Anda di halaman 1dari 5

KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (CRIME AGAINT HUMANITY)

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Pidana Internasional

Dosen Pengampu :
Dr. Mas Putra Zeno, S.H., M.H.

Disusun Oleh :
Susilo Adi Wibowo
214301168
Kelas C

SEKOLAH TINGGI HUKUM BANDUNG


2022
1. Kejahatan terhadap kemanusiaan

 Definisi

Kejahatan terhadap umat manusia adalah istilah di dalam hukum internasional yang mengacu
pada tindakan pembunuhan massal dengan penyiksaan terhadap tubuh dari orang-orang, sebagai
suatu kejahatan penyerangan terhadap yang lain. Para sarjana Hubungan internasional telah secara
luas menggambarkan "kejahatan terhadap umat manusia" sebagai tindakan yang sangat keji, pada
suatu skala yang sangat besar, yang dilaksanakan untuk mengurangi ras manusia secara
keseluruhan. Biasanya kejahatan terhadap kemanusian dilakukan atas dasar kepentingan politis,
seperti yang terjadi di Jerman oleh pemerintahan Hitler serta yang terjadi di Rwanda dan Yugoslavia
Diatur dalam Statuta Roma dan diadopsi dalam Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang
pengadilan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Menurut UU tersebut dalam pasal 9 dan juga
sebagaimana diatur dalam pasal 7 Statuta Roma, definisi kejahatan terhadap kemanusiaan ialah
salah satu perbuatan yang lakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang
diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:

 Pembunuhan;
 Pemusnahan;
 Perbudakan;
 Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
 Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang
yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
 Penyiksaan;
 Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan,
pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang
setara;
 Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari
persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan
lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum
internasional;
 Penghilangan orang secara paksa; atau
 Kejahatan apartheid.
A. Kejahatan Kemanusiaan

Walaupun Konvensi Genosida tidak melingkupi seluruh kekejaman yang dilakukan oleh
kelompok Khmer Merah, pimpinan kelompok Khmer merah tetap dapat dituntut dengan delik
kejahatan terhadap kemanusiaan. Piagam Mahkamah Militer Internasional mengenal beberapa jenis
kekejaman terhadap peradaban sebagaimana kejahatan kemanusiaan. Walaupun Konvensi Genosida
hanya berfokus pada kejahatan yang ditujukan terhadap kelompok tertentu, pengertian yang lebih
luas tentang kejahatan kemanusiaan dapat dikembangkan melalui praktik negara-negara dalam
hukum kebiasaan internasional.
Beberapa pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan muncul dari hukum nasional beberapa
negara, dalam Statuta Mahkamah Pidana PBB terkait kejahatan yang dilakukan pada bekas negara
Yugoslavia dan Rwanda, Rancangan Ketentuan Pidana Internasional yang disusun oleh Komisi
Hukum Internasional PBB, dan terkahir dalam Statuta Mahkamah Pidana Internasional (ICC).
Pengertian ini memberikan beberapa kriteria yang dapat digunakan terhadap Kasus Khmer Merah.
Contohnya, Pasal 6 (c) Piagam Nuremberg menyebutkan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan
termasuk dalam kategori tindakan yang “in execution of or in connection with any crime within
jurisdiction of the Tribunal.” Maksudnya bahwa tindakan yang dilakukan harus terkait dengan
kejahatan terhadap perdamaian atau kejahatan perang, sehingga terkait juga dengan kejahatan
dalam konflik bersenjata. Jika unsur ini menjadi bagian dari hukum kebiasaan internasional selama
masa kekejaman Khmer Merah, maka asas nullum crimen sine lege akan memerlukan hubungan
antara kekejaman mereka dengan konflik bersenjata.
Ketika negara-negara dan NGO menyusun Rancangan Statuta ICC, mereka setuju untuk
menjelaskan pengertian-pengertian genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan
perang. Berikut pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan menurut Pasal 7 Statuta ICC1 :
1. os sytematic attack directed against any civilian population, with knowledge of the
attack:
(a) Murder;
(b) Extermination;
(c) Enslavement;
(d) Deportation or forcible transfer of population;
(e) Imprisonment or other severe deprivation of physical liberty in violation of
fundamental rules of international law;
(f) Torture;
(g) Rape, sexual slavery, enforced prostitution, forced pregnancy, enforced sterilization,
or any other form of sexual violence of comparable gravity;
(h) Persecution against any identifiable group or collectivity on political, racial, national,
ethnic, cultural, religious, gender as defined in paragraph 3, or other grounds that
are universally recognized as impermissible under international law, in connection
with any act referred to in this paragraph or any crime within the jurisdiction of the
Court;
(i) Enforced disappearance of persons;
(j) The crime of apartheid;
(k) Other inhumane acts of a similar character intentionally causing great suffering, or
serious injury to body or mental or physical health.

Maksud dari “attack directed against any civilian population” adalah tindakan yang melibatkan
beberapa bagian atau unsur sebagaimana disebutkan dalam ayat (1) di atas terhadap populasi
penduduk, yang dilakukan berdasarkan kebijakan negara ataupun kelompok tertentu. Statuta ini
hampir mencakup seluruh kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti pembunuhan, perbudakan,
pemindahan penduduk secara paksa, penyiksaan, perkosaan, pelecehan seksual, kehamilan paksa,
sterilisasi secara paksa, penindasaan terhadap hak-hak politik, ras, etnis, budaya, agama, dan
penculikan. Dalam Statuta ini semakin jelas bahwa kekejaman yang dilakukan oleh Khmer Merah
dapat dikategorikan dalam beberapa delik, sehingga tidak ada kemungkinan untuk berkelit dari
tuntutan, walaupun tidak memenuhi unsur-unsur kejahatan perang, kejahatan genosida, namun
masih bisa dituntut dengan menggunakan kejahatan terhadap kemanusiaan.

B. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari penelitian yang telah dilakukan, penulis dapat memnarik kesimpulan yang
sebagai berikut:

1. Peran ICC dalam penyelesaikan kejahatan internasional di Darfur Republik Sudan telah melakukan
beberapa tindakan. Pertama, ICC telah melakukan penyidikan terhadap kejahatan yang terjadi di
Darfur setelah diajukan oleh Dewan Keamanan PBB pada bulan Maret tahun 2005. Dalam
peniyidikan ini, ada tiga kejahatan yang terjadi antara lain, kejahatan genosida (Pasal 6), kejahatan
terhadap kemanusiaan (Pasal 7), dan kejahatan perang (Pasal 8). Tidak hanya menghasilkan
beberapa tindak kejahatan, tetapi juga menguak para pelaku kejahatan yang diduga berperan
melakukan kejahatan tersebut. Pelaku kejahatan tersebut menyeret para pejabat Pemerintah
Republik Sudan yaitu, Presiden Sudan Omar Hasan Al-Bashir, Menteri Masalah Kemanusiaan Ahmad
Harun, Pemimpin Milisi Janjaweed Ali Kushayb, dan Menteri Pertahanan Abdel Rahim M Husein.
Semua proses penyidikan yang telah dilaksanakan oleh ICC dilakukan atas dasar peraturan yang
ditetapkan dalam Statuta Roma tahun 1998 sebagai dasar hukum pelaksanaan peran ICC. Setelah
penetapan tersangka, ICC harus mengeluarkan surat penahanan atau pemanggilan yang berdasarkan
pada Pasal 58 Statuta, tetapi hingga dua kali surat tersebut dilayangkan tidak ada tanggapan dari
para tersangka sehingga proses tersebut belum terlaksana.

2. Dalam penyelesaian kejahatan internasional oleh ICC yang terjadi di Darfur memerlukan suatu
tanggung jawab dan kewajiban negara dalam penegakan hukumnya. Prinsip pertanggung jawaban
negara yang terjadi di Darfur merupakan prinsip oroginal responsibility yang mana pertanggung
jawaban negara yang lahir karena adanya tindakan individu yang dilarang oleh hukum. Tindakan
tersebut merupakan tindakan yang lahir dari para pejabat negara atau pemerintah itu sendiri
sehingga dalam hukum pidana internasional hak impunitas tidak berlaku, karena semua orang
mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum. Sejatinya pertanggung jawaban negara dan
kewajiban negara tidak dapat dituntut secara pidana hanya berlaku kepada individu atau
perseorangan, tetapi pertanggung jawaban dan kewajiban tersebut dapat dimintai dengan cara ICC
meminta kerja sama kepada negara pihak atau negara terkait yang diatur dalam pasal-pasal Statuta
Roma. Kerja sama tersebut merupakan kerja sama dalam penyerahan seseorang yang diduga
melakukan kejahatan serta melakukan penahanan terhadap tersangka.

C. Saran
Dalam hal ini beberapa permasalahan dan kendala yang timbul, memerlukan suatu pembaharuan.
Penulis memberikan beberapa saran dalam rangka mencapai cita hukum yang diinginkan oleh
masyarakat terhadap peranan pengadilan pidana internasional terhadap kejahatan internasional,
sebagai berikut:

1. Dalam penyelesaian kejahatan internasional, ICC harus melaksanakan perannya sesuai dengan
yang diatur dalam Statuta Roma. Bahkan ICC harus meluruskan dan memperbaiki sistem
peradilannya dan mempertergas setiap aturan yang telah termaktub dalam Statuta Roma sehingga
memberikan peradilan yang adil dan mempunyai putusan yang mengikat. Sehingga tidak adanya
kendala dalam setiap proses yang akan dilakukan.

2. Tanggung jawab dan kewajiban dari suatu negara sangat diperlukan bagi ICC untuk melaksanakan
perannya dalam menyelesaikan kejahatan internasional. Tanggung jawab dan kewajiban negara ini
harus dipertegas oleh ICC, agar setiap negara melaksanakan peranya dalam menyelesaikan
kejahatan internasional. Sehingga tidak ada negara yang tidak menanggapi permintaan ini, jika perlu
diadakannya suatu aturan yang mengatur tentang hukuman bagi negara yang tidak menanggapi
permintaan kerja sama oleh ICC sebagai bentuk kerja sama dalam menyelesaikan kejahatan
internasional.

Anda mungkin juga menyukai