Anda di halaman 1dari 27

HAM dan

Pelanggaran HAM
UU No 39 Tahun 1999
Menurut UU No. 39 Tahun 1999, pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap
perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja
maupun tidak disengaja atau kelalaian, membatasi, dan atau mencabut hak asasi
manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini,
dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian
hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Jenis Pelanggaran HAM

Ada dua jenis pelanggaran hak asasi manusia (HAM), yaitu pelanggaran HAM dan
pelanggaran HAM yang berat. Jenis pertama hanya disebut sebagai pelanggaran HAM,

sedangkan jenis kedua disebut pelanggaran HAM yang berat karena karakternya berbeda
dengan jenis pertama.

Jenis pertama biasanya disebut human rights abuse atau human rights violation, sedangkan
jenis kedua disebut gross violation of human rights atau gross human rights violation.
Imbuhan adjektif “gross” untuk mempertegas suatu peristiwa pelanggaran HAM bukan
pelanggaran HAM biasa (ordinary violation), tetapi pelanggaran HAM yang dikualifikasi
kejahatan sangat serius (the most serious crime)
Jenis Pelanggaran HAM

Profesor William A. Schabas (2004: 26) mencatat, pengategorian keempat kejahatan itu
sebagai pelanggaran HAM yang berat karena menurut Rome Statute merupakan
‘unimaginable atrocities that deeply shock the conscience of humanity’ (preamble),
‘international crimes’ (preamble), dan ‘the most serious crimes of international concern’
(Article 1).

Menentukan suatu peristiwa sebagai pelanggaran HAM atau pelanggaran HAM yang berat
kadang menimbulkan perbedaan perspektif dan bahkan polemik. Ada yang berpendapat suatu
peristiwa dinyatakan sebagai pelanggaran HAM yang berat. Sebaliknya ada juga yang
berpendapat peristiwa itu sebagai pelanggaran HAM. Bagaimana sebetulnya menentukan
suatu peristiwa sebagai pelanggaran HAM atau pelanggaran HAM yang berat?
Jenis Pelanggaran HAM Berat

Terdapat empat jenis pelanggaran HAM berat dan serius yang menjadi perhatian internasional,
masing-masing memiliki indikasi dan ciri-ciri tersendiri. Keempat jenis pelanggaran HAM
berat berdasarkan Statuta Roma dan Undang-Undang RI No.26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah:

• Kejahatan Genosida (Genocide)


• Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crime Against Humanity)
• Kejahatan Perang (War Crimes)
• Kejahatan Agresi (Aggression)
Jenis Pelanggaran HAM

Sementara itu, kejahatan kemanusiaan seringkali diartikan sebagai suatu perbuatan yang
dilakukan dengan serangan yang meluas dan sistematis. Adapun serangan yang dimaksud
ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa:

• Pembunuhan
• Pemusnahan,
• Perbudakan,
• Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa,
• Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara secara sewenang-
wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan,
• Penyiksaan,
Jenis Pelanggaran HAM

Sementara itu, kejahatan kemanusiaan seringkali diartikan sebagai suatu perbuatan yang
dilakukan dengan serangan yang meluas dan sistematis. Adapun serangan yang dimaksud
ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa:

• Pemerkosaan,
• perbudakan seksual,
• pemaksaan kehamilan,
• pelacuran secara paksa,
• pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang
setara,
• Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari
persamaan paham politik, kebangsaan, ras, budaya, etnis, agama, jenis kelamin atau alasan
lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum
internasional,
Jenis Pelanggaran HAM

Sementara itu, kejahatan kemanusiaan seringkali diartikan sebagai suatu perbuatan yang
dilakukan dengan serangan yang meluas dan sistematis. Adapun serangan yang dimaksud
ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa:

• Penghilangan orang secara paksa,


• Kejahatan apartheid, penindasan dan dominasi suatu kelompok ras atau kelompok ras lain
untuk mempertahankan dominasi dan kekuasaannya.
Pelanggaran HAM dan Substansi Hukum
Dalam hukum HAM di Indonesia, kualifikasi suatu peristiwa sebagai pelanggaran HAM atau
pelanggaran HAM yang berat diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia.

Menurut Pasal 1 angka 6 UU 39 Tahun 1999, pengertian pelanggaran HAM adalah “setiap
perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun
tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi,
membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang
dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan
memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang
berlaku”. Dengan demikian, lingkup kualifikasi pelanggaran HAM adalah berkaitan dengan
HAM yang dijamin dalam UU a quo.
Pelanggaran HAM dan Substansi Hukum

Dalam konteks itu, ada 10 rumpun HAM beserta serangkaian turunannya yang dijamin oleh
UU a quo dalam Bab III yakni: (1) hak untuk hidup; (2) hak berkeluarga dan melanjutkan
keturunan; (3) hak mengembangkan diri; (4) hak memperoleh keadilan; (5) hak atas
kebebasan pribadi; (6) hak atas rasa aman; (7) hak atas kesejahteraan; (8) hak turut serta
dalam pemerintahan; (9) hak wanita; dan (10) hak anak. Penentuan suatu peristiwa sebagai
pelanggaran HAM berkaitan dengan lingkup sepuluh rumpun HAM ini.
Pelanggaran HAM dan Substansi Hukum

Menurut Pasal 1 angka 2 UU 26 Tahun 2000, yang dimaksud pelanggaran HAM yang berat
adalah “pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”.
Dalam konteks ini, Pasal 7 UU a quo mengatur secara limitatif pelanggaran HAM yang berat,
yakni kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Suatu peristiwa dikualifikasi
sebagai pelanggaran HAM yang berat jika merupakan salah satu atau kedua kejahatan itu.
Sebaliknya, suatu peristiwa tidak dapat dikualifikasi sebagai pelanggaran HAM yang berat
jika bukan merupakan kejahatan genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan.
UU No 26 Tahun 2000 Tentang Pelanggaran HAM berat

Menurut Pasal 1 angka 2 UU 26 Tahun 2000, yang dimaksud pelanggaran HAM yang berat
adalah “pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”.
Dalam konteks ini, Pasal 7 UU a quo mengatur secara limitatif pelanggaran HAM yang
berat, yakni kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Suatu peristiwa
dikualifikasi sebagai pelanggaran HAM yang berat jika merupakan salah satu atau kedua
kejahatan itu. Sebaliknya, suatu peristiwa tidak dapat dikualifikasi sebagai pelanggaran
HAM yang berat jika bukan merupakan kejahatan genosida atau kejahatan terhadap
kemanusiaan.
UU No 26 Tahun 2000 Tentang Pelanggaran HAM berat

Selanjutnya Pasal 8 UU a quo menegaskan kejahatan genosida adalah “setiap perbuatan


yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau
sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama”. Unsur-unsur ini harus
terpenuhi untuk menyatakan suatu peristiwa sebagai kejahatan genosida.

Kemudian Pasal 9 menegaskan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah “perbuatan yang


dilakukan sebagai bagian dan serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya
bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil”. Suatu
peristiwa merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan jika unsur-unsur tersebut terpenuhi.
Untuk memastikannya, perlu dilakukan penyelidikan khusus mengenai pelanggaran HAM
yang berat.
UU No 26 Tahun 2000 Tentang Pelanggaran HAM berat

Menurut UU. RI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Pelanggaran HAM Berat
dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu :

• Kejahatan genosida, yaitu setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud


menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras,
kelompok etnis, atau kelompok agama.

• Kejahatan kemanusiaan, yaitu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan
yang meluas atau sistematik. Serangan ini juga ditujukan secara langsung terhadap
penduduk sipil. Bentuknya berupa pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran
atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan, dan masih banyak
lagi.
Aspek Prosedur Pelanggaran HAM

Aspek prosedur juga penting untuk menentukan pelanggaran HAM atau pelanggaran HAM
yang berat. Suatu peristiwa tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM atau
pelanggaran HAM yang berat tanpa melalui prosedur yang sudah diatur. UU 39 Tahun 1999
memandatkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI (Komnas HAM) menangani kasus
pelanggaran HAM, dan UU 26 Tahun 2000 menangani kasus pelanggaran HAM yang berat.
Untuk melaksanakan mandat ini, Komnas HAM memiliki peraturan standar operasional
prosedur (SOP) sebagai pedoman teknis menangani kasus pelanggaran HAM dan
pelanggaran HAM yang berat.
Aspek Prosedur Pelanggaran HAM: Penyelidikan oleh
Komnas HAM
Jadi ada dua tipe penyelidikan oleh Komnas HAM terhadap dua jenis peristiwa pelanggaran
HAM, yakni penyelidikan pelanggaran HAM dan penyelidikan pelanggaran HAM yang
berat. Masing-masing memiliki basis legalitas Undang-Undang dan SOP berbeda. Walaupun
sama-sama sebagai tindakan penyelidikan, masing-masing penyelidikan memiliki karakter
dan mekanisme penanganan berbeda.
Aspek Prosedur Pelanggaran HAM:

Undang-Undang 26 Tahun 2000 yang mengatur


tentang peradilan HAM memberikan legitimasi
bahwasanya proses penyelesaian kasus-kasus HAM
Berat diselesaikan melalui sebuah pengadilan yang
bersifat ad-hoc.

Adapun pengaturan lebih lanjut mengenai pengertian


pengadilan ad-hoc terdapat pada pasal 43 yang pada
Aspek Prosedur Pelanggaran HAM:

KOMNAS HAM merupakan lembaga yang memiliki


wewenang dalam melakukan pengusutan kasus
HAM Berat yang dihasilkan dari penyelidikan
Komnas HAM memiliki sifat Proyustisia.

Setelah selesainya fungsi penyelidikan, Komnas


HAM melimpahkan berkas hasil penyelidikan
kepada Kejaksaan Agung untuk melanjutkan
Aktor dalam Pelanggaran HAM

Berdasarkan hukum HAM Nasional, secara tegas


telah dinyatakan bahwa pelanggaran HAM dapat
dilakukan oleh perbuatan seseorang atau kelompok
orang termasuk aparat negara baik disengaja,
maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara
melawan hukum, mengurangi, menghalangi,
membatasi dan mencabut HAM seseorang atau
kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang.
Aktor Negara (State Actor) dalam Pelanggaran HAM

Pelaku Negara (State Actor)


Sebagaimana diatur dalam hukum Internasional HAM, state actor mencakup negara atau seluruh penyelenggara negara baik organ negara,
lembaga negara, lembaga pemerintahan, termasuk lembaga pemerintahan non-Kementerian. Penggolongan lembaga negara di Indonesia dapat
dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu:

Lembaga Negara yang keberadaannya disebut dalam UUD NKRI Tahun 1945 dan kewenangannya ditentukan juga dalam Undang Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Lembaga Negara yang keberadaannya disebut dalam UUD NKRI Tahun 1945, namun kewenangannya tidak ditentukan di dalamnya.

Lembaga Negara yang keberadaannya tidak disebut dalam UUD NKRI Tahun 1945 dan kewenangannya tidak ditentukan di dalam UUD NKRI
Tahun 1945, tetapi keberadaannya mempunyai apa yang disebut sebagai constitutional importance, sebagiaman Komisi Perlindungan Persaingan
Usaha (KPPU), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Negara dianggap sebagai pelaku pelanggaran HAM merupakan konsekuensi dari tanggung jawab yang diembannya yaitu untuk menghormati (to
respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfil) HAM sehingga ketika suatu negara baik sengaja maupun karena kelalaiannya
melakukan tindakan yang melanggar ketiga kewajiban tersebut, maka negara telah dianggap melakukan pelanggaran HAM.
Aktor non-Negara (State Actor) dalam Pelanggaran HAM

Salah satu elemen atau unsur penting yang harus


diperhatikan dalam hal ini adalah adanya
sekelompok massa yang terorganisir, perusahaan
multinasional atau perusahaan transnasional.
Perusahaan-perusahaan itu memiliki aset ekonomi
dan kekuasaan yang mampu menekan dan
mempengaruhi pemerintahan bahkan kebijakan
negara.
Pelanggaran HAM: contoh-contoh kasus
Refleksi Pelanggaran HAM: contoh-
contoh kasus
Tantangan Penyelesaian Kasus HAM

• Aktor Utama Pelanggaran HAM Berat Seringkali


Tidak Tergapai
• Terbentuknya pengadilan HAM tidak diartikan
sebagai sebuah badan peradilan yang sempurna,
pasti pula memiliki titik kelemahan.
• Kelemahan daripada peradilan ad hoc ini terletak
pada pertentangan yang dimiliki antara doktrin,
penjelasan pasal serta prinsip yang dianut. Dalam
Tantangan Penyelesaian Kasus HAM

Permasalahan terkait pelanggaran HAM dalam suatu


negara tidak dapat dilepas kaitannya dengan segala
hal yang dilakukan oleh Pemerintah.

Pelanggaran HAM kategori berat biasa disebut


sebagai Gross Violation of Human Right seharusnya
tidak hanya dibebankan kepada individu saja yang
melakukan, tetapi juga harus ada
Tantangan Penyelesaian Kasus HAM

Sulitnya Pembuktian Kasus HAM Berat Masa Lalu


Kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di
Indonesia sampai dengan sekarang masih banyak
yang belum ada titik temunya.

Penyelesaian Pelanggaran HAM berat melalui


pengadilan HAM ini sulit ditempuh dikarenakan
juga sulitnya pembuktian.
Tantangan Penyelesaian Kasus HAM

Sifatnya hanya menghukum pelaku kejahatan baik


secara sanksi administratif kelembagaan maupun
penerapan hukum pidana Indonesia.

Keluarga korban tidak dapat jaminan pemulihan


trauma dan tidak ada jaminan oleh negara untuk
tidak melakukan pelanggaran HAM yang berulang.
Menurut data, setidaknya masih terdapat 12 kasus

Anda mungkin juga menyukai