Disusun Oleh :
AMIR
AYU
RIKA
AWALUDIN
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Pelanggaran HAM Berat ini
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada
mata kuliah Hukum Pidana Khusus. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan tentang Pelanggaran HAM Berat bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada bapak dosen, selaku dosen pembimbing
dalam mata kuliah ilmu tauhid yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
atas hukum yang berlaku berdasarkan kepentingan umum serta bebas dari kesewenag-
demokrasi. Karena jika negara hukum tanpa demokrasi sama dengan hilangnya
Menurut Franz Magnis Suseno Hak Asasi Manusia ialah hak-hak yang sudah
dimiliki pada setiap manusia danbukan karena diberikan oleh masyarakat. Bukan
seorang manusia.
Indonesia sebagai negara hukum sudah memiliki dasar hukumya begitu juga
dengan pengaturan tentang hak asasi. Mengenai dasar negara hukum sudah diatur
dalam ketentuan Pasal 1 UUD Negara Republik Indonesia serta mengenai Hak Asasi
Manusia diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, kemudian dalam UUD RI 1945 diatur pada pasal 27 ayat 3, 28 A sampai J,
Bahwa setiap upaya penegakan HAM pasti tidak selalu berjalan dengan lancar.
2000 tentang Pengadilan HAM pelanggaran HAM adalah “setiap perbuatan seseorang
atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja atau kelalaian yang
secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut Hak Asasi
Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan
tidak didapatkan, atau dikhawatirksn tidak akan memperoleh penyelesaian hukum
B. Identifikasi Masalah
1
Muhammad Rizky Widhiarto, Eddy Riffa’i, Tri Andrisman. ANALYSIS OF CRIMINAL
ACCOUNTABILITY MILITARY SUPERIORS THE COMMISSION OF A CRIME AGAINST HUMAN
RIGHTS ABUSES HEAVILY. Unila. hlm5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
betapa seriusnya pelanggaran yang dilakukan. Akan tetapi, kata “berat: juga
berhubungan dengna jenis-jenis HAM yang dilanggar. Pelanggaran HAM terjadi jika
secara sistematis dan bersifat meluas. Secara sistematis dapat diartikan hal tersebut
tertentu dan dalam suatu cara untuk menciptakan situasi untuk hidup, hak atas
integrasi pribadi atau hak atas jebebasan pribadi dari penduduk (population) secara
keseluruhan atau satu atau lebih dari sektor-sektor dari penduduk suatu Negara secara
Dalam sumber hukum yang terdapat diatas dapat ditemui pengertian mengenai
Pelanggaran HAM berat yakni dalam Statuta Roma 1998 yang istilahnya The Most
Serious Crime, Rome Statute Art. 5: the most serious crimes of concern to the
international community as a whole: This Statute with respect to the following crimes:
2
Ifdal Kashim. Prinsip-prinsip Van Boven, Mengenai Korban Pelanggaran HAM Berat, Elsam, Jakarta, 2002,
hlm. xxiii
3
Cecilia Medina Quiroga, The Battle of Human Right: Gross, Systematic Violations dalam Muladi,
Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habib Center, Jakarta, 2002 hlm.
75.
(i) The crime of genocide; (ii) Crimes against humanity; (iii) War crimes; (iv) The
crime of aggression.
discrimination)
“Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pelanggaran hak asasi manusia
berat, namun hanya menyebutkan kategori yang masuk dalam pelanggaran HAM
berat. Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma 1998 yang mayoritas isinya memuat
pelanggaran HAM berat namun dalam UU. No.26 tahun 2000 isinya Indonesia
banyak mendaopsi dari Statuta Roma 1998 namun tidak semuanya diambil seperti
pada jenis pelanggaran HAM berat, dalam Statuta Roma, pelanggaran HAM berat
dan kejahatan agresi. Sedangkan, dalam UU. No. 26 tahun 2000 jenis kejahatan
kemanusiaan.
cara :
anggota kelompok
kelompok dan
menurut pasal 9 Undang Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi
Manusia : “ salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang
meluas dan sistemik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara
a) Pembunuhan
b) Pemusnahan
c) Perbudakan
f) Penyiksaan
atau alasan lain yang telah diakui secarauniversal sebagai hal yang dilarang
j) Kejahatan apartheid
telah diratifikasi sejak tahun 1958, telah dicoba diakomodir dalam Rancangan Kitab
Pelanggaran HAM berat termasuk pula dalam kategori extra ordinary crima
berdasrkan dua alasan, yaitu pola tindak pidana yang sangar sistematis dan di lakukan
oleh pihak pemegang kekuasaan, sebagai kejahatan tersebut baru bisa diadili jika
kekuasaan itu runtuh dan kejahatan tersebut sangat mencederai rasa keadilan secara
penghilangan paksa, misalnya adalah pelanggaran HAM yang dilarang oleh hukum
Oleh karena itu kalau RUU KUHP disahkan, maka peradilan nasional dapat
mengadili setiap perbuatan yang dilarang oleh hukum internasional. Dengan kata
lain, apabila setiap perbuatan kejahatan perang tersebut dilakukan oleh warga negara
4
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, (2004), hal.
95-99.
5
Muchamad Ali Syafa’at, Tindak Pidana Teror: Belenggu Baru Bagi Kemerdekaan, dalam F.Budi Hadirman, et
al. Terorisme Definisi, Aksi dan Regulasi, Imprasial, Jakarta, 2003, hlm. 63.
6
Todung Mulya Lubis, Jalan Panjang Hak Asis Manusia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005 hlm. 29
internasional mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat seperti yang diatur
batasannya dalam Statuta Roma 1998, karena ketika perumusan Statuta Roma 1998
elemen kejahatan agresi, dan ketika itu berkembang pandangan berupa: thec crimes
Pada kasus pelanggaran terhadap Hak Asasi manusia yang berat dapat
Presiden bahwa terdapat kasus pelanggaran HAM berat lalu setelah itu Presiden
mengeluarkan Kepres yang berisi penetapan bahwa kasus tersebut merupakan kasus
pelangaran HAM berat (Pasal 43 ayat [2] UU 26/2000), lalu dibentuk pengadilan
tahun 2000 diundangkan ) atau diadili di Pengadilan HAM (apabila kasus tersebut
7
Rina Rusman, Kejahatan Perang dan Beberapa Masalah Rumusannya Dalam Hukum Pidana Nasional, Jurnal
Hukum Humaniter, Juli 2005, vol. 1, No. 1, hal. 100
8
H. Suwardi Martowinoto, Ulasan Hukum Mengenai International Criminal Court, Varia Peradilan, Jakarta,
April, 2000, Edisi XV No. 175, hal. 109.
9
Jerry Fowler, Kata Pengantar Statuta Roma Tentang Mahkamah Pidana Internasional: KeadilanBagi Generasi
Mendatang, Dalam Statuta Roma, Elsam, Jakarta, 2000, hal. viii
HAM berat tersebut maka Mahkamah Pidana Internasional akan mengambil alih
kasus tersebut. Namun terhadap pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Nomor 26 tahun
2000 ketentuan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc melalui usul DPR pernah
kata “dugaan” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki
agar DPR tidak boleh serta merta menduga sendiri bahwa peristiwa tersebut
merupakan kasus pelanggaran hak asasi manusia berat tanpa memperoleh hasil
Tahun 2000 dan mengecualikan aturan yang sama dalam KUHAP10, diantaranya:
hoc.
KUHAP
Disini akan diuraikan mengenai proses hukum dalam hal terjadinya pelanggaran
hak asasi manusia yang berat, yang dimulai dari penyelidikan yakni serangkaian
tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan ada tidaknya suatu peristiwa
10
Rhona K.M Smit, Hukum dan Hak Asasi Manusia , Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia,
Yogyakarta, 2008 hlm 309-310
yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat guna
Undang-undang ini. Yang bertindak sebagai penyelidik dalam kasus pelanggaran hak
asasi manusia berat adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau yang disebut
2. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang atau kelompok orang tentang
terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat, serta mencari keterangan
3. memanggil pihak pengadu, korban, atau pihak yang diadukan untuk diminta dan
didengar keterangannya
- pemeriksaan surat;
tertentu;
- mendatangkan ahli dalam hubungan dengan penyelidikan.
lambat 90 hari terhitung sejak tanggal hasil penyelidikan diterima dan dinyatakan
lengkap oleh penyidik. Jangka waktu tsb dapat diperpanjang untuk waktu paling lama
90 hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya. Dalam hal
jangka waktu tsb habis dan penyidikan belum dapat diselesaikan, penyidikan dapat
diperpanjang paling lama 60 hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah
hukumnya. Apabila dalam total jangka waktu dari hasil penyidikan tidak diperoleh
bukti yang cukup, maka wajib dikeluarkan surat perintah penghentian penyidikan oleh
hanya dapat dibuka kembali dan dilanjutkan apabila terdapat alasan dan bukti lain
penghentian penyidikan tidak dapat diterima oleh korban atau keluarganya, maka
korban, keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah
Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya dan sesuai dengan ketentuan
BAB III
11
Pasal 21-22 UU No.26 tahun 2000
CONTOH KASUS
tolok ukur keberhasilan pembangunan menjadi penting (Soetrisno, 1997). Beberapa kajian
tentang ketersediaan dan konsumsi pangan menunjukkan bahwa sampai tahun 2004
ketersediaan pangan per kapita secara nasional cenderung berlebih dibandingkan tingkat
konsumsi riil penduduk (Sawit dan Ariani, 1997; Ariani et al., 2000: DKP, 2005). Studi
Saliem et al. (2001) menunjukkan walaupun ketahanan pangan di tingkat regional (Provinsi)
tergolong tahan pangan terjamin namun di Provinsi yang bersangkutan masih ditemukan
rumah tangga yang tergolong rawan pangan dengan proporsi yang tinggi. Hasil analisis
Badan Pusat Statistik (BPS) (DKP dan FAO, 2005) menemukan bahwa lebih dari setengah
jumlah Kabupaten/kota di Indonesia memiliki prevalensi balita kurang gizi lebih dari 25%,
sedangkan proporsi penduduk yang mengkonsumsi energi kurang dari 2100 Kalori/orang/hari
sebesar 64%. Selain itu, masih ada 37,4 juta penduduk hidup di bawah garis kemiskinan dan
sekitar 114,8 juta penduduk (53,4% dari total penduduk) hidup di bawah garis kemiskinan
Prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada balita di Nusa Tenggara Timur (NTT) pada
2010 menempati urutan tertinggi kedua di bawah Nusa Tenggara Barat (NTB). Prevalensi
gizi buruk dan gizi kurang di NTT pada tahun itu mencapai 29,4% yang terdiri dari gizi
buruk 9% (atau 53.580 balita) dan gizi kurang 20,4% (atau 121.448 balita). Dengan kata lain,
terdapat 175.028 kasus balita gizi buruk dan gizi kurang dari 595.331 balita yang ditimbang
antaranya kurang gizi dan 3.351 anak (0,9%) mengalami gizi buruk tanpa gejala klinis.
Terjadi penurunan angka gizi buruk pada 2015, tapi pemerintah tidak boleh kendor bekerja
menurunkan angka gizi bermasalah. Bisa saja masa masih ada kasus yang belum diketahui.
Di Kecamatan Kodi Utara, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, pada Maret-Mei
2014, menunjukkan faktor yang paling berisiko meningkatkan kejadian gizi kurang pada
balita adalah pendapatan keluarga yang kurang dari Rp234.141 per bulan dan frekuensi sakit
Data untuk mengetahui faktor risiko gizi buruk dan gizi kurang pada anak balita di
NTT ini yang diambil dari 38 balita dengan gizi kurang sebagai kelompok kasus dan 76 balita
sehat sebagai kontrol, yang dipilih dari 4.321 balita yang teregistrasi di Puskesmas Kori.
Dari analisis uji hubungan menunjukkan bahwa balita dari keluarga dengan pendapatan
kurang dari Rp234.141 berisiko 15 kali mengalami gizi kurang karena pendapatan keluarga
berhubungan erat dengan pola konsumsi dan asupan gizi anak. Sedangkan, balita yang dalam
6 bulan menderita sakit lebih dari 3 kali meningkatkan risiko 35 kali lebih besar mengalami
gizi kurang. Frekuensi sakit berhubungan dengan infeksi penyakit. Infeksi penyakit dan
kejadian gizi buruk atau kurang merupakan hubungan yang timbal balik.
Pada tahun 2004 muncul kembali kasus gizi buruk yang pada awalnya terjadi di
Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat, kemudian diikuti oleh provinsi
lainnya. Berdasarkan data dari Departemen Kesehatan, secara nasional sekitar 27,5% (5 juta)
anak balita menderita gizi kurang, diantaranya 1,5 juta anak dengan status gizi buruk, dan
110 Kabupaten/kota mempunyai prevalensi balita gizi kurang (termasuk gizi buruk) diatas
30%. Menurut World Health Organization (WHO), prevalensi gizi buruk Indonesia termasuk
ditentukan oleh berbagai faktor ekologis, sosial ekonomi dan budaya, serta melibatkan
berbagai sektor. Mengacu pada karakteris-tik yang beragam tersebut, maka pemecahan
masalah ketahanan pangan wilayah harus bersifat holistik, konsisten, terpadu, dan tepat
sasaran. Namun demikian, untuk efisiensi waktu dan tenaga, perlu dicari faktor-faktor
dominan untuk menentukan wilayah rawan pangan, agar masalah pangan dan gizi yang ada di
Kajian penelitian kerawanan pangan dan kerawanan gizi kronis sebetulnya sudah
banyak dilakukan sejak tahun 1960-an dan program-program yang dilaksanakan terutama
untuk mencegah dan menanggu-langi rawan pangan juga sudah banyak. Namun demikian,
potensi dalam sistem pangan lokal yang sangat mungkin untuk dapat mengatasi persoalan
Penetapan dan pemetaan wilayah rawan pangan sampai tingkat Kabupaten dengan
DKP dan World Food Programme (WFP) (2005) dalam bentuk Peta Kerawanan Pangan
bahwa berdasar data tahun 2002, terdapat 100 Kabupaten dari 265 Kabupaten di Indonesia
yang tergolong rawan pangan kronis. Sesuai dengan tujuan penyusunan peta, hasil pemetaan
tersebut merupakan salah satu alat yang dapat digunakan sebagai petunjuk bagi pemerintah
daerah dalam mengembangkan strategi mitigasi yang tepat untuk menangani kerawanan
pangan kronis. Namun cakupan pemetaan hanya sampai tingkat Kabupaten, sehingga secara
operasional hasil pemetaan tersebut perlu ditinjaklanjuti dengan pemetaan dalam skala yang
lebih detail, sampai tingkat kecamatan dan atau desa. Hal ini penting agar penanggulangan
wilayah rawan pangan dan rawan gizi kronis tersebut dapat ditangani secara tepat sasaran.
Untuk melakukan pemetaan wilayah sampai tingkat kecamatan/ desa di 100 Kabupaten
yang tergolong rawan pangan kronis tersebut memerlukan waktu, tenaga, dan dana yang
sangat besar. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengelompokkan 100
Kabupaten yang tergolong rawan pangan kronis menurut tipe wilayah dan derajat kerawanan
pangan dan rawan gizi kronis, termasuk rumah tangga rawan pangan dan gizi dapat mengacu
pada rumusan yang disusun dengan menggunakan data primer dari kabupaten terpilih.
Rumusan hasil analisis ini dapat dijadikan acuan bagi pengambil kebijakan dalam
mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lahan, tenaga kerja dan teknologi spesifik lokasi
wilayah untuk meningkatkan produksi pangan. Selain itu, diharapkan juga akan terbangun
sarana dan prasarana wilayah untuk mendukung pertumbuhan perekonomian wilayah. Seiring
dengan meningkatnya ketersediaan pangan, pendapatan wilayah, serta rumah tangga rawan
pangan dan gizi kronis, meningkatnya akses rumah tangga terhadap pangan dan pelayanan
kesehatan diharap-kan tingkat ketahanan pangan wilayah dan rumah tangga menjadi sema-
kin mantap.
BAB IV
Masalah Busung Lapar adalah masalah yang mencuat di atas masalah yang
lebih besar, yaitu masalah malnutrisi atau gizi buruk. Masalah malnutrisi adalah
masalah klasik di NTT. Bila semua orang sekarang prihatin dengan adanya masalah
busung lapar, harusnya kita lebih prihatin lagi karena ternyata tidak ada respons yang
kuat dari pemerintah untuk menangani masalah gizi buruk/malnutrisi yang setiap
tahun diidentifikasi sebagai salah satu masalah anak-anak, terutama balita di semua
kabupaten di NTT.
Pertama, menurut kalangan praktisi gizi dan kesehatan seperti dokter dan
perawat, kalangan eksekutif seperti kepala Dinas Kesehatan, bupati, dan wagub
mengatakan bahwa busung lapar disebabkan oleh pola hidup yang tidak sehat,
posyandu yang kurang berpartisipasi pada masyarakat karena dana operasional tidak
ada. Kemudian, karena masyarakat yang miskin menderita penyakit lainnya, seperti
malaria, cacingan, TBC, dan ISPA. Selain itu, karena tradisi pola asuh dalam keluarga
di NTT kurang memiliki pengetahuan gizi, beranak banyak, dan banyak anak-anak
yang dititipkan, serta biasanya yang diutamakan untuk makan adalah bapak.
Kekeringan dan rawan pangan menurut mereka juga bagian dari penyebab busung
seperti bagaimana orientasi mereka yang masih hanya memikirkan “lahan basah”,
cara pandang yang monokultur, serta penataan konsumsi yang disubsistenkan ke
pasar. Selain itu, menurut mereka, karena anggaran kesehatan yang terlalu sedikit
maupun menteri kesehatan, dalam merespons hal ini, hanya menganggap busung lapar
terjadi karena kemiskinan, posyandu yang tidak berfungsi, serta penyelewengan dana
Melihat begitu kompleks penyebab dari malnutrisi atau busung lapar di NTT,
masih sulit untuk dikatakan penyebab mana yang dominan sehingga memunculkan
masalah tersebut. Yang jelas, kemiskinan memang menjadi salah satu faktor dari
belum memberikan hasil yang signifikan bagi perbaikan kondisi ketahanan pangan
penduduk provinsi NTT, yang bisa dibuktikan bahwa setiap tahun selalu terjadi rawan
perhatian. Persoalan mendasar yang dihadapi oleh NTT adalah ketahanan pangan
yang berkelanjutan yang mampu menopang kecukupan pangan dalam jangka panjang,
petani belum dilaksanakan secara optimal menurut kondisi wilayah NTT yang
spesifik baik dari segi lingkungan sosial budaya maupun dari segi fisik kewilayahan.
padahal kalau pangan lokal seperti jagung, singkong, ubi jalar, dan berbagai jenis
PENUTUP
A. Kesimpulan
termasuk aparat negara baik disengaja ataupun tidak disengaja atau kelalaian yang
seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak
HAM berat dan pelanggaran HAM ringan. Pelanggaran HAM dapat dilakukan oleh
B. Saran
memperjuangkan HAM kita sendiri. Di samping itu kita juga harus bisa menghormati
dan menjaga HAM orang lain jangan sampai kita melakukan pelanggaran HAM. Dan
Jangan sampai pula HAM kita dilanggar dan dinjak-injak oleh orang lain.Jadi dalam
menjaga HAM kita harus mampu menyelaraskan dan mengimbangi antara HAM kita
Cecilia Medina Quiroga, The Battle of Human Right: Gross, Systematic Violations dalam
Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, The
Habib Center, Jakarta, 2002.
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia, (2004),.
H. Suwardi Martowinoto, Ulasan Hukum Mengenai International Criminal Court, Varia
Peradilan, Jakarta, April, 2000, Edisi XV No. 175,.
Ifdal Kashim. Prinsip-prinsip Van Boven, Mengenai Korban Pelanggaran HAM Berat,
Elsam, Jakarta, 2002,
Jerry Fowler, Kata Pengantar Statuta Roma Tentang Mahkamah Pidana Internasional:
KeadilanBagi Generasi Mendatang, Dalam Statuta Roma, Elsam, Jakarta, 2000,
Muchamad Ali Syafa’at, Tindak Pidana Teror: Belenggu Baru Bagi Kemerdekaan, dalam
F.Budi Hadirman, et al. Terorisme Definisi, Aksi dan Regulasi, Imprasial, Jakarta,
2003,
Muhammad Rizky Widhiarto, Eddy Riffa’i, Tri Andrisman. ANALYSIS OF CRIMINAL
ACCOUNTABILITY MILITARY SUPERIORS THE COMMISSION OF A CRIME
AGAINST HUMAN RIGHTS ABUSES HEAVILY. Unila.
Pasal 21-22 UU No.26 tahun 2000
Rhona K.M Smit, Hukum dan Hak Asasi Manusia , Pusat Studi HAM Universitas Islam
Indonesia, Yogyakarta, 2008
Rina Rusman, Kejahatan Perang dan Beberapa Masalah Rumusannya Dalam Hukum Pidana
Nasional, Jurnal Hukum Humaniter, Juli 2005, vol. 1, No. 1
Todung Mulya Lubis, Jalan Panjang Hak Asis Manusia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
2005