Anda di halaman 1dari 9

KEJAHATAN GENOSIDA

Muhammad Galih Ramadhan, Muhammad Ilham Sabila, Nisa Fitri Andriyani


Prodi Hukum Pidana Islam, Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Sunan Gunung Djati
Bandung. Jl A.H Nasution No.105, Cibiru, Bandung 40614
muhamadgalih.r@gmail.com ilhamsabilaa@gmail.com

ABSTRAK
Perang adalah kondisi di mana salah satu pihak menundukkan lawannya untuk memenuhi
keinginannya, suatu tindakan fisik atau non fisik antara dua atau lebih kelompok manusia
bertujuan untuk menguasai. Rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana peran Hukum
Pidana Internasional dalam penegakkan hukum dalam kejahatan perang terhadap
kemanusiaan dan bagaimana tanggungjawab negara dalam kejahatan perang terhadap
kemanusiaan dalam Hukum Pidana Internasional. Metode penelitian ini menggunakan jenis
penelitian hukum normatif dengan melakukan asesmen berdasarkan bahan hukum dari
literatur dan merupakan proses untuk menemukan rule of law, asas hukum, dan doktrin hukum
untuk menjawab permasalahan hukum yang dihadapi. Kejahatan perang dan kejahatan
terhadap kemanusiaan adalah dua jenis kejahatan internasional yang ada dalam dua puluh
jenis kejahatan internasional yang dirancang oleh ILC (International Law Commission) untuk
merancang pembentukan pengadilan pidana internasional. Kesimpulan dari penelitian ini
adalah peran Hukum Pidana Internasional dalam kejahatan perang terhadap kemanusiaan
dapat disimpulkan bahwa yang terkandung dalam konvensi-konvensi yang terdapat dalam
Hukum Humaniter Internasional hanya memuat perintah atau larangan saja tetapi hukum
pidana internasional berperan dalam memberikan sanksi pidana terhadap pelanggaran.

Kata Kunci: Penegakkan hukum; Kejahatan internasional; Penjahat Perang; Kemanusiaan

ABSTRACT
War is a condition in which one party subdues his opponent to fulfill his wish, a physical or non-
physical act between two or more groups of people aimed at dominating. The formulation of
this research problem is how the role of International Criminal Law in law enforcement in war
crimes against humanity and how the state is responsible for war crimes against humanity in
International Criminal Law. This research method uses a type of normative legal research by
conducting an assessment based on legal material from the literature and is a process to find
the rule of law, legal principles, and legal doctrine to answer legal problems faced. War crimes
and crimes against humanity are two types of international crimes that exist in the twenty
types of international crimes designed by the ILC (International Law Commission) to design the
establishment of an international criminal tribunal. The conclusion of this research is that the
role of International Criminal Law in war crimes against humanity can be concluded that the

1
conventions contained in International Humanitarian Law only contain orders or prohibitions,
but international criminal law plays a role in providing criminal sanctions for violations.

Keywords: Law enforcement; International crimes; War Criminal; Humanity

PENDAHULUAN
Tindak pidana Internasional atau International Crime sudah membawa dampak yang lebih luas,
tidakhanya sekedar perubahan substansi, melainkan menyangkut masalah siapa yang dapat
dimintaipertanggungjawaban dalam hal terjadinya International Crime tersebut. Apalagi
pelakunya tidakhanya orang perorangan atau kelompok melainkan sebuah negara merdeka
dan berdaulat (seperti dalam kasus terjadinya gerakan terorisme internasional). Cassese (2005)
berpendapat bahwa Hukum Pidana Internasional adalah sekumpulan aturan Hukum
Internasional yang melarang kejahatan-kejahatan internasional dan membebankan kewajiban
kepada negara-negara untuk menuntut dan menghukum sekurang-kurangnya beberapa bagian
dari kejahatan-kejahatan itu. Di dalamnya juga mengatur prosedur untuk menuntut dan
mengadili orang-orang yang dituduh melakukan kejahatan itu. Tindak pidana internasional
yang lahir dari sejarah perkembangan konvensi mengenai hak asasi manusia merupakan
konsekuensi logis akibat Perang Dunia II yang meliputi bukan hanya korban-korban perang
mereka yang termasuk combatant, melainkan juga korban penduduk sipil (non-combatant)
yang harusnya dilindung dalam suatu perperangan. Salah satu dari tindak pidana internasional
ini ialah crime of genocide atau kejahatan genosida sesuai dengan deklasrasi PBB tanggal 11
Desember 1946 yang menetapkan genosida sebagai kejahatan menurut hukuminternasional.
Yang menjadi inti dari pembahasan pada menulisan ini adalah jenis tindak pidanainternasional
kejahatan perang (war crime) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity)
yang disimpulkan menjadi kejahatanperang terhadap kemanusiaan karena keduanya saling
berkaitan dan kejahatan perang juga melanggar nilai-nilai kemanusiaan dan tentunya hukum
pidanainternasional mempunya aturan yang mengatur terhadap dua jenis tindak pidana
internasional itu.

2. METEDOLOGI
Penelitian ini bersifat normatif analisis. Dengan menggunakan metode normatif analisis yang
dimana mampu untuk memecahkan suatu permasalahan dengan cara, menjabarkan atau
mendeskripsikan, mengilustrasikan, menguraikan dan mengamati sebuah situasi dan kondisi
suatu obyek permasalahan dari sudut pandang penulis atas dasar hasil yang ditelaah dengan
penunjang Pustaka dan doktrinal (doctrinal research).

3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A. Pengertian Kejahatan Perang
Perang merupakan suatu keadaan yang tidak pernah diharapkan bahkan dibenci oleh
setiap manusia. Keadaan perang yang dimaksud, yaitu perang yang membawa kesengsaraan
bagi semua pihak ataupun memakan banyak korban luka dan mati akibat perang tersebut.
Keadaan itulah yang mengancam keselamatan kehidupan manusia dan juga dapat

2
diperlakukan secara tidak manusiawi oleh pihak musuh. Menurut Oppenheim-Lauterpacht
(dalam Haryomataram,1988:19) menyatakan definisi perang adalah: “war is a contention
between two or more states through their armed forces, for the purpose of overpowering each
other and imposing such conditions of peace as the victor pleases”. 1

Sedangkan pemahaman mengenai kejahatan perang (war crime) adalah suatu tindakan
pelanggaran, dalam cakupan hukum internasional terhadap hukum perang oleh satu atau
beberapa orang, baik militer maupun sipil. Pelaku kejahatan perang disebut sebagai penjahat
perang (Turangan, 2011:5).

Kejahatan perang meliputi semuapelanggaran yang telah ditentukan di dalam hukum


perang, dan juga mencakup kegagalan untuk tunduk pada norma dan aturan-aturan
pertempuran. Sebagai contoh, melakukan penyerangan kepada pihak yang telah mengibarkan
bendera putih yang merupakan tanda sebagai bendera perdamaian. 2

B. DASAR HUKUM
Pengaturan tentang kejahatan perang tertuang di dalam Konvensi Jenewa 1949.
Konvensi Jenewa adalah serangkaian aturan untuk memperlakukan warga sipil, tawanan
perang, dan tentara yang berada dalam kondisi tidak mampu tempur, sejauh ini ada 196 negara
yang sudah menandatangani dan meratifikasi Konvensi Jenewa 1949.

Dalam Konvensi Jenewa terdapat pada Pasal 50 menyatakan bahwa: “Pelanggaran-


pelanggaran berat (grave breaches) yang dimaksudkan oleh pasal-pasal terdahulu adalah
pelanggaran-pelanggaran yang meliputi perbuatan-perbuatan berikut, apabila dilakukan
terhadap orang atau milik yang dilindungi oleh Konvensi: pembunuhan disengaja,
penganiayaan atau perlakuan tidak berperikemanusiaan, termasuk percobaan-percobaan
biologis, menyebabkan dengan sengaja penderitaan besar atau luka berat atas badan atau
kesehatan, serta penghancuran yang luas dan tindakan perampasan atas harta benda yang
tidak dibenarkan oleh kepentingan militer dan yang dilaksanakan dengan melawan hukum
serta dengan semena-mena.”3

Selain dalam Pasal 50 Konvesi Jenewa 1949 “grave breaches” juga diatur dalam Pasal 85
Protokol Tambahan 1977. Dari pasal tersebut yang perlu dikemukakan adalah ayat (1), yang
menyatakan:“Ketentuan-ketentuan Konvensi tentang penindakan terhadap pelanggaran dan
pelanggaran berat yang ditambah dengan bagian ini, akan berlaku terhadap penindakan
pelanggaran dan pelanggaran-pelanggaran berat Protokol ini.” 4

Dijelaskan pula dalam ayat (5), yang menyatakan:

1
Anis Widyawati, 2014, Hukum Pidana
2
Ibid hal 72
3
21 Pasal 50 Konvensi Jenewa 1949
4
22 Anis Widyawati, 2014, Op.Cit, hal.75

3
“Tanpa mengurangi penerapan Konvensi dan Protokol ini, pelanggaran-pelanggaran berat atas
piagam-piagam tersebut harus disebut kejahatan perang.”Berdasarkan uraian pasal tersebut
dapat disimpulkan bahwa pelanggaran-pelanggaran berat/grave breaches yang dicantumkan
baik dalam Konvensi Jenewa maupun Protokol Tambahan 1977, dapat dianggap sebagai
kejahatan perang (war crimes)

C. FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KEJAHATAN GENOSIDA


Suatu konflik dapat dimanifestasikan dalam bentuk-bentuk yang berbeda dan terjadi
dalam keadaan-keadaan yang berbeda pula. Dalam situasi konflik-konflik di Afrika, konflik-
konflik dapat dibagi dalam beberapa jenis, yaitu konflik pribadi dan individu, antara dua
individu dan konflik-konflik “Kumunal” yaitu konflik-konflik antara marga (dan), kelompok-
kelompok etnis, suku-suku (tribes), kelompok-kelompok agama atau antar daerah. ketika suatu
kelompok mengangkat senjata dalam menentang negara, hal ini disebut pemberontakan.
Sedangkan konflik antara dua orang individu sering dipicu oleh masalah etnis atau marga. 5
Konflik-konflik tersebut, biasanya berkepanjangan dan menimbulkan korban yang banyak
diantara masyarakat.

Menurut Kiplagat, di antara 53 negara di benua Afrika, ada 35 negara anggota Organisasi
Persatuan Afrika-OAU (Organization of African Unity) yang menderita konflik. Mayoritas dari
konflik adalah kategori pemberontakan menentang negara, yang diorganisir oleh kelompok-
kelompok yang berbasis kedaerahan, ideologi, ras atau etnis yang mengangkat senjata
melawan pemerintah/Negara. (Rebellions against the state, organized by groups based on
region, ideology, race or ethnicity who take up arms against the state). 6 Konflik-konflik
tersebut, bukan hanya terjadi di benua Afrika, tetapi juga diseluruh belahan dunia.

Berikut beberapa diantaranya faktor penyebab terjadinya kejahatan genosida:

a.)Latar belakang suku

Fearon & Laitin, yang mengutip Collier, menyebutkan bahwa penyebab perang etnik, yang “a
combination of economic, greed and political ineptitude, rather than religious, ethnic o other
forms of grievance, that accounts for the rise of civil violence”. 7

Jadi, konflik etnis, selain disebabkan oleh pertentangan etnis (dan agama), juga banyak dipicuh
oleh masyarakat sipil. Sedangkan Duncan dan Holfman menyebutkan bahwa penyebab konflik
etnis adalah proliferasi senjata, ekonomi, dan perkembangan politik demokratis melalui

5
Bethuel Kiplagat, “Role of Religion in Conflict Resolution. Relationship between State
and Religious of Organization”, dalam Institut Universitaire de Hautes Etudes Internationales,
“Religion, Politics, Conflict and Humanitarian Action Faith-Based Organizations as Political,
Humanitarian or Religious Actors”, May 18-19, Geneva, 2005, hlm. 4
6
Ibid
7
James D. Fearon and David D. Laitin, “Ethnicity, Insurgency, and Civil War,” American
Political Science Review 97.1 (Feb. 2003), hlm. 75-90

4
disintegrasi sosial.8 Penyebab konflik menurut Duncan dan Holfman tersebut, lebih
dititikberatkan pada faktor politis dan kebijakan pemerintah.

Masalah diskriminasi etnis, ekslusivitas dari proses-proses pembangunan, pelanggaran-


pelanggaran hak-hak minoritas, yang dihubungkan dengan ekslusivitas masyarakat Tamil dari
pembagian kekuasaan Negara pada pemerintahan pusat adalah persoalan ikutan. Kedua, apa
yang biasanya dipahami sebagai akar penyebab konflik hanyalah merupakan bagian dari
perjuangan dari konflik. Identifikasi dari dinamika-dinamika dan konsekwensi-konsekwensi dari
konflik pada dasarnya sama pentingnya. Sebagai contoh, perkembangbiakan konflik melalui
siklus kekerasan yang berlarut-larut, merupakan dinamika besar dari konflik. Dengan cara yang
sama, perang yang telah menjadi masalah kemanusiaan yang termasuk pengungsian massal,
penghancuran kehidupan dan harta benda dan juga infrastruktur sosial dan ekonomi di bagian
Utara dan Timur Srilanka. Perang dan kekerasan yang berlarut-larut juga telah membekukan
identitas etnis, penguatan permusuhan diantara masyarakat etnis, telah membentuk kantong
etnik di suatu daerah.9

Di beberapa negara di Afrika, yang secara kebetukan komposisi komunitas adalah multi etnis,
salah satu penyebab konflik etnis hingga berkepanjangan, adalah politik pemecah belah
yangdilakukan oleh penjajah, sama seperti yang terjadi di Sri Lanka. Konflik-konflik tersebut
cenderung tidak dapat dikontrol dan menimbulkan pertumpahan darah.

b.) Latar belakang Agama

Sama seperti latar belakang suku/etnis, agama juga menjadi pemicu terjadinya konflik. Little
mengidentifikasi 3 wilayah khusus dalam mana agama dan keluhan-keluhan lain berhubungan
dengan menjadi penyebab intensitas konflik, yaitu

(1) membantu melegitimir kaum insurgensi;

(2) membantu dan merekrut kaum insurgensi

(3) memperkenalkan obyek-obyek kritis dan wilayah-wilayah sengketa, seperti penempatan


tempat-tempat yang suci, dan akomodasi bagi keyakinan dan praktek agama. 10

Sejak dikenalnya agama, perang telah terjadi. Sampai sekarang ini, banyak kekerasan yang
terjadi dalam konflik berhubungan dengan elemen-elemen agama, yang juga berhubungan
dengan etno-nasional, antar Negara, ekonomi, wilayah, kebudayaan, dan masalah-masalah
lainnya. Konflik-konflik yang didasarkan pada agama cenderung menjadi berlanjut, dan
menjadi bermacam-macam perang yang brutal. Ketika konflik-konflik ditulis dalam istilah
agama, konflik tersebut ditransformasikan dalam konflik-konflik nilai.
8
Raymond, Duncan W., and Paul Holman Jr., eds. Ethnic Nationalism and Regional
Conflict – The Former Soviet Union and Yugoslavia, Boulder, CO:Westview, 1994.
9
Jayadewa Uyangoda, “Sri Lanka’s Ethnic Conflict: Root Causes”, Departemen of
Political Science and Public Policy, University of Colombo, 2000, hlm.1.
10
David Little, “Religion, Conflict, and Peace” dalam Institut Universitaire de Hauter
Etudes Internationales, hlm. 17.

5
Berbeda dengan persoalan-persoalan lain seperti konflik sumberdaya alam, yang dapat
diselesaikan dengan cara prakmatis atau distributive, konflik nilai memiliki kecenderungan
untuk menjadi ditentukan secara bersama. Konflik-konflik tersebut meminta pembenaran-
pembenaran yang kuat mengenai apa yang baik dan salah, dan para pihak yakin bahwa tidak
akan ada dasar bersama untuk menyelesaikan perbedaan diantara mereka. Sejak konflik Utara-
Selatan di Sudan mengemuka dalam cara-cara agama, mereka mengembangkan kesamaan
yang dalam dari konflik-konflik nilai yang nampak tidak dapat diselesaikan, kecuali melalui
kekerasan atau pemisahan (unresolved except by force or separation). 11

Pendapat-pendapat tersebut di atas menyebutkan bahwa ada 3 penyebab utama konflik


dengan latar belakang agama, yaitu, politik dan kebijakan negara, Fanatisme dan tidak
diakomodasinya suatu agama, yang kemudian ke semuanya melahirkan konflik.

c.) Latar belakang Rasia

Kasus apartheid untuk pertama kali mencuat di Afrika Selatan. Kasus apartheid bermula dari
penemuan ladang berlian oleh Inggris dan Belanda pada abad ke-17. Sesudah
kemerdekaannya, ada dua kelompok yang kemudian membagi kekuasaannya atas Afrika
Selatan, yang kemudian dimenangkan oleh Partai Nasionalis. Untuk melanggengkan
kekuasaannya, Partai ini kemudian melakukan strategi dengan menciptakan apartheid sebagai
suatu cara untuk mempererat kontrol mereka atas system ekonomi dan sosial. Pada
permulaannya, tujuan dari apartheid adalah untuk mempertahankan dominasi kulit putih yang
pada saat yang sama memperluas pemisahan rasial. Kemudian pada permulaan Tahun 1960-
an, pimpinan Negara menciptakan dan memberlakukan suatu rencana yang dinamakan “Grand
apartheid” yang menekankan pada pemisahan territorial dan kebijakan represif.

Dengan menetapkan Undang-undang Apartheid, diskriminasi rasial menjadi dilembagakan.


Undang-undang rasial tersebut menyentuh tiap aspek kehidupan sosial, termasuk larangan
perkawinan antara kulit putih dan yang bukan kulit putih, dan menetapkan hanya kepada kulit
putih yang menduduki jabatan kenegaraan. Juga, pemerintah menetapkan Undang-undang
Pendaftaran Penduduk yang mensyaratkan bahwa seluruh rakyat Afrika Selatan secara rasial
diklasifikasikan ke dalam tiga kategori, yaitu kulit putih, kulit hitam (Afrika) dan berwarna
(campuran), yang biasanya berasal dari India dan Asia umumnya. 12

D. Beberapa peristiwa kejahatan genosida di dunia

1.) Nazi v Yahudi

Holocaust merupakan penganiayaan dan pembantaian sistematis yang disokong negara


terhadap enam juta orang Yahudi Eropa oleh rezim Nazi Jerman dan sekutu serta para kaki
tangannya. Holocaust merupakan proses yang terus berkembang dan terjadi di seluruh Eropa
antara tahun 1933 dan 1945.

11
Hizkias Assefa., “Religion in the Sudan: Exacerbating Conflict or Facilitating
Reconciliation” Bulletin of Peace Proposals, Vol. 21 No. 3, 1990, hlm.6
12
Bethuel Kiplagat, Op Cit. hlm. 2.

6
Pada saat itu Nazi Jerman dan sekutu serta para kaki tangannya menerapkan berbagai
kebijakan dan tindakan anti-Yahudi. Semua kebijakan ini bervariasi dari satu tempat ke tempat
lain. Jadi, tidak semua orang Yahudi mengalami Holocaust dengan cara yang sama. Tetapi
dalam semua kasus, jutaan orang dianiaya hanya karena mereka diidentifikasi sebagai orang
Yahudi Di seluruh wilayah yang dikuasai dan dijadikan sekutu oleh Jerman, penganiayaan
terhadap kaum Yahudi terjadi dalam berbagai bentuk:

-Diskriminasi hukum dalam bentuk undang-undang antisemitisme. Ini termasuk Undang-


Undang Ras Nuremberg dan banyak undang-undang diskriminatif lainnya

- Berbagai bentuk identifikasi dan pengucilan publik. Ini termasuk propaganda antisemit,
boikot bisnis milik orang Yahudi, penghinaan publik, dan penandaan wajib (seperti lencana
bintang Yahudi yang dikenakan sebagai ban lengan atau pada pakaian).

- Kekerasan terorganisasi. Contoh yang paling menonjol adalah “Malam Kristal” (Kristallnacht).
Ada juga insiden dan pogrom terpisah lainnya (kerusuhan dengan kekerasan).

- Pemindahan fisik. Para pelaku menggunakan emigrasi paksa, permukiman kembali,


pengusiran, deportasi, dan ghettoisasi untuk secara fisik menggusur individu dan komunitas
Yahudi.

- Penahanan. Para pelaku menahan orang-orang Yahudi di ghetto yang penuh sesak, kamp
konsentrasi, dan kamp kerja paksa, sehingga banyak yang meninggal karena kelaparan,
penyakit, dan kondisi tidak manusiawi lainnya.

- Pencurian dan penjarahan yang meluas. Penyitaan properti, harta benda pribadi, dan barang
berharga milik orang Yahudi merupakan bagian penting dari Holocaust

- Kerja paksa. Orang Yahudi harus melakukan kerja paksa untuk mendukung upaya perang
Kubu Poros atau untuk memperkaya organisasi Nazi, militer, dan/atau bisnis swasta.

Banyak orang Yahudi yang tewas akibat kebijakan ini. Namun demikian, mulai tahun
1941, para pemimpin Nazi memutuskan untuk melaksanakan pembantaian massal terhadap
orang-orang Yahudi Eropa. Mereka menyebut rencana ini sebagai “Solusi Akhir untuk
Persoalan Yahudi.”

Solusi Akhir untuk Persoalan Yahudi” Nazi (“Endlösung der Judenfrage”) adalah
pembantaian massal yang disengaja dan sistematis terhadap kaum Yahudi Eropa. Itu adalah
tahap terakhir dari Holocaust dan berlangsung dari tahun 1941 hingga 1945. Meskipun banyak
orang Yahudi yang tewas sebelum “Solusi Akhir" dimulai, sebagian besar korban Yahudi
dibantai selama periode ini. Sebagai bagian dari “Final Solution” (Solusi Akhir), Nazi Jerman
melakukan pembantaian massal dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ada dua
metode utama pembantaian. Salah satu caranya adalah penembakan massal. Unit pasukan
Jerman melakukan penembakan massal di pinggiran desa, kota kecil dan besar dan di seluruh
wilayah Eropa timur. Metode lainnya adalah membuat korban sesak napas dengan gas
beracun. Operasi pembantaian dengan gas dilakukan di pusat-pusat pembantaian dan dengan
mobil van gas

7
2.) Suku hutu v. Suku Tutsi (Rwanda)

Pada 7 April 1994 Rwanda menorehkan catatan kelam yang melibatkan konflik antaretnis
ini. Dalam waktu 100 hari, sekitar 800.000 orang dibantai oleh ekstremis etnis Hutu yang
merupakan etnis mayoritas di negara tersebut. Etnis Tutsi yang jumlahnya lebih sedikit menjadi
bulan-bulanan dan target kekerasan. Namun, tidak hanya komunitas Tutsi yang jadi korban.
Lawan-lawan politik para pembantai, apa pun asal etnis mereka, turut diseret dalam
pembunuhan ini.

3.) Pembantaian bangsa Bosnia oleh Serbia

Perang Bosnia berawal dari keruntuhan Yugoslavia pada tahun 1991. Dalam buku Sejarah
Eropa: Dari Eropa Kuno hingga Eropa Modern (2012) karya Wahjudi Djaja, pasca keruntuhan
Yugoslavia, kehidupan politik dan ekonomi dari negara-negara bawahannya kehilangan arah.

Latar belakang terjadinya perang Bosnia, sebagai berikut:

- Perbedaan etnis, budaya dan agama antara Bosnia dan Serbia

- Dominasi Serbia terhadap kehidupan sosial, ekonomi dan politik terhadap masyarakat Bosnia

- Letak Bosnia yang strategis dalam konteks kegiatan ekonomi dan politik

Pada 1 Maret 1992, Bosnia dan Hezergovina memutuskan untuk menjadi negara
berdaulat melalui referendum. Proklamasi Bosnia dan Hezergovina mendapatkan pengakuan
internasional dan pada 22 Mei 1992 mereka resmi menjadi negara anggota PBB. Pada
pertengahan tahun 1992, etnis Serbia mulai melancarkan serangan terhadap kota-kota besar
Bosnia. Peristiwa penyerangan ini pada perkembangannya menjadi upaya genosida terhadap
etnis muslim Bosnia

Puncak dari perang Bosnia terjadi pada bulan Juli 1995. Etnis Serbia melakukan pembantaian
massal terhadap lebih dari 8.000 masyarakat sipil Islam Bosnia pada tanggal 11-22 Juli 1995.

PBB dan NATO sebagai organisasi keamanan internasional berusaha untuk menyelesaikan
Perang Bosnia. Pada bulan Agustus hingga September 1995, PBB dan NATO melakukan
serangan udara besar-besaran untuk menghentikan kekejaman etnis Serbia. perang Bosnia
berakhir melalui perjanjian damai Dayton yang diselenggarakan pada 21 November 1995 13.

13
Dalam jurnal Perang Bosnia : Konflik Etnis Menuju Kemerdekaan tahun 1991-1995 (2014) karya Sri
Sumartini

8
Perjanjian Dayton mengatur pembagian wilayah Bosnia yang dibagi menjadi dua negara yaitu,
Republik Srpska dan Federasi Bosnia-Hezergovina.

SIMPULAN

Kejahatan perang adalah suatu tindakan pelanggaran, dalam cakupan hukum internasional,
terhadap hukum perang oleh satu atau beberapa orang, baik militer maupun sipil. Pelaku
kejahatan perang ini disebut penjahat perang. Setiap pelanggaran hukum perang pada konflik
antar bangsa merupakan kejahatan perang. Pelanggaran yang terjadi pada konflik internal
suatu negara, belum tentu bisa dianggap kejahatan perang. Pengaturan tentang kejahatan
perang tertuang di dalam Konvensi Jenewa 1949. Konvensi Jenewa adalah serangkaian aturan
untuk memperlakukan warga sipil, tawanan perang, dan tentara yang berada dalam kondisi
tidak mampu tempur, sejauh ini ada 196 negara yang sudah menandatangani dan meratifikasi
Konvensi Jenewa 1949. Yang melatar belakangi terjadinya kejahatan genosida adalah
suku/etnis, agama, dan rasia.

DAFTAR PUSTAKA

Sari Indah,2021, Tinjauan Yuridis Hubungan kejahatan perang dan Hukam Humaniter
Interbasional, Fakultas Hukum, Universitas Dirgantara Marsekal Suryadarma Jakarta.

Muhammad Fadil, Sudini Luh Putu, Sujana I Nyoman, 2020, Penegakan Hukum Pidana
Internasional Dalam Kejahatan Perang terhadap Kemanusiaan, Fakultas Hukum, Universitas
Warmadewa Denpasar Bali.

Mumtazinur, 2018, Kejahajatan terhadap Kemanusiaan dan Pelanggaran Hukum Humaniter


Internasioanal (konversi janewa 1949), Unniversitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh

Npvina Veronica, Swardhana Gde Mage, 2020, Yuridiksi International Criminal Law Tribunal For
Rwanda dalam mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan dan Genosida, Program kekhususan
Hukum Internasional dan Hukum Bisnis Internasional.

Hafidh Prasetyo Muljono, 2020, Kejahatan Genosida dalam Perspektif Hukum Pidana
Internasional, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Anda mungkin juga menyukai