Anda di halaman 1dari 11

Nama : Salvia Amirah Rahardini

Kelas : Hukum dan Hak Asasi Manusia – N


NIM : 11000120140829
Tugas : 2

A. PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA


Di kalangan para ahli terdapat semacam kesepakatan umum dalam mendefinisikan
pelanggaran hak asasi manusia itu sebagai suatu “pelanggaran terhadap kewajiban negara yang
lahir dari instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia”. Adapun pengertian lainnya
yaitu pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok kelompok orang
termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak sengaja atau kelalaian yang secara
melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau undang, dan tidak mencabut
hak asasi manusia seseorang atau orang yang dijamin oleh undang mendapatkan, atau
dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan
mekanisme hukum yang berlaku.

Dalam rumusan di atas terlihat dengan jelas bahwa pihak yang bertanggungjawab
adalah negara, bukan individu atau badan hukum lainnya. Jadi sebetulnya yang menjadi titik
tekan dalam pelanggaran hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara (state
responsibility). Elemen-elemen yang merupakan pelanggaran hukum internasional, biasanya,
dirumuskan sebagai berikut: (i) melakukan perbuatan (act) yang tidak diperbolehkan, atau tidak
melakukan (omission) tindakan yang diwajibkan berdasarkan hukum internasional; dan (ii)
melakukan perbuatan yang merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional.

Pelanggaran hak asasi manusia yang dipaparkan di atas jangan diidentikkan dengan
“kejahatan internasional paling serius” (the most serious international crimes). Meskipun
kejahatan internasional tersebut seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, agresi,
terorisme dan kejahatan perang, bisa saja disebut sebagai “pelanggaran hak asasi manusia”,
tetapi ia tidak dapat begitu saja disamakan dengan pelanggaran hak asasi manusia sebab
pertanggungjawabannya sangat berbeda. Dalam kejahatan-kejahatan internasional paling
serius itu yang bertanggungjawab adalah individu, bukan entitas abstrak seperti negara.
Sedangkan dalam pelanggaran hak asasi manusia yang bertanggungjawab adalah negara.
Dalam konteks HAM yang konvensional, pelanggaran HAM terutama dilihat sebagai
tanggung jawab negara di dalam konteks kewajibannya terhadap warga negaranya.
Sebagaimana dikemukakan oleh English & Stapleton yang dikutip oleh MM Billah bahwa
“...pelanggaran hak asasi manusia dilakukan oleh negara lewat agen - agennya (polisi,
Angkatan Bersenjata dan setiap orang yang bertindak dengan kewenangan dari negara)
melawan individu…”1 Pemahaman yang demikian ini disebabkan karena pada hakikatnya
konsep HAM secara normatif bertujuan untuk mencegah kemungkinan terjadinya
penyalahgunaan kekuasaan atau membatasi penggunaan sarana kekuatan koersif negara.
Bahkan karena kekuasaan koersif yang dimilikinya ini mengakibatkan negara senantiasa
menjadi ancaman bagi keselamatan atau keamanan setiap manusia di bawah jurisdiksinya
karena tidak seorangpun dapat terlepas dari kekuasaan tersebut. 2

Untuk mengidentifikasi ada tidaknya suatu pelanggaran HAM maka hal pertama yang
harus dilakukan adalah menghubungkan pelanggaran tersebut dengan suatu bentuk tindakan
negara, baik dengan tindakan langsung atau tidak langsung dengan membiarkan pelanggaran
terjadi.3 Dalam hal ini Baehr mengemukakan teori efek vertikal - horizontal HAM untuk
menjelaskan hakikat konsep pelanggaran HAM.4 Pengertian vertikal HAM, yaitu melindungi
individu atau kelompok individu dari campur tangan yang tidak adil oleh pemerintah,
sedangkan pengertian horizontal mengacu pada sesama warga negaranya. Karenanya menjadi
tugas pemerintah untuk melindungi individu dari pelanggaran haknya oleh individu atau
kelompok lain.

Pengertian yang tepat untuk konsep pelanggaran HAM secara implisit terdapat dalam
Pasal 1 dan Pasal 18 dari Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and
Abuse of Power. Pasal 1 Deklarasi tersebut menentukan bahwa:

1
MM Billah," Tipologi dan Praktek Pelanggaran hak Asasi Manusia di Indonesia". Makalah disampaikan pada
Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII di Denpasar Bali tanggal 14 -18 Juli 2003
2
Menurut Miriam Budiardjo, negara mempunyai sifat memaksa, monopoli, d an mencakup semua. Sifat
memaksa tersebut diartikan kekuasaan untuk memakai kekerasan fisik secara legal dengan sarana polisi, tentara
dan sebagainya. Lihat: Miriam Budiardjo, Dasar Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2008), hlm.50.
3
Julie Mertus. (2001). Hak Asasi Manusia Kaum Perempuan: Langkah Demi Langkah. Jakarta : Pustaka Sinar
Harapan. Hlm. 181.
4
Peter R.Baehr. (1998). Hak Hak Asasi Manusia dalam Politik Luar Negeri. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia .
Hlm. 11-12.
Persons who, individually or collectivelly, have suffered harm, including physical or
mental injury, emotional suffering, economic loss or substantial impairment of their
fundamental rights, through acts or omissions that are in violation of criminal laws
operative within Member States, including those laws proscribing criminal abuse of
power.

Sedang Pasal 18 Deklarasi antara lain menyatakan bahwa :


"...through acts or omissions that do not yet constitute violations of national criminal
laws but of internationally recognized norms relating to human rights...".

Pasal-pasal ini sebenarnya tidak secara langsung memberikan pengertian tentang


pelanggaran HAM, tetapi lebih pada siapa yang dimaksud dengan korban. Korban pelanggaran
HAM secara struktural selalu rakyat (warga negara), baik individu maupun kelompok individu
vis - a vis negara (pemerintah) sebagai pelaku pelanggaran HAM. Pengertian tersebut
memberikan pemahaman bahwa pelanggaran HAM adalah kejahatan penyalahgunaan
kekuasaan atau pelanggaran terhadap norma-norma hukum internasional tentang
HAM.

Dari konsep pelanggaran HAM yang terdapat dalam instrumen-instrumen internasional


tersebut maka dapat dikemukakan bahwa pengertian pelanggaran HAM selalu dikaitkan
dengan elemen keterlibatan negara, karena memang subyek penanggung jawab HAM per se
adalah negara.5 Pengertian pelanggaran HAM dipahami tidak melulu yang berupa tindakan
(action), tapi sekaligus juga berupa pendiaman (omission), dimana pelanggaran dilakukan oleh
individu atau kelompok individu yang bukan aparat negara, namun negara melalui aparatnya
tidak melakukan tindakan apapun, baik preventif maupun represif.

Menurut Chernicenko, sebagaimana dikutip oleh Titon Slamet Kurnia, bahwa


pelanggaran HAM dikaitkan dengan negara (pemerintah) jika pelakunya adalah badan atau
pejabat negara yang bertindak sesuai dengan kewenangannya maupun yang ultra vires, badan
atau pejabat daerah; parlemen yang mengundangkan peraturan perundang-undangan yang

5
Titon Slamet Kurnia . (2005). Reparasi (Reparation) terhadap Korban Pelanggaran HAM Indonesia .
Bandung: Citra Aditya Bakti. Hlm. 17.
rasis; maupun kabinet yang menjalankan kebijakan represif. 6 Bahkan pemerintah dapat pula
menghasut supaya terjadi pelanggaran HAM seolah-olah pelanggaran tersebut dilakukan oleh
individu (atau penduduk) atau menutup mata terhadap pelanggaran HAM yang terjadi.
Pelanggaran HAM yang dapat digugat kepada negara, kecuali tindakan yang langsung
dilakukan oleh (aparat) negara, menurut Chernicenko adalah:
1. Pelanggaran yang dilakukan berdasarkan 'direct order, instigation' (dorongan), connivance'
(kerjasama diam - diam), atau 'approval oleh pemerintah sebelum atau setelah kejadian, atau
persetujuan dalam berbagai bentuk lainnya.
2. Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan individu pribadi yang secara 'de facto' memegang
kekuasaan di suatu negara atau mempunyai pengaruh terhadap pemerintah, atau pelanggaran
yang dilakukan oleh pejabat publik, namun tidak ada langkah-langkah yang diambil oleh
negara.

Salah satu unsur penting terjadinya pelanggaran HAM adalah adanya penyalahgunaan
kekuasaan oleh Pemerintah, baik yang dilakukan dengan perbuatannya sendiri (by commission)
maupun karena kelalaiannya (by ommission), yaitu pelanggaran terhadap suatu kewajiban
negara. Bila terjadi pelanggaran HAM maka yang bertanggung jawab adalah negara, bukan
badan hukum atau individu, karena sebenarnya yang menjadi titik tekan dalam pelanggaran
HAM adalah tanggung jawab negara (State responsibility), yaitu tanggung jawab yang timbul
sebagai akibat dari pelanggaran terhadap kewajiban untuk melindungi dan perjanjian
menghormati HAM oleh negara. Kewajiban yang dimaksud disini adalah kewajiban yang lahir
dari perjanjian yang internasional HAM, maupun dari hukum kebiasaan internasional,
khususnya norma - norma hukum kebiasaan internasional memiliki sifat jus cogens.

Di sisi lain Konferensi Dunia tentang HAM di Vienna tahun 1993 telah
mengembangkan suatu perspektif yang lebih luas tentang HAM, termasuk mengenai
pelanggaran HAM. Pada konferensi ini selain diakui bahwa HAM - yang terdiri dari hak hak
sipil, budaya, ekonomi, politik dan sosial - merupakan hak hak yang tidak dapat dipilah-pilah,
saling berkaitan dan saling tergantung, juga ditegaskan bahwa hak-hak tersebut tidak hanya
menjadi tanggung jawab negara, tapi juga merupakan tanggung jawab dari para pelaku swasta.7

6
Stanislav Chernicenko, Definition of Gross and Large Scale Violations of Human Rights as an Intenational
Crime, E/CN.4/Sub.2/1993/10, dikutip oleh Titon, Loc.Cit.
7
Judith Dueck et al, HURIDOCKS Events Standard Formats: A Tool for Documenting Human Rights
Violations, (Second Revised Ed.), Versoix-Switzerland, 2001.
Dengan kata lain, Konferensi Vienna mengakui bahwa para pelaku swasta memiliki kewajiban
dan tanggung jawab untuk menghormati dan melaksanakan HAM.

Mastricht Guidelines8 menegaskan bahwa pelanggaran HAM dapat dilakukan oleh


negara maupun oleh pelaku non-negara. Pelanggaran dapat terjadi dengan acts of commission
(tindakan untuk melakukan) oleh negara atau pihak lain yang tidak diatur secara memadai oleh
negara, atau lewat acts of omission (tindakan untuk tidak melakukan tindakan apapun) oleh
negara. Menurut Jimly Asshiddique, perubahan pemahaman ini sebenarnya tidak lepas dari
perkembangan yang terjadi pada menjelang berakhirnya abad ke-20, dengan munculnya
beberapa fenomena baru yang tidak pernah ada ataupun kurang mendapat perhatian di masa-
masa sebelumnya, yaitu :

Pertama, munculnya fenomena konglomerasi berbagai perusahaan berskala besar


dalam suatu negara yang kemudian berkembang menjadi Multinational Corporations (MNC's)
atau disebut juga Trans-National Corporations (TNC's) dimana-mana di dunia. Kedua, abad
ke-20 juga telah memunculkan fenomena Nations tersebar di without State, seperti bangsa
Kurdi yang berbagai negara Turki dan Irak; bangsa Cina Nasionalis yang tersebar dalam jumlah
yang sangat besar di hampir semua negara di dunia; bangsa Persia (Iran), Irak, dan Bosnia yang
terpaksa berkelana kemana-mana karena masalah-masalah politik yang mereka hadapi di
negeri asal mereka. Ketiga, dalam kaitannya dengan fenomena pertama dan kedua di atas,
mulai penghujung abad ke-20 telah pula berkem bang suatu lapisan sosial tertentu dalam setiap
masyarakat di negara-negara yang terlibat aktif dalam pergaulan internasional, yaitu kelompok
orang yang dapat disebut sebagai global citizens. Keempat, dalam berbagai literatur mengenai
corporatisme negara, terutama di beberapa negara yang menerapkan prosedur federal
arrangement, dikenal adanya konsep corporate federalism sebagai sistem yang mengatur
prinsip representasi politik atas dasar pertimbangan pertimbangan ras tertentu ataupun
pengelompokan kultural penduduk.

B. KEWAJIBAN NEGARA

8
Mastricht Guidelines dihasilkan dalam suatu pertemuan dari lebih 30 ahli yang diselenggarakan di Mastricht
tanggal 22-26 Januari 1997 yang diorganisir oleh lnternational Commission of Jurist, the Urban Morgan Institute
on Human Rights and the Centre for Human Rights of the Faculty of Law of Mastich University . Pertemuan ini
bertujuan untuk mengelaborasi prinsip-prinsip Limburg tentang Implementasi Kovenan Internasional tentang Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya yang dilihat sebagai sifat dan lingkup pelanggaran hak -hak ekonomi, sosial dan
budaya.
Pelindungan dan penegakan hak asasi manusia merupakan kewajiban semua pihak,
negara dan warga negaranya. Setiap hak asasi manusia seseorang akan menimbulkan
kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal
balik. Sehingga terdapat pembatasan dan larangan dalam pelaksanaan perlindungan hak asasi
manusia. Dalam hal demikian maka diperlukan tanggung jawab negara untuk memastikan
bahwa setiap individu yang berada di bawah kekuasaannya menghormati prinsip-prinsip HAM
tersebut dan melaksanakan penegakannya atas pelanggaran yang terjadi, serta menjamin
pemenuhan hak-hak tersebut.

Dalam hukum HAM, negara c.q Pemerintah mempunyai kedudukan sebagai pemangku
kewajiban (duty bearer) dan individu-individu yang berdiam di wilayah yurisdiksinya sebagai
pemegang hak (rights holder). Hukum hak asasi manusia merumuskan 3 (tiga) bentuk
kewajiban Negara yaitu kewajiban untuk menghormati (obligation to respect); kewajiban
untuk memenuhi (obligation to fulfill); dan kewajiban untuk melindungi (obligation to
protect). Penjelasan dari tiga bentuk kewajiban tersebut adalah :
a. Kewajiban untuk Menghormati (obligation to respect)
Kewajiban untuk menghormati mengacu pada kewajiban Negara untuk tidak melakukan
campur tangan (interference) terhadap hak sipil warga Negara kecuali atas hukum yang sah
(legitimate). Campur-tangan yang tidak sah merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Oleh
karena itu, hak untuk hidup berhubungan dengan kewajiban negara untuk tidak membunuh;
hak atas integritas fisik dan mental berhubungan dengan kewajiban negara untuk tidak
menyiksa, hak untuk memilih berhubungan dengan kewajiban negara untuk tidak melarang
bahkan mengeluarkan seseorang dari pemilihan umum yang demokratis; sedangkan hak untuk
bekerja, kesehatan dan pendidikan berhubungan dengan kewajiban negara untuk menyediakan
pekerjaan, fasilitas kesehatan dan sistem pendidikan.
b. Kewajiban untuk Memenuhi (obligation to fulfill)
Kewajiban untuk memenuhi (obligation to fulfill) adalah kewajiban negara untuk memenuhi
mengacu pada kewajiban negara untuk mengambil langkah legislatif, administratif, judisial dan
kebijakan praktis untuk memastikan hak-hak warga negara dapat terpenuhi hingga pencapaian
maksimal. Pemenuhan HAM, misal hak atas pekerjaan, keamanan sosial, kesehatan maupun
pendidikan, mewajibkan negara untuk mengeluarkan ketentuan hukum (peraturan) dan
membentuk suatu administrasi pasar kerja, pelayanan sosial, kesehatan dan pendidikan yang
sesuai memungkinkan orang untuk mempunyai akses diskriminatif terhadap pasar kerja, rumah
sakit, pelayanan medis, sekolah, universitas dan lembaga-lembaga sosial yang sesuai.
c. Kewajiban untuk Melindungi (obligation to protect)
Kewajiban untuk melindungi mensyaratkan tindakan aktif dari negara untuk memastikan tidak
terjadinya pelanggaran hak asasi manusia oleh pihak ketiga, baik itu individu, kelompok
maupun korporasi. Tidak terpenuhinya tiga kewajiban di atas akan berujung pada pelanggaran
hak asasi manusia. Pada posisi ini, pelanggaran hak asasi manusia hanya dapat dilakukan
dan/atau disematkan kepada negara (pemerintah: eksekutif, legislatif dan yudikatif).
Ketidakmauan (unwillingness) dan ketidakmampuan (unability) Negara untuk melindungi dan
memenuhi disebut sebagai pelanggaran hak asasi manusia pasif (human rights violation by
omission). Sedangkan kegagalan Negara untuk menghormati disebut sebagai pelanggaran hak
asasi manusia aktif (human rights violation by commission).9

Beberapa contoh penegasan negara sebagai pengemban utama kewajiban HAM ini
antara lain dapat ditemukan dalam Pasal 55 (c) Piagam PBB. Dengan demikian maka setiap
negara anggota PBB memiliki kewajiban untuk mempromosikan HAM sebagaimana
ditentukan dalam pasal tersebut. Penekanan bahwa negara-negara memiliki kewajiban dalam
soal HAM juga dinyatakan dalam Pembukaan UDHR. Adapun didalam bagian Pembukaan
pada ICCPR dan ICESCR, tepatnya pada Pasal 2 ayat (1) ICCPR yang menyatakan bahwa:
"...Each State Party to the present Covenant undertakes to respects and to ensure to all
individuals within its territory and subject to its jurisdiction the rights recognized in the present
Covenant....". Kewajiban tersebut secara nyata harus diwujudkan oleh negara yang dalam hal
ini dilaksanakan oleh otoritas yudisial, administrasi, legislatif maupun oleh otoritas lainnya
dalam bentuk dilaksanakannya remedi terhadap individu yang telah menjadi korban
pelanggaran HAM (Pasal 2 ayat (3) ICCPR).

Bagi Indonesia, kewajiban negara di bidang HAM secara konstitusional diakui oleh
UUD Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 28 I ayat (4) dan dalam Pasal 71 UU No.39/1999
tentang HAM. Pasal 28 I ayat (4) UUD RI 1945 menyatakan bahwa "...perlindungan,
pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia. adalah tanggung jawab negara,
terutama pemerintah..." Sedangkan Bab V Pasal 71 UU Nomor: 39 tahun 1999 tentang HAM
menyatakan bahwa : "... Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi,
menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam UU ini, peraturan

9Dr. Aprilita, Serlika dan Hj. Yonani Hasyim. (2020). Hukum dan Hak Asasi Manusia. Jakarta : Mitra Wacana
Media. Hlm. 78-79.
perundang undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima
oleh negara Republik Indonesia..."10 Kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah sebagaimana
diatur dalam Pasal 71 memerlukan langkah implementasi efektif dalam berbagai bidang, yaitu
hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara dan bidang lainnya
(Pasal 72). Hal ini berarti bahwa seluruh kehidupan kenegaraan perlu diresapi dengan semangat
perlindungan dan pemenuhan HAM. Bila hal ini tidak dilaksanakan oleh Pemerintah beserta
jajarannya (dalam arti luas, baik vertikal maupun horizontal), maka Pemerintah dapat dituduh
telah melalaikan kewajiban yuridisnya.11

Mencermati paparan di atas maka dapat dikemukakan bahwa konsep HAM yang pada
awalnya menekankan pada hubungan vertikal sebenarnya dipengaruhi oleh sejarah
pelanggaran HAM yang terutama dilakukan oleh negara, baik terhadap hak sipil politik
maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya. Sebagai konsekuensinya, disamping karena sudah
merupakan tugas pemerintahan, kewajiban utama perlindungan dan pemajuan HAM ada pada
pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari rumusan-rumusan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia, Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, serta Konvenan Internasional
tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang merupakan pengakuan negara terhadap hak
asasi manusia sebagaimana menjadi substansi dari ketiga instrumen tersebut. Konsekuensinya,
negara-lah yang terbebani kewajiban perlindungan dan pemajuan HAM. Kewajiban negara
tersebut ditegaskan dalam konsideran "Menimbang" dalam Konvenan Internasional tentang
Hak Sipil dan Politik maupun Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya. Dalam hukum nasional, Pasal 281 ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa
perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara,
terutama Pemerintah.

Namun dengan berkembangnya konsepsi HAM yang juga meliputi hubungan-


hubungan horizontal mengakibatkan perluasan kategori pelanggaran HAM dan aktor
pelanggarnya. Hak atas informasi dan hak partisipasi dalam pembangunan misalnya tidak
hanya menjadi kewajiban negara, tetapi juga menjadi tanggung jawab korporasi-korporasi yang

10
Dari ketentuan Pasal 71 tersebut dapat dipahami bila UU No.39 tahun 1999 tentang HAM bukan merupakan
satu-satunya UU yang menjamin perlindungan dan pemenuhan HAM, karena masih ada peraturan perundangan
lain yang substansinya juga mengatur tentang HAM, termasuk di dalamnya konvensi konvensi internasional
tentang HAM yang telah diterima/diratifikasi Indonesia.
11
Safroedin Bahar. (2002). Konteks Kenegaraan Hak Asasi Manusia. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. Hlm.
170.
dalam aktivitasnya bersinggungan dengan kehidupan masyarakat. Keberadaan perusahaan-
perusahaan mau tidak mau membawa dampak dalam kehidupan masyarakat yang sering kali
mengakibatkan berkurangnya hak asasi manusia. Persinggungan antara korporasi dengan
HAM setidaknya terkait dengan hak atas lingkungan yang bersih dan sehat, hak atas
ketersediaan dan aksesibilitas terhadap sumber daya alam dan hak-hak pekerja. Dengan
demikian maka sudah saatnya kewajiban dan tanggung jawab perlindungan dan pemajuan
HAM juga ada pada setiap individu dan korporasi. Kewajiban dan tanggung jawab korporasi
dalam bentuk Corporate Social Responsibility (CSR) terutama dalam Community
Development, tidak seharusnya sekedar dimaknai sebagai upaya membangun citra. Kewajiban
dan tanggung jawab tersebut lahir karena komitmen kemanusiaan. Kewajiban tersebut juga
lahir karena kesadaran bahwa aktivitas korporasi, secara langsung maupun tidak, telah ikut
menciptakan ketimpangan, kemiskinan, dan keterbelakangan.

C. LIMITASI DAN DEROGASI


Derogasi adalah “pengecualian”, yaitu suatu mekanisme di mana suatu negara
menyimpangi tanggung jawabnya secara hukum karena adanya situasi yang darurat.
Persyaratan-persyaratan yang membolehkan derogasi telah ditentukan di dalam perjanjian
internasional. Hal ini dimuat di dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik
yaitu pada pasal 4. Mengenai alasan yang boleh digunakan untuk membuat derogasi yaitu suatu
keadaan darurat yang esensial dan mengancam kelanjutan hidup suatu negara, ancaman
esensial terhadap keamanan nasional dan disintegrasi bangsa. Perang saudara dan bencana
alam (seperti tsunami) dapat membenarkan adanya derogasi. Walaupun begitu, derogasi hanya
dapat digunakan untuk hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang telah ditentukan. Suatu negara
dapat menggunakan derogasi untuk satu hal tertentu, misalnya penahanan tersangka, tetapi
tidak membuat derogasi untuk klausul hak asasi manusia secara keseluruhan.

Badan-badan international memberikan ruang penilaian (margin of appresiasion atau


diskresi) untuk menentukan ‘bentuk ancaman’ terhadap keamanan nasional. Derogasi
memungkinkan suatu negara untuk dapat meloloskan diri dari pelanggaran terhadap bagian
tertentu suatu perjanjian internasional. Derogasi yang sah atas penahanan berarti tidak ada satu
pun individu yang dapat mengajukan pengaduan terhadap negara atas penahanan yang tidak
sesuai dengan hukum, dan tidak ada badan pemantau international yang dapat menyelidiki
kesahihan penahanan yang dilakukan oleh negara tersebut. Akan tetapi, tidak semua hak dapat
diderogasi. Menurut Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik tidak ada derogasi
yang diizinkan untuk beberapa ketentuan tertentu yaitu hak untuk hidup, pelarangan
penyiksaan, larangan perbudakan dan peraturan perundang-undangan pidana yang menyangkut
persoalan masa lalu dan kebebasan pikiran, hati nurani dan agama. Hak-hak tersebut tidak
dapat diderogasi dan seringkali dianggap lebih penting daripada hak yang dapat diderogasi.
Namun, hal ini tidak dapat dianggap demikian, karena negara pasti memerlukan beberapa
fleksibilitas ketika menerapkan hak-hak yang dapat diderogasi jika keadaan darurat nasional
terjadi.12

Pembatasan (limitasi) merupakan suatu hak yang biasanya harus dicantumkan dalam
hukum nasional karena tujuannya agar semua orang dapat mengetahui tentang pembatasan itu
dan pelaksanaanya tidak boleh sewenang-wenang. Pembatasan harus dibuat untuk tujuan yang
ditentukan dan pembatasan pada hak dan kebebasan hanya boleh dilakukan sepanjang
diperlukan bagi pemenuhan tujuan yang sudah ditentukan secara sah. Pembatasan sering
dikenakan untuk mengatur benturan hak-hak, sebagai contoh kebebasan berekspresi adalah
suatu kebebasan dasar dalam masyarakat demokratis, walaupun begitu, jika seseorang
diizinkan untuk mengatakan hal apapun pada orang lain, maka akan menimbulkan pelanggaran
terhadap hak dan kebebasan lainnya. Kebebasan ini harus mempunyai pembatasan demi
menghormati hak dan reputasi orang lain atau untuk melindungi keamanan nasional, ketertiban
umum, kesehatan atau moral. Pembatasan ini memungkinkan kekuasaan negara untuk
menetapkan jangkauan pelaksanaan hak atau kebebasan yang dibolehkan.

Contoh mengenai pembatasan terdapat dalam Pasal 8 Kovenan Internasional tentang


Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang mensyaratkan negara untuk memastikan bahwa semua
orang dapat membentuk dan bergabung dengan organisasi buruh. Dalam situasi yang ekstrim,
hal ini dapat mengakibatkan masalah yang serius bagi negara, jadi Pasal 8 ayat (1) huruf (c)
menyatakan bahwa ”hak serikat buruh untuk beraktifitas secara bebas tidak terikat pada
batasan-batasan kecuali batasan yang ditetapkan oleh hukum yang perlu dalam masyarakat
demokratis untuk kepentingan keamanan nasional atau ketertiban umum atau untuk melindungi
hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain”. Jadi negara, contohnya, dapat membatasi
aktivitas publik dari serikat buruh dengan tujuan untuk menata ketertiban umum.13

12 Philip Alston dan Franz Magnis. (2008). Hukum Hak Asasi Manusia. Jogjakarta : : Pusat Studi Hak Asasi
Manusia Universitas Islam Indonesia . Hlm. 41-43.
13 Ibid. Hlm. 51.
REFERENSI

Buku
Prof. Dr. Rahayu. (2015). Hukum Hak Asasi Manusia. Semarang : Badan Penerbit UNDIP
Miriam Budiardjo. (2008). Dasar Dasar Ilmu Politik : Edisi Revisi. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Julie Mertus. (2001). Hak Asasi Manusia Kaum Perempuan: Langkah Demi Langkah. Jakarta
: Pustaka Sinar Harapan.
Peter R.Baehr. (1998). Hak Hak Asasi Manusia dalam Politik Luar Negeri. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Titon Slamet Kurnia. (2005). Reparasi (Reparation) terhadap Korban Pelanggaran HAM
Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Philip Alston dan Franz Magnis. (2008). Hukum Hak Asasi Manusia. Jogjakarta : Pusat Studi
Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia.
Dr. Aprilita, Serlika dan Hj. Yonani Hasyim. (2020). Hukum dan Hak Asasi Manusia. Jakarta
: Mitra Wacana Media.
Safroedin Bahar. (2002). Konteks Kenegaraan Hak Asasi Manusia. Jakarta : Pustaka Sinar
Harapan.

Jurnal atau Artikel


MM Billah," Tipologi dan Praktek Pelanggaran hak Asasi Manusia di Indonesia". Makalah
disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII di Denpasar Bali
tanggal 14-18 Juli 2003
Stanislav Chernicenko, Definition of Gross and Large Scale Violations of Human Rights as an
Intenational Crime, E/CN.4/Sub.2/1993/10, dikutip oleh Titon, Loc.Cit.
Judith Dueck et al, HURIDOCKS Events Standard Formats: A Tool for Documenting Human
Rights Violations, (Second Revised Ed.), Versoix-Switzerland, 2001.
Mastricht Guidelines dihasilkan dalam suatu pertemuan dari lebih 30 ahli yang diselenggarakan
di Mastricht tanggal 22-26 Januari 1997

Anda mungkin juga menyukai