Anda di halaman 1dari 19

Perkembangan Peradilan Agama pada

Masa Kesultanan dan Masa Penjajahan


Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Peradilan Agama
Dosen pengampu Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M. Ag. M.Si.

Disusun oleh :

Disusun :

1. Hasan Lukman (1203060049)

2. Marsa Wulan Anjani (1203060062)

3. Maryam Anggraeni (1203060063)

4. Muhammad Ibnu (1203060068)

5. Muhamad Galih Ramadhan (1203060075)

JURUSAN HUKUM PIDANA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Tuhan semesta alam. Atas
rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Sejarah
Perkembangan Peradilan Agama pada Masa Kesultanan dan Masa Penjajahan”. Shalawat
serta salam semoga tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Makalah “Sejarah Perkembangan Peradilan Agama pada Masa Kesultanan dan
Masa Penjajahan” ini membahas tentang bagaimana Sejarah perkembangan peradilan
agama pada masa kesultanan, penjajahan kolonial jepang sampai kolonial belanda.
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Peradilan Agama.
Selama penyusunan makalah ini kami mendapatkan bimbingan Bapak Dr. H.
Ramdani Wahyu Sururie, M. Ag. M.Si., selaku dosen Peradilan Agama. Kami ucapkan
terima kasih atas bimbingan serta arahan yang diberikan guna dapat menyelesaikan
makalah ini.
Demikian yang dapat kami sampaikan. Kami menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari sempurna baik dari penyusunan maupun materi yang disampaikan. Besar
harapan kami bagi pembaca untuk memberikan kritik dan saran. Semoga makalah ini
memberikan manfaat bagi berbagai pihak. Aamiin.

Bandung, 22 September 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................................i

DAFTAR ISI..................................................................................................................................ii

BAB I...............................................................................................................................................1

PENDAHULUAN..........................................................................................................................1

A. Latar Belakang....................................................................................................................1

B. Rumusan Masalah..............................................................................................................2

C. Tujuan..................................................................................................................................2

BAB II.............................................................................................................................................3

PEMBAHASAN.............................................................................................................................3

A. Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia.....................................................................3

B. Peradilan Agama pada Masa Kolonial Belanda..............................................................7

C. Peradilan Agama pada Masa Kolonial Jepang..............................................................10

BAB III.........................................................................................................................................12

PENUTUP....................................................................................................................................12

A. Kesimpulan........................................................................................................................12

B. Saran..................................................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................13

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Pembahasan sejarah peradilan agama di Indonesia berjalan beriringan dengan


Hukum Islam dan Muslim di Indonesia. Peradilan Agama berdasarkan Hukum Islam
adalah hukum yang berkembang dan tetap, sedangkan hukum islam sudah lama
dianut oleh umat Islam Indonesia. Hukum Islam berlaku di kerajaan-kerajaan Islam
masa lalu. Misalnya, Snook Fulgronje dalam bukunya De Islam in Nederlansch-Indie. Ia
mengakui bahwa itu terjadi pada abad ke-16.

Kerajaan-kerajaan Islam seperti Mataram, Banten dan Cirebon muncul dan secara
bertahap mengubah penduduknya menjadi Islam. Tentang integritas penegakan hukum
islam mendirikan Pengadilan Serambi dan Majelis Syara’. Peradilan Agama Indonesia,
selanjutnya Peradilan Agama Itu ada di berbagai kepulauan jauh dari zaman penjajahan
Belanda. Menurut para ahli sejarah, Peradilan Agama sudah ada sejak Islam masuk ke
Indonesia, masuk Indonesia melalui Tahkim, dan akhirnya pasang surut
perkembangannya sampai sekarang.

Peradilan Agama sebagai salah satu bentuk peradilan Islam di Indonesia dapat
dilihat dari berbagai perspektif. Pertama, secara filosofis, lembaga peradilan dibentuk
dan dikembangkan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Kedua, pengadilan di
lingkungan pengadilan agama menerapkan hukum Islam (dalam bidang
perkawinan, warisan, wasiat, hibah, wakaf dan shodaqoh). Ketiga, secara historis,
sejak zaman Nabi, pengadilan agama adalah salah satu dari rantai pengadilan
agama yang berkelanjutan. Keempat, Peradilan Agama secara sosiologis didukung
dan dikembangkan oleh masyarakat Islam.

Meskipun praktik-praktik diskriminatif terhadap masyarakat adat tetap ada,


Kebingungan di pengadilan agama karena berbagai ketentuan hukum apa yang diciptakan
tetap berjalan, dan eksistensi keadilan agama tetap tak tergoyahkan. Demikian jika ini
terus berlanjut, pengadilan agama akan Indonesia akan terpinggirkan dan akhirnya hilang.

1
Jadi kami mengambil kesempatan untuk berdiskusi hal ini, mari kita ulas secara singkat
sejarah peradilan agama di Indonesia, tentang perkembangan peradilan Indonesia di masa
Kesultanan Islam kolonial, Penjajahan Jepang dan Belanda.
B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas disusun rumusan masalah sebagai berikut:


1. Bagaimana Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia?
2. Bagaimana Peradilan Agama Pada Masa Kolonial Belanda?
3. Bagaimana Peradilan Agama Pada Masa Kolonial Jepang?

C. Tujuan

Tujuan Penelitian:
1. Mendeskripsikan Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia.
2. Mendeskripsikan Peradilan Agama Pada Masa Kolonial Belanda.
3. Mendeskripsikan Peradilan Agama Pada Masa Kolonial Jepang.

2
3
BAB II

PEMBAHASAN
A. Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia

Bentuk-bentuk Peradilan Agama Modern merupakan mata rantai yang tidak


terputus dalam sejarah kemunculan Islam.Untuk menggambarkan kedudukan Peradilan
Agama di Indonesia, hukum Islam di Indonesia setidaknya dalam tiga periode, yaitu
Kesultanan Islam, masa penjajahan, dan masa kemerdekaan. Setiap era memiliki ciri
khas tersendiri yang menggambarkan naik turunnya pemikiran hukum Islam di
Indonesia.1
a. Peradilan Agama pada masa Kesultanan Islam
Pertumbuhan dan perkembangan Peradilan Agama pada masa Kesultanan Islam
bersifat pluralistic/majemuk. Keberagaman ini sebagian besar disebabkan oleh proses
Islamisasi yang dilakukan oleh para tokoh agama dan ulama Pesantren. dan bentuk
integrasi syariat Islam dengan aturan-aturan lokal yang sudah ada dan berkembang.
Keragaman yurisdiksi tergantung pada otonomi dan pembangunan di dalam diri masing-
masing Kesultanan. Selanjutnya, dapat dilihat pada susunan pengadilan dan hierarkinya,
kekuasaan pengadilan dalam hubungannya dengan kekuasaan pemerintahan umum, dan
sumber legislatif dalam menerima dan menyelesaikan perkara yang diajukan ke
pengadilan.2

Dulu sebelum datangnya islam ke tanah air, di Indonesia ini di jumpai dua macam
peradilan, yakni Peradilan Pradata dan Peradilan Padu.3 Peradilan Pradata
mengurus masalah-masalah perkara yang menjadi urusan raja sedangkan Peradilan
Padu mengurus masalah yang tidak menjadi wewenang raja. Pengadilan pradata
apabila diperhatikan dari segi materi hukumnya bersumber hukum Hindu yang terdapat
dalam papakem atau kitab hukum sehingga menjadi hukum tertulis, sementara
Pengadilan Padu berdasarkan pada hukum Indonesia asli yang tidak tertulis.

1
Abdul Halim, Peradilan Agama Dalam Politik Hukum Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), Hal: 33
2
Cik Hasan Bisri, MS., Peradilan Agama Di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), Cet: 4, Hal: 113
3
Abdul Halim, Op. Cit.,Hal: 34
Dengan masuknya Islam di Indonesia sistem hukum Indonesia telah berubah.
Hukum Islam lebih dari sekedar pengganti. Namun, hukum hindu yang berakar pada
hukum perdata juga mencakup secara umum, itu mempengaruhi banyak aspek kehidupan
masyarakat. namun demikian hukum aslinya masih ada, tapi hukum Islam sudah dijajah
di kalangan pendukungnya, khususnya hukum keluarga (R. Tresna, 1977:17).4

b. Peradilan Islam di Kerajaan Mataram

Sebelum Sultan Agung menjadi Sultan Mataram, hukum Islam memiliki pengaruh
yang besar terhadap pemerintah. banyak dari mereka memeluk Hinduisme. Tepat pada
masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) Islam hidup dalam kerajaan dan
memiliki pengaruh yang besar. Pernyataan ini Dibuktikan dengan perubahan sistem
hukum di pengadilan Mataram Ancaman terhadap keamanan pemerintah. Syarat
Penghakiman atas itu adalah ciuman. terminologi bahasa yang sebenarnya asli. Kerajaan
tidak sepenuhnya menerapkan hukum pidana Islam. Hukum pidana hanya berlaku untuk
masalah bughah (pemberontakan).

Dengan munculnya Mataram sebagai Kesultanan/Kerajaan Islam, Di bawah


pemerintahan Sultan Agung, perubahan mulai dilakukan pada system keadilan dengan
memasukkan unsur hukum dan ajaran Islam bagaimana memasukkan Muslim ke
pengadilan yang beradab. tetapi, Setelah masyarakat dianggap siap dan memahami
kebijakan diambil alih oleh Sultan Agung dan kemudian mengubah peradilan pradata
yang ada Peradilan Surambi dan lembaga ini bukanlah basis langsung di bawah
seorang raja tetapi dipimpin oleh seorang ulama. Ketua Pengadilan, surambi ada di
tangan Sultan, tapi realita ada di tangan Sultan Penghulu didampingi oleh beberapa ulama
yang terkait dengan Pesantren sebagai anggota parlemen. sultan tidak pernah
memutuskannya bertentangan dengan rekomendasi pengadilan Surambi.

Pengadilan Surambi atau Hukum Dalem Ing Surambi di Yogyakarta diketuai oleh
seorang penghulu yang disebut penghulu hakim. Sebagai ketua ia memperoleh gelar dari
Sultan: Kyai Pengulu. Kemungkinan yang menjadi penghulu pertama di Yogyakarta yang
diserahi tanggungjawab masjid adalah Kyai Penghulu Seh Abodin.5

4
Cik Hasan Bisri, MS., Op. Cit., Hal: 113.
5
G.P. Rouffaer. Vorstenlanden. Overdruk Uit Adatrechbundel XXXV, serie D, 1931, hlm. 105.

5
Dalam melaksanakan tugasnya menangani masalah-masalah yang ada di
masyarakat, penghulu hakim dibantu oleh empat orang anggota disebut pathok nagara
atau dalam bahasa halus pathok nagari. Baik penghulu hakim maupun pathok nagara
termasuk abdi dalem. Dalam perkembangan selanjutnya susunan keanggotaan ini
ditambah adanya beberapa khotib yang bertugas memberi khotbah di beberapa masjid
pada hari Jumat. Adapun kitab hukum yang dipakai sebagai acuan di samping Al Quran
dan Hadits adalah kitab-kitab fiqih yaitu Kitab Muharrar, Mahali, Tuhpah (baca: Tuhfah),
Patakulmungin (Fathulmu’in) dan Patakulwahab (Fat-hulwahab). Apabila benar
demikian, maka tugas penghulu hakim dan anggota-anggotanya yaitu pathok nagara
dengan abdi dalem di bidang hukum, keagamaan, di masyarakat sungguh tidak ringan.

c. Peradilan Islam di Kerajaan Aceh

Di Aceh, sistem peradilan yang berdasarkan hukum Islam menyatu dengan


pengadilan negeri, yang mempunyai tingkatan-tingkatan;

a) Dilaksanakan di tingkat kampung yang dipimpin keucik. Peradilan ini hanya


menangani perkara-perkara yang tergolong ringan. Sedangkan perkara-perkara berat
diselesaikan oleh Balai Hukum Mukim.
b) Apabila yang berperkara tidak puas dengan keputusan tingkat pertama, dapat
mengajukan banding ke tingkat yang ke dua yakni Oeloebalang.
c) Bila pada tingkat Oeloebalang juga dianggap tidak dapat memenuhi keinginan
pencari keadilan, dapat mengajukan banding ke pengadilan tingkat ke tiga yang
disebut panglima sagi.
d) Seandainya keputusan panglima sagi tidak memuaskan masih dapat mengajukan
banding kepada sultan yang pelaksanaannya oleh Mahkamah agung yang terdiri
anggotanya malikul adil, orang kaya sri paduka tuan, orang kaya raja bandara, dan
fakih (ulama). Sitem peradilan di Aceh sangat jelas menunjukkan hirarki dan
kekuasaan absolutnya.
d. Peradilan Islam di Periangan (Cirebon)
Di Cirebon atau Priangan terdapat tiga bentuk peradilan; Peradilan Agama,
Peradilan Drigama, dan Peradilan Cilaga. Kompetensi Peradilan Agama adalah perkara-
perkara yang dapat dijatuhi hukuman badan atau hukum mati, yaitu yang menjadi absolut

6
kompetensi peradilan pradata di Mataram. Perkara-perkara tidak lagi dikirim ke
Mataram, karena belakangan kekuasaan pemerintah Mataram telah merosot. Kewenangan
absolut Peradilan Drigama adalah perkara-perkara perkawinan dan waris. Sedangkan
Peradilan Cilaga khusus menangani sengketa perniagaan. Pengadilan ini dikenal dengan
pengadilan wasit.6
e. Peradilan Agama di Banten

Sementara itu di Banten pengadilan disusun menurut pengertian Islam. Pada masa
sultan Hasanuddin memegang kekuasaan, pengaruh hukum Hindu sudah tidak berbekas
lagi. Karena di Banten hanya ada satu pengadilan yang dipimpin oleh Qodli sebagai
hakim tunggal. lain halnya dengan Cirebon yang pengadilannya dilaksanakan oleh tujuh
orang menteri yang mewakili tiga sultan yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom dan
Panembahan Cirebon. Kitab hukum yang digunakan adalah pepakem Cirebon yang
merupakankumpulan macam-macam Hukum Jawa Kuno memuat Kitab Hukum Raja
Niscaya, Undang-Undang Mataram, Jaya Lengkara, Kontra Menawa dan Adidullah.
Namun satu hal yang tidak dipungkiri bahwa pepakem Cirebon tanpa adanya pengaruh
hukum Islam. 7

f. Peradilan Agama di Sulawesi

Di Sulawesi integrasi ajaran Islam dan lembaga-lembaganya dalam pemerintahan


kerajaan dan adat lebih lancar karena peranan raja. Di Sulawesi, kerajaan yang mula-
mula menerima Islam dengan resmi adalah kerajaan Tallo di Sulawesi Selatan. Kemudian
disusul oleh kerjaan Goa yang merupakan kerajaan terkuat dan mempunyai pengaruh
dikalangan masyarakatnya. Sementara itu di beberapa wilayah lain; seperti Kalimantan
Selatan dan Timur, dan tempat-tempat lain, para hakim agama di angkat sebagai
penguasa setempat.8

Dengan berbagai ragam pengadilan itu, menunjukan posisinya yang sama yaitu
sebagai salah satu pelaksana kekuasaan raja atau sultan. Di samping itu pada dasarnya
batasan wewenang Pengadilan Agama meliputi bidang hukum keluarga, yaitu
perkawinan dan kewarisan. Dengan wewenang demikian, proses pertumbuhan dan
6
Abdul Halim, Op. Cit., hal. 43.
7
Cik Hasan Bisri, MS., Op. Cit., Hal: 115
8
Abdul Halim, Op. Cit., Hal: 45

7
perkembangan pengadilan pada berbagai kesultanan memiliki keunikan masing-masing.
Dan fungsi sultan pada saat itu adalah sebagai pendamai apabila terjadi perselisihan
hukum.

B. Peradilan Agama pada Masa Kolonial Belanda

Dengan masuknya Islam ke Indonesia, sistem hukum telah mengalami perubahan.


Hukum Islam tidak hanya menggantikan hukum Hindu yang diwujudkan dalam hukum
perdata tetapi juga memasukkan pengaruhnya dalam berbagai aspek kehidupan
masyarakat pada umumnya. Pada masa kolonial awal, setiap pengadilan negeri ditempati
oleh pengadilan agama dengan ukuran yang sama, meskipun yurisdiksi pengadilan agama
baru yang dikenal sebagai "Priestraad" berada di bidang perkawinan dan warisan.9

Menurut Supomo , pada masa penjajahan Belanda ada lima perintah pengadilan:

a. Peradilan Gubernemen, tersebar diseluruh daerah Hindia Belanda.


b. Peradilan Pribumi tersebar di luar Jawa dan Madura, yaitu di karesidenan Aceh,
Tapanuli, Sumatera Barat, Jambi, Palembang, Bengkulu, Riau, Kalimantan Barat,
Kalimantan Selatan dan Timur, Manado, dan Sulawesi, Maluku dan di Pulau Lombok
dari karesidenan Bali dan Lombok.
c. Peradilan Swapraja, tersebar hampir diseluruh daerah Swapraja kecuali di
Pakualaman dan Pontianak.
d. Peradilan Agama tersebar di daerah-daerah tempat kedudukan peradilan
Gubernemen, di daerah-daerah dan menjadi bagian dari bagian Peradilan Pribumi,
atau di daerahdaerah Swapraja dan menjadi bagian dari Peradilan Swapraja.
e. Peradilan Desa tersebar di daerah-daerah tempat berkedudukan peradilan
Gubernemen. Disamping itu ada juga peradilan desa yang merupakan bagian dari
Peradilan Pribumi Atau Peradilan Swapraja.

Dengan adanya ketentuan ini maka telah terjadi perubahan-perubahan penting di


lingkungan Peradilan Agama saat ini, yaitu:

 Reorganisasi pada dasarnya membentuk pengadilan agama baru di samping landraad


(pengadilan negeri) dengan wilayah hukum yang sama, rata-rata .
9
A. Hasyim, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: Al-Ma’arif, 1989), h. 35.

8
 pengadilan yang mencakup wilayah distrik.
 Pengadilan membuat kasus yang dianggap berada dalam yurisdiksinya.
 Pengadilan agama mendasarkan keputusan mereka pada hukum Islam sementara

Landraad mendasarkan keputusan mereka pada hukum adat. Kewenangan


Pengadilan Agama Jawa dan Madura didasarkan pada ketentuan baru Pasal 2a,
Pasal yang meliputi hal-hal sebagai berikut:

1. Perselisihan antara suami dan istri Muslim.


2. Masalah pernikahan, perceraian, referensi dan perceraian antara Muslim
membutuhkan mediasi seorang hakim Muslim.
3. Melanjutkan perceraian
4. Menyatakan bahwa syarat-syarat penangguhan perceraian (ta'liq al-thalaq) telah
dipenuhi.
5. Masalah mahar atau mas kawin.
6. Keadaan-keadaan wajib dalam kehidupan istri yang harus dipenuhi oleh suami.

Namun hal itu tidak sepenuhnya menjadi kewenangan pengadilan agama. Dalam
hal ini, jika ada kebutuhan untuk membayar uang atau barang atau dengan barang-barang
tertentu, harus dibayar oleh Landraad (pengadilan negeri) mempertimbangkan atau
memutuskan. 10

Pengaruh hukum kolonial Belanda dianggap berpengaruh positif di satu pihak dan
negatif di pihak lain. Dampak positif yang dimaksudkan oleh penulis adalah bahwa
sejarah Peradilan Agama telah membawa proses yang sangat penting menuju
perumusan sejumlah peraturan tentang kemajuan dan kekuasaan Peradilan.

Peradilan Agama di Negara Pancasila ini . Tanpa adanya beberapa dasar hukum
yang telah ditetapkan pada zaman kolonial Belanda, maka sejarah peradilan agama tidak
mempunyai dasar hukum yang menggambarkan kondisi peradilan agama pada zaman
penjajahan yang pada akhirnya dapat membentuk undang-undang.

Sedangkan dampak negatif yang telah ditimbulkannya pemerintah kolonial


Belanda adalah bahwa umat Islam pada zaman tersebut sangat dibatasi ruang
10
Supomo, Sejarah Politik Hukum Adat, (Jakarta: Pradya Paramita, 1982), h. 20-21.

9
lingkupnya dan bahkan boleh dikatakan bahwa pemerintah kolonial Belanda tidak
setuju terhadap adanya Peradilan Agama, hanya saja kehadiran pemerintah kolonial
Belanda mempunyai target utama di antaranya mengeruk hasil kekayaan bumi Nusantara
dan untuk memperlancar tujuan utama para penjajah, maka mereka memberikan jalan
sedikit demi sedikit terhadap keberadaan Peradilan Agama.

Oleh sebab itu, keberadaan hukum Islam pada awal kedatangan VOC nyaris tidak
berubah seperti masa kerajaan Islam, rakyat berhak mempraktekkan hukum Islam dan
pemerintahan kerajaan Islam masih mempunyai wewenang legislatif. Selain faktor di
atas, penyebab utama kebijakan toleransi praktek hukum Islam di Indonesia adalah,
perhatian utama penjajah terhadap Islam hanya bersifat temporal dan kasuistik, yaitu
pada saat muncul alasan untuk mencemaskan pengacau ketertiban melalui peristiwa
keagamaan.

Sikap toleransi di atas, pelan tapi pasti kemudian berakhir seiring dengan
diterimanya octrooi oleh VOC dari staten general pada tahun 1602. Dalam pasal 35
octrooi, VOC berwenang mengangkat seorang perwira dalam van justitie. Pada tahun,
pengangkatan Gubernur Jenderal (walikota) pertama dan Dewan India dilakukan pada
tanggal 27 November 1609. Dewan ini juga diperintahkan untuk merundingkan kasus
perdata dan pidana.

Akibatnya, beberapa wilayah VOC di nusantara memberlakukan unifikasi hukum,


meskipun dalam perkembangan selanjutnya, unifikasi hukum gagal. Menyusul kekalahan
ini, pada tahun 1642, VOC menegakkan statuta Batavia dan memberikan legitimasi
hukum bagi praktik berbagi warisan Islam di masyarakat Indonesia.

Pengakuan ini diikuti dengan pengakuan praktik syariat Islam di daerah lain,
yakni praktik syariat Islam di masyarakat Bone dan Gowa Sulawesi Selatan.11

C. Peradilan Agama pada Masa Kolonial Jepang

Tahun 1942 adalah tahun Indonesia diduduki oleh Jepang. Kebijaksanaan pertama
yang dilakukan oleh Jepang terhadap perundang-undangan dan pengadilan ialah
bahwa semua peraturan perundang-undangan yang berasal dari pemerintahan
11
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3S, 1985), h. 14

10
Belanda dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan. Peradilan Agama
tetap dipertahankan dan tidak mengalami perubahan, peradilan agama dan Kaikiooo
Kottoo Hooin untukMahkamah Islam Tertinggi, berdasarkan aturan peralihan pasal 3
bala Jepang (Osanu Seizu) tanggal 07 maret 1942 No.1.12

Pada zaman Jepang, posisi pengadilan agama tetap tidak akan berubah
kecuali terdapat perubahan nama menjadi Sooryo Hooin. Pemberian nama baru itu
didasarkan pada aturan peralihan pasal 3 Osanu Seizu tanggal 7 maret 1942 No. 1. Pada
tanggal 29 April 1942, pemerintah balatentara Dai Nippon mengeluarkan UU No. 14
tahun 1942 yang berisi pembentukan Gunsei Hoiin (pengadilan pemerintah balatentara).
Dalam pasal 3 UU ini disebutkan bahwa Gunsei Hooin terdiri dari:

a. Tiho hooin (pengadilan negeri)


b. Keizai hooin (hakim poloso)
c. Ken hooin (pengadilan kabupaten)
d. Kaikioo kootoo hoin (mahkamah Islam tinggi)
e. Sooryoo hoon (raad agama)

Kebijaksanaan kedua yang dilakukan oleh pemerintahan Jepang adalah, pada tanggal 29
april 1942 pemerintahan bala tentara Dai Nippon mengeluarkan UU No. 14 tahun 1942
tentang pengadilan bala tentara Dai Nippon. Dalam pasal 1 disebutkan bahwa di tanah
Jawa dan Madura telah diadakan “gunsei hooin” (pengadilan pemerintahan
balatentara). 13

Pada masa pendudukan Jepang kedudukan pengadilan agama pernah terancam


yaitu tatkala pada akhir Januari 1945 pemerintah bala tentara Jepang (guiseikanbu)
mengajukan pertanyaan pada Dewan Pertimbangan Agung (Sanyo-Aanyo Kaigi
Jimushitsu) dalam rangka Jepang akan memberikan kemerdekaan pada bangsa Indonesia
yaitu bagaimana sikap dewan ini terhadap susunan penghulu dan cara mengurus kas
masjid, dalam hubungannya dengan kedudukan agama dalam negara Indonesia merdeka
kelak.

12
Basiq Jalil, peradilan agama di Indonesia (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), hal: 60
13
Achmad Gunaryo, Pergumulan Politik Dan Hukum Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hal: 96

11
Akan tetapi dengan menyerahnya Jepang dan Indonesia memproklamirkan
kemerdekaan pada tanggal 17 agustus 1945, maka dewan pertimbangan agung
buatanJepang itu mati sebelum lahir dan peradilan agama tetap eksis di samping
peradilan-peradilan yang lain.

BAB III

PENUTUP

12
A. Kesimpulan
Sejarah Perkembangan Peradilan Agama pada Masa Kesultanan/Kerajaan dan
Masa Penjajahan dapat di simpulkan sebagai berikut:
 Bentuk-bentuk Peradilan Agama Modern merupakan mata rantai yang tidak
terputus dalam sejarah kemunculan Islam.Untuk menggambarkan kedudukan
Peradilan Agama di Indonesia, hukum Islam di Indonesia setidaknya dalam tiga
periode, yaitu Kesultanan Islam, masa penjajahan, dan masa kemerdekaan.
 Pertumbuhan dan perkembangan Peradilan Agama pada masa Kesultanan
Islam bersifat pluralistic/majemuk. Keberagaman ini sebagian besar disebabkan
oleh proses Islamisasi yang dilakukan oleh para tokoh agama dan ulama
Pesantren. dan bentuk integrasi syariat Islam dengan aturan-aturan lokal yang
sudah ada dan berkembang. Keragaman yurisdiksi tergantung pada otonomi
dan pembangunan di dalam diri masing-masing Kesultanan.
 Ada 5 kategori Peradilan Agama pada Masa Kolonial Belanda, yaitu : Peradilan
Gubernemen, Peradilan Peradilan Swapraja, Peradilan Agama, dan Peradilan
Desa.
 Kebijaksanaan pertama yang dilakukan oleh Jepang terhadap perundang-
undangan dan pengadilan ialah bahwa semua peraturan perundang-undangan
yang berasal dari pemerintahan Belanda dinyatakan tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan. Peradilan Agama tetap dipertahankan dan tidak mengalami
perubahan, peradilan agama dan Kaikiooo Kottoo Hooin untukMahkamah Islam
Tertinggi, berdasarkan aturan peralihan pasal 3 bala Jepang (Osanu Seizu) tanggal 07
maret 1942 No.1

B. Saran
Kami menyadari bahwa makalah ini memiliki banyak kekurangan. Dengan
wawasan yang terbatas kami akan menjelaskan makalah secara fokus dan siap
mempertanggungjawabkan hasil yang kami buat. Kritik dan saran yang membangun
sangat dibutuhkan oleh kami guna menjadi lebih baik kedepannya.

13
14
DAFTAR PUSTAKA
Ridlo, M. (2021). Sejarah Perkembangan Peradilan Agama pada Masa Kesultanan dan
Penjajahan Sampai Kemerdekaan. Asy-Syari’ah: Jurnal Hukum Islam, 7(2), 152-167.
Asy-Syari’ah : Jurnal Hukum Islam Vol 7 No 2 (2021): Asy-Syari'ah: Jurnal Hukum
Islam, Juni 2021.
Achmad Gunaryo, Pergumulan Politik Dan Hukum Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar).
Basiq Jalil, peradilan agama di Indonesia (Jakarta: Prenada Media Group, 2006).
Abdul Halim, Peradilan Agama Dalam Politik Hukum Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000).
Cik Hasan Bisri, MS., Peradilan Agama Di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2003).
A. Hasyim, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: Al-Ma’arif,
1989).

15

Anda mungkin juga menyukai