Anda di halaman 1dari 19

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Tanggung Jawab Negara Terhadap Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Tanggung jawab negara merupakan suatu prinsip fundamental dalam

hukum, baik hukum internasional yang bersumber dari doktrin kedaulatan dan

persamaan hak antar negara maupun hukum nasional yang bersumber pada

konstitusi suatu negara.Tanggung jawab negara timbul bila ada pelanggaran atas

suatu kewajiban untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu, baik kewajiban

tersebut berdasarkan suatu perjanjian internasional maupun hukum nasional.38

Menurut hukum internasional, pertanggung jawaban negara timbul dalam

hal suatu negara merugikan negara lain. Pertanggung jawaban negara dibatasi

pada pertanggung jawaban atas perbuatan yang melanggar hukum internasional.

Perbuatan suatu negara yang merugikan negara lain tetapi tidak melanggar hukum

internasional, tidak menimbulkan pertanggung jawaban negara. Sedangkan

menurut hukum nasional, pertanggung jawaban muncul karena negara adalah

sebagai pihak yang mempunyai power dalam menjalankan fungsi negara.39

Tantangan untuk melindungi hak-hak warga negara dari suatu bangsa

merupakan suatu tanggung jawab yang besar dan juga merupakan suatu

keistimewaan yang indah. Memahami konsep dan prinsip-prinsip hak asasi

manusia dengan lebih baik maka diharapkan tiap individu dapat membantu

38 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta: Konstitusi
Press, 2005, hlm 5
39 Sefriani.Hukum Internasional (Suatu Pengantar). Jakarta Raja Grafindo, Persada.
2010,hlm 8

43
mereka yang tidak dapat membantu diri mereka sendiri, memberikan suara bagi

yang tertindas yang tidak memiliki suara, menjembatani pengertian antara

pemerintah dan para pemegang kepentingan, berusaha mencapai masyarakat yang

lebih setara dan lebih peduli, menciptakan dunia yang lebih baik pada tingkatan

lokal dan menjalankan tugas dan fungsi jabatan yang menghormati, menegakkan,

memajukan, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia.

Kewajiban secara hukum ini merupakan bagian dari Kewajiban Progresif

negara dalam Hukum Hak Asasi Manusia Internasional. Kewajiban ini memiliki

sifat progressive dalam artian bahwa pemenuhan kewajiban ini adalah kelanjutan

dari kewajiban perlindungan dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia, dan

penerapannya relatif pada kemampuan negara untuk melaksanakannya. Haruslah

dipahami bahwa negara-negara berbeda dalam kemampuannya untuk mendukung

kewajiban progresif tersebut, oleh karenanya sering kali digunakan ukuran

minimal dalam standarisasi realisasi kewajiban tersebut40. Kewajiban Langsung

menjadi tolak ukur utama dalam Hukum Hak Asasi Manusia Internasional,

sedangkan Kewajiban Progresif diamanatkan lebih spesifik dalam konstitusi

negara masing-masing, seperti di Indonesia yang diatur dalam pasal 33 Undang-

Undang dasar 1945. Kewajiban negara tidak terbatas pada kedua kewajiban

tersebut, karena Hukum Internasional dan masyarakat Internasional melihat wajib

40 Human Rights Committee general comment No. 31 (2004) on the nature of the general
legal Obligation imposed on States parties to the Covenant and Committee on Economic, Social
and Cultural Rights general comment No. 3 (1990) on the nature of States parties Obligations (art.
2, para. 1).

44
bagi negara untuk menerapkan konsep Due Diligence41 dalam perlindungan hak

asasi manusia. Negara diwajibkan untuk memenuhi standar tertentu berdasarkan

akal dan kebiasaan dalam usahanya memenuhi kewajiban terkait Hukum Hak

Asasi Manusia Internasional. Standar tersebut dikenal dengan Due Diligence,

Hukum Internasional mengakui adanya kebiasaan yang berlaku umum dalam

usaha untuk memenuhi kewajiban negara dalam hukum internasional.

Pembahasan berikut akan membuktikan begitu luasnya kewajiban negara untuk

melindungi hak asasi manusia setiap individu dalam wilayah kekuasaannya. Hal

ini mengangkat permasalahan sejauh mana negara bertanggung jawab atas setiap

pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi dalam wilayahnya, walaupun

pelanggaran itu tidak dilakukan secara langsung oleh negara tersebut. Dalam

kasus yang layak diperhatikan, Velásquez Rodríguez v Honduras, the

InterAmerican Court of Human Rights (IACHR) menyatakan bahwa:

“A State can be held responsible for violations occurring in the private

sphere only where it can be shown that it failed to exercise ‘Due Diligence’ to

prevent and respond to the violations42. ”(Suatu negara dapat dinyatakan

bertanggungjawab terhadap pelanggaran yang terjadi dalam lapangan perdata

hanya apabila negara tersebut gagal melaksanakan Due Diligence untuk mencegah

dan merespon pelanggaran tersebut)

41 The diligence reasonably expected from, and ordinarily exercised by, a person who
seeks to satisfy a legal requirement or to discharge an Obligation (Kewajiban yang sewajarnya
menurut pemikiran diharapkan, dan biasanya dilaksanakan oleh seseorang dalam upaya
pemenuhan keperluan hukum atau untuk melaksanakan sebuah kewajiban.) Black’s Law
Dictionary Hlm, 3.
42 Inter American Court HR Ser C No. 4

45
Dalam kasus ini, terbukti secara meyakinkan bahwa Pemerintah Honduras

melaksanakan kebijakan yang mentolerir menghilangnya orang-orang tertentu

antara tahun 1981 dan 1984. Walaupun telah ada sebuah prosedur untuk

menentang penahanan, nampak bahwa prosedur tersebut tidaklah efektif karena

penahanan dilakukan secara clandestine. Dalam persidangan menjadi

permasalahan utama adalah apakah pemerintah Honduras dapat dimintakan

pertanggungjawaban atas menghilangnya orang-orang tersebut. Saat memutuskan

bahwa negara bertanggungjawab, Mahkamah menyatakan bahwa pelanggaran

Hak Asasi Manusia yang tidak diletakkan secara langsung kepada negara dapat

menjadi tanggung-jawab negara secara internasional.

Negara harus mengambil langkah untuk mencegah pelanggaran Hak Asasi

Manusia dan menggunakan cara-cara yang dapat ditempuh untuk melangsungkan

investigasi secara serius terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi

dalam wilayahnya. Hal tersebut dilakukan untuk mengidentifikasi mereka yang

bertanggungjawab, untuk meletakkan hukuman yang pantas, dan untuk

memastikan kompensasi yang layak bagi para korban43. Mahkamah memandang

bahwa, tugas untuk mencegah termasuk cara-cara legal, politis, administratif, dan

cara-cara budaya yang dapat meningkatkan perlindungan Hak Asasi Manusia dan

untuk memastikan bahwa setiap pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia

dianggap sebagai tindakan ilegal yang pada akhirnya mendapatkan penghukuman,

dan kewajiban untuk memulihkan keadaan korban.44 Sebuah investigasi harus

memiliki tujuan dan dianggap oleh negara sebagai tanggung jawab hukumnya

43 Ibid 174
44 Ibid 175

46
sendiri, bukan sebagai sebuah langkah yang diambil berdasarkan kepentingan

perdata yang bergantung pada inisiatif korban atau keluarga korban berdasarkan

bukti-bukti mereka, tanpa sebuah pencarian kebenaran yang efektif oleh

pemerintah. Ini adalah benar tanpa memandang siapa yang pada akhirnya terbukti

bersalah terhadap pelanggaran tersebut. dimana sebuah tindakan oleh subyek-

subyek hukum perdata yang melanggar konvensi tidak secara serius diinvestigasi,

pihak-pihak tersebut seakan dibantu oleh pemerintah, yang berarti negara

bertanggung jawab secara internasional.

Kasus ini meluaskan pemahaman mengenai tanggung-jawab negara, bahwa

negara juga bertanggung jawab dalam hal Omission (kelalaian) terhadap

pelanggaran yang dilakukan oleh Private Parties, walaupun pelanggaran hak asasi

manusia tidak dilakukan secara langsung oleh negara tersebut. Private Parties

dalam beberapa tulisan diartikan sebagai aktor-aktor dalam hukum interasional

(subyek hukum) yang bukanlah negara dan bersifat sebagai subyek hukum dalam

hubungan keperdataan. Berdasarkan pada kasus ini, nyatalah bahwa Due

Diligence yang dimaksudkan adalah apakah langkah-langkah yang ditempuh

negara “masuk akal” atau “Serius”. Lebih lanjut, apabila negara telah memenuhi

unsur “masuk akal” dan “serius” dalam mencegah dan menindak pelanggaran Hak

Asasi Manusia, negara tidak dapat dipersalahkan bahkan saat hasil dari usaha

tersebut tidak sesuai harapan, tidak seperti yang terjadi dalam kasus ini.45 Due

Diligence menjadi pembahasan sentral dalam merumuskan perluasan terhadap

konsep kewajiban negara, dan dalam hukum internasional menjadi salah satu

45 Ibid, hlm 178

47
customary law.46 Dalam beberapa putusan, negara diharapkan untuk melangkah

lebih jauh daripada apa yang diwajibkan oleh hukum kepada negara, bahwa

apabila norma-norma tertulis saja tidak cukup untuk memastikan terpenuhinya

perlindungan terhadap hak asasi manusia.

Menurut hukum internasional, setiap negara memiliki kedaulatan. dengan

adanya kedaulatan, negara memiliki sejumlah kewenangan untuk melakukan

berbagai tindakan. Namun demikian, di dalam kedaulatan terkandung suatu

kewajiban untuk tidak menyalahgunakan kedaulatan tersebut. Pada dasarnya,

tanggung jawab negara muncul jika terjadi pelanggaran terhadap hak subjektif

negara lain, pelanggaran terhadap norma hukum internasional yang merupakan jus

cogens dan tindakan-tindakan yang berkualifikasi sebagai kejahatan internasional

(misalnya tindakan agresi, perbudakan, genosida, apartheid, kolonialisme,

pencemaran lapisan atmosfer dan laut secara besar-besaran).47

Tanggung jawab negara bersifat melekat pada negara, artinya suatu negara

memiliki kewajiban untuk memberikan ganti rugi manakala negara tersebut

menimbulkan atau menyebabkan kerugian kepada negara lain atau korban

pelanggaran hak asasi manusia yang harus mendapatkan pemulihan efektif,

meskipun pelanggaran tersebut dilakukan oleh pejabat resmi negara. Ini

mewajibkan negara untuk mengizinkan aksi sipil dalam bentuk mengganti

kerugian terhadap pelanggaran yang dilakukannya tergolong kejahatan terhadap

kemanusiaan.Sebab, diyakini tidak ada vonis pengadilan yang dapat menghukum

46 Untuk kasus-kasus contoh Due Diligence: Social and Economic Rights Action Centre
and the Centre for Economic and Social Rights v Nigeria, Osman v United Kingdom,
47 Andrey Sujatmoko, op.cit. hlm 207.

48
secara efektif kejahatan seperti itu.48 Negara sebagai suatu entitas abstrak tidak

mungkin dapat melakukan tindakan sendiri dan dimintai tanggung jawab atas

tindakannya. berkaitan dengan masalah tanggung jawab negara, dikenal doktrin

imputabilitas (doctrine of imputability) yang menyatakan bahwa suatu negara

bertanggung jawab atas kesalahan yang ditimbulkan organnya.49

Menentukan adanya pertanggung jawaban negara atas kejahatan

internasional itu dikenal ajaran pembebanan kesalahan kepada petugas negara.

Kejahatan yang dilakukan petugas negara atau orang yang bertindak atas nama

negara dapat dibebankan kepada negara.50 Tindakan salah dari organ negara (yang

melaksanakan fungsi legislatif, eksekutif, yudikatif atau fungsi-fungsi lainnya)

dianggap merupakan suatu tindakan negara. Negara yang terdiri dari individu

ataupun kumpulan individu bertindak berdasarkan atas kewenangan sah yang

diberikan negara kepadanya.51 Oleh karena itu tindakan mereka harus

dipertanggungjawaban kepada negara. Dengan demikian tanggung jawab negara

akan muncul sebagai akibat dari perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh

aparaturnya. Pada dasarnya hanya tindakan-tindakan yang memiliki unsur

pemerintahan yang akibatnya dapat dipertanggung jawaban kepada negara.52

Suatu tindakan yang tidak memiliki keterkaitan dengan negara (pemerintah) maka

negara tidak dapat dimintai pertanggung jawaban.

48 Ibid. hlm 207


49 ICJ Annual Report 3rd Edition
50 Loc.Cit
51 Sebagai contoh adalah Tribunal-Tribunal Pasca Perang Dunia ke II, yang berdasarkan
pada Hukum Perang Internasional, tetapi pada Dasarnya adalah penghukuman terhadap kejahatan
kemanusiaan yang melanggar HakHak Asasi Manusia.
52 Bryan A Garner, Op.Cit. hlm 1413

49
Negara adalah pihak yang ditunjuk oleh hukum hak asasi manusia internasional

sebagai pihak yang berkewajiban atas penghormatan, pemenuhan dan perlindungan

hak-hak yang diakui dalam instrumen hak asasi manusia sebagai salah satu sumber

hukum hak asasi manusia. Negara memiliki kekuatan memaksa secara konstitusional

untuk menjalankan kewajiban-kewajiban tersebut.53 Jika negara tidak melaksanakan

kewajibannya maka terjadilah pelanggaran hak asasi manusia. Jika pelanggaran hak

asasi manusia terjadi maka pihak pertama yang akan dimintai pertanggung

jawabannya adalah negara yang diwakili oleh para pejabat dan aparaturnya.

Negara memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk menghormari,

menegakan, memajukan, melindungi dan memenuhi hak asasi tidak hanya karena

negara telah meratifiasi berbagai konvenan internasional. Akan tetapi, kewajiban

itu sebagai bentuk hak konstitusional (constitutional rights) semua negara yang

harus diberikan kepada rakyat. Hal demikian sebagaimana konsep dasarnya

berupa demokrasi, negara hukum, dan tata pemerintahan yang baik (good

governance).54 Ada dua macam karakteristik negara sebagai suatu bentuk

pergaulan hidup yang tidak dimiliki oleh bentuk-bentuk perg aulan hidup lain

yang bukan negara, yaitu (1) Negara memiliki kekuasaan yang lebih tinggi

daripada bentuk-bentuk pergaulan hidup lainnya, (2) Negara memiliki kedudukan

yang lebih tinggi daripada bentuk-bentuk pergaulan hidup lainnya.55

53 Office of United Nations High Commission for Human Rights, Op.Cit, hlm 11
54 Artikel Skripsi. Dosen Pembimbing : Dr. Flora P kalalo, SH,MH; Djolly A. Sualang SH,
MH
55 Ibid 17

50
Hakikat negara adalah suatu organisasi kekuasaan, yang diciptakan oleh

sekelompok manusia. Organisasi kekuasaan memiliki suatu kewibawaan yang

dapat memaksakan kehendaknya kepada semua orang yang berada di dalamnya

untuk memelihara kepentingan serta menyelenggarakan kemakmuran warganya.

dengan demikian, cita-cita manusia untuk bernegara dari dahulu hingga sekarang

adalah tercapainya kepentinganatau kedaulatan rakyat ke dalam hukum guna

tercapainya kesejahteraan hidup yang adil dan makmur.56

B. Penerapan Prinsip Responsibility to Project (P2R) Terhadap Pelanggaran

Hak Asasi Manusia.

Sejak berakhirnya era perang dingin, konstelasi politik internasional mulai

berubah. Perspektif realisme yang dulu dijunjung erat, semenjak runtuhnya negara

super power Uni Soviet mulai bergeser dan dunia internasional mulai mengadopsi

paradigma baru, seperti green theory, feminism dan neo-liberalism. Hal ini juga

membuat bergesernya isu-isu politik internasional yang awalnya masih berkutat

seputar isu keamanan tradisional, sejak berakhirnya era perang dingin hingga

sekarang isu-isu non tradisonal yang lebih menjadi perhatian dunia.Tidak terlepas

salah satu isu yang menjadi perhatian dunia internasional adalah isu mengenai

kemanusiaan. Kasus Etnis Rohingya pada tahun 2012 menjadi salah satu kasus

kemanusiaan yang cukup menyita perhatian dunia internasional.57

56 Ibid 75
57 Boutros Ghali, An Agenda for Peace, New Yourk: Untited Natios, 1992, hlm, 12

51
Kekerasan dan ketidakadilan yang dialami oleh Etnis Rohingya berawal dari

status kewarganegaraan Etnis Rohingya yakni tanpa kewarganegaraan (stateless).

Etnis Rohingya tidak memiliki hak politik dan ekonomi. Hukum kewarganegaraan

yang disahkan tahun 1982, meniadakan Rohingya menjadi warga Negara

Myanmar. Mereka tidak memiliki usaha, pekerjaan, hak untuk memilih dan

bahkan tidak bisa mencari keadilan di pengadilan. Hukum ini telah dikecam

habis-habisan oleh seluruh dunia, tetapi penguasa Myanmar tidak berhenti karena

mempertimbangkan ketidakpuasan politik dari para biarawan dan ekstrimis.58

Myanmar mengeluarkan Undang-Undang kewarganegaraan yang meniadakan

kewarga negaraan Rohingya karena dianggap berasal dari Bangladesh. Pemerintah

Myanmar menolak mengakui mereka sebagai bagian dari warga negaranya dan

memberi panggilan yaitu bangladeshi. Namun di sisi lain, Pemerintah Bangladesh

juga menolak untuk menerima mereka sebagai warga negaranya. Alasannya

adalah karena menurut pemerintah Bangladesh, etnis Rohingya hanya akan

menambah beban pada penduduknya dan menambah beban pengeluaran negara.

Etnis Rohingya telah menjadi target dari sejumlah pelanggaran hak asasi manusia

oleh Pemerintah Myanmar. Etnis Rohingya diperlakukan secara rasis oleh

penduduk asli wilayah bagian Rakhine, atau yang lebih dikanal etnis buddha

Rakhine, perlakukan rasial ini juga didukung oleh Pemerintah Myanmar. 59 Etnis

Rohingya tidak memiliki hak di Myanmar dan pergerakan mereka dibatasi: etnis

Rohingya tidak bisa pergi ke pasar, sekolah, atau rumah sakit umum. Myanmar

membuat kebijakan bahwa tidak mungkin bagi etnis Rohingya untuk dapat

58 Ibid 14
59 Ibid 28

52
menjadi warga Negara Myanmar dan mendapatkan kartu identitas nasional.

Padahal kartu identitas ini sangat diperlukan untuk mayarakat warga negara

Myanmar untuk bekerja dan mengakses pendidikan.60

Sekolah di Myanmar sebagian besar tidak memiliki siswa Muslim, dengan

demikian menciptakan sebagian besar populasi muslim di Myanmar tidak

mendapat akses pendidikan. Pemerintah Myanmar memiliki sejarah panjang

dalam menghasut dan mendorong kekerasan terhadap umat Islam dalam rangka

untuk mengalihkan perhatian publik dari isu-isu ekonomi dan politik61. Termasuk

dengan sikap apatis yang pemerintah Myanmar tunjukkan saat gerakan Anti-

muslim yang dilakukan oleh sekelompok Buddhist terhadap etnis Rohingya.

Konflik memuncak pada Juni dan Oktober 2012 di Rakhine Utara. Adanya

kasus pemerkosaan dan pembunuhan seorang wanita Buddha Rakhine oleh 3

orang pemuda Muslim Rohingya pada 28 Mei 2012 serta pembunuhan terhadap

10 orang Muslim pada 3 Juni 2012 dianggap sebagai pemicu yang menyebabkan

kerusuhan antara Etnis Rakhine Buddha dan Komunitas Muslim di Myanmar.

Kemudian, ketegangan pun kembali berlanjut pada 21 Oktober, yang wilayahnya

semakin meluas ke berbagai daerah negara bagian Rakhine, antara lain di Kota

Kyaukpyu, Kyauktaw, Minbya, Mrauk-U, Myebon, Ramree dan Rathedaung.

Dalam gelombang kedua ini, serangan terkoordinasi dengan baik dan diarahkan

tidak hanya ke Rohingya saja tetapi tertuju ke masyarakat Muslim secara umum 62.

60 Ibid 98
61 Habib Siddiqui. 2008. The Forgotten Rohingya Their Struggle for Human Rights in
Burmahal.23
62 Concept Responsibility to Protect.

53
Pembakaran secara sistematis, pemerkosaan, kekerasan yang terjadi telah

mengakibatkan 192 orang tewas, 265 luka-luka, dan 864 rumah hancur. United

Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) juga memperkirakan sudah

terdapat 140.000 pengungsi di kamp-kamp kumuh di pinggiran kota63. Etnis

Rohingya yang terlibat konflik tepaksa menjadi pengungsi internal di negara

Myamar. Sebagian dari mereka yang tidak mengungsi keluar ke Bangladesh,

menetap di penampungan internal displaced persons (IDPs) di Myanmar. Melihat

kondisi Pemerintah Myanmar yang membiarkan keadaan semakin memburuk bagi

masyarakat Etnis Rohingya membuat komunitas internasional merasa memiliki

tangung jawab dan perlu turun tangan dalam menangani kasus kekerasan yang

dialami masyarakat Etnis Rohingya64.

Tanggung jawab kemanusiaan yang diambil oleh komunitas internasional ini

karena negara Myanmar gagal melindungi Etnis Rohingya dari kekerasan yang

terjadi di wilayah bagian Rakhine (Myanmar). Meskipun Pemerintah Myanmar

tidak mengakui kewarganegaraan etnis Rohingya sebagai salah satu dari warga

negara Myanmar, namun sudah menjadi tanggung jawab Negara Myanmar seperti

yang terkandung dalam prinsip R2P untuk melindungi Etnis Rohingya walaupun

status mereka yang tanpa kewarganegaraan. Telah menjadi tanggung jawab

negara seharusnya untuk melindungi masyarakatnya, bukan hanya warga

negaranya saja sesuai dengan paragraf ke 138-9 piagam PBB yang merujuk

63 Tanchum, D.M. (2012) 'The Rohingya Crisis in Myanmar', BESA Center.


64 Gareth Evans. 2008. The Responsibility to Protect. Washington, D.C: Brookings
Institution Press

54
kepada masyarakat (population), bukan warganegara (citizen).65 Oleh karena itu

perlu diteliti lebih lanjut tindakan-tindakan apa saja yang telah dilakukan Negara

Myanmar yang menyebabkan kegagalan dalam melindungi Etnis Rohingya dari

kekerasan/kejahatan kemanusiaan. Serta bagaimana berhasil atau tidaknya negara

anggota organisasi PBB yang terdiri AS dan Uni Eropa serta organisasi kerjasama

kawasan ASEAN menjalankan tanggung jawab dalam misi untuk mencegah

(prevent) dan bertindak (react) dalam kekerasan Etnis Rohingya melalui

pendekatan-pendekatan diplomatik kemanusiaan.

Negara menerima kewajiban tersebut dan akan bereaksi berdasarkan hal

tersebut. Masyarakat internasional secara tepat harus mendorong negara dalam

melaksanakan kewajibannya dan mendukung upaya PBB untuk memberikan

peringatan dini. Masyarakat internasional melalui PBB juga memiliki kewajiban

untuk menggunakan diplomasi, cara kemanusiaan dan metode-metode damai

lainnya dalam melaksanakan Piagam PBB chapter VI dan VII. Ketika mekanisme

pencegahan gagal dan kekejaman massa terjadi dalam sebuah negara maka

bertindak diam dan tidak melakukan sesuatu bukanlah pilihan bagi masyarakat

internasional. Berdasarkan World Summit 2005 dijelaskan bahwa responsibility to

react dimaknai kesiapan masyarakat internasional untuk mengambil langkah

kolektif secara tegas melalui Dewan Keamanan PBB sesuai dengan Piagam PBB

chapter VII.66 Analisa secara bertahap serta bekerjasama dengan organisasi

regional secara tepat. Konsep R2P yang telah dirumuskan dalam dokumen 2005

65 Noel Morada. 2012. “Asean, The Rohingnya and Myanmar‟s Responsibility to


Protect”. Asia Pasific Center for The Responsibility to Protect.

66 Sujatmoko, op.cit. hlm 207

55
World Summit, Resolusi Dewan Keamanan PBB S/RES/167426 dan Laporan

Sekretaris Jenderal PBB (Implementing the Responsibility to Protect) merupakan

konsep yang lahir dari prinsip dasar−prinsip yangmenyatakan bahwa:

1. Kedaulatan negara mengandung suatu tanggung jawab pokok untuk

melindungi warga negaranya yang berada dalam wilayah kedaulatan

negara tersebut;

2. Ketika suatu populasi berada dalam keadaan bahaya akibat dari perang

internal (internal war), pemberontakan (insurgency), penindasan atau

kegagalan negara, dan negara tersebut berada dalam suatu kondisi “tidak

berkehendak” (unwilling) atau "tidak berdaya" (unable) untuk

menghentikan atau mencegahnya, prinsip non-intervensi membenarkan

tanggung jawab intenasional untuk melindungi (international

responsibility to protect)67.

Atas dasar-dasar tersebut, komunitas internasional melalui PBB memiliki

tanggungjawab untuk menggunakan cara-cara diplomatik, kemanusiaan dan cara-

cara damai lainnya yang sesuai untuk membantu melindungi masyarakat dari

pemusnahan massal, kejahatan perang, pembersihan etnis, dan kejahatan

kemanusiaan. Bila negara telah gagal atau tidak ingin untuk melindungi

masyarakatnya dari kejahatan-kejahatan yang telah disebutkan diatas.

Tanggungjawab negara dalam hukum internasional diartikan sebagai

kewajiban yang harus dilakukan oleh negara kepada negara lain berdasarkan

67 Office of United Nations High Commission for Human Rights, Op.Cit, hlm 17

56
perintah hukum internasional. Pertanggung jawaban berarti kewajiban

memberikan jawaban yang merupakan perhitungan atas suatu hal yang terjadi, dan

kewajiban untuk memberikan pemulihan atas kerugian yang mungkin

ditimbulkannya. Dalam hukum nasional dibedakan antara pertanggungjawaban

perdata dan pidana, begitu pula dalam hukum internasional terdapat beberapa

ketentuan yang serupa dengan hukum nasional tapi hal ini tidak menonjol.68

Di samping itu, hukum internasional mengenai pertanggungjawaban belum

berkembang begitu pesat. Dalam sistem hukum nasional pertanggungjawaban

pidana atau perdata didasarkan pada hal kesalahan yang diperbuat oleh seseorang.

Begitu pula dalam sistem hukum internasional, setiap perbuatan yang

dipersalahkan dapat dimintai pertanggungjawabannya. Tanggung Jawab

Internasional (International Responsibility) atau yang sering disebut dengan

Tanggung Jawab Negara (State Responsibility) dalam hukum Internasional

merupakan prinsip dalam hukum internasional yang mengatur mengenai

timbulnya pertanggungjawaban suatu negara kepada negara lainnya karena

kesalahan atau kelalaian suatu negara yang menimbulkan dampak terhadap negara

atau orang lain.69 Pada dasarnya suatu kelalaian maupun kesalahan yang

dilakukan oleh suatu negara dapat menimbulkan dampak yang apabila dampak

tersebut dirasakan oleh negara lain.

1. Kewajiban Negara Terhadap Hak Asasi Manusia (HAM)

Kewajiban Negara Terhadap HAM Nilai-nilai HAM selalu tercermin dan

dijamin oleh hukum, dalam bentuk perjanjian-perjanjian, hukum kebiasaan

68 Office of United Nations High Commission for Human Rights, Op.Cit, hlm 145-146
69 Loc.Cit

57
internasional, prinsip-prinsip umum dan norma-norma lain dari hukum

internasional. Inilah yang dikenal dengan Hukum HAM, dan negara-negara yang

melakukan perjanjian, atau mengikatkan diri dalam perjanjian atau mengakui

norma-norma HAM dalam hukum kebiasaan internasional secara langsung terikat

kontrak untuk mengakui, menghormati, melindungi dan memenuhi dan

menegakkan HAM sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam perjanjian

HAM internasional tersebut. Hukum HAM internasional menempatkan kewajiban

bagi negara atau pemerintah untuk melakukan langkah-langkah tertentu demi

memajukan dan melindungi HAM dan kebebasan fundamental warga negaranya.

Norma-norma HAM menempatkan individu sebagai pemegang hak (right

holders) dan negara sebagai pemangku kewajiban (duties holder). Negara

mempunyai kewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi

manusia. Pihak negara sebagai pemangku kewajiban, harus mengakui,

menghormati, melindungi dan memenuhi dan menegakkan HAM.70

Berdasarkan paradigma ini, maka tanggung jawab negara terhadap HAM

dapat dilihat dalam 3 hal, yakni:

a. Kewajiban Negara untuk Menghormati HAM (obligation to respect)


Kewajiban negara untuk tidak melakukan tindakan intervensi atau campur
tangan oleh negara itu sendiri yang dapat mengurangi hak-hak atau
menghalangi penikmatan hak. Seperti hak untuk hidup, maka kewajiban
negara adalah tidak membunuh.Hak atas kebebasan beragama, maka
kewajiban negara adalah tidak memaksa seseorang untuk berpindah pada
keyakinan tertentu.

70 Zainal Abidin, Perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Makalah disampaikan


pada Pelatihan HAM Panitia RANHAM Prov. Sumatera Barat, Padang, Juni 2013, hlm 6, sumber:
http://www.elsam.or.id, diakses 29 Oktober 2018

58
b. Kewajiban Negara untuk Melindungi HAM (obligation to protect)
Kewajiban negara untuk bertindak aktif dalam memastikan tidak
terjadinya pelanggaran hak asasi manusia oleh indvidu atau korporasi.

c. Kewajiban Negara untuk Memenuhi HAM (obligation to fulfill)


Kewajiban negara untuk mengambil tindakan-tindakan legislatif,
administratif, yudisial dan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk
memastikan bahwa hak-hak yang diperhatikan dilaksanakan sebesar
mungkin atau dapat diakses untuk semua orang.

Misalnya, setiap orang yang ditahan berhak untuk didampingi oleh

kuasa hukum, dokter dan/atau konsulat dari negara asalnya sesaat setelah

ditahan. Memperlambat pemberian hak ini berpotensi terjadinya tindakan-

tindakan yang tidak dibenarkan oleh hukum, seperti penyiksaan atau

penghilangan. Karena itu, negara berkewajiban untuk memastikan struktur

implementasi domestic serta jaminan hukum yang memadai.Pada dasarnya

negara selalu menjadi pihak yang kuat karena memiliki wewenang dan

kekuasaan, sedangkan masyarakat berada pada posisi yang lemah karena

tidak memiliki wewenang dan kekuasaan. Hak asasi manusia merupakan

proses pembelaan oleh masyarakat atas tindakan sewenang-wenang yang

dilakukan oleh negara karena tidak seimbangnya posisi negara dengan

masyarakat tersebut. Karena itulah yang pada akhirnya menempatkan

negara sebagai pemangku kewajiban untuk menghormati, melindungi dan

memenuhi hak asasi manusia.71

Negara harus menghormati hak asasi manusia. Hal ini berarti negara harus

menghindari melanggar hak asasi manusia pihak lain dan harus mempertanggung

jawabkan akibat dari tindakan mereka tersebut. Tanggung jawab negara untuk

71 Ibid, hlm 71

59
menghormati HAM mengacu pada HAM yang diakui secara internasional

sebagaimana tercantum dalam International Bill of Human Rights (DUHAM,

ICESCR, ICCPR) dan prinsip hak-hak dasar yang terdapat dalamInternational

Labour Organizations Declarations on Fundamental Principles and Rights at

Work. Tanggung jawab untuk menghormati HAM.72

Berdasarkan instrumen HAM internasional, ada tiga tanggung jawab negara

yaitu Kewajiban menghormati (To Respect), Kewajiban memenuhi (To Fullfil),

dan Kewajiban melindungi (To Protect). Ada tanggungjawab negara yang tidak

tercantum dalam Instrumen Internasional HAM namun termasuk dalam Instrumen

Nasional yaitu kewajiban atau tanggung jawab menegakan dan tanggung jawab

memajukan hak asasi manusia. Keterangan tentang kewajiban atau tanggung

jawab menegakkan dan memajukan adalah sebagai berukut:

1. Kewajiban Menegakan
Kewajiban menegakan hak asasi manusia menuntut negara dan seluruh institusi
beserta aparaturnya untuk mengeluarkan kebijakan dan atau melakukan
tindakan yang memadai agar tidak tejadi pelanggaran HAM maupun
melakukan tindakan pemulihan bila terjadi pelanggaran HAM.73

2. Kewajiban Untuk Memajukan :


Menuntut negara dan seluruh institusi beserta aparaturnya untuk mengeluarkan
kebijakan dan atau melakukan tindakan peningkatan secara terus menerus
dalam hal penghormatan, pemenuhan , perlindungan dan penegakan HAM

Kewajiban negara untuk menghormati, melindungi, memenuhi, menegakan


dan memajukan HAM mengandung 2 unsur penting:
1. Kewajiban untuk bertindak; (obligation to cundact) artinya akan
mensyaratkan negara melakukan langkah-langkah tertentu untuk
melaksanakan pemenuhan suatu hak.
Contoh:

72 Untuk kasus-kasus contoh Due Diligence: Social and Economic Rights Action Centre
and the Centre for Economic and Social Rights v Nigeria, Osman v United Kingdom,
73 Ibid. hlm 20

60
• Melakukan pembangunan sekolah di suatu desa, harus menjamin
tersedianya guru dan alat-alat pendidikan dan mengalokasikan anggaran
yang terukur;
• Negara melakukan langkah-langkah untuk mencegah terjadinya gizi buruk
dengan memberikan makanan tambahan bagi keluarga miskin.

2. Kewajiban berdampak (obligation to result) artinya akan mensyaratkan


negara untuk mencapai sasaran tertentu guna memenuhi standar substantif
yang terukur.
Contoh:
• Negara membuat program agar lima tahun ke depan seluruh masyarakat
akan bisa memperoleh akses pada pendidikan dasar
• Program negara untuk menurunkan angka kematian ibu melahirkan dan
anak.

61

Anda mungkin juga menyukai