PENJAJAHAN BELANDA
Oleh:
Ahmad Muzakki (21103050107), Niken Ayu Pratiwi (21103050108), Muhammad Fachriandy H
(21103050112)
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Abstak: Peradilan merupakan segala sesuatu atau sebuah proses yang dijalanakan di Pengadilan
yang berhubungan tugas memeriksa, memutus dan mengadili perkara dengan menerapkan
hukum dan atau menemukan hukum untuk mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum
materiil, dengan menggunakan procedural yang ditetapkan oleh hukum formiil. Maka dari itu
peradilan dapat dikatakan sebagai pranata hukum (legal institution) untuk memenuhi kebutuhan
Masyarakat yang ada di suatau negara untuk penegakan hukum dan keadilan. Pada masa
penjajahan Belanda, terjadi banyak dinamika sehingga berimplikasi pada kewenangan
pengadilan pada beberapa daerah yang ada di Indonesia.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dua nama yang menonjol dalam arsitek pemerintah colonial belanda di Indonesia. Salah
satunya adalah Stamford Raffles selaku Gubernur jenderal pada tahun 1811-1816. Ia
melanjutkan reorganisasi pendahulunya dengan mereformasi pengadilan, polisi dan sistem
administrasi di Jawa. Adanya reformasi pada pengadilan tersebut maka berdampak pada
pergeseran beberapa wewenang pengadilan dari sistem sebelumnya yang telah ada. Hal ini
kemudian memicu adanya beberapa ketidakseimbangan hak-hak pribumi untuk mendapatkan
keadilan di negara sendiri.
Dari perjalanan historis yang ada, maka penulis berinisiatif untuk menulusuri, menelaah
dan mengkaji kembali bagaimana dinamika peradilan agama pada masa penjajahan Belanda.
Dengan pengkajian ini dapat diketahui adanya beberapa wewenang pengadilan agama pada
masa tersebut.
METODOLOGI PENELITIAN
PEMBAHASAN
1
Asep saepullah, Kewenangan Peradilan Agama Di Dalam Perkara Ekonomi Syariah, Mahkamah: Jurnal Kajian
Hukum Islam 208 Vol. 1, No. 2, Desember 2016
iii
mengurus masalah perkara yang menjadi urusan raja, sedangkan Peradilan Padu
mengurus tentang masalah yang tidak menjadi wewenang dari raja. Peradilan Pradata
apabila dilihat dari bentuk materi hukumnya bersumber dari hukum Hindu yang terdapat
dalam papakem atau kitab hukum sehingga menjadi hukum tertulis, sedangkan Peradilan
Padu berdasar pada hukum Indonesia asli yang tidak tertulis.
Bersamaan perkembangan masyarakat Islam, ketika Indonesia terdiri dari
sejumlah Kerajaan Islam, maka dengan penerimaan Islam dalam Kerajaan, otomatis para
hakim yang melaksanakan keadilan diangkat oleh Sultan atau Imam.
B. Peradilan Agama Islam masa Kerajaan Mataram
Kesultanan Islam terpenting di Pulau Jawa adalah Demak (kemudian digantikan
Mataram), Cirebon, dan Banten. Di Indonesia bagian timur yang terpenting adalah Goa
di Sulawesi bagian selatan dan Ternate yang pengaruhnya meluas hingga Filipina, di
Sumatera terdapat Aceh yang wilayahnya meluas hingga wilayah Melayu.
Terfragmentasinya keadaan kerajaan-kerajaan Indonesia dan hubungannya
dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Filipina. Munculnya Mataram sebagai
kerajaan Islam, pada masa pemerintahan Sultan Agung, mulai dilakukan perubahan
sistem peradilan dengan memasukkan unsur hukum Islam dan ajaran bagaimana
membawa umat Islam ke pengadilan yang beradab. Namun ketika masyarakat sudah
dianggap siap dan memahami kebijakan yang diambil oleh Sultan Agung, maka
pengadilan sipil yang ada digantikan oleh pengadilan Serambi yang tidak bertanggung
jawab langsung kepada raja, yang dijalankan oleh para ulama. Meski pada prinsipnya
jabatan presiden ada di tangan sultan, namun dalam praktiknya berada di tangan
pangeran yang didampingi beberapa ulama pesantren sebagai anggota serikat tembaga.
Sultan tidak pernah mengambil keputusan yang bertentangan dengan pendapat
pengadilan Serbia. Meskipun namanya telah berubah dari Tribunal Pradata menjadi
Tribunal Veranda, namun yurisdiksinya tetap sama dengan Tribunal Pradata.
Ketika Amangkurat I menggantikan Sultan Agung pada tahun 1645, peradilan
sipil ditegakkan kembali untuk mengurangi pengaruh ulama di istana dan raja sendiri
menjadi pemimpinnya. Namun dalam perkembangan selanjutnya, pengadilan tersebut
tetap ada hingga masa penjajahan Belanda, meskipun dengan yurisdiksi yang terbatas,
menurut Snouck menyelesaikan perselisihan dan perselisihan yang berkaitan dengan
hukum keluarga, khususnya perkawinan dan warisan.
C. Peradilan Islam di Kerajaan Aceh
iv
Di Aceh, sistem peradilan yang berdarsarkan hukum Islam menyatu dengan
pengadilan negeri, dan mempunyai tingkatannya sendiri:
Ditingkat kampung dilaksanankan dengan dipimpin oleh Keucik. Peradilan ini
hanya menangani perkara yang ringan. Sedangkan perkara berat diselesaikan di
Balai Hukum Mukim.
Jika yang berperkara tidak puas dengan keputusan pertama, yang berperkara
dapat mengajukan banding ke pengadilan tingkat kedua, yaitu Oeloebalang.
Jika pada tingkat Oeloebalang juga tidak dapat memenuhi keinginan pencari
keadilan, dapat mengajukan banding ke pengadilan tingkat tiga yang disebut
Panglima Sagi.
Apabila seandainya keputusan ditingkat tig aini juga tidak memuaskan, yang
berperkara masih bisa mengajukan banding ke Sultan yang pelaksaannya oleh
Mahkamah agung yang terdiri dari Malikul Adil, orang kaya sri paduka tuan,
orang kaya raja bandara, dan fakih (ulama).
Sistem peradilan di Aceh sangat jelas menunjukkan hirarkinya dan kekuasaan
absolutnya.
v
Kuno yang memuat Hukum Raja Niscaya, Undang-Undang Mataram, Jaya Lengkara,
Kontra Menawa, dan Adidullah. Namun satu hal yang tidak dipungkiri bahwa pepakem
Cirebon tanpa adanya pengaruh hukum Islam.
F. Peradilan Islam di Sulawesi
Integrasi ajaran Islam di Sulawesi dan lembaga dalam pemerintahan kerajaan
dan adat lebih berkembang karena peranan raja. Di Sulawesi, kerajaan yang awalnya
menerima Islam dengan resmi adalah kerajaan Tallo di Sulawesi Selatan. Lalu, disusul
oleh Goa yang merupakan kerajaan terkuat dan punya pengaruh dikalangan
masyarakatnya. Sementara di beberapa wilayah lain, seperti Kalimantan Selatan dan
Timur, dan tempat-tempat lain, para hakim agama diangkat sebagai penguasa tempat.
Berbagai pengadilan itu, menunjukkan posisinya yang sama yaitu sebagai salah
satu pelaksana kekuasaan raja atau sultan. Disamping itu pada dasarnya batasan
wewenang Pengadilan Agama meliputi bidang hukum keluarga, yaitu perkawinan dan
kewarisan. Dengan wewenang itu, proses pertumbuhan dan perkembangan pengadilan
pada berbagai kesultanan memiliki keunikannya masing-masing. Dan fungsi sultan pada
saat itu adalah sebagai pendamai atau penengah apabila terjadi perselisihan hukum. 2
Pada zaman Hindia Belanda tidak terdapat pengaturan yang seragam mengenai urusan
hukum. Pada sisi subyek hukum, terdapat tiga penggolongan penduduk yang tunduk kepada
ketentuan-ketentuan hukum yang berbeda, serta di bidang peradilan terdapat lima buah
tatanan peradilan yang terdiri dari:
2
Artikel Miftakhul Ridlo, Sejarah Perkembangan Peradilan Agama pada Masa Kesultanan dan
Penjajahan Sampai Kemerdekaan, Asy Syariah: Vol 7 No 2 (2021): Asy-Syari'ah: Jurnal Hukum Islam,
Juni 2021
vi
3. Peradilan Agama terdapat baik di bagian-bagian di Wilayah Hindia Belanda dimana
semata-mata ada peradilan gubernemen maupun di daerah-daerah di mana peradilan agama
merupakan bagian dan peradilan pribumi atau di dalam daerah-daerah swapraja sebagai
bagian dari peradilan swapraja.
4. Peradilan daerah-daerah swapraja yang terdapat di semua daerah swapraja kecuali daerah
swapraja Paku Alam (Jawa) dan Pontianak, yang kedua-duanya mempunyai peradilan
gubernemen.
1. Susunan peradilan gubernemen untuk golongan Eropa di Jawa dan Madura terdiri dari:
a. Residentiegerecht
Untuk wilayah Jawa dan Madura terdapat 80 buah residentiegerecht yang berada di kota-
kota keresidenan. Residentiegerecht terdiri dari hakim tunggal dibantu oleh seorang panitera
yang menjadi hakim dan panitera pada residentiegerecht adalah ketua dan panitia dari
pengadilan Landraad yang terdapat pada ibukota keresidenan. Residentiegerecht tersebut
berwenang memeriksa atau mengadili dalam tingkat pertama:
2) Perkara gugatan perdata yang dilakukan oleh orang-orang Indonesia dan Timur Asing
bukan Cina, kalau mereka tunduk dengan sukarela kepada hukum perdata Eropa.
vii
3) Perkara sengketa perjanjian kerja orang Indonesia dan Timur Asing bukan Cina
meskipun tidak tunduk secara sukarela kepada hukum perdata Eropa.
Raad van Justitie terdapat di tiga kota besar di Jawa, yakni Jakarta, Semarang dan
Surabaya. Masing-masing raad mempunyai jumlah anggota yang agak berbeda karena
disesuaikan dengan ruang lingkup daerah wewenangnya masing-masing. Kekuasaan yang
dimiliki oleh Raad van Justitie sesuai dengan ruang lingkup daerah wewenangnya, adalah:
1) Merupakan lembaga peradilan bagi orang Eropa untuk perkara perdata dan pidana.
Selain itu juga merupakan lembaga peradilan biasa untuk orang Cina sebagai penggugat
perkara perdata bilamana yang tergugat adalah orang Eropa atau orang Cina.
2) Merupakan lembaga peradilan harian biasa dalam perkara perdata untuk orang
Indonesia dan Timur Asing bukan Cina sebagai tergugat bilamana mereka tunduk secara
sukarela kepada hukum perdata Eropa.
3) Memeriksa perkara perdata, tanpa memandang kebangsaan dari pada pihak, yang
berkaitan dengan barang-barang temuan dari laut, dan perkara pidana, tanpa memandang
kebangsaan terdakwa, terhadap kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan perdagangan
budak kejahatan karena kepailitan, kejahatan pembajakan di laut, di pantai, di pesisir dan
di sungai dan kejahatan yang bertalian dengan itu.
c. Hooggerechtshof
Susunan pengadilan untuk golongan Eropa di luar Jawa dan Madura sama seperti
di Jawa dan Madura dengan satu Hooggerechtshof yang ada di Jakarta. Ketentuan yang
mengatur tentang susunan peradilan-peradilan Gubernemen untuk luar Jawa dan Madura
viii
terdapat dalam Rechtsreglement Buitengeweten tahun 1927 No. 227. Hal tersebut
berbeda dengan ketentuan untuk daerah Jawa dan Madura yang mana terdapat dalam
reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid Der Justitie in Nederlands-Indie
tahun 1847 No. 23 yang kemudian berkali-kali diubah.
Susunan peradilan gubernemen untuk bumi putra di Jawa dan Madura adalah
sebagai berikut:
a. Districtsgerecht
Pada daerah pemerintahan tingkat distrik (kawedanan) terdapat districtsgerecht.
Peradilan ini diselenggarakan oleh Wedana yang bertindak sebagai hakim tunggal.
Dalam menjalankan tugasnya sebagai hakim Wedana dibantu oleh pegawai bawahan
yang berkedudukan sebagai penasihat. Perkara-perkara yang dapat diperiksa dan
diadili dalam districtsgerecht adalah perkara pidana ringan (pelanggaran) yang
dilakukan oleh orang Indonesia yang diancam denda maksimum f.3. di samping
perkara pidana juga perkara perdata, sidang perselisihan yang gugatannya dilakukan
oleh orang bukan golongan Eropa dan Timur Asing Cina dengan nilai kurang dari
f.20 Upaya hukum yang berupa banding dapat diajukan pada regenschasgerecht.
b. Regensschapsgerecht
Pada kota-kota kabupaten terdapat regenschapsgerecht. Peradilan ini dilaksanakan
oleh Bupati atau Patih jika Bupati berhalangan hadir sebagai hakim tunggal. Dalam
menjalankan tugasnya, Bupati atau Patih dibantu oleh pegawai bawahan kabupaten,
penghulu, jaksa atau adjuctmagistraat. Pengadilan ini berwenang mengadili perkara
pidana, dalam perkara pelanggaran oleh orang Indonesia dengan ancaman hukuman
maksimum enam hari atau denda f.10. dalam perkara perdata pengadilan ini
berwenang memeriksa dan mengadili gugatan yang dilakukan oleh penggugat bukan
orang Eropa atau Timur Asing Cina terhadap orang Indonesia yang mempunyai nilai
uang setara f.20 sampai f.50. terhadap putusan regenschapsgerecht, masih mungkin
diajukan banding pada landraad.
ix
Di samping regenschapsgerecht, pada kota kota kabupaten dan beberapa kota
lainnya terdapat landraad. Berbeda dengan kedua peradilan sebelumnya, landraad
terdiri dari majelis hakim. Majelis tersebut terdiri dari ketua landraad yakni seorang
ahli hukum, ditambah dengan beberapa anggota yang terdiri dari pegawai
pemerintahan dan dibantu oleh seorang panitera. Landraad berwenang mengadili:
1) Baik perkara pidana maupun perdata untuk orang-orang Indonesia sesuai dengan
ketentuan-ketentuan undang-undang dalam tingkat pertama.
2) Dalam perkara pidana bagi orang-orang Cina dan Timur Asing lainnya.
3) Dalam perkara perdata bagi orang Timur Asing bukan Cina yang tunduk pada
hukum adatnya dengan diadili untuk tingkat pertama.
4) Mengadili perkara banding yang diajukan atas putusan dari regentschapsgerecht.
Susunan peradilan gubernemen untuk Bumi Putra di luar Jawa dan Madura yang
diatur tersendiri dalam Rechtsreglement Buitengewesten adalah sebagai berikut.
1) Negorijrechtbank
Peradilan ini hanya terdapat di desa-desa di Ambon, berupa majelis yang
terdiri dari kepala desa (kepala negorij) yang bertindak sebagai ketua dari
anggota-anggota yang berasal dari nagorij. Daerah wewenangnya terbatas tiap-
tiap rechbank-nya sendiri dan berwenang mengadili untuk perkara pelanggaran
yang dilakukan oleh setiap penduduk negorij yang ancaman hukumannya
maksimum kurungan selama enam hari atau denda sebesar f.15 di luar
pelanggaran fiskal untuk jenis pelanggaran yang diancam dengan hukuman
kurungan atau denda lebih besar dari f.3 dapat diajukan banding pada
magistaatsgerecht.
2) Districtsgerecht
Peradilan ini terdapat pada keresidenan-keresidenan Bangka dan
Belitung, Manado, Sumatera Barat, Tapanuli dan daerah-daerah Banjarmasin dan
Ulu sungai dari keresidenan Kalimantan Selatan dan Timur, dimana pada setiap
district mempunyai satu districtgerecht. Untuk district mempunyai suatu
districtgerecht. Untuk districtgerecht yang terdapat di daerah-daerah keresidenan
Bangka dan Belitung dan Manado, hakimnya adalah hakim tunggal. Di luar
kedua keresidenan tersebut hakimnya terdiri dari majelis hakim, yakni kepala
district sebagai ketua dan beberapa anggota lainnya yang ditunjuk oleh Residen.
x
Daerah wewenangnya terbatas pada lingkungan wilayah yang tidak melewati
batas-batas district untuk districtsgeracht yang terdapat pada daerah-daerah
keresidenan Bangka, Belitung dan Manado berwenang mengadili dalam tingkat
pertama:
3) Magistraatsgerecht
c. Landraad
xi
Pada ibukota-ibukota keresidenan dan di beberapa tempat lainnya terdapat landraad.
Pada umumnya susunan landraad di daerah-daerah luar Jawa dan Madura diatur
tidak berbeda dengan yang ada di Jawa. Namun untuk daerah-daerah tertentu seperti
pada landraad di Gunung Sitoli, di pulau Nias, landraad Bengkulu, Majene, Palopo,
Pare-pare dan pada landraadlandraad di Manokwari dan Fak-Fak, jabatan ketua
landraad dapat dipegang oleh pegawai pemerintah Belanda. Hal itu disebabkan oleh
karena daerahdaerah tersebut tidak cukup tersedia ahli-ahli hukum
Untuk perkara-perkara pidana kecil terdapat suatu peradilan yang berlaku bagi setiap
golongan rakyat. Peradilan itu dinamakan landgerecht. Pembentukan landgerecht
tersebut adalah merupakan suatu terobosan terhadap asas peradilan dualistis. Sebelum itu
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang Indonesia dan Timur Asing
di Jawa diadili oleh politierechter. Sedangkan bagi pelanggaran-pelanggaran yang
dilakukan oleh orang Eropa diadili oleh residentiegerecht. Beda dengan politierechter,
yang diselenggarakan oleh Residen, Asisten Residen atau Controleur (aparat
pemerintah), pada residentiegerecht terdapat kondisi dan jaminan yang lebih baik.
Keadaan yang demikian menimbulkan keberatan-keberatan, yang akhirnya dibentuklah
landgerecht (tahun 1914 untuk Jawa dan Madura) yang diperuntukkan bagi semua
golongan rakyat. Susunan landgerecht terdiri dari hakim tunggal dibantu oleh pegawai
Indonesia yang bertugas menjalankan pekerjaan-pekerjaan panitera. Daerah kekuasaan
landgerecht ditetapkan oleh Gubernur Jenderal, dan langerecht hanya berwenang
mengadili perkara-perkara pidana saja. Perkaraperkara yang dapat ditangani adalah
semua pelanggaran dan beberapa kejahatan ringan yang ancaman hukumannya tidak
lebih dari tiga bulan kurungan atau denda uang yang tidak melebihi f.500, dengan atau
tanpa penyitaan barang-barang tertentu, kecuali perkara-perkara yang oleh
undangundang diserahkan kepada hakim lain untuk diperiksa. Terhadap putusan
landgerecht tidak dapat dimintakan banding.
xii
dilakukan sebelumnya. Di sini hanya akan dibahas sedikit mengenai peradilan swapraja
dan peradilan agama.
Di daerah Jawa dan Manado juga terdiri dari dua tingkat hanya namanya yang
berbeda. Di Minangkabau disebut “sidang jumat”, di Kalimantan Tenggara disebut
Pengadilan kadi (tingkat pertama) di Pengadilan Kadi Kepala (tingkat kedua).3
Teori ini juga disebut teori masa prakolonial Belanda, dipelopori oleh Lodewijk
Willem Christian van den Berg tahun 1845-1927. Teori receptio in Complexu
menyatakan bahwa bagi setiap penduduk berlaku hukum agamanya masing-masing.
Bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam sebab ia telah memeluk agama Islam.
3
Nursadi Harsanto, Materi Pokok Sistem Hukum Indonesia, Edisi l, (Jakarta, Universitas Terbuka, 2008), Hal 2.30 –
2.38
xiii
Teori Receptio in Complexu ini telah diberlakukan di zaman VOC sebagaimana terbukti
dengan dibuatnya berbagai kumpulan hukum untuk pedoman pejabat dalam
menyeleaikan urusan-urusan hukum rakyat pribumi yang tinggal di dalam wilayah
kekuasaan VOC yang kemudian dikenal sebagai Nederlandsch Indie. Cotohnya, Batavia
yang saat ini desebut Jakarta 1642 pada menyebutkan bahwa “sengketa warisan antara
pribumi yang beragama Islam harus diselesaikan dengan mempergunakan hukum Islam,
yakni hukum yang dipergunakan oleh rakyat sehari-hari”. Untuk keperluan ini, D.W
Freijer menyusun buku yang memuat hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam.
2) Teori Receptie
Teori Receptie dipelopori oleh Christian Snouck Hurgronje dan Cornelis van
Volenhoven pada tahun 1857-1936. Teori ini dijadikan alat oleh Snouck Hurgronye agar
orang-orang pribumi jangan sampai kuat memegang ajaran Islam dan hukum Islam. Jika
mereka berpegang terhadap ajaran dan hukum Islam, dikhawatirkan mereka akan sulit
menerima dan dipengaruhi dengan mudah oleh budaya barat. Teori ini bertentangan
dengan Teori Reception in Complexu. Menurut teori recptie, hukum Islam tidak secara
otomatis berlaku bagi orang Islam. Hukum Islam berlaku bagi orang Islam jika sudah
diterima atau diresepsi oleh hukum adat mereka. Oleh karena itu, hukum adatlah yang
menentukan berlaku tidaknya hukum Islam. Sebagai contoh teori recptie saat ini di
Indonesia diungkapkan sebagai berikut:
Hukum Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadits hanya sebagian kecil
yang mampu dilaksanakan oleh orang Islam di Indonesia. Hukum pidana Islam yang
bersumber dari al-Qur’an dan Hadits tidak mempunyai tempat eksekusi bila hukum yang
dimaksud tidak diundangkan di Indonesia. Oleh karena itu, hukum pidana Islam belum
pernah berlaku kepada pemeluknya secara hukum ketatanegaraan di Indonesia sejak
merdeka sampai saat ini. Selain itu, hukum Islam baru dapat berlaku bagi pemeluknya
secara yuridis formal bila telah diundangkan di Indonesia. Teori ini berlaku hingga tiba
di zaman kemerdekaan Indonesia.4
PENUTUP
Kesimpulan
4
Zaelani, Hukum Islam di Indonesia pada masa Penjajahan Belanda, Komunike, Vol. XI, No. 1, (Juni 2019), hal 152
– 156
xiv
Dengan adanya hak pelimpahan hak Octroi dari Pemerintah Belanda kepada VOC
(Verenidge Ooeste Copagnie) untuk berdagang sendiri di Indonesia. Dalam pasal 35 Octroi,
VOC mendapat kekuasaan Officieren Van Justitie (Pegawai Penuntut Keadilan) pada waktu
pengangkatan dari Gooverneor General (Wali Negeri) serta Raad Van Indie (Dewan Hindia)
tanggal 17 Nopember 1609 diberi perintah kepada Pemerintahan Tinggi Belanda (Hooge
Regring Van Indie) supaya badan ini menjadi hakim dalam hal lembaga Perdata/Pidana. Pada
masa pemerintahan Daendels (1808 – 1811) masyarakat beranggapan bahwa hukum asli terdiri
dari hukum Islam yang memutuskan perkara perkawinan dan kewarisan.
Pengadilan agama pada saat itu tidak mempunyai kekuatan yang independent. Apabila
salah satu pihak yang bersengketa tidak mau menjalankan putusan tersebut maka keputusan itu
akan dijalankan setelah diberi kekuatan olen landaraad (pengadilan Negeri) akan tetapi
dibanyak kasus landaraad enggan memberikan kekuatan atas keputusan pengadilan agama, atau
membuat putusan baru yang berbeda dengan putusan pengadilan agama. Hal ini kemudian
menyebabkan permasalah dan pertentangan pada sumber hukum, dimana pengadilan agama
mendasarkan keputusan pada Hukum Islam sedangkan landraad mendasarkan keputusan pada
Hukum Adat.
1. Hanya perkara-perkara yang dianggap erat oleh rakyat hubungannya dengan agama
islam yang harus diperiksa dan diputus oleh hakim agama. Dan perkara-perkara tersebut
yaitu keabsahan perkawinan, perceraian, mahar, dan keperluan istri yang wajib
disediakan oleh suami.
2. Pengadilan agama yang terdiri atas ketua dan para anggota yang mempunyai hak suara,
selanjutnya harus terdiri seorang hakim saja yang memberikan putusan sendiri, hal ini
dipandang sesuai dengan kekuasaan qadhi.
3. Untuk menghindari hal-hal yang kurang adil dan meningkatkan derajat pengadilan
agama, maka para hakim harus mendapatkan gaji tetap dari perbendaharaan negara.
4. Harus diadakan sebuah majelis pengadilan banding untuk menerima, jika perlu
memperbaiki keputusan hakim-hakim agama.
Pada tanggal 19 Januari 1882, Raja Belanda mengeluarkan Putusan No.152 tentang
Pembentukan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura yang berisi antara lain; “Dimana ada
xv
Pengadilan Negeri, diadakan Pengadilan Agama" (daerah hukum yang sama) dan Pengadilan
Agama terdiri atas Penghulu yang diperbantukan pada Pengadilan Negeri.
Pada tahun 1937 keluar Keputusan Gubernur Jenderal Nomor 9 Tahun 1937 merubah
kekuasaan Pengadilan Agama yang berbunyi : “Pengadilan Agama hanya berwenang untuk
memeriksa dan memutuskan perselisihan hukum antara suami isteri yang beragama Islam.
Wewenangan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura berdasarkan ketentuan baru yang
diatur dalam pasal 2a, dimana hanya meliputi perkara :
Tetapi perkara-perkara diatas tidak sepenuhnya menjadi wewenang Pengadilan Agama. Dalam
beberapa perkara tersebut jika terdapat tuntutan pembayaran uang dan pemberian harta benda
atau barang tertentu maka harus di periksan dan diputus oleh landraad.
DAFTAR PUSTAKA
Asep saepullah, 2016, Kewenangan Peradilan Agama Di Dalam Perkara Ekonomi Syariah,
Mahkamah: Jurnal Kajian Hukum Islam 208 Vol. 1, No. 2
Miftakhul Ridlo, 2021, Sejarah Perkembangan Peradilan Agama pada Masa Kesultanan dan
Penjajahan Sampai Kemerdekaan, Asy Syariah: Vol 7 No 2 (2021): Asy-Syari'ah:
Jurnal Hukum Islam
Muhyidin, Muhyidin. “Perkembangan Peradilan Agama di Indonesia.” Gema Keadilan 7, no. 1
(13 Februari 2020): 1–19.
Nursadi Harsanto, 2008, Materi Pokok Sistem Hukum Indonesia, Edisi l, (Jakarta, Universitas
Terbuka
Suradilaga, Aris Sunandar. “Politik Hukum Keperdataan Islam Di Masa Kolonial Belanda.”
Jurnal Ilmu Syariah Dan Hukum
Rusdi, K., 2012. Fiqih Peradilan. 2nd ed. Yogyakarta: Diandra Press.
Zaelani, 2019, Hukum Islam di Indonesia pada masa Penjajahan Belanda, Komunike, Vol. XI,
No. 1, hal 152 – 156
xvi
xvii