Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sistem hukum Indonesia adalah sistem hukum yang berlaku nasional di
negara Republik Indonesia. sistem hukum Indonesia tersebut bersifat majemuk,
karena sistem hukum yang berlaku nasional terdiri dari lebih satu sistem. Sistem –
sistem tersebut adalah sistem hukum adat, sistem syari’at islamdan sistem hukum
Barat.
Sebagai negara yang penduduknya terdiri dari berbagai macam ras dan
suku bangsa, Indonesia menghormati kebebasan penduduknya memeluk agama
masing – masing, sehingga tidaklah mungkin menerapkan syari’at islamsecara
penuh kepada setiap warga negara, meskipun mayoritas penduduk Indonesia
beragama Islam. Akan tetapi, agama Islam bersifat universal. Syari’at islamadalah
bagian dari agama Islam, sehingga juga bersifat universal. pada hakikatnya
syari’at islammerupakan keyakinan yang melekat pada setiap orang yang
beragama Islam, tidak peduli kapan dan dimanapun.
Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat), bukan negara kekuasaan
(machstaats) sebagaimana tertuang dalam bunyi UUD 1945 pasal 1 ayat (3)
bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, maka
menjadi suatu kewajiban bahwa setiap penyelenggaraan negara dan
pemerintahannya selalu berdasarkan pada peraturan perundang-undangan. Maka
negara hukum yang dimaksud di sini bukan hanya merupakan pengertian umum
yang dapat dikaitkan dengan berbagai konotasi. Maupun hanya rechstaat dan rule
of law sebagaimana dipraktikkan di barat. Tapi juga nomokrasi Islam dan negara
hukum Pancasila yang dipraktikkan di Indonesia.
Namun, Indonesia juga bukan negara yang menganut paham teokrasi
berdasarkan penyelenggaraan negaranya pada agama tertentu saja. Di mana,
menurut paham teokrasi, negara dan agama dipahami sebagai dua hal yang tidak
dapat dipisahkan. Yakni dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan. Sehingga
tata kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara dilakukan dengan titah Tuhan

1
dalam kehidupan umat manusia. Oleh karena itu, paham ini melahirkan konsep
negara agama atau agama resmi, dan dijadikannya agama resmi tersebut sebagai
hukum positif. Konsep negara teokrasi ini sama dengan paradigma integralistik.
Yaitu paham yang beranggapan bahwa agama dan negara merupakan suatu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Pada tataran lain, negara Indonesia juga tidak menganut negara sekuler
yang mendisparitas agama atas negara dan memisahkan secara diametral antara
agama dengan negara. Paham ini melahirkan konsep agama dan negara yang
merupakan dua entitas berbeda, dan satu sama lain memiliki wilayah garapan
masing-masing. Sehingga, keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu
sama lain melakukan intervensi.
Namun, relasi antara agama dan negara di Indonesia dikemas secara
sinergis, bukan dikotomis yang memisahkan antara keduanya. Agama dan negara
merupakan entitas yang berbeda. Namun, keduanya dipahami saling
membutuhkan secara timbal balik. Yakni agama membutuhkan negara sebagai
instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama. Sebaliknya negara
juga membutuhkan agama. Sebab, agama pun membantu negara dalam pembinaan
moral, etika, dan spiritualiatas. Pemahaman seperti ini disebut dengan paradigma
simbiotik. Maka dalam konteks ke-Indonesia-an paradigma simbiotik ini,
kedudukan syari’at islammenempati posisi strategis sebagai sumber legitimasi
untuk menegakkannya dalam porsi yang proporsional. Bukan dengan formalisasi-
legalistik melalui institusi negara sebagaimana disampaikan oleh Habib Riziq
Shihab, ketua Front Pembela Islam.
Namun sebagaimana dikemukakan oleh Bismar Siregar, yang menyatakan
bahwa kewajiban menjalankan syariat tidak perlu diperintahkan secara formal
berdasarkan undang-undang. Karena sekali orang menyatakan dirinya umat
Muhammad, dengan ikrar dua kalimat syahadat, maka berlakulah menjalankan
syariat atas dirinya.
Sistem hukum Indonesia adalah sistem hukum yang bukan berdasar pada
agama tertentu. Tetapi memberi tempat kepada agama-agama yang dianut oleh
rakyat untuk menjadi sumber hukum atau memberi bahan hukum terhadap produk

2
hukum nasional. Hukum agama sebagai sumber hukum di sini diartikan sebagai
sumber hukum materiil (sumber bahan hukum) dan bukan harus menjadi sumber
hukum formal (dalam bentuk tertentu) menurut peraturan perundang-undangan.
Dalam konteks inilah, Islam sebagai agama yang dipeluk mayoritas penduduk
Indonesia memiliki prospek dalam pembangunan hukum nasional. Karena secara
kultural, yuridis, filosofis maupun sosiologis, memiliki argumentasi yang sangat
kuat.
Penerapan atau positivisme syari’at islam dalam sistem hukum nasional
setidaknya melalui dua langkah. Yaitu proses demokrasi dan prolegnas
(akademisi), bukan indoktrinasi. Dalam proses demokrasi ada musyawarah
mufakat yang kemudian dituangkan dalam prolegnas (progam legislasi nasional).
Yang selanjutnya untuk menjadi hukum positif diperlukan kajian lebih mendalam
melalui naskah akademik karena menyangkut tinjauan dari berbagai macam
aspek. Baik sosiologis, politis, ekonomis, maupun filosofis. Hal ini sebagaimana
diatur dalam UU No. 10/2004 sebagaimana sudah diubah menjadi UU No.
12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Seiring berjalannya waktu, ada beberapa norma-norma syari’at islamyang
sudah menjadi hukum positif. Adalah, apabila berkaitan dengan akuntabilitas
publik atau tanggung jawab public. Nah, berdasarkan uraian diatas, perlu kiranya
membahas mengenai bagaimana Kedudukan Syari’at islamdalam Hukum Positif
di Indonesia.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, muncul beberapa pertanyaan, antara lain
adalah :
1. Bagaimana sejarah perkembangan syari’at islamdi Indonesia?
2. Bagaimana kedudukan syari’at islam dalam sistem hukum nasional?
3. Apakah peran syari’at islam dalam pembinaan hukum nasional?
4. Apa sajakah kontribusi syari’at islam terhadap perkembangan hukum
nasional?

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Syari’at islam di Indonesia


Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, terjadi perbedaan pendapat para
ahli mengenai kapan pertama kali Islam measuk ke Nusantara. Menurut pendapat
yang disimpulkan oleh Seminar Masuknya Islam ke Indonesia yang
diselenggarakan di Medan 1963, Islam telah masuk ke Indonesia pada abad
pertama Hijriah atau pada abad ketujuh/kedelapan masehi. Pendapat lain
mengatakan bahwa Islam baru sampai ke Nusantara ini pada abad ke-13 Masehi.
Daerah yang pertama didatanginya adalah pesisir utara pulau Sumatera dengan
pembentukan masyarakat Islam pertama di Pereulak Aceh Timur dan kerajaan
Islam pertama di Samudra Pasai, Aceh Utara.
Ketika singgah di Samudera Pasai pada tahun 1345 Masehi, Ibnu Batutah,
seorang pengembara, mengagumi perkembangan Islam di negeri tersebut. ia
mengagumi kemampuan Sultan Al-Malik Al-Zahir dalam berdiskusi tentang
berbagai masalah Islam dan Ilmu Fiqh. Menurut pengembara Arab Islam Maroko
itu, selain sebagai seorang raja, Al-Malik Al-Zahir yang menjadi Sultan Pasai
ketika itu adalah juga seorang fukaha (ahli hukum yang mahir tentang hukum
Islam). Yang dianut di kerajaan Pasai pada waktu itu adalah syari’at islamMazhab
Syafi’i. Menurutt Hamka, dari Pasailah disebarkan paham Syafi’i ke kerajaan –
kerajaan Islam lainnya di Indonesia. Bahkan setelah kerajaan Islam Malaka berdiri
(1400-1500 M) para ahli syari’at islamMalaka datang ke Samudra Pasai untuk
meminta kata putus mengenai berbagai masalah hukum yang mereka jumpai
dalam masyarakat.
Dalam proses Islamisasi kepulauan Indonesia yang dilakukan oleh para
saudagar melalui perdagangan dan perkawinan, peranan syari’at islamadalah
besar. Kenyataan ini dilihat bahwa bila seorang saudagar Muslim hendak menikah
dengan seorang wanita pribumi, misalnya, wanita itu diislamkan lebih dahulu dan
perkawinannya kemudian dilangsungkan menurut ketentuan Hukum Islam.

4
Setelah agama Islam berakar pada masyarakat, peranan saudagar dalam
penyebaran Islam digantikan oleh para ulama yang bertindak sebagai guru dan
pengawal Hukum Islam. Salah satu contoh ulama yang terkenal adalah Nuruddin
Ar-Raniri, yang menulis buku syari’at islamdengan judul Siratal Mustaqim pada
tahun 1628. menurut Hamka, kitab Syari’at islamyang ditulis oleh Ar-Raniri ini
merupakan kitab syari’at islampertama yang disebarkan ke seluruh Indonesia.
oleh Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, yang menjadi mufti di Banjarmasin,
kitab hukum Siratal Mustaqim itu diperluas dan diperpanjang uraiannya dan
dijadikan pegangan dalam menyelesaikan sengketa antara umat Islam di daerah
kesultanan Banjar. Kitab yang sudah diuraikan ini kemudian diberi nama Sabilal
Muhtadin. Di daerah kesultanan Palembang dan Banten, terbit pula beberapa kitab
Syari’at islamyang dijadikan pegangan oleh umat Islam dalam menyelesaikan
berbagai masalah dalam hidup dan kehidupan mereka ditulis oleh Syaikh Abdu
Samad dan Syaikh Nawawi Al-Bantani.
Dari uraian singkat di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa sebelum
Belanda mengukuhkan kekuasannya di Indonesia, syari’at islamsebagai hukum
yang berdiri sendiri telah ada dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang di
samping kebiasaan atau adat penduduk yang mendiami kepulauan Nusantara ini.
Islam berakar dalam kesadaran penduduk kepulauan Nusantara dan mempunyai
pengaruh yang bersifat normatif dalam kebudayaan Indonesia.
Pada akhir abad keenam belas, VOC merapatkan kapalnya di Pelabuhan
Banten, Jawa Barat. semula maksudnya adalah berdagang, tapi kemudian
haluannya berubah menjadi menguasai kepulauan Indonesia. VOC memiliki dua
fungsi, pertama sebagai pedagang, kedua sebagai badan pemerintahan. Dalam
kata lain, Sebagai badan pemerintahan VOC menggunakan hukum Belanda yang
dibawanya. Akan tetapi hukum Belanda tidak pernah bisa diterapkan seluruhnya,
sehingga VOC kemudian membiarkan lembaga – lembaga asli yang ada di dalam
masyarakat berjalan terus seperti keadaan sebelumnya. Pemerintah VOC terpaksa
harus memperhatikan hukum yang hidup dan diikuti oleh rakyat dalam kehidupan
mereka sehari – hari. Dalam statuta Jakarta (Batavia) tahun 1642 disebutkan

5
bahwa mengenai soal kewarisan bagi orang Indonesia yang beragama Islam harus
dipergunakan hukum Islam, yakni hukum yang dipakai oleh rakyat sehari – hari.
Berdasarkan pola pemikiran tersebut, pemerintah VOC meminta kepada
D.W. Freijer untuk menyusun suatu compendium (intisari atau ringkasan) yang
memuat hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam. Setelah diperbaiki dan
disempurnakan oleh para penghulu dan ulama Islam, ringkasan kitab hukum
tersebut diterima oleh pemerintah VOC (1760) dan dipergunakan oleh pengadilan
dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi di kalangan umat Islam di daerah –
daerah yang dikuasai VOC. Selain Compendium Freijer, banyak lagi kitab hukum
yang dibuat di zaman VOC, di antaranya ialah kitab hukum mogharraer untuk
Pengadilan Negeri Semarang. Kitab hukum ini adalah kitab perihal hukum –
hukum Jawa yang dialirkan dengan teliti dari kitab syari’at islamMuharrar
karangan Ar-Rafi’i. Mogharraer memuat sebagian besar hukum pidana Islam.
Posisi syari’at islamdi zaman VOC ini berlangsung demikian, selama lebih kurang
dua abad.
Waktu pemerintahan VOC berakhir dan pemerintahan kolonial Belanda
menguasai sungguh – sungguh kepulauan Indonesia, sikapnya terhadap syari’at
islammulai berubah. Perubahan ini khususnya tampak pada abad ke 19, dimana
ketika itu banyak orang Belanda sangat berharap dapat segera menghilangkan
pengaruh agama Islam dari sebagian besar orang Indonesia dengan berbagai cara,
salah satunya adalah kristenisasi. Mereka berpendapat bahwa pertukaran agama
penduduk menjadi kristen akan menguntungkan negeri Belanda. Selain itu,
pemerintah Belanda memiliki keinginan yang kuat untuk menata dan mengubah
hukum di Indonesia menjadi hukum Belanda, karena adanya anggapan bahwa
hukum Eropa jauh lebih baik daripada hukum yang telah ada di Indonesia. untuk
melaksanakan maksud tersebut pemerintah Belanda kemudian mengangkat suatu
komisi yang diketuai oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem yang bertugas untuk
melakukan penyesuaian undang – undang Belanda itu dengan Indonesia.
Mengenai kedudukan syari’at islamdalam usaha pembaharuan tata hukum
di Hindia Belanda, Scholten berpendapat bahwa syari’at islamsebaiknya tetap
dibiarkan ada dalam masyarakat agar tidak terjadi hal – hal yang tidak

6
menyenangan. Pendapat inilah yang mungkin menyebabkan pasal 75 RR
menginstruksikan kepada pengadilan untuk mempergunakan undang – undang
agama dan lembaga – lembaga kebiasaan mereka bila golongan bumi putera
bersengketa, sejauh undang – undang dan kebiasaan tersebut tidak bertentangan
dengan hukum Belanda. Pemerintah Hindia Belanda kemudian mendirikan
Pengadilan Agama di Jawa dan Madura untuk menyelesaikan perkara perdata
antara sesama orang bumi putera. Inti wewenang Pengadilan Agama ini adalah
kelanjutan praktik pengadilan dalam masyarakat bumiputera yang beragama Islam
yang telah berlangsung sejak zaman pemerintahan VOC dan kerajaan – kerajaan
Islam sebelumnya.
Seorang ahli hukum Belanda bernama van den Berg mengatakan bahwa
orang Islam Indonesia telah melakukan resepsi syari’at islamdalam
keseluruhannya dan sebagai satu kesatuan: receptio in complexu. Pendapat ini
kemudian ditentang oleh Christian Snouck Hurgronje, ia berpendapat bahwa yang
berlaku bagi orang Islam di kedua daerah itu bukanlah hukum Islam, tetapi hukum
Adat. Pendapat ini kemudian terkenal dengan nama receptie theorie. Karena teori
inilah pada tahun 1922, pemerintah Belanda membentuk sebuah komisi untuk
meninjau kembali wewenang Priesterraad atau Raad Agama di Jawa dan Madura
yang tahun 1882 secara resmi berwenang mengadili perkara kewarisan orang –
orang Islam menurut ketentuan hukum Islam. Dengan alasan bahwa hukum
kewarisan Islam belum diterima sepenuhnya oleh hukum adat, maka melalui pasal
2a ayat (1) S. 1937 : 116 dicabutlah wewenang Raad atau Pengadilan Agama di
Jawa dan Madura untuk mengadili perkara warisan. Usaha giat raja – raja Islam di
Jawa menyebarkan syari’at islamdi kalangan rakyatnya distop oleh pemerintah
kolonial sejak 1 April 1937. wewenang untuk mengadili perkara kewarisan pun
dialihkan ke Landraad.
Akan tetapi, Landraad ketika memutuskan perkara warisan dianggap
sangat bertentangan dengan hukum Islam, sehingga menimbulkan reaksi dari
berbagai organisasi Islam. Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) pun memprotes
kehadiran S. 1937 : 116, karena staatsblad tersebut dianggap telah menggoyahkan

7
kedudukan syari’at islamdalam masyarakat Muslim Indonesia. Meski begitu
pemerintah Belanda tetap tidak menghiraukan protes tersebut.
Usaha untuk mengendalikan dan menempatkan syari’at islamdalam
kedudukannya semula (sebelum dikendalikan oleh Pemerintah Belanda) terus
dilakukan oleh para pemimpin Islam dalam berbagai kesempatan yang terbuka.
Salah satu contohnya adalah ketika sidang BPUPKI berhasil menghasilkan
Piagam Jakarta (22 juni 1945) yang selanjutnya menjadi Pembukaan Undang –
Undang Dasar 1945. di dalam piagam ini, dinyatakan antara lain bahwa negara
‘berdasarkan pada Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk – pemeluknya’. Tujuh kata terakhir ini oleh PPKI diganti dengan kata
‘Yang Maha Esa’ dan ditambahkan pada ‘Ketuhanan’ sehingga berbunyi
‘Ketuhanan Yang Maha Esa’.
Setelah kemerdekaan Indonesia, adanya UUD 1945 sebagai sumber
hukum tertinggi di Indonesia, maka IS yang menjadi landasan legal teori resepsi
sudah tidak berlaku lagi. Bagaimana posisi hukum Islam? Dapat dilihat pada Pasal
2 ayat (1) Undang – Undang Perkawinan yang mengatakan bahwa perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut agama, maka jelas syari’at islamtelah
langsung menjadi sumber hukum. Pengadilan bagi orang yang beragama Islam
adalah Pengadilan Agama. Pengadilan Agama kembali mempergunakan Hukum
Islam, sekurang – kurangnya satu asas dalam menyelesaikan satu sengketa.
Pengadilan Agama juga diperbolehkan menggunakan hukum adat asalkan tidak
bertentangan dengan hukum Islam.

B. Kedudukan Syari’at islam dalam Sistem Hukum Nasional


Kini, di Indonesia, syari’at islamyang disebut dan ditentukan oleh
peraturan perundang – undangan dapat berlaku langsung tanpa harus melalui
hukum Adat. Republik Indonesia dapat mengatur suatu masalah sesuai dengan
hukum Islam, sepanjang pengaturan itu hanya berlaku bagi pemeluk agama Islam.
Kedudukan syari’at islamdalam sistem hukum Indonesia adalah sama dan
sederajat dengan hukum Adat dan hukum Barat, karena itu syari’at islamjuga
menjadi sumber pembentukan hukum nasional yang akan datang di samping

8
hukum adat dan hukum barat yang juga tumbuh dan berkembang dalam negara
Republik Indonesia.
Berlakunya syari’at islamdi Indonesia dan telah mendapat tempat
konstitusional menurut Abdul Ghani Abdullah berdasar pada tiga alasan,
yaitu: Pertama, alasan filosofis, ajaran Islam merupakan pandangan hidup, cita
moral dan cita hukum mayoritas muslim di Indonesia, dan ini mempunyai peran
penting bagi terciptanya norma fundamental negara Pancasila; Kedua, alasan
Sosiologis. Perkembangan sejarah masyarakat Islam Indonesia menunjukan
bahwa cita hukum dan kesadaran hukum bersendikan ajaran Islam memiliki
tingkat aktualitas yang berkesiambungan; dan Ketiga, alasan Yuridis yang
tertuang dalam pasal 24, 25 dan 29 UUD 1945 memberi tempat bagi keberlakuan
syari’at islamsecara yuridis formal.
Menurut mantan Menteri Kehakiman Ali Said pada pidatonya di upacara
pembukaan Simposium Pembaruan Hukum Perdata Nasional di Yogyakarta
tanggal 21 Desember 1981 syari’at islamterdiri dari dua bidang, bidang ibadah
dan bidang muamalah. Pengaturan hukum yang bertalian dengan ibadah bersifat
rinci, sedang pengaturan mengenai muamalah tidak terlalu rinci. Yang ditentukan
dalam bidang muamalah hanyalah prinsip – prinsipnya saja. Pengembangan dan
aplikasi prinsip – prinsip tersebut diserahkan sepenuhnya kepada para
penyelenggara negara dan pemerintahan. Oleh karena syari’at islammemegang
peranan penting dalam membentuk serta membina ketertiban sosial umat Islam
dan mempengaruhi segala segi kehidupannya, maka jalan terbaik yang dapat
ditempuh ialah mengusahakan secara ilmiah adanya transformasi norma – norma
syari’at islamke dalam hukum nasional, sepanjang norma tersebut sesuai dengan
Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945 serta relevan dengan kebutuhan
hukum khusus umat Islam. Menurut Ali Said, banyak asas yang bersifat universal
terkandung dalam syari’at islamyang dapat digunakan dalam menyusun hukum
nasional.
Kutipan ini semakin menegaskan bahwa syari’at islamberkedudukan
sebagai sumber bahan baku penyusunan hukum nasional.

9
C. Syari’at islamDalam Pembinaan Hukum Nasional
Pada tahap perkembangan pembinaan hukum nasional sekarang, menurut
Daud Ali, yang diperlukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional adalah badan
yang berwenang merancang dan menyusun hukum nasional yang akan datang
adalah asas – asas dan kaidah – kaidah syari’at islamdalam segala bidang, baik
yang bersifat umum maupun khusus. Umum adalah ketentuan – ketentuan umum
mengenai peraturan perundang – undangan yang akan berlaku di tanah air kita,
sedangkan khusus contohnya adalah asas – asas hukum perdata Islam terutama
mengenai hukum kewarisan, asas – asas hukum ekonomi terutama mengenai hak
milik, perjanjian dan utang – piutang, asas – asas hukum pidana Islam, asas – asas
hukum tata negara dan administrasi pemerintahan, asas – asas hukum acara dalam
Islam dan lain – lain.
Masalah utama yang dihadapi oleh lembaga pembinaan hukum nasional
adalah merumuskan asas – asas dalam syari’at islamtersebut ke dalam kata – kata
jelas yang dapat diterima oleh semua golongan di pelosok tanah air, bukan hanya
orang Islam saja. Tim pengkajian Syari’at islamBabinkumnas telah berusaha
menemukan asas – asas tersebut dan merumuskannya ke dalam kaidah – kaidah
untuk dijadikan untuk dijadikan bahan pembinaan hukum nasional. Berbagai asas
dapat dikembangkan melalui jurisprudensi peradilan agama, karena asas – asas ini
dirumuskan dari keadaan konkret di tanah air kita, sehingga dapat lebih mudah
diterima.
Konsep pengembangan hukum Islam, secara kuantitatif begitu
mempengaruhi tatanan sosial-budaya serta politik dan hukum dalam masyarakat.
Kemudian, konsep tersebut lalu diubah arahnya yaitu secara kualitatif
diakomodasikan dalam berbagai perundang – undangan yang dilegaslasikan oleh
lembaga pemerintah dan negara. Konkretisasi dari pandangan ini selanjutnya
disebut sebagai usaha transformasi syari’at islamke dalam bentuk perundang –
undangan.
Transformasi hukum agama menjadi hukum nasional terjadi juga di
beberapa negara muslim seperti Mesir, Syria, Irak, Jordania dan Libya. Yang
berbeda adalah kadar unsur – unsur syari’at islamdalam hukum nasional negara –

10
negara yang bersangkutan. Di negara – negara tersebut, hukum nasional mereka
merupakan percampuran antara hukum barat dan hukum Islam, sementara di
Indonesia, hukum nasional di masa yang akan datang akan merupakan perpaduan
antara hukum adat, syari’at islamdan hukum eks-Barat.

D. Kontribusi Syari’at islamTerhadap Perkembangan Hukum Nasional


Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa sistem hukum yang mewarnai
hukum nasional kita di Indonesia selama ini pada dasarnya  terbentuk atau
dipengaruhi oleh tiga pilar subsistem hukum yaitu sistem hukum barat, hukum
adat dan sistem hukum Islam, yang masing-masing menjadi sub-sistem hukum
dalam sistem hukum Indonesia.
Sistem Hukum Barat merupakan warisan penjajah kolonial Belanda yang
selama 350 tahun menjajah Indonesia. Penjajahan tersebut sangat berpengaruh
pada sistem hukum nasional kita. Sementara Sistem Hukum Adat bersendikan atas
dasar-dasar alam pikiran bangsa Indonesia, dan untuk dapat sadar akan sistem
hukum adat orang harus menyelami dasar-dasar alam pikiran yang hidup di dalam
masyarakat Indonesia. Kemudian sistem Hukum Islam, yang merupakan sistem
hukum yang bersumber pada kitab suci AIquran dan yang dijelaskan oleh Nabi
Muhammad dengan hadis/sunnah-Nya serta dikonkretkan oleh para mujtahid
dengan ijtihadnya. Bustanul Arifin menyebutnya dengan gejala sosial hukum itu
sebagai perbenturan antara tiga sistem hukum, yang direkayasa oleh politik
hukum kolonial Belanda dulu yang hingga kini masih belum bisa diatasi,[1]
[48] seperti terlihat dalam sebagian kecil pasal pada UU No. 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah.
Dari ketiga sistem hukum di atas secara objektif dapat kita nilai bahwa
hukum Islamlah ke depan yang lebih berpeluang memberi masukan bagi
pembentukan hukum nasional. Selain karena mayoritas penduduk Indonesia
beragama Islam dan adanya kedekatan emosional dengan syari’at islamjuga
karena sistem hukum barat/kolonial sudah tidak berkembang lagi sejak
kemerdekaan Indonesia, sementara hukum adat juga tidak memperlihatkan

11
sumbangsih yang besar bagi pembangunan hukum nasional, sehingga harapan
utama dalam pembentukan hukum nasional adalah sumbangsih hukurn Islam.
Syari’at islam memiliki prospek dan potensi yang sangat besar dalam
pembangunan hukum nasional. Ada beberapa pertimbangan yang menjadikan
syari’at islamlayak menjadi rujukan dalam pembentukan hukum nasional yaitu:
a. Undang-undang yang sudah ada dan berlaku saat ini seperti, UU
Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU
Pengelolaan Zakat dan UU Otonomi Khusus nanggroe Aceh Darussalam
serta beberapa undang-undang lainnya yang langsung maupun tidak
langsung memuat syari’at islamseperti UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang
perbankan yang mengakui keberadaan Bank Syari'ah dengan prinsip
syari'ahnya., atau UU NO. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang
semakin memperluas kewenangannya, dan UU Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah.
b. Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih kurang 90 persen
beragama Islam akan memberikan pertimbangan yang signifikan dalam
mengakomodasi kepentingannya.
c. Kesadaran umat Islam dalam praktek kehidupan sehari-hari. Banyak
aktifitas keagamaan masyarakat yang terjadi selama ini merupakan
cerminan kesadaran mereka menjalankan Syari'at atau hukum Islam,
seperti pembagian zakat dan waris.
d. Politik pemerintah atau political will dari pemerintah dalam hal ini sangat
menentukan. Tanpa adanya kemauan politik dari pemerintah maka cukup
berat bagi Syari’at islamuntuk menjadi bagian dari tata hukum di
Indonesia.
Untuk lebih mempertegas keberadaan syari’at islamdalam konstalasi
hukum nasional dapat dilihat dari Teori eksistensi tentang adanya syari’at islamdi
dalam hukum nasional Indonesia. Sebagaimana telah dipaparkan pada bab
sebelumnya.
Bila dilihat dari realitas politik dan perundang-undangan di Indonesia
nampaknya eksistensi syari’at islamsemakin patut diperhitungkan seperti terlihat

12
dalam beberapa peraturan perundangan yang kehadirannya semakin
memperkokoh Hukum Islam :
a. Undang-Undang Perkawinan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan dan
diundangkan di Jakarta Pada tanggal 2 Januari 1974 (Lembaran Negara
Tahun '1974 No. Tambahan Lembaran Negara Nomer 3019).
b. Undang-Undang Peradilan Agama
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama disahkan dan
diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 1989 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1989 No. 49, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia No. 3400). Kemudian pada tanggal 20 Maret
2006 disahkan UU Nomor 3 tahun 2006. tentang Perubahan atas UU No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agarna. Yang melegakan' dari UU ini
adalah semakin luasnya kewenangan Pengadilan Agama khususnya
kewenangan dalam menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syari'ah.
Untuk menjelaskan berbagai persoalan syari'ah di atasDewan Syari'ah
Nasional (DSN) telah mengeluarkan sejumlah fatwa yang berkaitan
dengan ekonomi syari'ah yang sampai saat ini jumlahnya sudah mencapai
53 fatwa. Fatwa tersebut dapat menjadi bahan utama dalam penyusunan
kompilasi tersebut. Sehubungan dengan tambahan kewenangan yang
cukup banyak kepada pengadilan agama sebagaimana pada UU No. 3
tahun 2006 yaitu mengenai ekonomi syari'ah, sementara syari’at
islammengenai ekonomi syari'ah masih tersebar di dalam kitab-kitab fiqh
dan fatwa Dewan Syari'ah Nasional, kehadiran Kompilasi Hukum
Ekonomi Syari'ah (KHES) yang didasarkan padaPERMA Nomor 2 Tahun
2008, tanggal 10 September 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi
Syari'ah, menjadi pedoman dan pegangan kuat bagi para Hakim
Pengadilan Agama khususnya, agar tidak terjadi disparitas putusan Hakim,
dengan tidak mengabaikan penggalian hukum yang hidup dan berkembang
dalam masyarakat sebagaimana maksud Pasal 28 ayat (1) Undang-

13
Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kompilasi
Hukum Ekonomi Syari'ah terdiri dari 4 Buku, 43 Bab, 796 Pasal.
c. Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji
Undang-Undang No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji
disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 3 Mei 1999 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 53, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia No. 3832), yang digantikan oleh UU Nomor
13 Tahun 2008. UU pengganti ini memiliki 69 pasal dari sebelumnya 30
pasal. UU ini mentikberatkan pada adanya pengawasarn dengan
dibentuknya Komisi Pengawasan Haji Indonesia [KPHI]. Demikian juga
dalam UU ini diiatur secara terperinci tentang Biaya Penyelenggaraan
Ibadah Haji [BPIH]. Aturan baru tersebut diharapkan dapat menjadikan
pelaksanaan ibadah haji lebih tertib dan lebih baik.
d. Undang-Undang Pengelolaan Zakat
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat
disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggaI 23 September 1999
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 164, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3885).
e. Kompilasi Hukum Islam
Perwujudan hukum bagi umat Islam di Indonesia terkadang menimbulkan
pemahaman yang berbeda. Akibatnya, hukum yang dijatuhkan sering
terjadi perdebatan di kalangan para ulama. Karena itu diperlukan upaya
penyeragaman pemahaman dan kejelasan bagi kesatuan hukum Islam.
Keinginan itu akhirnya memunculkan Kompilasi Syari’at islam(KHI),
yang saat ini telah menjadi salah satu pegangan utama para hakim di
lingkungan Peradilan Agama. Sebab selama ini Peradilan Agama tidak
mempunyai buku standar yang bisa dijadikan pegangan sebagaimana
halnya KUH Perdata. Dan pada tanggal 10 Juni 1991 Presiden
menandatangani Inpress No.1 Tahun 1991 yang merupakan instruksi
untuk memasyarakatkan KHI.

14
BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah syari’at islam bersifat universal,
berlaku kepada setiap orang yang beragama Islam, dimanapun dan kapanpun ia
berada. Oleh karena itu, syari’at islamjuga berlaku terhadap umat Islam di
Indonesia. hanya saja, tidak semua peraturan dalam syari’at islammenjadi hukum
nasional, dikarenakan harus disesuaikan terlebih dahulu dengan karakter bangsa
dan Undang – Undang Dasar 1945.
Syari’at islam di Indonesia telah mengalami pasang surut seiring dengan
kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah. Pasang surut tersebut adalah
perkembangan yang dinamis dan berkesinambungan bagi upaya transformasi
syari’at islamke dalam sistem hukum Nasional. Sejarah produk syari’at islamsejak
masa penjajahan hingga masa kemerdekaan dan masa reformasi merupakan fakta
yang menjadi bukti bahwa sejak dahulu kala syari’at islamtelah menjadi hukum
yang sangat berpengaruh di Indonesia.
Syari’at islam berkedudukan sebagai salah satu hukum yang
mempengaruhi perkembangan sistem hukum nasional. Beberapa syari’at
islamyang telah melekat pada masyarakat kemudian dijadikan peraturan
perundang – undangan. Dengan adanya peraturan – peraturan perundang – undang
yang memiliki muatan syari’at islammaka umat muslim Indonesia pun memiliki
landasan yuridis dalam menyelesaikan masalah – masalah perdata.

B.   Saran
Sebagai saran, diharapkan untuk perkembangan syari’at islamselanjutnya
dapat dikeluarkan lagi peraturan perundang – undangan mengenai apa yang belum
ada sebelumnya. Sebagai contoh, anak adopsi. Islam tidak mengenal adanya anak
adopsi, yang ada hanyalah anak asuh. Yang mengenal soal pengangkatan anak
hanyalah hukum barat dan hukum adat. Bila peraturan mengenai adopsi / asuh

15
dikeluarkan menurut syari’at islammaka akan menimbulkan kepastian hukum bagi
anak – anak asuh / adopsi maupun orangtuanya.
Selanjutnya adalah mengenai perkawinan antar agama yang belum diatur
dengan gamblang di Undang – Undang Perkawinan. Seharusnya, dimuat aturan
yang jelas mengenai laki – laki muslim yang diperbolehkan menikah dengan
perempuan non muslim, atau perempuan muslim yang diharamkan menikah
dengan laki – laki non muslim. Selama ini karena peraturannya tidak ada maka
banyak orang memilih untuk menikah di luar negeri. Bila peraturannya ada, maka
batas antara larangan dan bukan akan terlihat jelas.

16
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Muhammad Daud, Penerapan Syari’at islamdalam Negara Republik


Indonesia, Makalah disampaikan pada Pendidikan Kader Ulama di
Jakarta, tanggal 17 Mei 1995.
_________________, Kedudukan Syari’at islamdan Sistem Hukum di Indonesia,
(Jakarta: Risalah, 1984).
_________________, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia. Edisi Revisi (Jakarta: Rajawali Press, 1998).
_________________, Syari’at islamdan Peradilan Agama. (Jakarta: Rajawali
Press, 1997).

Didi Kusnadi. Syari’at islamdi Indonesia (Tradisi, Pemikiran, Politik Hukum dan


Produk Hukum). Kuningan: Ebook, 2010.
Rafiq, Ahmad, Syari’at islamdi Indonesia (Cet I; Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1995)
Rasdiyanah, Andi, Kontribusi Syari’at islamdalam Mewujudkan Hukum Pidana
Nasional, Makalah Disampaikan pada upacara Pembukaan Seminar Nasional
tentang Kontribusi Syari’at islamTerhadap Terwujudnya Hukum Pidana Nasional
yang Berjiwa Kebangsaan, UII-Yogyakarta, 2 Desember 1995.
Speyoeti, Zarkowi, Kontribusi Syari’at islamTerhadap Hukum Nasional, Makalah
disampaikan pada Seminar Konsep Keadilan dalam Perspektif Hukum, IAIN
Sunan Ampel Gunungjati-Bandung, 16 Mei 1994.

17

Anda mungkin juga menyukai