuhkan penguasanya, Reza Pahlavi dan mengusirnya dari tanah Iran
(1979).Pasca revolusi Iran mengadakan dan merumuskan kembali Undang-Undang Dasar. Dalam
Harun, “Konstitusi Dalam Perspektif Hukum Islam” SUHUF, Vol. 24, No. 1, Mei 2012: 26 – 38 h.37
7
ini seperti Pakistan dan Indonesia. Pendiri negara yang bersangkutan itulah yang
terlibat dalam perumusan undang-undang dasar (konstitusi).
Upaya untuk mengadakan Undang-Undang Dasar tertulis sebenarnya sudah
dimulai semenjak abad ke 17 M di Eropa yang menjadi sumber utama dari konstusi
itu adalah adat istiadat yang terus menerus dipelihara dan dipraktekkan dari generasi
ke generasi berikutnya. Dari adat inilah muncul teori hubungan timbal balik antara
penguasa dan rakyat, yaitu disebut dengan “Kontrak Sosial” yang ditemukan oleh
Thomas Hobbes. Teori ini mencikalbakali lahirnya Konstitusi tertulis yang mengatur
batas-batas hak dan kewajiban kedua belah pihak secara timbal balik.20
Ketika orang Belanda sampai di Nusantara sekitar abad ke 16 dan 17
Masehi, mereka menemukan beberapa kerajaan besar atau kecil yang tersebar di
berbagai pelosok, terutama kerajaan-kerajaan Islam di wilayah pesisir. Sebuah negara
bagaimanapun kecilnya pasti diatur berdasarkan hukum tertentu, tidak terkecuali
keadaan Indonesia pada masa itu, dan sebuah kenyataan pula bahwa mayoritas
penduduk beragama Islam. Berdasarkan kenyataan ini maka beranjak dari teori
rereptio in complexu yang diramu oleh L.W.C. van den Berg, pemerintahan jajahan
Belanda menyatakan bahwa hukum Islam berlaku untuk orang Islam tanpa
membedakan apakah mereka merupakan muslim yang taat atau bukan.
Kebijakan pemberlakuan hukum Islam kepada ummat Islam ini masih
diperhatikan oleh pemerintah jajahan sampai kemudian Christian Snouck Hurgronje
21
memperkenalkan istilah Adat recht (hukum Adat) pada tahun 1893. Dari
penelitiannya di Aceh, Snouck berkesimpulan bahwa hukum Islam yang diberlakukan
di Aceh tidaklah hukum Islam murni, tetapi hukum Islam yang telah diterima oleh

20
GH Sabine, “ A.History of Political Though”, dikutip Muhammad Iqbal, “Fiqh Siayasah
Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam”, h.155.
21
Banyak perdebatan di kalangan ahli, terutama Indonesia, tentang penggunaan istilah hukum Adat.
Adat (al-‘adat) dalam perbendaharaan hukum Islam dikenal dengan istilah hukm al-‘adah (ruling of
the tradition) atau dalam istilah yang lazim disebut al-‘urf (use, custom, tradition) dan dipandang
sebagai salah satu sumber komplementer hukum Islam. Hukum Adat dalam pengertian ini tidak ada
permasalahan bagi para ahli hukum Islam, tetapi hukum Adat yang diperkenalkan oleh Snouck adalah
kebiasaan yang mempunyai implikasi hukum, khususnya kebiasaan yang disertai sanksi dalam hal
pelanggaran, lihat Rifyal Ka‟bah, “Hukum Islam Sebagai Hukum Negara Di Indonesia” h.195
8
hukum Adat. Dari sini kemudian ia terkenal dengan teori receptie yang ia ciptakan
bahwa hukum Islam yang dapat diberlakukan oleh pemerintah hanyalah hukum Islam
yang telah diresepsi oleh hukum Adat setempat.22
Teori rerecptie mendapat tanggapan serius dari Hazairin yang menyatakan
bahwa teori Snouck bersifat tendensius dengan maksud menelantarkan hukum Islam
yang sudah berlaku di kalangan penduduk selama ini. Sebagai seorang islamolog,
Snouck tahu betul tentang posisi hukum Adat dalam konteks hukum Islam, tetapi ia
sengaja menggunakan pengertian baru sama sekali untuk mengalihkan perhatian dari
hukum Islam yang diyakini oleh mayoritas penduduk. Karena itu, Hazairin sering
menyebut teori receptie sebagai teori iblis, yaitu makhluk halus iblis yang
mempunyai tabiat menyesatkan manusia dengan tipu muslihatnya.23 Hazairin cukup
beralasan karena Snouck sebenarnya adalah seorang ateis yang pernah menjadi intel
Belanda dan menyamar sebagai orang muslim di Makkah dengan nama „Abdul
Ghafar.24
Teori hukum Adat selanjutnya dikembangkan oleh Cornelis van
Vollenhoven yang membagi wilayah Nusantara kepada beberapa wilayah hukum
Adat. Ia telah berusaha keras mengkodifikasi hukum Adat dari berbagai wilayah di
Indonesia dengan maksud akan menjadikannya sebagai hukum penduduk bumi
putera, tetapi bahkan sampai ke masa pendudukan Jepang pada tahun 1942, upaya ini
tidak pernah berhasil karena tidak mendapat dukungan penuh pemerintah jajahan.
Sungguhpun demikian, Van Vallenhoven, Ter Haar dan para penganjur hukum Adat
yang lain dari kalangan bangsa Belanda mempunyai murid-murid sampai ke zaman
kemerdekaan dari kalangan orang-orang Indonesia sendiri, dan sampai sekarang,
hukum Adat masih tetap dipandang sebagai salah satu unsur hukum nasional
Indonesia. Ini di samping unsur-unsur lain yang terdiri dari hukum Islam dan hukum

22
Rifyal Ka‟bah, “Hukum Islam Sebagai Hukum Negara Di Indonesia” h.194-195
23
Hazairin, “Demorasi Pancasila” Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 1990, h. 97.
24
Lihat buku P.S.J. Van Koningsveld, “Snouck Hurgronje dan Islam”, terjemahan dari “Acht artkelen
over leven en werk van een orientalist uit het koloniale tijdperk”. Jakarta: PT Girimukti Pusaka, 1989.
Dalam Rifyal Ka‟bah, “Hukum Islam Sebagai Hukum Negara Di Indonesia” h.196
9
warisan kolonial Belanda. Malah di zaman kemerdekaan, unsur-unsur hukum
Indonesia tidak hanya terdiri dari perundang-undangan warisan kolonial, hukum
Islam dan hukum Adat, tetapi juga perundang-undangan yang mengambil aspirasi
dari perundang-undangan Barat modern, terutama bidang hukum ekonomi dan
HAM.25
Perkembangan hukum Islam di Indonesia dapat dilihat dari konteks
perkembangan keempat unsur ini, apakah akan terjadi persaingan yang menyebabkan
salah satu unsur menang, ataukah akan terjadi pelaburan dan harmonisasi dengan
mempertemukan bagian-bagian yang mungkin dipertemukan dan meninggalkan
berbagai kontradiksi sehingga terbentuk sebuah hukum nasional Indonesia modern
yang dapat menjawab tantangan hukum masa depan. Semuanya tergantung kepada
perkembangan di masa depan. Menurut Hazairin, keempat unsur tersebut dapat
diintegrasikan tanpa kontradiksi melalui kebijakan legislasi nasional. Dari mana pun
asal-usulnya, dari hukum Adat, hukum Islam, hukum warisan kolonial Belanda,
maupun hukum Barat modern, bila telah disusun dalam bentuk legislasi nasional
melalui pembuatan perundang-undangan yang lazim dalam sebuah negara demokrasi,
maka legislasi nasional tersebut adalah hukum nasional Indonesia.26
Dari sudut politik hukum Islam, menurut Rifyal Ka‟bah, terdapat di
Indonesia dua kecenderungan dari awal kemerdekaan sampai sekarang di kalangan

25
Peter Burns dalam disertasinya mengupas secara luas tentang upaya Van Vallenhoven
memperjuangkan teorinya, yang oleh Burns disebut sebagai “The Leiden Legacy”. Ia antara lain
menyimpulkan: “The body of Von Vollenhoven, like that of John Brown, may lie . . . a moldering in the
grave, but his influence, like the soul of the slave-saving rebel, still marches on. . . [D]espite his great
personal values], Van Vallenhoven marched –as his latter day followers still march—steadily and with
great confidence, in a wrong direction.” (Mayat Von Vollenhoven adalah seperti mayat John Brown,
barangkali terbaring . . . hancur luluh di kuburan, tetapi pengaruhnya adalah seperti pemberontak
penyelamat budak masih berketayangan . . . [di samping nilai priadinya yang agung]. Van
Vollenhoven berketayangan, seperti juga para pengikut terakhirnya masih berketayangan, dengan
tangguh dan percaya diri yang besar, dalam sebuah arah yang salah). Peter Burns, The Leiden Legacy:
Concept of Law in Indonesia, Leiden: KITLV Press, 2004, p. 253. Dalam Rifyal Ka‟bah, “Hukum
Islam Sebagai Hukum Negara Di Indonesia” h.196 lihat juga di Peter J. Burns, “The Leiden Legacy:
Concepts of Law in Indonesia, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1999, dalam Satya Arinanto, “Politik
Hukum 2” Edisi Pertama, Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004,
h. 239-353
26
Rifyal Ka‟bah, “Hukum Islam Sebagai Hukum Negara Di Indonesia” h.197
10
ahli hukum, terutama hukum Islam. Kecenderungan pertama adalah hukum Islam
berlaku untuk warga yang beragama Islam, dan kecenderungan kedua adalah bahwa
substansi hukum Islam masuk ke dalam perundang-undangan Indonesia tanpa label
Islam sehingga mengikat kepada semua warga negara tanpa melihat agamanya.
Misalnya substansi hukum pidana, perdata dan ekonomi Islam menjadi bagian yang
integral dari hukum pidana, perdata dan ekonomi nasional Indonesia tanpa
menyatakan bahwa substansi ini sebagai substansi hukum Islam. Kedua
kecenderungan ini mengemuka dalam perkembangan hukum Islam di Indonesia sejak
awal proklamasi kemerdekaan sampai sekarang.27
Harun menyimpulkan bahwa aturan hukum Islam mengenai kehidupan
bernegara tidaklah menunjuk kepada suatu model tertentu, termasuk bentuk atau
model konstitusi sebagai hukum tertulis yang mengatur penyelenggaraan
pemerintahan .Oleh karena itu, soal negara dan pemerintahan serta
rumusanvkonstitusinya lebih banyak diserahkan kepada ijtihad manusia yang sangat
dipengaruhi oleh latar belakang sejarah negara yang bersangkutan, baik
masyarakatnya, politik maupun budayanya. Namun dari sinopsis sejarah Nabi dalam
memimpin negara Madinah ada kecenderungan ke arah bentuk negara republik
demokratis yang berdasar pada konstitusi Piagam Madinah yang mengadopsi prinsip
persaudaraan, persamaan dan kebebasan manusia dan ini lebih sejalan dengan
semangat al-Qur‟an.28

27
Pendelatam seperti inti antara lain didukung oleh Padmo Wahjono. Beliau antara lain menyatakan:
“Memasukkan budaya hukum Islam, maka kita dihadapkan kepada dua kemungkinan: (a) mengenai
hukum positif Islam, sehingga kita terbatas memasalahkan hukum yang berlaku bagi mereka yang
beragama Islam, atau (b) mengenai nilai-nilai hukum Islam, yang akan dapat berlaku bagi seluruh
warga negara, bahkan mungkin seluruh penduduk termasuk yang bukan warga negara. Kedua laternatif
ini dapat mempengaruhi pembentukan hukum nasional di masa yang akan datang.” Padmo Wahjono,
”Budaya Hukum Islam dalam Perspektif Pembentukan Hukum di Masa Datang”, dalam Amrullah
Ahmad et. al. (Eds.), “Prospek Hukum Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di
Indonesia”Jakarta: Pengurus Pusat Ikatan Hakim Peradilan Agama, 1994, hal. 241. Dalam Dalam
Rifyal Ka‟bah, “Hukum Islam Sebagai Hukum Negara Di Indonesia” h.197-198
28
Harun, “Konstitusi Dalam Perspektif Hukum Islam” SUHUF, Vol. 24, No. 1, Mei 2012: 26 – 38
h.37
11
Pada masa-masa Hindia Belanda, van vollemhoven mengemukakan bahwa
sistem pemberlakuan sistem adat tidak berdasarkan pada peraturan-peraturan yang
dibuat pemerintah belanda atau alat-alaat kekuasaan lainnya yang menjadi sendinya
dan diadakan sen dirioleh kekuasaan Belanda. Hukum adat dianggap berlaku atau
bersifat umum, tidaklah tergantung pada peraturan perundang-undangan melainkan
pada tindakan-tindakan yang oleh adat dan oleh masyarakat dianggap patut dan
mengikat. Disamping itu para penduduk memiliki keyakinan yang sama yang
menyatakan bahwa aturan-aturan adat harus dipertahankan oleh kepala adat dan
petugas hukum lainnya. Dan adat yang mempunyai sanksilaah yang betul-betul
hukum adat.29
Hukum Adat adalah suatu hukum yang hidup, karena ia menjelmakan
perasaan hukum yang nyata dari rakyat, sesuai dengan fitrahnya sendiri,hukum adat
terus-menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri. 30
Secara revolusioner membuat peraturan baru pada setiap perubahan keadaan dan
perubahan kebutuhan hukum. Sebagai hukum rakyat yang mengatur kehidupannya
sendiri yang terus menerus berubah dan berkembang, Hukum Adat selalu pula
menjalani perubahan-perubahan yang terus-menerus berubaah dan berkembang,
Hukum Adat selalu pula menjalani perubahan-perubahan yang terus melalui
keputusan-keputusan atau penyelesaian-penyelesaian yang dikeluarkan oleh
masyarakat sebagai hasil temu rasa dan kata tentang pengisian sesuatu hukum adat
dalam permusyawaratan rakyat. Dalam hal itu, setiap perkembangan yang terjadi
selalu mendapatkan tempatnya di dalam tata hukum adat. Dan hal-hal yang lama yang
tidak dapat lagi dipergunakan secara tidak revolusioner pula ditinggalkan.31
Setiap negara memiliki sistem hukumya sendiri-sendiri. Sistem hukum yang
berlaku di Indonesia dikenal tiga sistem hukum yaitu; Hukum Adat, Hukum Islam
Dan Hukum Barat, khususnya hukum-hukum Belanda, berbeda dengan sistem hukum
29
Davied Henley dkk, “Adat Dalam Politik Indonesia”, Jakarta: Yayasan Obor,2010, h.35.
30
Muhammad Bushar, “Asas-Asas Hukum Adat”, Jakarta:Pradnya Paramitha, 1878.h. 40
31
H. Moch. Koesnoe, “Hukum Adat Dewasa Ini”, Jakarta: Fak. Hukum UII, 1983, h.17.

12
yang berlaku di negara-negara lain. Bahkan, berbeda dengan sistem hukum Belanda
yang pernah mengenakan asas konkordansi di Indonesia pada masa-masa
kolonialisme.32
Supomo dalam tulisannya menjelaskan dengan gamblang yang mencoba
untuk menarik akar dari konsep hukum itu sendiri yang diformulasikan dalam tatanan
konsep hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu: The basis of his (Supomo)
conception of law is the perfection, not of persons, but of inter-personal relationship
in the ideal, harmonious, balanced, non-competitive communitiy to which the persons
belong, Community is more than society; the whole is greater than the sum of its
components; it is not the aggregation of identical human units but an organic
integration of individual members. The member considered. Behold here the inchoate
image of a nation.33

32
Peter Burns, “Adat, Yang Mendahului Semua Hukum dalam Politik Hukum Adat
Nasional”, Jakarta:Yayasan Obor, 2010. h.77.
33
33 Peter J. Burns dalam tulisannya mengutip pendapat Supomo, sebelumnya Peter J. Burn
mengatakan…” I add a translation from one full page of Supomo‟s exposition. It constitues a strong
link – it is the most explicit coupling in the chain which connect the vague, romantic benevolence of
the pre-War Leiden etichi with pragmatism of executive government in the Republic after 1959. It is
the most explicit coupling of adat lore with the civic religion of the New Order Indonesia. Supomo,
concluding his review of the characteristic of other countries.” Peter J. Burns mengambil pendapat
Supomo “…puts into words that is not, and what is, in accordance with the original indigenous
institutions of society (the social structure) of Indonesia. As you know gentlemen, the original
indigenous social structure of Indonesia is nothing other than the creative achievement of Indonesian
culture; it is… the mindset (aliran pikiran) – or the internalized elan of the Indonesian folk. The
attribute inherent in – and the aspiration of – that national soul, the spiritual constitution of the
Indonesian people, is unity of life, unity of slave and lord (kawulo dan gusti), that is to say unity of the
material world with the unseen internal world, unity between the micro and macrocosm, between the
populace and its leaders. It regards all of humanity – whether it be the individual, the communal group
in particular society – as having their own particular alloted places and roles in life (dharma) in
accordance with laws of nature and the whole of everything as being directed toward manifest outward
and inward spiritual balance. The individual human being is separable neither from other human
beings nor from the natural world: communal groups (golongan-golongan manusia) – all the different
species of creatures (golongan machluk) – all and each of them mix and intermingle; they are closely
bound up with another. All and each of them are subject to the play of mutual influence and their lives
are knitted close together. This totalitarian concept, the integralistic concept of the Indonesian nation
which finds concrete expression in its original indigenous constitutional arrangement. In keeping with
the quality of those original indigenous Indonesian constitutional arrangements – a quality still in
evidence today in the setting of the village both in Java and Sumatera and in other island clusters of
Indonesia – the officials of the state are leaders spritually at one with the people. They are always
obliged to maintain (memegang teguh) unity and balance in their communities. The village chief – or
13
Peter Burns memandang bahwa kristalisasi hukum adat sebetulnya
merupakan upaya mengalihkan perhatian dari hukum Islam yang diyakini oleh
mayoritas penduduk. Pengandaian, dan kemudian pembakuan, akan jiwa asali di
Eropa dan India Timur ini agaknya bersetubuh dengan agenda terselubung Belanda
yang berkumpul di diri Snouck. Apa yang disampaikan oleh Burns agaknya dapat
dibenarkan. Hal ini dapat terlihat dari etimologi „adat‟ itu sendiri, yang membuat
Burns merasa konsepsi Snouck mengandung paradoks. Adat berasal dari bahasa
Arab, ‘al-‘addah’ atau ‘hukm al-a’ddah” atau „rulling of the tradition’, yang
kemudian dimelayukan menjadi „adat‟. Dalam istilah yang lazim, ia disebut ‘al-‘urf’
atau ‘custom’ atau ‘tradition’. Adat ini pun dipandang sebagai salah satu sumber
komplementer hukum Islam. Artinya, hukum adat sebetulnya merujuk pada hukum
Islam itu sendiri. Istilah „adat‟ sendiri pun sudah lama digunakan dan membatin di
masyarakat sebelum Snouck.34

head of the people – is obliged to bring the popularsense of justice to realization. He is obliged to give
shape (Gestaltung) to the sense of justice and the ideals of the people. That is reason why the popular
leader “upholds the traditions” (memegang adat) – as the Minangkabau expression has it. He
constantly monitors every development within his community and, to that end, engages in constant
consultation (bermusyawarah) with his people and the heads of the family in his village in order that
the spiritual bond between the leader and the people is maintained in its integrity always. Given an
atmosphere of unity between the folk and the leaders, between comunal groups one with the other, all
groups are caught up in (diliputi) a spirit of mutual assistance (gotong royong), the spirit of the family
principle (semangat kekeluargaan). So Honoured Gentlemen, it is clear that, if we are about to set up
an Indonesian State which is accord with a distinctive quality and pattern of Indonesian society, we
must based our state on the mindset (Staatsidee) of an integralistic policy, a state which is unity with
the totality of ots populace, which is superior to the sum of its communal parts (golongan) om amy
field whatsoever.” Peter J. Burns, “The Leiden Legacy: Concepts of Law in Indonesia, Jakarta: PT
Pradnya Paramita, 1999, dalam Satya Arinanto, “Politik Hukum 2” Edisi Pertama, Jakarta: Program
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004, h. 239-353

34
TM. Dhani Iqbal, “Menyoal „Adat Adalah Adat, Agama Adalah Agama” 2015,
http://degorontalo.co/menyoal-adat-adalah-adat-agama-adalah-agama-oleh-tm-dhani-iqbal/ diakses
pada tanggal 19 November 2016
14
Penutup
A. Kesimpulan
Hukum Islam (Islamic Law) syariat atau fiqh Islam menyangkut semua
perbuatan orang dewasa, baik kehidupan yang sangat pribadi seperti kebersihan fisik
dan alat vital, atau kehidupan keluarga dan rumah tangga, maupun kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Sumber utama pembentukan konstitusi dalam hukum
Islam adalah al-Qur‟an dan Sunah. instrumen-instrumen interpretatif atau sumber
prosedural syrai‟at seperti qiyas (penalaran logis), ijma’ (kesepakatan), maslahah
(kepentingan umum) dan lain-lain. Hukum Islam adalah bagian dari hukum nasional
Indonesia, dan sebagai hukum negara diterapkan melalui Peradilan Agama dan
Mahkamah Syariyah Aceh yang merupakan salah satu peradilan negara di bawah
Mahkamah Agung.
Kelahiran konstitusi tertulis pertama yang kemudian dikenal dengan
konstitusi Madinah (Piagam Madinah). Negara Madinah yang didirikan Nabi
Muhammad saw pada tahun pertama hijrah atau tahun 622 M dinilai sebagai cikal-
bakal pendirian Negara Islam. Beberapa prinsip penting telah diletakkan dalam
konstitusi itu, yaitu, persamaan, keadilan, kebebasan beragama, jaminan sosial dan
tanggung jawab bersama dalam keamanan.
Pada mulanya pola hubungan pemerintah dengan rakyat ditentukan oleh adat
istiadat. Al ‘aadah al muhakkamah (kebiasaan-kebiasaan/tradisi menjadi hukum).
Karena adat istiadat ini tidak tertulis, maka dalam hubungan tersebut tidak terdapat
batasan-batasan yang tegas tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak. Akibat
dari revolusi tersebut, lahirlah pemikiran untuk menciptakan undang-undang dasar
atau konstiusi sebagai pedoman dan “aturan main” dalam hubungan antara
pemerintah dan rakyat.
Christian Snouck Hurgronje memperkenalkan istilah Adat recht (hukum
Adat) pada tahun 1893. Teori rerecptie mendapat tanggapan serius dari Hazairin yang
menyatakan bahwa teori Snouck bersifat tendensius dengan maksud menelantarkan

15
hukum Islam yang sudah berlaku di kalangan penduduk selama ini. Teori hukum
Adat selanjutnya dikembangkan oleh Cornelis van Vollenhoven yang membagi
wilayah Nusantara kepada beberapa wilayah hukum Adat. Ia telah berusaha keras
mengkodifikasi hukum Adat dari berbagai wilayah di Indonesia dengan maksud akan
menjadikannya sebagai hukum penduduk bumi putera, tetapi bahkan sampai ke masa
pendudukan Jepang pada tahun 1942, upaya ini tidak pernah berhasil karena tidak
mendapat dukungan penuh pemerintah jajahan.
Peter Burns memandang bahwa kristalisasi hukum adat sebetulnya
merupakan upaya mengalihkan perhatian dari hukum Islam yang diyakini oleh
mayoritas penduduk. Pengandaian, dan kemudian pembakuan, akan jiwa asali di
Eropa dan India Timur ini agaknya bersetubuh dengan agenda terselubung Belanda
yang berkumpul di diri Snouck. Apa yang disampaikan oleh Burns agaknya dapat
dibenarkan. Hal ini dapat terlihat dari etimologi „adat‟ itu sendiri, yang membuat
Burns merasa konsepsi Snouck mengandung paradoks.
B. Saran
Untuk memahami bagaimana pemberlakuan hukum Islam di Indonesia tentu
harus mengkaji secara komprehensif bagaimana aspek teoritis maupun historis yang
melatarbelakanginya. Hukum Islam seharusnya dimasukkan menjadi nilai-nilai yang
tidak terpisahkan dengan hukum positif di Indonesia.
Untuk mengakomodasi kepentingan dan kebutuhan mayoritas masyarakat
Muslim di Indonesia, politik hukum perundang-undangan harus memperhatikan
maqasid asy syari’ah (tujuan daripada hukum Islam) yang beriringan dengan hukum
yang berlaku di Indonesia (hukum Positif).

16
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Zaenal Abidin. “Piagam Nabi Muhammad Saw Sebagai Konstitusi Negara
Tertulis Pertama di Dunia”, Jakarta; Bulan Bintang, 1973.
Ali, Asghar. “Islam dan Pembebasan”, Yogyakarta; LKIS, 1993.
Amal,Taufik Adnan dan Syamsu Rizal Panggabaian, “Politik Syari‟at Islam”, Jakarta;
Pustaka Alvabet, 2004.
Arinanto, Satya. “Politik Hukum 2” Edisi Pertama, Jakarta: Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004.
Burns, Peter J. “The Leiden Legacy: Concepts of Law in Indonesia, Jakarta: PT
Pradnya Paramita, 1999.
Burns, Peter. “Adat, Yang Mendahului Semua Hukum dalam Politik Hukum Adat
Nasional”, Jakarta:Yayasan Obor, 2010.
Bushar, Muhammad. “Asas-Asas Hukum Adat”, Jakarta:Pradnya Paramitha, 1878
Halim, Abdul. “Politik Hukum Islam di Indonesia”, Jakarta; Ciputat Press, 2005.
Hamidullah, Muhammad. “Pengantar Studi Islam”, Jakarta; Bulan Bintang, 1974.
Harun, “Konstitusi Dalam Perspektif Hukum Islam” SUHUF, Vol. 24, No. 1, Mei
2012
Hazairin, “Demorasi Pancasila” Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 1990, h. 97.
Henley, Davied dkk, “Adat Dalam Politik Indonesia”, Jakarta: Yayasan Obor,2010.
Iqbal, Muhammad. “Fiqh Siayasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam”, Jakarta;
Gaya Media Pratama, 2001.
Iqbal, TM. Dhani. “Menyoal „Adat Adalah Adat, Agama Adalah Agama” 2015,
http://degorontalo.co/menyoal-adat-adalah-adat-agama-adalah-agama-oleh-
tm-dhani-iqbal/ diakses pada tanggal 19 November 2016
Ka‟bah, Rifyal. “Hukum Islam Sebagai Hukum Negara Di Indonesia” Innovatio, Vol.
IX, No. 2, Juli-Desember 2010.
Koesnoe, H. Moch. “Hukum Adat Dewasa Ini”, Jakarta: Fak. Hukum UII, 1983.

17
Koningsveld, P.S.J. Van. “Snouck Hurgronje dan Islam”, terjemahan dari “Acht
artkelen over leven en werk van een orientalist uit het koloniale tijdperk”.
Jakarta: PT Girimukti Pusaka, 1989.
Madjid, Nurcholis. “Islam Doktrin dan Peradaban”, Jakarta; Paramadina, 1992.
Mulia, Musdah. “Negara Islam Pemikiran Politik Husain Haekal”, Jakarta;
Paramedadina,. 2001
Nyazee, Imran Ahsan Khan. “Theories of Islamic Law: The Methodology of Ijtihad”,
Kuala Lumpur: The Other Press, 2002.
Sadzali, Munawir. “Islam dan Tata Negara”, Jakarta; UI Press, 1990.
Suny, Ismail. “Pembagian Kekuasaan Negara”, Jakarta; Aksara Baru, 1978.
Thaib, Dahlan, Jazim Hamidi, dan Ni‟matul Huda, “Teori dan Hukum Konstitusi”,
Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2003.
Wahjono, Padmo. ”Budaya Hukum Islam dalam Perspektif Pembentukan Hukum di
Masa Datang”, dalam Amrullah Ahmad et. al. (Eds.), “Prospek Hukum
Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia”,
Jakarta: Pengurus Pusat Ikatan Hakim Peradilan Agama, 1994.

18

Anda mungkin juga menyukai