Anda di halaman 1dari 3

Nama : Salvia Amirah Rahardini

Kelas : Hukum dan Hak Asasi Manusia – N


NIM : 11000120140829
Tugas : 8

MEKANISME PENYELESAIAN PELANGGARAN HAM BERAT DI INDONESIA

Pelanggaran HAM berat dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang


Pengadilan HAM sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 hanya meliputi dua macam
kejahatan yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Implikasinya,
para pelanggar HAM yang bisa diadili menjadi semakin sedikit karena kejahatan yang dapat
diadili oleh pengadilan ini hanya meliputi dua jenis kejahatan itu saja, padahal diluar jenis
kejahatan tersebut yang merupakan kejahatan terhadap masyarakat internasional (delicta juris
gentium) tidak tercover di dalam undang-undang ini. Kedua jenis kejahatan tersebut memilik
hal khusus dalam proses penyelesaiannya dibandingkan kejahatan-kejahatan lain yang diduga
juga merupakan pelanggaran HAM seperti: pembunuhan, pemerkosaan dan lain-lain.

Mengenai mekanisme penyelesaian Pelanggaran HAM Berat di Indonesia menurut


Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, mengatur bahwa
penyelesaian pelanggaran HAM dilakukan dengan Pengadilan HAM dan untuk kasus
pelanggaran berat masa lalu dilakukan dengan dua cara penyelesaian yaitu melalui
Pengadilan HAM ad hoc dan dapat melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Berikut
ini adalah penjelasannya :

1. Pengadilan HAM ad hoc


Adapun pengaturan lebih lanjut mengenai pengertian pengadilan ad-hoc terdapat pada
pasal 43 yang pada pokoknya menyatakan bahwa peradilan HAM dibentuk atas dasar usul
dari DPR RI yang dilegitimasi melalui keputusan presiden. Pengadilan HAM ad-hoc berada
dalam ranah pengadilan umum dan pengadilan ini merupakan pengadilan yang berwenang
untuk mengadili pelanggaran HAM Berat yang terjadi sebelum adanya Undang-Undang
Peradilan HAM. Dari 15 peristiwa pelanggaran HAM berat yang telah diselidiki Komnas
HAM RI, hanya tiga kasus yang diajukan dan diputus oleh pengadilan yaitu, Peristiwa
Timor-Timur, Peristiwa Tanjung Priok dan Peristiwa Abepura.  
Adapun proses penyelesaian pelanggaran HAM menurut undang- undang pengadilan
HAM adalah sebagai berikut: 1) Penangkapan; 2) Penahanan; 3) Penyelidikan; 4)
Penyidikan; 5) Penuntutan; 6) Sumpah; 7) Pemeriksaan. Pada proses pembentukannya,
pengadilan ad-hoc haruslah didahului dengan adanya proses penyelidikan yang dilakukan
oleh KOMNAS HAM secara proaktif. KOMNAS HAM merupakan lembaga yang memiliki
wewenang dalam melakukan pengusutan kasus HAM Berat yang dihasilkan dari
penyelidikan  Komnas HAM memiliki sifat Proyustisia. Jadi dalam hal ini, korban dari
pelanggaran HAM dapat melaporkan pelanggaran yang telah dialaminya kepada Komnas
HAM, disertai dengan identitas pengadu yang benar dan bukti awal serta materi pengaduan
yang jelas.

Setelah menerima adanya laporan, Komnas HAM akan melakukan penyelidikan


terhadap laporan tersebut, dan apabila laporan itu terbukti benar maka berkas kasus tersebut
di limpahkan kepada pengadilan HAM untuk dapat diselidiki Jaksa Agung sebagai penyidik
yang berwenang, Jaksa Agung sebagai penyidik dan penuntut umum yang berwenang berhak
melakukan penahanan terhadap tersangka pelanggaran HAM berat dilakukan oleh Jaksa
Agung, penuntutan wajib dilaksanakan paling lambat 70 hari terhitung sejak tanggal hasil
penyelidikan diterima. Perkara pelanggaran HAM yang berat diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan HAM paling lama 180 hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan
HAM. Dalam perkara pelanggaran HAM yang berat permohonan banding ke Pengadilan
Tinggi diperiksa dan diputus paling lama 90 hari, terhitung sejak perkara dilimpahkan ke
Pengadilan Tinggi. Permohonan Kasasi ke Mahkamah Agung diperiksa dan diputus 90 hari
sejak perkara itu dilimpahkan ke Mahkamah Agung.

2. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)


Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), merupakan amanat Ketetapan MPR dan
menjadi salah satu mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM berat. KKR ini dibentuk
untuk menegakkan kebenaran terhadap pelanggaran HAM yang berat pada masa lalu
(sebelum berlakunya UU 26/2000) di luar pengadilan dengan menempuh langkah-langkah
berikut; pengungkapan kebenaran, pengakuan kesalahan, pemberian maaf, perdamaian,
penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi, atau alternatif lain guna menegakkan persatuan dan
kesatuan bangsa dengan tetap memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat. Satu-satunya
mekanisme pengungkapan kebenaran melalui KKR yang telah terbentuk adalah KKR Aceh
yang dasar hukumnya berbeda. 

Sumber :
- Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
- Arliman, Laurensius. (2017). Pengadilan Hak Asasi Manusia Dari Sudut Pandang
Penyelesaian Kasus Dan Kelemahannya. Jurnal Ilmu Hukum Tambun Bungai. Vol. 2,
No. 1, Page 20-21.

Anda mungkin juga menyukai