Anda di halaman 1dari 15

PERKEMBANGAN SISTEM PERADILAN AGAMA PASCA

KEMERDEKAAN
Yuni Prama Dita (21103050123)
Zanuar Iqbal Ainul Bahri (21103050124)
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Abstrak: Lembaga peradilan agama telah ada sejak masa kerajaan-kerajaan Islam,
kemudian pada penjajahan Belanda dan Jepang, sampai kemerdekaan indonesia.
Pasca kemerdekaan, kelembagaan peradilan agama dengan usul dari menteri agama
berada di bawah pembinaan departemen agama. Pergeseran kedudukan tersebut
secara otomatis mempengaruhi kewenangan peradilan agama dalam memutuskan
perkara.
Kata Kunci: Peradilan Agama, Pasca Kemerdekaan, Indonesia

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Membicarakan sejarah peradilan Agama di Indonesia erat hubungannya


dengan hukum Islam dan umat Islam di Indonesia. Peradilan Agama
didasarkan pada hukum Islam, sedangkan dalam perkembangannya hukum Islam
merupakan hukum yang berdiri sendiri dan telah lama dianut oleh pemeluk agama
Islam di Indonesia. Di kerajaan-kerajaan Islam masa lampau, hukum Islam telah
berlaku. Snouck Hurgronje misalnya, di dalam bukunya De Islam in Nederlansch-
Indie mengakui bahwa pada abad ke–16 sudah muncul kerajaan-kerajaan Islam
seperti Mataram, Banten, dan Cirebon, yang berangsur- angsur mengislamkan
penduduknya. Sedangkan untuk kelengkapan pelaksanaan hukum Islam, didirikan
Peradilan Serambi dan Majelis Syara’.
Peradilan Islam di Indonesia yang selanjutnya disebut dengan peradilan
agama telah ada di berbagai nusantara jauh sejak zaman masa penjajahan Belanda.
Bahkan menurut pakar sejarah peradilan, peradilan agama sudah ada sejak Islam
masuk ke Indonesia, yaitu melalui tahkim, dan akhirnya pasang surut
perkembanganya hingga sekarang. Peradilan agama sebagai wujud peradilan Islam
di Indonesia dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Pertama, secara filosofis
peradilan dibentuk dan dikembangkan untuk menegakkan hukum dan keadilan;
Kedua, secara yuridis hukum Islam (di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat,
hibah, wakaf dan sodaqoh) berlaku dalam pengadilan dalam lingkungan peradilan
agama; Ketiga, secara historis peradilan agama merupakan salah satu mata rantai
peradilan agama yang berkesinambungan sejak masa Rasulullah; Keempat, secara
sosiologis peradilan agama didukung dan dikembangkan oleh masyarakat Islam.
Meskipun praktik diskriminasi terhadap pribumi tetap berlangsung dan
pendangkalan terhadap Peradilan Agama melalui berbagai ketentuaan hukum yang
diciptakan terus dilakukan, eksistensi peradilaan agama tetap kokoh. Tapi walau
bagaimanapun juga kalau dibiarkan terus menerus seperti itu, peradilan agama di
Indonesia akan tersisihkan dan akhirnya hilang. Oleh karena itu pada kesempatan
ini kami akan mencoba mengulas sedikit tentang perkembangan peradilan agama di
Indonesia dari Pra-Kemerdekaan hingga Pasca Kemerdekaan.

II. PEMBAHASAN
A. Sistem Peradilan Agama Pra Kemerdekaan
Sistem peradilan agama yang dikenal saat ini di Indonesia memiliki akar
sejarah yang tidak terputus dari masuknya Islam. Untuk memahami kedudukan
lembaga Pengadilan Agama di Indonesia, perlu memperhatikan perkembangan
Hukum Islam dalam tiga periode krusial, yaitu masa Kesultanan Islam sebelum
penjajahan, masa Kolonial, dan masa Kemerdekaan. Setiap periode memiliki
karakteristiknya masing-masing yang mencerminkan naik turunnya pemikiran
hukum Islam di Indonesia.
Peradilan Agama pada masa Kesultanan Islam Pertumbuhan dan
perkembangan Peradilan Agama pada masa kesultanan Islam bercorak majemuk.
Kemajemukan itu sangat bergantung kepada proses Islamisasi yang dilakukan oleh
pejabat agama dan ulama dari kalangan pesantren; dan bentuk integrasi antara hukum
Islam dengan kaidah lokal yang hidup dan berkembang sebelumnya. Kemajemukan
peradilan itu terletak pada otonomi dan perkembangannya, yang berada dalam
lingkungan kesultanan masing-masing. Selain itu, terlihat dalam susunan pengadilan
dan hierarkinya, kekuasaan pengadilan dalam kaitannya dengan kekuasaan
pemerintahan secara umum, dan sumber pengambilan hukum dalam penerimaan dan
penyelesaian perkara yang diajukan kepadanya.1
Sebenarnya sebelum Islam datang ke Indonesia, di negeri ini telah dijumpai
dua macam peradilan, yakni Peradilan Pradata dan Peradilan Padu. Peradilan
Pradata mengurus masalah-masalah perkara yang menjadi urusan raja sedangkan
Peradilan Padu mengurus masalah yang tidak menjadi wewenang raja. Pengadilan
pradata apabila diperhatikan dari segi materi hukumnya bersumber hukum Hindu
yang terdapat dalam papakem atau kitab hukum sehingga menjadi hukum tertulis,
sementara Pengadilan Padu berdasarkan pada hukum Indonesia asli yang tidak
tertulis.
Menurut R. Tresna (1977:17), dengan masuknya agama Islam di Indonesia,
maka tata hukum di Indonesia mengalami perubahan. Hukum Islam tidak hanya
menggantikan hukum Hindu, yang berwujud dalam hukum pradata, tetapi juga
memasukkan pengaruhnya dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat pada
umumnya. Meskipun hukum asli masih menunjukan keberadaannya, tetapi hukum
Islam telah merembes di kalangan para penganutnya terutama hukum keluarga.2
Bersamaan perkembangan masyarakat Islam, ketika Indonesia terdiri dari
sejumlah kerajaan Islam, maka dengan penerimaan Islam dalam kerajaan, otomatis
para hakim yang melaksanakan keadilan diangkat oleh sultan atau imam. Berikut
akan dijelaskan sejarah peradilan pada masing-masing kerajaan di Indonesia.3
Peradilan Agama Islam di kerajaan Mataram Kerajaan Islam yang paling
penting dijawa adalah Demak (yang kemudian diganti oleh Mataram), Cirebon dan
Banten. Di Indonesia timur yang paling penting adalah Goa di Sulawesi Selatan dan
Ternate yang pengaruhnya luas hingga kepulauan Filipina, di Sumatra yang paling
penting adalah Aceh yang wilayahnya meliputi wilayah Melayu. Keadaan terpencar
kerajaan-kerajaan Indonesia dan hubungannya dengan negara-negara tetangga,
Malaysia dan Filipina.4
Dengan munculnya Mataram menjadi kerajaan Islam, dibawah pemerintahan
Sultan Agung mulai diadakan perubahan dalam sistem peradilan dengan
1
Abdul Halim, Peradilan Agama Dalam Politik Hukum Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2000), Hal: 33-34.
2
Cik Hasan Bisri, MS., Peradilan Agama Di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003),
Cet: 4, Hal: 113.
3
Abdul Halim, Op. Cit., Hal: 38.
4
Ibid., Hal: 38-39.
memasukkan unsur hukum dan ajaran agama Islam dengan cara memasukkan orang-
orang Islam kedalam Peradilan Peradaban. Namun, setelah kondisi masyarakat
dipandang siap dan paham dengan kebijakan yang diambil sultan agung, maka
kemudian peradilan pradata yang ada diubah menjadi Peradilan Serambi dan
lembaga ini tidak secara langsung berada dibawah raja, tetapi dipimpin oleh ulama.
Ketua pengadilan meskipun pada prinsipnya ditangan sultan, tetapi dalam
pelaksanaannya berada ditangan penghulu yang didampingi beberapa orang ulama
dari lingkungan pesantren sebagai anggota majelis. Sultan tidak pernah mengambil
keputusan yang bertentangan dengan nasihat Peradilan Serambi. Meski terjadi
perubahan nama dari Pengadilan Pradata menjadi Pengadilan Serambi, namun
wewenang kekuasaannya masih tetap seperti peradilan pradata.
Ketika Amangkurat I menggantikan Sultan Agung pada tahun 1645,
peradilan perdata dihidupkan kembali untuk mengurangi pengaruh ulama dalam
pengadilan dan raja sendiri yang menjadi tampuk kepimpinannya. Namun dalam
perkembangan berikutnya pengadilan serambi masih menunjukkan keberadaannya
sampai pada masa penjajahan Belanda, meskipun dengan kewenangan yang terbatas
menurut Snouck (1973:21) pengadilan tersebut berwenang menyelesaikan
perselisihan dan persengketaan yang berhubungan dengan hukum kekeluargaan,
yaitu perkawinan dan kewarisan.5
Dengan berbagai ragam pengadilan itu, menunjukan posisinya yang sama
yaitu sebagai salah satu pelaksana kekuasaan raja atau sultan. Di samping itu pada
dasarnya batasan wewenang Pengadilan Agama meliputi bidang hukum keluarga,
yaitu perkawinan dan kewarisan. Dengan wewenang demikian, proses pertumbuhan
dan perkembangan pengadilan pada berbagai kesultanan memiliki keunikan masing-
masing. Dan fungsi sultan pada saat itu adalah sebagai pendamai apabila terjadi
perselisihan hukum.
Peradilan Agama Pada Masa Kolonial Belanda, Masyarakat pada masa itu
dengan rela dan patuh serta tunduk mengikuti ajaran- ajaran Islam dalam berbagai
dimensi kehidupan. Namun, keadaan itu kemudian menjadi terganggu dengan
munculnya kolonialisme barat yang membawa misi tertentu, mulai dari misi dagang,
politik bahkan sampai misi kristenisasi.6
5
Cik Hasan Bisri, MS., Op. Cit., Hal: 114.
6
Abdul Halim, Op. Cit., Hal: 46.
Sejak tahun 1800, para ahli hukum dan ahli kebudayaan Belanda mengakui
bahwa dikalangan masyarakat Indonesia Islam merupakan agama yang sangat
dijunjung tinggi oleh pemeluknya. Penyelesaian masalah kemasyarakatan senantiasa
merujuk kepada ajaran agama Islam, baik itu soal ibadah, politik, ekonomi dan
kemasyarakatan lainnya. Atas fenomena ini, maka para pakar hukum Belanda
berkeyakinan bahwa ditengah-tengah komunitas itu berlaku hukum Islam, termasuk
dalam mengurus peradilan pun diberlakukan undang-undang agama Islam.
Bukti Hindia Belanda secara tegas mengakui bahwa UU Islam (hukum Islam)
berlaku bagi orang Indonesia yang bergama Islam. Pengakuan ini tertuang dalam
peraturan perundang-undangan tertulis pada 78 reglement op de beliedder regeerings
van nederlandsch indie disingkat dengan regeerings reglement (RR) staatsblad tahun
1854 No. 129 dan staatsblad tahun 1855 No. 2. Peraturan ini mengakui bahwa telah
diberlakukan undang-undang agama (godsdienstige wetten) dan kebiasaan penduduk
Indonesia.
Pasal 78 RR berbunyi: “dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang
Indonesia asli atau dengan orang yang dipersamakan dengan mereka, maka mereka
tunduk pada putusan hakim agama atau kepada masyarakat mereka menurut UU
agama atau ketentuan-ketentuan lama mereka”.7
Pada mulanya pemerintah Belanda tidak mau mencampuri organisasi
pengadilan agama, tetapi pada tahun 1882 dikeluarkan penetapan raja Belanda yang
dimuat dalam staatsblad 1882 no.152. dengan adanya ketetapan tersebut terdapat
perubahan yang cukup penting,8 Yaitu:
a. Reorganisasi ini pada dasarnya membentuk Pengadilan Agama yang baru
disamping Landraad dengan wilayah hukum yang sama, yaitu rata-rata
seluas daerah kabupaten.
b. Pengadilan itu menetapkan perkara-perkara yang dipandang masuk dalam
lingkungan kekuasaan. Menurut Noto Susanto (1963:7) perkara-perkara itu
umumnya meliputi: pernikahan, segala jenis perceraian, mahar, nafkah,
keabsahan anak, perwalian, kewarisan, hibah, waqaf, shadaqah, dan baitul
mal, yang semuanya erat dengan agama Islam.

7
Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama Di indonsia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), Hal: 8.
8
Ibid., Hal: 117.
Pemerintah Belanda dengan tegas membentuk peradilan agama berdasarkan
Staatsblad tahun 1882 no. 152 tentang pembentukan Peradilan Agama di Jawa-
Madura. Pengakuan hukum Islam yang berlaku bagi orang Indonesia pada waktu itu
menurut penulis Belanda Van De Berg mengemukakan sebuah teori yang disebut
teori receptio in complexu yang artinya bagi orang Islam berlaku hukum Islam
walaupun terdapat penyimpangan-penyimpangan.
Teori receptio in complexu yang dikemukakan Van De Berg mendapat
kritikan tajam oleh Snouck Hurgronje karena teori receptio in complexu
bertentangan dengan kepentinggan-kepentingan pemerintah Hindia Belanda dan
akhirnya mengemukakan teori receptio yang menurut teori ini hukum yang berlaku
di Indonesia adalah hukum adat asli. Hukum Islam baru mempunyai kekuatan kalau
dikehendaki dan diterima oleh hukum adat. Teori receptio bertujuan untuk
mengetahui peranan hukum Islam dengan mengedepankan hukum adat atau bahkan
mengganti hukum Islam dengan hukum adat.
Selain itu bertujuan untuk memperkuat pemerintah kolonial dan adanya
kepentingan pemerintah kolonial dalam penyebaran agama Kristen di wilayah Hindia
Belanda.
Kekuasaan dan kewenangan peradilan agama di Jawa-Madura meliputi:9
a. Perselisihan antara suami istri yang bergama Islam.
b. Perkara-perkara tentang: nikah, talak, rujuk, dan perceraian antara orang-
orang yang beragama Islam.
c. Menyelenggarakan perceraian.
d. Menyatakan bahwa syarat untuk jatuhnya talak yang digantungkan (ta’liq al-
thalaq) telah ada.
e. Perkara mahar atau maskawin.
f. Perkara nafkah wajib suami kepada istri.
Pemberlakuan peraturan pemerintah tersebut pada kenyataannya tidak
memberikan jalan keluar bagi peradilan agama di daerah lainnya. Karena itu
pemerintah pada tahun yang sama mencabutnya kembali dan menerbitkan peraturan
yang lain yaitu peraturan pemerintah no. 45 tahun 1957 tentang pendirian mahkamah

9
Abdullah Tri Wahyudi, Op. Cit., Hal: 10-11.
syari’ah di luar Jawa dan Madura. Dalam peraturan ini disebutkan tentang wewenang
absolut Peradilan Agama.
Pada periode tahun 1882 sampai dengan 1937 secara yuridis formal,
peradilan agama sebagai suatu badan peradilan yang terkait dalam sistem kenegaraan
untuk pertama kali lahir di Indonesia (Jawa dan Madura) pada tanggal 11 agustus
1882 kelahiran ini berdasarakan suatu keputusan raja Belanda (konnink besluit)
yakni raja Willem III tanggal 19 januari 1882 no. 24 yang dimuat dalam staatsblad
1882 no. 152. Badan peradilan ini bernama Priesterraden yang kemudian lazim
disebut dengan rapat agama atau Raad Agama dan terakhir dengan pengadilan
agama.
Keputusan raja Belanda ini dinyatakan berlaku mulai 1 Agustus 1882 yang
dimuat dalam Staatblad 1882 no.153, sehingga dengan demikian dapatlah dikatakan
tanggal kelahiran badan peradilan agama di Indonesia adalah 1 agustus 1882.10
Peradilan Agama Pada Masa Kolonial Jepang Tahun 1942 adalah tahun
Indonesia diduduki oleh Jepang. Kebijaksanaan pertama yang dilakukan oleh Jepang
terhadap perundang-undangan dan pengadilan ialah bahwa semua peraturan
perundang-undangan yang berasal dari pemerintahan Belanda dinyatakan tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan. Peradilan Agama tetap dipertahankan dan
tidak mengalami perubahan, peradilan agama dan Kaikiooo Kottoo Hooin untuk
Mahkamah Islam Tertinggi, berdasarkan aturan peralihan pasal 3 bala Jepang (Osanu
Seizu) tanggal 07 maret 1942 No.1.11
Pada zaman Jepang, posisi pengadilan agama tetap tidak akan berubah
kecuali terdapat perubahan nama menjadi Sooryo Hooin. Pemberian nama baru itu
didasarkan pada aturan peralihan pasal 3 Osanu Seizu tanggal 7 maret 1942 No. 1.
Pada tanggal 29 April 1942, pemerintah balatentara Dai Nippon mengeluarkan UU
No. 14 tahun 1942 yang berisi pembentukan Gunsei Hoiin (pengadilan pemerintah
balatentara). Dalam pasal 3 UU ini disebutkan bahwa Gunsei Hooin terdiri dari:12
a. Tiho hooin (pengadilan negeri)
b. Keizai hooin (hakim poloso)
c. Ken hooin (pengadilan kabupaten)

10
Abdul Halim, Op. Cit., Hal: 51.
11
Basiq Jalil, peradilan agama di Indonesia (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), hal: 60
12
Achmad Gunaryo, Pergumulan Politik Dan Hukum Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hal: 96.
d. Kaikioo kootoo hoin (mahkamah Islam tinggi)
e. Sooryoo hoon (raad agama)
Kebijaksanaan kedua yang dilakukan oleh pemerintahan Jepang adalah, pada
tanggal 29 april 1942 pemerintahan bala tentara Dai Nippon mengeluarkan UU No.
14 tahun 1942 tentang pengadilan bala tentara Dai Nippon. Dalam pasal 1 disebutkan
bahwa di tanah Jawa dan Madura telah diadakan “gunsei hooin” (pengadilan
pemerintahan balatentara).
Pada masa pendudukan Jepang kedudukan pengadilan agama pernah
terancam yaitu tatkala pada akhir Januari 1945 pemerintah bala tentara Jepang
(guiseikanbu) mengajukan pertanyaan pada Dewan Pertimbangan Agung (Sanyo-
Aanyo Kaigi Jimushitsu) dalam rangka Jepang akan memberikan kemerdekaan pada
bangsa Indonesia yaitu bagaimana sikap dewan ini terhadap susunan penghulu dan
cara mengurus kas masjid, dalam hubungannya dengan kedudukan agama dalam
negara Indonesia merdeka kelak.
Akan tetapi dengan menyerahnya Jepang dan Indonesia memproklamirkan
kemerdekaan pada tanggal 17 agustus 1945, maka dewan pertimbangan agung
buatan Jepang itu mati sebelum lahir dan peradilan agama tetap eksis di samping
peradilan- peradilan yang lain.

B. Perkembangan Sistem Peradilan Agama Pasca Kemerdekaan


1. Sistem peradilan agama pada masa kemerdekaan
Pasca kemerdekaan, berlakunya hukum di Indonesia menjadi beragam, dan
masih berpedoman pada hukum kolonial belanda. Hal ini disebabkan karena
penjajahan yang dilakukan oleh kolonial belanda pada saat itu khususnya, penerapan
hukum yang diterapkan oleh kolonial belanda masih melekat dalam dunia hukum di
Indonesia. Sementara perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan juga sangat sulit.
Oleh karena itu, masyarakat Indonesia tidak sempat untuk memikirkan masalah
hukum. Selain itu, penyebab proses pembuatan hukum menjadi rumit karena harus
mempertimbangkan aspek agama dan adat. Menurut hazairin, setelah Indonesia
merdeka, walaupun aturan peralihan menyatakan bahwa hukum yang lama masih
berlaku selama tidak bertentangan dengan UUD 1945, maka seluruh peraturan
pemerintahan Belanda yang berdasarkan teori receptie tidak berlaku lagi karena
bertentangan dengan UUD 1945. Teori receptie harus keluar karena bertentangan
dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.13
Namun demikian terdapat daerah yang dikecualikan yaitu Aceh, karena
pada tahun 1946 di Aceh keberadaan Mahkamah Syari’ah pernah berfungsi
sebagaimana mestinya, pada tanggal 1 Agustus 1946 sesuai dengan tuntutan
masyarakat Aceh. Akan tetapi, sehubungan pegawai jabatan negara Republik
Indonesia dipusatkan di Kementerian Agama dan Perdana Menteri Pemerintah
Darurat meninggalkan Aceh, maka Mahkamah Syari’ah dan dengan dimasuknya
Provinsi Aceh ke dalam kresidenan Provinsi Sumatera Utara, maka keberadaan
Mahkamah Syari’ah sudah tidak memiliki dasar hukum lagi, sehingga secara
otomatis Mahkamah Syari’ah tidak berlaku lagi. Namun menurut Daniel S. Lev tidak
demikian karena dalam sejarah terdapat beberapa fakta bahwa Pengadilan Agama di
Jawa, Madura, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur masih tetap
menyelesaikan perkara-perkara kewarisan, dan Pengadilan Agama yang menyisakan
satu atau dua hari dalam seminggu untuk menyelesaikan perkara-perkara pembagian
harta waris. Bahkan Pengadilan Agama lebih banyak menyelesaikan kasus kewarisan
dari pada Pengadilan Negeri.14
Pada masa orde lama, peradilan agama ditempatkan sebagai peradilan semu
karena tidak memiliki otoritas untuk melaksanakan putusannya sendiri. Pemerintah
tetap menerepakan executorial verklaring, yakni eksekusi atas putusan peradilan
agama yang dilaksanakan dengan fiat eksekusi dari peradilan umum. Akibatnya,
karena penerapan putusan-putusan pengadilan agama bergantung pada pengadilan
negeri, maka posisi pengadilan agama selalu berada dibawah pengadilan negeri.
Disisi lain, pencabutan kewenangan pengadilan agama mulai sejak tahun 1937 terus
berlanjut pada masa orde lama khususnya masalah kewarisan. Pembatas lain adalah
pengadilan agama hanya berwenang untuk memutus perkara antara kedua belah
pihak (penggugat dan tergugat) yang beragama islam.15

13
Mohamad Rana, PENGARUH TEORI RECEPTIE DALAM PERKEMBANGAN HUKUM
ISLAM DI INDONESIA, Mahkamah: Jurnal Kajian Hukum Islam 17, Vol. 3, No. 1, Juni 2018, hlm.
29
14
Sayuthi, SISTEM PERADILAN ISLAM DI INODNESIA DARI MASA PRA KEMERDEKAAN
SAMPAI MASA SEKARANG, AL-AHKAM: Jurnal Syari’ah dan Peradilan Islam, Vol 1 No. 2
Tahun 2021, hlm 64-65
15
Prof. Dr. Drs. H. Abdul Manan, S.H., S.IP., M.Hum., Pengadilan Agama Cagar Budaya Nusantara
Memperkuat NKRI, Kencana: 2019, hlm. 168-169
2. Status dan Kedudukan Peradilan Agama Pasca Kemerdekaan

Pasca kemerdekaan, peradilan agama mulai menempati posisi di serambi


Indonesia sebagai negara merdeka. Meskipun pada awal-awal kemerdekaan, tatanan
pemerintahan sedikit banyak telah mengalami perubahan, namun tidak
mempengaruhi status dan kedudukannya, seiring dengan tidak banyak berubahnya
tatanan hukum. Peradilan agama masih berpedoman kepada peraturan perundang-
undangan pemerintah kolonial Belanda berdasarkan pasal 11 aturan Peralihan
Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa “segala badan negara dan
peraturan yang ada masih berlaku selama belum diadakan yang baru menurut
Undang-Undang Dasar ini.”16
Berdasarkan aturan peralihan tersebut, maka keberadaan Peradilan Agama
yang sudah ada pada masa sebelum Indonesia merdeka tetap dipertahankan dan
diakui eksistensinya apalagi didukung oleh penduduk yang mayoritas beragama
islam. Atas usul menteri agama kepada presiden yakni agar dilakukan reposisi
terhadap peradilan agama, pembinaan peradilan agama yang awalnya berada di
bawah pengawasan dan penguasaan kekuasaan kementerian kehakiman diserahkan
kepada kementerian agama, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 5/SD/1946 17 yang
berbunyi “Pada masa kolonial belanda, tidak ada pejabat pengadilan agama yang
menerima gaji atau honor tetap dari pemerintah, baik ketua penghulu atau penghulu
kepala yang menerima gaji atau honor tetap dari pemerintah hindia belanda bukan
sebagai ketua pengadilan agama, dengan berkedudukan sebagai islamitisch adviseur
pada landraad.”18

Adapun pasca kemerdekaan, anggaran belanja peradilan agama disediakan


oleh pemerintah. Meskipun Undang-Undang Nomor 190 Tahun 1948 pernah
menjadikan peradilan agama bagian dari peradilan umum secara istimewa yang masa
berlakunya ditentukan oleh menteri kehakiman. Hal itu termaktub dalam UU No. 19
Tahun 1948 yang berbunyi “… perkara perdata antara orang islam yang menurut
hukum yang hidup harus diputus menurut agama islam, harus diperiksa dan diputus
16
Miftakhur Ridlo, Sejarah Perkembangan Peradilan Agama pada Masa Kesultanan dan Penjajahan
Sampai Kemerdekaan, Asy-Syari’ah: Jurnal Hukum Islam, Vol. 7, No. 2, 2021, hal. 163
17
Dr. H. Jaenal Aripin, M.Ag., Jejak Langkah Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group), hal. 60
18
Prof. Dr. H. Oyo Sunaryo Mukhlas, M. Si., Perkembangan Peradilan Islam dari Kahin di Jazirah
Arab ke Peradilan Agama di Indonesia, (Ghalia Indonesia: Juli 2011), hlm 141
oleh badan Peradilan Umum dalam semua tingkatan Peradilan (Peradilan Negeri,
Peradilan Tinggi, dan Mahkamah Agung) terdiri atas seorang hakim ketua yang
beragama islam dan 2 orang hakim yang ahli agama islam”. 19 Namun karena
penetapan tersebut belum sempat berlaku, bahkan bisa dikatakan “layu sebelum
berkembang”, maka terbentuklah Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951 dan
UU No. 1 Tahun 1961 yang mengatur tentang tindakan pengadilan sipil. Sejak saat
itulah, peradilan agama menjadi bagian penting dari Departemen Agama yang
dibentuk pada tanggal 3 januari 1946.
Meskipun sudah ada ketetapan peraturan pemerintah tersebut, namun hal ini
hanya sebatas pada keputusan pengalihan kepengurusan dan pengarahan dari
kementerian kehakiman ke kementerian agama, akan tetapi belum ada pertanyaan
mengenai dasar hukum yang mengatur status peradilan agama pada awal
kemerdekaan. Atas dasar itu, peraturan sementara yang mengatur tentang peradilan
agama ditetapkan dalam Verodening tanggal 8 November 1946 dari Chief
Commanding Officer Alied Militery Administration Civil Affair Branch atau yang
disingkat CCOAMACAB untuk jawa dan Madura. Melalui Verondering tersebut
ditetapkan adanya Pengadilan Hulu (Penghoeloe Gerecht) yang terdiri dari seorang
ahli hukum islam sebagai ketua dengan dibantu oleh dua orang anggota dan seorang
panitera, sedangkan wewenangnya adalah sama dengan Priesdterraad sebelumnya,
seperti yang tercantum pada Pasal 2a ayat (1) dari KB. 1882 S. 152 yang di ubah
dengan S. 1973 No. 116. Pelaksanaan (executoirverklaring) dari putusan
penghoeloegerecht dilakukan oleh hakim sehari-hari, yaitu landgerecht gaya baru.20
Sementara itu, dibentuk mahkamah syari’ah yang termaktub dalam PP
Nomor 29 Tahun 1957 untuk meredakan suasana keamanan dan ketertiban
masyarakat Aceh. Kebijakan pemerintah tersebut dianggap sangat penting untuk
mengantisipasi berbagai persoalan umat islam di wilayah hukum lainnya. Untuk itu,
wilayah hukum mahkamah syari’ah diperluas hingga mencakup wilayah hukum di
luar Pulau Jawa dan Madura serta sebagian di luar wilayah Kalimantan Timur dan
Kalimantan Selatan. Ketentuan itu diatur secara resmi dalam PP Nomor 45 Tahun
1957 yang dikeluarkan pada tanggal 5 Oktober 1957. Pada pasal 4 ayat (2) PP

19
Ibid, hlm 141
20
Drs. H. A. Basiq Djalil S. H., MA, Peradilan Agama di Indonesia, Perpustakaan Nasional: Katalog
Dalam Terbitan (KDT), hlm. 52
Nomor 45 tahun 1957 dijelaskan “Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah memeriksa
dan memutuskan perselisihan antara suami isteri yang beragama islam, dan segala
perkara menurut hukum yang hidup diputus menurut hukum agama islam yang
berkenaan dengan nikah, thalaq, ruju’, fasakh, nafaqah, maskawin (mahar), …” 21
berdasarkan pasal tersebut nampaknya masih mengusung semangat “receptie
theorie” yang justru sangat merugikan kepentingan umat islam.

Dengan demikian, pengadilan agama dapat tidaknya menyelesaikan perkara


umat islam, tergantung dari tidak diterimanya hukum islam sebagai hukum oleh adat
setempat. Di samping itu, dengan lahirnya PP Nomor 45 Tahun 1957 tersebut,
menunjukkan bahwa peradilan agama di Indonesia memiliki nama dan beragam
peraturan. Sudah tentu, hal itu akan mempengaruhi keberadaan dan peran peradilan
itu sendiri. Sebab dengan peraturan-peraturan yang beragam itu pula berbeda kuasa
dan wewenangnya, sehingga putusan-putusan pengadilan agama sering kali dikenal
disparatis.22

3. Kewenangan Peradilan Agama


Kewenangan Absolut Peradilan Agama Pada Masa Awal Kemerdekaan23:
a) Staatsblad 1882/152
 Perkara pernikahan
 Segala jenis perceraian
 Mahar
 Nafkah
 Keabsahan anak
 Perwalian
 Kewarisan
 Hibah
 Wakaf
 Shodaqoh, dan
 Baitul mal
b) Staatsblad 1937/116 dan 610
 Perselisihan antara suami istri yang beragama islam
 Perkara nikah
 Perkara talak (perceraian)
21
Ibid, hlm. 142
22
Ibid, hlm. 142
23
Abdullah Tri Wahyudi, Kewenangan Absolut Peradilan Agama Di Indonesia Pada Masa Kolonial
Belanda Hingga Masa Pasca Reformasi, Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosial Keagamaan, hlm. 290
 Perkara rujuk
 Perceraian antara orang yang beragama islam
 Memutuskan perceraian
 Menyatakan syarat-syarat untuk jatuhnya taklik talak terpenuh
 Perkara mahar (mas kawin)
 Nafkah istri
c) Staatsblad 1937/638 dan 639
 Hukum perkawinan
 Perceraian
 Mas kawin
 Nafkah
 Perwalian
 Sah tidaknya anak
 Warisan
 Hibah
 Hadlanah
 Baitul mal
 Wakaf

Adapun kekuasaan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syari’ah menurut


ketetapan pasal 4 PP No. 45 tahun 1957 adalah sebagai berikut:
a. Pengadilan Agama atau Mahkamah Syari’ah memeriksa atau memutuskan
perselisihan antara suami dan istri yang beragama islam dan semua perkara
yang menurut hukum yang diputus menurut hukum agama islam yang
berkenaan dengan nikah, talak, ruju’, fasakh, nafaqah, maskawin (mahar),
tempat kediaman (maskawin), muth’ah dan sebagainya.
b. Pengadilan Agama atau Mahkamah Syari’ah tidak berhak untuk
memeriksa perkara-perkara tersebut dalam ayat (1) jika untuk perkara itu
berlaku lain daripada hukum agama islam.24

III. PENUTUP
A. Kesimpulan

Peradilan agama merupakan sebuah lembaga peradilan yang sudah ada jauh
sebelum bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaan. Tumbuh dan berkembangnya
peradilan agama di Indonesia melalui proses yang panjang dan jalan berliku
mengantarkan peradilan agama sampai Indonesia merdeka. Walaupun terdapat
24
Suherman, Kedudukan & Kewenangan Peradilan Agama Di Indonesia, Al-Mashlahah jurnal
Hukum Islam dan Pranata Sosial Islam, Hlm. 683
usaha-usaha untuk menghapuskan peradilan agama dari masa penjajahan sampai
kemerdekaan indonesia, namun kenyataan menunjukkan bahwa peradilan agama
mampu bertahan kokoh dan terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu.
Pada masa kemerdekaan, eksistensi peradilan agama belum menjadi peradilan
agama yang mandiri dan independen, yakni masih tidak bebas dari kekuasaan
eksekutif dan kekuasaan pembentuk undang-undang. Selain masih berada dibawah
pembinaan departemen agama, peradilan agama juga belum bisa secara langsung
memutuskan perkara tanpa mendapatkan putusan dari peradilan umum untuk kasus-
kasus tertentu.
DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shiddieqy, T. M. (2001). Peradilan dan Hukum Acara Islam. Semarang.


Azhari, M. T. (1987). Negara Hukum: Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari
Segi Hukum Islam. Jakarta.
Bisri, C. H. ( 2003). Peradilan Agama Di Indonesia. Jakarta.
Dr. H. Jaenal Aripin, M. (2013). Jejak Langkah Peradilan Agama Di Indonesia.
Jakarta.
Drs. H. A. Basiq Djalil S. H., M. (2010). Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta.
Gunaryo, A. (2006). Pergumulan Politik Dan Hukum Islam. Yogyakarta.
Halim, A. (2000). Peradilan Agama Dalam Politik Hukum Islam. Jakarta.
Hamid, A. (2017). Perceraian Sebab Kawin Paksa (Studi Kasus di Pengadilan
Agama Jember). Asy-Syariah : Jurnal Hukum Islam .
Prof. Dr. Drs. H. Abdul Manan, S. S. (2019). Pengadilan Agama Cagar Budaya
Nusantara Memperkuat NKRI. Jakarta.
Prof. Dr. H. Oyo Sunaryo Mukhlas, M. S. ( 2011). Perkembangan Peradilan Islam
dari Kahin di Jazirah Arab ke Peradilan Agama di Indonesia. Bogor.
Rana, M. (2018). Pengaruh Teori Receptie Dalam Perkembangan Hukum Islam Di
Indonesia. Mahkamah: Jurnal Kajian Hukum Islam.
Ridlo, M. (2021). Sejarah Perkembangan Peradilan Agama pada Masa Kesultanan
dan Penjajahan Sampai Kemerdekaan. Asy-Syari’ah: Jurnal Hukum Islam.
Sayuthi. (2021). Sistem Peradilan Islam Di Indonesia Dari Masa Pra Kemerdekaan
Sampai Masa Sekarang. AL-AHKAM: Jurnal Syari’ah dan Peradilan Islam.
Suherman. (2017). Kedudukan & Kewenangan Peradilan Agama Di Indonesia. Al-
Mashlahah: Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial Islam.
Wahyudi, A. T. (2016). Kewenangan Absolut Peradilan Agama Di Indonesia Pada
Masa Kolonial Belanda Hingga Masa Pasca Reformasi. Pemikiran dan
Penelitian Sosial Keagamaan.

Anda mungkin juga menyukai