Disusun oleh :
Disusun :
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Tuhan semesta alam. Atas
rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Sejarah
Perkembangan Peradilan Agama pada Masa Kesultanan dan Masa Penjajahan”. Shalawat
serta salam semoga tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Makalah “Sejarah Perkembangan Peradilan Agama pada Masa Kesultanan dan
Masa Penjajahan” ini membahas tentang bagaimana Sejarah perkembangan peradilan
agama pada masa kesultanan, penjajahan kolonial jepang sampai kolonial belanda.
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Peradilan Agama.
Selama penyusunan makalah ini kami mendapatkan bimbingan Bapak Dr. H.
Ramdani Wahyu Sururie, M. Ag. M.Si., selaku dosen Peradilan Agama. Kami ucapkan
terima kasih atas bimbingan serta arahan yang diberikan guna dapat menyelesaikan
makalah ini.
Demikian yang dapat kami sampaikan. Kami menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari sempurna baik dari penyusunan maupun materi yang disampaikan. Besar
harapan kami bagi pembaca untuk memberikan kritik dan saran. Semoga makalah ini
memberikan manfaat bagi berbagai pihak. Aamiin.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................................................ii
BAB I...............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN..........................................................................................................................1
A. Latar Belakang....................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..............................................................................................................2
C. Tujuan..................................................................................................................................2
BAB II.............................................................................................................................................3
PEMBAHASAN.............................................................................................................................3
BAB III.........................................................................................................................................12
PENUTUP....................................................................................................................................12
A. Kesimpulan........................................................................................................................12
B. Saran..................................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................13
ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kerajaan-kerajaan Islam seperti Mataram, Banten dan Cirebon muncul dan secara
bertahap mengubah penduduknya menjadi Islam. Tentang integritas penegakan hukum
islam mendirikan Pengadilan Serambi dan Majelis Syara’. Peradilan Agama Indonesia,
selanjutnya Peradilan Agama Itu ada di berbagai kepulauan jauh dari zaman penjajahan
Belanda. Menurut para ahli sejarah, Peradilan Agama sudah ada sejak Islam masuk ke
Indonesia, masuk Indonesia melalui Tahkim, dan akhirnya pasang surut
perkembangannya sampai sekarang.
Peradilan Agama sebagai salah satu bentuk peradilan Islam di Indonesia dapat
dilihat dari berbagai perspektif. Pertama, secara filosofis, lembaga peradilan dibentuk
dan dikembangkan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Kedua, pengadilan di
lingkungan pengadilan agama menerapkan hukum Islam (dalam bidang
perkawinan, warisan, wasiat, hibah, wakaf dan shodaqoh). Ketiga, secara historis,
sejak zaman Nabi, pengadilan agama adalah salah satu dari rantai pengadilan
agama yang berkelanjutan. Keempat, Peradilan Agama secara sosiologis didukung
dan dikembangkan oleh masyarakat Islam.
1
Jadi kami mengambil kesempatan untuk berdiskusi hal ini, mari kita ulas secara singkat
sejarah peradilan agama di Indonesia, tentang perkembangan peradilan Indonesia di masa
Kesultanan Islam kolonial, Penjajahan Jepang dan Belanda.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
Tujuan Penelitian:
1. Mendeskripsikan Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia.
2. Mendeskripsikan Peradilan Agama Pada Masa Kolonial Belanda.
3. Mendeskripsikan Peradilan Agama Pada Masa Kolonial Jepang.
2
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia
Dulu sebelum datangnya islam ke tanah air, di Indonesia ini di jumpai dua macam
peradilan, yakni Peradilan Pradata dan Peradilan Padu.3 Peradilan Pradata
mengurus masalah-masalah perkara yang menjadi urusan raja sedangkan Peradilan
Padu mengurus masalah yang tidak menjadi wewenang raja. Pengadilan pradata
apabila diperhatikan dari segi materi hukumnya bersumber hukum Hindu yang terdapat
dalam papakem atau kitab hukum sehingga menjadi hukum tertulis, sementara
Pengadilan Padu berdasarkan pada hukum Indonesia asli yang tidak tertulis.
1
Abdul Halim, Peradilan Agama Dalam Politik Hukum Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), Hal: 33
2
Cik Hasan Bisri, MS., Peradilan Agama Di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), Cet: 4, Hal: 113
3
Abdul Halim, Op. Cit.,Hal: 34
Dengan masuknya Islam di Indonesia sistem hukum Indonesia telah berubah.
Hukum Islam lebih dari sekedar pengganti. Namun, hukum hindu yang berakar pada
hukum perdata juga mencakup secara umum, itu mempengaruhi banyak aspek kehidupan
masyarakat. namun demikian hukum aslinya masih ada, tapi hukum Islam sudah dijajah
di kalangan pendukungnya, khususnya hukum keluarga (R. Tresna, 1977:17).4
Sebelum Sultan Agung menjadi Sultan Mataram, hukum Islam memiliki pengaruh
yang besar terhadap pemerintah. banyak dari mereka memeluk Hinduisme. Tepat pada
masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) Islam hidup dalam kerajaan dan
memiliki pengaruh yang besar. Pernyataan ini Dibuktikan dengan perubahan sistem
hukum di pengadilan Mataram Ancaman terhadap keamanan pemerintah. Syarat
Penghakiman atas itu adalah ciuman. terminologi bahasa yang sebenarnya asli. Kerajaan
tidak sepenuhnya menerapkan hukum pidana Islam. Hukum pidana hanya berlaku untuk
masalah bughah (pemberontakan).
Pengadilan Surambi atau Hukum Dalem Ing Surambi di Yogyakarta diketuai oleh
seorang penghulu yang disebut penghulu hakim. Sebagai ketua ia memperoleh gelar dari
Sultan: Kyai Pengulu. Kemungkinan yang menjadi penghulu pertama di Yogyakarta yang
diserahi tanggungjawab masjid adalah Kyai Penghulu Seh Abodin.5
4
Cik Hasan Bisri, MS., Op. Cit., Hal: 113.
5
G.P. Rouffaer. Vorstenlanden. Overdruk Uit Adatrechbundel XXXV, serie D, 1931, hlm. 105.
5
Dalam melaksanakan tugasnya menangani masalah-masalah yang ada di
masyarakat, penghulu hakim dibantu oleh empat orang anggota disebut pathok nagara
atau dalam bahasa halus pathok nagari. Baik penghulu hakim maupun pathok nagara
termasuk abdi dalem. Dalam perkembangan selanjutnya susunan keanggotaan ini
ditambah adanya beberapa khotib yang bertugas memberi khotbah di beberapa masjid
pada hari Jumat. Adapun kitab hukum yang dipakai sebagai acuan di samping Al Quran
dan Hadits adalah kitab-kitab fiqih yaitu Kitab Muharrar, Mahali, Tuhpah (baca: Tuhfah),
Patakulmungin (Fathulmu’in) dan Patakulwahab (Fat-hulwahab). Apabila benar
demikian, maka tugas penghulu hakim dan anggota-anggotanya yaitu pathok nagara
dengan abdi dalem di bidang hukum, keagamaan, di masyarakat sungguh tidak ringan.
6
kompetensi peradilan pradata di Mataram. Perkara-perkara tidak lagi dikirim ke
Mataram, karena belakangan kekuasaan pemerintah Mataram telah merosot. Kewenangan
absolut Peradilan Drigama adalah perkara-perkara perkawinan dan waris. Sedangkan
Peradilan Cilaga khusus menangani sengketa perniagaan. Pengadilan ini dikenal dengan
pengadilan wasit.6
e. Peradilan Agama di Banten
Sementara itu di Banten pengadilan disusun menurut pengertian Islam. Pada masa
sultan Hasanuddin memegang kekuasaan, pengaruh hukum Hindu sudah tidak berbekas
lagi. Karena di Banten hanya ada satu pengadilan yang dipimpin oleh Qodli sebagai
hakim tunggal. lain halnya dengan Cirebon yang pengadilannya dilaksanakan oleh tujuh
orang menteri yang mewakili tiga sultan yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom dan
Panembahan Cirebon. Kitab hukum yang digunakan adalah pepakem Cirebon yang
merupakankumpulan macam-macam Hukum Jawa Kuno memuat Kitab Hukum Raja
Niscaya, Undang-Undang Mataram, Jaya Lengkara, Kontra Menawa dan Adidullah.
Namun satu hal yang tidak dipungkiri bahwa pepakem Cirebon tanpa adanya pengaruh
hukum Islam. 7
Dengan berbagai ragam pengadilan itu, menunjukan posisinya yang sama yaitu
sebagai salah satu pelaksana kekuasaan raja atau sultan. Di samping itu pada dasarnya
batasan wewenang Pengadilan Agama meliputi bidang hukum keluarga, yaitu
perkawinan dan kewarisan. Dengan wewenang demikian, proses pertumbuhan dan
6
Abdul Halim, Op. Cit., hal. 43.
7
Cik Hasan Bisri, MS., Op. Cit., Hal: 115
8
Abdul Halim, Op. Cit., Hal: 45
7
perkembangan pengadilan pada berbagai kesultanan memiliki keunikan masing-masing.
Dan fungsi sultan pada saat itu adalah sebagai pendamai apabila terjadi perselisihan
hukum.
Menurut Supomo , pada masa penjajahan Belanda ada lima perintah pengadilan:
8
pengadilan yang mencakup wilayah distrik.
Pengadilan membuat kasus yang dianggap berada dalam yurisdiksinya.
Pengadilan agama mendasarkan keputusan mereka pada hukum Islam sementara
Namun hal itu tidak sepenuhnya menjadi kewenangan pengadilan agama. Dalam
hal ini, jika ada kebutuhan untuk membayar uang atau barang atau dengan barang-barang
tertentu, harus dibayar oleh Landraad (pengadilan negeri) mempertimbangkan atau
memutuskan. 10
Pengaruh hukum kolonial Belanda dianggap berpengaruh positif di satu pihak dan
negatif di pihak lain. Dampak positif yang dimaksudkan oleh penulis adalah bahwa
sejarah Peradilan Agama telah membawa proses yang sangat penting menuju
perumusan sejumlah peraturan tentang kemajuan dan kekuasaan Peradilan.
Peradilan Agama di Negara Pancasila ini . Tanpa adanya beberapa dasar hukum
yang telah ditetapkan pada zaman kolonial Belanda, maka sejarah peradilan agama tidak
mempunyai dasar hukum yang menggambarkan kondisi peradilan agama pada zaman
penjajahan yang pada akhirnya dapat membentuk undang-undang.
9
lingkupnya dan bahkan boleh dikatakan bahwa pemerintah kolonial Belanda tidak
setuju terhadap adanya Peradilan Agama, hanya saja kehadiran pemerintah kolonial
Belanda mempunyai target utama di antaranya mengeruk hasil kekayaan bumi Nusantara
dan untuk memperlancar tujuan utama para penjajah, maka mereka memberikan jalan
sedikit demi sedikit terhadap keberadaan Peradilan Agama.
Oleh sebab itu, keberadaan hukum Islam pada awal kedatangan VOC nyaris tidak
berubah seperti masa kerajaan Islam, rakyat berhak mempraktekkan hukum Islam dan
pemerintahan kerajaan Islam masih mempunyai wewenang legislatif. Selain faktor di
atas, penyebab utama kebijakan toleransi praktek hukum Islam di Indonesia adalah,
perhatian utama penjajah terhadap Islam hanya bersifat temporal dan kasuistik, yaitu
pada saat muncul alasan untuk mencemaskan pengacau ketertiban melalui peristiwa
keagamaan.
Sikap toleransi di atas, pelan tapi pasti kemudian berakhir seiring dengan
diterimanya octrooi oleh VOC dari staten general pada tahun 1602. Dalam pasal 35
octrooi, VOC berwenang mengangkat seorang perwira dalam van justitie. Pada tahun,
pengangkatan Gubernur Jenderal (walikota) pertama dan Dewan India dilakukan pada
tanggal 27 November 1609. Dewan ini juga diperintahkan untuk merundingkan kasus
perdata dan pidana.
Pengakuan ini diikuti dengan pengakuan praktik syariat Islam di daerah lain,
yakni praktik syariat Islam di masyarakat Bone dan Gowa Sulawesi Selatan.11
Tahun 1942 adalah tahun Indonesia diduduki oleh Jepang. Kebijaksanaan pertama
yang dilakukan oleh Jepang terhadap perundang-undangan dan pengadilan ialah
bahwa semua peraturan perundang-undangan yang berasal dari pemerintahan
11
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3S, 1985), h. 14
10
Belanda dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan. Peradilan Agama
tetap dipertahankan dan tidak mengalami perubahan, peradilan agama dan Kaikiooo
Kottoo Hooin untukMahkamah Islam Tertinggi, berdasarkan aturan peralihan pasal 3
bala Jepang (Osanu Seizu) tanggal 07 maret 1942 No.1.12
Pada zaman Jepang, posisi pengadilan agama tetap tidak akan berubah
kecuali terdapat perubahan nama menjadi Sooryo Hooin. Pemberian nama baru itu
didasarkan pada aturan peralihan pasal 3 Osanu Seizu tanggal 7 maret 1942 No. 1. Pada
tanggal 29 April 1942, pemerintah balatentara Dai Nippon mengeluarkan UU No. 14
tahun 1942 yang berisi pembentukan Gunsei Hoiin (pengadilan pemerintah balatentara).
Dalam pasal 3 UU ini disebutkan bahwa Gunsei Hooin terdiri dari:
Kebijaksanaan kedua yang dilakukan oleh pemerintahan Jepang adalah, pada tanggal 29
april 1942 pemerintahan bala tentara Dai Nippon mengeluarkan UU No. 14 tahun 1942
tentang pengadilan bala tentara Dai Nippon. Dalam pasal 1 disebutkan bahwa di tanah
Jawa dan Madura telah diadakan “gunsei hooin” (pengadilan pemerintahan
balatentara). 13
12
Basiq Jalil, peradilan agama di Indonesia (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), hal: 60
13
Achmad Gunaryo, Pergumulan Politik Dan Hukum Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hal: 96
11
Akan tetapi dengan menyerahnya Jepang dan Indonesia memproklamirkan
kemerdekaan pada tanggal 17 agustus 1945, maka dewan pertimbangan agung
buatanJepang itu mati sebelum lahir dan peradilan agama tetap eksis di samping
peradilan-peradilan yang lain.
BAB III
PENUTUP
12
A. Kesimpulan
Sejarah Perkembangan Peradilan Agama pada Masa Kesultanan/Kerajaan dan
Masa Penjajahan dapat di simpulkan sebagai berikut:
Bentuk-bentuk Peradilan Agama Modern merupakan mata rantai yang tidak
terputus dalam sejarah kemunculan Islam.Untuk menggambarkan kedudukan
Peradilan Agama di Indonesia, hukum Islam di Indonesia setidaknya dalam tiga
periode, yaitu Kesultanan Islam, masa penjajahan, dan masa kemerdekaan.
Pertumbuhan dan perkembangan Peradilan Agama pada masa Kesultanan
Islam bersifat pluralistic/majemuk. Keberagaman ini sebagian besar disebabkan
oleh proses Islamisasi yang dilakukan oleh para tokoh agama dan ulama
Pesantren. dan bentuk integrasi syariat Islam dengan aturan-aturan lokal yang
sudah ada dan berkembang. Keragaman yurisdiksi tergantung pada otonomi
dan pembangunan di dalam diri masing-masing Kesultanan.
Ada 5 kategori Peradilan Agama pada Masa Kolonial Belanda, yaitu : Peradilan
Gubernemen, Peradilan Peradilan Swapraja, Peradilan Agama, dan Peradilan
Desa.
Kebijaksanaan pertama yang dilakukan oleh Jepang terhadap perundang-
undangan dan pengadilan ialah bahwa semua peraturan perundang-undangan
yang berasal dari pemerintahan Belanda dinyatakan tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan. Peradilan Agama tetap dipertahankan dan tidak mengalami
perubahan, peradilan agama dan Kaikiooo Kottoo Hooin untukMahkamah Islam
Tertinggi, berdasarkan aturan peralihan pasal 3 bala Jepang (Osanu Seizu) tanggal 07
maret 1942 No.1
B. Saran
Kami menyadari bahwa makalah ini memiliki banyak kekurangan. Dengan
wawasan yang terbatas kami akan menjelaskan makalah secara fokus dan siap
mempertanggungjawabkan hasil yang kami buat. Kritik dan saran yang membangun
sangat dibutuhkan oleh kami guna menjadi lebih baik kedepannya.
13
14
DAFTAR PUSTAKA
Ridlo, M. (2021). Sejarah Perkembangan Peradilan Agama pada Masa Kesultanan dan
Penjajahan Sampai Kemerdekaan. Asy-Syari’ah: Jurnal Hukum Islam, 7(2), 152-167.
Asy-Syari’ah : Jurnal Hukum Islam Vol 7 No 2 (2021): Asy-Syari'ah: Jurnal Hukum
Islam, Juni 2021.
Achmad Gunaryo, Pergumulan Politik Dan Hukum Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar).
Basiq Jalil, peradilan agama di Indonesia (Jakarta: Prenada Media Group, 2006).
Abdul Halim, Peradilan Agama Dalam Politik Hukum Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000).
Cik Hasan Bisri, MS., Peradilan Agama Di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2003).
A. Hasyim, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: Al-Ma’arif,
1989).
15