Anda di halaman 1dari 17

Dinamika Hukum Islam dan Peradilan Agama Masa Penjajahan

Jepang

Luluk Qonita SN, Affandi Maulana Firdaus

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

21103050064@student.uin-suka.ac.id, 21103050065@student.uin-suka.ac.id

Abstrak

Peradilan agama dalam bentuk yang sekarang ini merupakan mata rantai yang
tidak terputus dari sejarah masuknya agama Islam. Peradilan Islam di Indonesia
yang selanjutnya disebut dengan peradilan agama telah ada di berbagai nusantara
jauh sejak zaman masa penjajahan Belanda. Bahkan menurut pakar sejarah
peradilan, peradilan agama sudah ada sejak Islam masuk ke Indonesia, yaitu
melalui tahkim, dan akhirnya mengalami pasang surut perkembanganya hingga
masa sekarang. Peradilan Agama yang dikenal sekarang merupakan sistem yang
tidak lepas dari sejarah masuknya agama dan hukum-hukum Islam di Indonesia
Gambaran tentang posisi hukum Islam dan peradilan agama di Indonesia haruslah
memperhatikan setidaknya pada tiga masa: masa kesultanan Islam, masa
penjajahan, dan masa Kemerdekaan. Masa penjajahan Jepang di Indonesia selama
kurang lebih tiga tahun memberi beberapa pengaruh terhadap aturan dan praktik
peradilan agama di Indonesia, yang penjelasannya akan lebih dirinci pada karya
ilmiah ini.

Kata kunci: Peradilan Agama, Masa penjajahan Jepang, Hukum Islam

Abstract

Religious justice in its present form is an unbroken link in the history of the entry
of Islam. Islamic courts in Indonesia, hereinafter referred to as religious courts,
have existed in various archipelagos since the Dutch colonial era. Even according
to judicial history experts, religious justice has existed since Islam entered
Indonesia, namely through tahkim, and finally the ups and downs of its
development until now. The Religious Court as it is known today is a system that
cannot be separated from the history of the entry of religion and Islamic laws in
Indonesia. The description of the position of Islamic law and religious courts in
Indonesia must pay attention to at least three periods: the Islamic sultanate period,
the colonial period, and the Independence period. The Japanese colonial period in
Indonesia for approximately three years gave some influence to the rules and
practices of religious justice in Indonesia, which will be explained in more detail
in this scientific paper.

Keyword: Religious Courts, Japanese colonial period, Islamic Law

A. PENDAHULUAN

Masuknya agama Islam ke Indonesia untuk pertama kali pada abad


pertama hijriah (1 H/ 7 M). Agama Islam dibawa langsung dari Arab oleh
saudagar-saudagar dari Mekkah dan Madinah yang masyarakat mulai
melaksanakan ajaran dan aturan agama Islam dalam kehidupan sehari-hari yang
bersumber dari kitab fiqih. Pasca tersebarnya Islam di Nusantara, barulah hukum
Islam dikenal di Indonesia. Mengenai prediksi waktu kedatangan Islam di
Indonesia, belum ada kesepakatan ide dari para ahli sejarah Indonesia dan masih
berkutat pada dua teori klasik, yakni teori Makkah yang didukung oleh Buya
Hamka, yang mengatakan Islam masuk Nusantara sejak abad ke satu Hijriah atau
ke tujuh Masehi dan kedua teori Gujarat yang menyatakan Islam masuk Nusantara
pada abad ke tujuh Hijriyah atau abad ke tiga belas Masehi. Meskipun penulis
lebih cenderung menggabungkan teori Makkah dan teori Gujarat dengan
pemahaman kompromi bahwa teori Makkah sebagai momen awal masuknya
Islam ke Indonesia (Nusantara) pada abad ketujuh yang ditandai dengan wujud
perkampungan muslim di pesisir barat pulau Sumatera yang menandakan Islam
sudah masuk dalam wujudnya yang masih kecil, namun sejak itu berkembang
terus dan berproses hingga menjadi masyarakat yang pesat yang pada puncaknya
mereka berhasil mendirikan kerajaan mereka sendiri yaitu “Samudera Pasai” di
Aceh pada abad ke tiga belas. Ahli sejarah pun tidak berseberangan pendapat

2
dalam menyikapi pandangan bahwa penerapan hukum Islam sudah terjadi di
Indonesia sejak kedatangan Islam ke Nusantara yang disikapi dengan baik oleh
masyarakat Indonesia waktu itu, meskipun dalam pelaksanaannya masih
berasimilasi dengan hukum adat setempat, ditandai dengan tiga metode, tahkim,
ahlul halli wal’aqdi dan tauliyah.1

Diterimanya mazhab Syafi’i sebagai mazhab pertama dalam pengamalan


beragama masyarakat muslim Indonesia, baik dalam berfatwa oleh ulama
setempat maupun dalam mereka menjalankan peradilan Islam. Kerajaan-kerajaan
Islam di masa itu lebih mengacu pada penerapan hukum keluarga (Ahwal
Syakhshiyah) namun sebagian dari kerajaan tersebut sudah ada yang sampai pada
tahap penerapan hukum hudud dan qishas, seperti yang pernah diaplikasikan oleh
Peradilan Agama kerajaan-kerajaan Cirebon, Banten dan Mataram. Ini
menunjukkan bahwa kondisi pengamalan hukum Islam di masa-masa kerajaan
bisa dikatakan sudah baik dan kondusif. Namun keadaannya berbeda ketika
kolonial Belanda dan Jepang menguasai dan menjajah Indonesia, penerapan
hukum Islam lebih bernuansa politis. Dalam hal ini, Muhammad Daud Ali
menyebutkan bahwa setelah Belanda datang dan menancapkan kuku
kekuasaannya di Nusantara, status hukum Islam dan perkembangannya berada di
bawah kendali dan kontrol mereka, dan setelah tahun 1927 ketika Theori Receptie
(yang digagas oleh Snouck Hurgronje) memperoleh dasar pijakan Undang-
undang, kelanjutan hukum Islam dan perkembangannya di tanah air mengalami
kendala dan hambatan.2

Perjalanan kehidupan pengadilan agama mengalami pasang surut.


Adakalanya wewenang kekuasaan yang dimilikinya sesuai dengan nilai-nilai
Islam dan kenyataan yang ada pada masyarakat. Pada kesempatan yang lain,
kekuasaan dan wewenangnya dibatasi dengan berbagai kebijakan dan peraturan
perundang-undangan, bahkan sering kali mengalami berbagai rekayasa dari
1
Ashabul Fadhli, dkk., “Hukum Islam di Indonesia”, Bojonegoro: Mazda Media (2022),
hlm. 25

2
Muhammad Daud Ali, “Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia”, (Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 209-210

3
penguasa dan golongan masyarakat tertentu agar posisi pengadilan agama
melemah. Perlu diketahui bahwa sebelum melancarkan politik hukumnya di
Indonesia, hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah mempunyai
kedudukan yang kuat baik di masyarakat maupun dalam peraturan perundang-
undangan negara.

Peranan pengadilan tidak dapat dipertanyakan lagi, sebab dengan Lembaga


Pengadilan, segala yang menyangkut hak dan tanggung jawab yang terabaikan
dapat diselesaikan. lembaga ini memberikan sebuah ruang bahkan membantu
kepada mereka yang merasa dirampas hak-haknya dan memaksa kepada pihak-
pihak agar bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan yang merugikan
pihak lainnya. Aktivitas Lembaga Pengadilan demikian itu pada dasarnya adalah
berupaya menghubungkan rumusan-rumusan hukum yang sifatnya masih abstrak,
karena dengan melalui bekerjanya Lembaga Pengadilan, hukum itu baru dapat
diwujudkan, sebagaimana dikatakan oleh Satjipto Rahardjo, bahwa kehadiran
lembaga hukum itu merupakan operasionalisasi dari ide rumusan konsep-konsep
hukum bersifat abstrak. Melalui lembaga dan bekerjanya lembaga-lembaga itulah,
hal-hal yang bersifat abstrak tersebut dapat diwujudkan ke dalam kenyataan.

B. TELAAH PUSTAKA
Penelitian yang ditemukan oleh penulis dengan bahasan topik yang sangat
relevan dengan makalah ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Dr.H Jaenal
Aripin, M.Ag. dengan judul “Jejak Langkah Peradilan Agama di Indonesia”
Penulis menggunakan metode kualitatif melalui pendekatan studi kepustakaan
(library Search) dengan bahasan mendetail mengenai sejarah munculya peradilan
serambi yang sekarang namanya menjadi Pengadilan Agama. Penelitian ini
dilakukan dengan tujuan memelihara dan mengerti sejarah peradilan agama sejak
tonggak pertama. Penulis ingin memperlihatkan bagaimana masyarakat pada
zaman klasik membutuhkan lembaga peradilan sebagai payung mereka meskipun
dalam bentuk dan corak yang sederhana serta nama yang berbeda-beda.

Penelitian yang ditemukan oleh penulis dengan bahasan topik yang sangat
relevan dengan makalah ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Drs. H.A Basiq

4
Djalil, S.H., M.A dengan judul “Peradilan Agama di Indonesia”. Penulis
menggunakan metode kualitatif melalui pendekatan studi kepustakaan (library
Search) dengan latar belakang Gemuruhnya Politik Hukum (Hukum Islam,
Hukum Barat, dan Hukum Adat) dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surut
Lembaga Peradilan Agama Hingga Lahirnya Peradilan Syariat Islam Aceh.
Penelitian ini bertujuan menggambarkan tentang bagaimana undang-undang yang
dijadikan pedoman dari masa ke masa mulai 1957 hingga 1974 ada empat hal
yang perlu kita angkat ke permukaan, berkisar sekitar keterkaitan dengan
kelahiran peraturan pemerintah dan undang-undang. Pertama, lahirnya Peraturan
Peme rintah No. 29 Tahun 1957, Kedua, lahirnya Peraturan Pemerintah No. 45
Tahun 1957. Ketiga, lahirnya Undang-Undang No. 19 Tahun 1954 dan Undang-
Undang No. 14 Tahun 1970. Keempat, penambahan kantor dan cabang kantor
peradilan agama.

Penelitian yang ditemukan oleh penulis dengan bahasan topik yang sesuai
dengan makalah ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Daud Ali
dengan judul “Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia”. Penulis menggunakan metode kualitatif melalui pendekatan studi
kepustakaan (library Search). Dalam penelitian yang ditulis dalam buku nya
membahas mengenai sketsa peradilan agama. Pengertian peradilan agama itu
sendiri menurutnya adalah proses pemberian keadilan berdasarkan hukum agama
islam kepada orang-orang islam yang dilakukan di pengadilan agama dan
peradilan tinggi agama, di samping peraddilan umum, peradilan militer, peradilan
tata usaha negara, merupakan salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman dalam
republik Indonesia. Sebagai lembaga peradian, peradilan agama dalam bentuknya
sederhana berupa tahkim yaitu lembaga penyelesaian sengketa antara oaring-
orang islam yang dilakukan oleh para ahli agama, telah lama ada dalam
masyarakat Indonesia yakni sejak agama islam datang ke Indonesia. Kemudian
pada Undang-Undang Peradilan Agama yang telah disahkan dan diundangkan itu
terdiri dari VII BAB, 108 Pasal secara sistematik.

5
Studi mengenai Peradilan Islam Masa Jepang telah banyak dilakukan para
ahli. Sebagian besar karya tersebut membahas sejarah perkembangan peradilan di
Indonesia, baik berupa artikel maupun buku. Karya yang kami tulis lebih berfokus
dalam sejarah perkembangan peradilan di Indonesia masa penjajahan Jepang.
Karya tulis yang berupa artikel telah membahas tentang runtutan sejarah sejak
masuknya Islam di Nusantara hingga Negara Indonesia merdeka. 3 Sedangkan
karya yang berupa buku lebih membahas mengenai dinamika perkembangan
hukum Islam di Indonesia sejak zaman kerajaan Nusantara hingga zaman sebelum
dan sesudah kemrdekaan Republik Indonesia hingga sekarang. 4
Karya-karya yang telah disebutkan sebelumnya belum membahas
mengenai perpaduan antara sejarah peradilan agama pada masa penjajahan Jepang
dan dinamika hukum Islam yang terjadi pada masa itu. Oleh karena itu karya
ilmiah ini ditulis untuk membahas lebih dalam mengenai kedua masalah tersebut
C. PEMBAHASAN
1. Perkembangan Peradilan di Indonesia

Sejarah Peradilan Agama di Indonesia erat hubungannya dengan hukum


Islam dan umat Islam di Indonesia. Sistem Peradilan Agama didasarkan pada
hukum Islam, sedangkan dalam perkembangannya hukum Islam adalah hukum
yang berdiri sendiri dan telah lama dianut oleh seluruh pemeluk agama Islam di
Indonesia. Di kerajaan-kerajaan Islam masa lampau, hukum Islam telah lama
berlaku. Snouck Hurgronje misalnya, di dalam bukunya De Islam in
Nederlandsch-Indie mengakui bahwa pada abad ke-16 sudah muncul kerajaan-
kerajaan Islam seperti Mataram, Banten, dan Cirebon, yang berangsur-angsur
mengislamkan penduduknya. Sedangkan untuk kelengkapan pelaksanaan hukum
Islam, didirikan Peradilan Serambi dan Majelis Syura’.5

3
Miftakhur Ridho, “Sejarah Perkembangan Peradilan Agama pada Masa Kesultanan dan
Penjajahan Sampai Kemerdekaan”, (2021).
4
Ashabul Fadhli, dkk., “Hukum Islam di Indonesia”, (2022).
5
Miftakhur Ridho. Sejarah Perkembangan Peradilan Agama pada Masa Kesultanan dan
Penjajahan Sampai Kemerdekaan. Asy-Syari`ah: Jurnal Hukum Islam Vol. 7, No. 2. 2021, hlm.
152.

6
Peradilan pada masa itu masih terbentuk dengan sangat sederhana dengan
bermacam penamaanya. Hal ini ditandai dengan tempat yang digunakan sebagai
penyelesaian sengketa yaitu di Serambi Masjid, karena itulah dinamakan
“Peradilan Serambi”. Ada beberapa faktor yang menjadi latar belakang
dijadikannya masjid sebagai lembaga peradilan. Pertama. Masjid merupakan
sarana tempat ibadah umat muslim yang secara fungsionalnya juga sebagai sarana
multifungsi. Kedua, kala itu orang yang ditunjuk sebagai subjek penyelesaian
masalah adalah kalangan penghulu atau ulama yang notabenya orang yang dekat
dengan masjid serta kredibilitas keilmuan nya sudah diakui masyarakat sehingga
pihak yang berperkara bisa menerima putusan yang diberi oleh penghulu atau
ulama tersebut, bahkan keputusannya itu sudah final dan tidak bisa dilakukan
upaya hukum lain, mengingat dahulu belum ada hukum material yang memadai
untuk dijadikan pedoman, sehingga hakim pada masa itu menerima seluruh
perkara dan sekalipun belum mengenal asas ius curia novit (Hakim tidak boleh
menolak perkara). Ketiga, Mengingat masjid merupakan sebuah identitas seorang
muslim jadi dengan digunakannya masjid, Masyarakat lebih merasa nyaman
daripada di tempat lain.

Penamaan peradilan dengan sebutan “Peradilan Serambi” tidak hanya


semata-mata karena proses peradilannya dilaksanakan di Serambi Masjid, tetapi
peradilan serambi memiliki nilai filosofis dan politis yang sangat kuat bagi umat
Islam. Nilai politis ini dalam rangka menghilangkan identitas non islam dan
memasukkan identitas islam ke dalam tatanan kehidupan masyarakat. Peradilan
serambi yang melambangkan kesederhanaan dalam proses penyelenggaraan
peradilan mulai beranjak ke lembaga yang lebih representatif meski ala kadarnya.
Namun, harapan itu sempat melemah yaitu pada tanggal 8 Juni 1948 dikarenakan
Presiden dan menteri kehakiman mengeluarkan UU No.19 Tahun 1948 tentang
susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman dan kejaksaan, yakni dengan
menghapuskan susunan Pengadilan Agama yang telah ada sebelumnya dan
menghubungkannya dengan Pengadilan umum. Namun Undang-undang tersebut
mendapat serangan dari berbagai umat islam terutama ulama dari berbagai daerah.
Bahkan ulama mengusulkan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syariah tetap

7
diadakan dan diatur oleh Menteri Kehakiman dan Menteri agama. Akhirnya
desakan dari berbagai kalangan umat islam dan ulama pun mendapatkan
momentum yang kuat sehingga munculah Peraturan Pemerintahan Nomor 45
Tahun 1957 tanggal 5 Oktober tentang Pengadaan Pengadilan Agama.

Upaya untuk membenahi tempat penyelenggaraan Peradilan khususnya


Pengadilan Agama sudah muncul ketika UU No.14 Tahun 1970 disahkan.
Lahirnya undang-undang tersebut mengisyaratkan akan kuatnya kekuatan
Pengadilan agama yang didasarkan pada Eksistensi Peradilan Agama secara
konstitusional merupakan salah satu tata peradilan di Indonesia yang
melaksanakan kekuasaan kehakiman bahkan sejajar dengan Peradilan umum.
Undang- undang No. 14 Tahun 1970 juga dijadikan dasar menteri agama pada
tahun 1980 untuk melakukan penyeragaman nama-nama Pengadilan dalam
lingkungan peradilan agama dengan sebutan “Pengadilan Agama”.

2. Eksistensi Peradilan Agama di Indonesia

Peradilan Islam di Indonesia yang selanjutnya disebut dengan peradilan


agama telah hadir di berbagai penjuru Nusantara jauh sejak masa penjajahan
Belanda di Indonesia. Bahkan menurut pakar sejarah peradilan, peradilan agama
sudah ada sejak Islam masuk ke Indonesia, yaitu sejak periode tahkim, yakni pada
permulaan Islam menginjakkan kakinya di Bumi Indonesia dan dalam suasana
masyarakat sekeliling belum mengenal ajaran Islam. Periode tahkim ini
merupakan cikal bakal dari perkembangan peradilan agama di Indonesia dan
akhirnya pasang surut perkembanganya hingga sekarang.

Peradilan agama sebagai wujud berjalannya sistem peradilan Islam di


Indonesia dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Pertama, secara filosofis
peradilan dibentuk dan dikembangkan untuk menegakkan hukum dan keadilan;
Kedua, secara yuridis hukum Islam (di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat,
hibah, wakaf dan shodaqoh) berlaku dalam pengadilan dalam lingkungan
peradilan agama; Ketiga, secara historis peradilan agama merupakan salah satu
mata rantai peradilan agama yang berkesinambungan sejak masa Rasulullah;

8
Keempat, secara sosiologis peradilan agama didukung dan dikembangkan oleh
masyarakat Islam.6

Meskipun praktik diskriminasi terhadap pribumi tetap berlangsung dan


pendangkalan terhadap Peradilan Agama melalui berbagai ketentuan hukum yang
diciptakan terus dilakukan, eksistensi peradilan agama tetap kokoh. Tapi walau
bagaimanapun juga kalau dibiarkan terus menerus seperti itu, peradilan agama di
Indonesia akan tersisihkan dan akhirnya hilang.

3. Peradilan Agama Masa Penjajahan Jepang

Jepang mulai menginjakkan kekuasaannya di Indonesia sejak tahun


1942 selama kurang lebih tiga tahun menjajah Indonesia. Jepang berhasil
menaklukkan Indonesia kurang dari dua bulan dan Pulau Jawa jatuh dalam waktu
satu minggu, tepatnya tanggal 8 Maret 1942. Dalam arti yang sebenarnya,
pemerintah Belanda dengan semua bentuk kehebatan solidaritasnya, secara
praktik dan efisien hancur dalam sekejap mata. Dimasa penjajahan Jepang ini
tidak ada perubahan yang berarti menyangkut Peradilan Agama. Keadaan yang
sudah ada dilanjutkan sampai Jepang kalah dengan Perang Dunia II. Dengan
Undang- Undang No. 14 Tahun 1942, pemerintah Jepang menetapkan Peraturan
Pengadilan Bala Tentara Dai- Nippon. Pengadilan itu pada dasarnya adalah
lanjutan dari pengadilan-pengadilan yang sudah ada karena situasi yang tidak
mendukung, Jepang tidak melakukan perubahan besar secara praktis baik secara
prinsip maupun keberadaan atas karakter hukum Islam di Indonesia.

Pada periode penjajahan Jepang, lembaga Peradilan Agama yang sudah


ada pada masa penjajahan Belanda tetap berdiri dan dibiarkan bentuknya seperti
dalam kondisinya. Menurut Daniel S. Lev, Jepang memilih untuk tidak mengubah
atau mempertahankan beberapa regulasi yang ada. Adat dan praktik keagamaan
setempat tidak diintervensi oleh Jepang untuk mencegah terjadinya perlawanan
dan pertentangan yang tidak perlu. Jepang hanya berusaha menghapus jejak
6
Miftakhur Ridho. Sejarah Perkembangan Peradilan Agama pada Masa Kesultanan dan
Penjajahan Sampai Kemerdekaan. Asy-Syari`ah: Jurnal Hukum Islam Vol. 7, No. 2. 2021, hlm.
153.

9
pemerintah Belanda di Indonesia, kebijakan pemerintah Jepang berdampak kecil
terhadap perkembangan hukum Indonesia.7

Pada bulan Maret 1942 sebuah peraturan Jepang untuk wilayah Jawa dan
Madura yang disebut “Osamu Seirei” dikeluarkan oleh pemerintah Jepang sebagai
penerapan Undang-undang nomor 1 tahun 1942 untuk mengakomodir haluan dan
orientasi bagi penyelenggaraan pemerintahan. Dinyatakan pada salah satu
pasalnya adalah untuk memberikan pengakuan sementara kepada seluruh lembaga
kekuasaan dan pemerintahan termasuk lembaga hukum dan peraturan
perundangan terdahulu warisan kolonial Belanda, asalkan sesuai dengan
peraturan-peraturan transisi pemerintah militer Jepang.8

Berdasarkan peraturan tersebut, maka tidak terjadi perubahan yang berarti


bagi kewenangan dan kekuasaan pengadilan agama di masa penjajahan jepang
kecuali perubahan pada istilah-istilah Belanda yang kemudian menjadi istilah
bahasa Jepang, seperti Sooryo Hooin untuk istilah penamaan bagi pengadilan
agama, Kai koyo Kootoo Hooin untuk istilah penamaan bagi mahkamah tinggi
Islam9, sehingga tidak terpakai lagi istilah-istilah peradilan agama di zaman
penjajahan Belanda, meskipun istilah dan penamaan posisi pejabat dan
perkantorannya berbahasa Jepang, namun kewenangan dan fungsi lembaganya
tetap identik, tidak berbeda dengan ketika di zaman Belanda.

Pada tanggal 29 April 1942, pemerintah bala tentara Dai Nippon


mengeluarkan UU No. 14 tahun 1942 yang berisi pembentukan Gunsei Hooin
(pengadilan pemerintah bala tentara). Pada Pasal 3 UU No.14 tahun 1942 ini
disebutkan bahwa Gunsei Hooin terdiri dari:10

7
Zaelani Zaelani, ‘Hukum Islam Di Indonesia Pada Masa Penjajahan Belanda: Kebijakan
Pemerintahan Kolonial, Teori Receptie in Complexu, Teori Receptie Dan Teori Teceptio a
Contrario Atau Teori Receptio Exit’, Komunike, 11.1 (2020), hlm. 163.
8
R. Tresna, “Peradilan Indonesia dari Abad ke-Abad”, (Jakarta; Pradnya Paramita, 1978),
hlm. 84-85
9
Ramulyo, “Beberapa Masalah tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan
Hukum Perkawinan Islam”, (Jakarta; Ind-Hillco, 1992), hlm. 45
10
Achmad Gunaryo, “Pergumulan Politik Dan Hukum Islam”, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar), hlm. 96.

10
a. Tiho hooin (pengadilan negeri)
b. Keizai hooin (hakim polisi)
c. Ken hooin (pengadilan kabupaten)
d. Kaikyoo kootoo hooin (mahkamah Islam tinggi)
e. Sooryo hooin (raad agama)

Kebijaksanaan kedua yang dilakukan oleh pemerintahan Jepang adalah,


pada tanggal 29 April 1942 pemerintahan bala tentara Dai Nippon mengeluarkan
UU No. 14 tahun 1942 tentang pengadilan bala tentara Dai Nippon. Dalam pasal 1
disebutkan bahwa di tanah Jawa dan Madura telah diadakan “gunsei hooin”
(pengadilan pemerintahan balatentara).11

Tanggal 26 September 1943 lahir Undang-undang No. 34 Tahun 1942


yang isinya mencabut No. 14 Tahun 1942. Isinya antara lain mengatur kembali
susunan pengadilan. Selain peradilan yang sudah ada dalam UU No. 14 Tahun
1942 juga ditambah dengan dua peradilan yaitu:

a. Kooto Hooin (Pengadilan Tinggi) lanjutan dari Raad van Justitie

b. Saiko Hooin (Mahkamah Agung) lanjutan dari Hooggerechtshof

Kootoo Hooin adalah pengadilan biasa untuk perkara perdata dan pidana bagi
golongan Eropa termasuk Tionghoa. Sedangkan Saiko Hooin adalah Pengadilan
Tertinggi yang mengadili perkara pidana bagi pejabat tinggi yang juga merupakan
pengadilan banding baik untuk perkara perdata maupun pidana.

Pada masa pendudukan Jepang, kedudukan pengadilan agama pernah


terancam yaitu tatkala pada akhir Januari 1945 pemerintah bala tentara Jepang
(Gunseikanbu) mengajukan pertanyaan pada Dewan Pertimbangan Agung
(Sanyo-Aanyo Kaigi Jimushitsu) dalam rangka Jepang akan memberikan
kemerdekaan pada bangsa Indonesia, yaitu bagaimana dewan ini menyikapi
susunan penghulu dan cara mengurus kas masjid dalam hubungannya dengan
kedudukan agama dalam negara jika negara Indonesia sudah merdeka kelak. Lalu

11
Basiq Jalil, “Peradilan Agama di Indonesia”, (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), hlm.
60

11
tanggal 14 bulan April 1945 Sayo dan Co Keigijimushitu yang merupakan Dewan
Pertimbangan Agung di masa Jepang memberi jawaban sebagai berikut:

“Dalam negara baru yang memisahkan urusan negara dengan urusan


agama tidak perlu mengadakan Pengadilan Agama sebagai pengadilan istimewa,
untuk mengadakan seseorang yang bersangkut paut dengan agamanya cukup
segala perkara diserahkan kepada pengadilan biasa yang dapat minta
pertimbangan seorang ahli agama”.

Jawaban ini berpotensi mengancam posisi dan fungsi peradilan agama.


Aturan tersebut dibuat dalam rangka mengantisipasi pertanyaan militer Jepang
bagaimana Sayo dan Co Keigijimushitu Dewan Pertimbangan Agung menyikapi
para penghulu dan pengurusan keuangan masjid-masjid yang kaitannya kepada
posisi dan kedudukan agama di dalam Negara yang merdeka di masa yang akan
datang.

Di sisi lain, pimpinan nasional sekuler Pemerintah Jepang mengeluarkan


sejumlah kebijakan yang terlihat secara lahir memberi kemajuan bagi posisi dan
fungsi pengadilan agama, seperti diberikannya kebebasan bagi ulama Aceh untuk
mengaplikasikan ajaran agama Islam, namun hal itu dipandang oleh sebagian
tokoh di antaranya Daniel S. Lev sebagai upaya untuk mendapatkan simpati ahli
agama semata. 12Dan di antara hal yang mengundang perhatian pemerintah militer
jepang adalah perihal diberlakukannya Staatsblad 1937 No. 116, mengenai
dialihkannya kewenangan pengadilan agama dalam kewarisan kepada pengadilan
negeri (landraad) yang mengundang gejolak di kalangan umat Islam. Pihak
pemerintah Jepang mengharapkan kepada Supomo salah seorang pakar hukum
adat Indonesia yang berpangkat sebagai sanyo (penasihat) agar merangkum
jawaban terhadap hal-hal hukum dan kekuasaan pemerintahan yang dipertanyakan
oleh pemerintah militer Jepang.

Dalam perumusan jawaban, laporan dan masukan, saran dan pendapat dari
para tokoh Islam termasuk para penghulu disikapi oleh Supomo dengan

12
Ashabul Fadhli, dkk., “Hukum Islam di Indonesia”, Bojonegoro: Mazda Media (2022),
hlm. 39

12
memanipulasinya yang menyebabkan laporan tersebut tidak sejalan dengan upaya
perbaikan kewenangan peradilan agama Islam dimaksud 13. Meskipun laporan
tersebut tidak dilanjutkan karena kondisinya yang stagnan, namun pemerintah
militer Jepang tetap mengikuti langkah kebijakan pendahulunya (kolonial
Belanda) dalam menyikapi Staatsblad 1937 No. 116 tersebut. Di Masa Jepang
sebenarnya ada upaya para tokoh Islam untuk meraih kembali esensi hak
peradilan agama Islam (setelah direduksi), tetapi terkendala oleh pihak-pihak dari
kaum nasionalis seperti yang disebutkan oleh Supomo dalam pernyataannya.

Seorang tokoh Islam “Abikusno” menyebutkan bahwa pemerintah


kolonial Jepang sebenarnya memandang Islam suatu kekuatan yang dapat diambil
manfaatnya karena dalam pandangan Jepang untuk kondusifnya tugas suatu
pemerintahan (asing) mesti dapat mendeteksi permasalahan-permasalahan besar
dari masyarakat yang dipimpinnya yang tidak atau belum terdeteksi oleh
pemerintahan sebelumnya, sehingga pemerintahan tersebut dapat merealisasikan
dan mewujudkan tujuan-tujuannya. Tetapi disayangkan kolonial Jepang tidak
memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang Islam yang
menyebabkannya sering rancu dalam menyikapi tuntutan-tuntutan umat Islam di
masa itu, sehingga Jepang tidak dapat mengakomodir yang terbaik bagi umat
Islam. Oleh karena itulah, kolonial Jepang hanya berpikir bahwa yang terpenting
bagi mereka adalah bagaimana agar penjajahan Jepang terhadap Indonesia tetap
aman, kondusif dan tetap di bawah kendali dan kontrol mereka, mereka enggan
melakukan penyiapan-penyiapan apa pun yang mengusik keamanan dan
kenyamanan dalam negeri jajahannya, termasuk di antaranya kenyamanan dalam
proses pengadilan agama Islam. Tentunya hal demikian ini pada gilirannya
mendukung usaha-usaha peperangan kolonial Jepang dalam menghadapi kekuatan
sekutu yang terkadang mengancam eksistensi mereka di wilayah Asia Tenggara
dan Asia Pasifik ketika itu.

13
Taufik Abdullah, “BPUPKI: Sebuah Episode di Panggung Sejarah”, Kompas, Sabtu, 1
Januari 2000.

13
4. Kebijakan Terkait Hukum Islam Masa Penjajahan Jepang

Walaupun pada prinsipnya pemerintah kolonial Jepang tidak melakukan


perubahan terhadap hukum peradilan agama di masanya, tetapi mereka tetap
melakukan sejumlah ketentuan dan peraturan guna mendapat dukungan moril dari
umat Islam Indonesia, di antara kebijakan itu adalah:14

1. Memberikan janji mengayomi Islam sebagai agama mayoritas rakyat


Indonesia di Jawa khususnya.
2. Mengizinkan didirikannya KUA yang dikepalai oleh bangsa pribumi
Indonesia.
3. Memberikan keizinan dibentuknya (bagi kelanjutan) organisasi-organisasi
masyarakat umat Islam, seperti Muhammadiyah, Persis dan NU.
4. Memberi persetujuan bagi didirikannya Majelis Syura Muslimin Indonesia
(Masyumi).
5. Memberi persetujuan didirikannya Hizbullah untuk tujuan cikal bakal
dibentuknya PETA.
6. Membuat upaya dikembalikannya kewenangan dan kekuasaan pengadilan
agama berdasarkan permintaan tokoh Islam, dengan mengamanatkan kepada
Supomo (ahli hukum adat) guna menyampaikan keterangan tentang hal
tersebut, akan tetapi permintaan tersebut tidak dapat diselesaikan oleh
Supomo disebabkan permasalahannya yang kompleks sehingga upaya itu
tertunda sampai Indonesia meraih kemerdekaannya.

Demikian deskripsi (gambaran) kedudukan hukum Islam di masa


penjajahan Jepang yang dinilai tidak mengalami perubahan signifikan selain
perubahan nama dan istilah pada masa penjajahan Jepang. Sebagian pihak menilai
masa penjajahan kolonial Jepang sedikit lebih baik dibanding masa penjajahan
Belanda dari sudut pandang adanya hal-hal baru yang dialami oleh para pemimpin

14
Bahtiar Effendy, “Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam
di Indonesia”, (Jakarta; Paramadina, 1998), hlm. 93

14
Islam dalam pengaturan hukum-hukum agama Islam, khususnya pada konteks
kekuasaan dan kewenangan pengadilan agama di masa itu.15

D. KESIMPULAN

Karakter hukum Islam di Indonesia di masa kolonial Belanda terbagi


kepada dua kategori, pertama, kategori masa hukum Islam diterima dan
diterapkan secara penuh untuk umat Islam, dikarenakan mereka penganut agama
Islam, ini yang disebut dengan Theori Receptio in Complexu ala Van Den Berg,
kedua, kategori masa hukum Islam diterima dan diakui keberlakuannya hanya jika
dikehendaki oleh hukum adat, yang disebut dengan Theori Receptie Snouck
Hurgronje.

Karakter hukum Islam di Indonesia di masa penjajahan kolonial Jepang,


yakni terkait posisi hukum Islam dalam tatanan hukum nasional kolonial di masa
Jepang tidak mengalami bentuk perubahan apa pun yang signifikan dibandingkan
masa sebelumnya (masa Belanda). Perubahan hanya pada nama dan istilah
lembaga peradilan Islam, namun fungsinya tetap sama. Di samping itu kolonial
Jepang melakukan sejumlah langkah dan kebijakan demi menarik simpati umat
Islam. Di masa Jepang tidak ada kebijakan yang mengubah keberlakuan hukum
Islam dan hukum Adat. Jepang hanya fokus untuk menghilangkan simbol-simbol
masa Belanda yang tersisa

Dengan berbagai ragam pengadilan itu menunjukkan posisinya yang sama


sebagai pelaksana penegakan hukum. Di samping itu pada dasarnya wewenang
agama meliputi bidang hukum keluarga, yaitu perkawinan, kewarisan. Dengan
wewenang demikian, proses pertumbuhan dan perkembangan pengadilan
memiliki keunikan masing-masing.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik. BPUPKI: Sebuah Episode di Panggung Sejarah, dalam
Kompas, Sabtu, tanggal 1 Januari 2000.

15
Ashabul Fadhli, dkk., “Hukum Islam di Indonesia”, Bojonegoro: Mazda Media (2022),
hlm. 42

15
Ali, Muhammad Daud. Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Indonesia, dalam Taufik Abdullah dan Sharon Shiddique (ed.), Tradisi dan
Kebangkitan Islam di Asia Tenggara. Jakarta: LP3S, 1989.
----------------------------. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
Arifin, Busthanul. Budaya Hukum itu Telah Mati. Jakarta: Kongres Umat Islam,
1998.
Asasriwarni. Sejarah Peradilan Islam. Padang: IAIN Press, 2008.
Bakar, Zainal Abidin Abu. Pengaruh Hukum Islam Dalam Sistem Hukum di
Indonesia, Jurnal dua Bulanan Mimbar Hukum, No. 9, Volume IV, 1993.
Chtijanto. Pengadilan Agama sebagai Wadah Perjuangan Mengisi Kemerdekaan
Bangsa, dalam Kenang-kenangan Seabad Pengadilan Agama. Jakarta:
Dirbinbapera Departemen Agama RI, 1985.
Effendy, Bahtiar. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik
Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina Lev, Daniel S. (1992). Peradilan
Agama di Indonesia, Terjemah oleh Zaini Idris Ramulyo, Beberapa
Masalah tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Hukum
Perkawinan Islam. Jakarta: Ind-Hillco, 1998.
Fadhli, Ashabul dkk. Hukum Islam di Indonesia. Bojonegoro: Mazda Media,
2022.
Gunaryo, Achmad. Pergumulan Politik Dan Hukum Islam. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2006.
Lukito, Ratno. Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia, Jakarta:
INIS, 1998.
Praja, Juhaya S. Pengantar dalam Eddi Rudiana Arief, Hukum Islam Di Indonesia
Perkembangan dan Pembentukan. Bandung: Remaja Rosda Karya
Julaiddin, Akses (Justice) Mendapatkan Keadilan Dalam Konstitusi
Indonesia, Jurnal UNES Law Review, Volume 2, Issue 2, Desember 2019,
1991.
Ridho, Miftakhur. Sejarah Perkembangan Peradilan Agama pada Masa
Kesultanan dan Penjajahan Sampai Kemerdekaan. Asy-Syari`ah: Jurnal
Hukum Islam Vol. 7, No. 2, 2021.
Sjadzali, Munawir. Landasan Pemikiran Politik Hukum Islam dalam Rangka
Menentukan Peradilan Agama di Indonesia dalam Hukum Islam di
Indonesia: Pemikiran dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994.
Suny, Ismail. Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia
dalam Amrullah Ahmad et.al (ed.), Prospek Hukum Islam Kerangka
Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia: Sebuah Kenangan 65 Tahun
Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, SH. Jakarta: PP IKAHA, 1994.
Supomo. Sejarah Politik Hukum Adat. Jakarta: Pranya Paramita, 1982.

16
Syahid, Proyek IAIN. Laporan Penelitian tentang Teori Resepsi, Jakarta:
Lembaga Penelitian, 1981.
Tresna, R. Peradilan Indonesia dari Abad ke-Abad, Jakarta: Pradnya Paramita,
1978.
Usman, Suparman. Hukum Islam: Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam
dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001.

LAMPIRAN

17

Anda mungkin juga menyukai