Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH KELOMPOK

PELANGGARAN HAM BERAT

Mata Kuliah : Hukum Pidana Khusus

Disusun Oleh :

AMIR

AYU

RIKA

AWALUDIN

PROGRAM STUDI HUKUM JINAYAH


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) NATUNA
Komplek Natuna Gerbang Utaraku, Ranai

TAHUN AKADEMIK 2020 M. / 1441 H.


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya

sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Pelanggaran HAM Berat ini

tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada

mata kuliah Hukum Pidana Khusus. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah

wawasan tentang Pelanggaran HAM Berat bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada bapak dosen, selaku dosen pembimbing

dalam mata kuliah ilmu tauhid yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah

pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi

sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh

karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan

makalah ini.

Ranai, 16 Juni 2020


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara hukum adalah negara yang dalam menjalankan sitemnya berdasarkan

atas hukum yang berlaku berdasarkan kepentingan umum serta bebas dari kesewenag-

wenangan penguasa. Dalam penyelenggaraannya negara haruslah bertumpu pada

demokrasi. Karena jika negara hukum tanpa demokrasi sama dengan hilangnya

maksud atau makna dari negara hukum tersebut.

Menurut Franz Magnis Suseno Hak Asasi Manusia ialah hak-hak yang sudah

dimiliki pada setiap manusia danbukan karena diberikan oleh masyarakat. Bukan

karena hukum positif yangberlaku, namun dengan berdasarkan martabatnya sebagai

seorang manusia.

Indonesia sebagai negara hukum sudah memiliki dasar hukumya begitu juga

dengan pengaturan tentang hak asasi. Mengenai dasar negara hukum sudah diatur

dalam ketentuan Pasal 1 UUD Negara Republik Indonesia serta mengenai Hak Asasi

Manusia diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia, kemudian dalam UUD RI 1945 diatur pada pasal 27 ayat 3, 28 A sampai J,

serta Pasal 30 ayat 1.

Bahwa setiap upaya penegakan HAM pasti tidak selalu berjalan dengan lancar.

Di dalamnya pasti terdapat sebuah pelanggaran HAM. Menurut UU No 26 Tahun

2000 tentang Pengadilan HAM pelanggaran HAM adalah “setiap perbuatan seseorang

atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja atau kelalaian yang

secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut Hak Asasi

Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan
tidak didapatkan, atau dikhawatirksn tidak akan memperoleh penyelesaian hukum

yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku”.

Tahapan penyelidikan dalam pelanggaran hak asasi manusia adalah

kewenangan Komnas HAM berdasarkan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 yang

hasilnya selalu merekomendasikan adanya pelanggaran HAM. Komnas HAM dalam

menjalankan perannya melakukan penyelidikan terhadap kasus-kasus pelanggaran

HAM yang dibuktikan dengan rekomendasirekomendasi Komnas HAM dalam kasus-

kasus pelanggaran hak asasi manusia.1

B. Identifikasi Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan pelanggaran HAM berat ?

2. Apa saja macam dari pelanggaran HAM berat ?

3. Apa saja subjek yang menjadi pelanggaran HAM berat ?

1
Muhammad Rizky Widhiarto, Eddy Riffa’i, Tri Andrisman. ANALYSIS OF CRIMINAL
ACCOUNTABILITY MILITARY SUPERIORS THE COMMISSION OF A CRIME AGAINST HUMAN
RIGHTS ABUSES HEAVILY. Unila. hlm5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Pelanggaran HAM berat

Pelanggaran HAM berat belum mendapatkan kesepakatan yang diterima

secara umum. Biasanya kata “berat”menerangkan kata “pelanggaran, yaitu merupakan

betapa seriusnya pelanggaran yang dilakukan. Akan tetapi, kata “berat: juga

berhubungan dengna jenis-jenis HAM yang dilanggar. Pelanggaran HAM terjadi jika

yang dilanggar adalah hak-hak berjenis non-derogable.2

Adapun unsur-unsur yang menyertai dari pelanggaran berat HAM dilakukan

secara sistematis dan bersifat meluas. Secara sistematis dapat diartikan hal tersebut

dilakukan sebagai suatu kebijakan yang sebelumnya tidak direncanakan.

Cecilia Medina Quiroga menjelaskan istilah pelanggaran HAM berat sebagai

sutau pelanggaran yang mengarah kepada pelanggaran-pelanggaran, sebagai alat bagi

pencapaian dari kebijakan-kebijakan pemerintah yang dilakukan dalam kuantitas

tertentu dan dalam suatu cara untuk menciptakan situasi untuk hidup, hak atas

integrasi pribadi atau hak atas jebebasan pribadi dari penduduk (population) secara

keseluruhan atau satu atau lebih dari sektor-sektor dari penduduk suatu Negara secara

terus-menerus dilanggar atau diancam.3

Dalam sumber hukum yang terdapat diatas dapat ditemui pengertian mengenai

Pelanggaran HAM berat yakni dalam Statuta Roma 1998 yang istilahnya The Most

Serious Crime, Rome Statute Art. 5: the most serious crimes of concern to the

international community as a whole: This Statute with respect to the following crimes:

2
Ifdal Kashim. Prinsip-prinsip Van Boven, Mengenai Korban Pelanggaran HAM Berat, Elsam, Jakarta, 2002,
hlm. xxiii
3
Cecilia Medina Quiroga, The Battle of Human Right: Gross, Systematic Violations dalam Muladi,
Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habib Center, Jakarta, 2002 hlm.
75.
(i) The crime of genocide; (ii) Crimes against humanity; (iii) War crimes; (iv) The

crime of aggression.

Dalam penjelasan pasal 104 UU No.39 tahun 1999 menyatakan bahwa

pelanggaran HAM berat adalah :

“Pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang wenang atau diluar putusan

pengadilan (arbitrary/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara

paksa, perbudakan, diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic

discrimination)

Dalam pasal 1 ayat (2) UU. No.26 tahun 2000

“Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pelanggaran hak asasi manusia

sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini. Pelanggaran hak asasi manusia

yang berat meliputi: a. kejahatan genosida; b. kejahatan terhadap kemanusiaan.”

Dalam UU No.26 tahun 2000 tidak menjelaskan mengenai pelanggaran HAM

berat, namun hanya menyebutkan kategori yang masuk dalam pelanggaran HAM

berat. Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma 1998 yang mayoritas isinya memuat

pelanggaran HAM berat namun dalam UU. No.26 tahun 2000 isinya Indonesia

banyak mendaopsi dari Statuta Roma 1998 namun tidak semuanya diambil seperti

pada jenis pelanggaran HAM berat, dalam Statuta Roma, pelanggaran HAM berat

terdiri dari Kejahatan Genosida, Kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang

dan kejahatan agresi. Sedangkan, dalam UU. No. 26 tahun 2000 jenis kejahatan

terhadap kemanusiaan adalah Kejahatan Genosida dan kejahatan terhadap

kemanusiaan.

Pasal 8 UU.No. 26 tahun 2000, Kejahatan genosida yakni setiap perbuatan

yang dilakukan dengan maksud untuk mengahancurkan atau memusnahkan seluruh


atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis dan kelompok agama, dengan

cara :

a) Membunuh anggota kelompok

b) Menagkibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-

anggota kelompok

c) Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan

kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagian

d) Memaksakan tindakan tindakan yang bertujuan memaksakan kelahiran didalam

kelompok dan

e) Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

Selanjutnya, yang dimaksud dengan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah

menurut pasal 9 Undang Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi

Manusia : “ salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang

meluas dan sistemik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara

langsung terhadap penduduk sipil berupa:

a) Pembunuhan

b) Pemusnahan

c) Perbudakan

d) Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa

e) Perampasan kemerdekaan atau perampasan secara fisik lain secara sewenang-

wenang melanggar asas ketentuan pokok hukum internasinal

f) Penyiksaan

g) Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaann kehamilan,

pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual

lain yang setara


h) Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari

persamaan paham politik,ras, kebangsaan, etnis,budaya, agama, jenis kelamin

atau alasan lain yang telah diakui secarauniversal sebagai hal yang dilarang

menurut hukum internasional.

i) Penghilangan orang secara paksa, atau

j) Kejahatan apartheid

Kejahatan perang sebagaimana telah ditentukan dalam Konvensi Jenewa yang

telah diratifikasi sejak tahun 1958, telah dicoba diakomodir dalam Rancangan Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Tahun 2004, yang substansinya

dirumuskan mulai dari Pasal 392 sampai dengan Pasal 395.4

Pelanggaran HAM berat termasuk pula dalam kategori extra ordinary crima

berdasrkan dua alasan, yaitu pola tindak pidana yang sangar sistematis dan di lakukan

oleh pihak pemegang kekuasaan, sebagai kejahatan tersebut baru bisa diadili jika

kekuasaan itu runtuh dan kejahatan tersebut sangat mencederai rasa keadilan secara

mendalam (dilakukan dengan cara-cara yang mengurangi atau menghilanngkan

derajat kemanusiaan).5 Pelanggaran HAM seperti pembunuhan, penyiksaan dan

penghilangan paksa, misalnya adalah pelanggaran HAM yang dilarang oleh hukum

internasional dan hokum kebiasaan internasional.6

Oleh karena itu kalau RUU KUHP disahkan, maka peradilan nasional dapat

mengadili setiap perbuatan yang dilarang oleh hukum internasional. Dengan kata

lain, apabila setiap perbuatan kejahatan perang tersebut dilakukan oleh warga negara

Indonesia atau terjadi di Indonesia tidak perlu menunggu peradilan pidana

4
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, (2004), hal.
95-99.
5
Muchamad Ali Syafa’at, Tindak Pidana Teror: Belenggu Baru Bagi Kemerdekaan, dalam F.Budi Hadirman, et
al. Terorisme Definisi, Aksi dan Regulasi, Imprasial, Jakarta, 2003, hlm. 63.
6
Todung Mulya Lubis, Jalan Panjang Hak Asis Manusia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005 hlm. 29
internasional mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat seperti yang diatur

dalam Statut Roma.7

Kemudian mengenai kejahatan agresi tidak disebutkan pengertian atau batas-

batasannya dalam Statuta Roma 1998, karena ketika perumusan Statuta Roma 1998

dilaksanakan telah terjadi perdebatan mengenai batas pengertiannya dan elemen-

elemen kejahatan agresi, dan ketika itu berkembang pandangan berupa: thec crimes

aggression” adalah the mother of crimes, karena dengan dilakukannya agresi

menimbulkan kejahatan-kejahatan lain yang mengikutinya.8 oleh karena itu setelah 7

(tujuh) tahun kemungkinan dapat dilakukan amandemen, dengan syarat harus

mendapat persetujuan dua pertiga dari anggota majelis negara pihak.9

B. Mekanisme Pengadilan Pelanggaran HAM Berat

Pada kasus pelanggaran terhadap Hak Asasi manusia yang berat dapat

dilakukan oleh Pengadilan Nasional maupun melalui Pengadilan Internasional

( Internasional Criminal Court). Mula-mula terjadi suatu pelanggaran HAM berat

kemudian Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengusulkan kepada

Presiden bahwa terdapat kasus pelanggaran HAM berat lalu setelah itu Presiden

mengeluarkan Kepres yang berisi penetapan bahwa kasus tersebut merupakan kasus

pelangaran HAM berat (Pasal 43 ayat [2] UU 26/2000), lalu dibentuk pengadilan

HAM Ad hoc (Apabila kasus tersebut terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 26

tahun 2000 diundangkan ) atau diadili di Pengadilan HAM (apabila kasus tersebut

terjadi sesudah Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 diundangkan), apabila

Pengadilan Nasional tersebut unable/unwilling dalam menangani kasus pelanggaran

7
Rina Rusman, Kejahatan Perang dan Beberapa Masalah Rumusannya Dalam Hukum Pidana Nasional, Jurnal
Hukum Humaniter, Juli 2005, vol. 1, No. 1, hal. 100
8
H. Suwardi Martowinoto, Ulasan Hukum Mengenai International Criminal Court, Varia Peradilan, Jakarta,
April, 2000, Edisi XV No. 175, hal. 109.
9
Jerry Fowler, Kata Pengantar Statuta Roma Tentang Mahkamah Pidana Internasional: KeadilanBagi Generasi
Mendatang, Dalam Statuta Roma, Elsam, Jakarta, 2000, hal. viii
HAM berat tersebut maka Mahkamah Pidana Internasional akan mengambil alih

kasus tersebut. Namun terhadap pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Nomor 26 tahun

2000 ketentuan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc melalui usul DPR pernah

dimohonkan pengujian materi kepada Mahkamah Konstitusi oleh Eurico Guterres.

Hasilnya, melalui Putusan MK No. 18/PUU-V/2007 Mahkamah Konstitusi

menyatakan bahwa penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU 26/2000 sepanjang mengenai

kata “dugaan” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki

kekuatan hukum mengikat. Jadi, dengan adanya putusan MK tersebut dimaksudkan

agar DPR tidak boleh serta merta menduga sendiri bahwa peristiwa tersebut

merupakan kasus pelanggaran hak asasi manusia berat tanpa memperoleh hasil

penyelidikan dan penyidikan dari Komnas HAM dan Kejaksaan Agung.

Beberapa aturan beracara baru yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 26

Tahun 2000 dan mengecualikan aturan yang sama dalam KUHAP10, diantaranya:

a) pembentukan penyelidik ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut ad hoc dan hakim ad

hoc.

b) penyelidik hanya dilakukan oleh komnas HAM sedangkan penyidik tidak

diperkenankan menerima laporan atau pengaduan sebagaimana diatur dalam

KUHAP

c) diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu melakukan penyidikan,

penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan

d) ketentuan mengenai korban dan saksi.

Disini akan diuraikan mengenai proses hukum dalam hal terjadinya pelanggaran

hak asasi manusia yang berat, yang dimulai dari penyelidikan yakni serangkaian

tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan ada tidaknya suatu peristiwa

10
Rhona K.M Smit, Hukum dan Hak Asasi Manusia , Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia,
Yogyakarta, 2008 hlm 309-310
yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat guna

ditindaklanjuti dengan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam

Undang-undang ini. Yang bertindak sebagai penyelidik dalam kasus pelanggaran hak

asasi manusia berat adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau yang disebut

dengan KOMNAS HAM. Berdasarkan pasal 19 Undang-Undang No.26 Tahun 2000

KOMNAS HAM berwenang:

1. melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam

masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat

pelanggaran hak asasi manusia yang berat;

2. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang atau kelompok orang tentang

terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat, serta mencari keterangan

dan barang bukti;

3. memanggil pihak pengadu, korban, atau pihak yang diadukan untuk diminta dan

didengar keterangannya

4. memanggil saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya;

5. meninjau dan mengumpulkan keterangan di tempat kejadian dan tempat lainnya

yang dianggap perlu;

6. memanggil pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau

menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya; atas perintah

penyidik dapat melakukan tindakan berupa:

- pemeriksaan surat;

- penggeledahan dan penyitaan;

- pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan;

- bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak

tertentu;
- mendatangkan ahli dalam hubungan dengan penyelidikan.

Setelah proses penyelidikan dilanjutkan dengan proses penyidikan yang

dilakukan oleh Jaksa Agung.

Penyidikan dilakukan oleh Jaksa Agung Penyidikan wajib diselesaikan paling

lambat 90 hari terhitung sejak tanggal hasil penyelidikan diterima dan dinyatakan

lengkap oleh penyidik. Jangka waktu tsb dapat diperpanjang untuk waktu paling lama

90 hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya. Dalam hal

jangka waktu tsb habis dan penyidikan belum dapat diselesaikan, penyidikan dapat

diperpanjang paling lama 60 hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah

hukumnya. Apabila dalam total jangka waktu dari hasil penyidikan tidak diperoleh

bukti yang cukup, maka wajib dikeluarkan surat perintah penghentian penyidikan oleh

Jaksa Agung. Setelah surat perintah penghentian penyidikan dikeluarkan, penyidikan

hanya dapat dibuka kembali dan dilanjutkan apabila terdapat alasan dan bukti lain

yang melengkapi hasil penyidikan untuk dilakukan penuntutan. Dalam hal

penghentian penyidikan tidak dapat diterima oleh korban atau keluarganya, maka

korban, keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah

sampai dengan derajat ketiga, berhak mengajukan praperadilan kepada Ketua

Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya dan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.11

BAB III
11
Pasal 21-22 UU No.26 tahun 2000
CONTOH KASUS

KASUS BUSUNG LAPAR, KEMISKINAN DI NTT

Kebijaksanaan peningkatan ketahanan pangan yang ditetapkan dalam kerangka

pembangunan nasional tersebut berimplikasi bahwa pengkajian ketahanan pangan sebagai

tolok ukur keberhasilan pembangunan menjadi penting (Soetrisno, 1997). Beberapa kajian

tentang ketersediaan dan konsumsi pangan menunjukkan bahwa sampai tahun 2004

ketersediaan pangan per kapita secara nasional cenderung berlebih dibandingkan tingkat

konsumsi riil penduduk (Sawit dan Ariani, 1997; Ariani et al., 2000: DKP, 2005). Studi

Saliem et al. (2001) menunjukkan walaupun ketahanan pangan di tingkat regional (Provinsi)

tergolong tahan pangan terjamin namun di Provinsi yang bersangkutan masih ditemukan

rumah tangga yang tergolong rawan pangan dengan proporsi yang tinggi. Hasil analisis

Badan Pusat Statistik (BPS) (DKP dan FAO, 2005) menemukan bahwa lebih dari setengah

jumlah Kabupaten/kota di Indonesia memiliki prevalensi balita kurang gizi lebih dari 25%,

sedangkan proporsi penduduk yang mengkonsumsi energi kurang dari 2100 Kalori/orang/hari

sebesar 64%. Selain itu, masih ada 37,4 juta penduduk hidup di bawah garis kemiskinan dan

sekitar 114,8 juta penduduk (53,4% dari total penduduk) hidup di bawah garis kemiskinan

Bank Dunia (US$ 2/orang/hari).

Prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada balita di Nusa Tenggara Timur (NTT) pada

2010 menempati urutan tertinggi kedua di bawah Nusa Tenggara Barat (NTB). Prevalensi

gizi buruk dan gizi kurang di NTT pada tahun itu mencapai 29,4% yang terdiri dari gizi

buruk 9% (atau 53.580 balita) dan gizi kurang 20,4% (atau 121.448 balita). Dengan kata lain,

terdapat 175.028 kasus balita gizi buruk dan gizi kurang dari 595.331 balita yang ditimbang

pada 2010 di NTT.


Empat tahun berikutnya, dari 361.696 anak yang ditimbang, 23.963 anak (6,6%) di

antaranya kurang gizi dan 3.351 anak (0,9%) mengalami gizi buruk tanpa gejala klinis.

Terjadi penurunan angka gizi buruk pada 2015, tapi pemerintah tidak boleh kendor bekerja

menurunkan angka gizi bermasalah. Bisa saja masa masih ada kasus yang belum diketahui.

Di Kecamatan Kodi Utara, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, pada Maret-Mei

2014, menunjukkan faktor yang paling berisiko meningkatkan kejadian gizi kurang pada

balita adalah pendapatan keluarga yang kurang dari Rp234.141 per bulan dan frekuensi sakit

anak balita di atas 3 kali dalam 6 bulan.

Data untuk mengetahui faktor risiko gizi buruk dan gizi kurang pada anak balita di

NTT ini yang diambil dari 38 balita dengan gizi kurang sebagai kelompok kasus dan 76 balita

sehat sebagai kontrol, yang dipilih dari 4.321 balita yang teregistrasi di Puskesmas Kori.

Dari analisis uji hubungan menunjukkan bahwa balita dari keluarga dengan pendapatan

kurang dari Rp234.141 berisiko 15 kali mengalami gizi kurang karena pendapatan keluarga

berhubungan erat dengan pola konsumsi dan asupan gizi anak. Sedangkan, balita yang dalam

6 bulan menderita sakit lebih dari 3 kali meningkatkan risiko 35 kali lebih besar mengalami

gizi kurang. Frekuensi sakit berhubungan dengan infeksi penyakit. Infeksi penyakit dan

kejadian gizi buruk atau kurang merupakan hubungan yang timbal balik.

Pada tahun 2004 muncul kembali kasus gizi buruk yang pada awalnya terjadi di

Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat, kemudian diikuti oleh provinsi

lainnya. Berdasarkan data dari Departemen Kesehatan, secara nasional sekitar 27,5% (5 juta)

anak balita menderita gizi kurang, diantaranya 1,5 juta anak dengan status gizi buruk, dan

110 Kabupaten/kota mempunyai prevalensi balita gizi kurang (termasuk gizi buruk) diatas

30%. Menurut World Health Organization (WHO), prevalensi gizi buruk Indonesia termasuk

dalam kategori sangat tinggi (Departemen Kesehatan, 2005).


Ketahanan pangan di suatu wilayah mempunyai sifat multi-dimensional yang

ditentukan oleh berbagai faktor ekologis, sosial ekonomi dan budaya, serta melibatkan

berbagai sektor. Mengacu pada karakteris-tik yang beragam tersebut, maka pemecahan

masalah ketahanan pangan wilayah harus bersifat holistik, konsisten, terpadu, dan tepat

sasaran. Namun demikian, untuk efisiensi waktu dan tenaga, perlu dicari faktor-faktor

dominan untuk menentukan wilayah rawan pangan, agar masalah pangan dan gizi yang ada di

wilayah tersebut dapat ditangani dengan lebih baik.

Kajian penelitian kerawanan pangan dan kerawanan gizi kronis sebetulnya sudah

banyak dilakukan sejak tahun 1960-an dan program-program yang dilaksanakan terutama

untuk mencegah dan menanggu-langi rawan pangan juga sudah banyak. Namun demikian,

program-program tersebut tampaknya tidak berkelanjutan dan tidak mampu membangkitkan

potensi dalam sistem pangan lokal yang sangat mungkin untuk dapat mengatasi persoalan

pangan tingkat komunitas (masya-rakat).

Penetapan dan pemetaan wilayah rawan pangan sampai tingkat Kabupaten dengan

menggunakan 10 indikator yang mencakup 30 provinsi di Indonesia telah dilakukan oleh

DKP dan World Food Programme (WFP) (2005) dalam bentuk Peta Kerawanan Pangan

Indonesia (PKPI). Dengan menggunakan indikator komposit, peta tersebut menunjukkan

bahwa berdasar data tahun 2002, terdapat 100 Kabupaten dari 265 Kabupaten di Indonesia

yang tergolong rawan pangan kronis. Sesuai dengan tujuan penyusunan peta, hasil pemetaan

tersebut merupakan salah satu alat yang dapat digunakan sebagai petunjuk bagi pemerintah

daerah dalam mengembangkan strategi mitigasi yang tepat untuk menangani kerawanan

pangan kronis. Namun cakupan pemetaan hanya sampai tingkat Kabupaten, sehingga secara

operasional hasil pemetaan tersebut perlu ditinjaklanjuti dengan pemetaan dalam skala yang

lebih detail, sampai tingkat kecamatan dan atau desa. Hal ini penting agar penanggulangan

wilayah rawan pangan dan rawan gizi kronis tersebut dapat ditangani secara tepat sasaran.
Untuk melakukan pemetaan wilayah sampai tingkat kecamatan/ desa di 100 Kabupaten

yang tergolong rawan pangan kronis tersebut memerlukan waktu, tenaga, dan dana yang

sangat besar. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengelompokkan 100

Kabupaten yang tergolong rawan pangan kronis menurut tipe wilayah dan derajat kerawanan

pangan. Dengan pengelompokan tersebut, rumusan alternatif penanggulangan wilayah rawan

pangan dan rawan gizi kronis, termasuk rumah tangga rawan pangan dan gizi dapat mengacu

pada rumusan yang disusun dengan menggunakan data primer dari kabupaten terpilih.

Rumusan hasil analisis ini dapat dijadikan acuan bagi pengambil kebijakan dalam

mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lahan, tenaga kerja dan teknologi spesifik lokasi

wilayah untuk meningkatkan produksi pangan. Selain itu, diharapkan juga akan terbangun

sarana dan prasarana wilayah untuk mendukung pertumbuhan perekonomian wilayah. Seiring

dengan meningkatnya ketersediaan pangan, pendapatan wilayah, serta rumah tangga rawan

pangan dan gizi kronis, meningkatnya akses rumah tangga terhadap pangan dan pelayanan

kesehatan diharap-kan tingkat ketahanan pangan wilayah dan rumah tangga menjadi sema-

kin mantap.
BAB IV

ANALISA DARI IDENTIFIKASI MASALAH

A. Apa penyebab terjadinya kasus busung lapar di NTT

Masalah Busung Lapar adalah masalah yang mencuat di atas masalah yang

lebih besar, yaitu masalah malnutrisi atau gizi buruk. Masalah malnutrisi adalah

masalah klasik di NTT. Bila semua orang sekarang prihatin dengan adanya masalah

busung lapar, harusnya kita lebih prihatin lagi karena ternyata tidak ada respons yang

kuat dari pemerintah untuk menangani masalah gizi buruk/malnutrisi yang setiap

tahun diidentifikasi sebagai salah satu masalah anak-anak, terutama balita di semua

kabupaten di NTT.

Dapat dianalisa bahwa penyebab malnutrisi bukanlah satu-satunya faktor

penyebab busung lapar, melainkan juga beberapa penyebab lainnya.

Pertama, menurut kalangan praktisi gizi dan kesehatan seperti dokter dan

perawat, kalangan eksekutif seperti kepala Dinas Kesehatan, bupati, dan wagub

mengatakan bahwa busung lapar disebabkan oleh pola hidup yang tidak sehat,

posyandu yang kurang berpartisipasi pada masyarakat karena dana operasional tidak

ada. Kemudian, karena masyarakat yang miskin menderita penyakit lainnya, seperti

malaria, cacingan, TBC, dan ISPA. Selain itu, karena tradisi pola asuh dalam keluarga

di NTT kurang memiliki pengetahuan gizi, beranak banyak, dan banyak anak-anak

yang dititipkan, serta biasanya yang diutamakan untuk makan adalah bapak.

Kekeringan dan rawan pangan menurut mereka juga bagian dari penyebab busung

lapar meskipun masih menjadi perdebatan sampai hari ini.

Kedua, menurut kalangan pengamat, legislatif, dan akademisi, busung lapar

terjadi disebabkan oleh kebijakan pembangunan terutama yang menyangkut pangan,

seperti bagaimana orientasi mereka yang masih hanya memikirkan “lahan basah”,
cara pandang yang monokultur, serta penataan konsumsi yang disubsistenkan ke

pasar. Selain itu, menurut mereka, karena anggaran kesehatan yang terlalu sedikit

akibat tindak korupsi dan latar belakang wilayah yang miskin.

Ketiga, menurut pemerintah nasional, seperti pernyataan wakil presiden

maupun menteri kesehatan, dalam merespons hal ini, hanya menganggap busung lapar

terjadi karena kemiskinan, posyandu yang tidak berfungsi, serta penyelewengan dana

kesehatan karena penerapan desentralisasi. Keempat, menurut para keluarga korban

sendiri, busung lapar akibat miskin, miskin, dan miskin....

Melihat begitu kompleks penyebab dari malnutrisi atau busung lapar di NTT,

masih sulit untuk dikatakan penyebab mana yang dominan sehingga memunculkan

masalah tersebut. Yang jelas, kemiskinan memang menjadi salah satu faktor dari

masalah yang muncul.

B. Bagaimana Mekanisme Penyelesaiannya

Pemerintah provinsi NTT berusaha menanggulangi masalah gangguan

ketahanan pangan dengan meluncurkan berbagai kebijakan yang berusaha

meningkatkan produksi pertanian dan pendapatan masyarakat, yaitu melalui

kebijakan-kebijakan antara lain Program Operasi Nusa Makmur (ONM), Program

Operasi Nusa Hijau (ONH), ProgramMeningkatkan Pendapatan Asli Rakyat

(Gempar), Program Membanguan Desa (Gerbades). Namun, berbagai program ini

belum memberikan hasil yang signifikan bagi perbaikan kondisi ketahanan pangan

penduduk provinsi NTT, yang bisa dibuktikan bahwa setiap tahun selalu terjadi rawan

pangan dan busung lapar di daerah ini.

fenomena rawan pangan dan busung lapar di NTT, nampak bahwa

persoalan implementasi kebijakan tentang ketahanan pangan perlu mendapat

perhatian. Persoalan mendasar yang dihadapi oleh NTT adalah ketahanan pangan
yang berkelanjutan yang mampu menopang kecukupan pangan dalam jangka panjang,

sehingga tidak terjadi fluktuasi pangan.

Penekanan pada implementasi kebijakan karena kebijakan-kebijakan yang

bertujuan untuk meningkatkan produktivitas pangan dan peningkatan pendapatan

petani belum dilaksanakan secara optimal menurut kondisi wilayah NTT yang

spesifik baik dari segi lingkungan sosial budaya maupun dari segi fisik kewilayahan.

Implementasi kebijakan peningkatan produktivitas pangan lokal belum dioptimalkan,

padahal kalau pangan lokal seperti jagung, singkong, ubi jalar, dan berbagai jenis

kacang-kacangan ditingkatkan produktivitasnya maka masyarakat di daerah ini tidak

mungkin mengalami kerawanan pangan.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang

termasuk aparat negara baik disengaja ataupun tidak disengaja atau kelalaian yang

secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut HAM

seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak

didapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang

berlaku. Pelanggaran HAM dapat dikelompokan menjadi 2 macam yaitu pelanggaran

HAM berat dan pelanggaran HAM ringan. Pelanggaran HAM dapat dilakukan oleh

pihak Negara dan bukan Negara.

B. Saran

Sebagai makhluk sosial kita harus mampu mempertahankan dan

memperjuangkan HAM kita sendiri. Di samping itu kita juga harus bisa menghormati

dan menjaga HAM orang lain jangan sampai kita melakukan pelanggaran HAM. Dan

Jangan sampai pula HAM kita dilanggar dan dinjak-injak oleh orang lain.Jadi dalam

menjaga HAM kita harus mampu menyelaraskan dan mengimbangi antara HAM kita

dengan HAM orang lain.


DAFTAR PUSTAKA

Cecilia Medina Quiroga, The Battle of Human Right: Gross, Systematic Violations dalam
Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, The
Habib Center, Jakarta, 2002.
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia, (2004),.
H. Suwardi Martowinoto, Ulasan Hukum Mengenai International Criminal Court, Varia
Peradilan, Jakarta, April, 2000, Edisi XV No. 175,.
Ifdal Kashim. Prinsip-prinsip Van Boven, Mengenai Korban Pelanggaran HAM Berat,
Elsam, Jakarta, 2002,
Jerry Fowler, Kata Pengantar Statuta Roma Tentang Mahkamah Pidana Internasional:
KeadilanBagi Generasi Mendatang, Dalam Statuta Roma, Elsam, Jakarta, 2000,
Muchamad Ali Syafa’at, Tindak Pidana Teror: Belenggu Baru Bagi Kemerdekaan, dalam
F.Budi Hadirman, et al. Terorisme Definisi, Aksi dan Regulasi, Imprasial, Jakarta,
2003,
Muhammad Rizky Widhiarto, Eddy Riffa’i, Tri Andrisman. ANALYSIS OF CRIMINAL
ACCOUNTABILITY MILITARY SUPERIORS THE COMMISSION OF A CRIME
AGAINST HUMAN RIGHTS ABUSES HEAVILY. Unila.
Pasal 21-22 UU No.26 tahun 2000
Rhona K.M Smit, Hukum dan Hak Asasi Manusia , Pusat Studi HAM Universitas Islam
Indonesia, Yogyakarta, 2008
Rina Rusman, Kejahatan Perang dan Beberapa Masalah Rumusannya Dalam Hukum Pidana
Nasional, Jurnal Hukum Humaniter, Juli 2005, vol. 1, No. 1
Todung Mulya Lubis, Jalan Panjang Hak Asis Manusia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
2005

Anda mungkin juga menyukai