Reviewer
Nama/NIM : Puji Atmarudana/150105079
Fakultas : Syari’ah dan Hukum
Prodi : Program Studi Hukum Tata Negara
Mata Kuliah : Metode Penelitian Hukum
Dosen : Ihdi Karim Makinara, S.Hi., SH., MH
Pendahuluan
Taqnin al-ahkam pada dasarnya adalah sebuah upaya untuk
memilih pendapat yang lebih maslahat mengenai suatu hukum pada
satu negara dan waktu tertentu dan dianggap memiliki daya
maslahat yang lebih besar demi kepentingan masyarakat secara
luas. Peran penguasa dalam hal ini adalah para pembuat konstitusi
negara yang mempunyai wewenang untuk membuat qanun
tersebut.
1
Dalam hukum Islam hal tersebut diatur dalam ilmu siyasah
dusturiyah yakni siyasah yang mengatur hubungan warga negara
dengan lembaga negara yang satu dengan warga negara dan
lembaga negara yang lainnya dalam batas-batas administrasi
negara. Taqnin ahkam merupakan wilayah dalam permasalahan
tentang pengaturan dan perundang-undangan yang dituntut oleh hal
ihwal kenegaraan dari segi persesuaian dengan prinsip-prinsip
agama dan merupakan realisasi kemashlahatan manusia serta
memenuhi kebutuhannya.
Pembahasan
Sebuah negara harus memiliki satu hukum yang mengikat
warganya, sehingga dapat memenuhi asas kepastian hukum. Asas
kepastian hukum menuntut suatu negara memiliki aturan
perundang-undangan yang bisa mengikat seluruh perilaku manusia
dalam aturan hukum yang positif di mana akan menjamin setiap
individu untuk berjalan di atasnya. Maka hakim yang memiliki
kemampuan ijtihad itu pun harus mengikuti undang-undang yang
telah ditetapkan demi menjamin kepastian hukum dalam Negara
tersebut. Dengan begitu, taqnin ahkam merupakan suatu cara agar
keberlangsungan fiqh yang merupakan hasil ijtihad pemahaman
para ulama atas syariat dapat terjaga dalam masyarakat.
Di Indonesia sistem hukum yang dianut bukanlah satu
sistem hukum agama tertentu. Semua bentuk ajaran agama, jika
memang dibutuhkan dan diperlukan keberadaannya, maka upaya
yang harus dilakukan adalah dengan positivisasi hukum Islam ke
2
dalam sistem hukum nasional yaitu berupa undang-undang,
peraturan dan regulasi yang lainnya. Sejauh ini positivisasi hukum
Islam yaitu melalui jalan taqnin, antaranya ialah seperti undang-
undang tentang zakat, wakaf, haji, peradilan agama, bank syariah,
dan KHI (Kompilasi Hukum Islam).
Penutup
Di Indonesia proses taqnin al-Ahkam dapat dilaksanakan
dengan proses legislasi. Yaitu proses pembuatan hukum maupun
produk hukum. Dalam hal ini adalah hukum Islam yang bersumber
dari wahyu kemudian disusun dalam sebuah undang-undang yang
memiliki kekuatan mengikat bagi seluruh warga Negara sehingga
dapat meminimalisir adanya kesenjangan antara hukum Islam yang
berkembang dan dipahami sebagai ajaran dan hukum Islam dalam
praktek.
3
Judul Jurnal : Legislasi Hukum Islam: Telaah terhadap Konsep
Taqnin dalam Ranah Substantivistik dan
Formalistik/
Penulis : Moch. Cholid Wardi
Publikasi : Jurnal “Nuansa, Vol. 15 No. 2 Juli – Januari 2018.
Pendahuluan
Terdapat golongan yang ingin membangun konsep syari‟ah
Islam yang sejauh ini terkesan menakutkan cenderung kearab-
araban menjadi sosok syari’ah yang elegan, tidak menakutkan, dan
fleksibel di dalam menghadapi perubahan sosial, sekaligus tidak
bertentangan dengan demokrasi dan pluralisme hukum yang saat
ini menjadi isu politik global.
Upaya untuk menpositifkan dan meregulasikan hukum
Islam tersebut di dalam negara modern saat ini adalah satu-satunya
4
melalui taqnin hukum Islam, yaitu legislasi hukum Islam ke dalam
hukum di peraturan perundang-undangan.
Penutup
Legislasi hukum Islam selalu menuai perdebatan menarik di
dunia Islam maupun dunia Barat. Diskusi publik soal syari‟ah
Islam di Indonesia yang melibatkan pertarungan antara anak-anak
kandung Islam membuktikan kebenaran adagium Islam warna
warni. Syari’ah Islam menjadi korpus teks yang terbuka untuk
ditafsirkan siapa saja. Tidak ada lagi pihak yang berani mengklaim
paling punya otoritas menafsirkan Islam karena tidak ada satupun
orang di muka bumi ini yang berhak mengklaim bahwa dialah yang
memiliki hak paten atas Islam.
5
Judul Jurnal : Pandangan Ulama Tentang Taqnin Ahkam
Penulis : Jaenudin
Publikasi : Jurnal: “Adliya Vol. 11, No. 1, Juni 2017, Fakultas
Syari’ah & Hukum UIN Sunan Gunung Jati
Bandung.
Pendahuluan
Lahirnya qanun dalam era modern ini sebagai konsekwensi
dari sistem hukum yang berkembang terutama oleh karena
pengaruh sistem hukum Eropa. Atas hal ini maka sebagian ulama
menganggap formalisasi hukum Islam ialah sesuatu yang penting
sebagai panduan putusan hukum para hakim di dalam suatu
masalah yang sama pada lembaga peradilan yang berbeda-beda.
Sementara sebagian yang lain tidak sependapat dengan taqnin al-
ahkam dengan argumen tersendiri dari mereka.
6
Perbedaan pandangan ini kadang menghasilkan
pertentangan yang sengit antara kedua kubu. Sebagai akademisi,
patut melakukan analisis terhadap argumentasi dua kutub
pemikiran yang berbeda ini. Maka dalam artikel ini permasalahan
tersebut menjadi isu yang ingin dikemukakan oleh penulis. Selain
itu, dipaparkan juga terkait sekilas sejarah taqnin ahkam,
pandangan para ulama tentang taqnin ahkam dan analisa pendapat-
pendapat tersebut.
7
Terkait dengan taqnin al-ahkam ini, para ulama masih beda
pendapat. Menurut Abu Hanifah, penguasa boleh mewajibkan para
hakim untuk memutuskan suatu masalah menggunakan mazhab
tertentu. Pendapat ini tidak disetujui kedua muridnya, Abu Yusuf
dan Muhammad ibn al-Hasan.
Mayoritas para ulama besar kontemporer memperbolehkan
taqnin al-ahkam. Diantara mereka ialah Shalih ibn Ghashun, Abdul
Majid ibn Hasan, Abdullah ibn Mani’, Abd. Khayyath, Muhammad
ibn Jabir, Rasyid ibn Hunain, dan Rasyid ibn Khunain, Musthafa
al-Zarqa, Muhammad Abu Zahrah, Ali al-Khafif, Yusuf al-
Qardhawi, Wahbah al-Zuhaili, dan lain-lain.
Menurut ulama lainnya, tidak membolehkan taqnin ahkam.
Pandangan ini merupakan pandangan mayoritas ulama klasik, baik
dari kalangan Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali,. Ibn Qudamah
juga berpendapat bahwa pandangan itu sudah tidak diperselisihkan
lagi. Ibn Taimiyah berpendapat sama. Ibnu Taimiyah mengatakan
bahwa para hakim harus menghukumi sesuatu bersumber dari apa
yang datang dari Allah Swt. Menurutnya, para hakim tidak boleh
menghukumi sesuatu bila tidak bersumber langsung pada Allah dan
Rasul-Nya.
Para ulama yang menolak taqnin al-ahkam dan juga
menolak kewajiban untuk menaatinya terdiri dari sebagian para
ulama besar kontemporer dari Arab Saudi, di antara mereka Bakr
ibn Abdullah Abu Zaid, Shalih ibn Fauzan al-Fauzan, Abdullah ibn
Abdurrahman alBassam, Abdullah ibn Abdurrahman al-Jabirin,
Abdurrahman ibn Abdullah al-Ajlan, Abdullah ibn Muhammad al-
Ghunaiman, Abdul Aziz ibn Abdullah ar-Rajihi, dan lain-lain.
8
Penutup
Perbedaan pendapat ulama tentang taqnin al-ahkam karena
taqnin al-ahkam adalah sesuatu yang baru, yang tidak dikenal
istilah itu pada masa Rasul Saw., Sahabat, dan ulama salaf.
Pendapat ulama dalam hal ini ada dua, yakni membolehkan dan
melarang. Ulama yang membolehkan taqnin al-ahkam berpendapat
bahwa membuat hukum dalam suatu undang-undang yang akan
diberlakukan untuk seluruh individu dalam satu wilayah kekuasaan
negara ialah sesuatu yang membawa maslahat.
Sementara ulama yang tidak membenarkan taqnin al-ahkam
menganggap bahwa ini adalah penyimpangan yang tidak dapat
dibenarkan. Argumentasi mereka adalah keharusan para hakim
dalam mencari kebenaran dan keadilan melalui ijtihad pada sumber
hukum, yakni Al-Quran dan Hadis. Suatu kebenaran dan keadilan
tidak bisa merujuk pada suatu undang-undang saja yang notabene
merupakan hasil ijtithadi dan membuka peluang perbedaan ukuran
kebenaran itu dalam perspektif dan ijtihad ulama atau hakim.
9
Judul Jurnal : Positivisasi Hukum Islam dalam Pembinaan Hukum
Nasional di Indonesia
Penulis : Fitriyani, Abd Basir Laupe
Pendahuluan
Pada zaman Kemerdekaan, hukum Islam pun melewati dua
periode. Periode pertama adalah penerimaan hukum Islam sebagai
10
sumber persuasif. Periode kedua ialah hukum Islam sebagai sumber
autoritatif. Sumber persuasif dalam konteks hukum konstitusi, yaitu
sumber hukum yang baru diterima apabila diyakini.
Dalam konteks hukum Islam, piagam Jakarta sebagai salah
satu hasil sidang BPUP KI merupakan sumber persuasif. Hukum
Islam baru menjadi sumber autoritatif (sumber hukum yang telah
mempunyai kekuatan hukum) dalam ketatanegaraan, ketika Dekrit
Presiden RI 5 juli 1959 yang mengakui Piagam Jakarta menjiwai
UUD 1945.
11
Terdapat tiga bentuk dalam memfungsikan hukum Islam
dalam pembinaan hukum nasional. Pertama, menjadikan hukum
Islam sebagai hukum positif yang hanya berlaku bagi warga negara
yang beragama Islam. Kedua, memfungsikan hukum Islam dengan
cara mengekspresikan materi hukum Islam atau prinsip-prinsip dan
moralitas untuk diintegrasikan ke dalam hukum nasional yang akan
berlaku bagi semua warga negara. Ketiga, memfungsikan hukum
Islam dalam proses pengambilan kebijakan publik (Public Policy
Making).
Penutup
Upaya positivisasi hukum Islam dalam pembinaan hukum
nasional di Indonesia dapat ditempuh dengan dua cara. Pertama,
pendekatan formal atau normatif. Menurut pendapat ini, hukum
Islam harus diterapkan kepada mereka yang sudah mengucapkan
dua kalimat syahadat atau sudah masuk Islam. Orientasi ini
mendukung pendekatan struktural dalam sosialisasi dan
institusionalisasi ajaran Islam. Artinya pelaksanaan ajaran Islam
perlu dilembagakan melalui perundangan dan dukungan negara.
Kedua, pendekatan cultural. Menurut pendapat ini, yang terpenting
bukan formalisme penerapan hukum Islam atau dengan pendekatan
normatif ideologis. Namun penyerapan nilai-nilai hukum Islam ke
dalam masyarakat itulah yang lebih penting.
Legislasi hukum Islam di Indonesia ada dua jenis. Pertama,
hukum Islam yang dimasukkan dalam peraturan perundangan yang
berlaku umum, seperti UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, UU
12
No. 7/1992 tentang Perbankan dan UU No 3/1997 tentang
Kesejahteraan Anak. Kedua, hukum Islam yang dimasukkan dalam
perundangan yang berlaku khusus bagi umat Islam atau lembaga
Islam, seperti UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama, UU No.
17/1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU No. 38/1999
tentang Pengelolaan Zakat, dan Inpres No. 1/1991 tentang KHI.
Pendahuluan
Ada berbagai cara dan upaya penerapan hukum Islam di
Indonesia yang sudah sejak lama dilakukan. Dari aspek yuridis dan
sosiologis, upaya tersebut terus berproses melalui perjuangan para
aktivis dan akademisi, serta masyarakat muslim di dalam
melakukan formalisasi syariat Islam menjadi hukum nasional dan
13
atau ke dalam hukum nasional. Upaya ini sangat prospektif karena
masih banyak peraturan perundangundangan warisan kolonial yang
belum terganti kan dengan peraturan perundang-undangan nasional
yang bernuansa Islami.
Formalisasi syariat Islam menjadi hukum nasional atau ke
dalam hukum nasional memang menghadapi kendala permasalahan
yang sangat mendasar. Selain beragamnya agama, juga terdapat
berbagai sumber hukum nasional yang sudah mapan sehingga sulit
melakukan kodifikasi atau unifikasi hukum. Dalam perjalanan
waktu masuknya hukum Islam dalam wadah normatif adalah
kebutuhan masyarakat Indonesia, bukan lagi karena mayoritas dan
minoritas. Gejala transformasi demikian lahir dari tingginya rasa
kesadaran dari masyarakat Indonesia.
Artikel ini ingin mengkaji perkembangan positivisasi
hukum Islam di Indonesia sejak masa penjajahan hingga masa Orde
Baru dengan pendekatan kesejarahan sehubungan dengan
banyaknya dari nilai-nilai hukum Islam yang telah melekat dan
juga menjadi hukum positif di Indonesia.
14
dibentuknya sebagai penasihat dalam suatu masalah atau perkara.
Untuk itu, hukum Islam pada masa ini cenderung mengalir dalam
kehidupan masyarakat dan diakui sebagai hukum positif dan
mengikat bagi masyarakat muslim.
Dalam perkembangannya, hukum Islam justru tidak diakui
lagi sebagai hukum yang mandiri bagi masyarakat muslim. Di
mana hukum Islam baru diakui bila memenuhi dua syarat, yaitu:
Pertama, norma hukum Islam harus diterima terlebih dahulu oleh
hukum kebiasaan (adat masyarakat setempat). Kedua, norma dan
kaidah hukum Islam yang sudah diterima itu tidak boleh
bertentangan ataupun tidak boleh telah ditentukan lain oleh
ketentuan perundang-undangan Hindia Belanda.
Pada masa orde baru, perjuangan mengangkat hukum Islam
juga dilakukan oleh para tokoh Islam masa menjelang
kemerdekaan. Hasil perjuangan mereka berupa disetujuinya
rumusan kompromi yang dituangkan dalam Piagam Jakarta
(Jakarta Charter) dengan tambahan rumusan sila pertama yaitu
berbunyi: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at
Islam bagi pemelukpemeluknya”.
Pada awal Orde Baru, umat Islam mempunyai harapan baru
untuk memantapkan keberadaan hukum Islam dalam tata hukum di
Indonesia. Namun, setelah pemerintah Orde Baru memantapkan
kekuasaannya, mereka segera melakukan kontrol yang lebih ketat
terhadap kekuatan politik Islam, terutama para kelompok radikal
yang dikhawatirkan dapat menandingi kekuatan pihak pemerintah.
Dalam perkembangannya, perjungan untuk mengangkat unsur-
unsur hukum Islam dalam hukum nasional tetap dilakukan oleh
15
kelompok masyarakat muslimin. Bidang hukum Islam yang
diperjuangkan di waktu itu yakni hukum perkawinan, hukum
kewarisan, hibah, wakaf, dan hukum zakat, dan terealisasinya
bidang hukum perkawinan yang berhasil dalam jenis UU No.
1/1974 tentang Perkawinan, kemudian UU tentang Peradilan
Agama di Tahun 1989, Kompilasi Hukum Islam atau KHI di tahun
1991.
Penutup
Perkembangan positivisasi hukum Islam di Indonesia pada
masa penjajahan hingga orde baru mengalami pasang surut sesuai
dengan kebijakan politik dan hukum yang diterapkan. Pada masa
penjajahan Belanda, hukum Islam diakui sebagai hukum positif
dengan diterapkannya teori receptio in complexu namun kemudian
ditentang dengan teori receptie. Pada masa Jepang keadaan tidak
banyak berubah karena singkatnya Jepang menguasai Indonesia.
Pada masa Orde Lama hukum Islam belum menandakan perbaikan
bahkan berada pada kondisi yang suram. Pada masa Orde Baru
pemerintah juga memperketat pengawasan terhadap aktifitas
gerakan politik Islam, tapi kondisinya mulai membaik dengan lahir
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang juga menjadi akhir
dari teori resepsi.
16
Judul Jurnal : Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Era
Reformasi
Penulis : Masruhan
Pendahuluan
Saat ini hukum Islam bisa berlaku dalam sebuah negara
harus melalui positivisasi dengan cara memasukkan prinsip-prinsip
hukum dalam peraturan perundang-undangan. Upaya ini sangat
prospektif karena masih banyak peraturan perundang-undangan di
17
Indonesia sebagai warisan kolonial yang belum tergantikan dengan
peraturan perundang-undangan nasional yang bernuansa Islami.
Secara sosiologis, upaya tersebut terus berproses melalui
perjuangan positivisasi hukum Islam yang didukung oleh tingginya
rasa kesadaran dari masyarakat Indonesia. Karena, hukum Islam
hidup dan dianut oleh rakyat setempat dalam kehidupan sehari-hari.
Strategi dan pendekatan yang ditempuh adalah logika setiap orang
Islam harus menjalankan syariat Islam.
Secara akademik, positivisasi melalui proses keilmuan
dalam disiplin ilmu hukum (jurisprudence). Segi sistem politik
demokratis, positivisasi tetap dalam koridor demokratisasi. Artikel
ini hendak memaparkan tentang perkembangan upaya positivisasi
hukum Islam di Indonesia pada era reformasi.
18
hukum Islam menjadi hukum nasional, walaupun masih terbatas di
wilayah hukum privat yang berkenaan dengan ubudiyah dan juga
muamalah (perdata Islam). Sedangkan di wilayah hukum publik
(pidana Islam), sampai sekarang hanya dalam bentuk wacana para
ahli hukum sebagai naskah akademis. Secara historis hukum Islam
telah teruji baik eksistensi maupun efektivitasnya dalam menjamin
kehidupan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Penutup
Perkembangan positivisasi hukum Islam di Indonesia pada
era reformasi berkembang pesat yang ditandai dengan banyaknya
hukum Islam menjadi hukum positif baik dalam bentuk legislasi
maupun non legislasi. Prospek positivisasi hukum Islam di
Indonesia di era reformasi cerah karena karakter hukum era
reformasi bersifat demokratis-responsif, sistem hukum Barat sudah
tidak berkembang, jumlah penduduk mayoritas beragama Islam,
ada political will dari pemerintah, dan hukum Islam menjadi salah
satu sumber bahan baku dalam pembentukan hukum nasional
disamping hukum adat dan hukum Barat.
19