Anda di halaman 1dari 243

LAPORAN HASIL PENELITIAN

IMPLEMENTASI PENGATURAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA BERAT


DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA DAN ANALISIS
TERHADAP KONSEP PELANGGARAN BERAT HAK ASASI MANUSIA DI
INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tuntutan terhadap penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia telah
mendorong lahirnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia yang kemudian diikuti oleh Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000
mengenai Pengadilan Hak Asasi Manusia yang dimaksudkan untuk menjawab
berbagai persoalan pelanggaran hak asasi manusia khususnya pelanggaran hak asasi
manusia berat.
Delapan belas (18) perkara yang telah dihadapkan ke pengadilan hak asasi
manusia, yang terdiri atas Dua belas (12) perkara pelanggaran hak asasi manusia
berat di Timor-Timur, empat (4) Perkara peristiwa Tanjung Priok dan dua (2) Perkara
pelanggaran hak asasi manusia berat di Abepura ,Papua tidak menghasilkan
keputusan yang memuaskan rasa keadalan khususnya bagi para korban pelanggaran
hak asasi manusia berat tersebut.
Pengadilan hak asasi manusia terbentuk tidak terlepas dari dinamika politik
yang terjadi saat itu, baik politik nasional maupun internasional. 1Dinamika politik
yang terjadi pada saat itu menghendaki agar pelanggaran hak asasi manusia berat
yang terjadi di Indonesia diselesaikan dengan pengadilan hak asasi manusia.
Pembentukan undang-undang tersebut merupakan perwujudan tanggung
jawab bangsa Indonesia sebagai anggota perserikatan bangsa-bangsa, serta sebagai
tanggung jawab moral dan hukum dalam melaksanakan Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta yang

1 Farijmei A.Gofar, Asinergisitas Pemeriksaan pendahuluan Perkara Pelanggaran Hak Asasi Manusia
yang Berat, ,Dignitas Jurnal Hak Asasi Manusia , Elsam, Volume IV No I Tahun 2006.hlm 105.
1
terdapat dalam instrumen hukum lainnya yang mengatur hak asasi manusia yang
telah disahkan dan atau diterima oleh Negara Republik Indonesia. 2
Pelanggaran hak asasi manusia dalam pandangan para pakar dapat
diselesaikan melalui mekanisme pengadilan, dan komisi kebenaran, untuk
menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia dengan pengadilan dimaksudkan
untuk menjunjung rule of law dan keadilan.3
Undang-Undang No 26 tahun 2000 mempunyai mandat untuk
menyelesaiakan pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia, dengan
kewenangannya untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia barat di Indonesia,
tetapi pada tatanan das sein tidak ada satupun pelanggaran Hak Asasi Manusia
Berat yang dijatuhkan sanksi oleh Pengadilan HAM , yang secara hukum berarti tidak
pernah terjadi Pelanggaran HAM, sedangkan pada tatanan das sollen diatur apa saja
yang merupakan Pelanggaran HAM Berat yang dituangkan dalam Undang-Undang
No 26 tahun 2000, yang meliputi kajahatan terhadap kemanusiaan dan genosida.
Dengan unsur-unsur kejahatannya yang diatur dalam Undang-Undang No 26 tahun
2000.
Perbedaan pandangan dalam penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia
berat selalu terjadi antara Komnas HAM, Jaksa Penuntut Umum, serta Hakim dalam
menyikapi pelanggaran HAM Berat yang terjadi di Indonesia, yang dapat dilihat dari
proses bergulirnya kasus pelanggaran HAM dari proses penyelidikan di Komnas
HAM sampai dengan putusan pengadilan HAM di Pengadilan.
Tahapan penyelidikan dalam pelanggaran hak asasi manusia adalah
kewenangan Komnas HAM berdasarkan Undang-Undang No 39 tahun 1999 yang
hasilnya selalu merekomendasisan adanya pelanggaran HAM. Komnas HAM dalam
menjalankan perannya melakukan penyelidikan terhadap kasus-kasus pelanggaran
HAM yang dibuktikan dengan rekomendasi-rekomendasi Komnas HAM dalam
kasus-kasus hak asasi manusia khususnya Kasus Timor-Timur, Tanjung Priok, dan
Abepura yang selalu menyatakan adanya pelanggaran HAM berat dalam kasus-kasus
tersebut.
Kejaksaan selalu menuntut adanya pelanggaran hak asasi manusia berat
dalam tuntutannya dan selama ini dikarenakan tidak ada pilihan bagi kejaksaan
dalam menangani kasus pelanggaran hak asasi manusia berat selain dengan
tuntutan atas kejahatan terhadap kemanusiaan, dikarenakan hanya hal tersebut yang

2 Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 tahun 2000 tentang Hak Asasi
Manusia..

3Priyambudi Sulistiyanto, Keadilan Transisional di Indoneisa Pasca Soeharto: Kasus Pembantaian


Tanjung Priok,, Dignitas Jurnal Hak Asasi Manusia , Elsam, Volume IV No I Tahun 2006.hlm 20
2
dapat dipergunakan dalam Undang-Undang No 26 tahun 2000, selain ketentuan
mengenai Genosida yang tidak dapat diterapkan dalam kasus-kasus pelanggaran
Hak Asasi Manusia di Indonesia.
Proses penuntutan kasus-kasus pelanggaran HAM berat para terdakwa selalu
dituntut melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat berupa kejahatan
terhadap kemanusiaan dalam kasus-kasus pelanggaran HAM Berat mulai kasus
Timor-Timur, Tanjung Priok dan Abepura, yang berarti dari pihak penuntut umum,
melihat adanya pelanggaran hak asasi manusia berat, tetapi dalam kasus Adam
Damiri Jaksa Penuntut Umum menuntut bebas Adam Damiri, yang dapat diartikan
bahwa dalam tuntutan Jaksa tidak melihat adanya pelanggaran hak asasi manusia
berat yang dilakukan oleh Adam Damiri dalam kasus Timor-Timur, yang sekalipun
dituntut bebas oleh Jaksa, tetapi Hakim pada pengadilan tingkat pertama
menjatuhkan hukum 3 tahun atas tuntutan bebas jaksa, yang kemudian dalam
proses banding di Pengadilan Tinggi dibatalkan dan Adam Damiri dinyatakan bebas
dari segala tuduhan.
Pengadilan Hak Asasi Manusia sendiri dalam berbagai tingkatan kemudian
membebaskan semua terdakwa yang diadili di Pengadilan HAM ad hoc dengan
kesemuanya dinyatakan tidak bersalah dan dinyatakan bebas dari segala tuduhan.
Pada sisi lain penyelesaian persoalan melalui komisi kebenaran dan
persahabatan yang laporan akhirnya dinamakan Per Memoar A Spem yang berarti
melalui kenangan menuju harapan dipandang mengabaikan prinsip-prinsip dalam
penyelesaian pelanggaran berat hak asasi manusia.
Hal yang juga mendorong penulis untuk menulis disertasi ini adalah adanya
pengakuan pelanggaran hak asasi manusia berat dalam laporan akhir komisi
kebenaran dan persahabatan , tetapi tanggung jawab terhadap pelanggaran hak
asasi manusia berat tersebut diambi alih oleh negara. Bagaimana meletakan
tanggung jawab pidana pada negara, sebagai contoh dalam hal terjadinya
pembunuhan yang dalam Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan
Indonesia Timor-Leste yang diberi judul Per Memoar ad Spem yang berarti melalui
kenangan menuju harapan, diakui adanya pembunuhan yang dilakukan dalam
konteks kejahatan terhadap kemanusiaan, sebagaimana yang terdapat dalam
keempat dokumen yang ditelaah oleh Komisi Kebenaran dan persahabatan yang
meliputi Laporan Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM di Timor-Timur ( KPP HAM )
yang ditunjuk oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ( Komnas HAM ); dokumen-
dokumen persidangan Pengadilan HAM Ad Hoc Jakarta,termasuk BAP-BAP
Kejaksaan Agung RI;Laporan Komisi Penerimaan Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor
Leste (CAVR/Commissao De Acolhimento, Verdade e Reconciliacao) dan; dokumen

3
persidangan dan penyidikan yang dijalankan oleh panel khusus untuk kejahatan
Berat pada Pengadilan Distrik Dili (SPSC/Special Panel for Srious Crimes-Panel Khusus
untuk Kejahatan Berat) serta Unit Kejahatan Berat ( SCU/Serious Crimes Unit) di Dili,
menemukan bahwa Pelanggaran HAM berat terjadi di Timor-Timur.
Dalam Laporannya ketika membicarakan Partisipasi Pelaku Individual Komisi
mengatakan :
“Tidak ada lembaga yang dapat berfungsi tanpa anggota atau tanpa
kepemimpinan. Tindakan-Tindakan kelembagaan yang berujung pada
kekerasan tahun 1999 merupakan puncak dari aksi-aksi individu yang turut
serta dalam kekerasan. Sesungguhnya, setiap pelanggaran HAM tahun 1999
disebabkan oleh tindakan masing-masing individu. Akan tetapi penentuan
tanggung jawab individual atau bahkan tanggung jawab komando, bukan
tugas yang diamanatkan kepada komisi. Terlebih lagi pelaku-pelaku individu
dalam bentuk kekerasan terorganisasi dan termotivasi politik yang terjadi di
Timor-Timur tahun 1999 bertindak dalam konteks kelembagaan. Seperti
tersebut diatas, kekerasan tahun 1999 bukan merupakan sesuatu yang acak,
terisolasi atau spontan.Sifat yang terorganisasi dan terkoordinasi menunjukan
bagaimana masing-masing tindakan individu tertentu perlu dilihat dalam
konteks kelembagaan lebih luas ketika peristiwa-peristiwa tahun 1999.” 4
berkembang. Konteks ini menjadi dasar untuk menilai tanggung jawab
kelembagaan.

Dengan melihat apa yang diungkapkan oleh komisi Kebenaran dan


persahabatan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa sesungguhnya komisi
mengetahui bahwa dalam hal adanya kejahatan terhadap kemanusiaan, ada
tanggung jawab individu yang melekat pada pelaku kejahatan kemanusiaan tersebut,
akan tetapi komisi tidak memasuki kajian tanggung jawab individu, karena komisi
berpendapat bahwa persoalan tanggung jawab individu bukanlah kewenangan dari
komisi kebenaran dan persahabatan untuk membahasnya, sehingga komisi hanya
menyatakan adanya tanggung jawab negara dalam kasus Timor-Timur 1999 tersebut.
Sehingga seandainya persoalan Timor-Timur sudah selesai bagi kedua negara
yaitu Republik Indonesia dengan Timor Leste, maka tidak ada tanggung jawab
individu, berarti kedua belah pihak telah memulai suatu babak dalam hubungan
kedua negara kedepan dengan menerapkan impunitas dengan tidak meminta
pertanggungjawaban terhadap individu pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan

4 Per Memoar Ad Spem, Laporan Akhir Komisi Kebenaran Dan Persahabatan Indonesia-Timor
Leste,Hal 299
4
tersebut.Karena prinsip utama dalam penyelesaian pelanggaran Berat Hak Asasi
manusia adalah penggantian kerugian yang dialami korban dan hukuman melalui
pengadilan terhadap pelakunya, dan kedua belah pihak telah sepakat untuk
menerima laporan komisi kebenaran dan persahabatan sebagai suatu proses akhir
dalam penyelesaian konflik timor-timur tanpa membawa pelaku individu ke depan
pengadilan yang berarti telah menerapkan impunitas sebagai landasan penyelesaian
persoalan Timor-Timur.
Dalam kajian hukum, Pembunuhan adalah Delik Materil, Delik materil adalah
delik yang dalam perumusannya terdapat akibat yang dilarang, karena ditemukan
akibat yang dilarang, maka dicari perbuatan yang menjadi sebab dari timbulnya
akibat, dalam hal ini andaikan ditemukan perbuatan yang menjadi sebab dari
timbulnya akibat, misalkan menembak,menusuk dan lain sebagainya, baru kemudian
dicari dan ditemukan orang yang melakukan perbuatan tersebut.
Ketika ditemukan orang tersebut seharusnya proses hukum berlanjut sejak
penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan. Per Memoar ad Spem menghasilkan
bahwa semua perbuatan individu tersebut diambil alih tanggung jawabnya oleh
negara. Bagaimana meletakan tanggung jawab tersebut pada negara, dalam
kaitannya dengan sangsi pidana yang harus diiberikan pada individu yang melakukan
pelanggaran terhadap hukum humaniter tersebut.
Dalam hukum internasional, timbulnya tanggung jawab negara apabila
terdapat internationally wrongful act , sebagaimana yang terdapat dalam pasal 1
Rancangan tentang Tanggung Jawab Negara atas Tindakan-Tindakan Salah Secara
Internasional (Draft Articles on Responsibility of States for International Wrongful ACT),
yang dibuat oleh Internasional Law Commission, yang berbunyi “Every
Internationally Wrongful Act of State Entails the international responsibility of that
state.”5

Dalam hal adanya internasionally wrongful act maka negara bertanggung jawab atas
kesalahan tersebut.
Akan tetapi menjadi tidak lazim dalam hukum internasional apabila tanggung
jawab yang seharusnya melekat pada individu diambil alih oleh negara, dengan
meniadakan tanggung jawab pidana pada individu.
Dalam hal negara meniadakan tanggung jawab pidana pada individu, maka
negara telah melakukan impunity, yaitu ketidak mampuan negara untuk menghukum
pelaku pelanggaran hukum khususnya hukum humaniter dan hukum hak asasi
manusi.

5 Pasal 1Draft Articles on Responsibility of States for International Wrongful ACT


5
Pada sisi lain apabila negara memutuskan untuk bertanggung jawab secara
pidana terhadap pelanggaran hukum humaniter yang terjadi , maka bagaimana
menghukum negara secara pidana. Bukankah personifikasi negara terletak pada
individu-individu yang bertanggung jawab atas pelanggaran hukum humaniter
tersebut.
Katakanlah sebagai wujud tanggung jawab negara, negara melakukan
berbagai hal seperti kompensasi, rehabilitasi dan restitusi terhadap korban
pelanggaran hukum humaniter, bagaimana dengan sangsi pidana yang umumnya
terdapat dalam hukum pidana, baik hukum pidana nasional maupun hukum pidana
internasional seperti hukuman penjara. Sudah pasti negara tidak dapat dipenjara,
keculai individu-individu yang merupakan personifikasi negara yang bisa
bertanggung jawab di depan hukum baik hukum pidana nasional, maupun hukum
pidana internasional.
Peniadaan tanggung jawab individu merupakan suatu kemunduran dibidang
hukum, terlepas dari kesepakatan para pihak untuk tidak meletakan tanggung jawab
pidana pada individu dan membebankan tanggung jawab pada negara.
Pembebanan tanggung jawab pelanggaran hak asasi manusia pada negara,
sekalipun diakui merupakan penyelesaian politik, tetapi jangan lupakan bahwa apa
yang merupakan produk negara merupakan faktor pembuat hukum dan merupakan
suatu contoh bagaimanan negara bersikap dalam menyelesaikan persoalan-
persoalan yang dihadapi.
Suka atau tidak suka dengan per memoar ad spem negara telah meletakan
landasan impunity dalam proses bernegara. Dan hal tersebut bukan merupakan
sesuatu yang lazim dalam hukum internasional.
Per memoar ad spem tentunnya menimbulkan ketidakpuasan pada
korban,tetapi pada para pelaku yang seharusnya bertanggung jawab tentunya akan
merasa sangat setuju dengan proses penyelesaian yang direkomendasikan dalam per
memoar ad spem, karena tidak memasukan tanggung jawab pidana pada individu
sebagai rekomendasi yang harus dilakukan negara.
Per Memoar ad Spem telah diterima oleh kedua negara, yaitu Timor Leste dan
Indonesia. Dengan demikian persoalan Timor leste secara kenegaraan sudah selesai
dan kedua negara akan memulai langkah baru dengan melupakan masa lalu yang
bisa dibaca sebagai lupakan masa lalu yang juga bisa diartikan bahwa tidak ada apa
apa dengan dengan masa lalu, bagaimana dengan tanggung jawab hukumnya baik
hukum pidananya, ataupun hukum pidana internasional yang berkaitan dengan
pelanggaran hukum perang, kejahatan terhadap kemanusiaan,

6
Akhirnya permasalahan Timpr-Leste sudah selesai tetapi bukan tidak mungkin
akan merupakan suatu persoalan yang akan kembali datang di kemudian hari
karena secara hukum masih meninggalkan persolan khususnya terhadap tindak
pidana yang berkaitan dengan hak asasi manusia, karena tindakan-tindakan yang
berkaitan dengan hak asasi manusia tidak mengenal daluarsa.

“Komisi Kebenaran dan Persahabatan berdasarkan hasil Telaah Ulang


Dokumen dan hasil analisis atas fakta-fakta yang telah diulas dalam temuan
berdasarkan Kerangka Acuan 14 a (i) dan (ii), Komisi berkesimpulan bahwa
telah terjadi pelanggaran HAM berat berupa kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kesimpulan Komisi ini juga didasarkan analisis bahwa kejahatan terhadap
kemanusiaan yang terjadi telah dilakukan sebagai bagian dari serangan yang
meluas dan sistematis terhadap penduduk sipil. Jenis tindak kekerasan
tersebut antara lain: (1) Pembunuhan; (2) Deportasi atau pemindahan paksa
penduduk; (3) Penahanan ilegal (4) Kekerasan seksual lainnya; (5)
Penghilangan paksa; dan (6) Perbuatan tak manusiawi lain, yaitu
penghancuran dan pembakaran harta benda. Untuk dapat menyimpulkan
bahwa pelanggaran HAM berat dalam bentuk kejahatan terhadap
kemanusiaan terjadi, Komisi pertama-tama melihat apakah kekerasan tersebut
“diarahkan terhadap” warga sipil. Kekerasan ini dapat berupa segala bentuk
kekerasan fisik, pemaksaan, ancaman, intimidasi, atau penghilangan
kemerdekaan fisik. Warga sipil yang diserang harus dalam jumlah yang cukup
untuk menunjukkan bahwa penyerangan tersebut tidak hanya ditujukan
terhadap perorangan sipil dalam jumlah yang sedikit, terbatas, atau terpilih
secara acak, namun sekelompok orang yang signifikan. Pemikiran dasarnya di
sini adalah untuk menentukan apakah ada bukti kredibel mengenai
penganiayaan atau penggunaan kekuatan, pemaksaan, atau kekerasan
terhadap sejumlah substansial warga sipil. Jika kekerasan (1) diarahkan hanya
terhadap sedikit warga sipil terpisah, atau (2) diarahkan terutama terhadap
lawan militer yang sah namun terdapat beberapa warga sipil yang terbunuh
dalam suatu insiden yang acak dan terpisah, maka ini tidak digolongkan
sebagai pelanggaran HAM berat berupa kejahatan terhadap kemanusiaan.
Namun di Timor Timur tahun 1999 dimensi politik konflik dan fokusnya pada
jajak pendapat, jenis-jenis kejahatan dan status para korban, terutama
penargetan warga sipil yang dipandang memiliki hubungan dengan keyakinan
atau tujuan politik tertentu, secara jelas menunjukkan bahwa serangan

7
terhadap penduduk sipil telah terjadi. Komisi berkesimpulan bahwa bukti
mengenai hal ini sangat banyak dan definitif.
Selain temuan Komisi bahwa terjadi serangan terhadap penduduk sipil,
penting juga untuk menentukan bahwa serangan tersebut bersifat “meluas
atau sistematis.” Istilah “meluas” mencakup dimensi kuantitatif, cakupan, dan
sifat serangan. Istilah “sistematis” terutama berkaitan dengan aspek kualitatif
serangan dengan mengindikasikan misalnya, bahwa serangan tersebut bukan
terdiri dari tindak kekerasan yang acak, terpisah dan individual, namun
mencakup banyak tindakan dengan jumlah atau skala korban yang signifikan,
atau terdapat pengorganisasian, perencanaan, koordinasi, atau kegiatan
terpola. Di sini sekali lagi Komisi berkesimpulan bahwa bukti secara kuat
menunjukkan serangan terhadap penduduk sipil di Timor Timur terjadi secara
meluas maupun sistematis. Bukti ini mengindikasikan bahwa jumlah korban
dan insiden, juga skalanya, cukup besar.
Bukti juga menunjukkan bahwa serangan sering menjadikan sasaran orang-
orang yang dipandang memiliki afiliasi politik tertentu dan serangan ini terjadi
berulang kali dalam rentang waktu, pada banyak tempat, serta mengikuti pola
perbuatan yang terorganisasi.

Dengan hasil dari Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia dan Timor
Leste yang tidak meletakan tanggung jawab pidana pada individu maka Pemerintah
Indonesia telah melakukan impunity dalam penyelesaian pelanggaran hak asasi
manusia di Timor-Timur, dan mengabaikan hak untuk mendapatkan remedy dari
korban pelanggaran hak asasi manusia, dan beberapa ketentuan dalam hukum
internasional berikut ini dapat menjelaskan bahwa seharusnya Pemerintah Indonesia
tidak melepaskan tanggung jawab pidana individu dari pelaku pelanggaran hak asasi
manusia berat di Timor-Timur.

Hak untuk mendapatkan remedi atas pelanggaran hak asasi manusia


merupakan cerminan dari hak asasi manusia yang bersifat universal. Sebagaimana
disebutkan oleh Martha Meier:

“Impunitas adalah ketidakmampuan de jure dan de facto, untuk membawa


para pelaku kejahatan dan kekerasan untuk mempertanggungjawabkan
perbuatannya baik dalam proses persidangan pidana,perdata, administrasi
atau disipliner karena mereka tidak tunduk pada penyidikan yang bisa

8
mengarahkan mereka pada alasan mengapa mereka dituduh,ditangkap,
diadili dan, jika ditemukan bersalah, dihukum dengan hukuman yang tepat,
dan untuk melakukan reparasi bagi para korban. “ 6

Impunity dalam hukum internasional tidak dikenal, impunity adalah suatu


keadaan dimana pelaku tidak terjangkau oleh hukum, dan negara tidak menghukum
pelaku, sehingga pelaku tidak diminta pertanggungjawabannya atas pelanggaran
HAM yang dilakukannya. Sebagai konsekuensi dari adanya hak tersebut, sebagai
suatu hak yang bersifat universal, tentunya setiap pelanggaran hak asasi manusia,
harus dilakukan proses remedy yang tidak saja meliputi proses peradilan atas
pelanggaran HAM tersebut, tetapi juga dapat meliputi, rehabilitasi, restitusi dan
kompensasi.

Latar belakang yang demikian penulis tertarik untuk menulis Implementasi


Instrumen Hak Asasi Manusia dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat
dihubungkan dengan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia , karena dengan latar
belakang yang penulis sampaikan diatas dalam pandangan penulis sistem perdilan
pidana Indonesia tidak mampu menjangkau pelanggaran HAM berat yang terjadi di
Indonesia yang terlihat dari tidak adanya satupun terdakwa dari kasus-kasus
pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia yang dijatuhi sanksi pidana.
Bebasnya seluruh terdakwa kasus pelanggaran HAM berat khususnya yang
terjadi di Timor-Timur, mendorong segenap komponen masyarakat Indonesia
khususnya Pemerintah untuk mencari suatu solusi yang dapat menyelesaikan
persoalan hak asasi manusia, khususnya yang berkaitan dengan pelanggaran ham
berat.
Komisi kebenaran dan rekonsiliasi menjadi pilihan sebagai suatu solusi yang
mungkin dicapai sebagai suatu upaya untuk menyelesaikan persoalan pelanggaran
hak asasi manusia khususnya pelanggaran ham berat yang terjadi di Indonesia, yang
dalam pembentukannya yang tentunya tidak dapat dilepaskan dari standarisasi HAM
yang bersifat universal.
Pembentukan Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia dan Timor leste
yang diprakarsai oleh pemerintah kedua negara yaitu Indonesia dan Timor leste,

6 Martha Meier,The Scope of Impunity in Indonesia,Utrecht: HOM,2006 (terj.Indonesia oleh


Eddie Sius Riyadi, Jangkauan Impunitas di Indonesia, Jaringan Impunitas dan PBHI,2007),
Dalam Jurnal ASASI, Edisi mei-Juni Tahun 2008, Elsam,2008
9
dilakukan sebaga upaya untuk menyelesaikan persoalan Timor-Timur secara
mendasar dan menyeluruh untuk mendapatkan penyelesaiaan menyeluruh dan
untuk mendapatkan kebenaran yang fundamental mengenai apa yang terjadi di
Timor-Timur Pasca jejak pendapat tahun 1999.
Penulis berpandangan hak asasi manusia yang universal dapat terjawab
dengan melihat kepada bagaimana Indonesia menyelesaikan persoalan Hak Asasi
Manusia yang dialaminya khususnya yang berkaitan dengan pelanggaran HAM berat,
lebih khusus lagi bagaimana standarisasi hak asasi manusia yang universal
diterapkan dalam kasus pelanggaran HAM berat, khususnya dalam kasus Timor-
Timur sebagai ukuran universal dalam penegakan hak asasi manusia di Indonesia.
Penelitian ini melihat bahwa Pengadilan HAM, Komisi Kebenarran dan
Rekonsiliasi yang dalam tulisan ini digunakan Komisi Kebenaran dan Persahabatan
Indonesia dan Timor Leste merupakan bagian dari suatu sistem untuk menjawab
persoalan pelanggaran HAM berat di Indonesia yang tidak dapat dipisahkan dari
sistem peradilan pidana, yang diharapkan dapat menyelesaikan persoalan
pelanggaran Hak Asassi Manusia di Indonesia dalam hal ini pelanggaran hak asasi
manusia berat.
Sebagaimana penulis sadari, tulisan yang membicarakan mengenai Hak Asasi
Manusia sangatlah banyak, dalam penelitian ini peneliti hendak melihat suatu
rangkaian pemikiran mengenai hak asasi manusia, sejak hak asasi manusia
dipandang perlu untuk diatur dalam undang-undang dasar sebagai bentuk
perlindungan terhadap hak asasi manusia, dan kenyataan yang harus dihadapi ketika
berhadapan dengan pelanggaran hak asasi manusia, serta mekanisme alternatif yang
perlu dilakukan ketika dirasakan mekanisme pengadilan hak asasi manusia dirasakan
tidak memberikan jawaban atas persoalan hak asasi manusia, yang diwujudkan
dalam komisi kebenaran dan rekonsiliasi, dengan memperhatikan standarisasi hak
asasi manusia yang bersifat universal.

B. Identifikasi Masalah
Dalam penelitian ini yang menjadi pokok permasalahan adalah :
1. Bagaimana pengaturan tentang Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Berat dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia?
2. Bagaimana Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat
dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk menemukan :

10
1. Pengaturan tentang Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat dalam
Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia.
2. Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat dalam Sistem Peradilan
Pidana di Indonesia.
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini diharapkan:
1. Secara Teoritis mengembangkan disiplin hukum Hak Asasi Manusia yang
diperkaya oleh hasil penelitian para peneliti dan pendapat para ahli terdahulu.
2. Secara praktis memberikan sumbangan pemikiran mengenai konsep
Asasi Manusia dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia.

E. Kerangka Pemikiran
Sebagai negara yang berdasarkan hukum, dimana salah satu pola yang harus
ada didalam negara berdasarkan hukum adalah adanya penghormatan dan
perlindungan terhadap hak asasi manusia, selain dari adanya mekanisme
kelembagaan negara yang demokratis, adanya suatu tertib hukum dan adanya
kekuasaan kehakiman yang bebas.7 Indonesia juga mengatur hak asasi manusia
dalam Konstitusinya dan perundang-undangan yang menunjukkan bahwa Indonesia
memperhatikan persoalan hak asasi manusia dan bertanggung jawab atas
penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Konsep hak asasi manusia yang dipergunakan oleh Indonesia dalam
mengatur hak asasi manusia baik dalam Konstitusinya ataupun dalam peraturan
perundang-undangan yang lain, idealnya sebagai konsep yang diikuti oleh peraturan
perundang-undangan yang mengatur secara teknis mengenai hak asasi manusia,
atau terjadi perubahan konsep dalam pengaturan yang terdapat pada peraturan
perundang-undangan yang mengatur HAM.
Hak asasi manusia adalah suatu konsep yang sifatnya universal, idealnya
Konstitusi dan peraturan perundang-undangan di Indonesia juga menggunakan
konsep yang bersifat universal, tetapi peraturan perundang-undangan seringkali
menjadi sumber perdebatan mengenai hak asasi manusia, yang mengurangi makna
universal dari hak asasi manusia dikarenakan perbedaan pandangan mengenai hak
asasi manusia, sehingga mengurangi makna universal dari hak asasi manusia yang
seharusnya dapat diterima oleh semua orang, karena HAM yang sifatnya universal
tidak akan menimbulkan perdebatan.

7 Padmo Wahyono, Indonesia Negara Berdasarkan Hukum, Ghalia Indonesia, 1983, hlm 9.
11
Dalam peraturan perundang-undangan nasional terdapat peraturan
perundang-undangan yang bermuatan hak asasi manusia ketika akan dikeluarkan
atau sudah dikeluarkan menimbulkan perdebatan yang sangat kuat membicarakan
mengenai peraturan perundangan tersebut, sebagai contoh konsep hak asasi
manusia yang terdapat dalam Undang-Undang No 26 tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM, Undang-Undang No 27 Tahun 2004 mengenai Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi (KKR) yang berdasarkan keputusan mahkamah konstitusi pada
tanggal 7 Desember 2006 membatalkan Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi yang menunjukkan konsep yang berbeda dalam melihat persoalan
hak asasi manusia di Indonesia.
Pembentukan Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) antara Republik
Indonesia dan Timor Leste dapat dijadikan kajian penelitian dalam mencari jawaban
konsep hak asasi manusia dan implementasinya dalam sistem hukum nasional
Indonesia.
Perbedaan dalam memandang hak asasi manusia, tentunya dilandasi atas
perspektif berbeda terhadap hak asasi manusia , yang dapat diartikan terdapat
perbedaan konsep mengenai hak asasi manusia
Hak asasi manusia filosofinya adalah menjamin penghormatan terhadap setiap
orang, martabat dan kemerdekaan manusia dari semua bentuk tindakan yang
tidak sesuai dengan harkat martabat manusia dalam menjalankan hidupnya di
masyarakat.8

Pemikiran mengenai hak asasi manusia yang sifatnya universal diawali


dengan situasi dunia pada perang dunia kedua yang menimbulkan penderitaan
yang sangat besar bagi masyarakat dunia sehingga mendorong perlunya tatanan
universal yang mengatur masyarakat dunia agar lebih dapat menghormati hak asasi
manusia
“Gagasan mengenai Deklarasi Internasional Hak Asasi Manusia muncul ketika
perang dunia II berlangsung, dan semakin kuat saat Piagam PBB dirancang
dan PBB dibentuk.Para pendiri PBB tidak bisa tidak, harus memasukkan upaya
pemajuan hak-hak asasi manusia ke dalam tujuan-tujuan PBB, yang
kemudian diwujudkan dalam bentuk Deklarasi yang menuangkan kebiasaan-
kebiasaan hukum internasional.”9

8 Jacques Robert, “Contitutional and International Protection of Human Rights Competing or


Complementary System”, Human Rights Law Journal, Vol 15, No 1-2, 31 March 1994, NP
Engel Publisher hlm 2
12
Kutipan di atas menunjukan diperlukannya suatu tatanan yang bersifat
universal yang mengatur hak asasi manusia. Hak asasi manusia merupakan isu yang
tidak pernah selesai untuk dibicarakan, karena membicarakan hak asasi manusia,
berarti membicarakan suatu pemahaman konsep yang universal.
Konsep dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia Badudu – Zain diartikan
sebagai ide yang direncanakan dalam pikiran.10
Dalam Websters Dictionary, Concept diartikan sebagai: an idea terj: suatu
gagasan, especially a generalized idea of a class of objects terj: secara khusus adalah
suatu pemikiran umum mengenai sekelompok obyek ; a thought terj: pemikiran.11
Dengan demikian konsep diartikan sebagai suatu pemikiran, yang dalam hal ini
tentunya pemikiran terhadap hak asasi manusia. Dalam kaitannya dengan
konsep hak asasi manusia yang universal dapat diartikan sebagai pemikiran hak
asasi manusia yang bisa diterima di semua tempat dan di semua waktu. Dengan
kata lain, pemahaman tentang konsep yang universal dari hak asasi manusia,
maka seharusnya tidak akan ada lagi pandangan yang berbeda mengenai hak
asasi manusia karena konsep hak asasi manusia yang universal berarti suatu
pemahaman yang sama dalam memandang hak asasi manusia.12

Sebagai sesuatu yang universal hak asasi manusia dipandang sebagai


standar internasional yang melintasi batas budaya dan merupakan sistem hukum
internasional yang berlaku dalam masyarakat negara.13

9 Vratislav Pechota, Kovenan Hak Sipil dan Politik dalam Materi Training Hukum dan HAM
bagi Dosen Pengajar Hukum dan HAM di Fakultas Hukum pada Perguruan Tinggi Negeri dan
Swasta di Indonesia, diselenggarakan oleh Pusham Universitas Islam Indonesia, bekerjasama
dengan University of Oslo Norway, Yogyakarta, 22-24 September 2005

10 Badudu-Zein, Kamus Umum bahasa Indonesia,, Pustaka Sinar harapan, Jakarta, 2001, hlm
712.

11 Websters New Twentieth Century Unabridged Dictionary Second Edition, Prentice Hall
Press, New York,1972, hlm 376

12 “Hak -Hak Asasi Manusia Dalam Konteks Sosiokultural dan Religi di Indonesia”, Hak
Asasi Manusia dalam Perspektif Budaya Indonesia, Komisi Nasional Hak asasi manusia,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999, hlm 54

13 Sonia Haris Short, International Human Rights Law: Imperialist,Inept and Ineffective?
Cultural Relativisme and the UN Convention on the Rights of the Child in Human Rights
Quarterly, A Comparative and International Journal of The Social Sciences, Humanities, And
Law, Volume 25 Number 1, February 2003, Hlm.131.
13
Melintasi batas budaya dalam hal ini dimaksudkan bahwa seharusnya tidak
ada lagi perbedaan dalam pengaturan dan pelaksanaan hak asasi manusia
dikarenakan perbedaan budaya tidak mempengaruhi berlakunya hak asasi manusia,
karena universalitas dari hak asasi manusia.
Dalam kenyataannya persoalan budaya yang selalu menghambat berlakunya
hak asasi manusia yang dipandang universal, bahkan konsep hak asasi manusia
yang sudah menjadi suatu hukum kebiasaan internasional dapat diperlakukan
berbeda dalam suatu negara dengan pertimbangan sosial dan budaya dari negara
tersebut, yang sebenarnya tidak sesuai dengan hak asasi manusia yang bersifat
universal.
Universal dalam kamus umum Bahasa Indonesia WJS Poerwadarminta
diartikan sebagai umum yang meliputi (berlaku di, terdapat di) seluruh dunia
(termasuk, dilakukan oleh) semua orang; berakibat pada semua orang 14. Dengan
menggunakan pedoman yang terdapat dalam kamus WJS Poerwadarminta, maka
dengan demikian hak asasi manusia Universal diartikan sebagai hak asasi manusia
yang berlaku di seluruh dunia. Dalam Websters Ninth New Collegiate Dictionary, 15
“Universal: 1. including or covering all or a whole collectively or distributively
without limit or exceptions; 2. a present or occuring everywhere b: existent or
operative everywhere or under all condition.”
“Universality: 1. the quality or state of being Universal; 2. Universal
Comprehensiveness in range.”
“Universalism: 1. often cap a: a theological doctrine that all men will
eventually be saved b: the principles and practises of a liberal christian
denomination founded in the 18th century orig. .to uphold belief in universal
salvation and know united with unitarianisme 2. something that is universal in
scope”

Berpedoman kepada Websters Ninth New Collegiate Dictionary, maka


universal diartikan sebagai berlaku umum, Universality atau Universalitas diartikan
sebagai sesuatu yang berlaku umum, dan universalisme diartikan sebagai suatu
paham yang bersifat universal, dalam kaitan dengan penelitian ini maka hak asasi
manusia adalah berlaku Universal yang artinya berlaku umum, di setiap tempat dan
di setiap waktu, dan hak asasi manusia sebagai suatu obyek yang berlaku umum,

14 WJS Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1993, hlm
1130

15 Websters Ninth New Collegiate Dictionary, Miriam Webster Inc., Publishers, Springfield,
Massachusetts, USA, hlm 1291.
14
yang kemudian mengakibatkan paham atau pandangan bahwa hak asasi manusia
berlaku secara universal.
Dalam praktik negara-negara seringkali menimbulkan perdebatan di kalangan
para ahli hukum bahwa penerapan universalitas dari hak asasi manusia ke dalam
hukum nasional atau pelaksanaan hak asasi manusia oleh negara tidak sesuai
dengan prinsip universalitas, dan cenderung disesuaikan dengan bagaimana
pandangan negara mengenai hak asasi manusia itu sendiri.
“Sebagai bangsa yang merupakan bagian (sub-sistem) masyarakat global,
tanpa mengabaikan unsur-unsur partikularistik yang dominan, berbagai
kecenderungan global harus dilihat sebagai kecenderungan nasional. Hal ini
khususnya apabila berkaitan dengan hak asasi manusia yang bersifat
absolute (absolute rights) yang tidak dapat dikesampingkan, sekalipun suatu
negara dalam keadaan darurat.”16
Konsep hak asasi manusia secara universal, tentunya tidak dapat terlepas dari
hukum internasional dimana sumber hukum internasional adalah: 17
a. international conventions, whether general or particular, establishing
rules expressly recognized by the contesting states;
b. International custom, as evidence of a general practice accepted as law.
c. The General Principles of Law Recognized by civilized nation.
d. Judicial decisions and the teaching of the most highly publicist of the
various nations, as subsidiary means for the determinations of rules of law
.
Sebagai suatu tatanan nilai yang telah diterima masyarakat internasional
sebagaimana pengertian hukum internasional, hukum internasional ialah
keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang
melintasi batas Negara antara :
1. Negara dengan Negara
2. Negara dengan subyek hukum lain bukan negara atau subyek hukum bukan
negara satu sama lain.18
Dengan demikian Negara telah menerima konsep universalitas itu sebagai
suatu konsep yang berlaku secara universal. Bahkan dalam hal ini adanya

16 Muladi, “Pengadilan Pidana Bagi Pelanggar HAM Berat di Era Demokrasi”, Jurnal
Demokrasi & HAM, Vol 1, Mei-Agustus 2000, hlm 38

17 Pasal 38 ayat 1 Statuta International Court of Justice

18 Mochtar Kusumaatmaja, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta Bandung, Cetakan


ketujuh 1990, hlm.3.
15
pandangan yang lebih moderat dan menafsirkan kecenderungan global lebih luas
yang mencakup pula pelbagai resolusi badan-badan PBB, model perjanjian (model
treaties), code of conduct, guidelines, basic principles, safeguard, standar minimum
rules, dan berbagai deklarasi yang disusun oleh badan-badan internasional serta
hasil-hasil pertemuan ilmiah yang diselenggarakan oleh profesi internasional: 19
“Globalisasi semakin memperkuat pemikiran-pemikiran untuk
mempersoalkan nilai-nilai dasar HAM, yang bersifat universal, indivisible and
interdependent and interelated. Bahkan sering ditegaskan agar masyarakat
internasional memperlakukan hak asasi secara global in a fair and equal
manner, on the same footing, and with the same emphasis.
Di dalam Vienna Declaration and Programme of Action (Juni 1993) butir E.83
yang mengatur mengenai implementation and monitoring methods ditegaskan
bahwa pemerintah-pemerintah hendaknya menggabungkan (incorporate) standar-
standar yang terdapat pada instrumen hak asasi manusia internasional ke dalam
hukum nasional (domestic Legislation) dan memperkuat pelbagai struktur, lembaga
nasional dan organ-organ dalam masyarakat yang memainkan peran di dalam
mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia.20
Muladi mengatakan sekalipun hak asasi manusia memiliki sifat universal,
namun sebagaimana negara-negara berkembang yang lain dalam implementasinya
dikenal pula asas relativisme kultural, yang secara universal juga sudah mendapatkan
pengakuan, tentu sejauh penggunaan asas relativisme kultural tersebut tidak
bertentangan dengan prinsip dan hakekat hak asasi manusia yang universal.
Pentingnya untuk tetap mempertimbangkan aspek kultural dan historis suatu
bangsa atau masyarakat dalam penerapan hak asasi manusia, nampak pada contoh
sebagai berikut:
The Jakarta message (1992) butir 18 antara lain menegaskan bahwa “No
country, however, should use its power to dictate its concept of democracy and
human rights or impose conditionalities on others.”

Namun demikian tidak ada negara yang dapat menggunakan kekuasaannya


untuk mendiktekan konsep-konsep demokrasi dan hak asasi manusianya atau
menerapkan persyaratan-persyaratan pada negara-negara lain.

19 Muladi mengutip Held, David, Democracy and the Global Order, Polity Press, 1995 Dalam
Tulisan “Pengadilan Pidana Bagi Pelanggar HAM Berat di Era Demokrasi”, dalam Jurnal
Demokrasi & HAM, Vol 1, Mei-Agustus 2000, hlm 38

20 Komisi Hak Asasi Manusia, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Budaya, Makalah Muladi,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, hlm 81.
16
Deklarasi Kuala Lumpur (1993) tentang hak asasi manusia yang dirumuskan
oleh ASEAN Inter Parliamentary Organization (AIPO) antara lain menegaskan :
“the people of ASEAN accept that human rights exist in a dynamic and
evolving context and that each country has inherent historical experiences, and
changing economic, social, political and cultural and value system which
should be taken into account.” 21

Deklarasi Bangkok 1993 yang dirumuskan oleh negara-negara Asia yang


menyatakan bahwa:
“While Human Rights are Universal in nature, they must be considered in the
context of a dynamic and evolving process of international norms setting,
bearing in mind the significance of national and regional peculiarities and
various historical, cultural and religious background.”22

Deklarasi Wina dan Program Aksi (1993) yang dihasilkan oleh konferensi dunia
tentang Hak asasi manusia yang merumuskan bahwa:
“All human rights are universal, indivisible and interdependent and interrelated
while the significant of national and regional Particularities and various
historical, cultural and religious background must be borne in mind, it is the
duty of states, regardless of their political, economic and cultural systems, to
promote and protect all human rights and fundamental freedoms.”23

Sebagai suatu negara yang berdasarkan atas hukum yang memberikan


penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia Pemerintah Indonesia
mempunyai kewajiban untuk melakukan penghormatan terhadap hak asasi manusia,
dengan melakukan upaya-upaya yang dapat mengakibatkan diakuinya Indonesia
sebagai negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sebagai konsekuensi
yang didapatkan dari suatu negara yang berdasarkan atas hukum, negara
mempunyai kewajiban yang berkaitan dengan serangkaian pelaksaanaan kewajiban
negara dalam permasalahan hak asasi manusia, Indonesia tentunya mempunyai

21 Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia,The Habibie
Center, Jakarta 2002, hlm.56.

22 Final Declaration of the Regional Meeting For Asia of the World Conference on Human
Rights yang dikenal dengan Bangkok Declaration 1993.

23Viena Declaration and Programme of Action (Juni 1993)


17
konsep mengenai hak asasi manusia yang diimplementasikan dalam sistem hukum
nasionalnya.
“Reformasi di bidang Legislasi dalam kajian Mas Achmad Santosa, tetap
memunculkan Undang-Undang yang dianggap bertentangan dengan nilai-
nilai tentang hak asasi manusia dan demokrasi. Dan dikatakan tidak adanya
konsep dalam reformasi hukum, dan seharusnya terdapat konsep dan desain
besar reformasi hukum, sehingga akan diketahui tentang visi, misi, dan tujuan
reformasi hukum, prinsip-prinsip yang dijadikan landasan, skala prioritas,
kebijakan-kebijakan yang harus dihindari, norma-norma hukum yang minimal
harus terdapat dalam suatu produk peraturan perundang-undangan yang
akan diperbaharui.”24
“Konsepsi tentang hak asasi manusia di Negara Republik Indonesia yang
berdasar faham Persatuan Indonesia dan berkonstitusi UUD 1945 bukan
hanya ada tetapi juga berkembang dan diakui eksistensinya. Negara
mengakui hak -hak asasi orang seorang dan disamping itu juga mengakui
hak -hak kelompok seperti keluarga, masyarakat, paguyuban masyarakat, dan
Negara. Karena itu di Negara Republik Indonesia HAM tidak berdiri sendiri
melainkan berdampingan dengan kewajiban, yaitui kewajiban orang-seorang
terhadap orang lain, terhadap keluarganya, terhadap masyarakatnya, dan
terhadap negaranya. Demikian juga sebaliknya”25.

Penerapan prinsip-prinsip umum negara yang berdasarkan hukum pada teori


rechtstaat adalah adanya pengakuan hak-hak asasi adanya pemisahan kekuasaan,
dan pemerintahan yang berdasarkan pada undang-undang dan peradilan
administrasi. Sedangkan pada teori rule of law, adanya konstitusi yang bersumber
pada hak -hak asasi manusia, adanya persamaan menurut hukum bagi semua
orang, dan adanya prinsip bahwa hukum mengatasi segalanya. 26

Seiring dengan pekembangan pemikiran mengenai negara di bawah tatanan


hukum yang adil yang berkembang di Eropa pada abad 19 hingga permulaan abad
ke 20, yang pada saat itu tercatat perkembangan pemikiran mengenai konsep

24 Mas Achmad Santosa, Pembaharuan Hukum Indonesia Agenda yang Terabaikan, MelibS,
Jakarta, 2004, hlm 12-13

25 BP 7 Pusat, Cita Negara Persatuan Indonesia, 1996,Penerbit BP 7. hlm 155.

26 Ibid, Hlm 10.


18
negara, dari konsep negara hukum klasik (negara hukum dalam arti sempit) menuju
konsep negara hukum formal.27
Konsep Negara Hukum dapat dibedakan menurut konsep negara hukum
yang berkembang di negara-negara Eropa kontinental yang dikenal dengan
Rechtsstaat, dan konsep negara hukum yang berkembang di negara-negara Anglo
Saxon yang dikenal dengan Rule of Law.
Negara hukum menurut konsep konsep rechtsstaat dibangun berdasarkan
sistem hukum civil law, dimana konsep rechtstaat lahir dari suatu perjuangan
menentang absolutisme, yang dipelopori oleh Immanuel Kant dan Friedrich Julius
Stahl, sehingga sifatnya revolusioner.
Unsur negara hukum menurut konsep rechtsstaat ialah adanya :
1. Hak-hak manusia
2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu
3. Pemerintah berdasarkan Peraturan-Peraturan.
4. Peradilan administrasi dalam perselisihan.28

Konsep rule of law berkembang secara evolusioner,29 dibangun berdasarkan


sistem hukum common law.30 Istilah the rule of law mulai populer dengan terbitnya
sebuah buku dari A.V.Dicey tahun 1885 dengan judul Introduction to the Study of the
Law of the Constitution yang berisikan: 31
“That rule of law then which forms a fundamental principle of the
constitution,has three meaning, or may be regarded from three different points
of view. It means, in the first place, the absolute supremacy or predominance of

27 Lihat: Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992,
Hlm: 57-58, dan Moh Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara, FH-UI dan CV. Sinar Bakti, Jakarta, 1988, hlm:
156-161

28 Miriam Budiardjo, Ibid, Hlm 57

29 Lihat Philipus M Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia Suatu Studi Tentang
Prinsip-Prinsip Penanganannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan
Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Bina Ilmu Surabaya, 1987, hlm: 72.

30 Djoko Sutono, Hukum Tata Negara (Materi kuliah yang dihimpun oleh Harun Al Rasyid),
Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hlm : 78

31 Dicey.A.V., Introduction to the Study of the Law of the Constitution, Ninth Edition,
Macmillan and Co Limited ST Martins Street, London 1952, inroduction, pp XVII-CXIII,
179,183,184,Ch IV,Ch IV, Ch V.
19
regular law as opposed to the influence of arbitrary power, and excludes the
existence of arbitrariness, of prerogative, or even of wide discretionary authority
on the part of the government. Enghlishmen are ruled by the law, and by the
law alone; a man may with us be punished for nothing else. It means, again,
equality before the law, or the equal subjection of all classes to the ordinary law
of the land administered by the ordinary law court;the rule of law in this sense
excludes the idea of any exemption of officials or others from the duty of
obedience to the law which governs other citizens or from the jurisdiction of the
ordinary tribunals; there can be with us nothing really corresponding to the
administrative law (droit administrative) or the administrative tribunals
(tribunaux administratifs) of France.
The Notion which lies at the bottom of the administrative law known to foreign
countries is, that affairs or disputes in which the government or its servants are
concerned are beyond the sphere of the civil courts and must be dealt with by
special and more or less official bodies. This idea is utterly unknown to the law
of England, and indeed is fundamentally inconsistent with our traditions and
customs.
The rule of law lastly may be used as formula for expressing the fact that with
us the law of the constitution, the rules which in foreign countries naturally
form part of a constitutional code, are not the source but the consequence of
the rights of individuals, as defined and enforced by the courts;that,in short, the
principle of private law have with us been by the action of the courts and
parliament so extended as to determine the positions of the crown and of its
servant; thus the constitutions is the result of the ordinary law of the land.”

“Bahwa negara hukum yang membentuk prinsip fundamental dari konstitusi,


memiliki tiga arti, atau dapat dilihat dari tiga sudut pandang. Artinya, pertama,
supremasi absolut atau dominasi aturan hukum sebagai penyeimbang atas
kekuasaan yang sewenang-wenang, dan mengesampingkan adanya
kesewenang-wenangan, dari hak prerogatif, atau bahkan adanya kesewenang-
wenangan dari hak prerogatif, atau bahkan diskresi dari pemerintah. Orang
Inggris diatur berdasarkan hukum, dan hanya hukum; seseorang tidak
mungkin dihukum karena sesuatu yang lain. Artinya, persamaan di hadapan
hukum, atau persamaan bagi seluruh kelas dalam hukum di negeri tersebut
yang dilaksanakan oleh pengadilan biasa; negara hukum dalam hal ini
mengecualikan gagasan yang mengecualikan pejabat atau lainnya dari
kewajiban untuk mematuhi hukum yang mengatur warga negara lainnya atau

20
dari yurisdiksi daripada pengadilan biasa; mungkin tidak ada kaitannya
dengan hukum administratif atau pengadilan administratif di Prancis.
Inti dari hukum administratif yang dikenal oleh negara-negara asing adalah
bahwa hubungan atau perselisihan dimana pemerintah atau pejabatnya
terlibat berada di luar wilayah pengadilan sipil dan harus ditangani oleh
badan-badan yang khusus atau kurang lebih resmi. Gagasan ini tidak dikenal
dalam hukum Inggris, dan bahkan secara fundamental tidak konsisten dengan
tradisi dan kebiasaan kita.
Terkahir, negara hukum dapat digunakan sebagai formula untuk
menyampaikan fakta bahwa tanpa hukum konstitusi, aturan-aturan di negara-
negara asing secara alamiah membentuk bagian dari konstitusi, bukan
merupakan sumber tetapi konsekuensi dari hak-hak individu, sebagaimana
didefinisikan dan dilaksanakan oleh pengadilan; singkatnya, prinsip hukum
privat telah dilaksanakan oleh pengadilan dan parlemen diperluas sampai
menentukan posisi puncak dari pejabatnya; sehingga konstitusi adalah hasil
daripada hukum biasa di negeri tersebut.”

Maksudnya, pertama, supremasi absolut atau dominasi aturan hukum sebagai


penyeimbang atas kekuasaan yang sewenang-wenang, dan mengesampingkan
adanya kesewenang-wenangan, dari hak prerogatif, atau bahkan diskresi wewenang
dari pemerintah. Itu berarti sekali lagi, kesetaraan di depan hukum, atau kesamaan
dari semua kelas tunduk kepada hukum umum dikelola pengadilan umum.
Terakhir, dapat digunakan sebagai formula untuk mengungkapkan fakta
bahwa dengan kata hukum konstitusi, aturan-aturan yang dialami Negara-negara
asing merupakan bagian dari kode institusionil, bukanlah sumber tetapi merupakan
konsekuensi dari hak-hak inividu, sebagaimana ditegakkan oleh pengadilan.
Menurut Mas Bakar perwujudan supremasi hukum (supremacy of law) di
negara-negara Anglo Saxon sedikit berbeda dengan apa yang terjadi di negara-
negara kontinental yang menganut konsep rechtstaat.32 Supremasi hukum menurut
rechtsstaat adalah menempatkan negara sebagai subyek hukum, sehingga
konsekuensinya hukumnya dapat dituntut di pengadilan. Negara-negara Anglo
Saxon dalam konsep rule of law, tidak menempatkan sebagai subyek hukum, negara
menurut konsep ini dipandang tidak dapat berbuat salah, sehingga konsekuensinya
tidak dapat mempertanggungjawabkan sesuatu di pengadilan.

32 Aminudin, makalah Negara Hukum Rule of Law dan Negara Hukum Rechtstaat, Pada
Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang, 19 Maret 1999.
21
Unsur equality before the law, mengandung arti bahwa semua warga negara
tunduk selaku pribadi maupun kualifikasinya sebagai pejabat negara tunduk pada
hukum yang sama dan diadili di pengadilan biasa yang sama. Dengan demikian
setiap warga negara sama kedudukannya di hadapan hukum. Penguasa maupun
warga negara; apabila melakukan tort (perbuatan melanggar hukum: Surechtmatige
daad; delict), maka akan diadili menurut aturan common law dan di pengadilan
biasa. 33

Unsur constitution based on human rights mengandung arti bahwa adanya


suatu Undang-Undang dasar yang unsur Groundrechten-nya yang lebih primer.34
Konstitusi bukan merupakan sumber dari hak-hak asasi manusia dan jika hak-hak
asasi itu diletakkan dalam konstitusi, maka itu hanya penegasan bahwa hak-hak
asasi itu harus dilindungi.35
Negara hukum seperti negara kesatuan Republik Indonesia dimana
pemerintah bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat dan karenanya harus aktif
mengatur kehidupan ekonomi dan sosialnya sehingga negara hukum yang demikian
lazim disebut sebagai negara kesejahteraan (Welfare State).36
Teori hak asasi manusia sebagai Middle Range Theory dalam Penelitian ini
dikarenakan hak asasi manusia “Human Rights could be generally defined as those
rights which are inherent in our nature and without which we cannot live as human
beings” yang artinya bahwa hak asasi manusia secara umum diartikan sebagai hak
yang melekat pada diri manusia yang tanpa adanya hak-hak tersebut manusia tidak
dapat hidup sebagai manusia.37
Dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No 39 Tahun 1999 :
”Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh

33 Djoko Sutono, Op.Cit, hlm: 81-82.

34 Satya Arinanto, “Demokrasi berdasarkan Konstitusi: Mungkin Terjelma dalam Realita.”


Artikel dalam majalah Hukum dan Pembangunan, No 3 Tahun XXIII, FH UI, Jakarta, 1993.

35 Muh Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Loc.Cit.

36 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik,Gramedia Pusstaka Utama,Jakarta,1998,hlm 59.

37 United Nation, Human Rights Question and Answer, New York, United Nations
Department of Public Informations, 1993.
22
negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.”38

Dalam Piagam Hak Asasi Manusia Indonesia:


”Bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri
manusia secara kodrati,universal, dan abadi sebagai Anugerah Tuhan Yang
Maha Esa.”39

Dalam Undang-Undang No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia:


”Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh
negara, hukum,pemerintah,dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.” 40

Secara tersurat pengakuan terhadap konsepsi hak asasi manusia yang universal
dalam sistem hukum Indonesia terdapat dalam Keputusan Presiden Republik
Indonesia No 50 /1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dalam bagian
menimbang butir b dikatakan:
“Bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat bangsa-bangsa,
menghormati Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Deklarasi Universal
Hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa.” 41

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998


tentang Hak Asasi Manusia semakin menegaskan bahwa dalam hak asasi manusia
terdapat hubungan antara hukum nasional dengan hukum internasional khususnya
dalam kaitannya dengan pengakuaan dan penghormatan terhadap universalitas hak
asasi manusia sebagaimana yang diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, dimana dalam bagian konsiderans butir C
dengan jelas menunjukkan pengakuan bangsa Indonesia terhadap Deklarasi
Universal Hak-hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan adanya butir
C, yang berbunyi sebagai berikut :

38 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

39 Piagam Hak Asasi Manusia Indonesia, Pembukaan alinea kedua

40 Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No 26 Tahun 2000

41 Keputusan Presiden Republik Indonesia tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
23
“bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian masyarakat dunia patut menghormati
hak -hak asasi manusia yang termaktub dalam Deklarasi Universal Hak -hak
asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa serta berbagai instrumen
internasional lainnya mengenai hak -hak asasi manusia.” 42

Apa yang dikemukakan di atas mengenai bagaimana sistem hukum Indonesia


mengakui Universal Declaration of Human Rights menunjukkan pengakuan negara
Republik Indonesia terhadap Hak Asasi Manusia yang Universal, terlebih lagi dengan
pengaturan hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang juga
menunjukkan pengakuan hak asasi manusia yang universal.
Teori hukum pembangunan dipergunakan dikarenakan sebagai akibat dari
Indonesia berdasarkan hukum, maka hukum berperan sebagai sarana pembangunan
hak asasi manusia dalam bentuk membuat peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan hak asasi manusia, tetapi juga melakukan perbaikan terhadap
kondisi hak asasi negara, dengan melakukan penegakan hukum yang salah satunya
dengan proses peradilan yang bermuara pada pembentukan hukum dalam proses
peradilan yang tidak saja melibatkan tatanan sollen, tetapi juga sein.
Dalam pelaksanaan hal yang demikian tentunya harus dipahami konsep hak
asasi manusia yang dipergunakan dalam sistem hukum Indonesia serta bagaimana
implementasi konsep sistem hukum tersebut dalam sistem hukum Indonesia.
“Berbeda dengan dunia barat yang menganut hak asasi manusia sebagai hak
asasi individual, Indonesia menganut hak asasi sebagai warga negara, yaitu
seorang warga negara juga memiliki kewajiban-kewajiban asasi untuk
menghormati hak -hak asasi warga negara lain, hak asasi manusia di
Indonesia bukanlah hak asasi orang yang terlepas dan bersifat individual
yang sebebas-bebasnya. Sri Edi Swasono menjelaskan, berbeda dengan dunia
barat yang negara dibentuk berdasarkan kesepakatan individual, Indonesia
pada masa terbentuknya tidaklah demikian. Dalam Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia telah ada terlebih dahulu, barulah orang-
orang bersepakat mewujudkan cita-cita itu. Manusia Indonesia adalah
makhluk sosial, bukan makhluk individual. Oleh Karena itu, ujar Sri Edi, yang
ada adalah konsensus sosial, bukan kontrak sosial dalam teori John Locke. Di
Indonesia kepentingan masyarakat yang utama. Hak asasi manusia adalah
hak asasi warga negara bukan hak yang terlepas-lepas.” 43

42 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1988 tentang


Hak -Hak Asasi Manusia Bagian Konsiderans, Butir C

43 Pendapat Sri Edi Swasono, Kompas, Senin, 14 Agustus 2006, hlm 3


24
Apakah pendapat yang disampaikan di atas adalah betul konsep hak asasi
manusia yang terdapat dalam sistem hukum nasional Indonesia, dalam penelitian ini
mencoba untuk mencari jawaban, konsep apakah yang dipergunakan dalam sistem
hukum nasional Indonesia. Pada sisi lain penerapan konsep hak asasi manusia dalam
sistem hukum suatu negara merupakan tanggung jawab negara yang bersangkutan
yang melekat sebagai konsekuensi sebagai sebuah negara hukum yang menjunjung
tinggi hak asasi manusia.44
Konstitusi yang merupakan perwujudan ideologi bangsa, telah membatasi
kekuasaan pemerintah dan tidak sekadar memuat pelbagai rumusan bahasa yang
indah-indah, yang perumusannya sangat dipengaruhi oleh sistem nilai yang berlaku
pada bangsa tersebut.45
Tanggung jawab negara menurut hukum internasional timbul akibat dari
adanya pelanggaran terhadap hukum internasional, walaupun hukum nasional
mengganggap suatu perbuatan bukan merupakan pelanggaran hukum, namun
apabila hukum internasional menentukan sebaliknya maka negara harus tetap
bertanggungjawab.46
Dalam hal tanggungjawab terhadap norma hukum hak asasi manusia
internasional negara pelaku tidak dapat lagi berlindung di balik kedaulatannya
untuk menghindari tanggungjawab kepada masyarakat internasional sebagaimana
dikatakan Hector Gross Espiell, “The question of Human Rights is no longer the
preserve of the domestic jurisdiction of states, but is now recognized as being
governed by internal law and by international law, against which special internal law
cannot be invoked.”47
Berbicara mengenai pembangunan hukum erat kaitannya dengan Garis-Garis
Besar Haluan Negara tahun 1973 bidang hukum, yang isinya bahwa hukum tidak
menghambat proses modernisasi. Sementara Garis-Garis Besar Haluan Negara tahun
1983 bidang hukum yang isinya antara lain bahwa hukum dapat berfungsi sebagai
sarana pembaharuan masyarakat.

44 Padmowahyono, Loc.Cit.hlm 9.

45 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Budaya
Indonesia., makalah Muladi, “Penegakan Hak Asasi Manusia dalam Hukum Positif Indonesia”

46 F Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Universitas Atmajaya Yogyakarta, hlm 77.

47 Hestor Gross Espiell, “Humanitarian Law and Human Rights”, dalam Januzy Symonides
(editor), Human Rights: Concept and Standards, Paris: UNESCO, 2000, hlm. 349
25
Pembahasan masalah pembangunan hukum juga terdapat dalam Undang-
Undang No 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-
2004 dimana dalam Bab II Prioritas Pembangunan Nasional pada point B.2 untuk
Mewujudkan Supremasi Hukum dan Pemerintahan yang baik, serta pada Bab III
secara khusus mengatur Pembangunan Hukum dimana didalamnya program
Pembangunan hukum meliputi, program pembentukan peraturan perundang-
undangan, program pemberdayaan lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum
lainnya, program penuntasan kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta
pelanggaran Hak Asasi Manusia, program peningkatan kesadaran hukum dan
pengembangan budaya hukum.
Pada sisi lain dengan adanya Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, menegaskan pentingnya Pembangunan
Nasional di semua bidang kehidupan secara terpadu dalam Wilayah Negara Republik
Indonesia.
“Mengutip tulisan Mochtar Kusumaatmaja dalam Pembinaan Hukum dalam
Rangka Pembangunan Nasional. Pembangunan diartikan meliputi segala segi
dari kehidupan masyarakat dan tidak hanya segi kehidupan ekonomi belaka –
karena itu istilah pembangunan ekonomi sebenarnya kurang tepat, karena kita
tidak dapat membangun ekonomi suatu masyarakat tanpa menyangkutkan
pembangunan segi-segi kehidupan masyarakat lainnya yang menjadi
persoalan kini adalah: adakah peranan hukum dalam proses pembangunan itu
dan bila ada apakah peranannya.
Apabila diteliti, semua masyarakat yang sedang membangun dicirikan oleh
perubahan bagaimanapun kita mendefinisikan pembangunan itu dan apapun
ukuran yang kita gunakan bagi masyarakat dalam pembangunan. Peranan
Hukum dalam dalam Pembanguna adalah untuk menjamin bahwa perubahan
itu terjadi dengan cara teratur.

Ada anggapan yang boleh dikatakan hampir merupakan keyakinan bahwa


perubahan yang teratur demikian dapat dibantu oleh perundang-undangan
atau keputusan pengadilan atau kombinasi dari keduanya.”48

Mengutip pendapat Mochtar Kusumaatmaja diatas penulis mengawali


penelitian ini dengan mengatakan bahwa pembangunan hak asasi manusia di

48 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep Konsep Hukum dalam Pembangunan Kumpulan Karya


Tulis,Pusat Studi Wawasan Nusantara bekerjasama dengan PT Alumni, Bandung 2004, hlm
19.
26
Indonesia seharusnya dilakukan dengan perubahan melalui proses perundang-
undangan atau/dan keputusan pengadilan.
Sistem Peradilan Pidana di indonesia mengalami perluasan arti dan
tujuannya. Dikatakan oleh Mardjono Reksodiputro, bahwa Sistem Peradilan Pidana
(Criminal Justice System) adalah suatu operasionalisasi atau suatu sistem yang
bertujuan untuk menanggulangi kejahatan, salah satu usaha masyarakat untuk
mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi yang
dapat diterima,49 Norval Morris menyatakan:
"The Criminal Justice System is best seen as a crime containment system,
one of the methods that society uses to keep crime at whatever level each
particular culture is willing to accept. But, to a degree, the criminal justice
system is also involved in the secondary prevention of crime, that is to say, in
trying to reducecriminality among those who have been convicted of crimes
and trying by deterrent processe of detection, conviction, and punishment to
reduce the commission of crime by those who are so minded and so
acculturated.50

Sistem ini dianggap berhasil apabila pelaku kejahatan yang dilaporkan dan
dikeluhkan masyarakat dapat diselesaikan dengan diajukannya pelaku kejahatan ke
muka pengadilan dan menerima pidana, yang termasuk bagian tugas sistem ini
adalah :
a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan
b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi, sehingga masyarakat puas
bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.
c. Berusaha agar mereka yang pemah melakukan kejahatan tidak
rnengulangi lagi perbuatannya.51
Pemahaman tentang Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System)
dapat dilihat dari elemen kata yang melekat di dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP)
tersebut : Sistem, berarti suatu susunan atau jaringan, sebagai suatu susunan
49 Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia (Peran Penegak Hukum
Melawan Kejahatan, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, (Pusat Pelayanan
Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1994, hlm. 84-85.

50 UNAFEI, Criminal Justice System, The Request for an Integrated Approach, UNAFEI, 1982)
hlm. 5

51 Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Buku II cet. I Pustaka
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian hokum UI, Jakarta, 1994, hlm. 140. Lihat juga Mrdjono
R, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, hlm. 84-85.
27
ataupun jaringan tentunya pada sistem terdapat komponen-komponen yang
merupakan bagian atau sub-sub yang kemudian menyatu membentuk sistem. Makna
susunan ataupun jaringan tersebut dapat dikemukakan adanya suatu keteraturan
dan penataan yang hierarkhis dan sistimatis pada suatu sistem.
Samodra Wibawa, mengemukakan tentang sistem ini bahwa:”sistem
merupakan hubungan antara beberapa unsur dimana unsur yang satu tergantung
kepada unsur yang lain. Bila salah satu unsur hilang, maka sistem tidak dapat
berfungsi.52
Peradilan, merupakan derivasi dari kata adil, yang diartikan sebagai tidak
memihak, tidak berat sebelah, ataupun keseimbangan, dan secara keseluruhan
peradilan dalam hal ini adalah menunjukan kepada suatu proses yaitu proses untuk
menciptakan atau mewujudkan keadilan. Pidana, yang dalam ilmu hukum pidana
(criminal scientific by law) diartikan sebagai hukuman, sanksi, dan atau penderitaan
yang diberikan, yang dapat mengganggu keberadaan fisik maupun phisikis dari
orang yang terkena pidana itu.53

Memperhatikan dasar pemahaman di atas, mengenai SPP tidaklah hanya


berbicara tentang putusan lembaga peradilan di dalam memberikan pidana,
melainkan lebih dari itu yang dibicarakan adalah persoalan mekanisme ataupun
manajemen dari bekekerjanya pengadilan tersebut, guna melahirkan suatu
keputusan yang adil.54 Sehingga dapat pula dikemukakan bahwa SPP, merupakan
mekanisme dan atau manajemen proses peradilan (Justice Processes) di dalam
melahirkan suatu keputusan serta di dalam menjatuhkan pidana. Remington dan
Ohlin55 bahwa criminal justice system dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan
sistem peradilan terhadap mekanisme administrasi peradilan, dan peradilan pidana
sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-
undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial.

52 Samodra Wibawa, Kebijaan Publik ( Proses dan Analisis), Intermedia, Jakarta, Cet I, 1994,
hlm. 50-51.

53 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni Bandung, 1993,
hlm.437

54 Romli Atmasamita, System Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan


Abolisionism, cet. II (revisi), Binacipta, Bandung, 1996.

55 Idem, hlm.14.
28
Guna mencapai tujuan hukum dan sistem hukum yang diharapkan tentunya
kita tidak dapat melepaskan diri dari pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. H. R.
Otje Salman mengatakan bahwa pembukaan alinea pertama secara substansial
mengandung pokok pikiran tentang apa yang kita pahami sebagai keadilan dimana
secara prinsip keadilan adalah upaya untuk menemukan keadilan yang mutlak, serta
merupakan manifestasi upaya manusia yang merindukan adanya hukum yang lebih
tinggi dari hukum positif.56
Pada alinea kedua Pembukaaan, terdapat makna adil dan makmur
sebagaimana dipahami bahwa tujuan hukum pada dasarnya adalah memberi
kesejahteraan bagi masyarakatnya. Dengan demikian adil dan makmur merupakan
tujuan hukum yang harus dicapai oleh sistem hukum Indonesia.
Alinea ketiga menjelaskan pemikiran religius bangsa Indonesia, yang
menekankan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sangat
mengedepankan aspek-aspek Ketuhanan, dengan memperhatikan hal ini tentunya
segala aspek yang terdapat sistem hukum Indonesia tidak boleh terlepas dari aspek
Ketuhanan.
Apa yang terdapat dalam alinea ketiga yang memuat semangat ketuhanan
idealnya tercermin dalam sistem hukum dan sub sistem-sub sistem yang terdapat di
dalamnya. Alinea ketiga pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mengatakan:
“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh

keiinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat

Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.Menggambarkan suatu

kesepakatan satu tujuan, dan Negara Hukum Indonesia sebagaimana yang

tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mempunyai unsur-

unsur sebagai berikut:

1. Hukumnya bersumber kepada Pancasila

2. Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi dan bukan berdasarkan

atas sistem absolutisme;

56 Otje Salman dan Anton F Susanto, Teori Hukum Mengingat Mengumpulkan dan Membuka
Kembali, Refika Aditama, Bandung 2004, hlm 156.
29
3. Kekuasaan Kehakiman adalah Kekuasaan yang merdeka dalam arti

bebas dari pengaruh kekuasaan pemerintah

4. Setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan

pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahannya tanpa

kecuali

5. Hukumnya berfungsi mengayomi dalam arti menegakkan kehidupan

yang demokratis

6. Kehidupan yang berkeadilan sosial; dan kehidupan yang

berperikemanusiaan.”57

Pada alinea keempat, menjelaskan mengenai Pancasila yang secara konsep


merupakan suatu kebulatan yang utuh dari bangsa Indonesia, dimana masing
masing sila saling berkaitan dengan diawali oleh Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang
dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Konsep hak asasi manusia yang tertuang dalam sistem hukum Indonesia tidak

dapat dilepaskan dari pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjadi dasar

bagi sistem hukum yang akan dipilih.

Sistem hukum dapat diartikan sebagai serangkaian peraturan hukum yang


disusun secara tertib menurut asas hukumnya misalnya sistem hukum perdata
disusun secara tertib berdasarkan asas-asas hukum perdata, demikian juga sistem
hukum pidana disusun secara tertib berdasarkan azaz hukum pidana, dapat juga
sistem hukum diartikan sebagai sistem apa yang diberlakukan disuatu negara
misalnya sistem hukum Anglo Saxon dan sistem hukum kontinental.

57 Padmo Wahyono et.al, Kerangka Landasan Pembangunan Hukum,Pustaka Sinar Harapan


Jakarta, 1989.hlm.81.
30
Menunjuk pada buku tulisan H. R. Otje Salman S dimana menjelaskan
mengenai makna sistem:58
1. Sistem digunakan untuk menunjuk suatu kesimpulan atau himpunan benda-
benda yang disatukan atau dipadukan oleh suatu bentuk saling hubungan atau
saling ketergantungan yang teratur; suatu himpunan bagian-bagian yang
tergabung secara alamiah maupun oleh budi daya Manusia sehingga menjadi
satu kesatuan yang utuh dan bulat terpadu;
2. Sistem yang digunakan untuk menyebut alat-alat atau organ tubuh secara
keseluruhan yang secara khusus memberikan andil atau sumbangan terhadap
berfungsinya fungsi tubuh tertentu yang rumit tapi vital;
3. Sistem yang menunjuk himpunan gagasan atau ide yang tersusun
terorganisasikan, suatu himpunan gagasan, prinsip, doktrin, hukum dan
sebagainya yang membentuk satu kesatuan yang logik dan dikenal sebagai isi
buah pikiran filsafat tertentu, agama, atau bentuk pemerintahan tertentu.
4. Sistem yang dipergunakan untuk menunjuk suatu hipotesis atau suatu teori
(yang dilawankan dengan praktek);
5. Sistem yang dipergunakan dalam arti metode atau tata cara
6. Sistem yang digunakan untuk menunjuk pengertian skema atau metode
pengaturan organisasi atau susunan sesuatu atau mode tatacara. Dapat pula
berarti suatu bentuk atau pola pengaturan, pelaksanaan atau pemrosesan, dan
juga dalam pengertian metode pengelompokan, pengkodifikasian dan
sebagainya
Adapun West Churchman, sebagaimana dikutip oleh H.R. Otje Salman S,
berpendapat bahwa:59
1. Pendekatan sistem bermula terjadi jika mula-mula ada yang memandang
dunia ini dari kacamata orang lain;
2. Hal itu berlangsung untuk menemukan kenyataan bahwa setiap pandangan
dunia itu amat terbatas.
3. Tidak ada seorang pun yang ahli dalam pendekatan sistem.
Menurut Elias M Awad, sebagaimana dikutip oleh H. R. Otje Salman S, ciri-ciri
sistem adalah sebagai berikut:60

58 Otje Salman dan Anton F Susanto ,op.cit, hlm 83.

59 Ibid

60 Ibid
31
1. Sistem itu bersifat terbuka, atau pada umumnya bersifat terbuka. Suatu sistem
dikatakan terbuka jika berinteraksi dengan lingkungannya. Dan sebaliknya
dikatakan tertutup jika mengisolasikan diri dari pengaruh apapun;
2. Sistem terdiri dari dua sistem atau lebih subsistem dan setiap subsistem terdiri
lagi dari subsistem lebih kecil dan begitu seterusnya;
3. Subsistem itu saling bergantung satu sama lain dan saling memerlukan;
4. Sistem mempunyai kemampuan untuk mengatur diri sendiri (self regulation);
5. Sistem memiliki tujuan dan sasaran
Menurut William A Shrode serta Dan Voich, sebagaimana dikutip oleh H. R.
Otje Salman S, ciri-ciri pokok sistem adalah:61
1. Sistem mempunyai tujuan sehingga perilaku kegiatannya mengarah pada
tujuan tersebut;
2. Sistem merupakan suatu keseluruhan yang bulat dan utuh
3. Sistem memiliki sifat terbuka;
4. Sistem melakukan kegiatan transformasi;
5. Sistem saling berkaitan;
6. Sistem mempunyai mekanisme kontrol.
Apa yang disampaikan di atas penulisi menggunakan salah satu pemahaman
diatas untuk menulis penelitian ini yaitu menunjuk suatu gagasan (ide) yang
tersusun, terorganisasikan, suatu himpunan gagasan mengenai hukum artinya
bagaimana pengaturan hukum itu apakah dalam sistem hukum nasional atau dalam
sistem hukum internasional itu adalah sistem hukum.
Dapat juga diartikan sistem hukum sebagai suatu kesatuan utuh dari tatanan
tatanan dimana antara yang satu dengan yang lain saling berkaitan. CFG. Sunaryati
Hartono mengatakan bahwa sistem hukum terdiri atas 7 (tujuh) unsur yaitu 62:
a. asas-asas hukum (filsafah hukum)
b. peraturan atau norma hukum, yang terdiri dari :
1. Undang-undang
2. peraturan-peraturan pelaksanaan undang-undang
3. yurisprudensi tetap

61 Idem, hlm 84-86

62 Upaya Menyusun Hukum Ekonomi Indonesia Pasca Tahun 2003, Makalah Disampaikan
Pada Seminar Pembangunan Nasional VII Tema Penegakan Hukum Dalam Era
Pembangunan Berkelanjutan diselenggarakan Oleh: Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen KeHakiman dan Hak Asasi Manusia Denpasar 14-18 Juli 2003.

32
4. hukum kebiasaan
5. konvensi-konvensi internasional
6. asas-asas hukum internasional
c. sumber daya manusia yang profesional, bertanggungjawab dan sadar
hukum
d. pranata-pranata hukum
e. lembaga-lembaga hukum termasuk :
1. struktur organisasinya
2. kewenangannya
3. proses dan prosedur
4. mekanisme kerja
f. sarana dan prasarana hukum, seperti;
1. furnitur dan lain-lain alat perkantoran, termasuk komputer dan
sistem manajemen perkantoran
2. senjata dan lain-lain perawatan (terutama untuk polisi )
3. kendaraan
4. gaji
5. kesejahteraan pegawai/karyawan
6. anggaran pembangunan, dan lain-lain
g. budaya hukum, yang tercermin oleh perilaku para pejabat (eksekutif,
legislatif maupun yudikatif), tetapi juga perilaku masyarakat (termasuk
pers), yang cenderung menghakimi sendiri sebelum benar-benar
dibuktikan seorang tersangka atau tergugat benar-benar bersalah
melakukan kejahatan.

Sistem hukum terbentuk oleh sistem interaksi antara ketujuh unsur di atas itu,
sehingga apabila salah satu unsurnya saja tidak memenuhi syarat, tentu seluruh
sistem hukum tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Atau apabila salah satu
unsurnya berubah maka seluruh sistem dan unsur-unsur lain juga harus berubah.
Menyitir teori H.L.A. Hart tentang apa yang disebut dengan primary rules dan
secondary rules, dikatakan bahwa primary rules menekankan kepada kewajiban
manusia untuk bertindak atau tidak bertindak. Sedangkan secondary rules adalah
kemampuan untuk melakukan negosiasi dalam hal pembuatan suatu perundang-
undangan yang pada akhirnya menurut kajian penulis membentuk sistem hukum
sendiri.63

63 Otje Salman, op.cit, hlm 90


33
Persoalan dalam hukum nasional adalah bahwa saat ini sebagai bangsa
Indonesia sedang menghadapi krisis multi dimensi yang meliputi krisis hukum, krisis
politik, krisis ekonomi, krisis sosial, krisis di semua bidang, diharapkan sistem hukum
Indonesia dapat mengatasi semua persoalan itu dengan melihat kembali kepada
nilai-nilai yang terdapat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang harus
selalu dituangkan dalam sistem hukum Indonesia.
“Dengan melihat apa yang dijelaskan oleh Lawrence Friedman sistem hukum
meliputi pertama, Struktur Hukum (legal Structure) yaitu bagian bagian yang
bergerak di dalam suatu mekanisme sistem atau fasilitas yang ada dan
disiapkan dalam sistem, seperti Pengadilan,Kejaksaan. Kedua Substansi
Hukum (Legal Substance), yaitu hasil aktual yang diterbitkan oleh sistem
hukum, seperti putusan Hakim, undang-undang, Ketiga, Budaya Hukum (Legal
Culture), yaitu sikap publik, atau nilai-nilai, komitmen moral dan kesadaran
yang mendorong bekerjanya sistem hukum, komitmen moral dan kesadaran
yang mendorong bekerjanya sistem hukum, atau keseluruhan faktor yang
menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempat yang logis dalam
kerangka budaya milik masyarakat.”64

Melihat kutipan di atas maka sistem hukum sangat dipengaruhi oleh struktur
hukum, substansi hukum dan budaya hukum, dalam kaitannya dengan sistem hukum
nasional kita apakah dalam pembangunan sistem hukum kita sudah memiliki
struktur, substansi dan budaya hukum yang tangguh, sekali lagi Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 merupakan satu pedoman untuk menghadapi berbagai
permasalahan hukum di Indonesia, terlebih lagi dengan berpedoman pada
semangat yang terdapat pada alinea ketiga.
Saat ini ini Indonesia mengalami keterpurukan di berbagai bidang, ekonomi,
politik, sosial, hukum dan bidang-bidang lainnya, termasuk tuntutan terhadap
perbaikan di bidang hak asasi manusia, dengan kondisi yang demikian ada 4
(empat) masalah mendasar yang mendesak dan harus segera diselesaikan yaitu: 65

a. Reaktualisasi sistem hukum yang bersifat netral dan berasal dari hukum lokal
(hukum adat dan hukum Islam) ke dalam sistem hukum nasional. Namun
demikian didalam mereaktualisasi hukum-hukum lokal kedalam hukum nasional
diperlukan juga suatu penghalusan hukum sehingga proses reaktualisasi tersebut

64 Ibid, hlm 154

65 Romli Atmasasmita, Menata Kembali Masa Depan Pembangunan Hukum Nasional,


Makalah disampaikan pada kursus Sespim, September 2005, hlm.5.
34
berjalan dan sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat
modern.

b. Penataan Kelembagaan, dimana reformasi birokrasi yang selama 30 tahun


lebih merupakan kanjeng dalam struktur pemerintahan, kini sudah saatnya
berubah menjadi abdi dalem yang siap melayani masyarakat setiap diperlukan,
sehingga masyarakat merasa nyaman dan aman dalam kehidupan sehari-hari.

c. Pemberdayaan Masyarakat, baik dalam bentuk meningkatkan akses


masyarakat kedalam kinerja pemerintahan, maupun upaya untuk meningkatkan
kesadaran hukum masyarakat. Kedua hal tersebut dapat digolongkan sebagai
budaya hukum (legal culture)

d. Pemberdayaan birokrasi, Pemberdayaan di lingkungan birokrasi ini sangat


penting terutama dalam menjalankan TAP MPR RI NO XI/MPR RI/1999 dan TAP
MPR RI NOMOR VIII/MPR/2001 tentang rekomendasi arah kebijakan
pemberantasan dan pencegahan KKN serta bagaimana melaksanakan secara
konsisten UU RI No 28 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas
KKN.

Mengutip pendapat dari Satjipto Rahardjo dalam bukunya ilmu hukum


dikatakan bahwa yang dimaksud dengan sistem hukum meliputi unsur-unsur
seperti; struktur, kategori dan konsep.66 Perbedaan dalam unsur-unsur tersebut
mengakibatkan perbedaan dalam sistem hukum yang dipakai,sekali lagi suatu
sistem hukum tidak dapat melepaskan diri dari sistem hukum yang berlaku
disekitarnya, tetapi yang paling penting adalah bagaimana sistem hukum itu dapat
mengikuti hukum yang hidup dalam masyarakatnya, karena hukum yang paling baik
adalah hukum yang tumbuh dalam jiwa bangsa. Dalam Pembanguna hukum suatu
negara akan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor external yang mungkin saja
bertentangan dengan jiwa bangsa tersebut.
Buruknya citra hukum seperti pelanggaran hak asasi manusia, sering disebut
bahwa apa yang terjadi adalah kultur. Penulis tertarik untuk menyinggung persoalan
kultur hukum dalam penelitian ini, dikarenakan kultur hukum merupakan salah satu
unsur dari sistem hukum.
Kultur hukum adalah tuntutan atau permintaan, dimana tuntutan tersebut
datangnya dari rakyat atau pemakai atau para pemakai jasa hukum, seperti

66 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti Bandung, 2000, hlm 235.
35
pengadilan. Dalam hal suatu sengketa penyelesaian bisa diambil dengan jalan
adu fisik atau dengan dengan diwasiti oleh orang lain, atau meminta jasa
pengadilan, tuntutan terakhir menghendaki penyelesaian oleh institusi hukum.
Di belakang tuntutan tersebut terdapat faktor-faktor, seperti ide, sikap,
keyakinan, harapan dan pendapat mengenai hukum.67

Pada akhirnya hukum sebagai sistem norma yang berlaku bagi masyarakat
Indonesia, senantiasa dihadapkan pada perubahan sosial yang sedemikian dinamis
seiring dengan perubahan kehidupan masyarakat, baik dalam konteks kehidupan
individual, sosial maupun politik bernegara. Pikiran bahwa hukum harus peka
terhadap perkembangan masyarakat dan bahwa hukum harus disesuaikan atau
menyesuaikan dengan keadaan yang berubah, sesungguhnya terdapat dalam alam
pikiran manusia Indonesia.68
Tamsil tentang alam pikiran manusia Indonesia tentang perubahan hukum
akan adanya pepatah Minangkabau sekaliaia gadang, sekali tepian beranjak (sekali
air besar sekali tepian sungai berkisar). Ini berarti bahwa hukum (adat) berubah
mengikuti keadaan masyarakat.69
Dalam paham sosiologi hukum, yang dikembangkan oleh aliran Pragmatic
legal Realism yang dipelopori antara lain oleh Roscoe Pound memiliki keyakinan
bahwa hukum adalah a tool of social engineering atau alat pembaruan masyarakat
atau menurut Mochtar Kusumaatmaja sarana perubahan masyarakat, dalam konteks
perubahan hukum di Indonesia harus diarahkan ke jangkauan yang lebih luas yang
berorientasi pada: 70
1. Perubahan hukum melalui peraturan perundangan yang lebih bercirikan sikap
hidup serta karakter bangsa Indonesia, tanpa mengabaikan nilai-nilai universal
Manusia sebagai warga dunia, sehingga kedepan akan terjadi transformasi
hukum yang lebih bersifat Indonesiani (mempunyai seperangkat karakter bangsa
yang positif).

67 Ibid, hlm 153.

68 Mochtar Kusumaatmaja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Kumpulan Karya


Tulis, Alumni Bandung 2002, hlm 79

69 Loc.cit.

70 Ilhami Bisri, Sistem Hukum Indonesia Prinsip-Prinsip dan Implementasi Hukum di


Indonesia, Rajagrafindo Indonesia 2005, hlm 126.
36
2. Perubahan Hukum harus membimbing bangsa Indonesia menjadi bangsa
yang mandiri, bermartabat dan terhormat dimata pergaulan antarbangsa, karena
hukum bisa dijadikan sebagai sarana mencapai tujuan bangsa yang efektif.

Perubahan Hukum di Indonesia pada kenyataannya berlangsung, baik yang


dilakukan oleh penyelenggara negara yang berwenang (lembaga legislatif dan
eksekutif) melalui penciptaan berbagai peraturan perundangan yang menjangkau
semua fase kehidupan baik yang berorientasi pada kehidupan perorangan,
kehidupan sosial maupun kehidupan bernegara (politik) atau yang diusulkan oleh
berbagai lembaga yang memiliki komitmen tentang pembaruan dan pembinaan
hukum, sehingga mampu mengisi kekosongan atau kevakuman hukum dalam
berbagai segi kehidupan.71
Dengan perencanaan yang baik, perubahan hukum diarahkan sesuai dengan
konsep pembangunan hukum di Indonesia, yang menurut Mochtar Kusumaatmaja
harus dilakukan dengan jalan: 72
a. Peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional dengan antara
lain mengadakan pembaruan, kodifikasi serta unifikasi hukum di bidang-bidang
tertentu dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum masyarakat;
b. Menertibkan fungsi lembaga hukum menurut proporsinya masing-masing;
c. Peningkatan kemampuan dan kewibawaan penegak hukum;
d. Memupuk kesadaran hukum masyarakat serta membina sikap para penguasa
dan para pejabat pemerintah/negara ke arah komitmen yang kuat dalam
penegakan hukum, keadilan serta perlindungan terhadap harkat dan martabat
manusia.

Dalam kaitan dengan penelitian ini kerangka pemikiran yang disampaikan di atas

diharapkan dapat digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian Konsep Hak

Asasi Manusia dan Implementasinya dalam Sistem Hukum Nasional Indonesia.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian hukum yang original adalah metode penelitian hukum


normatif dimana metode pendekatannya adalah yuridis normatif. 73
Dalam
penelitian ini metode pendekatan yuridis normatif yaitu mengkaji secara logis

71 Loc.cit.

72 Ilhami Bisri,Loc.cit, hlm 126.


37
yuridis teori-teori hukum hak asasi manusia yang dapat digunakan sebagai acuan
mendapatkan jawaban mengenai bagaimanakah konsep hak asasi manusia yang
dipergunakan dalam Konstitusi Indonesia dan bagaimanakah konsep yang
dituangkan dalam Konstitusi Indonesia tersebut diimplementasikan dalam sistem
hukum nasional serta apakah dalam penerapan konsep hak asasi manusia dalam
sistem hukum nasional Indonesia tersebut telah sejalan dengan konsep Internasional
mengenai hak asasi manusia.
Untuk mendapatkan kesimpulan dari implementasi instrumen hak asasi
manusia dalam pelanggaran hak asasi manusia berat dihubungkan dengan sistem
peradilan pidana di Indonesia, maka penelitian ini selain mengkaji peraturan
perundang-undangan dalam sistem hukum nasional Indonesia, juga
memperbandingkan dengan pengaturan hak asasi manusia dalam hukum
internasional termasuk di dalamnya bagaimana kebiasaan yang berlaku dalam
hukum internasional dalam persoalan hak asasi manusia serta, bagaimana
pnyelesaian persoalan hak asasi manusia dalam Keputusan Pengadilan Internasional
seperti International Criminal Tribunal for Yugoslavia dan International Criminal
Tribunal for Rwanda, dan bagaimanakah Prinsip-prinsip Hukum Umum Hak Asasi
Manusia yang terdapat dalam hukum internasional, baik dalam penyelesaian
persoalan melalui komisi kebenaran dan rekonsiliasi, dan prinsip-prinsip hukum
umum hak asasi manusia yang merupakan asas dalam hak asasi manusia yang
seharus diatur dalam hukum nacional dihubungkan dengan sistem peradilan pidana
di Indonesia.
Spesifikasi Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu menggambarkan teori-
teori hukum hak asasi manusia yang dapat diterapkan meneliti implementasi
instrumen hak asasi manusia dalam pelanggaran hak asasi manusia berat
dihubungkan dengan sistem peradilan pidana di Indonesia.
Penelitian ini peneliti menggunakan data sekunder yaitu data-data yang
diperoleh dari bahan pustaka. 74
Di dalam penelitian hukum, data sekunder meliputi
bahan hukum primer, sekunder dan tersier.
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri dari:
a. Norma (dasar) atau kaidah dasar,yaitu pembukaan Undang
Undang dasar 1945. Dalam hal ini data didapatkan dalam bentuk konsep hak
asasi manusia yang terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang dasar 1945.

73 H. Lili Rasjidi dan Liza Sonia Rasjidi, Monograf Pengantar Metode: Pengantar Metode
Penelitian dan Penulisan Karya Ilmiah Hukum, Bandung, Januari 2005, hlm.7.

74 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
PT Raja Grafindo Persada, 1994, hlm 12.
38
b. Peraturan Dasar :
i. Batang Tubuh Undang Undang Dasar 1945. data
didapatkan dari pengaturan dan konsep hak asasi manusia yang terdapat
dalam Pasal-Pasal Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Bab XA sampai
dengan Pasal 28 J mengenai Hak Asasi Manusia
ii. Ketetapan-ketetapan majelis Permusyawaratan Rakyat,
seperti yang terdapat dalam Tap MPR No XVII tahun 1998, dan Tap MPR
yang lain yang berkaitan dengan hak asasi manusia.
c. Peraturan perundang-undangan, data didapatkan dengan
menemukan berbagai pengaturan mengenai hak asasi manusia dalam
undang-undang seperti Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia,Undang-Undang No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak
Asasi manusia, Undang-Undang No 25 Tahun 2000 tentang Program
Pembangunan Nasional tahun 2000-2004, dan peraturan perundang-
undangan lain yang dapat dipergunakan untuk mendapatkan jawaban dalam
penelitian implementasi instrumen hak asasi manusia dalam pelanggaran hak
asasi manusia berat dihubungkan dengan sistem peradilan pidana di
Indonesia yang didapatkan dalam peraturan perundang-undangan lain
seperti, Undang-Undang No 5 tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi
Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam
Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia, Undang-Undang No
27 tahun 2004 tentang Tindak Pidana Korupsi, Keputusan Presiden Republik
Indonesia No 50 tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia,
Keputusan Presiden No 129 tentang Rencana Aksi nasional Hak Asasi Manusia
tahun 1998-2003, Keputusan Presiden No 40 tahun 2004 tentang Rencana
Aksi Nasional Hak Asasi Manusia tahun 2004-2009, Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah nasional Tahun 2004-2009, dan data dalam perundang-
undangan lain yang dapat mendukung penelitian ini.
d. Yurisprudensi, berupa data yang berkaitan dengan keputusan
pengadilan nasional dan internasional yang berkaitan dengan hak asasi
manusia, seperti Pengadilan HAM ad hoc Timor-Timur, International Criminal
Tribunal for the Former Yugoslavia,International Criminal Tribunal for Rwanda,
dan keputusan pengadilan lain yang dapat dipergunakan sebagai data dalam
penelitian ini yang dapat dipergunakan sebagai bahan hukum dalam
penelitian Implementasi Instrumen Hak Asasi Manusia Berat dihubungkan
dengan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.

39
e. Universal Declaration of Human Rights serta perjanjian
internasional mengenai hak asasi manusia seperti , International Covenant on
Civil and Political Rights yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-
Undang No 12 tahun 2005, International Covenant on Economic, Social and
Cultural Rights yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang
No 11 tahun 2005, Optional Protocol to the International Covenant on Civil and
Political Rights, Second Optional Protocol to the International Covenant on
Civil and Political Rights, Aiming at the Abolition of the Death Penalty, dan
Perjanjian Internasional lain yang dapat dipergunakan sebagai data dalam
penelitian ini.
f. Bahan Hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih
berlaku seperti, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (yang merupakan
terjmahan yang secara yurididis formal bersifat tidak resmi dari Wetboek van
Strafrecht )
2. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, seperti, rancangan undang-undang,hasil-hasil penelitian, hasil
karya dari kalangan hukum dan seterusnya.
3. Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder; contohnya adalah
kamus ensiklopedia, indeks kumulatif dan sebagainya. 75 Data yang termasuk
bahan hukum tersier didapatkan antara lain dalam United Nations Human Rights
Question and Answer, New York, United Nations Department of Public
Information, 1993. Black’s Law Dictionary, dan indeks kumulatif kemajuan hak
asasi manusia yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan lembaga-
lembaga lain yang bergerak di bidang hak asasi manusia.
Data sekunder dalam penelitian ini akan diperoleh dari peraturan perundang-
undangan yang berlaku dalam implementasi instrument hak asasi manusia dalam
pelanggaran hak asasi manusia berat dihubungkan dengan sistem peradilan pidana
di Indonesia, peraturan perundang-undangan nasional Indonesia dengan perjanjian-
perjanjian internasional dalam bidang hak asasi manusia yang berkaitan dengan hak
asasi manusia, serta dari rancangan undang-undang dalam sistem hukum nasional
yang mengandung konsep hak asasi manusia dalam sistem hukum nasional
Indonesia, dan hasil penelitian dari para ahli hukum hak asasi manusia, serta
berbagai upaya yang dilakukan oleh Indonesia untuk memperbaiki hak asasi manusia

75 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum Penerbit Universitas Indonesia, 1986, hlm
52.
40
dengan berpedoman pada perjanjian internasional dan hukum kebiasaan
internasional.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode studi kepustakaan, yaitu
memperoleh data sekunder yang dapat berupa bahan primer dan bahan sekunder.
Seluruh data yang telah diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan
metode yuridis kualitatif. Data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis
selanjutnya dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan Teori Negara Hukum
sebagai Grand Theory, Teori Hak Asasi Manusia sebagai Middle Range Theory dan
Teori Hukum Pembangunan dan Sistem Peradilan Pidana sebagai Applied Theory,
dengan memperhatikan hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional..

Ruang lingkup penelitian ini meliputi implementasi instrument hak asasi


manusia dalam pelanggaran hak asasi manusia berat dihubungkan dengan sistem
peradilan pidana Indonesia.
Berkaitan dengan metode pendekatan dalam penelitian ini adalah metode
yuridis normatif yang menggunakan data sekunder, maka lokasi penelitian
direncanakan dilakukan di lokasi-lokasi dimana data sekunder tersebut bisa
didapatkan seperti di perpustakaan-perpustakaan dan lembaga-lembaga yang
berkompeten di bidang HAM, baik lembaga pemerintah ataupun lembaga non
pemerintah yang direncanakan yaitu :
1. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung.
2. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jakarta
3. Perpustakaan ELSAM
4. Perpustakaan Komisi Nasional Hak asasi manusia Indonesia,Jakarta
5. Perpustakaan Erasmus Huis Jakarta
6. Pusat Studi Hukum Humaniter Universitas Trisakti Jakarta
7. Perpustakaan National University of Singapore
8. Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia Timor Leste.
9. Departemen Luar Negeri Republik Indonesia di Jakarta
10.Pengadilan Hak Asasi Manusia yang berkedudukan di Jakarta
11.Mahkamah Konstitusi

41
BAB II

NEGARA HUKUM,HAK ASASI MANUSIA TEORI HUKUM PEMBANGUNAN


,SISTEM HUKUM PIDANA DAN SISTEM PERADILAN PIDANA

A.Negara Hukum dan Hak Asasi manusia

Sebagai Negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia Indonesia
mengatur hak asasi manusia didalam Konstitusinya yaitu undang-undang dasar 1945,
sebagaimana halnya juga konstitusi negara-negara didunia.76
Dalam hal pengaturan hak asasi manusia dalam konstitusi Negara Republik
Indonesia disini terlihat suatu bentuk tanggung jawab hak asasi manusia oleh
Negara yang diatur dalam hukum dasarnya yang tertuang dalam hukum dasarnya
tetapi juga bagaimana implementasi dari ketentuan tersebut dalam pemenuhan hak
asasi dari warga negaranya.77
Konsep hak asasi manusia yang dituangkan dalam sistem hukum Indonesia
tidak dapat dipisahkan dari situasi yang melingkupinnya pada saat itu yang tidak
dapat dilepaskan dari suasana untuk melepaskan diri dari kolonialisme yang
dimaksudkan untuk mendapatkan kemerdekaan sehingga Hak asasi manusia yang
mendasari hak asasi manusia lainnya yang terdapat dalam konstitusi Indonesia
adalah apa yang terdapat dalam alinea pertama dari Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 yang berunyi : Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala
bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di dunia harus dihapuskan karena tidak
sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.78
Dalam Pasal 1 ayat(3) Undang-Undang Dasar 1945 tercantum pernyataan
bahwa Indonesia adalah Negara Hukum. Sesuai dengan semangat dan ketegasan
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, jelas bahwa negara hukum yang dimaksud
bukanlah sekedar sebagai negara hukum dalam arti formil, apalagi hanya sebatas

76 Kuntjoro Purbopranoto,Hak-Hak Asasi Manusia dan Pancasila,Pradnya


Paramita,Jakarta,1979,h.64

77 Herlambang Perdana Wiratraman, Konsesi Tanggung Jawab Negara dalam Sistem


ketatanegaraan Indonesia, Jurnal Hukum Yuridika Vol .20, No I Januari 2005

78 Ibid
42
sebagai negara penjaga malam yang hanya menjaga jangan sampai terjadi
pelanggaran atau menindak para pelanggar hukum. 79

Pengertian negara hukum menurut Undang-Undang Dasar 1945 adalah


negara hukum dalam arti luas. Negara hukum dalam arti luas mengandung makna
bahwa: Pertama, negara dengan produk hukumnya bukan saja melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, tetapi juga harus memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa; kedua dalam suatu
negara hukum, konstitusi yang merupakan hukum dasar (yang merupakan pedoman
dalam penyelenggaraan negara baik aparatur negara maupun warga negara, dalam
menjalankan peran, hak dan kewajiban ataupun tugas dan tanggung jawab masing-
masing dalam bernegara) bisa berbentuk tertulis (UUD 1945) tetapi juga hukum
dasar lain yang tidak tertulis yang timbul dan terpelihara yang berupa nilai-nilai dan
norma-norma yang hidup dalam praktek penyelenggaraan negara yang disebut
konvensi; dan ketiga, bahwa sumber hukum di Indonesia menyangkut seluruh
peraturan perundang-undangan yang berlaku. 80

Dalam Pasal 1 ayat ( 1 ) Undang-Undang No 39 Tahun 1999 :


”Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh
negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.”81

Dalam Piagam Hak Asasi Manusia Indonesia:


”Bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri
manusia secara kodrati,universal, dan abadi sebagai Anugerah Tuhan Yang
Maha Esa.”82

Dalam Undang-Undang No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia:


”Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan

79 Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, Sistem Administrasi Negara Kesatuan


Republik Indonesia Buku I Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Negara, Lembaga Administrasi
Negara, Jakarta, 2003, hlm 46.

80 Ibid.

81 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

82 Piagam Hak Asasi Manusia Indonesia, Pembukaan alinea kedua


43
anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh
negara, hukum,pemerintah,dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.” 83

Secara tersurat pengakuan terhadap konsep hak asasi manusia yang universal
dalam sistem hukum Indonesia terdapat dalam Keputusan Presiden Republik
Indonesia No 50 /1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dalam bagian
menimbang butir b dikatakan:
“Bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat bangsa-bangsa,
menghormati Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Deklarasi Universal
Hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa.”84

Pada Bagian B mengenai Landasan dalam TAP MPR No XVII/MPR/1998 pada


butir 2 dengan tegas dituangkan pengakuan bangsa Indonesia terhadap
universalitas HAM yang didasarkan pada Universal Declaration of Human Rights:
“Bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mempunyai
tanggung jawab untuk menghormati Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(Universal Declaration of Human Rights) dan berbagai instrumen internasional
lainnya mengenai hak asasi manusia.”85

Pada Piagam Hak asasi manusia Indonesia yang merupakan Bagian dari TAP
MPR NO XVII/MPR/1998 pada Pembukaan alinea keempat dikatakan :
“Bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948 telah mengeluarkan
Deklarasi Universal Hak asasi manusia (Universal Declaration of Human Rights).
Oleh Karena itu bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa
mempunyai tanggung jawab untuk menghormati ketentuan dalam deklarasi
tersebut.”86

Dalam Undang-Undang No 39 Tahun 1999 mengenai hak asasi manusia, pada


bagian menimbang pada butir d dikatakan:
“bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa
mengemban tanggungjawab moral dan hukum untuk menjungjung tinggi dan

83 Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No 26 Tahun 2000

84 Keputusan Presiden Republik Indonesia tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

85 Idem, Bagian B Landasan, Butir 2

86 Piagam Hak asasi manusia Indonesia.


44
melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan
oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berbagai instrument internasional lain
yang telah diterima oleh Negara Republik Indonesia.”87

Hal senada juga terdapat dalam Penjelasan Undang-Undang No 26 Tahun 2000


mengenai Pengadilan Hak Asasi Manusia pada Bagian I Umum alinea 4 dikatakan:
“Untuk melaksanakan amanat ketetapan MPR RI No XVII/MPR/ 1998 tentang
Hak Asasi Manusia tersebut telah dibentuk Undang-Undang No 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia. Pembentukan Undang-Undang tersebut
merupakan perwujudan tanggung jawab bangsa Indonesia sebagai anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Di samping hal tersebut, pembentukan Undang-
Undang tentang Hak Asasi Manusia juga mengandung suatu misi mengemban
tanggung jawab moral dan hukum dalam menjunjung tinggi dan melaksanakan
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa, serta yang terdapat dalam berbagai instrument hukum lainnya
yang mengatur hak asasi manusia yang telah disahkan dan atau diterima oleh
negara Republik Indonesia”88

Dalam perjalanan Negara Republik Indonesia sesungguhnya sejarah Hak


Asasi Manusia sudah terpikirkan oleh pendiri negara dengan kondisi yang terjadi
pada waktu itu sebagaimana yang tergambar dalam perdebatan dalam sidang-
sidang BPUPKI yang merupakan sejarah penting dalam perkembangan Hak Asasi
Manusia di Indonesia :
Soekarno dan Supomo mengajukan pendapat bahwa hak-hak warga negara
tidak perlu dicantumkan dalam pasal-pasal konstitusi. Sebaliknya, Mohammad Hatta
dan Muhammad Yamin tegas berpendapat perlunya mencantumkan pasal mengenai
kemerdekan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun
tulisan di dalam Undang-Undang Dasar. Perdebatan dalam sidang-sidang BPUPKI
tersebut merupakan tonggak penting dalam diskursus hak asasi manusia di
Indonesia, yang memberi pijakan bagi perkembangan wacana hak asasi manusia
periode-periode selanjutnya. Karena itu, menarik apabila kita menyimak sedikit
perdebatan tersebut. Mengapa Soekarno dan Supomo menolak pencantuman pasal-
pasal hak warga negara dalam Konstitusi Indonesia. Penolakan Soekarno dan
Supomo tersebut didasarkan pada pandangan mereka mengenai dasar negara
--yang dalam istilah Soekarno disebut dengan “Philosofische grondslag” atau dalam
87 Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi manusia.

88 Penjelasan atas Undang-Undang No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.


45
istilah Supomo disebut “Staatsidee”-- yang tidak berlandaskan pada faham
liberalisme dan kapitalisme. Menurut pandangan Soekarno, jaminan perlindungan
hak warga negara itu --yang berasal dari revolusi Prancis, merupakan basis dari
faham liberalisme dan individualisme yang telah menyebabkan lahirnya imperialisme
dan peperangan antara manusia dengan manusia.
Solly Lubis yang menyatakan bahwa, hak-hak asasi yang dirumuskan dalam
UUD lebih menunjukkan asas kekeluargaan, sedangkan negara-negara lain
mendasarkan versinya pada asas liberalisme.89
Soekarno menginginkan negara yang mau didirikan itu didasarkan pada asas
kekeluargaan atau gotong-royong, dan karena itu tidak perlu dijamin hak warga
negara di dalamnya. Kutipan di bawah ini akan menunjukkan argumen Soekarno
yang menolak mencantumkan hak-hak warga negara:
“... saya minta dan menangis kepada tuan-tuan dan nyonya-nyonya, buanglah
sama sekali faham individualisme itu, janganlah dimasukkan dalam Undang-
Undang Dasar kita yang dinamakan rights of the citizens yang
sebagaidianjurkan oleh Republik Prancis itu adanya”.
“... Buat apa membikin grondwet, apa gunanya grondwet itu kalau grondwet
tak dapat mengisi perutnya orang yang hendak mati kelaparan. Grondwet
yang berisi “droits de I’ homme et du citoyen” itu, tidak bisa menghilangkan
kelaparannya orang yang miskin yang hendak mati kelaparan. Maka oleh
karena itu, jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kepada
paham kekeluargaan, faham tolong-menolong, faham gotong-royong dan
keadilan sosial, enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap faham individualism
dan liberalisme dari padanya”.90
Supomo menolak dicantumkannya hak warga negara dalam pasal-pasal
Undang-Undang Dasar dengan alasan yang berbeda. Penolakan Supomo didasarkan
pada pandangannya mengenai ide negara integralistik (staatsidee integralistik), yang
menurutnya cocok dengan sifat dan corak masyarakat Indonesia. 91
Menurut paham tersebut negara harus bersatu dengan seluruh rakyatnya,
yang mengatasi seluruh golongan-golongannya dalam lapangan apapun. Dalam
89 Solly Lubis,Pembahasan UUD 1945, Penerbit Alumni bandung,1997,hlm.6.

90 Dikutip dari Pidato Soekarno Tgl 15-7-1945 di BPUPKI, berdasarkan naskah yang
dihimpun oleh R.M.A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta,2004,hlm.352. Sebagaimana dikutip dalam
Rona K.Smith et al, Hukum Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas
Islam Indonesia (PUSHAM UII), Yogyakarta,2008.

46
negara yang demikian itu, tidak ada pertentangan antara susunan hukum staat dan
susunan hukum individu, karena individu tidak lain ialah suatu bagian organik dari
Staat. Makanya hak individu menjadi tidak relevan dalam paham negara integralistik,
yang justru relevan adalah kewajiban asasi kepada negara. Paham inilah yang
mendasari argumen Supomo.
Sebaliknya, mengapa Hatta dan Yamin bersikeras menuntut dicantumkannya
hak warga negara dalam pasal-pasal Konstitusi? Hatta setuju dengan penolakan
terhadap liberalisme dan individualisme, tetapi kuatir dengan keinginan untuk
memberikan kekuasaan yang seluas-luasnya kepada negara, bisa menyebabkan
negara yang ingin didirikan itu terjebak dalam otoritarianisme. Berikut argumen
Hatta:
“Tetapi satu hal yang dikuatirkan kalau tidak ada satu keyakinan atau satu
pertanggungan kepada rakyat dalam hukum dasar yang mengenai haknya
untuk mengeluarkan suara, saya kuatir menghianati di atas Undang-Undang
Dasar yang kita susun sekarang ini, mungkin terjadi satu bentukan negara
yang tidak kita setujui”.
“Sebab itu ada baiknya dalam satu pasal, misalnya pasal yang mengenai
warga negara disebutkan di sebelah hak yang sudah diberikan juga kepada
misalnya tiap-tiap warga negara rakyat Indonesia, supaya tiap-tiap
warganegara itu jangan takut mengeluarkan suaranya. Yang perlu disebut
disini hak buat berkumpul dan bersidang atau menyurat dan lain-lain.
Tanggungan ini perlu untuk menjaga supaya negara kita tidak menjadi negara
kekuasaan,sebab negara didasarkan kepada kedaulatan rakyat”. 92

91 Pidato Supomo tgl 31 mei 1945 di BPUPKI, berdasarkan naskah yang dihimpun oleh
R.M.A.B.Kusuma. Sebagaimana dikutip dalam Rona K.Smith et al, Hukum Hak Asasi
Manusia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII),
Yogyakarta,2008,hlm.238

Sebagaimana dikutip dalam Rona K.Smith et al, Hukum Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Hak
Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII), Yogyakarta,2008,hlm.238

92 Dikutip dari Pidato Hatta Tanggal 15 Juli 1945 di BPUPKI berdasarkan naskah yang
dihimpun oleh R.M.A.B. Kusuma,Ibid,hlm.345-355 Sebagaimana dikutip dalam Rona
K.Smith et al, Hukum Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam
Indonesia (PUSHAM UII), Yogyakarta,2008

47
Demikian juga dengan Yamin yang menolak dengan keras argumen-argumen
yang membela tidak dicantumkannya hak warga negara dalam Undang-Undang
Dasar. “Supaya aturan kemerdekaan warga negara dimasukkan dalam Undang-
Undang Dasar seluas-luasnya, menolak segala alasan-alasan yang dimajukan untuk
tidak memasukkannya. Aturan dasar tidaklah berhubungan dengan liberalisme,
melainkan semata-mata satu kesemestian perlindungan kemerdekaan, yang harus
diakui dalam Undang-undang Dasar,” Yamin mengucapkan pidatonya pada sidang
BPUPKI. Pendapat kedua pendiri bangsa ini didukung oleh anggota BPUPKI lainnya,
Liem Koen Hian, yang mengusulkan perlunya dimasukkan hak kemerdekaan buat
drukpers, onschendbaarheid van woorden (pers cetak, kebebasan mengeluarkan
pikiran dengan lisan).93 Disadari bahaya otoritarianisme, sebagaimana yang mereka
lihat terjadi di Jerman menjelang Perang Dunia II, apabila dalam Negara yang mau
didirikan itu tidak diberikan jaminan terhadap hak warga negara.
Percikan perdebatan yang dipaparkan di atas berakhir dengan suatu
kompromi.Hak warga negara yang diajukan oleh Hatta, Yamin dan Liem Koen Hian
diterima untuk dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar, tetapi dengan terbatas.
Keterbatasan itu bukan hanya dalam arti bahwa hak-hak tersebut lebih lanjut akan
diatur oleh undangundang,tetapi juga dalam arti konseptual. 94 Konsep yang
digunakan adalah “HakWarga Negara” (“rights of the citizens”) bukan “Hak Asasi
Manusia” (human rights).
Penggunaan konsep “Hak Warga Negara” itu berarti bahwa secara implisit
tidak diakui paham natural rights yang menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah
hak yang dimiliki oleh manusia karena dilahirkan sebagai manusia. Sebagai
konsekuensi dari konsep itu, maka negaraditempatkan sebagai “regulator of rights”,
bukan sebagai “guardian ofhuman rights” –sebagaimana ditempatkan oleh sistem
Perlindungan Internasional Hak Asasi Manusia.
Perdebatan dalam penyusunan hak asasi manusia dalam periode awal
kemerdekaan, apa yang terdapat dalam pembukaan undang-undang dasar 1945

93 Dikutip dari pidato Mohamad Yamin tgl 15 Juli 1945 di BPUPKI berdasarkan naskah yang
dihimpun oleh R.M A.B. Kusuma, ibid,hlm 380. Sebagaimana dikutip dalam Rona K.Smith et
al, Hukum Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia
(PUSHAM UII), Yogyakarta,2008,hlm.238

94 T.Mulya Lubis,In Search of Human Rights Legal Political Dilemmas of Indonesia’s New
Order 1966 -1990,Published by PT Gramedia Pustaka Utama In Cooperation with SP3ES
Foundation Jakarta,1993, hlm .5.Sebagaimana Sebagaimana dikutip dalam Rona K.Smith et
al, Hukum Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia
(PUSHAM UII), Yogyakarta,2008,hlm.239
48
memperlihatkan suatu keadaan yang berkaitan dengan bagaimana menyikapi hak
asasi manusia pada waktu itu yang terlihat dalam pembukaan sebagai berikut :
”penentangan adanya segala bentuk penjajahan atas semua bangsa,
memajukan kesejahteraan umum, keinginan untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa, ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial”, sangat dipengaruhi oleh situasi
politik Indonesia yang baru saja lepas dari pengalaman pahit dijajah oleh
kolonialisme Belanda. Bahasa Ato Masuda, “di dalam UUD Tahun 1945 ini
tidak terdapat ketentuan-ketentuan yang muluk-muluk tetapi tidak berisi
seperti dalam Konstitusi RIS tahun 1949 dan UUDS 1950, akan tetapi di
dalamnya cuma terdapat ketentuan-ketentuan mengenai hubungan di
antara orang-orang Indonesia dan negaranya yang sedang berjuang untuk
kemerdekaan nasionalnya.95

Pengaturan hak asasi manusia dalam UUD 1945 dalam periode awal
kemerdekaan merupakan suatu periode dimana UUD 1945 merupakan suatu
produk yang dibuat secara tergesa-gesa sehingga mengandung kekosongan
termasuk di dalamnya berkaitan dengan persoalan hak asasi manusia. 96
Seperti diketahui, pemikiran anti HAM dalam perdebatan dan perumusan
UUD 1945 di BPUPKI memang lebih dominan. Akan tetapi berkat kegigihan
Mohamad Hatta danYamin,beberapa pasal tentang HAM seperti jaminan atas
kebebasan beragama dan kebebasan berserikat dan berkumpul, dan
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, dan lain sebagainya, bisa
masuk di dalam konstitusi tersebut, Kalau ditelusuri lebih mendalam substansi
nilai HAM ini jelas terkait dan mendasari seluruh gerak perjuangan
kemerdekaan. Seperti muncul secara dominan saat perumusan Deklarasi
Universal HAM ( Universal Declaration of Human Rights) tahun 1948, primus
interpares hak-hak asasi manusia adalah dignity of man, kemuliaan manusia.97

95 Ato Masuda, Negara Republik Indonesia, Tahun 1945 dan Perbandingannya dengan UUD
Jepang,Universitas Jakarta, 1962,hlm.61.Sebagaimana dikutip dalam R Herlambang Perdana
Wiratraman, Konsesi Tanggung Jawab Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal
Hukum Yuridika Vol. 20.No 1 Januari 2005.

96 Bagir manan,Perkembangan UUD 1945,FH.UII Press Yogyakarta,2004, hlm.17,


.Sebagaimana dikutip dalam R Herlambang Perdana Wiratraman, Konsesi Tanggung Jawab
Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal Hukum Yuridika Vol. 20.No 1 Januari
2005.
49
Padanan kata Inggris “dignity” didalam bahasa Indonesia adalah derajat atau
yang lebih tepat adalah martabat. Martabat adalah sesuatu yang melekat dalam diri
manusia. Oleh sebab itu kalau kita perhatikan seluruh konvensi dan atau kovenan
internasional berikut protokolnya tampak bahwa seluruh hak-hak yang masuk dalam
hak asasi manusia terkait dan dirumuskan dalam kerangka (melindungi,
menghormati atau meninggikan) martabat manusia.
Masalah martabat dan inti kemuliaan manusia itu sudah dipikirkan sejak abad
ke 12, bahkan lebih subur lagi mulai abad ke 15 dan 16 dalam sejarah Eropa. Tumbuh
suburnya pemikiran ini terkait dengan absolutisme kekuasaan raja-raja yang
menindas dan sewenang-wenang. Kesepakatan internasional tentang HAM yang
termuat dalam DUHAM dicapai karena adanya keprihatinan bersama mengenai
terinjak-injaknya martabat manusia dalam dua kali perang dunia, terutama dalam
Perang Dunia II. Sebaliknya, terhina-dinakannya martabat manusia Indonesia terkait
dengan kejamnya penguasa kolonial yang dimulai abad ke-15, justru pada saat di
Eropa, negara asal para penjajah dunia ketiga, sedang tumbuh pemikiran mengenai
hak-hak alamiah manusia untuk memuliakan manusia.
Perdebatan mengenai orientasi pendidikan dan budaya dalam rangka
memajukan martabat manusia Indonesia. Soetatmo lebih berorientasi budaya dan
nasionalisme Jawa, sedangkan Tjipto lebih mengajukan tawaran pemikiran untuk
lebih berorientasi nilai-nilai budaya moderen sehingga gagasan nasionalisme yang
ditawarkannya bukanlah yang berorientasi Jawa tetapi nasionalisme yang moderen.
Apa yang disengketakan adalah soal cara dan orientasi budaya, tetapi
keduanya berpikir sama dalam kerangka mengangkat martabat manusia. Orientasi
pemikiran tersebut bukan hanya sampai pada perlunya pengembangan nasionalisme
Indonesia yang moderen, tetapi bagi Tjipto sampai pada perlunya pengembangan
demokrasi. Tjipto memandang, demokrasi lebih sesuai dengan cita-cita
meningkatkan martabat manusia Indonesia.
Pergulatan dalam merumusan cita-cita perjuangan bangsa ini berkembang
terus hingga mencapai puncaknya yang ditandai dengan Sumpah Pemuda 1928,
yaitu peristiwa monumental disana diikrarkan sosok bayangan keindonesian: Satu
Bangsa, Satu Tanah Air, Satu Bahasa Indonesia. Deklarasi Sumpah Pemuda dapat
ditafsirkan sebagai bingkai untuk mewujudkan upaya meninggikan martabat
manusia Indonesia dalam suatu ikatan kebangsaan. Didalamnya implisit hasrat
mewujudkan suatu Negara Indonesia. Dan di dalam Negara Indonesia itu, menurut
Hatta, yang berlaku adalah “Daulat rakyat”. Bentuk negaranya itu

97 Adnan Buyung Nasution,Implementasi Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Supremasi


Hukum, Dalam Seminar Pembangunan Nasional VII/ Denpasar Bali 14-18 Juli 2003
50
sendiri,sebagaimana Sebelumnya sudah dicanangkan oleh Tan Malaka, adalah
republic sebagai alternatif dari sistem pemerintahan penjajah, bukan kerajaan. Sejak
itu dengan meminjam judul buku Tan Malaka, sejarah perjuangan bangsa adalah
tidak lain merupakan perjuangan menuju republik.
Dicapainya Proklamasi Kemerdekaan tanggall 17 Agustus 1945 dapat
dipandang sebagai puncak dari tumbuh-berkembangnya cita-cita bangsa tersebut.
Para pendiri bangsa itu sendiri, menandai peristiwa monumental itu sebagai “pintu
gerbang” bagi proses pemerdekaan bangsa Indonesia. Mengacu kepada pikiran
Bung Karno,proses pemerdekaan ini mencakup kedalam maupun keluar.
Pemerdekaan kedalam mengandung arti sebagai proses pemerdekaan rakyat
Indonesia dalam rangka memanusiakan setiap individu manusia Indonesia agar
menjadi manusia yang sederajat dengan manusia-manusia dari bangsa lain. Proses
memerdekakan manusia Indonesia dimaksudkan agar setiap orang Indonesia,
apapun suku bangsa, agama, keturunan, ras, warna kulit ataupun latar belakang
sosial dan budayanya, semuanya harus dipandang, diakui dan dihormati sama
kedudukan dan martabatnya. Dengan lain perkataan proses pemerdekaan manusia
Indonesia adalah upaya untuk membebaskan rakyat Indonesia dari segala bentuk
penindasan penghinaan dan pelecehan dari siapapun atau oleh siapapun, tidak
terkecuali diri pemerintah negaranya sendiri sehingga mereka menjadi tuan di
negaranya sendiri yang dihormati oleh semua orang.
Pemerdekaan keluar berarti proses peningkatan harga diri bangsa Indonesia
dalam pergaulan Internasional melalui berbagai upaya diplomatik, sehingga diterima
sebagai bangsa bermartabat dan masuk dalam jajaran bangsa-bangsa beradab
didunia. Upaya-upaya untuk mewujudkan kesederajatan sebagai sebuah bangsa ini
penting dilakukan agar bangsa Indonesia diterima dan memperoleh pengakuan dari
bangsa lain atas dasar kesederajatan tersebut. Keduanya tidak bisa dipisahkan.
Pemerdekaan rakyat di dalam negeri merupakan prasyarat bagi peningkatan
derajat bangsa secara keseluruhan di forum internasional. Dari sudut pandang inilah
pentingnya. Dari sudut pandang inilah pentingnya legislasi HAM dalam konstitusi
berikut undang-undang organik serta implementasinya dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara karena merupakan dasar bagi upaya peningkatan dan pengakuan
bangsa lain atas tinggi-rendahnya bangsa Indonesia sebagai bangsa beradab.
Kekuasaan bangsa sendiri yang otoriter dan dari berbagai keterbelakangan
yang merendahkan martabat manusia Indonesia. Semuanya itu ditujukan untuk
mengangkat harkat dan martabat manusia Indonsia. Tujuan mengangkat harkat dan
martabat setiap manusia Indonesia inilah yang dimaksudkan sebagai perspektif

51
perjuangan Hak Asasi Manusia di Indonesia yang dengan sendirinya harus dipahami
sebagai komitmen Nasional.
Dalam perkembangannya selanjutnya terdapat tahapan pengaturan hak asasi
manusia dalam Konstitusi RIS dan UUDS 1950, hak-hak asasi manusia yang diatur
dalam Konstitusi RIS jauh lebih lengkap, dan dimasukkan dalam suatu bagian
tersendiri, oleh UUDS 1950, yaitu dalam Bagian V yang meliputi 27 pasal (lihat pasal
7 sampai pasal 34). Yamin sendiri mencatat dalam kitabnya “Proklamasi dan
Konstitusi RIS”, sebagaimana dikutip oleh Koentjoro, menyatakan bahwa “Konstitusi
RIS dan UUDS 1950 adalah satu-satunya dari segala konstitusi yang telah berhasil
memasukkan hak asasi manusia itu ke dalam Konstitusi” 98

Dalam masa pemberlakuan UUDS, krisis yang terjadi sepanjang tahun 1950-
1959, melakukan pembentukan pengganti UUDS. Setelah melalui Dekrit Presiden
1959, Soekarno yang saat itu kecewa dengan hasil sidang Dewan Konstituante,
memberlakukan kembali UUD 1945 dan menyatakan adanya Demokrasi Terpimpin
(Guided Democracy), dengan jalan yang sesungguhnya “inkonstitutional”.
Pemberlakukan kembali UUD 1945 yang diharapkan memberikan proses
demokratisasi dan penopang jaminan hak-hak asasi manusia, sangat berat dilakukan,
karena banyak sekali praktek penyalahgunaan kekuasaan yang justru diawali dari
sang pemimpin itu sendiri.
Uraian di atas, ada tiga hal yang perlu menjadi perhatian sebagai catatan
perkembangan hak-hak asasi manusia dalam konstitusi Indonesia. Pertama, bahwa
senyatanya pengaturan hak asasi manusia dalam UUD yang dibuat tahun 1945
memang dibuat sangat cepat untuk memanfaatkan momentum kemerdekaan,
sehingga hanya hak-hak tertentu yang menurut pembentuk/perumus UUD 1945
penting dimasukkan, atau dalam arti lain belum semua hak tercantum dalam pasal-
pasalnya. Ini adalah suatu kewajaran alias kelaziman, bahwa tiada negara yang baru
lahir bisa menghasilkan kesempurnaan hukum-hukum yang mengatur, jadi pastilah
terjadi kekurangan di sana-sini. Ini pulalah yang nampak terjadi dalam pasal-pasal
tentang hak-hak asasi manusia dalam UUD yang dibuat tahun 1945. Kedua, bahwa
pengaturan hak-hak asasi manusia, bila dibandingkan dan dipersandingkan dengan
yang dimiliki Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 yang jauh lebih lengkap, adalah
sangat wajar. Kedua konstitusi terakhir ini diyakini lebih dipengaruhi oleh diskursus
hak-hak asasi manusia yang mendunia pasca ditetapkannya Universal Declaration of
Human Rights 1948 oleh United Nations (Deklarasi Umum Hak Asasi
Manusia/DUHAM 1948, Perserikatan Bangsa-Bangsa/PBB). Hal ini pula sangat

98 Koentjoro Poerbopranoto,Hak-Hak Asasi Manusia dan Pancasila Dasar Negara Republik


Indonesia,Groningen.J.B Wolters,Jakarta,1953,hlm.92.
52
dimungkinkan oleh suasana politik internasional saat itu, yang mana isu tuntutan
jaminan hak asasi manusia memang sangat mengemuka di negara manapun sebagai
upaya mengakhiri perang dunia ke-2. Oleh sebab itu, pandangan hak asasi manusia
yang lebih liberal cukup kelihatan dalam dua konstitusi tertulis di Indonesia tersebut
(1949-1950). Ketiga, bahwa konstitusi yang kurang atau belum lengkap mewadahi
pasal-pasal tentang hak-hak asasi manusia, sangat berpotensi membuka ruang tafsir
penguasa untuk melindungi kepentingan-kepentingannya dibandingkan
perlindungan hak-hak rakyatnya.
Pasca amandemen UUD 1945, tujuan negara yang termaktub dalam
Pembukaan UUD 1945, tetap tidak mengalami pengubahan dalam amandemen I-IV
yang dilakukan sejak tahun 1999-2002. Artinya, meskipun pasal-pasal atau dulu
disebut batang tubuh UUD 1945 mengalami banyak perubahan, bahwa konsepsi
tujuan negara tersebut tetap dipergunakan sebagai landasan setiap penyelenggaran
kehidupan negara dan bangsa Indonesia. Tetapi, dalam pasal-pasalnya, pengaturan
hak-hak asasi manusia yang terdapat dalam UUD 1945 pasca amandemen
mengalami banyak sekali perubahan dan tambahan, yang nampak mencolok dan
sangat berkeinginan untuk memasukkan segala hak-hak yang diakui secara universal
dalam Universal Declaration of Human Rights 1948.
Dalam Amandemen UUD 1945 terlihat keinginan untuk menuangkan hak-hak
yang diakui secara universal ke dalam Konstitusi dengan melihat kepada
perkembanga pengaturan hak asasi manusia.
Pada periode reformasi ini muncul kembali perdebatan mengenai
konstitusionalitas perlindungan hak asasi manusia. Perdebatkan bukan lagi soal-soal
konseptual berkenaan dengan teori hak asasi manusia, tetapi pada soal basis
hukumnya, apakah ditetapkan melalui TAP MPR atau dimasukkan dalam UUD?
Gagasan mengenai Piagam Hak Asasi Manusia yang pernah muncul di awal Orde
Baru itu muncul kembali.
Tahun 1998 merupakan titik awal dari Reformasi di Indonesia, reformasi
hukum termasuk di dalamnya keinginan dari bangsa Indonesia untuk memperbaiki
berbagai persoalan yang berkaitan dengan hak asasi manusia dengan kata lain
bangsa Indonesia ingin membangun hak asasi manusia dalam sistem hukum
Indonesia. Keinginan untuk mewujudkan perbaikan di bidang hak asasi manusia
diwujudkan dengan dikeluarkannya Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/MPR/1998
tentang Pandangan Hidup Bangsa Indonesia tentang Hak Asasi Manusia dan Piagam
Hak Asasi Manusia. Ketetapan MPR ini kemudian ditindak lanjuti dengan Keputusan
Presiden republik Indonesia No 129 Tahun 1998 mengenai Rencana Aksi Nasional
Hak Asasi Manusia, yang kemudian Pasal mengenai hak asasi manusia termuat

53
dalam Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dengan diaturnya hak asasi
manusia secara khusus dalam Bab X A Pasal 28 A sampai dengan 28 J. Hal ini
menunjukan keinginan dari bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat
internasional yang berkewajiban untuk menghormati, menghargai dan menjunjung
tinggi prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa serta
Deklarasi Universal mengenai Hak Asasi Manusia.
Sebagai bangsa yang menghormati hak-hak asasi manusia sebagaimana
dijamin oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan pandangan
hidup, falsafah bangsa dan landasan konstitusional bagi negara kesatuan Republik
Indonesia tentunya bangsa Indonesia berkewajiban untuk melaksanakan hak asasi
manusia dalam semua sendi kehidupan bangsa Indonesia. Notonagoro dalam
bukunya Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila mengatakan:
” Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai pernyataan Kemerdekaan
yang terperinci yang mengandung cita-cita luhur dari Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan yang memuat Pancasila sebagai Dasar
Negara, merupakan satu rangkaian dengan Proklamasi Kemerdekaan 17
Agustus 1945, dan oleh karena itu tidak dapat dirubah oleh siapapun juga,
termasuk MPR hasil pemilihan Umum, yang berdasarkan pasal 3 dan pasal 37
Undang-Undang Dasar berwenang menetapkan dan merubah undang-
undang Dasar, karena merubah isi Pembukaan berarti Pembubaran Negara.” 99

Penulis menggunakan apa yang dikatakan oleh Notonagoro dalam penelitian


ini, dikarenakan bahwa bagaimanapun berkembangnya zaman yang berpengaruh
pada aturan-aturan hukum maka tidak dapat meninggalkan Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945, dikarenakan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 itu
merupakan yang dinamakan pokok kaidah fundamental daripada negara Republik
Indonesia dan mempunyai kedudukan tetap terlekat kepada kelangsungan negara
Republik Indonesia atas Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.
“Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 itu menurut sejarah terjadinya,

ditentukan oleh pembentuk negara dan menurut isinya memuat asas

kerohanian negara (Pancasila), asas politik negara (Republik yang

berkedaulatan rakyat), tujuan negara (melindungi segenap bangsa Indonesia

99 Notonagoro, Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila, Pantjuran Tudjuh, Jakarta 1967,
hlm17.
54
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia

yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial), lagi

pula menetapkan adanya suatu undang-undang dasar negara Indonesia, jadi

Pembukaan dalam segala sesuatunya memang memenuhi syarat-syarat

mutlak bagi suatu pokok kaidah Negara yang fundamentil.”100

Pembukaan (Preambule) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi sebagai berikut:


“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh
sebab itu maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai
dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Dan perjuangan pergerakan
kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia
dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu
gerbang kemerdekaan negara Republik Indonesia, yang merdeka, bersatu,
berdaulat adil dan makmur.

Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh
keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas,maka rakyat
Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia


yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial maka disusunlah
kemerdekaan bangsa Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar
negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan
Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia
dan Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam

100 Idem, hlm 20


55
Permusyawaratan Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.”101

Demikian gagasan untuk mencatumkannya ke dalam pasal-pasal Undang-


Undang Dasar juga muncul kembali ke dalam wacana perdebatan hak asasi manusia
ketika itu.Karena kuatnya tuntutan dari kelompok-kelompok reformasi ketika itu,
maka perdebatan bermuara pada lahirnya Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998
tentang Hak Asasi Manusia. Isinya bukan hanya memuat Piagam Hak Asasi Manusia,
tetapi juga memuat amanat kepada presiden dan lembaga-lembaga tinggi negara
untuk memajukan perlindungan hak asasi manusia, termasuk mengamanatkan untuk
meratifikasi instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia.
Hasil Pemilu 1999 merubah peta kekuatan politik di MPR/DPR. Kekuatan
politik pro-reformasi mulai memasuki gelanggang politik formal, yakni MPR/DPR.
Selain berhasil mengangkat K.H. Abdurrachman Wahid sebagai presiden, juga
berhasil menggulirkan terus isu amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Pada
Sidang Tahunan MPR tahun 2000, perjuangan untuk memasukkan perlindungan hak
asasi manusia ke dalam Undang-Undang Dasar akhirnya berhasil dicapai. Majelis
Permusyawaratan Rakyat sepakat memasukan hak asasi manusia ke dalam Bab XA,
yang berisi 10 Pasal Hak Asasi Manusia (dari pasal 28A-28J) pada Amandemen Kedua
Undang-Undang Dasar 1945 yang ditetapkan pada 18 Agustus 2000. Hak-hak yang
tercakup di dalamnya mulai dari kategori hak-hak sipil politik hingga pada kategori
hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Selain itu, dalam bab ini juga dicantumkan
pasal tentang tanggung jawab negara terutama pemerintah dalam perlindungan,
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia. Di samping itu ditegaskan
bahwa untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai prinsip negara
hukum yang demokratis maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan
dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
Salah satu isu yang menjadi riak-perdebatan dalam proses amandemen itu
adalah masuknya pasal mengenai hak bebas dari pemberlakuan undang-undang
yang berlaku surut (non-retroactivity principle) yakni pasal 28I. Masuknya ketentuan
ini dipandang oleh kalangan aktifis hak asasi manusia dan aktifis pro-reformasi yang
tergabung dalam Koalisi untuk Konstitusi Baru sebagai “sabotase” terhadap upaya
mengungkapkan pelanggaran berat hak asasi manusia di masa lalu, khsususnya di
masa Orde Baru. Alasannya pasal itu dapat digunakan oleh para pelaku pelanggaran
hak asasi di masa lalu untuk menghindari tuntutan hukum. Undang-Undang
Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan

101 Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945


56
Rekonsiliasi, yang lahir setelah Amandemen Kedua menjadi senjata yang tak dapat
digunakan untuk pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu. Sementara anggota
Majelis Permusyawaratan Rakyat beralasan bahwa adanya pasal itu sudah lazim
dalam instrumen internasional hak asasi manusia, khususnya dalam Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik(KIHSP). Selain itu, menurut anggota
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Pasal 28I itu harus dibaca pula dalam kaitannya
dengan Pasal 28J ayat (2).
Terlepas dari kontroversi yang dipaparkan di atas, Amandemen Kedua tentang
Hak Asasi Manusia merupakan prestasi gemilang yang dicapai Majelis
Permusyawaratan Rakyat pasca Orde Baru. Amandemen Kedua itu telah mengakhiri
perjalanan panjang bangsa ini dalam memperjuangkan perlindungan
konstitusionalitas hak asasi manusia di dalam Undang-Undang Dasar. Mulai dari awal
penyusunan Undang-Undang Dasar pada tahun 1945, Konstituante (1957-1959),
awal Orde Baru (1968) dan berakhir pada masa reformasi saat ini merupakan
perjalanan panjang diskursus hak asasi manusia dalam sejarah politik-hukum
Indonesia sekaligus menjadi bukti bahwa betapa menyesatkan pandangan yang
menyatakan hak asasi manusia tidak dikenal dalam budaya Indonesia.
Periode reformasi merupakan periode yang sangat mendukung bagi
perkembangan hak asasi manusia. Berbeda halnya dengan periode. Presiden B.J.
Habibie dan DPR sangat terbuka dengan tuntutan reformasi, maka sebelum proses
amandemen konstitusi bergulir, presiden lebih dulu mengajukan Rancangan
Undang-Undang Hak Asasi Manusia ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas.
Pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat juga tidak memakan waktu yang lama dan
pada 23 September 1999 telah dicapailah konsensus untuk mengesahkan undang-
undang tersebut yakni Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia. Undang-Undang tersebut dilahirkan sebagai turunan dari Ketetapan MPR
No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memuat
pengakuan yang luas terhadap hak asasi manusia. Hak-hak yang dijamin di dalamnya
mencakup mulai dari pengakuan terhadap hak-hak sipil dan politik, hak-hak
ekonomi,sosial dan budaya, hingga pada pengakuan terhadap hak-hak kelompok
seperti anak,perempuan dan masyarakat adat (indigenous people). Undang-Undang
tersebut dengan gamblang mengakui paham ‘natural rights’, melihat hak asasi
manusia sebagai hak kodrati yang melekat pada manusia. Begitu juga dengan
kategorisasi hak-hak di dalamnya tampak merujuk pada instrumen-instrumen
internasional hak asasi manusia,seperti Universal Declaration of Human Rights,
International Covenan on Civil and Political Righs, International Covenan on

57
Economic, Social and Cultural Rights,International Convention on the Rights of Child,
dan seterusnya. Undang-undang ini telah mengadopsi norma-norma hak yang
terdapat di dalam berbagai instrumen hak asasi manusia internasional tersebut.
Di samping memuat norma-norma hak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia juga memuat aturan mengenai Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (Bab VII). Mulai Pasal 75 sampai Pasal 99 mengatur tentang
kewenangan dan fungsi, keanggotaan, serta struktur kelembagaan Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia.
Kalau sebelumnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berdiri berdasarkan
Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1993, maka setelah disahkan Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 landasan hukumnya diperkuat dengan undang-undang. Hal
yang menarik dalam undang-undang ini adalah adanya aturan tentang partisipasi
masyarakat (bab VIII), mulai dari Pasal 100 sampai Pasal 103. Aturan ini jelas
memberikan pengakuan legal terhadap keabsahan advokasi hak asasi manusia yang
dilakukan oleh organisasi-organisasi pembela hak asasi manusia atau “human rights
defenders”. Selain itu, undang-undang ini juga mengamanatkan pembentukan
Pengadilan Hak Asasi Manusia yang harus dibentuk paling lama dalam jangka waktu
empat tahun setelah berlakunya undang-undang tersebut (Bab IX).
Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana status Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 ini setelah keluarnya Amandemen Kedua tentang Hak Asasi Manusia?
Apakah tetap berlaku atau tidak? Kaidah “ketentuan yang baru menghapus
ketentuan yang lama” jelas tidak dapat diterapkan di sini. Kaidah tersebut hanya
berlaku untuk norma yang setingkat. Karena kedudukan kedua ketentuan tersebut
tidak setingkat, dan sejalan dengan “stuffenbau theorie des rechts” (hierarchy of norm
theory), normakonstitusi lebih tinggi daripada undang-undang. Maka Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 itu tetap berlaku dan dapat dipandang sebagai
ketentuan organik dari ketentuan hak asasi manusia yang terdapat pada amandemen
kedua.
Sampai saat ini Indonesia baru meratifikasi 8 (delapan) instrumen
internasional hak asasi manusia dari 25 (dua puluh lima) instrumen internasional
pokok hak asasi manusia. Delapan instrumen internasional hak asasi manusia yang
diratifikasi itu meliputi: (i) Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Politik
Perempuan; (ii) Konvensi Internasional tentang Hak Anak; (iii) Konvensi Internasional
tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan; (iv) Konvensi
Internasional tentang Anti Apartheid di Bidang Olah Raga; (v) Konvensi Internasional
tentang (Anti?) Menentang Penyiksaan; (vi) Konvensi Internasional tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial; (vii) Kovenan Internasional tentang

58
Hak Sipil dan Politik; dan (viii) Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial
dan Budaya.
Dibanding dengan jumlah instrumen internasional pokok hak asasi manusia,
maka sebetulnya tingkat ratifikasi Indonesia masih rendah. Sebagai perbandingan,
Filipina,misalnya, telah meratifikasi 18 (delapan belas) konvensi internasional hak
asasi manusia.
Sejak tahun 1998, Indonesia telah memiliki Rencana Aksi Nasional Hak Asasi
Manusia (RANHAM) untuk mengejar ketertinggalan di bidang ratifikasi
tersebut.Dengan adanya RANHAM, diharapkan proses ratifikasi dapat berjalan
dengan terencana. Melalui RANHAM ini, yang periode lima tahun pertamanya
dimulai pada 1998-2003, telah disusun skala prioritas untuk melakukan ratifikasi
terhadap instrument-instrumenhak asasi manusia internasional. Sedangkan pada
RANHAM lima tahun kedua (2004-2009), rencana ratifikasi diprioritaskan pada
konvensi-konvensi berikut ini: (i) Konvensi untuk Penindasan Perdagangan Orang
dan Eksploitasi Prostitusi Orang Lain (pada 2004); (ii) Konvensi tentang Perlindungan
Hak Pekerja Migran dan Keluarganya (pada 2005); (iii) Protokol Opsional tentang Hak
Anak tentang Perdagangan Anak, Pornografi Anak dan Prostitusi Anak (pada 2005);
(iv) Protokol Opsional tentang Konvensi Hak Anak tentang Keterlibatan Anak dalam
Konflik Bersenjata (pada 2006); (v) Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman
Kejahatan Genosida (pada 2007); Statuta Roma (pada 2008); dan seterusnya. Kalau
rencana aksi ini berjalan, maka pada 2009 Indonesia dapat mensejajarkan diri dengan
negara-negara lain yang tingkat ratifikasinya tinggi.
Sebagaimana telah disebutkan pada bab terdahulu dengan mengutip
beberapa pendapat sarjana, maka negara hukum menempatkan hak asasi manusia
sebagai salah satu unsur yang harus terdapat di dalamnya. Hak asasi manusia di
Indonesia terus berkembang sejak Undang-Undang dasar 1945, Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia Serikat, Undang-Undang Dasar Sementara 1950 hingga
Undang-Undang 1945 Amandemen, yang tentunya berkembang sesua dengan
kondisi yang terjadi ketika Undang-Undang Dasar itu berlaku, tetapi pengaturan hak
asasi manusia tetap mengikuti 8 prinsip utama yaitu universalitas, pemartabatan
terhadap manusia (human dignity), non-diskriminasi, persamaan (equality),
indivisibility, inalienability, saling ketergantungan (interdependency), dan tanggung
jawab (responsibility).102

102 Flower, N . The Human Rights Education Handbook: Effective Practises for Learning Action
And Change, Minneapolis,MN. University of Minnesota,2000, dan Ravindran.D.J. Human Rights
Praxis : A Resources Book for Study,Action and Reflection,Bangkok,Thailand, The Asia Forum
for Human Rights and Development,1988. .Sebagaimana dikutip dalam R Herlambang
59
Pemerintah termasuk masyarakatnya harus mengakui dan menyokong hak-
hak asasi manusia. Ini menunjukkan bahwa hak-hak asasi manusia itu ada dan harus
dihormati oleh seluruh umat manusia di dunia manapun, tidak tergantung pada
wilayah atau bangsa tertentu. Hak asasi manusia berlaku menyeluruh sebagai kodrat
lahiriah setiap manusia. Universalitas hak-hak asasi manusia, pada kenyataannya,
masih juga tidak sepenuhnya diterima oleh negara-negara tertentu yang menolak
kehadiran prinsip universalitas. Perdebatan ini sesungguhnya muncul di saat
memperbincangkan apakah Universal Declaration of Human Rights 1948 (Deklarasi
Universal Hak-Hak Asasi Manusia, selanjutnya disingkat DUHAM 1948) itu memiliki
prinsip universal ataukah tidak.
Sebagaimana mantan Perdana Menteri Mahathir Mohammad yang
menyatakan bahwa, DUHAM 1948 itu sangat menganut paham kebebasan yang
bersala dari konsep barat, dimana penandatangan deklarasi tersebut hanya
seperempat negara-negara yang menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
sekarang, artinya hanya sekitar 50-an negara yang kebetulan mayoritas dari negara-
negara yang disebut ‘barat’. Mahathir mencontohkan soal betapa hak-hak politik dan
kebebasan begitu dominan mewarnai hak-hak asasi manusia, padahal di negara-
negara miskin maupun berkembang (negara dunia ketiga), hak-hak ekonomi sosial
budaya (Hak Ekosob) menjadi hak yang sangat penting. Bagi negara dunia ketiga,
mengisi perut orang yang lapar (hak atas pangan) dan hak pendidikan lebih penting
dibandingkan soal hak pilih dalam PEMILU.103 Begitu juga, mempertentangkan
universalitas dengan relativisme budaya (universality vs. cultural relativism).
Perbincangan ini sebenarnya tidak perlu terjadi bilamana memahami hak-hak asasi
manusia yang universal maupun tidak, didasarkan pada kontekstualisasi tertentu,
yang bisa dipengaruhi oleh kekuasaan politik, kekuatan ekonomi, maupun realitas
sosial budaya yang melahirkan keragaman pendapat soal tersebut. Artinya, hak asasi
manusia tidak menjadi universal bilamana dilihat dari perspektif tertentu, dari sudut
pandang yang berbeda.
Prinsip yang kedua, pemartabatan terhadap manusia (human dignity). Prinsip
ini menegaskan perlunya setiap orang untuk menghormati hak orang lain, hidup
damai dalam keberagaman yang bisa menghargai satu dengan yang lainnya, serta

Perdana Wiratraman, Konsesi Tanggung Jawab Negara dalam Sistem Ketatanegaraan


Indonesia, Jurnal Hukum Yuridika Vol. 20.No 1 Januari 2005.

103 Chandra Muzaffar, Hak Asasi Manusia dalam Tata Dunia baru, Menggugat Dominasi
Global Barat, bandung,Mizan,1993,hlm.21. .Sebagaimana dikutip dalam R Herlambang
Perdana Wiratraman, Konsesi Tanggung Jawab Negara dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia, Jurnal Hukum Yuridika Vol. 20.No 1 Januari 2005.
60
membangun toleransi sesama manusia. Tidak dapat dipungkiri bahwa pluralisme
sosial, termasuk di dalamnya keragaman budaya dan hukum-hukum lokal, menjadi
identitas peradaban tertentu yang sangat berharga dalam mengemban amanat
saling menjaga dan mendorong upaya kebersamaan untuk hidup berdampingan,
khususnya manusia sebagai sesama makhluk ciptaan Allah. Penghormatan terhadap
manusia, bukanlah sekedar pekerjaan individual manusia, tetapi juga dalam
kolektiva-kolektiva lebih luas seperti dalam kehidupan masyarakat maupun
bernegara. Sehingga kewajiban untuk menghormati manusia sebagai manusia
tersebut merupakan tanggungjawab hak-hak asasi manusia. Oleh sebabnya, dengan
adanya prinsip ini maka tidak mungkin praktik yang memperkenankan siapapun
untuk melakukan eksploitasi, memperbudak, menyiksa, ataupun bahkan membunuh
hak-hak hidup manusia. Dalam prinsip ini setiap orang harus menghargai manusia
tanpa membeda-bedakan umur, budaya, keyakinan, etnisitas, ras, gender, orientasi
seksual, bahasa, komunitas disable/berbeda kemampuan, atau kelas sosial,
sepatutnya dihormati dan dihargai.
Prinsip yang ketiga, non-diskriminasi. Prinsip non-diskriminasi sebenarnya
bagian integral dengan prinsip persamaan, dimana menjelaskan bahwa tiada
perlakuan yang membedakan dalam rangka penghormatan, perlindungan dan
pemenuhan hak-hak seseorang. Pembedaan, baik berdasarkan kelas/bangsa
tertentu, agama, suku, adat, keyakinan, jenis kelamin, warna kulit dan sebagainya,
adalah praktek yang justru menghambat realisasi hak-hak asasi manusia. Jelas dan
tegas, bahwa hak-hak asasi manusia melarang adanya diskriminasi yang
merendahkan martabat atau harga diri komunitas tertentu, dan bila dilanggar akan
melahirkan pertentangan dan ketidakadilan di dalam kehidupan manusia.
Prinsip yang keempat, equality atau persamaan. Prinsip ini bersentuhan atau
sangat dekat dengan prinsip non-diskriminasi. Konsep persamaan menegaskan
pemahaman tentang penghormatan untuk martabat yang melekat pada setiap
manusia. Hal ini terjelaskan dalam pasal 1 DUHAM 1948, sebagai prinsip hak-hak
asasi manusia: “Setiap orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat serta hak-
hak yang sama.” Konsekuensi pemenuhan persamaan hak-hak juga menyangkut
kebutuhan dasar seseorang tidak boleh dikecualikan. Persamaan, merupakan hak
yang dimiliki setiap orang dengan kewajiban yang sama pula antara yang satu
dengan yang lain untuk menghormatinya. Salah satu hal penting dalam negara
hukum, adalah persamaan di muka hukum, merupakan hak untuk memperoleh
keadilan dalam bentuk perlakuan dalam proses peradilan.
Prinsip yang kelima, indivisibility. Suatu hak tidak bisa dipisah-pisahkan antara
yang satu dengan yang lainnya. Hal ini terkait dengan pandangan yang menyesatkan

61
tentang membeda-bedakan atau pengutamaan hak-hak tertentu dibandingkan hak-
hak lain. Hak sipil dan politik, sangat tidak mungkin dipisahkan dengan hak ekonomi,
sosial, dan budaya, karena keduanya satu kesatuan, tidak bisa dilepaskan satu
dengan yang lainnya.
Prinsip yang keenam, inalienability. Pemahaman prinsip atas hak yang tidak
bisa dipindahkan, tidak bisa dirampas atau dipertukarkan dengan hal tertentu, agar
hak-hak tersebut bisa dikecualikan. Misalnya, hak pilih dalam pemilu, tidak bisa
dihilangkan hanya dengan dibeli oleh orang yang mampu dan kemudian
menggantikan posisi hak pilih. Atau juga hak atas kehidupan yang layak, tidak bisa
dipertukarkan dengan perbudakan, meskipun dibayar atau diupahi. Manusia sebagai
makhluk yang memiliki hak-hak asasi tidak bisa dilepaskan dari hak-hak tersebut.
Prinsip yang ketujuh, interdependency (saling ketergantungan). Prinsip ini juga
sangat dekat dengan prinsip indivisibility, dimana setiap hak-hak yang dimiliki setiap
orang itu tergantung dengan hak-hak asasi manusia lainnya dalam ruang atau
lingkungan manapun, di sekolah, di pasar, di rumah sakit, di hutan, desa maupun
perkotaan. Misalnya, kemiskinan, dimana dalam situasi tidak terpenuhinya hak atas
pendidikan, juga sangat bergantung pada penyediaan hak-hak atas pangan atau
bebas dari rasa kelaparan, atau juga hak atas kesehatan yang layak, dan hak atas
penghidupan dan pekerjaan yang layak. Artinya, hak yang satu dengan yang lainnya
sangat tergantung dengan pemenuhan atau perlindungan hak lainnya.
Prinsip yang kedelapan, tanggung jawab (responsibility). Prinsip
pertanggungjawaban hak-hak asasi manusia ini menegaskan bahwa perlunya
mengambil langkah atau tindakan tertentu untuk menghormati, melindungi dan
memenuhi hak-hak asasi manusia, serta menegaskan kewajiban-kewajiban paling
minimum dengan memaksimalkan sumberdaya yang ada untuk memajukannya.
Pertanggungjawaban ini menekankan peran negara, sebagai bagian dari organ
politik kekuasaan yang harus memberikan perlindungan terhadap warga negaranya.
Termasuk mempertanggungjawabkan setiap langkah atau tindakan yang diambil
sebagai kebijakan tertentu dan memiliki pengaruh terhadap kelangsungan hak-hak
rakyat. Peran negara menjadi vital, bukan soal mengambil tindakan tertentu (by
commission), tetapi negara juga bisa dimintai pertanggungjawaban ketika terjadi
pelanggaran hak-hak asasi manusia, sementara negara sama sekali tidak mengambil
tindakan apapun (by omission). Unsur pertanggungjawaban (terutama negara),
adalah bagian yang tidak terpisahkan dari prinsip hak-hak asasi manusia agar bisa
terwujudkan. Selain negara, aktor non-negara juga mempunyai tanggung jawab yang
sama untuk memajukan hak-hak asasi manusia, baik secara individual maupun
kolektiva sosial dalam organisasi kemasyarakatan. Secara individu, setiap orang

62
dituntut untuk berani melawan ketidakadilan dan pelanggaran hak-hak asasi
manusia di depan matanya, mengajarkan dan mendorong pemahaman dan
penghormatan hak-hak asasi manusia bagi sesama.
Kedelapan prinsip-prinsip tersebut, merupakan hal yang mendasar untuk
mengkaji hak-hak asasi manusia, baik terhadap tekstualitas maupun
kontekstualitasnya, dalam pengertian untuk mempelajari sejarahnya, instrumen
hukum, dan praktek implementasinya di lapangan. Hampir sependapat dengan
Masuda, adalah Solly Lubis yang menyatakan bahwa, hak-hak asasi yang dirumuskan
dalam UUD lebih menunjukkan asas kekeluargaan, sedangkan negara-negara lain
mendasarkan versinya pada asas liberalisme.104
Di dalam UUD 1945 tersebut, terselip konsepsi tanggung jawab negara dalam
hak asasi manusia (state responsibilities), sebagaimana terlihat dalam pasal 28I (4)
dan (5), yang menyatakan “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan
hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah dan Untuk
menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum
yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan
dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.” Keduanya, merupakan kunci
dalam melihat tanggung jawab konstitutional yang harus dilakukan oleh negara,
dalam hal ini pemerintah, untuk melaksanakan upaya-upaya pemajuan hak asasi
manusia.
Kedua pasal tersebut juga memiliki konsepsi tersendiri sebagai elemen
kewajiban negara. Konsepsi dalam pasal 28I ayat (4), sebagai konsep realisasi
progresif (progressive realization), yang secara substansi menegaskan bahwa negara
harus memajukan kondisi hak-hak asasi manusia secara berkelanjutan, maju (tiada
kesengajaan/kelalaian untuk mundur), dan jelas ukuran atau tahapannya. Sedangkan
pasal 28I ayat (5), disebut sebagai konsepsi pendayagunaan kewenangan dan
instrumentasi hukum. Artinya, negara dalam menjalankan kewajibannya bisa
menggunakan segala kewenangannya terutama untuk membangun instrumentasi
hukum sebagai sarana yang melindungi hak-hak masyarakat, baik dalam
pembentukan sarana-sarana kelembagaan yang melindungi hak-hak asasi manusia
maupun proses legislasi.
Bila diperbandingkan, khususnya dalam diskursus hukum tanggung jawab
negara atas hak asasi manusia, terutama bila kita menyimak perdebatan-perdebatan
dalam sidang umum PBB untuk melihat laporan hasil kemajuan rutin masalah hak
asasi manusia di setiap negara, dikenal pula konsepsi tanggung jawab negara dalam
mandat hukum internasional. Konsepsi tersebut disandarkan pada instrumentasi

104 Solly Lubis,Pembahasan UUD 1945, Penerbit Alumni bandung,1997,hlm.6.


63
hukum hak asasi manusia internasional, yakni pasal 2 ayat (1) International Covenant
on Economic, Social and Cultural Rights 1966 (selanjutnya
Konsepsi ‘achieving progressively the full realization’ dan ’by all appropriate
means including particularly the adoption of legislative measures’, merupakan
konsepsi yang hampir sama dengan konstruksi hukum yang diatur dalam
pasal 28I ayat (4) dan (5) UUD 1945. Dalam UU HAM, juga sama dengan
kontruksi hukum yang ada dalam UUD 1945, yakni mendayagunakan
kewenangan dan sarana-sarana hukum, baik pembentukan lembaga dan
hukum baru, review perundang-undangan atau kebijakan, atau juga ratifikasi
aturan hukum internasional.105

Secara konsepsional, tanggung jawab negara yang dimiliki dalam UUD 1945
pasca amandemen dengan hukum HAM internasional masih kurang lengkap,
sehingga faktor ini pulalah yang menyebabkan banyak permasalahan HAM. Oleh
sebab itu, kegagalan negara dalam mewujudkan hak-hak asasi manusia
sesungguhnya telah dimulai dalam kerangka hukum normatifnya dalam konstitusi
yang lemah dan tidak lengkap.
Salah satu pemahaman (dari banyak varian konsep) terhadap penyejahteraan
warga negaranya dalam konsep tanggung jawab negara adalah upaya perlindungan
hukum bagi warganya sendiri. Artinya, hukum sebagai sarana dan sistem
perlindungan bagi rakyat yang efektif, terutama dari berbagai upaya pemaksaan
kehendak atau bentuk kekerasan yang dilakukan oleh organ/struktur yang berkuasa.
Pendekatan sistem dalam bidang hukum, sebagaimana dikatakan oleh Victor M.
Tschchikvadse dan Samuel L. Zivs, “
It is the system approach that makes it possible to visualize more clearly the
whole of law as a complex series or relationship between branches of law and
legal institutions. The system approach helps to reveal the special quality of law,
considered as a whole in comparison with one of its branches or with a simple
aggregate of branches. The system approach also makes it possible to reveal
more clearly such important features of law as a unity and differentiation, the
interaction and interrelation of the separate parts of elements.”106

105 Herlambang Perdana Wiratraman,Loc cit.

106 Tschchikvadse, Victor M., The Syistem of Socialist Law, International Encyclopedia of
Comparative Law, Tubingen,Mouton,The haque,Paris,J.C.Mohr (Paul Siebeck),1971, vol II,Bab 2.
H. 115.Sebagaimana dikutip dalam R Herlambang Perdana Wiratraman, Konsesi Tanggung
Jawab Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal Hukum Yuridika Vol. 20.No 1
Januari 2005.
64
Ini berarti, pendekatan sistem dalam bidang hukum memperhatikan pula
bagaimana organ/struktur negara yang memiliki lembaga-lembaga (pembentuk,
penegak) hukum bekerja untuk melindungi dan memenuhi hak-hak dalam ruang
kehidupan warga negaranya.
Penelusuran terhadap pengakuan hak-hak asasi manusia dalam konstitusi
akan menjadi tema penting dilihat sebagai bagian dari kajian sistem ketatanegaraan
yang ada. Karena pengalaman bangsa Indonesia yang berulang kali mengalami
pergantian dan perubahan UUD, dan pergantian UUD dalam suatu negara, berarti
peralihan dari tertib ketatanegaraan yang lama ke tertib ketatanegaraan yang baru,
yang tentunya (atau seharusnya) menuju ke arah yang lebih sempurna dibandingkan
sebelumnya. Dan ini pulalah yang menjelaskan situasi pendekatan hukumnya
pemerintah dalam hak asasi manusia.
Membicarakan pendekatan hukum, sebagai sarana perlindungan hukum bagi
rakyat, adalah pendapat Hadjon, yang menyatakan “tindak pemerintahan” sebagai
titik sentral, dibedakan dua macam perlindungan hukum bagi rakyat: perlindungan
hukum yang preventif dan perlindungan yang represif. Pada perlindungan hukum
yang preventif, kepada rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan
(inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk
yang definitif, yang sifatnya mencegah sengketa. Adanya perlindungan hukum yang
preventif tentunya akan mendorong pemerintah untuk bersikap lebih berhati-hati
dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi. 107 Untuk perlindungan
hukum yang represif adalah berdasarkan penyelesaian suatu sengketa, dimana
terdapat keragaman dalam berbagai sistem hukum di dunia ini. Misalnya, negara-
negara dengan “civil law system” mengakui adanya dua set pengadilan, yaitu
pengadilan umum (biasa) dan pengadilan administrasi; sedangkan negara-negara
dengan “common law system”, hanya mengenal satu set pengadilan, yaitu “ordinary
court”.
Dalam konteks hak-hak asasi manusia, khususnya yang diberlakukan dalam
sistem hukum di Indonesia, kita mengenal adanya lembaga-lembaga yang menjadi
sarana perlindungan hak-hak masyarakat. Lembaga-lembaga yang memiliki
kewajiban dalam memberikan sarana perlindungan hukum bisa dilakukan oleh
lembaga peradilan (judicial system) dan lembaga non-peradilan (non-judicial system).
Lembaga peradilan yang menangani persoalan hak-hak asasi manusia,
khususnya terhadap pelanggaran HAM berat dilakukan oleh Pengadilan HAM.

107 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Cetakan Pertama,
PT.Bina Ilmu,Surabaya, 1987, hlm 2.
65
Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan
peradilan umum, dan khusus hanya menangani persoalan pelanggaran HAM berat
(kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan). Sedangkan persoalan
hak-hak asasi manusia lainnya, di luar pelanggaran HAM berat, dikategorikan
sebagai tindak kriminal maka akan diselesaikan melalui proses peradilan umum.
Dalam perspektif perlindungan publik atas kebijakan atau keputusan administratif
pemerintah, maka perlindungan hak asasi manusia bisa diselesaikan melalui
Pengadilan Tata Usaha Negara. Ketiga lembaga peradilan tersebut merupakan sarana
perlindungan hak-hak asasi manusia yang dikenal dalam konteks sistem
ketatanegaraan di Indonesia.
lembaga non-peradilan yang dibentuk pemerintah untuk melakukan upaya
perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia, antara lain Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap
Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas
Anak), dan Komisi Ombudsman Nasional. Kelembagaan non-peradilan yang juga
terkait langsung dengan upaya perlindungan hak asasi manusia secara koordinatif
membangun komunikasinya dengan lembaga atau departemen pemerintah lainnya,
termasuk institusi kepolisian dan TNI.108
Meskipun demikian, pandangan terhadap sarana-sarana perlindungan hak
asasi manusia tidak bisa dikerdilkan hanya pada lembaga peradilan dan lembaga
non-peradilan yang disebutkan di atas, tetapi haruslah lintas departemen, dan
menjadi tanggung jawab seluruh jajaran pemerintahan mulai dari Presiden hingga
unit pemerintahan terkecil di bawah tanpa terkecuali. Bahkan bilamana diperlukan
sarana-sarana tersebut membuka terhadap kerjasama internasional untuk
mendukung upaya perlindungan hak-hak asasi manusia, sehingga permasalahan
pelanggaran HAM akan dapat tercegah dan diselesaikan secara komprehensif,
koordinatif dan strategis. Sehingga tidak dimungkinkan lagi adanya sektoralisme
penyelesaian masalah-masalah penegakan hak asasi manusia.
Sejarah dari negara-negara yang memiliki konstitusi merupakan sejarah
gerakan perjuangan rakyat melawan tirani dan absolutisme, suatu perjuangan dari
hak-hak dan kebebasan-kebebasan melawan kekuasaan yang sewenang-wenang
dan mutlak. Oleh sebab itu, konstitusi, sekali lagi, bertujuan untuk membatasi
kekuasaan pemerintah dan mengontrol pelaksanaan dari kekuasaan itu, sehingga
hak dan kebebasan rakyat itu dapat mengimbangi kekuasaan dan pelaksanaan
pemerintahannya. Dalam diskursus konstitusi pula, soal kebebasan dan kekuasaan

108 Herlambang Perdana Wiratraman, Konsesi Tanggung Jawab Negara dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal Hukum Yuridika Vol. 20.No 1 Januari 2005.
66
adalah fungsi yang saling melengkapi secara timbal balik. Diskursus tersebut melihat
sebesar apa hubungan fungsional antara keduanya, tarik ulur antara besar-kecilnya
kewenangan dan luas sempitnya kebebasan adalah suatu dinamika yang tak habis-
habisnya dalam dunia politik. Termasuk keinginan untuk memasukkan pasal-pasal
dalam soal hak asasi manusia dan tanggung jawab negara dalam pemenuhannya.
Ayat hukum yang positif dan formal sifatnya, konstitusi itu tidak cuma
menyuguhkan apa yang tersurat, melainkan juga menyiratkan ajaran atau doktrin
penting tentang pembebasan dan kebebasan manusia hak-hak warga. Maka ajaran
itu juga menjadi ‘isme’, disebut konstitutionalisme yang mengajarkan keyakinan
bahwa kekuasaan itu hanyalah fungsi kebebasan, dan tidak sebaliknya bahwa
kewenangan itulah yang menjamin terwujudnya kebebasan. Ide konstitutionalisme
memiliki dua esensi doktrinal: Pertama, doktrin kebebasan sebagai hak manusia yang
tak hanya asasi akan tetapi juga kodrati, yang tidak bisa diambil alih kapanpun oleh
kekuasaan manapun dalam kehidupan bernegara (inalienability). Kedua, doktrin rule
of law atau doktrin supremacy state of law, yang mengajarkan otoritas hukum itu
secara universal mestilah mengatasi otoritas politik, dan tidak sebaliknya. 109
Pengaturan hak asasi manusia dalam UUD 1945 tersebut menjadi landasan
bagi negara untuk melakukan upaya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan
atas kebebasan warganya, dalam arti bahwa kebebasan yang menjadi hak
konstitutional warga negara harus dijamin oleh negara melalui otoritas hukum yang
dimilikinya. Oleh sebabnya, antara kebebasan dan otoritas yang dimiliki negara
haruslah seimbang dalam arti tidak saling mengecilkan atau bahkan menegasikan.
Dan yang menjadi unik dalam UUD 1945 pasca amandemen, otoritas hukum (oleh
negara) tersebut haruslah pula difungsikan untuk menjamin tidak sekedar hak asasi
manusia, melainkan juga menjamin berfungsinya pelaksanaan kewajiban
asasi.Pengaturan secara khusus kewajiban asasi inilah merupakan salah satu corak
konstitutionalisme di Indonesia yang ada pada UUD 1945 pasca amandemen.
Pandangan yang cukup mendasar pula tentang konsepsi hak pernah pula
diutarakan oleh Soepomo, yang mencoba merasakan adanya sifat khas pada orang
Indonesia. Sehingga pada waktu menjadi arsitek UUD 1945, pikirannya itu
dituangkan dalam arsitektur UUD. Salah satunya, dalam pidato Soepomo di
Yogyakarta tahun 1927, Soepomo sudah menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
pengertian antara ‘aku’ di Indonesia dan di Barat. Dikatakannya, bahwa ‘akoe di
tanah kita melingkoengi golongannja, sedang ‘akoe’ di tanah Barat hanja

109 Soetandyo Wignyosoebroto, Konstitusi,Konstitusionalisme dan Hak Asasi Manusia, dalam


Toleransi dalam Keragaman : Visi untuk Abad ke 21, Kumpulan Tulisan tentang Hak Asasi
Manusia,Pusham Ubaya dan The Asia Foundation,Surabaya,Januari 2003,hlm 16-18
67
melingkoengi diri sendiri’. Pandangan ini begitu saja ditebas oleh penganut paham
HAM yang universal, seolah-olah itu adalah pandangan Soepomo pribadi yang
notabene keliru.110
Sekedar dirujuk dari hanya soal kebebasan dan kewajiban asasinya.
Perumusan konsep hak asasi manusia dalam setiap konstitusi dari masing-masing
negara mau tidak mau sangat dipengaruhi oleh pandangan hidup, pengalaman, dan
kepentingan masyarakat dari masing-masing negara di dunia. Yang itu berarti
pelaksanaan atau perwujudan hak asasi manusia di tiap-tiap negara juga sangat
dipengaruhi oleh sejarah perkembangan masyarakat dari masing-masing negara
tersebut.111 Artinya ada dua aras dalam melihat corak konstitutionalisme, yakni aras
tekstual yang mendeskripsikan konstitutionalisme dari sumber hukum dasarnya, dan
aras tafsir konteks dan implementasi tekstualitasnya yang lebih melihat coraknya dari
pengalaman sosial politik yang mewarnai pelaksanaannya.
Tentu, mengkaji UUD 1945 pasca amandemen dari sisi corak
konstitusionalisme yang demikian baik dalam aras tekstualnya, belum tentu sejalan
dengan aras tafsir dan implementasi tekstualnya. Inilah ruang kajian yang demikian
luas bagi studi-studi ketatanegaraan yang bisa dikembangkan lebih jauh, yang
perkembangannya sejalan dan berdampingan dengan dinamika sosial politiknya.
Bagaimanapun, pengaturan selengkap mungkin dan pokok-pokok hak-hak
asasi manusia diperlukan sebagai dasar perlindungan rakyat secara menyeluruh,
karena pergulatan pemikiran yang baik dan dipenuhi optimisme (sebagaimana
tergambar oleh fikiran salah satu pendiri bangsa, Drs. Soekarno, dalam merespon
UUD Tahun 1945) tidak selalu berbanding lurus dengan komitmen politik yang baik
dari generasi rezim yang satu ke rezim berikutnya.
Sebagaimana dikatakan oleh Daniel S Lev, bahwa perlulah diingat tanpa harus
mengatakan apa yang biasanya memang tak pernah dikatakan, bahwa
konstitusionalisme bukanlah suatu solusi yang jelas bagi banyak masalah serius yang
mendesak yang dihadapi oleh umat manusia. Konstitusionalisme tidak bisa
menghapuskan masalah kemiskinan ekonomi, atau diskriminasi sosial, atau
110 Attamimi ( 1990 : 50-64), dalam Satjipto Rahardjo, Manusia Indonesia dalam Hukum
Indonesia, diambil dari Kumpulan Tulisan,Sisi-Sisi Lain dari dari Hukum di Indonesia,
Penerbit Buku Kompas, Jakarta, Desember 2003,hlm. 39. .Sebagaimana dikutip dalam R
Herlambang Perdana Wiratraman, Konsesi Tanggung Jawab Negara dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal Hukum Yuridika Vol. 20.No 1 Januari 2005.

111 Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Indonesia, Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia ( YLBHI), Jakarta, 1988,hlm.175.
68
penyalahgunaan kekuasaan politik, begitu juga tidak bisa mengatasi ketidakcakapan,
kerakusan, dan kedunguan para pemimpin politik.112
Konstitutionalisme yang berwujud pada upaya penyejahteraan hak-hak warga
negara, belum cukup bila dipahami secara tekstual. Tetapi harus dilihat pula
bagaimana aras tafsir konteks dan implementasi tekstual yang melandasi pemerintah
dalam menjalankan mandat konstitusinya. Pasang surut pengaturan hak-hak asasi
manusia dalam konstitusi Indonesia merupakan dinamika politik ketatanegaraan,
khususnya dalam memahami perlunya paham atau ajaran konstitutionalisme yang
dikaitkan dengan upaya pemajuan hak-hak asasi manusia. Pelajaran berharga telah
diberikan oleh sejarah konstitusi Indonesia yang berganti dan berubah, sejak 1945
dengan disusunnya UUD, yang diganti dua kali, dengan Konstitusi RIS 1949 dan
UUDS 1950, kemudian kembali pada UUD 1945 setelah Dewan Konstituante gagal
dan secara inkonstitusional ‘di-amputasi’ kekuasaanya oleh Soekarno pada tahun
1959, dan perubahan UUD 1945 melalui 4 kali amandemen sejak 1999-2002, terjadi
atas kendali rezim politik penguasa. Kenyataan di lapangan menunjukkan,
implementasi atas upaya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak
asasi manusia pun kerapkali terhambat oleh proses politik mempertahankan
kekuasaannya, sebagaimana mencolok terjadi saat Orde Baru berkuasa.
Oleh sebab itu, mendorong pengaturan secara normatif dalam konstitusi
adalah penting, yang tidak kalah pentingnya dengan soal pelaksanaannya yang
melandasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan tidak berlebihan kiranya,
mendorong perubahan konstitusi yang berbasis pada upaya pemajuan hak-hak asasi
manusia akan menjadi mendesak sebagai dasar konstitutional. Meskipun dalam UUD
1945 pasca amandemen telah mengatur lebih baik hak asasi manusia, tetapi salah
satu yang penting untuk diatur ulang adalah memperkuat landasan tanggung jawab
hak asasi manusia yang harus dilakukan oleh pemerintah (state responsibility), yakni
soal kewajiban bertindak dan kewajiban untuk memaksimalkan sumberdayanya
untuk pemenuhan hak asasi manusia.
Kewajiban untuk bertindak dan memaksimalkan sumberdaya tersebut secara
hukum, akan memiliki makna lebih luas dari sekedar sarana hukum berbentuk
peradilan, ataupun juga sarana perlindungan hukum yang represif. Kewajiban
tersebut akan melekat pada seluruh penyelenggaran negara tanpa terkecuali,

112 Daniel S Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan,LP3ES,
Jakarta,1990. danPerubahan ,hlm.517. .Sebagaimana dikutip dalam R Herlambang Perdana
Wiratraman, Konsesi Tanggung Jawab Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal
Hukum Yuridika Vol. 20.No 1 Januari 2005.
69
sehingga karenanya negara dapat dimintakan tanggung jawab. Sebagaimana yang
disebutkan oleh Bagir Manan:
”Demokrasi yang berintikan kebebasan dan persamaan sering dikaitkan
dengan berbagai unsur dan mekanisme. Demikian pula paham negara
berdasarkan atas hukum. Salah satu ciri unsur itu adalah jaminan
perlindungan dan penghormatan HAM. Jaminan,perlindungan, dan
penghormatan HAM tidak mungkin tumbuh dan hidup secara wajar apabila
tidak ada demokrasi dan tidak terlaksananya prinsip-prinsip negara
berdasarkan hukum. Dari pendekatan ini dapat ditarik suatu dasar bahwa
demokrasi dan pelaksanaan prinsip-prinsip negara berdasarkan atas hukum
merupakan instrumen bahkan prasyarat bagi jaminan perlindungan dan
penegakan HAM. Oleh karena itu hubungan antara HAM, demokrasi, dan
prinsip-prinsip negara berdasarkan atas hukum harus dilihat dalam
hubungn keseimbangan yang ” simbiosis mutualistik”.113

Mendasarkan pada apa yang disampaikan oleh Bagir Manan, pentingnya hak
asasi manusia dalam suatu negara hukum menjadi sesuatu yang sangat penting dan
menjadi bagian yang tidak tepisahkan dari negara hukum. Indonesia sebagai negara
hukum mengakomodir ketentuan tersebut dalam berbagai ketentuan yang terdapat
dalam peraturan perundang-undangannya. Dimulai dengan Pembukaan undang-
Undang Dasar. Dalam alinea ke-1, yang menyatakan : Bahwa sesungguhnya
kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di
atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan.
”Alinea ini mengungkapkan suatu dalil obyektif yang meyakini bahwa
penjajahan tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan dan oleh
karenanya penjajahan harus ditentang dan dihapuskan agar semua bangsa di
dunia ini dapat menjalankan kemerdekaannya yang merupakan hak asasi
kolektifnya. Selain itu, alinea ini mengandung pernyataan subyektf, yaitu
sebagai wujd dai aspirasi bangsa Indonesia sendiri untuk membebaskan diri
dari penjajahan.Hal ini berarti bahwa setiap hak atau sifat yan bertentangan
atau tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan juga harus secara
sadar ditentang oleh bangsa Indonesia.”114
113 Bagir Manan, Perkembangan Pemikiran dan pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia,
Yayasan Hak Asasi Manusia, Demokrasi,dan Supremasi Hukum, Bandung 2001, hlm 58

114 Ibid,Hal 117


70
Apa yang disampaikan oleh Bagir Manan di atas tentunya sifat yang
bertentangan atau tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan
merupakan sesuatu yang secara universal dapat diterima sebagai suatu hak asasi
manusia yang bersifat universal. Alinea ke-4 dari Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 yang berbunyi :
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh Tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah
Kemerdekaan,Kebangsaan, Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia yang berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha
Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pembukaan alinea keempat menunjuka penghormatan terhadap HAM yang


tersurat dalam sila-sila dari Pancasilan yang ada dasarnya menunjukan bahwa nilai-
nilai partikular yang dianut oleh bangsa indonesia sejalan dengan nilai yang
dianggap oleh masyarakat internasional merupakan nilai-nilai universal. Otje Salman
mengatakan:
”Memahami Pancasila berarti menunjuk kepada konteks historis yang lebih
luas, namun tidak saja mengantarkannya kebelakang tentang sejarah ide,
tetapi lebih jauh mengarah kepada apa yang harus dilakukan pada masa
mendatang. Sehingga Pancasila di samping memiliki makna historis,
sekaligus memiliki makna barunya.”

Amandemen ke-2 dari Undang-Undang Dasar 1945 yang secara khusus


mengatur mengenai Hak Asasi manusia, dalam Pasal 28 semakin menegaskan
sebagai negara hukum Indonesia secara konstitusional merasa perlu untuk mengatur
hak asasi manusia dalam undang-undang dasarnya. Sebagaimana yang sudah kita
ketahui bersama bahwa negara hukum juga dimaksudkan sebagai salah satu upaya

71
untuk melindungi hak asasi manusia, dan negara hukum tentu saja tidak dapat
dipisahkan dari hak asasi manusia. Negara Indonesia sebagai suatu negara
hukum memberikan perlindungan kepada hak asasi manusia yang diatur baik
dalam Undang-Undang Dasar 1945 ataupun dalam peraturan perundang-undangan
lain di bawahnya

Pengaturan secara terinci mengenai hak asasi manusia yang tertuang dalam
Undang-Undang Dasar 1945, menunjukan pengakuan dan jaminan bahwa hak asasi
manusia diakui dan dilindungi. Selain pengaturan dalam undang-Undang dasar
1945 Indonesia juga memiliki Piagam Hak Asasi Manusia yang terdapat dalam TAP
MPR No XVII Tahun 1998 serta Undang-Undang No 39 tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia.

Dalam pandangan penulis dalam Undang-Undang No 39 Tahun 1999,


sekalipun dalam Bab III mengenai Hak Asasi Manusia dan Kebebasan dasar Manusia,
tetapi pada Bab II, yang berisikan Azaz-Azaz Dasar, menurut pandangan Penulis juga
berisikan apa saja Hak Asasi Manusia, yang semakin menunjukan pentingnya Hak
Asasi Manusia dalam negara hukum.

HAM sebagai bagian dari hukum internasional pada saat diimplementasikan


dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terkait dengan masalah politik, sosial
dan budaya. Pandangan ini diperkuat dengan hasil telaahan historis, yang kemudian
memperkokoh keyakinan bahwa masalah HAM, bukan semata-mata pemikiran
barat, tetapi merupakan persoalan yang nilai-nilainya terkait dengan dan mendasari
pergerakan kemerdekaan Indonesia. Dengan lain perkataan, substansi dan nilai-nilai
HAM memiliki akar yang dalam, didalam dialektika perjuangan bangsa ini sejak
sebelum kemerdekaan sampai sekarang.115
B.Hak Pemulihan Yang Efektif atas Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Hak untuk mendapatkan remedi atas pelanggaran hak asasi manusia
merupakan cerminan dari hak asasi manusia yang bersifat universal. Sebagaimana
disebutkan oleh Martha Meier:

“Impunitas adalah ketidakmampuan de jure dan de facto, untuk membawa


para pelaku kejahatan dan kekerasan untuk mempertanggungjawabkan
perbuatannya baik dalam proses persidangan pidana,perdata, administrasi

115 Adnan Buyung Nasution, Implementasi Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Supremasi
Hukum, Dalam Seminar Pembangunan Nasional VII/ Denpasar Bali 14-18 Juli 2003
72
atau disipliner karena mereka tidak tunduk pada penyidikan yang bias
mengarahkan mereka pada alas an mengapa mereka dituduh,ditangkap,
diadili dan, jika ditemukan bersalah, dihukum dengan hukuman yang tepat,
dan untuk melakukan reparasi bagi para korban. “ 116

Impunity dalam hukum internasional tidak dikenal, impunity adalah suatu


keadaan dimana pelaku tidak terjangkau oleh hukum, dan negara tidak menghukum
pelaku, sehingga pelaku tidak diminta pertanggungjawabannya atas pelanggaran
HAM yang dilakukannya. Sebagai konsekuensi dari adanya hak tersebut, sebagai
suatu hak yang bersifat universal, tentunya setiap pelanggaran hak asasi manusia,
harus dilakukan proses remedy yang tidak saja meliputi proses peradilan atas
pelanggaran HAM tersebut, tetapi juga dapat meliputi, rehabilitasi, restitusi dan
kompensasi.

Hal ini sesuai dengan ketentuan dan prinsip hukum hak asasi manusia
internasional yang secara prinsip dan praktik diakui pula oleh Indonesia, seperti Pasal
27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28I Ayat (2), prinsip dan ketentuan-ketentuan
yang terdapat dalam Basic Principles and Guidelines on The Right to A Remedy and
Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and
Serious Violations of International Humanitarian Law, C.H.R. Res. 2005/35, U.N. Doc.
E/CN.4/2005/L.10/Add.11, The Updated Set of Principles for the Protection and
Promotion of Human Rights through Action to Combat Impunity, U.N. Doc.
E/CN.4/2005/102/Add.1, serta konvensi-konvensi internasional yang telah diratifikasi
oleh Indonesia.

Bahwa sebagai Konstitusi Negara yang beradab, UUD 1945 sejalan dan
konsekuen dengan prinsip-prinsip yang telah diakui oleh bangsa-bangsa yang
beradab di seluruh dunia sebagaimana dinyatakan Pasal 55 dan 56 UN Charter;
Article 55
With a view to the creation of conditions of stability and well-being which are
necessary for peaceful and friendly relations among nations based on respect
for the principle of equal rights and self-determination of peoples, the United
Nations shall promote:
116 Martha Meier,The Scope of Impunity in Indonesia,Utrecht: HOM,2006 (terj.Indonesia oleh
Eddie Sius Riyadi, Jangkauan Impunitas di Indonesia, Jaringan Impunitas dan PBHI,2007),
Dalam Jurnal ASASI, Edisi mei-Juni Tahun 2008, Elsam,2008
73
a. higher standards of living, full employment, and conditions of economic
and social progress and development;
b. solutions of international economic, social, health, and related problems;
c. international cultural and educational co-operation; and
d. universal respect for, and observance of, human rights and fundamental
freedoms for all without distinction as to race, sex, language, or religion. 117
Article 56
All Members pledge themselves to take joint and separate action in co-
operation with the Organization for the achievement of the purposes set forth
in Article 55;118
Artinya:
Pasal 55
Dengan maksud terciptanya stabilitas dan keamanan yang diperlukan untuk
hubungan yang damai antar negara berdasarkan pronsop-prinsip persamaan hak
dan hak menentukan nasib sendiri, PBB harus mendukung:
a. Standar kehidupan yang lebih tinggi, pekerjaan, serta kondisi ekonomi
dan kemajuan sosial serta pembangunan;
b. Solusi atas masalah ekonomi internasional, sosial dan kesehatan;
c. Kerjasama budaya dan pendidikan; dan
d. Penghargaan universal dan pengamatan terhadap hak asasi manusia
dan kebebasan fundamental tanpa membedakan ras, kelamin, bahasa atau
agama.
Pasal 56
Seluruh Anggota berikrar untuk berpartisipasi dan mengambil tindakan bekerjasama
dengan Organisasi untuk mencapai tujuan-tujuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 55.

Pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violations of human rights)
yang merupakan kejahatan internasional, maka prinsip-prinsip dan pedoman yang
tercantum dalam Basic Principles and Guidelines on the Right to A Remedy and
Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and
Serious Violations of International Humanitarian Law (C.H.R. Res. 2005/35) harus
tercakup dalam ketentuan mengenai pemulihan menurut UUKKR, yakni yang
terdapat pada Pasal 27 UU tersebut. Ketentuan internasional tersebut memberikan
jaminan atas hak-hak korban, termasuk juga jaminan atas tiadanya diskriminasi,

117 Article 55 United Nations Charter

118 Artice 56 United nation Charter


74
jaminan atas persamaan di depan hukum, dan jaminan atas penghormatan martabat
manusia sebagaimana juga dijamin oleh UUD 1945.
Pasal 10 Basic Principles and Guidelines on the Right to A Remedy and
Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and
Serious Violations of International Humanitarian Law menyatakan bahwa:
Victims should be treated with humanity and respect for their dignity and
human rights, and appropriate measures should be taken to ensure their
safety, physical and psychological well being and privacy, as well as those of
their families. The State should ensure that its domestic laws, to the extent
possible, provide that a victim who has suffered violence or trauma should
benefit from special consideration and care to avoid his or her re
traumatization in the course of legal and administrative procedures designed
to provide justice and reparation;119
Artinya:
Pasal 10 menyebutkan:
Para korban harus diperlakukan dengan manusiawi dan menghormati harga diri dan
hak asasi manusia, dan langkah-langkah yang tepat harus diambil untuk menjamin
keselamatan dan kesehatan fisik dan psikis dan privasi, seperti halnya keluarga
mereka sendiri. Negara harus menjamin bahwa hukum domestiknya, sepanjang
memungkinkan, mengatur bahwa korban yang mengalami kekerasan atau trauma
harus diberikan pertimbangan khusus dan mencegah trauma dalam hal prosedur
hukum dan administrasiya yang dibuat untuk memberikan keadilan dan reparasi.

Aturan mengenai pemulihan ini harus mencakup prinsip kelayakan, efektivitas


dan proses yang cepat, serta menjamin bahwa korban mendapatkan akses menuju
keadilan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 11, Pasal 15, dan Pasal 17 Basic
Principles and Guidelines on the Right to A Remedy and Reparation for Victims of
Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations of
International Humanitarian Law.
Pasal 11:
Remedies for gross violations of international human rights law and serious
violations of international humanitarian law include the victim’s right to the
following as provided for under international law:
(a) Equal and effective access to justice;
(b) Adequate, effective and prompt reparation for harm suffered; and

119 Article 10, Basic Principles and Guidelines on the Right to A Remedy and Reparation for
Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations
75
(c) Access to relevant information concerning violations and
reparation Mechanism.120
Artinya:
Pasal 11 menyebutkan:
Remedi atas pelanggaran berat atas hukum hak asasi manusia internasional
dan pelanggaran serius atas hukum humaniter internasional meliputi hak
korban atas hal-hal berikut ini, sebagaimana diatur dalam hukum
internasional:
(a) Akses yang sama dan efektif pada keadilan;
(b) Reparasi yang cukup, efektif dan segera atas penderitaan yang dialami;
dan
(c) Akses pada informasi yang relevan terkait pelanggaran dan mekanisme
reparasi.

Pasal 15:
Adequate, effective and prompt reparation is intended to promote justice by
redressing gross violations of international human rights law or serious
violations of international humanitarian law. Reparation should be proportional
to the gravity of the violations and the harm suffered. In accordance with its
domestic laws and international legal obligations, a State shall provide
reparation to victims for acts or omissions which can be attributed to the State
and constitute gross violations of international human rights law or serious
violations of international humanitarian law. In cases where a person, a legal
person, or other entity is found liable for reparation to a victim, such party
should provide reparation to the victim or compensate the State if the State has
already provided reparation to the victim; 121
Artinya:
Pasal 15 menyebutkan:
Reparasi yang cukup, efektif dan segera ditujukan untuk mendorong keadilan
dengan memulihkan pelanggaran berat atas hukum hak asasi manusia
internasional atau pelanggaran serius atas hukum humaniter internasional.
Reparasi harus dibuat proporsional antara pelanggaran dan penderitaan yang
dialami. Sesuai dengan hukum nasionalnya dan kewajiban hukum

120 Article 11 Basic Principles and Guidelines on the Right to A Remedy and Reparation for
Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations

121 Article 15, Basic Principles and Guidelines on the Right to A Remedy and Reparation for
Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations
76
internasional, sebuah Negara harus memberikan reparasi kepada korban atas
tindakan atau penghilangan tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan
Negara dan mengandung pelanggaran berat atas hukum hak asasi manusia
internasional atau pelanggaran serius atas hukum humaniter internasional.
Dalam kasus dimana seseorang, subyek hukum, atau entitas lainnya
bertanggung jawab atas reparasi kepada seorang korban, pihak tersebut
harus memberikan reparasi kepada korban atau memberi kompensasi kepada
Negara jika Negara telah memberikan reparasi kepada korban tersebut.

Pasal 17:
States shall, with respect to claims by victims, enforce domestic judgements for
reparation against individuals or entities liable for the harm suffered and
endeavour to enforce valid foreign legal judgements for reparation in
accordance with domestic law and international legal obligations. To that end,
States should provide under their domestic laws effective mechanisms for the
enforcement of reparation judgements. 122

Artinya:
Pasal 17 menyebutkan:
Terkait dengan klaim oleh para korban, Negara-negara harus melaksanakan
putusan-putusan domestik untuk reparasi terhadap individu atau entitas yang
bertanggung jawab atas penderitaan yang dialami and berupaya untuk
melaksanakan putusan hukum asing yang sah untuk reparasi sesuai dengan
hukum domestik dan kewajiban hukum internasional. Untuk tujuan tersebut,
Negara harus mengatur dalam hukum domestiknya mengenai mekanisme
yang efektif untuk pelaksanaan putusan reparasi.

Penerapan dan interpretasi atas Prinsip-prinsip dan Pedoman-pedoman ini


harus konsisten dengan hukum hak asasi manusia internasional dan hukum
humaniter internasional serta tanpa diskriminasi atau alasan apapun, tanpa
pengecualian. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 25 Basic Principles and
Guidelines on the Right to A Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of
International Human Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian
Law, bahwa dalam hal pemberian pemulihan ini tidak diperbolehkan adanya
diskriminasi yakni:

122 Article 17 Basic Principles and Guidelines on the Right to A Remedy and Reparation for
Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations
77
“The application and interpretation of these Principles and Guidelines must be
consistent with international human rights law and international humanitarian
law and be without any discrimination of any kind or ground, without
exception;123
Selanjutnya Pasal 26 menegaskan Bahwa hak korban dan kewajiban Negara
dalam hal pemulihan tidak boleh dibatasi ataupun dikurangi dan harus mencakup
prinsip-prinsip di dalam Basic Principles and Guidelines on the Right to A Remedy and
Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and
Serious Violations of International Humanitarian Law yang berbunyi:
“Nothing in these Principles and Guidelines shall be construed as restricting or
derogating from any rights or obligations arising under domestic and
international law. In particular, it is understood that the present Principles and
Guidelines are without prejudice to the right to a remedy and reparation for
victims of all violations of international human rights law and international
humanitarian law. It is further understood that these Principles and Guidelines
are without prejudice to special rules of international la”; 124

Pasal 26 menyebutkan:
Tidak ada ketentuan dalam Prinsip-prinsip dan Pedoman-pedoman ini yang
dapat diartikan untuk membatasi atau mengurangi hak atau kewajiban yang
timbul berdasarkan hukum domestik dan internasional. Secara khusus, telah
dipahami bahwa Prinsip-prinsip dan Pedoman-pedoman yang berlaku saat ini
bersifat adil terhadap hak atas pemulihan dan reparasi untuk korban dari
seluruh pelanggaran hukum hak asasi manusia internasional dan hukum
humaniter internasional. Selanjutnya juga dipahami bahwa Prinsip-prinsip dan
Pedoman-pedoman ini bersifat adil terhadap aturan-aturan khusus dalam
hukum internasional.

Prinsip mengenai hak korban atas pemulihan dan kewajiban Negara memberi
pemulihan diakui oleh konvensi-konvensi Internasional yang telah diratifikasi oleh
Indonesia, yakni Konvensi Menentang Penyiksaan (Convention against Torture and
Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) melalui UU No. 5
Tahun 1998, Konvensi Anti Diskriminasi Rasial (Convention on the Elimination of All

123 Article 25 Basic Principles and Guidelines on the Right to A Remedy and Reparation for
Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations

124 Article 26 Basic Principles and Guidelines on the Right to A Remedy and Reparation for
Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations
78
Forms of Racial Discrimination) melalui UU No. 29 Tahun 1999 , dan Konvensi Hak
Anak (Convention on the Rights of Child) melalui Keppres No. 36 Tahun 1990 .
Hak korban atas pemulihan telah diakui pula dalam hukum nasional yang
tercantum dalam Pasal 35 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia, Pasal 14 huruf a dan huruf b Konvensi Anti Penyiksaan, Pasal 6 Konvensi
Anti Diskriminasi Rasial, dan Pasal 9 Konvensi Hak Anak;
Bahwa Pasal 14 Konvensi Menentang Penyiksaan menyebutkan:
1. Setiap Negara Pihak harus menjamin agar dalam sistem hukumnya
korban dari suatu tindak penyiksaan memperoleh ganti rugi dan mempunyai
hak untuk mendapatkan kompensasi yang adil dan layak, termasuk sarana
untuk rehabilitasi sepenuh mungkin. Dalam hal korban meninggal dunia
sebagai akibat tindak penyiksaan, ahli warisnya berhak mendapatkan
kompensasi;
2. Dalam pasal ini tidak ada apapun yang boleh mengurangi hak korban
atau orang lain atas ganti kerugian yang mungkin telah diatur dalam hukum
nasional;125

Bahwa Pasal 6 Konvensi Anti Diskriminasi Rasial menyebutkan :


Negara-negara pihak akan menjamin perlindungan dan perbaikan yang efektif
bagi setiap orang berada di bawah yurisdiksinya melalui pengadilan nasional
yang berwenang serta lembaga-lembaga Negara lainnya terhadap setiap
tindakan diskriminasi rasial yang melanggar hak-hak asasi manusia dan
kebebasan mendasarnya yang bertentangan dengan Konvensi ini, serta hak
atas ganti rugi yang memadai atau memuaskan dari pengadilan tersebut atas
segala bentuk kerugian yang diderita akibat perlakuan diskriminasi itu 126.

Penjelasan UU No. 29 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan


Seluruh Bentuk Diskriminasi Rasial dinyatakan, negara pihak juga harus menjamin
perlindungan dan perbaikan yang efektif bagi setiap orang yang berada di bawah
yuridiksinya terhadap setiap tindakan diskriminasi rasial serta hak atas ganti rugi
yang memadai dan memuaskan atas segala bentuk kerugian yang diderita akibat
perlakuan diskriminasi.
”Pasal 39 Konvensi Hak Anak menyebutkan : Negara-negara pihak harus
mengambil semua langkah yang tepat untuk meningkatkan penyembuhan
fisik dan psikologis dan integrasi kembali sosial seorang anak yang menjadi
125 Pasal 14 Konvensi Menentang Penyiksaan

126 Pasal 6 Konvensi Anti Diskriminasi Rasial


79
korban bentuk penelantaran apa pun, … 127
. Melalui ratifikasi konvensi
internasional di atas, secara otomatis negara Indonesia telah mengakui hak
atas pemulihan dan kewajiban negara memberikan pemulihan. Dengan
demikian, hak atas pemulihan (right to reparation), yang terdiri dari
kompensasi, restitusi dan rehabilitasi adalah hak yang melekat pada korban.
Dalam hal ini, Negara berkewajiban untuk memberikan pemulihan kepada
korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat tanpa ada kaitannya
apakah pelakunya diberikan amnesti atau tidak. Bahkan tidak bergantung
pula pada apakah pelakunya dapat ditemukan atau tidak, hal ini sejalan
dengan Basic Principles and Guidelines on the Right to A Remedy and
Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law
and Serious Violations of International Humanitarian Law, C.H.R. Res.
2005/35, dikatakan bahwa “Seseorang dipandang sebagai korban tanpa
bergantung pada apakah pelakunya teridentifikasi, ditahan, dituntut, ataupun
dinyatakan bersalah …”: (Pasal 9). Berikut bunyi teks asli pasal tersebut:
A person shall be considered a victim regardless of whether the perpetrator of
the violation is identified, apprehended, prosecuted, or convicted and
regardless of the familial relationship between the perpetrator and the
victim.128
Artinya:
Seseorang akan dianggap sebagai korban tanpa memandang apakah pelaku
pelanggaran tersebut teridentifikasi, ditangkap, dituntut, atau dihukum dan
tanpa memandang hubungan kekeluargaan antara pelaku dengan korban. “

Bahwa selanjutnya Basic Principles and Guidelines on the Right to A Remedy and
Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and
Serious Violations of International Humanitarian Law ini juga menyatakan bahwa
Negara berkewajiban untuk: “Menyediakan akses pada keadilan (access to justice)
yang layak dan efektif kepada mereka yang mengklaim sebagai korban dari
pelanggaran hak asasi manusia yang berat atau hukum humaniter, tanpa
memandang siapa yang menjadi penanggung jawab utama atas kejahatan tersebut”
(Pasal 3). Sebagaimana tertulis secara lengkap sebagai berikut:

127 Pasal 39 Konvensi Hak Anak

128 Article 9, Basic Principles and Guidelines on the Right to A Remedy and Reparation for
Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations
80
“The obligation to respect, ensure respect for and implement international human
rights law and international humanitarian law as provided for under the
respective bodies of law, includes, inter alia, the duty to:
(a) Take appropriate legislative and administrative and other appropriate
measures to prevent violations;
(b) Investigate violations effectively, promptly, thoroughly and impartially and,
where appropriate, take action against those allegedly responsible in
accordance with domestic and international law;
(c) Provide those who claim to be victims of a human rights or humanitarian law
violation with equal and effective access to justice, as described below,
irrespective of who may ultimately be the bearer of responsibility for the
violation; and
(d) Provide effective remedies to victims, including reparation, as described
below;129
Artinya:
Kewajiban untuk menghormati, menjamin penghormatan dan implementasi
atas hukum hak asasi manusia internasional dan hukum humaniter
internasional sebagaimana diatur dalam perangkat hukum tersebut meliputi,
antara lain, tugas untuk:
(a) Mengambil langkah legislatif dan administratif yang sesuai untuk
mencegah pelanggaran;
(b) Melakukan investigasi atas pelanggaran secara efektif, segera, cermat
dan adil serta, dimana memungkinkan, mengambil tindakan terhadap mereka
yang bertanggung jawab sesuai dengan hukum domestik dan internasional;
(c) Memberikan akses yang efektif kepada keadilan kepada mereka yang
mengklaim sebagai korban pelanggaran hukum hak asasi manusia atau
hukum humaniter, sebagaimana dijelaskan di bawah ini, tanpa melihat siapa
yang pada akhirnya memikul tanggung jawab atas pelanggaran tersebut; dan
(d) Memberikan pemulihan yang efektif kepada korban, termasuk reparasi,
sebagaimana dijelaskan di bawah ini.
Kewajiban negara atas pemulihan ini telah diakui sebagai prinsip hukum
internasional dan bahkan konsepsi hukum umum berdasarkan pada kasus utama
Mahkamah Internasional (Permanent Court of International Justice), yakni kasus
Chorzow Factory tahun 1927 dan 1928 (Factory at Chorzow, Jurisdiksi, Putusan No. 8,

129 Article 3, Basic Principles and Guidelines on the Right to A Remedy and Reparation for
Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations
81
1927, P.C.I.J., Seri A, No. 9, dan Factory at Chorzów, Merit, Putusan No. 13, 1928,
P.C.I.J., Seri A, No. 17).
Mengingat hak pemulihan adalah kewajiban negara, maka pemenuhan hak atas
pemulihan ini dilakukan oleh negara dan pemenuhan hak ini tidak terikat pada
kondisi lain, misalnya ada tidaknya penghukuman maupun pengampunan (amnesti)
kepada pelaku;
Perserikatan Bangsa-Bangsa juga telah mengadopsi the Updated Set of
Principles for the Protection and Promotion of Human Rights through Action to
Combat Impunity, UN Doc. E/CN.4/2005/102/Add.1. Salah satu tujuan penting
Kumpulan Prinsip ini adalah untuk menjadi pedoman bagi komisi kebenaran.
Ditegaskan dalam Prinsip 31, bahwa :
“[a]ny human rights violation gives rise to a right to reparation on the part of the
victim or his or her beneficiaries, implying a duty on the part of the State to make
reparation...”130

Artinya:
“pelanggaran hak asasi manusia apapun memberikan hak untuk reparasi di
sisi korban atau ahli warisnya, yang menyiratkan kewajiban pada sisi Negara
untuk membuat reparasi…”
“…dalam melaksanakan hak ini, mereka harus diberikan perlindungan
terhadap intimidasi dan kekerasan.”
Amnesti tidak dapat disetujui untuk pelaku pelanggaran sebelum para korban
memperoleh keadilan dengan cara pemulihan yang efektif. Amnesti tidak boleh
memiliki efek hukum terhadap persidangan apapun yang diajukan korban terkait hak
atas reparasi,tidak boleh mengambil keuntungan dari hukum amnesty khusus atau
tindakan sejenis yang mungkin memiliki efek membebaskan mereka dari
persidangan pidana atau sanksi.
Beberapa Negara telah memberikan amnesty terkait tindakan penyiksaan.
Amnesti secara umum tidak sesuai dengan kewajiban Negara untuk menginvestigasi
tindakan-tindakan tersebut.”
Selanjutnya, Prinsip 32 dalam dokumen tersebut di atas tentang Reparation
Procedures menegaskan bahwa : “…in exercising this right, they shall be afforded
protection against intimidation and reprisals.”131

130 Prinsip 31, the Updated Set of Principles for the Protectionand Promotion of Human Rights
through Action to Combat Impunity tersebut mengenai the Right and Duties Arising Out of
the Obligation to Make Reparation,
82
Dokumen sebelumnya yang juga memuat Kumpulan Prinsip Perlindungan Hak Asasi
Manusia, The Administration of Justice and the Human Rights of Detainees: The
Question of the Impunity of Perpetrators of Human Rights Violations (Civil and
Political), E/CN.4/Sub.2/1997/20, (Joinet Principles) , dalam lampirannya pada
Paragraf 32 dari ditegaskan bahwa:
“Amnesty cannot be accorded to perpetrators of violations before the victims have
obtained justice by means of an effective remedy. It must have no legal effect on
anyproceedings brought by victims relating to the right to reparation”.

Di tahun 1992, Sidang Umum PBB secara tegas menolak amnesti untuk
pelanggaran hak asasi manusia yang berat (sebagaimana dimaksud UU Nomor 27
Tahun 2004) dengan mengadopsi Declaration on the Protection of All Persons from
Enforced Disappearance, yang menyatakan bahwa bagi mereka yang bertanggung
jawab atas kejahatan ini "shall not benefit from any special amnesty law or similar
measures that might have the effect of exempting them from any criminal proceedings
or sanction."
Komisi Hak Asasi Manusia PBB dalam General Comment 20 Pasal 7 (Kovenan
Hak Sipil dan Politik) menyatakan bahwa

"that some States have granted amnesty in respect of acts of torture. Amnesties
are generally incompatible with the duty of the States to investigate such acts”
(General Comment 20 concerning Article 7, replaces General Comment 7
concerning Prohibition of Torture and Cruel Treatment or Punishment);

Laporan Sekjen PBB mengenai pembentukan Pengadilan Khusus untuk Sierra Leone
S/200/915), 4 Oktober 2000 dalam paragraph 22-24 menyatakan sebagai berikut:
While recognizing that amnesty is an accepted legal concept and a gesture of
peace and reconciliation at the end of a civil war or an internal armed conflict,
4 the United Nations has consistently maintained the position that amnesty
cannot be granted in respect of international crimes, such as genocide, crimes
against humanity or other serious violations of international humanitarian law.
At the time of the signature of the Lomé Peace Agreement, the Special
Representative of the Secretary-General for Sierra Leone was instructed to
append to his signature on behalf of the United Nations a disclaimer to the

131 Prinsip 32, the Updated Set of Principles for the Protectionand Promotion of Human Rights
through Action to Combat Impunity tersebut mengenai the Right and Duties Arising Out of
the Obligation to Make Reparation,
83
effect that the amnesty provision contained in article IX of the Agreement ("
absolute and free pardon") shall not apply to international crimes of genocide,
crimes against humanity, war crimes and other serious violations of
international humanitarian law. This reservation is recalled by the Security
Council in a preambular paragraph of resolution 1315 (2000).
In the negotiations on the Statute of the Special Court, the Government of Sierra
Leone concurred with the position of the United Nations and agreed to the
inclusion of an amnesty clause which would read as follows: "An amnesty
granted to any person falling within the jurisdiction of the Special Court in
respect of the crimes referred to in articles 2 to 4 of the present Statute shall not
be a bar to prosecution." With the denial of legal effect to the amnesty granted
at Lomé, to the extent of its illegality under international law, the obstacle to
the determination of a beginning date of the temporal jurisdiction of the Court
within the pre-Lomé period has been removed; 132
Artinya:
Sementara diakui bahwa amnesti adalah konsep hukum yang diterima dan
pertanda perdamaian dan rekonsiliasi pada akhir perang sipil atau konflik
bersenjata internal, PBB secara konsisten telah berpendapat bahwa amnesti
tidak dapat diberikan untuk kejahatan internasional, seperti genosida,
kejahatan terhadap kemanusiaan atau pelanggaran serius lainnya dalam
hukum humaniter internasional.
Pada saat penandatanganan Perjanjian Perdamaian Lome, Perwakilan Khusus
dari Sekretaris Jenderal untuk Sierra Leone diperintahkan untuk memberikan
tanda tangannya atas nama PBB yang mengatur bahwa ketentuan amnesti
dalam pasal IX Perjanjian tersebut (“absolut dan bebas dari maaf”) tidak akan
diberlakukan untuk kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan,
kejahatan perang dan pelanggaran serius lainnya terhadap hukum humaniter
internasional. Persyaratan ini diulang oleh Dewan Keamanan dalam paragraph
pembukaan dari resolusi 1315 (2000).
Dalam negosiasi-negosiasi Statuta dari Pengadilan Khusus, Pemerintah Sierra
Leone menyetujui pendapat PBB dan menyetujui untuk memasukkan pasal
amnesti sebagai berikut: “sebuah amnesti yang diberikan kepada siapapun
dalam yurisdiksi Pengadilan Khusus terkait kejahatan yang disebut dalam
Pasal 2 sampai 4 Statuta ini tidak akan menghalangi penuntutan.” Dengan
penyangkalan atas efek hukum dari amnesti yang diberikan di Lome,

132 Laporan Sekjen PBB mengenai pembentukan Pengadilan Khusus untuk Sierra Leone
S/200/915), 4 Oktober 2000 dalam paragraph 22-24
84
sepanjang tidak sah berdasarkan hukum internasional, hambatan untuk
menentukan tanggal permulaan dari yurisdiksi sementara dari Pengadilan
dalam periode sebelum Lome telah ditiadakan.

Selanjutnya Laporan Sekjen PBB tentang The Rule of Law and Transitional
Justice in Conflict and Post-Conflict Societies, (S/2004/616), 23 Agustus 2004,
menyebutkan bahwa amnesti yang diberikan secara hati-hati dapat membantu
pengembalian dan integrasi kembali dari kedua kelompok dan harus didorong,
walaupun seperti disebut di atas, hal ini tidak diijinkan dalam hal genosida, kejahatan
perang, kejahatan terhadap kemanusiaan atau pelanggaran berat hak asasi manusia
(Paragraf 32). Laporan Sekjen PBB tersebut juga menyatakan hal-hal sebagai berikut :
United Nations-endorsed peace agreements can never promise amnesties
for genocide, war crimes, crimes against humanity or gross violations of
human rights (Paragraph 10);133
Artinya:
Perjanjian-perjanjian perdamaian PBB tidak akan pernah bisa menjanjikan
amnesti untuk genosida, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan
atau pelanggaran berat hak asasi manusia (Paragraf 10);
Carefully crafted amnesties can help in the return and reintegration of
both groups and should be encouraged, although, as noted above, these
can never be permitted to excuse genocide, war crimes, crimes against
humanity or gross violations of human rights (Paragraph 32);134
Artinya:
Amnesti yang dibuat dengan hati-hati pada akhirnya dapat mengembalikan
dan mengintegrasikan kembali kedua kelompok dan harus didukung,
walaupun dikatakan di atas, hal ini tidak dapat diijinkan untuk
mengecualikan genosida, kejahatan perang, kejahatan atas kemanusiaan
atau pelanggaran berat hak asasi manusia (Paragraf 32).
Reject any endorsement of amnesty for genocide, war crimes, or crimes
against humanity, including those relating to ethnic, gender and
sexually based international crimes, ensure that no such amnesty
previously granted is a bar to prosecution before any United Nations-
created or assisted court (Paragraf 64 point [c]).

133Paragraph 10, The Rule of Law and Transitional Justice in Conflict and Post-Conflict
Societies, (S/2004/616), 23 Agustus 2004,

134 Paragraph 32,The Rule of Law and Transitional Justice in Conflict and Post-Conflict
Societies, (S/2004/616), 23 Agustus 2004,
85
Artinya:
Menolak dukungan pemberian amnesti untuk genosida, kejahatan perang,
kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk terkait etnik, gender dan
kejahatan berorientasi jenis kelamin, menjamin bahwa tidak ada amnesti yang
sebelumnya diberikan menjadi penghalang untuk menuntuk di pengadilan
PBB (Paragraf 64 butir [c]).

Argentina, Sierra Leone dan negara-negara lainnya menyarankan, bahwa ada


alasan-asalan kehati-hatian dan prinsip bagi Negara untuk menolak permintaan
amnesti yang melanggar kewajiban internasionalnya, walaupun jika kondisi tidak
mengijinkan Negara tersebut untuk segera melakukan tuntutan. Bahkan dalam
Independent Study on Best Practices, Including Recommendations, to Assist States In
Strengthening Their Domestic Capacity to Combat All Aspects Of Impunity
(E/CN.4/2004/88), 27 Februari 2004 pada Paragraf 32 menyatakan sebagai berikut:
As developments in Argentina, Sierra Leone and other countries suggest, there
are prudential as well as principled reasons for States to resist demands for
amnesties that violate their international obligations, even if conditions do not
permit them to undertake prosecutions immediately. 135

Sebagai pembangunan di Argentina, Sierra Leone dan negara-negara lainnya


menyarankan, bahwa ada alasan-asalan kehati-hatian dan prinsip bagi Negara untuk
menolak permintaan amnesti yang melanggar kewajiban internasionalnya, walaupun
jika kondisi tidak mengijinkan Negara tersebut untuk segera melakukan tuntutan.
Pada Paragraf 28 sampai Paragraf 32, Laporan ini juga memuat daftar sumber-
sumber hukum termasuk putusan-putusan pengadilan yang menguatkan posisi
larangan terhadap amnesti untuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Kasus-
kasus ini menunjukkan bahwa masyarakat hukum di berbagai belahan dunia telah
mempraktikkan prinsip menentang amnesti bagi pelaku pelanggaran hak asasi
manusia yang berat.
Daftar sumber-sumber hukum di atas lalu dikuatkan kembali dan dilengkapi
dalam Report of the Independent Expert to Update the Set of Principles to Combat
Impunity (E/CN.4/2005/102), 18 Februari 2005, Paragraf 50-51.
Selain itu the Updated Set of Principles for the Protection and Promotion of
Human Rights through Action to Combat Impunity (E/CN.4/2005/102/Add.1) secara

135 Paragraph 32, Independent Study on Best Practices, Including Recommendations, to Assist
States In Strengthening Their Domestic Capacity to Combat All Aspects Of Impunity
(E/CN.4/2004/88), 27 Februari 2004
86
tegas memberikan pedoman bagi Negara-negara termasuk badan-badan peradilan
dalam menentukan sikapnya mengenai impunity. Prinsip 24 mengenai Restrictions
and Other Measures Relating to Amnesty menyatakan sebagai berikut:
Even when intended to establish conditions conducive to a peace agreement or to
foster national reconciliation, amnesty and other measures of clemency shall be
kept within the following bounds :
(a) The perpetrators of serious crimes under international law may not
benefit from such measures until such time as the State has met the
obligations to which principle 19 refers or the perpetrators have been
prosecuted before a court with jurisdiction – whether international,
internationalized or national - outside the State in question;
(b) Amnesties and other measures of clemency shall be without effect with
respect to the victims’ right to reparation, to which principles 31 through 34
refer, and shall not prejudice the right to know;
(c) Insofar as it may be interpreted as an admission of guilt, amnesty cannot
be imposed on individuals prosecuted or sentenced for acts connected with the
peaceful exercise of their right to freedom of opinion and expression. When
they have merely exercised this legitimate right, as guaranteed by articles 18
to 20 of the Universal Declaration of Human Rights and 18, 19, 21 and 22 of
the International Covenant on Civil and Political Rights, the law shall consider
any judicial or other decision concerning them to be null and void; their
detention shall be ended unconditionally and without delay;
(d) Any individual convicted of offences other than those to which paragraph
(c) of this principle refers who comes within the scope of an amnesty is entitled
to refuse it and request a retrial, if he or she has been tried without benefit of
the right to a fair hearing guaranteed by articles 10 and 11 of the Universal
Declaration of Human Rights and articles 9, 14 and 15 of the International
Covenant on Civil and Political Rights, or if he or she was convicted on the
basis of a statement established to have been made as a result of inhuman or
degrading interrogation, especially under torture 136.
Artinya;
Prinsip 24:
Walaupun bertujuan untuk membangun kondisi yang kondusif terhadap
perjanjian perdamaian atau untuk melindungi rekonsiliasi nasional, amnesti

136 Prinsip 24,Updated Set of Principles for the Protection and Promotion of Human Rights
through Action to Combat Impunity (E/CN.4/2005/102/Add.1)
87
dan tindakan pengampunan lainnya harus dijaga dalam batasan-batasan
sebagai berikut:
(a) Pelaku kejahatan serius dalam hukum internasional tidak boleh
mendapatkan keuntukan dari tindakan tersebut sampai ketika Negara telah
memenuhi kewajibannya sesuai prinsip 19 atau pelaku telah dituntut di
pengadilan dengan yurisdiksi – apakah internasional, yang diinternasionalisasi
atau nasional – di luar Negara tersebut;
(b) Amnesti dan tindakan pengampunan lainnya tidak boleh
mempengaruhi hak korban atas reparasi, sesuai prinsip 31 sampai 34, dan
tidak boleh menyimpang dari hak untuk mengetahui;
(c) Sepanjang diinterpretasikan sebagai pengakuan atas kesalahan,
amnesti tidak boleh diberikan pada individu yang dituntut atau dihukum
karena tindakan terkait dengan pelaksanaan hak atas kebebasan berpendapat
dan ekspresi. Ketika mereka melaksanakan hak yang sah ini, sebagaimana
dijamin oleh Pasal 18 sampai 20 dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
dan pasal 18, 19, 21 dan 22 International Covenant on Civil and Political
Rights, hukum harus mempertimbangkan keputusan lainnya yang
mengganggap batal demi hukum; penahanan mereka harus diakhiri tanpa
syarat dan penundaan;
(d) Individu yang dihukum atas pelanggaran selain yang disebutkan dalam
paragraph (c) prinsip ini yang termasuk dalam kategori amnesti berhak untuk
menolak dan memohon persidangan kembali, jika telah disidang tanpa hak
atas persidangan yang adil berdasarkan pasal 10 dan 11 dari Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia dan Pasal 9, 14 dan 15 International Covenant on
Civil and Political Rights, atau jika dihukum berdasarkan pernyataan yang
dibuat karena interogasi yang tidak manusiawi atau merendahkan, khususnya
di bawah siksaan.

Selanjutnya, Resolusi Komisi Hak Asasi Manusia PBB, (Resolution : 2004/72,


Impunity, E/CN.4/RES/2004/72), 21 April 2004, (Bukti P-28) dalam Point 3 juga
menegaskan sebagai berikut :
…amnesties should not be granted to those who commit violations of human
rights and international humanitarian law that constitute crimes, urges States to
take action in accordance with their obligations under international law and

88
welcomes the lifting, waiving, or nullification of amnesties and other immunities;
137

Artinya:
“...amnesti tidak boleh diberikan kepada mereka yang melakukan pelanggaran
atas hak asasi manusia dan hukum humaniter internasional yang mengatur
kejahatan, mewajibkan Negara untuk mengambil tindakan sesuai dengan
kewajibannya berdasarkan hukum internasional dan mendukung pengangkatan,
pengesampingan atau pembatalan amnesti dan kekebalan lainnya.”

Selain dari badan PBB, larangan amnesti terhadap pelanggaran hak asasi
manusia yang berat ini juga ditegaskan dalam yurisprudensi dari berbagai
pengadilan di dunia. Dalam kasus di Pengadilan Internasional untuk Yugoslavia
(ICTY), putusan majelis Banding kasus Penuntut v. Furundzija, 10 Desember 1998,
menilai bahwa domestik amnesti yang meliputi kejahatan-kejahatan, seperti
penyiksaan, yang memiliki status jus cogens tidak akan mendapat pengakuan
internasional secara legal. (Paragraph 155) Berdasarkan hal tersebutlah maka
kejahatan penyiksaan yang telah mendapatkan amnesti tetap diadili oleh pengadilan
internasional.
Yurisprudensi Pengadilan Hak Asasi Manusia Inter-American secara konsisten
menegaskan sikapnya yang melarang amnesti bagi pelanggaran hak asasi manusia
berat, antara lain dalam kasus Barios Altos (Barios Altos case, IACHR, Vol. 75, Series
C), 14 Maret 2001 2000 pada Point 4 putusan, pengadilan menyatakan bahwa
amnesti “bertentangan dengan Konvensi Hak Asasi Manusia Amerika, akibatnya tidak
mempunyai efek hukum” (to find that amnesty laws no. 26479 and no. 26492 are
incompatible with the american convention on human rights and, consequently, lack
legal effect). Dalam salah satu pertimbangannya Majelis Hakim kasus Barrios Altos
tersebut menyatakan sebagai berikut:
“This Court considers that all amnesty provisions, provisions on prescription and
the establishment of measures designed to eliminate responsibility are
inadmissible, because they are intended to prevent the investigation and
punishment of those responsible for serious human rights violations such as
torture, extrajudicial, summary or arbitrary execution and forced disappearance,
all of them prohibited because they violate non-derogable rights recognized
by international human rights law. (Paragraf 41)

137 Point 3, Resolusi Komisi Hak Asasi Manusia PBB, (Resolution : 2004/72, Impunity,
E/CN.4/RES/2004/72), 21 April 2004, (Bukti P-28) .
89
Pengadilan menganggap bahwa seluruh ketentuan amnesti, ketentuan
pemulihan dan pengambilan tindakan yang dibuat untuk membatasi
tanggungjawab adalah tidak diakui, karena hal tersebut dimaksudkan untuk
mencegah investigasi dan hukuman bagi mereka yang bertanggung jawab atas
pelanggaran hak asasi manusia yang serius seperti penyiksaan, di luar
pengadilan, eksekusi singkat atau sementara dan penghilangan yang
dipaksakan, seluruhnya dilarang karena melanggar hak yang tidak bisa dibatasi
yang diakui oleh hukum hak asasi internasional. (Paragraf 41).
Putusan Pengadilan yang menyatakan amnesti bagi pelaku pelanggar hak
asasi manusia yang berat dilarang dan berakibat tidak memiliki efek hukum kembali
dipertegas oleh berbagai putusan pengadilan, antara lain : Trujillo Oroza v. Bolivia,
(IACHR), Reparations, Judgement, 27 February 2002, Vol. 92, Serie C, paragraf 160; El
Caracazo case v. Venezuela, (IACHR), Reparations, Judgment, 29 August 2002, Vol. 95,
Serie C, paragraf 119; Myrna Mack Chang v. Guatemala case, (IACHR), Judgement, 25
November 2003, Vol. 101, Serie C, paragraf 276.
Selain sumber hukum di atas, Prinsip Princeton tentang Yurisdiksi Universal
pada Prinsip 7 (1) menyatakan bahwa: Amnesties are generally inconsistent with the
obligation of states to provide accountability for serious crimes under international law
as specified in Principle in 2(1).” Artinya, “Amnesti secara umum tidak konsisten
dengan kewajiban Negara untuk menyediakan tanggung jawab atas kejahatan-
kejahatan serius berdasarkan hukum internasional sesuai Prinsip 2 (1).”
Tidak hanya itu, Indonesia juga terikat dengan Konvensi Internasional yang
telah diratifikasi yang memuat larangan amnesti bagi pelaku pelanggaran hak asasi
manusia yang berat. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan
melalui UU No. 5 Tahun 1998. Konvensi Menentang Penyiksaan memberikan
kewajiban kepada Negara peserta untuk menghukum pelaku penyiksaan, dimana
tindak pidana penyiksaan ini termasuk ke dalam bagian pelanggaran hak asasi
manusia yang berat sebagaimana dimaksud UU No. 27 Tahun 2004 jo UU No. 26
Tahun 2000.
Genosida, penghilangan paksa dan tindak penyiksaan telah diakui sebagai jus
cogens atau peremptory norms. Oleh karena itu, bagi pelaku pelanggaran berat
tersebut berlaku universal jurisdiction. Contohnya pada putusan kasus Augusto
Pinochet di Spanyol dan Inggris yang menegaskan keberlakuan universal jurisdiction
bagi tindak penyiksaan. Dengan melekatnya norma jus cogens ini maka pelakunya
dinyatakan sebagai hostis humanis generis atau musuh segala umat manusia, serta
menjadi kewajiban negara untuk melakukan penuntutan (obligatio erga omnes).

90
Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Tahun 2004 telah
gagal untuk memenuhi tugas Indonesia sebagai Negara dan gagal untuk
menghormati hak dari korban, keluarga dan juga masyarakat Indonesia berdasarkan
Hukum HAM Internasional. Hal ini ada 3 (tiga) cara:
1. Telah gagal menginvestigasi dan mengemukakan kebenaran tentang
Kasus manapun yang sehubungan dengan genosida dan kejahatan
terhadap kemanusian sebelum tahun 2000.
2. Karena gagal untuk memberikan reparasi kepada korban dan Keluarganya.
3. Telah gagal untuk menuntut dan secara layak menghukum para pelakunya.
Karena Indonesia merupakan anggota PBB dan juga Indonesia bagian dari
piagam PBB karena merupakan suatu treaty atau perjanjian yang mengikat negara-
negara. Berdasarkan Pasal 55 dan 56 dari piagam PBB semua negara bertanggung
jawab terhadap HAM, berdasarkan perjanjian hukum internasional, suatu perjanjian
itu harus diterjemahkan sebagai tindakan yang harus dilakukan oleh negara, sebagai
tindakan kelanjutan yang harus dilakukan oleh negara, dimana mensyaratkan
adanya reparasi bagi setiap pelanggaran hak internasional, negara memiliki
kewajiban untuk melakukan investigasi yang tuntas dan efektif, memberikan
pemulihan yang efektif kepada korban, menuntut dan menghukum pelaku, serta
korban dan juga keluarganya memiliki hak untuk kebenaran atau mengetahui
tentang kebenaran, serta memiliki hak untuk keadilan di dalam bentuk penuntutan
dan juga penghukuman terhadap pelaku. Selain itu investigasi diharuskan untuk
tuntas, efektif, dan bisa teridentifikasi.
Ruang lingkup dari pemulihan yang efektif itu harus termasuk di dalamnya
tidak saja hanya akses keadilan, tetapi harus meliputi 5 (lima) elemen:
1. Restitusi, yaitu merupakan restitusi dari hak milik atau juga nama baik
dari si Korban;
2. Kompensasi, dalam bentuk uang bagi kerugian-kerugian;
3. Rehabilitasi, termasuk jasa medis atau juga jasa psikologis;
4. Tidakan-tindakan untuk memuaskan, termasuk didalamnya adalah
Pengakuan oleh publik bahwa ini memang merupakan tanggung jawab
negara dan juga permintaan maaf secara umum yang dilakukan oleh
pejabat dalam jabatan yang cukup tinggi;
5. Jaminan, bahwa ini tidak akan terulang lagi atau non repetisi.
Pelanggaran umum yang ada di dalam Undang-Undang ini adalah masalah
penuntutan dan juga penghukuman. Hukum internasional secara umum sebenarnya
mendukung amnesti, tetapi ada pembatasan bagi pemberian amnesti berdasarkan
hukum internasional, dan pembatasan tersebut berlaku secara khusus bagi genosida

91
dan kejahatan terhadap kemunusiaan, dimana sebenarnya ini merupakan subjek dari
Undang-Undang Komisi Kebenaran. Beberapa sumber yang berbeda-beda
memberikan larangan yang berbeda-beda atau pembatasan yang beda-beda pula
terhadap amnesti. Oleh karena itu, hak atas pemulihan merupakan hak yang melekat
pada korban yang tidak tergantung pada amnesti terlepas dari apakah pelakunya
ditemukan atau tidak dan Negara berkewajiban untuk memenuhi hak korban
tersebut.
C. Hak Asasi Manusia dan Hukum Pembangunan

Berbicara mengenai Pembangunan Hukum tidak dapat melepaskan diri dari


Garis-Garis Besar Haluan Negara tahun 1973 bidang hukum, yang isinya bahwa
hukum tidak boleh menghambat proses modernisasi, dan Garis-Garis Besar Haluan
Negara tahun 1983 Bidang Hukum yang isinya antara lain bahwa hukum dapat
berfungsi sebagai sarana pembaharuan masyarakat.
Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa hukum tidaklah semata-mata
merupakan gejala normatif, tetapi juga merupakan gekala sosial, karena itu hukum
yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (
living law ) .138Dalam suatu masyarakat yang berkembang, hukum berfungsi sebagai
sarana pembangunan ( Law as a tool of Social Engineering), pengertiannya adalah
sebagai berikut : (1) keteraturan atau ketertiban dalam usaha pembangunan atau
pembaharuan merupakan sesuatu yang diinginkan atau bahkan dipandang perlu;(2)
hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum bisa berfungsi sebagai alat
( pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti penyalur ke arah kegiatan manusia
ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan dan pembaharuan. 139
Dalam hal ini
teori hukum pembangunan dapat ditafsirkan untuk mengarahkan fungasi hukum
pada pengintegrasian hukum internasional dengan hukum nasional.
Ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala hukum. Kebutuhan
terhadap ketertiban ini merupakan syarat pokok (fundamental) bagi adanya suatu
masyarakat manusia yang teratur. Untuk mencapai ketertiban diperlukan adanya
kepastian dalam pergaulan antar manusia dan masyarakat. Tanpa kepastian hukum
dan ketertiban masyarakat manusia tidak mungkin mengembangkan kemampuannya
secara optimal di dalam masyarakat.Disamping ketertiban dan kepastian

138 Mochtar Kusumaatmadja,”Fungsi dan perkembangan Hukum dalam pembangunan


nasional”, dalam Otje Salman dan Eddy Damian ( editor), konsep-Konsep Hukum Dalam
Pembangunan, Pusat Studi Wawasan Nusantara,Hukum dan Pembangunan Bekerjasam
dengan PT Penerbit Alumni,bandung,2002,hlm 1-17.

139 Idem,hlm 88
92
hukum,adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya menurut
masyarakat dan jaman.140
Hukum merupakan suatu alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat.
Mengingat fungsinya, sifat hukum pada dasarnya adalah konservatif, artinya hukum
bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah tercapai. Fungsi demikian
diperlukan dalam setiap masyarakat, termasuk masyarakat yang sedang
membangun, karena hasil-hasil pembangunan itu harus dipelihara, dilindungi, dan
diamankan.Dalam masyarakat yang sedang membangun, fungsi hukum tidaklah
cukup hanya untuk memelihara dan mempertahankan pembangunan, tetapi hukum
juga harus dapat membantu proses perubahan masyarakat.Selama perubahan yang
dikehendaki dalam masyarakat hendak dilakukan dengan cara yang tertib, selama itu
pula masih ada tempat bagi hukum.141
Masalah Pembangunan Hukum pada saat ini kita tidak dapat melepaskan diri
dari Undang-Undang No 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional
Tahun 2000-2004 dimana dalam Bab II Prioritas Pembangunan Nasional pada point
B.2 untuk Mewujudkan Supremasi Hukum dan Pemerintahan yang baik, serta pada
Bab III secara khusus mengatur Pembangunan Hukum dimana didalamnya program
Pembangunan hukum meliputi, program pembentukan peraturan perundang-
undangan, program pemberdayaan lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum
lainnya, program penuntasan kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta
pelanggaran Hak Asasi Manusia, program peningkatan kesadaran hukum dan
pengembangan budaya hukum.
Hukum tidak saja merupakan keseluruhan asas-asan dan kaidah-kaidah yang
mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, melainkan meliputi pula lembaga-
lembaga (institutions) dan proses-proses yang mewujudkan berlakunya kaidah-
kaidah itu dalam kenyataan.142

140 Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi Dan perkembangan Hukum Dalam Pembangunan


Nasional, dalam Otje Salman S dan Eddy Damian ( editor),Konsep-Konsep Hukum Dalam
Pembangunan: Kumpulan Karya Tulis Prof.Dr.Mochtar Kusumaatmadja,SH.LLM., Pusat studi
Wawasan Nusantara dan Penerbit PT.Alumni,Bandung,2002,hlm.3-4.

141 Idem.,hlm 13-14.

142 Mochtar Kusumaatmadja,”Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan


Nasional”,dalam Otje Salman S dan Eddy Damian (editor),Ibid,hlm.30.
93
Dasar pengertian hukum tersebut, hukum memiliki hubungan timbal balik
dengan masyarakat, sehingga dapat dipahami apabila hukum itu merupakan salah
satu sarana pembaharuan dan pembangunan masyarakat. 143
Hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat ( Law as a tool of Social
Engineering) bertujuan tercapainya ketertiban, kepastian hukum, dan rasa keadilan
masyarakat.144
Pada sisi lain dengan adanya Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, menegaskan pentingnya Pembangunan
Nasional di semua bidang kehidupan secara terpadu dalam Wilayah Negara
Republik Indonesia.
“Mengutip tulisan Mochtar Kusumaatmaja dalam Pembinaan Hukum dalam
Rangka Pembangunan Nasional. Pembangunan diartikan meliputi segala segi
dari kehidupan masyarakat dan tidak hanya segi kehidupan ekonomi belaka –
karena itu istilah pembangunan ekonomi sebenarnya kurang tepat, karena kita
tidak dapat membangun ekonomi suatu masyarakat tanpa menyangkutkan
pembangunan segi-segi kehidupan masyarakat lainnya,yang menjadi
persoalan kini adalah: adakah peranan hukum dalam proses pembangunan itu
dan bila ada apakah peranannya.
Apabila diteliti, semua masyarakat yang sedang membangun dicirikan oleh
perubahan bagaimanapun kita mendefinisikan pembangunan itu dan apapun
ukuran yang kita gunakan bagi masyarakat dalam pembangunan. Peranan
Hukum dalam dalam Pembanguna adalah untuk menjamin bahwa perubahan
itu terjadi dengan cara teratur.
Ada anggapan yang boleh dikatakan hampir merupakan keyakinan bahwa
perubahan yang teratur demikian dapat dibantu oleh perundang-undangan
atau keputusan pengadilan atau kombinasi dari keduanya.”145

Mengutip pendapat Mochtar Kusumaatmaja diatas penulis mengawali paper


ini dengan mengatakan bahwa pembangunan Hak Asasi Manusia di Indonesia

143 Mochtar Kusumaatmadja,” Hukum, Masyarakat Dan Pembinaan Hukum Nasional”, dalam
Otje saman S dan Eddy damian (editor),Ibid, hlm.73.

144 E saefullah Wiradipradja,Tanggungjawab Pengangkut Dalam Hukum Pengangkutan


Udara Internasional Dan nasional, Penerbit Liberty,Yogyakarta, 1989,hlm.17.

145 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep Konsep Hukum dalam Pembangunan Kumpulan Karya
Tulis,Pusat Studi Wawasan Nusantara bekerjasama dengan PT Alumni, Bandung 2004, hlm
19.
94
seharusnya dilakukan dengan Perubahan melalui proses Perundang-Undangan
atau/dan keputusan pengadilan.
Pada tahun 1998 merupakan titik awal dari Reformasi di Indonesia, reformasi
hukum termasuk didalamnya keinginan dari bangsa Indonesia untuk memperbaiki
berbagai persoalan yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia dengan kata lain
Bangsa Indonesia ingin membangun Hak Asasi Manusia dalam Sistem Hukum
Indonesia .
Keinginan untuk mewujudkan perbaikan dibidang Hak Asasi Manusia
diwujudkan dengan dikeluarkanya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) Nomor XVII/MPR/MPR/1998 tentang Pandangan Hidup Bangsa Indonesia
tentang Hak Asasi Manusia dan Piagam Hak Asasi Manusia, yang kemudian ditindak
lanjuti dengan Keputusan Presiden republik Indonesia No 129 Tahun 1998 mengenai
Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia, yang kemudian Pasal mengenai Hak
Asasi Manusia termuat dalam Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 ,
menunjukan keinginan dari Bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat
internasional yang berkewajiban untuk menghormati, menghargai dan menjunjung
tinggi prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa serta
Deklarasi Universal mengenai Hak Asasi Manusia.
Sebagai bangsa yang menghormati Hak-Hak Asasi Manusia sebagaimana
dijamin oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan pandangan
hidup, falsafah bangsa dan landasan konstitusional bagi negara Kesatuan Republik
Indonesia tentunya bangsa Indonesia berkewajiban untuk melaksanakan Hak Asasi
Manusia dalam semua sendi Kehidupan Bangsa Indonesia. Mengutip tulisan
Notonagoro:
“Dalam bukunya Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila dimana,

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai pernyataan Kemerdekaan

yang terperinci yang mengandung cita-cita luhur dari Proklamasi

Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan yang memuat Pancasila sebagai Dasar

Negara, merupakan satu rangkaian dengan Proklamasi Kemerdekaan 17

Agustus 1945, dan oleh karena itu tidak dapat dirubah oleh siapapun juga,

termasuk MPR hasil pemilihan Umum, yang berdasarkan pasal 3 dan pasal 37

95
Undang-Undang Dasar berwenang menetapkan dan merubah undang-

undang Dasar, karena merubah isi Pembukaan berarti Pembubaran Negara.” 146

Penulis menggunakan apa yang dikatakan oleh Notonagoro dalam disertasi


ini, dikarenakan bahwa bagaimanapun berkembangnya zaman yang berpengaruh
pada aturan-aturan hukum maka tidak dapat meninggalkan Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945, dikarenakan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 itu
merupakan yang dinamakan pokok kaidah fundamentil daripada Negara Republik
Indonesia dan mempunyai kedudukan tetap terlekat kepada kelangsungan Negara
Republik Indonesia atas Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.
“Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 itu menurut sejarah terjadinya,

ditentukan oleh Pembentuk Negara dan menurut isinya memuat asas

kerohanian Negara (Pancasila), asas politik Negara (Republik yang

berkedaulatan rakyat), tujuan Negara (melindungi segenap Bangsa Indonesia

dan seluruh Tumpah Darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia

yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social ), lagi

pula menetapkan adanya suatu undang-undang dasar Negara Indonesia, jadi

Pembukaan dalam segala sesuatunya memang memenuhi syarat-syarat

mutlak bagi suatu pokok kaidah Negara yang fundamentil.”147

D. Kajian Teori terhadap Sistem Peradilan Pidana


Sistem Peradilan Pidana (SPP) yang dikenal di Indonesia ini. 148 sebenamya
merupakan terjemahan sekaligus penjelmaan dari "Criminal Justice System", yang

146 Notonagoro, Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila, Pantjuran Tudjuh, Jakarta
1967,hlm17.

147 Idem,hlm 20.


96
untuk pertama kali diperkenalkan oleh pakar hukum pidana dan para ahli dalam
Criminal Justice Science dikarenakan ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja
aparatur penegak hukum dan institusi penegakan hukum yang dibuktikan dengan
meningkatnya kriminalitas di Amerika Serikat pada tahun 1960-an. Dimana
pendekatan yang dipergunakan dalam penegakan hukum adalah pendekatan hukum
dan ketertiban (law and order approach) sedangkan penegakan hukum dalam
konteks pendekatannya dikenal dengan istilah law enforcement),149 yang
mengedepankan aspek hukum dalam melakukan penanggulangan kejahatan dengan
kepolisian sebagai pendukung utama. Artinya, efektivitas dan efisiensi kerja
organisasi kepolisian sangat menentukan berhasil atau tidaknya penanggulangan
kejahatan, karena dalam praktiknya, pihak kepolisian banyak dihadapkan pada
berbagai kendala, baik yang bersifat operasional maupun prosedur-legal. Kemudian
Sistem Peradilan Pidana ini dikembangkan oleh praktisi penegak hukum (law
enforcement officers) di Arnerika Serikat.150
Salah satu dari tujuan hukum adalah menciptakan ketertiban masyarakat.
Salah satu unsur untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat adalah adanya
penegakan hukum atau peradilan yang bebas, mandiri, adil dan konsisten dalam
melaksanakan atau menerapkan peraturan hukum yang ada dan dalam menghadapi
pelanggaran hukum, oleh suatu badan yang mandiri (pengadilan).

148 Istilah Peradilan berasal dari kata dasar Adil, memperoleh imbuhan dan awalan (prefiks)
“pe” dan akhiran (sufiks) “an”. Lihat Anton Anton Muliono dkk, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hlm. 6-7. Peradilan terjemahan dari rechtpraak atau
judiciary digunakan untuk menunjuk pada fungsi proses atau tata cara memberikan
keadilan, sedangkan pengadilan terjemahan dari rechtank atau court menunjuk pada
badan, wadah, lembaga, institusi karena itu pengertian pengadilan mencakup pengertian
peradilan. Lihat SF. Marbun, Pengadilan Administrasi dan Upaya Administratif di Indonesia,
Liberty, yogyakarta, 1987, hlm. 38 – 39.

149 Pendekatan hukum dan ketertiban dalam praktik telah mengalami kegagalan terutama
dalam menekan angka kriminalitas terutama di Amerika serikat sehingga memunculkan
gagasan pendekatan system didalam mekanisme administrasi peradilan pidana. Pendekatan
ini dalam teori kriminologi dan prevensi kejahatan dikenal sebagai criminal justice system
model, dikutip dari Jerome H. Scholnik, Justice Withaut trial democratic order and rule of law,
chapter I, 1996, hlm 10, dan Romli Atmasamita, System Peradilan Pidana Perspektif
Eksistensialisme dan Abolisionism, cet. II (revisi), Binacipta, Bandung, 1996, hlm.7.

150 Indrianto Seno Adji, Arah System Peradilan Pidana, cet. I (Kantor Pengacara dan
Konsultan Hukum Prof Oemar Seno Adji dan Rekan, Jakarta, 2001, hlm.4
97
Struktur lembaga-lembaga Sistem Peradilan Pidana yang terbentuk sebagai
suatu tata urutan mulai penyidikan, penuntutan, pengadilan dan lembaga
pemasyarakatan, menunjukkan bahwa Sistem Peradilan Pidana terangkai dalam
unsur-unsur (sub) yang mempunyai peran masing-masing secara utuh yang
menunjukkan adanya mata rantai yang terpadu untuk memperoleh tujuan akhir.
Oleh karena itu kegiatan salah satu unsur tersebut hanya merupakan tahap atau
bagian dari kegiatan yang utuh untuk mencapai tujuan bersama.
Menurut Neil C. Chalin, pada mulanya di Amerika. Serikat komponen dari SPP
hanyalah terdiri dari Polisi, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan yang
bertujuan untuk menanggulangi kejahatan yang timbul di dalam tata kehidupan
masyarakat pada tingkat local government jelasnya dikatakan:
"Basically the American Criminal Justice System is composed of Police, Courts
and Corrections in local, state and Federal levels. These criminal justice
componen function separately and together with majority of activities
accuring at the local level of government (city and country).151

Dalam perkembangan kurun waktu akhir tahun 1960-an dan awal 1970,
criminal justice sebagai disiplin studi tersendiri telah menggeser posisi law
enforcement atau police studies, yang di Amerika Serikat dan di beberapa negara
Eropa menjadi model yang dominan dengan menitik beratkan pada the
administration of justice dan memberikan perhatian yang sama terhadap semua
komponen dalam penegakan hukum.
Dalam perkembangannya, Sistem Peradilan Pidana di indonesia mengalami
perluasan arti dan tujuannya. Dikatakan oleh Mardjono Reksodiputro, bahwa Sistem
Peradilan Pidana (Criminal Justice System) adalah suatu operasionalisasi atau suatu
sistem yang bertujuan untuk menanggulangi kejahatan, salah satu usaha masyarakat
untuk mengendalikan terjadinya kejahatan agarberada dalam batas-batas toleransi
yang dapat diterima,152 Norval Morris menyatakan:
"The Criminal Justice System is best seen as a crime containment system, one
of the methods that society uses to keep crime at whatever level each particular
culture is willing to accept. But, to a degree, the criminal justice system is also
involved in the secondary prevention of crime, that is to say, in trying to

151 Neil C. Chalin, et.all, Introduction to Criminal Justice (Pretince-Hall), New Jersey, 1975
Page 1 (Introduction), lihat juga Indrianto seno adji, op.cit hlm. 4-5.

152 Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia (Peran Penegak Hukum
Melawan Kejahatan, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, (Pusat Pelayanan
Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1994, hlm. 84-85.
98
reducecriminality among those who have been convicted of crimes and trying
by deterrent processe of detection, conviction, and punishment to reduce the
commission of crime by those who are so minded and so acculturated. 153

Sistem ini dianggap berhasil apabila pelaku kejahatan yang dilaporkan dan
dikeluhkan masyarakat dapat diselesaikan dengan diajukannya pelaku kejahatan ke
muka pengadilan dan menerima pidana. Juga yang termasuk bagian tugas sistem ini
adalah:
(1) Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan
(2) Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi, sehingga masyarakat puas
bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.
(3) Berusaha agar mereka yang pemah melakukan kejahatan tidak
rnengulangi lagi perbuatannya.154

Pemahaman tentang Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System)


dapat dilihat dari elemen kata yang melekat di dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP)
tersebut : Sistem, berarti suatu susunan atau jaringan, sebagai suatu susunan
ataupun jaringan tentunya pada sistem terdapat komponen-komponen yang
merupakan bagian atau sub-sub yang kemudian menyatu membentuk sistem. Makna
susunan ataupun jaringan tersebut dapat dikemukakan adanya suatu keteraturan
dan penataan yang hierarkhis dan sistimatis pada suatu sistem.
Samodra Wibawa, mengemukakan tentang sistem ini bahwa:”sistem
merupakan hubungan antara beberapa unsur dimana unsur yang satu tergantung
kepada unsur yang lain. Bila salah satu unsur hilang, maka sistem tidak dapat
berfungsi.155
Peradilan, merupakan derivasi dari kata adil, yang diartikan sebagai tidak
memihak, tidak berat sebelah, ataupun keseimbangan, dan secara keseluruhan
peradilan dalam hal ini adalah menunjukan kepada suatu proses yaitu proses untuk
menciptakan atau mewujudkan keadilan. Pidana, yang dalam ilmu hukum pidana
(criminal scientific by law) diartikan sebagai hukuman, sanksi, dan atau penderitaan

153 UNAFEI, Criminal Justice System, The Request for an Integrated Approach, UNAFEI, 1982)
hlm. 5

154 Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Buku II cet. I Pustaka
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian hokum UI, Jakarta, 1994, hlm. 140. Lihat juga Mrdjono
R, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, hlm. 84-85.

155 Samodra Wibawa, Kebijaan Publik ( Proses dan Analisis), Intermedia, Jakarta, Cet I, 1994,
hlm. 50-51.
99
yang diberikan, yang dapat mengganggu keberadaan fisik maupun phisikis dari
orang yang terkena pidana itu.156
Memperhatikan dasar pemahaman di atas, mengenai SPP tidaklah hanya
berbicara tentang putusan lembaga peradilan di dalam memberikan pidana,
melainkan lebih dari itu yang dibicarakan adalah persoalan mekanisme ataupun
manajemen dari bekerjanya pengadilan tersebut, guna melahirkan suatu keputusan
yang adil.157 Sehingga dapat pula dikemukakan bahwa SPP, merupakan mekanisme
dan atau manajemen proses peradilan (Justice Processes) di dalam melahirkan suatu
keputusan serta di dalam menjatuhkan pidana. Remington dan Ohlin 158 bahwa
criminal justice system dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem
peradilan terhadap mekanisme administrasi peradilan, dan peradilan pidana sebagai
suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan,
praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial.
Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi
yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil
tertentu dengan segala keterbatasannya. Untuk pertama kalinya di Indonesia
pemahaman Criminal Justice System diperkenalkan Mardjono Reksodipoetro159 yang
memberikan batasan pengertian tentang sistem peradilan pidana sebagai berikut :
“Sistem Peradilan Pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk
menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi diartikan sebagai
mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi
masyarakat.“

Dikatakan suatu sistem karena di dalam SPP tersebut tidak terlepas dari sub-
sub sistem (komponen) yang mendukung jalannya SPP seperti berikut 160 “Suatu

156 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni Bandung,
1993, hlm.437

157 Romli Atmasasmita System Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan


Abolisionism, cet. II (revisi), Binacipta, Bandung, 1996, hlm. 38.

158 Romli Atmasasmita, Idem, hlm. 14

159 Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Peranan Penegak Hukum
melawan Kejahatan dalam Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, 1994,
hlm.84-85.

160 Idem, hlm 141.


100
Pengendalian Kejahatan yang terdiri dari lembaga- lembaga; Kepolisian, Kejaksaan,
Pengadilan dan Pemasyarakatan terpidana“.
Romli Atmasasmita161 berpendapat bahwa pendekatan sistem dalam
peradilan pidana adalah :
a. Titik berat pada kordinasi dari sinkronisasi komponen peradilan pidana
(kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan)
b. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh
komponen peradilan pidana.
c. Efektifitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi
penye1esaian perkara.
d. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan “the
administration of justice”.

Selain menunjukkan mekanisme kerja dalam rangka/menanggulangi


kejahatan melalui dasar pendekatan sistem seperti diuraikan di atas (yang disebut
istilah Criminal Justice System), dikemukakan juga bahwa SPP mempunyai tujuan -
tujuan yang dirumuskan sebagai berikut :
a. mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;
b. menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas
bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan
c. mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulangi lagi kejahatannya.162
Muladi163 juga mengemukakan tentang SPP, sebagai berikut: Sistem
Peradilan Pidana adalah merupakan suatu jaringan peradilan yang menggunakan
hukum pidana materiel, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana,
namun jika sifat yang terlalu formal jika dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian
hukum saja akan membawa bencana berupa ketidak-adilan.
Indriyanto164 memberikan pemahaman lain. SPP adalah berlainan dengan
Administrasi Peradilan Pidana (Criminal Justice Administration). Administrasi
Peradilan Pidana adalah jalannya procedural dari suatu acara persidangan pidana,
yaitu sejak adanya dakwaan sampai dengan diucapkannya suatu putusan bagi

161 Romli, Opcit, hlm. 9-10

162 Idem, hlm. 14-15

163 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, BP. UNDIP, 1995, hlm. 1-2.

164 Indrianto Seno Aji, Sistem Peradilan Pidana, Kantor Pengacara dan konsultan Hukum
Prof. Oemar Seno Aji, Jakarta, Edisi Pertama, 2001, hlm. 9
101
terdakwa. Dengan demikian Administrasi Peradilan Pidana adalah merupakan bagian
dari cara kerja sub sistem peradilan saja.
Bertitik tolak dari pemahaman di atas maka dalam konteks yang lebih luas,
perundang-undangan bukum pidana (baik formal maupun material) adalah
merupakan sub sistem dari SPP, karena mekanisme dan manajemen kerja SPP tidak
terlepas dari bagaimana sistem itu diatur dan dirumuskan dalam suatu perundang-
undangan. Dalam konteks yang sempit, bila yang dijadikan pemahaman itu, adalah
proses peradilan pidana, maka sub system dari SPP ini adalah lembaga-lembaga
yang terkait dengan proses peradilan pidana (criminal Justice Processes), seperti
kepolisian, kejaksaan dan pengadilan dan pemasyarakatan.
Menurut Romli Atmasasmita165 atas uraian tersebut terlihat aspek penegakan
hukumnya kurang menyentuh, oleh karena itu apabila SPP diartikan sebagai alat
penegakan hukum atau law Enforcement, maka di dalamnya harus mengandung
aspek hukum yang menitik beratkan kepada operasionalisasi peraturan perundang-
undangan dalam upaya menanggulangi kejahatan untuk mencapai adanya suatu
kepastian hukum. Di Indonesia implementasi pengaturan SPP ini, di samping
didasarkan kepada peraturan peraturan yang merupakan produk nasional 166 juga
didasarkan kepada peraturan-peraturan internasional yang telah diratifikasi. 167
KUHAP menjadi landasan dalam praktek peradilan pidana, walaupun
dikatakan telah mengandung nilai-nilai Sistem Peradilan “Pidana yang baik, namun
belum menunjukkan secara tegas dan jelas bagaimana mekanisme dalam atau
manajemen yang dipergunakan dalam SPP tersebut. Dalam praktek peradilan, proses
pelimpahan perkara dari pihak penyidik ke kejaksaan yang kemudian dilanjutkan
untuk diproses di pengadilan, hanya merupakan tahap-tahap administrasi yang
bersifat runitas (sehari-hari), atau lebih dikatakan sebagai tahap-tahap pembagian
kerja (job discription), yang apabila telah selasai dilaksanakan, maka masing-masing
lembaga merasa tugasnya telah selasai, padahal yang diinginkan bukanlah yang
demikian, melainkan bagaimana adanya suatu keterikatan dan tanggung jawab
moral diantara lembaga-lembaga tersebut.

165 Op.cit, hlm. 15

166 Antara lain Undang-undang No. 8/1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana, Undang-undang Nomor 14/1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.

167 Peraturan internasional yang telah diratifikasi antara lain; dalam bidang kerjasama
internasional, dalam bidang peradilan dan penegakan hukum, dalam bidang pembinan para
pelaku, dan dalam bidang juvenile deliquence.
102
BAB III
KONSEP HAK ASASI MANUSIA UNIVERSAL DAN KONSEP HAK ASASI MANUSIA
PARTIKULAR

A. Hubungan Hukum Nasional dan Hukum Internasional


“Mengenai hubungan antara hukum nasional dengan hukum internasional
terdapat berbagai bentuk pelaksanaan sesuai dengan hukum positip di
berbagai Negara. Berdasarkan teori transformasi dari kaum positivist-dualist,
hukum internasional baru menjadi bagian dari hukum nasional apabila telah
diundang-undangkan dengan undang-undang nasional, sedangkan
berdasarkan teori inkorporasi, hukum internasional langsung menjadi bagian
dari hukum nasional tanpa harus melalui undang-undang. Di Inggris
( termasuk Negara-Negara persemakmuran) dan Amerika meski ada sedikit
perbedaan, hukum kebiasaan internasional dipandang sebagai bagian dari
hukum nasional ( internasional law is the law of the land).Doktrin ini dikenal
dengan nama doktrin inkorporasi ( incorporation doctrine) sedangkan hukum
internasional yang bersumber dari perjanjian internasional memerlukan
transformasi dengan undang-undang ( persetujuan parlemen) untuk menjadi
bagian dari hukum nasional.
Undang-Undang Dasar 1945 tidak mengatur apakah menganut paham
transformasi atau inkorporasi. Mochtar Kusumaatmaja menyatakan bahwa hal
ini tidak berarti bahwa Indonesia tidak mengakui supremasi hukum
internasional atas hukum nasional, apalagi menarik kesimpulan bahwa
Indonesia menganut pendirian bahwa hukum nasional mengatasi hukum
internasional. Menurut beliau menarik kesimpulan demikian berarti
menentang menentang masyarakat internasional yang didasarkan atas
hukum, dan sebagai Negara yang masih muda kiranya pendirian yang
demikian bukanlah pendirian yang bijaksana. Namun demikian, meskipun
pada prinsipnya Indonesia mengakui supremasi hukum internasional tidak
berarti bahwa Indonesia dengan begitu saja menerima apa yang dinamakan
hukum internasional tanpa mengkaji kaidah-kaidah hukum internasional
yang tidak jelas atau mungkin sudah berubah sebagai refleksi dari
masyarakat internasional yang sedang berubah dengan cepat.
Dalam masalah hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional
tersebut menurut Mochtar Kusumaatmaja apabila menghendaki adanya
masyarakat internasional yang aman dan sejahtera maka mau tidak mau kita

103
harus mengakui adanya hukum internasional yang mengatur masyarakat
internasional. Konsekuensinya pada analisis terakhir hukum nasional harus
tunduk pada hukum internasional.”168

“Saefullah Wiradipradja berpendapat bahwa dalam masalah hubungan antara


perjanjian internasional/hukum internasional dengan hukum nasional, dalam
praktek, Indonesia menganut paham baik inkorporasi maupun transformasi,
tidak menganut salah satu diantaranya secara mutlak. Inkorporasi berlaku bagi
perjanjian perjanjian internasional yang hanya mengikat Negara atau badan
Negara, sedangkan transformasi berlaku bagi perjanjian-perjanjian
internasional yang mengikat langsung warganegara secara individual dan
badan hukum/badan usaha. Sedang apakah ketentuan internasional atau
nasional lebih diutamakan, berdasarkan pada praktek selama ini, kelihatannya
Indonesia cenderung menganut supremasi hukum internasional, artinya
Indonesia selalu menyesuaikan peraturan perundang-undangannya ( dalam
hal transformasi) terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam hukum
internasional, khususnya perjanjian internasional.169
Meskipun Mochtar Kusumaatmaja berpendapat bahwa Indonesia tidak
menganut teori transformasi, tapi langsung terikat terikat dalam kewajiban
melaksanakan dan mentaati ketentuan-ketentuan perjanjian dan konvensi
yang telah disahkan tanpa perlu mengadakan lagi undang-undang
170
pelaksanaan,” namun beliau pun mengakui bahwa dalam beberapa hal
pengundangan dalam undang-undang nasional adalah mutlak diperlukan
yakni antara lain apabila diperlukan perubahan dalam undang-undang
nasional yang langsung menyangkut hak warga negara sebagai
perorangan. 171

Adapun pasal-pasal yang berkaitan dengan perjanjian internasional dalam


Undang-Undang Dasar 1945 amandemen yaitu :
Pasal 5

168 E Saefullah Wiradipradja, Konsekuensi Yuridis Keanggotaan Indonesia dalam WTO-GATS dan
Pengaruhnya terhadap Industri dan Perdagangan Jasa, Jurnal Hukum Internasional Unpad, Vol.I No.1
Tahun 2002.,hlm 5

169 Ibid.

170 Idem,hlm.6.

171 Ibid.
104
(1) Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada
Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan
undang-undang sebagaimana mestinya,
Pasal 11
(1) Presiden dengan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyetakan
perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain.
(2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang
terkait dengan beban keuangan Negara, dan/atau mengharuskan perubahan
atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan
Perewakilan Rakyat.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan
undang-undang.
Pasal 20
(1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membuat undang-
undang.
(2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan
Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
(3) Jika rancangan Undang-Undang itu tidak mendapat persetujuan
bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam
persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
(4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui
bersama untuk menjadi undang-undang
(5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama
tersebut ttidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak
rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang
tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
Dengan melihat apa yang disampaikan di atas maka keberadaannya Undang-
Undang No 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional memberikan dasar-
dasar yang kuat dalam membuat dan mengesahkan perjanjian internasional, dan
menempatkan dalam posisi bagaimana hubungan antara Indonesia dengan hukum
internasional dalam hal Indonesia meratifikasi atau tidak meratifikasi suatu perjanjian
internasional, seperti bagaimana hubungan antara Indonesia dengan International
Covenant and Civil and Political Rights dikarenakan Indonesia sebagai pihak yang
telah meratifikasi International Covenant and Civil and Political Rights. Demikian juga
bagaimana melihat hubungan antara Indonesia dengan Statuta Roma dikarenakan

105
Indonesia tidak meratifikasi Statuta Roma, dalam hal ini pentingnya pemahaman
hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional.
Dalam kaitannya dengan hubungan antara hukum internasional dan hukum
nasional dikenal Teori Monisme, yaitu teori yang menyatakan bahwa hukum
internasional dan hukum nasional merupakan dua aspek dari satu sistem hukum. 172
Dalam hal ini berarti bahwa hukum internasional dan hukum nasional
merupakan satu kesatuan sistem hukum dimana hukum yang satu mendasari hukum
yang lain, dalam hal penelitian mengenai Konsep Hak Asasi Manusia dan
Implementasinya dalam Sistem Hukum Nasional Indonesia dimana substansi hak
asasi manusia yang menjadi kerangka ilmunya, peneliti menggunakan Teori Monisme
dengan Primat Hukum Internasional dan Monisme dengan Primat Hukum Nasional
yang berarti dalam kajian hak asasi manusia apabila menggunakan teori monisme
dengan primat hukum nasional maka hukum nasional yang mendasari hukum
internasional dalam hak asasi manusia, dan apabila menggunakan monisme dengan
primat hukum internasional maka hukum internasional yang mendasari pengaturan
hak asasi manusia dalam sistem hukum nasional. Dengan demikian terdapat
keterkaitan antara hukum nasional dan hukum internasional dalam hak asasi
manusia.
“Paham monisme didasarkan atas pemikiran kesatuan dari seluruh hukum
yang mengatur hidup manusia. Dalam rangka pemikiran ini hukum
intenasional dan hukum nasional merupakan dua bagian dari satu kesatuan
yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia. Akibat
pandangan monisme ini ialah bahwa antara dua perangkat ketentuan hukum
ini mungkin ada hubungan hirarki. Persoalan hirarki antara hukum nasional
dan hukum internasional inilah yang melahirkan beberapa sudut pandangan
yang bebeda dalam aliran monisme mengenai masalah hukum manakah yang
utama dalam hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional ini.
Ada pihak yang menganggap bahwa dalam hubungan antara hukum nasional
dan hukum internasional ini yang utama ialah hukum nasional.
Paham ini adalah paham monisme dengan primat hukum nasional.Paham
yang lain berpendapat bahwa dalam hubungan antara hukum nasional
dengan hukum internasional yang utama ialah hukum
internasional.Pandangan ini disebut paham monisme dengan primat hukum
internasional. Menurut teori monisme kedua-duanya mungkin.
Dalam pandangan monisme dengan primat hukum nasional, hukum
intenasional itu tidak lain dari merupakan lanjutan hukum nasional belaka,

172 Mochtar Kusumaatmaja, Pengantar Hukum Internasional ,Bina Cipta, 1990hlm 42-43,
106
atau tidak lain dari hukum internasional untuk urusan luar negeri. Pandangan
yang melihat kesatuan antara hukum nasional dan hukum internasional
dengan primat hukum nasional ini pada hakekatnya menganggap bahwa
hukum internasional itu bersumber pada hukum nasional. Alasan utama
anggapan ini ialah : (1) bahwa tidak ada satu organisasi diatas negara-negara
yang mengatur kehidupan negara-negara di dunia ini;(2) dasar hukum
internasional yang mengatur hubungan intenasional terletak dalam wewenang
negara untuk mengadakan perjanjian intenasional, jadi wewenang
konstitusional.” 173

Aliran dualisme bersumber pada teori bahwa daya ikat hukum internasional
bersumber pada kemauan negara , maka hukum internasional dan hukum
nasional merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah satu
dari yang lainnya.
Alasan yang diajukan oleh penganut aliran dualisme bagi pandangan
tersebut diatas didasarkan pada alasan formal maupun alasan yang
berdasarkan kenyataan. Diantara alasan-alasan yang terpenting dikemukakan
hal sebagai berikut : (1) kedua perangkat hukum tersebut yakni hukum
nasional dan hukum intenasional mempunyai sumber yang berlainan, hukum
nasional bersumber pada kemauan negara, sedangkan hukum internasional
bersumber pada kemauan bersama masyarakat negara; (2) kedua perangkat
hukum itu berlainan subyek hukumnya. Subyek hukum dari hukum nasional
ialah orang perorangan baik dalam apa yang dinamakan hukum perdata
maupun hukum publik, sedangkan subyek hukum dari hukum internasional
adalah negara ; (3) sebagai tata hukum, hukum nasional dan hukum
internasional menampakan pula perbedaan dalam strukturnya. Lembaga yang
diperlukan untuk melaksanakan hukum dalam kenyataannya seperti
mahkamah dan organ eksekutif hanya ada dalam bentuk yang sempurna
dalam lingkungan hukum nasional. Alasan lain yang dikemukakan sebagai
argumentasi yang didasarkan atas kenyataan bahwa daya laku atau
keabsahan kaidah hukum nasional tidak terpengaruh oleh kenyataan bahwa
kaidah hukum nasional itu bertentangan dengan hukum internasional.
Dengan perkataan lain dalam kenyataan ketentuan hukum nasional tetap
berlaku secara efektif sekalipun bertentangan dengan ketentuan hukum
internasional.174

173 Ibid

174 Idem.hlm.43
107
Apabila konstitusi mengatur konsep hak asasi manusia dalam konstitusinya
dengan demikian konsep hak asasi manusia tersebut harus diikuti oleh peraturan
yang ada dibawahnya. Abdul Hakim Garuda Nusantara dalam hubungan antara hak
asasi manusia dengan hukum internasional dan hukum nasional berpendapat
sebagai berikut:175
“Kalau kita cermati, pertimbangan butir b dari dua kovenan yang baru saja
diratifikasi, di sana ditemukan suatu pernyataan bahwa Indonesia sebagai
bagian dari masyarakat internasional menghormati, menghargai, dan
menjunjung tinggi prinsip dan tujuan piagam PBB serta deklarasi universal
HAM. Perlu digarisbawahi pertimbangan butir b ini, karena menegaskan
bahwa dengan diratifikasikannya kovenan internasional yang penting itu,
maka, Indonesia masuk dalam bagian dari sistem hukum internasional HAM.
Selanjutnya, Pasal 2 dari kedua UU itu menyatakan, UU ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan. Oleh karena itu, dengan disahkannya kedua konvensi
internasional menjadi UU, maka dengan ini di Indonesia berlaku selain UU no.
39/1999 tentang HAM, juga KIHESB (Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi,
Sosial, dan Budaya) dan KIHSP (Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan
Politik), yang sama-sama merupakan UU yang bersifat induk atau lintas
sektoral.

Jadi Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya dan Kovenan
Internasional Hak-hak Sipil dan Politik merupakan Internasional Bill of Rights
yang bersifat induk atau lintas sektoral. Selain itu, kovenan itu juga dipayungi
oleh pasal-pasal HAM yang termuat di dalam UUD 1945.

Lalu bagaimana hubungan di antara kovenan itu dengan konstitusi?


Dalam teori hukum internasional, kita mengenal beberapa teori; pertama,
teori tentang dualisme. Teori tentang dualisme menegaskan bahwa hukum
internasional adalah hukum antar negara, sedangkan hukum nasional berlaku
dalam satu negara dan mengatur hubungan antar warga negara dan warga
negara dengan pemerintah.

Kedua, teori monisme. Teori ini berasal dari pemikiran Hans Kelsen yang
menegaskan supremasi hukum internasional atas hukum nasional. Hukum
internasional itu dilihat sebagai the best of available moderator of human

175 Abdul Hakim Garuda Nusantara http://www.komisihukum.go.id/newsletter.php?

108
affairs dan juga sebagai kondisi yang logis dari eksistensi hukum negara-
negara, dan karenanya, dia menjadi lebih utama dari hukum nasional.” 176
Dengan kata lain, hukum nasional itu bisa dikesampingkan bila bertentangan
dengan norma-norma hukum internasional atau bertentangan dengan sistem
hukum internasional. Walaupun teori ini sebenarnya dibangun dari suatu
konstruksi spekulasi intelektual, tetapi teori itu exist di dalam literatur-literatur
hukum internasional.
”Ketiga, teori koordinasi, yang menyatakan bahwa dua sistem hukum, yaitu
sistem hukum internasional dan sistem hukum nasional itu tidak berada dalam
situasi konflik, karena dua sistem itu bekerja dalam lingkungan yang berbeda.
Masing-masing mempunyai supremasi di lapangannya sendiri, tetapi memang
dapat terjadi conflict of obligation (konflik kewajiban).

Argumen dalam perspektif teori ini, bahwa ketidakmampuan negara untuk


bertindak sesuai dengan kewajiban internasionalnya, karena dengan kita meratifikasi
melalui UU dua kovenan internasional itu negara mempunyai kewajiban internasional
tidak mengakibatkan tidak sahnya hukum internal/hukum nasional” 177.
Jadi, kalau suatu negara gagal memenuhi kewajiban internasionalnya,
menurut teori ini tidak berarti hukum internalnya itu gugur. Suatu doktrin dan
pendirian yang bersifat universal, bahwa negara tidak bisa membela diri, ketika
negara dituduh melanggar kewajiban internalnya. Negara tidak bisa membela diri
karena hukum internalnya itu menghalangi kemampuannya untuk menjalankan
kewajiban internasionalnya. Pembelaan seperti itu menurut pandangan yang berlaku
universal tidak dibenarkan.
Dalam hubungannya dengan hubungan hak asasi manusia dalam hukum
nasional dan hukum internasional dalam hukum nasional Indonesia terdapat
beberapa ketentuan yang dapat menunjukan keterkaitan hubungan antara hukum
internasional dan hukum nasional, khususnya yang berkaitan dengan penghormatan
terhadap hak asasi manusia universal yang terdapat dalam Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia.
Secara tersurat pengakuan terhadap konsepsi hak asasi manusia yang universal
dalam sistem hukum Indonesia terdapat dalam Keputusan Presiden Republik
Indonesia No 50 /1993 tentang Komisi Nasional Hak asasi manusia, dalam bagian
menimbang butir b dikatakan:

176 Abdul Hakim Garuda Nusantara http://www.komisihukum.go.id/newsletter.php?

177 Ibid
109
“Bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat bangsa-bangsa,
menghormati Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Deklarasi Universal Hak
asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa.”178

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998


tentang Hak Asasi Manusia semakin menegaskan bahwa dalam hak asasi manusia
terdapat hubungan antara hukum nasional dengan hukum internasional khususnya
dalam kaitannya dengan pengakuaan dan penghormatan terhadap universalitas hak
asasi manusia sebagaimana yang diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, dimana dalam bagian konsiderans butir C
dengan jelas menunjukkan pengakuan bangsa Indonesia terhadap Deklarasi
Universal Hak-hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan adanya butir
C, yang berbunyi sebagai berikut :
“bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian masyarakat dunia patut menghormati
hak -hak asasi manusia yang termaktub dalam Deklarasi Universal Hak -hak
asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa serta berbagai instrumen
internasional lainnya mengenai hak -hak asasi manusia.” 179

Pada Bagian B mengenai Landasan dalam TAP MPR No XVII/MPR pada butir 2
dengan tegas dituangkan pengakuan bangsa Indonesia terhadap universalitas HAM
yang didasarkan pada Universal Declaration of Human Rights:
“Bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mempunyai
tanggung jawab untuk menghormati Deklarasi Universal Hak asasi manusia
(Universal Declaration of Human Rights) dan berbagai instrumen internasional
lainnya mengenai hak asasi manusia.”180

Pada Piagam Hak asasi manusia Indonesia yang merupakan Bagian dari TAP
MPR NO XVII pada Pembukaan alinea keempat dikatakan :
“Bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948 telah mengeluarkan
Deklarasi Universal Hak asasi manusia (Universal Declaration of Human Rights).
Oleh Karena itu bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa

178 Keputusan Presiden Republik Indonesia Tentang Komisi Nasional Hak asasi manusia

179 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1988 tentang


Hak -Hak asasi manusia Bagian Konsiderans, Butir C

180 Ibid, Bagian B Landasan, Butir 2


110
mempunyai tanggung jawab untuk menghormati ketentuan dalam deklarasi
tersebut.”181

Dalam Undang-Undang No 39 Tahun 1999 mengenai hak asasi manusia, pada


bagian menimbang pada butir d dikatakan:
“bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa
mengemban tanggungjawab moral dan hukum untuk menjungjung tinggi dan
melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak asasi manusia yang ditetapkan
oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berbagai instrument internasional lain
yang telah diterima oleh Negara Republik Indonesia.”182

Hal senada juga terdapat dalam Penjelasan Undang-Undang No 26 Tahun 2000


mengenai Pengadilan hak asasi manusia pada Bagian I Umum alinea 4 dikatakan :
“Untuk melaksanakan amanat ketetapan MPR RI No XVII/MPR/ 1998 tentang
Hak asasi manusia tersebut telah dibentuk Undang-Undang No 39 Tahun 1999
tentang Hak asasi manusia. Pembentukan Undang-Undang tersebut
merupakan perwujudan tanggung jawab bangsa Indonesia sebagai anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Di samping hal tersebut, pembentukan undang-
undang tentang Hak asasi manusia juga mengandung suatu misi mengemban
tanggung jawab moral dan hukum dalam menjunjung tinggi dan melaksanakan
Deklarasi Universal Hak asasi manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa, serta yang terdapat dalam berbagai instrument hukum lainnya
yang mengatur hak asasi manusia yang telah disahkan dan atau diterima oleh
negara Republik Indonesia”183

Apa yang dikemukakan di atas mengenai bagaimana sistem hukum Indonesia


mengakui Universal Declaration of Human Rights menunjukkan pengakuan negara
Republik Indonesia terhadap Hak asasi manusia yang Universal, terlebih lagi dengan
pengaturan Hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang juga
menunjukkan pengakuan Hak asasi manusia yang universal.
Konstitusi yang merupakan perwujudan ideologi bangsa, telah membatasi
kekuasaan pemerintah dan tidak sekadar memuat pelbagai rumusan bahasa yang

181 Piagam Hak asasi manusia Indonesia.

182 Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi manusia.

183 Penjelasan atas Undang-Undang No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.


111
indah-indah, yang perumusannya sangat dipengaruhi oleh sistem nilai yang berlaku
pada bangsa tersebut.184
Tanggung jawab negara menurut hukum internasional timbul akibat dari
adanya pelanggaran terhadap hukum internasional, walaupun hukum nasional
mengganggap suatu perbuatan bukan merupakan pelanggaran hukum, namun
apabila hukum internasional menentukan sebaliknya maka negara harus tetap
bertanggungjawab.185
Dalam hal tanggungjawab terhadap norma hukum hak asasi manusia
Internasional negara pelaku tidak dapat lagi berlindung di balik kedaulatannya
untuk menghindari tanggungjawab kepada masyarakat internasional sebagaimana
dikatakan Hector Gros Espiel, “The question of Human Rights is no longer the preserve
of the domestic jurisdiction of states, but is now recognized as being governed by
internal law and by international law, against which special internal law cannot be
invoked.”186
B. Konsep Universal Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia adalah adalah isu yang tidak pernah selesai untuk
dibicarakan, karena membicarakan hak asasi manusia, berarti membicarakan suatu
pemahaman Konsep yang universal yang berarti suatu konsep yang bisa diterima di
semua tempat dan di semua waktu, atau dengan kata lain meskinya dengan
pemahaman konsep Universal dari hak asasi manusia, maka tidak akan ada lagi
pandangan yang berbeda mengenai hak asasi manusia karena konsepsi hak asasi
manusia yang universal berarti suatu pemahaman yang sama dalam memandang hak
asasi manusia.187
Hak asasi manusia dipandang sebagai suatu suatu standar Internasional yang
melintasi batas budaya dan merupakan sistem hukum internasioanl yang berlaku
dalam masyarakat negara.188 Melintasi batas budaya dalam hal ini dimaksudkan

184 Komisi Nasional Hak asasi manusia, Hak asasi manusia Dalam Perspektif Budaya
Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999, hlm 54

185 F Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Universitas Atmajaya Yogyakarta, hlm 77.

186 Hestor Gross Espiell, “Humanitarian Law and Human Rights”, dalam Januzy Symonides
(editor), Human Rights: Concept and Standards,Paris: UNESCO, 2000, hlm. 349

187 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Loc.Cit.

188 Sonia Haris Short, International Human Rights Law : Imperialist,Inept and Ineffective?
cultural Relativisme and the UN Convention on the Rights of the child in Human Rights
112
bahwa seharusnya tidak ada lagi perbedaan dalam pengaturan dan pelaksanaan hak
asasi manusia dikarenakan perbedaan budaya tidak mempengaruhi berlakunya hak
asasi manusia, karena Universalitas dari hak asasi manusia.
Dalam kenyataannya persoalan budaya yang selalu menghambat berlakunya
Hak asasi manusia yang dipandang Universal, bahkan konsep hak asasi manusia
yang sudah menjadi suatu hukum kebiasaan internasional dapat diperlakukan
berbeda dalam suatu negara dengan pertimbangan sosial dan budaya dari negara
tersebut, yang sebenarnya tidak sesuai dengan hak asasi manusia yang bersifat
Universal.
Hak asasi manusia filosofinya adalah menjamin penghormatan terhadap
setiap orang martabat dan kemerdekaan manusia dari semua bentuk tindakan
yang tidak sesuai dengan harkat martabat manusia dalam menjalankan hidupnya di
masyarakat.189
Konsep hak asasi manusia yang dipandang sebagai suatu konsepsi yang
universal, Universal dalam kamus umum Bahasa Indonesia WJS Poerwadarminta
diartikan sebagai umum (yang meliputi (berlaku di,terdapat di ) seluruh dunia
(termasuk, dilakukan oleh) semua orang; berakibat pada semua orang 190. Dengan
menggunakan pedoman yang terdapat dalam kamus WJS Poerwadarminta, maka
dengan demikian hak asasi manusia Universal diartikan sebagai hak asasi manusia
yang berlaku di seluruh dunia. Dalam Websters Ninth New Collegiate Dictionary,
“Universal: 1. including or covering all or a whole collectively or distributively
without limit or exceptions; 2. a present or occuring everywhere b: existent or
operative everywhere or under all condition.”

“Universality: 1. the quality or state of being Universal; 2. Universal


Comprehensiveness in range.”

Quarterly, A Comparative and International Journal of The Social Sciences, Humanities, And
Law, Volume 25 Number 1, February 2003, Hlm.131.

189 Jacques Robert, “Contitutional and International Protection of Human Rights Competing
or Complementary System”, Human Rights Law Journal, Vol 15, No 1-2, 31 March 1994,NP
Engel Publisher hlm 2

190 WJS Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia,Balai Pustaka,Jakarta,1993,Hlm


1130

Websters Ninth New Collegiate Dictionary, Miriam Webster inc., Publishers, Springfield,
Massachusetts, USA, hlm 1291.
113
“Universalism: 1. often cap as a: a theological doctriBne that all men will
eventually be saved b: the principles and practises of a liberal Christian
denomination founded in the 18th century orig. .to uphold belief in universal
salvation and know united with unitarianism 2. something that is universal in
scope.”

Berpedoman kepada Websters Ninth New Collegiate Dictionary, maka


universal diartikan sebagai berlaku umum, Universality atau Universalitas diartikan
sebagai sesuatu yang berlaku umum, dan universalisme diartikan sebagai suatu
paham yang bersifat universal, dalam kaitan dengan penelitian ini maka hak asasi
manusia adalah berlaku Universal yang artinya berlaku umum, di setiat tempat dan di
setiap waktu, dan hak asasi manusia sebagai suatu obyek yang berlaku umum, yang
kemudian mengakibatkan paham atau pandangan bahwa hak asasi manusia
berlaku secara universal.
Dalam praktik negara-negara seringkali penerapannya menimbulkan
perdebatan di kalangan para ahli hukum bahwa penerapan universalitas dari hak
asasi manusia ke dalam hukum nasional atau pelaksanaan hak asasi manusia oleh
negara tidak sesuai dengan prinsip universalitas, dan cenderung disesuaikan dengan
bagaimana pandangan negara mengenai hak asasi manusia itu sendiri.
“Sebagai bangsa yang merupakan bagian (sub-sistem) masyarakat global,
tanpa mengabaikan unsur-unsur partikularistik yang dominan, berbagai
kecenderungan global harus dilihat sebagai kecenderungan nasional. Hal ini
khususnya apabila berkaitan dengan hak asasi manusia yang bersifat
absolute (absolute rights) yang tidak dapat dikesampingkan, sekalipun suatu
negara dalam keadaan darurat.”191
Konsepsi hak asasi manusia secara universal, tentunya tidak dapat terlepas
dari hukum internasional dimana sumber hukum internasional adalah:
a. international conventions, whether general or particular, establishing
rules expressly recognized by the contesting states;
b. International custom, as evidence of a general practice accepted as law.
c. The General Principles of Law Recognized by civilized nations;
d. Judicial decisions and the teaching of the most highly publicist of the
various nations, as subsidiary means for the determinations of rules of law.192

191 Muladi, “Pengadilan Pidana Bagi Pelanggar HAM Berat di Era Demokrasi”, Jurnal
Demokrasi & HAM, Vol 1, Mei-Agustus 2000, Hlm 38

192 Pasal 38 Statuta International Court of Justice


114
Hukum Internasional memiliki instrumen-instrumen utama hak asasi manusia
yang meliputi :
1. Universal Declaration of Human Rights
2. International Covenant on Civil and Political Rights
3. International Covenant on Economic,Social and Cultural Rights
4. Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political
Rights
5. Second Optional Protocol to The International Covenant on Civil and
Political Rights, aiming at the abolition of the death penalty.

Sebagai suatu tatanan nilai yang telah diterima masyarakat internasional


sebagaimana pengertian hukum internasional, dimana hukum internasional adalah
keseluruhan kaidah-kaidah dan azaz-azaz yang mengatur hubungan-hubungan yang
melampaui batas-batas negara antara negara dengan negara atau antara negara
dengan subyek hukum internasional atau antara subyek hukum internasional yang
satu dengan yang lain.193 Maka negara telah menerima konsep universalitas itu
sebagai suatu konsep yang berlaku secara universal. Bahkan dalam hal ini adanya
pandangan yang lebih moderat dan menafsirkan kecenderungan global lebih luas
yang mencakup pula pelbagai resolusi badan-badan PBB, model perjanjian (model
treaties), code of conduct, guidelines, basic principles, safeguard, standar minimum
rules, dan berbagai deklarasi yang disusun oleh badan-badan internasional serta
hasil-hasil pertemuan ilmiah yang diselenggarakan oleh profesi internasional 194:
“Globalisasi semakin memperkuat pemikiran-pemikiran untuk
mempersoalkan nilai-nilai dasar HAM, yang bersifat universal, indivisible and
interdependent and interelated. Bahkan sering ditegaskan agar masyarakat
internasional memperlakukan hak asasi secara global in a fair and equal
manner, on the same footing, and with the same emphasis.

Di dalam Viena Declaration and Programme of Action (Juni 1993) butir E.83
yang mengatur mengenai implementation and monitoring methods ditegaskan
bahwa pemerintah-pemerintah hendaknya menggabungkan (incorporate) standar-
standar yang terdapat pada instrument hak asasi manusia internasional ke dalam

193 Mochtar Kusumaatmaja, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta Bandung, Cetakan


ketujuh 1990, hlm.3.

194 Muladi mengutip Held, David, Democracy and the Global Order, Polity Press, 1995 Dalam
Tulisan “Pengadilan Pidana Bagi Pelanggar HAM Berat di Era Demokrasi”, dalam Jurnal
Demokrasi & HAM, Vol 1, Mei-Agustus 2000, Hlm 38
115
hukum nasional (domestic Legislation) dan memperkuat pelbagai struktur, lembaga
nasional dan organ-organ dalam masyarakat yang memainkan peran di dalam
mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia.”195
“Muladi mengatakan sekalipun hak asasi manusia memiliki sifat universal,
namun sebagaimana negara-negara berkembang yang lain dalam implementasinya
dikenal pula asas relativisme kultural, yang secara universal juga sudah mendapatkan
pengakuan, tentu sejauh penggunaan asas relativisme kultural tersebut tidak
bertentangan dengan prinsip dan hakekat hak asasi manusia yang universal.
Pentingnya untuk tetap mempertimbangkan aspek kultural dan historis suatu
bangsa atau masyarakat dalam penerapan hak asasi manusia, nampak pada contoh
sebagai berikut:
The Jakarta message (1992) butir 18 antara lain menegaskan bahwa “No
country however, should use ist power to dictate its concept of democracy and human
rights or impose conditionalities on others.”
Deklarasi Kuala Lumpur (1993) tentang hak asasi manusia yang dirumuskan
oleh ASEAN Inter Parliamentary Organization (AIPO) antara lain menegaskan :
“the people of ASEAN Accept that human rights exist in a dynamic and volving
context and that each country has inherent historical experiences, and changing
economic, social,political and cultural and value system which should be taken
into account”.

Deklarasi Bangkok 1993 yang dirumuskan oleh negara-negara Asia yang


menyatakan bahwa:
“While Human Rights are Universal in nature, they must be considered in the
context of a dynamic and envolving process of international norms setting,
bearing in mind the significance of national and regional peculiarities and
various historical, cultural and religious background.”196
Deklarasi Wina dan Program Aksi (1993) yang dihasilkan oleh konferensi dunia
tentang Hak asasi manusia yang merumuskan bahwa:
“All human rights are universal, indivisible and interdependent and interrelated
while the significant of national and regional Particularities and various

195 Komisi Hak asasi manusia, Hak asasi manusia Dalam Perspektif Budaya, Makalah
Muladi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, Hlm 81.

196 Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, The
Habibie Center, akarta 2002, Hlm.56.
116
historical, cultural and religious background must be borne in mind, it is the
duty of states, regardless of their political, economic and cultural systems, to
promote and protect all human rights and fundamental freedoms.”197

Sekalipun para sarjana hukum sering berpendapat bahwa berbicara mengenai


universalitas dan partikularitas dari hak asasi manusia pada saat ini sudah tidak
relevan lagi, pada kenyataannya persoalan tersebut selalu saja terjadi ketika
berbicara mengenai pengaturan hak asasi manusia dalam peraturan perundang-
undangan nasional dan pelaksanaan atau penegakan hukum mengenai hak asasi
manusia.
Dalam kaitannya dengan konsep universalitas dari hak asasi manusia, dalam
penerapannya di suatu negara hak asasi manusia yang sifatnya universalitas tersebut
kemudian dipengaruhi oleh aspek sosial budaya dari negara yang bersangkutan.
Universalitas tersebut kemudian dilihat dalam konsep hak asasi manusia dari negara
yang bersangkutan yang dipengaruhi oleh konsep-konsep lain seperti konseps hak
asasi manusia dalam Persepektif Islam, konseps hak asasi manusia dalam Perspektif
Indonesia, hak asasi manusia dalam Persepektif Barat, konsep hak asasi manusia
dalam Perspektif Negara Maju, konsep hak asasi manusia dalam Perspektif Negara
Berkembang, yang kesemuanya itu pada akhirnya membawa pembahasan pada
universilitas dan partikularitas dari hak asasi manusia.
Perdebatan mengenai universalitas dan relativitas selalu mengemuka apabila
berbicara mengenai hak asasi manusia.198 Satu hal yang juga harus dicatat bahwa
adalah salah satu hal yang dapat dipergunakan untuk menentukan persoalan budaya
dalam pemberlakuan hak asasi manusia, tetapi tidak dapat dikatakan bahwa hak
asasi manusia tidak sesuai untuk non barat dan ajaran-ajaran agama. 199
Zehra F Kabaskal Arat, mengatakan bahwa dengan penerimaan masyarakat
internasional terhadap Universal Declaration of Human Rights masyarakat
internasional telah memiliki budaya internasional tersendiri. 200

197Viena Declaration and Programme of Action (Juni 1993)

198 Michael Goodhart, “Origins and Universality in the Human Rights Debates : Cultural
Essentialism and the Chalenge of Globalizations”, dalam Human Rights Quarterly A
Comparative and international Journal of The Social Sciences Humanity, and Law,Volume 25
Number 4 November 2003,The Jhon Hopkins University Press, Hlm 938.

199 Ibid, Hlm 939.

200 Zehra F Kabaskal Arat, “Forging A Global Culture of Human Rights:Origin and Prospects of
International Bill of Rights”, dalam Human Rights Quarterly A Comparative and
117
Kritikan terhadap universalitas dari Universal Declaration of Human Rights,
disebabkan karena :
1. Latar Belakang Budaya yang Berbeda
2. Dipandang mencoba untuk merubah Budaya lokal dan mengganti
budaya lokal tersebut.
3. Universal Declaration of Human Rights dipandang menciptakan suatu
budaya baru yang disebut dengan Budaya Internasional Baru. 201
Perbedaan yang ada dalam menyikapi Universal Declaration of Human Rights,
apakah negara tetap akan menghormati Universal Declaration of Human Rights.202
Pada sisi lain apabila pengaturan hak asasi manusia dalam suatu negara sudah
disesuaiakan dengan latar belakang dan budaya suatu negara apakah menjamin
bahwa hak asasi manusia tersebut akan dilaksanakan dengan baik. 203
Dalam menyikapi perbedaan pandangan mengenai universalitas dan
partikularistik dari HAM dikenal adanya suatu konsep yang disebut dengan “The
Concept of the Margin Appreciation”, dimana yang dimaksudkan dengan Concept of
Margin Appreciation adalah suatu konsep dalam menyikapi perbedaan pelaksanaan
universalitas dari hak asasi manusia dengan aspek sosial dan budaya maka
diperlukan suatu toleransi dalam menyikapi perbedaan pandangan yang ada tannpa
memberikam justifikasi bahwa suatu paham dalam hak asasi manusia lebih baik dari
paham yang lain.204
Dalam kaitannya dengan pembahasan hak asasi manusia yang Universal serta
perlunya diperhatikan aspek-aspek sosial budaya setempat yang dikenal dengan
Partikularistik dari hak asasi manusia, peneliti mengacu kepada Final Declaration of
the Regional Meeting For Asia of The World Conference on Human Rights yang
kemudian dikenal dengan Bangkok Declaration 1993 merupakan pengakuan regional

International Journal of the Social Sciences, Humanities, and Law, Volume 28, Number 2,
May 2006, The Jhon Hopkin University, Hlm 417.

201Zehra F Kabaskal Arat, Ibidem, Hlm 418.

202 Scott Walker & Steven C,Poe, “Does Cultural Diversity Affect Countries Respect for
Human Rights?”, dalam Human Rights Quarterly A Comparative and International Journal of
The Social Sciences, Humanities, and Law,Volume 24 Number 1 February 2002, Hlm,238

203 Ibid, Hlm.245.

204 Paul Mahoney, “Marvellous Richness of Diversity or Indivious Cultural Relativism”, dalam
Human Rights Law Journal ,Vol.19,No 1,30 April 1998,N.P.Engel Publisher Hlm 1.
118
dari hak asasi manusia terhadap Universalitas dari hak asasi manusia sebagaimana
tanpa mengabaikan aspek partikularistik dari hak asasi manusia.

Reaffirming their commitment to principles contained in the Charter of the


United Nation and the Universal Declaration on Human Rights 205
Stressing the Universality,Objectivity and non selectivity of all human rights and
the need to avoid the application of double standards in the implementation of
human rights and its politicization.206
Dalam Deklarasi 8
“While Human Rights are Universal in nature,they must be considered in the
context of a dynamic and volving process of international norms setting,
bearing in mind the significance of national and regional peculiarities and
various historical,cultural and religious background.”207
Serta dalam Deklarasi 24
“Welcome the important role played by national institution in the genuine and
constructive promotion of Human Rights, and believe that the conceptualization
and eventual establihsment of such institution are best left for the state to
decide.”208

Hak Asasi Manusia sebagai suatu nilai yang universal tertuang dalam
Universal Declaration of Human rigths, yang ditegaskan kembali dalam Deklarasi
Wina

“Dalam sejarah perkembangannya yang awal di negeri-negeri Barat, proses


berkembangnya ide hak-hak manusia yang asasi -- berikut segala praksis-praksis
implementatifnya -- terjadi berseiring benar dengan berkembangnya ide untuk
Membangun suatu negara bangsa yang demokratik dan berinfrastruktur
masyarakat warga (civil society). Ide ini mencita-citakan terwujudnya suatu komunitas
politik manusia sebangsa atas dasar prinsip kebebasan dan kesamaan derajat serta
kedudukan di hadapan hukum dan kekuasaan. Ini berarti bahwa setiap manusia
sebangsa dalam kehidupan komunitas bangsa yang disebut Negara bangsa itu akan

205 Final Declaration of the Regional Meeting For Asia of The World Conference on Human
Rights yang kemudian dikenal dengan Bangkok Declaration 1993

206 Ibid

207 Ibid

208 Ibid
119
tak lagi boleh dipilah ke dalam golongan mereka yang harus disebut para Gusti
dengan segala hak-hak istimewanya dan golongan mereka yangharus dinisbatkan
sebagai para Kawula Alit dengan segala kewajibannya untuk patuh dan berdisiplin.
Tak lagi mengenal dua kelas yang terpilah secara diskriminatif, masyarakat
yang terbentuk itu -- demikian menurut model idealnya -- adalah suatu masyarakat
baru yang berhakikat sebagai masyarakat warga yang pada asasnya berkebebasan,
eksis dan bersitegak di atas dasar paham egalitarianisme. Tak lagi ada kelas ningrat
yang atas, tak ada lagi kelas kawula biasa yang bawah, yang ada kini ini (idealnya
yang universal !) adalah kelas tengah.Semua saja tanpa kecualinya memiliki hak dan
kebebasan yang sama. Hak dan kebebasan hanya boleh dibatasi -- atas dasar
kesepakatan, yang dicapai tanpa rasa keterpaksaan -- oleh para warga itu sendir
(atau oleh wakil atau kuasanya).
Kesepakatan seperti itu, yang dalam istilah teknisnya kesepakatan
kontraktual, kemudian daripada itu harus dipositifkan dalam wujud kontrak-kontrak
perjanjian (manakala dalam kehidupan privat) atau akan berbentuk undang-undang
(manakala dalam kehidupan publik). Itulah suatu perkembangan dalam kehidupan
hukum,dari kehidupan dengan hukum yang tercipta oleh sumber kekuasaan
eksternal ke kehidupan baru dengan hukum yang tercipta oleh sumber kekuasaan
yang internal dari para manusia itu sendiri diidealkan seperti itu, maka pada asasnya
dan menurut doktrinnya hak-hak para warga yang asasi dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara itu – juga pembatasannya dalan wujud kewajiban-
kewajiban -- mestilah berawal pula dari kesepakatan yang jujur dan ikhlas. Tidaklah
sekali-kali dibenarkan manakala hubungan atas dasar kesepakatan itu terjadi karena
suatu pemaksaan atau keterpaksaan, atau pula karena dikecoh atau disesatkan lewat
penipuan. Hak dan kewajiban yang menjadi dasar dari seluruh tertib hukum di dalam
kehidupan bernegara bangsa dan di dalam kehidupan masyarakat warga itu tidaklah
sekali-kali boleh bermula dari kehendak sepihak yang dipaksakan : dipaksakan oleh
dia yang tengah berkekuatan dan berkekuasaan kepada dia yang tengah berada
dalam posisi lemah dan kurang berkeberdayaan Tatkala hak-hak asasi manusia
dideklarasikan di New York atas wibawa Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun
1948, deklarasi itu tak ayal lagi adalah deklarasi yang pada dasarnya bertolak dari
dan bertumpu pada ide, doktrin dan/atau konsep mengenai kebebasan dan
kesetaraan manusia sebagaimana yang telah lama dimengerti di dunia Barat itu
sebagaimana dipaparkan di muka.
Lebih lanjut lagi deklarasi itu bahkan juga mengklaim bahwa hak-hak dan
seluruh ide dan doktrin yang mendasarinya itu juga bernilai universal Kalau semula
pada awalnya yang dimaksudkan dengan universalitas itu adalah universalitas yang

120
masih pada lingkup nasional, mengatasi partikularisme yang lokal dan/atau etnik dan
atau yang sektarian, kini yang dimaksudkan dengan universalitas itu deklarasi itu
secara resmi disebut The Universal Declaration of Human Rights, dengan
mengikutkan kata ‘universal’ guna mengkualifikasi deklarasi itu sebagai suatu
pernyataan yang berkeniscayaan mesti berlaku umum di negeri manapun, pada
kurun masa yang manapun, untuk dan terhadap sesiapapun dari bangsa
manapun.Namun demikian, yang masih tetap akan menjadi persoalan besar sampai
pun saat ini ialah, apakah ide dan konsep – dan karena itu segala kebijakan dan
upaya penegakan hak-hak asasi manusia di dalam kehidupan yang telah berskala
global itu – harus bersifat demikian universalistik, dalam artiannya yang mutlak?
Ataukah, sekalipun deklarasi itu telah diterima oleh banyak wakil negara bangsa di
dunia ini, masihkah ada juga tempat untuk tafsir-tafsir yang lebih bersifat
partikularistik? Artinya, adakah hak-hak asasi manusia itu harus ditegakkan kapan
saja, di mana saja dalam pengertiannya yang sama sebagaimana modelnya yang
klasik dari Barat itu? Ataukah hak-hak asasi manusia itu hanya bisa dipandang
sebagai sesuatu yang universal dalam hal prinsip-prinsipnya saja? Yang oleh sebab
itu implementasinya -- demi pemajuan dan penegakan hak-hak dengan
memperimbangkan dan/atau memperhitungkan kondisi dan situasi setempat yang
partikular .”209
C. Konsep Partikular Hak Asasi Manusia

“Menghadapi persoalan universalismepartikularisme ini, banyak negara di


kawasan-kawasan regional mencoba mendefinisikan ulang hak-hak asasi manusia
dengan mencoba menampung keragaman konsep-konsep lokal itu dalam
konteksnya yang lebih umum dan universal. Di kawasan ASEAN, misalnya, pada
tahun 1984 pernah dideklarasikan suatu pernyataan mengenai "Kewajiban-
Kewajiban Dasar bagi Masyarakat dan Pemerintah di Negara-Negara ASEAN".
Salah satu pernyataan umum yang dihasilkan oleh pertemuan Kairo
menegaskan konsep hak-hak asasi manusia yang universal menurut versi Islam.
menyebutkan bahwa negara-negara yang wakil-wakilnya bersidang di Kairo ini
bersepakat untuk pada asasnya akan selalu menjunjung tinggi pelaksanaan
penegakan hak-hak asasi manusia, namun dengan catatan sejauh hak-hak manusia
yang asasi itu tidak bertentangan dengan syariah Islam.Tentu saja statemen-
statemen atau deklarasi-deklarasi yang selalu dinyatakan dalam rumusan-rumusan
umum itu dalam praktiknya yang konkrit nantinya masih menuntut penjabaran lebih
lanjut. Kesepakatan-kesepakatan, tidak hanya pada forum internasional akan tetapi
juga pada forum nasional itu sendiri, masih diperlukan. Banyak wacana masih perlu
209 Sutandyo wignjosubroto,Kursus Hak Asasi Manusia untuk advokat,Elsam 2005,Hlm 18
121
dikembangkan orang untuk mempertanyakan dan menemukan jawab mengenai
luas-sempitnya hak-hak warga negara dalam eksistensinya sebagai mahluk yang
berkodrat dan bermartabat sebagai manusia.
Manakah yang harus didahulukan untuk diikuti sebagai pegangan; konsep
humanistik yang universal ataukah konsep lokal-nasional yang partikular? Kongres
Dunia tentang hak-hak asasi manusia yang diselenggarakan di Wina pada bulan Juni
1993 mencoba menjawab dengan jelas pertanyaan ini. Dalam Kongres itu dicapai
kesepakatan untuk mengatasi persoalan universalisme-partikularisme itu dengan
menyatakan bahwa "sekalipun diakui adanya keragaman sosial dan budaya
setempat, akan tetapi semua saja harus tetap mengupayakan berlakunya
universalitas hak-hak asasi manusia berikut upaya-upaya penegakannya".
Kesepakatan dalam Kongres Wina itu memang boleh dikatakan merupakan
refleks mayoritas wakil-wakil Negara peserta untuk bertekad mengakui hak-hak asasi
manusia sebagai hak-hak yang kodrati, yang karena itu benar-benar bersifat
universal, dan yang karena itu pula bukanlah sekali-kali merupakan hak-hak yang
diperoleh karena kebajikan yang partikular dari para penguasa. Manakala
keragaman sosial-budaya setempat toh masih harus diakui keberadaan dan kekuatan
berlakunya, maka pengakuan itu hanyalah “demi fakta” saja sifatnya, yang tidaklah
akan mengganggu esensi normatifnya. Pada prinsipnya, tak ayal lagi hak-hak asasi
manusia itu tetap universal jugalah sifatnya, sedangkan keragaman dalam hal
pemahamannya itu -- yang sering terkesan masih sering bertahan pada saat ini --
hanyalah akibat pengalaman cultural berbagai bangsa yang berbeda-beda dari masa
lalu. Perbedaan tradisi yang partikular dari suku ke suku dan dari bangsa ke bangsa
tidaklah harus menghalangi pengakuan bahwa pada prinsipnya hak-hak asasi
manusia itu bersifat kodrati dan universal.Lebih lanjut, bertolak dari kesepakatan
Wina ini, orang dapatlah menyimpulkan bahwa hanya dalam keadaan-keadaan dan
kenyataan-kenyataan tertentu sajalah usaha merealisasi prinsip-prinsip yang
universal itu boleh ditangguhkan atau direservasi.
Apabila berdasarkan pertimbangan-pertimbangan khusus yang
bersifatsementara dan tak terelakkan suatu usaha penegakan hak-hak asasi manusia
atas dasar klaim universalitasnya itu akan menimbulkan akibat yang lebih
berkualifikasi mudarat daripada manfaat,maka tidaklah bijak untuk memaksakan
terteruskannya usaha itu. Di negeri-negeri berkembang, misalnya, kalaupun anak-
anak berdasarkan prinsip-prinsip universalisme harus diakui juga sebagai
pengemban hak-hak (katakan saja untuk memperoleh pendidikan seperti yang
dituliskan di Pasal 26 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia), namun dalam
praktik dan menuruti moral kultural di negeri-negeri berkembang yang miskin anak-

122
anak itu mestilah berbakti pada orang-tuanya dengan cara ikut membantu orang tua
bekerja, yang kalau perlu dengan meninggalkan bangku sekolahnya.” 210
Sekalipun seringkali dikemukakan dengan penuh semangat bahwa agama-
agama besar di dunia ini tak ada satu pun yang mengingkari hak-hak manusia untuk
hidup, bekerja dan menguasai milik demi keselamatannya di dunia dan
akhirat,namun toh tak dapat diingkari hal berikut ini. Ialah bahwa banyak tradisi lama
– juga yang mengklaim kebenarannya dari ajaran agama -- yang masih
mendakwakan bahwa hak dan kewenangan itu ada di tangan para penguasa, dan
tidak di tangan rakyat. Para penguasa -- dan bukan individu-individu yang hidup
sebagai bagian dari massa rakyat -- inilah yang eksis dalam statusnya sebagai
representasi kepentingan kolektif suatu kolektiva, entah yang berformat suku entah
yang berformat bangsa.
Tradisi lama ini umumnya juga mengenal pembeda-bedaan peran dan hak
diantara golongan penduduk, dengan akibat bahwa sesiapapun yang terbilang kaum
minoritas akan termarjinalisasi dan terdiskriminasi secara tak sepatutnya. Maka,
manakala oleh sesuatu sebab dan berdasarkan suatu argumen orang membenar-
benarkan berlakunya prinsip relativisme kultur seperti itu, ini akan berarti bahwa
orang yang berargumen seperti itu – sadar atau tidak – sebenarnya akan tidak
berkeberatan untuk menangguhkan berlakunya suatu kaidah tertentu dalam suatu
deklarasi internasional tentang universalitas hak-hak asasi manusia. Manakala
pendapat seperti ini memperoleh dukungan yang luas, maka tak ayal lagi, itu akan
berarti terjadinya toleransi untuk memperpanjang praktik diskriminasi dan mungkin
juga kriminalisasi di berbagai belahan bumi ini. Mengupayakan perubahan dengan
langkah-langkah yang bergaya memaksakan, namun demikian, adalah pula bukan
langkah yang bijaksana, dan salah-salah malah dapat diprasangkakan sebagai
langkah pelanggaran hak-hak manusia yang asasi untuk hidup dalam suasana
kebudayaannya sendiri.
Bukankah Pasal 27 Deklarasi Umum Hak-Hak Asasi Manusia menjamin bahwa
“setiap orang berhak untuk secara bebas mengambil bagian dalam kehidupan
kultural komunitasnya sendiri”? Bukankah pula sementara itu pasal 15 ayat 1(a)
Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Kultural juga
menjanjikan bahwa “setiap negara peserta Kovenan mengakui hak setiap orang
untuk mengambil bagian dalam kehidupan kultural”?
Berkeyakinan akan sifat universalitas hak-hak asasi manusia di satu pihak, akan
tetapi di lain pihak juga mengakui realitas betapa masih kuatnya partikularitas dan
relativitas kultur yang bertahan di berbagai negeri,kesepakatan yang dicapai dalam

210 Idem,Hal 19
123
Kongres Wina pada tahun 1993 dapatlah dinilai sebagai kompromi yang realistis
tanpa meninggalkan prinsip. Universalitas hak-hak asasi manusia adalah sesuatu
yang masih dalam tataran alam ideal, yang realisasinya masih akan memerlukan
upaya yang sungguh-sungguh guna mengefektifkan perubahan tradisi dan
keyakinan. Semua usaha ini harus dikerjakan melalui suatu proses berjangka panjang,
yang tidak akan lain daripada usaha pendidikan guna “memberantas buta hak di
kalangan rakyat”.
Kongres di Wina Perserikatan Bangsa-Bangsa mencanangkan tahun 1995-
2004 sebagai “Dasawarsa untuk Pendidikan Hak-Hak Asasi Manusia”. Pencanangan
“Dasawarsa untuk Pendidikan Hak-Hak Asasi Manusia, 1995-2004” ini boleh
dikatakan sebagai suatu pernyataan yang tak meragukan lagi akan adanya
kesepakatan bulat negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai
pentingnya pendidikan untuk memajukan pemahaman khalayak ramai di kalangan
bangsa-bangsa dunia mengenai hak-hak asasi. Pendidikan akan berpotensi
menyadarkan jutaan manusia di bumi ini akan pentingnya menyamakan visi
mengenai masa depan kehidupan manusia di bumi yang kian menyatu ini. Kalaupun
orang masih merasa perlu demi kesejahteraannya untuk mengukuhi tradisi lokalnya
dan ideologi kebangsaannya, dalam kehidupan masa depan di bumi yang kian
menyatu ini orang pun mestilah harus mulai sanggup menerima apa yang disebut
the third culture of human kind sebagai idom baru. Inilah prasyarat yang diperlukan
demi dimungkinkannya kehidupan bersama yang damai tanpa sekatan-sekatan yang
melambangkan adanya diskriminasi di antara sesama manusia di tengah kehidupan
yang tidak hanya bersifat multikultural melainkan juga telah kian plural”. 211
D. Konsep Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia dan Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi
1. Konsep Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia dalam Hukum
Internasional

Pelanggaran berat hak asasi manusia dalam hukum internasional berkaitan


dengan beberapa ketentuan yang berkembang pasca perang dunia kedua, yang bisa
dilihat dalam antara lain Nurenberg Trial yang meliputi genocide, War Crime, Crime
against humanity, diatur dalam International Criminal Tribunal for the former
Yugoslavia dan International Crriminal Tribunal for Rwanda yang meliputi war crime,
crime againt humanity dan genocide.

Seiring dengan berdirinya International Criminal Court sebagai pengadilan


internasional yang sifatnya permanen, yang mempunyai yurisdiksi atas 4 macam

211 Idem,Hlm 20.


124
kejahatan yang meliputi genocide,war Crime, Crime against humanity dan agresi
menegaskan bahwa kejahatan-kejahatan yang termaksud diatas adalah kejahatan-
kejahatan yang dikatagorikan dalam pelanggaran hak asasi manusia berat. 212

Setelah perang dunia ke II yang dahsyat itu Hukum Internasional Hak Asasi
Manusia (HIHAM) mengalami perkembangan yang pesat dan signifikan serta dengan
sendirinya menjadi rujukan berbagai aktor seperti, negara, organisasi internasional,
nasional, dan individu ketika menanggapi banyak peristiwa pelanggaran Hak Asasi
Manusia (HAM). Hubungan antar bangsa di dunia meliputi tidak saja kepentingan
ekonomi, politik dan militer, tapi juga kepentingan sosial dan budaya. Hubungan
antar bangsa di berbagai bidang kegiatan itu tak terelakkan wajib menghormati dan
mematuhi HAM. Dalam konteks ini Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) secara
umum menyebutkan, bahwa “PBB akan memajukan penghormatan dan kepatuhan
terhadap HAM dan kebebasan-kebebasan dasar bagi semua bangsa tanpa
pembedaan suku bangsa, kelamin, bahasa atau agama.” (Pasal 55 c Piagam PBB).
Selain itu pada bulan Desember tahun 1948 Majelis Umum PBB menerima dan
mengesahkan Deklarasi Umum HAM PBB (DUHAM PBB). DUHAM PBB memuat
norma-norma HAM di bidang-bidang sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Norma-norma HAM itu dinyatakan dalam suatu deklarasi dan berlaku sebagai
standar atau baku pelaksanaan HAM bagi semua bangsa dan semua negara.
Piagam dan DUHAM PBB tersebut di atas merupakan salah satu sumber awal
bagi lahirnya HIHAM seperti, Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Genosida
tahun l948, Konvensi Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, Konvensi Internasional
Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan
dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan
Merendahkan Martabat Manusia, Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Rasial, Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Perempuan, Konvensi Internasional Tentang Hak-hak Anak, dan lain
sebagainya. Konvensi-konvensi internasional tersebut perlu dikemukakan untuk
menggambarkan tahapan perkembangan Undang-undang HAM Internasional
(International Bill of Rights).
J.G. Starke menyebutkan secara kronologis tiga tahapan penyusunan
International Bill of Rights sebagai berikut: pertama, sebuah Deklarasi yang
menetapkan bermacam-macam hak manusia yang seharusnya dihormati; kedua,
serangkaian ketentuan Konvensi yang mengikat negara negara untuk menghormati
hak-hak yang telah ditetapkan tersebut; dan ketiga, langkah-langkah dan perangkat
kerja untuk pelaksanaannya. Sebagian dari Konvensi konvensi internasional itu sudah
diratifikasi oleh Republik Indonesia dan karena itu sudah menjadi bagian dari hukum
nasional Indonesia. Konvensi konvensi internasional yang telah diratifikasi itu, antara
212 Abdul hakim garuda Nusantara, Penerapan Hukum Internasional Dalam Kasus
Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat di Indonesia

125
lain Konvensi internasional Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau
Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat
Manusia, Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial,
Konvensi Internasional Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Perempuan, Konvensi Internasional Tentang Hak Anak, dan berbagai Konvensi
International Labour Organization (ILO) yang tidak disebutkan disini.
Substansi konvensi konvensi internasional HAM tersebut, tidak akan
ditemukan suatu difinisi tunggal yang menjelaskan secara memadai pengertian
pelanggaran HAM berat. Pelanggaran HAM berat pada umumnya difahami sebagai
suatu perbuatan pelanggaran HAM yang membawa dampak buruk yang luar biasa
dahsyat pada jiwa, raga dan peradaban manusia. Salah satu bentuk pelanggaran
HAM berat adalah genosida. Menurut Konvensi Pencegahan dan Penghukuman
Genosida Tahun l949 genosida berarti tindakan dengan kehendak menghancurkan
sebagian atau keseluruhan kelompok nasional, etnis, ras atau agama; atas salah satu
dari lima tindakan berikut ini yaitu:
a. Membunuh anggota kelompok;
b. Menyebabkan cacat tubuh atau mental yang serius terhadap anggota
kelompok;
c. Secara sengaja dan terencana mengkondisikan hidup kelompok ke arah
kehancuran fisik secara keseluruhan atau sebagian ;
d. Memaksakan langkah-langkah yang ditujukan untuk mencegah
kelahiran dalam kelompok tersebut ;
e. Dengan paksa memindahkan anak-anak kelompok tersebut ke
kelompok lain. 213

Menurut Geoffrey Robertson QC pengertian genosida tersebut di atas cukup


luas di mana termasuk didalamnya perbuatan pembersihan etnis dan pembersihan
massal agama. Akan tetapi difinisi itu tidak menyentuh pembantaian terhadap suatu
kelas ekonomi tertentu (kaum Kulaks) dan jutaan orang yang dianggap pengkhianat
yang dilakukan oleh Stalin. Definisi genosida tersebut di atas juga tidak menjangkau
pembunuhan ribuan orang yang mempunyai keyakinan politik tertentu yang
dilakukan oleh para penguasa militer. Misalnya, atas dasar itu pemerintah Kerajaan
Inggris menolak untuk memenuhi tuntutan Jaksa Spanyol yang menuduh Jenderal
Pinochet telah melakukan genosida karena membantai kelompok sayap kiri di Chili.
Sebagaimana telah disebutkan di atas tidak ada satu difinisi tunggal yang
memadai untuk menjelaskan perbuatan yang dapat dikatagorikan pelanggaran HAM
berat. Berbagai bentuk pelanggaran HAM berat tidak cukup diterangkan dalam satu
difinisi hukum. Piagam Pengadilan Militer Internasional Nuremberg menyebutkan
kejahatan yang dapat dikatagorikan sebagai pelanggaran HAM berat sebagai
berikut:

213 Konvensi pencegahan dan penghukuman Genosida tahun 1949


126
1. Kejahatan terhadap perdamaian (Crimes against peace). Termasuk kejahatan
terhadap perdamaian ialah: merencanakan, mempersiapkan, memulai, atau
menjalankan perang agresi, atau perang yang melanggar perjanjian-perjanjian
internasional, persetujuan-persetujuan atau jaminan-jaminan; atau turut serta di
dalam rencana bersama atau komplotan untuk mencapai salah satu daripada
tujuan perbuatan-perbuatan tersebut di atas.
2. Kejahatan Perang (War Crimes). Termasuk kejahatan perang ialah: pelanggaran
terhadap hukum atau kebiasaan-kebiasaan perang, seperti pembunuhan
(murder), perlakuan kejam terhadap penduduk sipil dengan mengasingkan
mereka, mengerjakan mereka secara paksa, atau di wilayah pendudukan
memperlakukan tawanan-tawanan perang dengan kejam, membunuh mereka,
atau memperlakukan orang di laut secara demikian; merampas milik Negara atau
milik perseorangan, menghancurkan kota atau desa dengan secara berkelebihan
atau semau-maunya, atau membinasakannya tanpa adanya keperluan militer.
3. Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crimes against humanity). Termasuk kejahatan
terhadap kemanusiaan ialah: pembunuhan (murder) membinasakan,
memperbudak, mengasingkan dan lain-lain kekejaman di luar perikemanusiaan
terhadap penduduk sipil, yang dilakukan sebelum atau sesudah perang;
perkosaan hak-hak dasar berdasarkan alasan-alasan politik, ras atau agama.
Pemimpin atau orang yang mengorganisir, menghasut dan membantu mereka
yang turut serta dalam membentuk atau melaksanakan rencana bersama
komplotan untuk melakukan kejahatan-kejahatan tersebut bertanggungjawab
atas perbuatan orang-orang yang melakukan rencana tersebut. 214
Menurut Pasal 6 Piagam Pengadilan Militer Internasional tersebut para
pemimpin, organisator, instigator (agitator) dan pembantu yang berpartisipasi untuk
merencanakan atau melaksanakan atau berkonspirasi untuk melakukan kejahatan
tersebut di atas tetap bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukan oleh
setiap orang yang melaksanakan rencana tersebut.
Pengadilan Internasional untuk penuntutan orang-orang yang yang diduga
bertanggungjawab atas pelanggaran serius hukum humaniter internasional di
wilayah bekas Yugoslavia sejak tahun l991 (International Tribunal For The Prosecution
of Persons Responsible for Serious Violations of International Humanitarian Law
Committed In The Territory Of The Former Yugoslavia Since l991 (ICTY) dibentuk
berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB No.827 Tahun 1993 menyebutkan
berbagai bentuk pelanggaran serius atau berat HAM, yang berada di bawah
kompetensi pengadilan tersebut, yaitu: 1. Kejahatan Genosida; 2. Kejahatan terhadap
Kemanusiaan. Statuta Pengadilan Pidana Internasional Untuk Rwanda (ICTR)
menyebutkan pula kompetensinya atas kejahatan genosida dan kejahatan terhadap
Kemanusiaan. Dua bentuk kejahatan ini dinilai sebagai suatu pelanggaran serius atau
berat HAM oleh masyarakat internasional karena dampak buruknya yang luar biasa
dahsyat bagi jiwa, raga dan peradaban manusia.

214 Pasal 6 pengadilan Militer Internasional Nuremberg


127
Upaya masyarakat internasional untuk memperbaiki sistem perlindungan
HAM dengan cara mengadili dan menghukum para pelaku pelanggaran HAM berat
mencapai puncaknya ketika pada tanggal 17 Juli l998 Konferensi Deplomatik PBB
mengesahkan Statuta Roma Tentang Pengadilan Kejahatan Internasional.
Mukadimah Statuta Roma memuat pandangan dasar sebagai berikut:
“Menyadari bahwa semua orang dipersatukan oleh ikatan bersama,
kebudayaan mereka bertaut kembali dalam suatu warisan bersama, dan
keprihatinan bahwa mosaik yang rapuh ini dapat hancur setiap saat,
Menyadari bahwa dalam abad ini berjuta-juta anak, perempuan, dan laki-laki
telah menjadi korban dari kekejaman tak terbayangkan yang sangat
mengguncang nurani kemanusiaan, Mengakui bahwa kejahatan yang sangat
keji tersebut mengancam perdamaian, keamanan dan kesejahteraan dunia,
Menegaskan bahwa kejahatan paling serius yang menjadi perhatian
masyarakat internasional secara keseluruhan tidak boleh dibiarkan tak
dihukum dan bahwa penuntutan mereka secara efektif harus dijamin dengan
mengambil langkah-langkah ditingkat nasional dan dengan memajukan
kerjasama internasional, bertekad untuk memutuskan rantai kekebalan hukum
(impunity) bagi para pelaku kejahatan ini dan dengan demikian memberi
sumbangan kepada dicegahnya kejahatan tersebut,Mengingat bahwa
merupakan tugas setiap negara untuk melaksanakan yurisdiksi kejahatannya
terhadap orang-orang yang bertanggungjawab atas kejahatan
internasional,” 215

Pengadilan Kejahatan Internasional yang dibentuk berdasarkan Statuta Roma


mempunyai yurisdiksi atas kejahatan paling serius yang merupakan pelanggaran
HAM berat yaitu:
1. Kejahatan genosida;
2. Kejahatan terhadap kemanusiaan;
3. Kejahatan Perang;
4. Kejahatan agresi. 216
Statuta Roma, Statuta ICTY, Statuta ICTR, dan Piagam Pengadilan Militer
Internasional Nuremberg menganut asas pertanggungjawaban individu. Yang berarti
tanpa memandang kedudukan atau jabatan seseorang bertanggungjawab atas
keterlibatannya dalam perbuatan pelanggaran HAM berat. Perihal
pertanggungjawaban individu itu telah dirumuskan oleh Komisi Hukum Internasional
(International Law Commission) pada tanggal 29 Juli 1950 sebagai berikut:
1. Setiap orang yang melakukan suatu perbuatan yang merupakan suatu kejahatan
internasional bertanggungjawab atas perbuatannya dan harus dihukum.
2. Fakta bahwa hukum internal (nasional) tidak mengancam dengan pidana atas
perbuatan yang merupakan suatu kejahatan menurut hukum internasional
215 Mukadimah Statuta Roma

216 Statuta Roma


128
tidaklah membebaskan orang yang melakukan perbuatan itu dari
tanggungjawab menurut hukum internasional.
3. Fakta bahwa orang tersebut melakukan perbuatan yang merupakan suatu
kejahatan menurut hukum internasional bertindak sebagai Kepala Negara atau
Pejabat Pemerintah yang bertanggungjawab, tidak membebaskannya dari
tanggungjawab menurut hukum internasional.
4. Fakta bahwa orang tersebut melakukan perbuatan itu untuk melaksanakan
perintah dari Pemerintahnya atau dari atasannya tidaklah membebaskannya dari
tanggungjawab menurut hukum internasional, asal saja pilihan moral (moral
choice) yang bebas dimungkinkan olehnya.217
Dalam upaya untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan pelanggaran HAM
berat itu Piagam Pengadilan Militer Internasional Nuremberg dan Statuta ICTY
menerapkan asas retroaktif. Yang berarti Statuta itu diperlakukan terhadap kejahatan
yang dilakukan sebelum adanya Statuta tersebut. Berbeda dari Piagam Nuremberg
dan Statuta ICYTY, Statuta Roma menganut asas tidak berlaku surut (non-retroactive).
Ide, nilai dan norma yang terkandung dalam HAM, khususnya yang berkenaan
dengan pencegahan dan penghukuman pelanggaran HAM berat tak terhindarkan
membawa pengaruh yang cukup dalam pada perkembangan hukum HAM di
Indonesia. Berbagai peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa rezim
otoriter Orde Baru tidak ada presedennya dalam sejarah Indonesia merdeka.
Pembantaian massal yang terjadi pada tahun l965, pelanggaran-pelanggaran HAM di
Timor-Timur, Tanjung Priok, Papua, Aceh dan di tempat-tempat lain merupakan
pelanggaran berat HAM yang sampai hari ini belum tuntas diselesaikan.
Negara dan masyarakat Indonesia tidak punya pengalaman yang memadai
untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut. Selain itu perangkat
hukum pidana dan HAM tidak memadai untuk menangani kasus-kasus tersebut
secara benar dan adil. Oleh karena itu wajar bila para perancang pembaharuan
hukum di Indonesia melihat dan belajar pada negeri lain dan masyarakat
internasional, khususnya berkaitan dengan pencegahan dan penghukuman para
pelaku pelanggaran HAM berat. Dalam hal ini tak dapat di bantah bahwa idea
perlunya pengadilan HAM yang khusus memeriksa dan memutus pelanggaran HAM
berat merupakan salah satu tujuan pendirian Pengadilan Pidana Internasional.
Di Indonesia Undang-undang (UU) No. 26 Tahun 2000 menyatakan, bahwa
Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara
pelanggaran HAM yang berat. Tak pula dapat dibantah konsep pelanggaran HAM
berat yang terkandung dalam UU tersebut mengadopsi sebagian konsep
pelanggaran HAM berat yang tertuang dalam Statuta Roma. Menurut UU No. 26
Tahun 2000, pelanggaran HAM berat meliputi: a. kejahatan genosida; b. kejahatan
terhadap kemanusiaan. Oleh UU Pengadilan HAM tersebut genosida diartikan
sebagai “setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan

217 Perihal pertanggungjawaban individu itu telah dirumuskan oleh Komisi Hukum
Internasional (International Law Commission) pada tanggal 29 Juli 1950
129
atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis,
kelompok agama, dengan cara:
a. membunuh anggota kelompok;
b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap
anggota-anggota kelompok;
c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan
kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di
dalam kelompok; atau
e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke
kelompok lain.
Pengertian genosida yang termuat dalam pasal 8 UU No. 26 Tahun 2000
hampir sama dengan pengertian genosida yang terkandung dalam pasal 6 Statuta
Roma. UU Pengadilan HAM mendifinisikan kejahatan kemanusiaan sebagai salah
satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau
sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung
terhadap penduduk sipil, berupa:
a. pembunuhan;
b. pemusnahan;
c. perbudakan;
d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara
sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum
internasional;
f. penyiksaan;
g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan
kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk
kekerasan seksual lain yang setara;
h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan
yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya,
agama, jenis kelamin, atau alasan lain yang telah diakui secara universal
sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
i. penghilangan orang secara paksa; atau
j. kejahatan apartheid.
Pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan yang tertuang dalam pasal 9 UU
No. 26 Tahun 2000 itu jelas sama dengan pengertian kejahatan terhadap
kemanusiaan yang dirumuskan dalam pasal 7 ayat 1 Statuta Roma. Baik pasal 9 UU
Pengadilan HAM maupun pasal 7 ayat 1 Statuta Roma tidak menjelaskan pengertian
serangan yang meluas atau sistematik sebagaimana yang dirumnuskan oleh kedua
pasal tersebut. Pengertian serangan yang meluas atau sistematik dirumuskan oleh
pengadilan yang mengadili dan memutus kasus kejahatan terhadap kemanusiaan.
Berikut ini akan disampaikan pengertian serangan meluas atau sistematik menurut

130
putusan Hakim pengadilan HAM Ad Hoc Indonesia dalam kasus pelanggaran Ham
berat sebagai berikut:
1. Putusan No.01/PID.HAM/AD.HOC/2002/PH. JKT.PST. atas nama Terdakwa Abilo
Jose Osorio Soares. Majelis hakim berpendapat sebagai berikut:
a. yang dimaksud dengan serangan adalah bahwa serangan tersebut tidak harus
selalu merupakan serangan militer, seperti yang diartikan oleh International
Humanitarian Law dalam arti bahwa serangan tersebut tidak perlu harus
mengikutsertakan kekuatan militer atau penggunaan senjata, dengan perkataan
lain apabila terjadi pembunuhan sebagai hasil dari suatu pengerahan kekuatan
atau operasi yang dilakukan terhadap penduduk sipil. Keadaan bentrokan
semacam ini dapat masuk ke dalam terminology serangan (attack);
b. bahwa yang dimaksud dengan serangan terhadap penduduk sipil tidak berarti
bahwa serangan harus ditujukan terhadap penduduk (population) secara
keseluruhan, tetapi cukup kepada sekelompok penduduk sipil tertentu yang
mempunyai keyakinan politik tertentu;
c. yang dimaksud “meluas“ karena pada peristiwa-peristiwa yang didakwakan
terbukti terjadi pembunuhan secara besar-besaran, berulang-ulang, dalam skala
yang besar (massive, frequent, large scale), yang dilakukan secara kolektif
dengan akibat yang sangat serius berupa jumlah korban nyawa yang besar;
d. yang dimaksud dengan sistematik adalah terbentuknya sebuah ide atau prinsip
berdasarkan penelitian atau observasi yang terencana dengan prosedur yang
sudah umum. Dalam kaitannya dengan pelanggaran berat HAM, definisi
sistematik dapat berarti kegiatan yang berpola sama dan konsisten (berulang-
ulang). Pola disini berarti struktur atau desain yang saling berhubungan.
Sedangkan konsisten di sini berarti sebuah gagasan yang ditandai dengan tidak
berubahnya posisi atau saling berhubungan, bisa juga karakter tertentu yang
sudah terbentuk dan ditunjukan secara berulang-ulang.”

Selanjutnya menurut Majelis Hakim, pengertian sistematik memiliki 4 (empat) elemen


sebagai berikut:
1. “adanya tujuan politik, rencana dilakukannya penyerangan, suatu
ideologi, dalam arti luas menghancurkan atau melemahkan suatu komunitas;
2. melakukan tindak pidana dengan skala yang besar terhadap suatu
kelompok penduduk sipil, atau berulang-ulang dan terus menerusnya tindakan
tidak manusiawi yang saling berhubungan antara yang satu dengan yang
lainnya;
3. adanya persiapan dan penggunaan yang signifikan dari milik atau
fasilitas publik atau perorangan;
4. adanya implikasi politik tingkat tinggi atau otoritas militer dalam
mengartikan atau mewujudkan rencana yang metodologis.”

2. Putusan No.08 / PID.HAM / AD.HOC / 2002 / PN.JKT.PST atas nama Terdakwa


Letkol Inf. Soedjarwo. Majelis Hakim berpendapat sebagai berikut:
131
- “yang dimaksud dengan serangan meluas tidaklah harus selalu merupakan
serangan militer seperti yang diartikan oleh International Humanitarian Law
sehingga pengertian serangan tersebut tidak perlu harus mengikut sertakan
kekuatan militer atau senjata, dengan perkataan lain apabila terjadi pembunuhan
sebagai hasil dari suatu pengerahan kekuatan atau operasi yang dilakukan
terhadap penduduk sipil. Keadaan bentrokan semacam ini adalah termasuk dalam
terminology serangan (attack);

- Bahwa yang dimaksud dengan serangan terhadap “penduduk sipil“ bukan berarti
serangan harus ditujukan terhadap penduduk (population) secara keseluruhan,
akan tetapi cukup kepada sekelompok penduduk sipil tertentu yang mempunyai
keyakinan politik tertentu;

- Bahwa salah seorang Hakim Pengadilan Pidana Internasional untuk Yugoslavia,


Jean Jaques Heintz menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “serangan meluas”
adalah serangan yang bersifat massal,tindakan dalam skala besar, dilakukan secara
bersama-sama dengan niat yang sungguh-sungguh dan ditujukan terhadap
korban dalam jumlah besar, sedangkan menurut Arne Willy Dahl (Hakim Advocate
General Norwegia) menyatakan “serangan meluas” itu harus diarahkan terhadap
korban yang berjumlah besar (widespread attack is one that is directed against a
multiplicity of victims);“
3. Putusan No.02 / PID.HAM / AD. HOC / 2002 / PN. JKT. PST atas nama Terdakwa
Drs. G.M. Timbul Silaen. Majelis Hakim dengan merujuk pada pendapat Arne Willy
Dahl (Hakim Advocate General) menyatakan sebagai berikut:
-“bahwa pengertian serangan yang meluas adalah serangan yang diarahkan
terhadap korban yang berjumlah besar (Widespread attack is one that is directed
against a multiplicity of victims). Selanjutnya menurut Majelis Hakim “ ada juga
yang berpendapat bahwa arti serangan yang meluas adalah merujuk kepada
jumlah korban (massive), skala kejahatan dan sebaran tempat (geografis), dan
dalam kejahatan kemanusiaan, perbuatan meskipun dilakukan secara individual
namun ada sebagai hasil dari aksi kolektif (Collective action-M Charief Bassioni,
Crime Against Humanity in the International Law ).”
Menurut Majelis Hakim “Pengertian serangan yang sistematik berkaitan
dengan suatu kebijakan atau rencana yang mendasari atau melatar belakangi
terjadinya tindak pidana tersebut. Pengertian kebijakan tidak selalu berkonotasi
tertulis tetapi dapat merupakan tindakan yang berulang dan terus-menerus diikuti
dan telah menjadi pola yang diikuti oleh aparat negara;
Selanjutnya Majelis Hakim menyatakan, bahwa “Pengertian serangan yang
sistematik adalah suatu serangan yang dilaksanakan sesuai dengan kebijakan yang
telah disusun terlebih dahulu atau terencana (a systematic an attack means carried
out pursuant to a preconceive policy or plan - Arne Willy Dahl, Judge Advocate
General Norway);”Berbeda dari Statuta Roma yang menganut asas non-retroactive,
UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM menerapkan asas retroactive. Yang
132
berarti pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU tersebut,
dapat diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Ham Ad Hoc. Pengadilan Ham Ad Hoc
tersebut dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia berdasarkan
peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden. (Pasal 43 (1) (2)). Asas retroactive
sebagaimana kita ketahui dianut oleh Piagam Pengadilan Militer Internasional
Nuremberg dan ICTY. Ini sekali lagi menunjukkan pengaruh konsep dan praktek
hukum interrnsional berkaitan dengan pencegahan dan penghukuman pelanggaran
HAM berat pada hukum yang sama di Indonesia.
Konvensi Internsasional Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau
Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat
Manusia, Konvensi Internasional Pencegahan dan Penghukuman Genosida, Kejahatan
HAM berat yang dilarang oleh Statuta Roma, Konvensi Anti Internasional Diskriminasi
Rasial, Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Perempuan merupakan jus cogens. Sebagaimana dikemukakan oleh Starke kaidah-
kaidah jus cogens meliputi:
“kaidah-kaidah fundamental mengenai pemeliharaan perdamaian … kaidah-
kaidah fundamental dari suatu kodrat kemanusiaan (larangan genocide,
perbudakan dan diskriminasi rasial, perlindungan hak-hak dasar manusia pada
masa damai maupun perang), kaidah yang melarang setiap pelanggaran
terhadap kemerdekaan dan persamaan kedaulatan negara-negara, kaidah-
kaidah yang menjamin semua anggota masyarakat internasional untuk
menikmati sumber-sumber daya alam bersama ( laut lepas, ruang angkasa
dan lain-lain )“.

Pasal 53 Konvensi Wina tentang Perjanjan Internasional berkenaan dengan jus


cogen menyatakan:
“Suatu traktat batal apabila, pada waktu penutupannya, bertentangan dengan
norma hukum internasional umum yang tidak dapat diubah. Untuk tujuan-
tujuan Konvensi ini, suatu norma hukum internasional yang tidak dapat diubah
adalah suatu norma yang telah diterima dan diakui oleh masyarakat
internasional negara-negara secara keseluruhan sebagai suatu norma yang
tidak boleh diabaikan dan yang hanya dapat diubah dengan suatu norma
hukum internasional umum yang timbul kemudian yang mempunyai karakter
yang sama.” 218

Tak dapat dipungkiri, bahwa idea, nilai dan norma yang terkandung dalam
konvensi internasional HAM seperti, Konvensi Pencegahan dan Penghukuman
Genosida, Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan, Statuta Roma yang
merupakan jus cogen, praktek pengadilan HAM ad hoc internasional, pendapat para
ahli hukum internasional telah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap

218 Pasal 53 , Konvensi WIna 1969 tentang Perjanjian Internasional.


133
reformasi hukum HAM dan praktek hukum HAM di Indonesia, khususnya berkaitan
dengan penyelesaian melalui pengadilan HAM kasus-kasus pelanggaran HAM berat.
Apa yang dimaksud dengan Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia, belum ada
satu definisi yang dapat diterima secara umum. Kata “berat” digunakan untuk
menenerangkan kata pelanggaran untuk menggambarkan betapa parahnya
pelanggaran yang dilakukan. Selain itu kata berat juga juga berhubungan dengan
jenis-jenis hak asasi manusia yang dilanggar.219 Pelanggaran berat hak asasi manusia
terjadi apabila hak hak asasi manusia yang dilanggar adalah hak-hak berjenis non
derogable rights.220
Cecilia Meidina Quiroga menjelaskan istilah Pelanggaran berat Ham sebagai
suatu pelanggaran yang mengarah kepada pelanggaran-pelanggaran, sebagai alat
bagi pencapaian dari kebikakan-kebijakan pemerintah, yang dilakukan dalam kualitas
tertentu dalam suatu cara untuk menciptakan situasi hak untuk hidup, hak atas
integritas Pribadi atau hak atas kebebasan pribadi dari penduduk secara keseluruhan
atau satu atau lebih sektor-sektor dari penduduk suatu negara secara terus menerus
dilanggar atau diancam.221
Istilah pelanggaran berat HAM yang telah dikenal dan digunakan pada saat ini
belum dirumuskan secara jelas,baik di dalam resolusi,deklarasi maupun dalam
perjanjian HAM. Secara umum dapat diartikan sebagai pelanggaran secara sitematis
terhadap norma-norma HAM tertentu yang sifatnya lebih serius,sebagaimana yang
dinyatakan oleh H Victor Conde:
GrossViolation(s) of Human Rights : a term used but not well defined in human
rights resolution,declarations,and treaties but generally meaning systematic
violation of certain human rights normas of a more serious nature.such as
apartheid,racial discrimination, murder, slavery, genocide, religious persecution

219 Andrey Sujatmoko, Tanggung Jawab Negara atas Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia.
Indonesia, Timor Leste, dan lainnya. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2005, hlm 70

220 Van boven, Theo, Mereka yang menjadi korban, Hak Korban atas restitusi, kompensasi
dan rehabilitasi, catatan kaki no 1 hlm.xxiii, Jakarta, Elsam, 2002

221 Op cit,Andrey Sujatmoko,Hlm 71, mengutip Cecilia Medina Quiroga, The battle of
Human Rights; Gross, Systematic Violation and the inter American system,
Dordrech/Boston/London : Martinus Nijhoff Publishers, 1988,p16. The term gross, systematic
violation refers to violation,instrumental to the achievement of Governmental policies,
perpetrated in such a quantity and in such a manner as to create a situation in which the
rights to life,to personal integrity or to personal liberty of the population as whole or of one or
more sectors of the populations of a country are continuously infringed or treatened
134
on a massive scale,committed as a matter of official practice.Gross Violations
result in irreparable harms to victims.222
Dalam Lingkup Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengakui adanya
Pelanggaran HAM yang berkategori berat dan sistematis, seperti dinyatakan Dinah
Shelton.223
International Human Rights Law,especially as developed within the United
Nation,recognizes a category of situation of gross and systematic violation of
human rights, Though never exactly defined, it constitutes the jurisdictional
threshold for consideration of human rights complaints,submitted pursuant to
Ecosoc Resolution 1503.
Menurut Peter Baehr, pelanggaran berat hak asasi manusia akan menyangkut
masalah-masalah yang meliputi the prohibition of slavery, the right to life, torture and
cruel,inhuman or degrading treatment or punishment, genocide, disappearances and
ethnic cleansing.
Medina Quiroga memberikan pengertian mengenai pelanggaran hak asasi
manusia yang berkategori berat dan sistematik, dimana jenis hak yang dilanggar
adalah hak untuk hidup,hak atas integritas pribadi dan hak atas kebebasan pribadi. 224
Konsep pelanggaran hak asasi manusia termasuk dalam konsep yang selalu
menimbulkan perdebatan apabila berbicara mengenai hak asasi manusia.
“Klaim Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa kondisi hak asasi manusia
di tanah air membaik yang dibuktikan dengan tidak terjadinya pelanggaran
hak asasi manusia dan diratifikasinya International Covenant on Civil and
Political Rights dan International Covenant on Economic Social and Cultural
Rights, yang mendapat tanggapan dari kalangan pegiat hak asasi manusia
menunjukan tidak adanya pemahaman konsep HAM, maupun kesamaan

222 H Victor Conde, A Handbook of International Human Rights Terminology, Lincoln:


University of Nebraska Press, 1999, hlm 52.

223 Shelton Dinnah, Remedies in International Human Rights Laws, New York: Oxford
University Press,1999 hlm 320.

224 Op cit, Andrey Sujatmoko, Hlm 73, mengutip Cecilia Medina Quiroga, The Battle of
Human Rights; Gross, Systematic Violation and the inter American System,
Dordrech/Boston/London : Martinus Nijhoff Publishers, 1988, hlm. 16. The term gross,
systematic violation refers to violation,instrumental to the achievement of Governmental
policies, perpetrated in such a quantity and in such a manner as to create a situation in which
the rights to life, to personal integrity or to personal liberty of the population as whole or of
one or more sectors of the populations of a country are continuously infringed or treatened
135
konsep pelanggaran hak asasi manusia serta konsep perlindungan dan
penegakan hak asasi manusia.”225
Satu hal penting adalah bahwa pelanggaran hak asasi manusia dapat terjadi
apabila dua syarat terpenuhi yaitu syarat negara dan kekuasaan. Dan pelanggaran
hak asasi manusia hanya bisa dilakukan oleh negara. Mengapa peneliti katakan
bahwa pelanggaran hak asasi manusia hanya bisa dibayangkan bahwa hal tersebut
dilakukan oleh negara,226 dikarenakan negara sebagai suatu otoritas yang berkuasa
disuatu wilayah mempunyai kewenangan untuk memasukkan hak yang melekat
dalam diri manusia yang tanpa itu manusia tidak dapat hidup sebagai manusia ke
dalam peraturan perundang-undangannya.227
Termasuk dalam hak asasi manusia adalah hak untuk hidup, hak untuk tidak
dianiaya, hak untuk tidak mendapatkan perlakuan yang merendahkan harkat
martabat manusia, dan hak untuk mendapatkan peradilan yang fair, hak untuk
bebas berbicara dan mengeluarkan pendapat, serta hak untuk bebas berkumpul
berserikat dan mengeluarkan pendapat didalam aturan hukum nasional sehingga
dengan kata lain negara telah melaksanakan tanggungjawab melaksanakan hak
asasi manusia dengan mengatur dalam aturan hukum dalam ketentuan nasional
yang harus dipatuhi oleh individu warga negaranya. Sehingga apabila individu warga
negaranya melakukan pelanggaran aturan hukum yang di dalamnya termuat hak
asasi manusia maka negara yang akan melakukan tindakan hukum.
Persoalan baru timbul ketika aparatur negara sebagai personifikasi negara
melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum ketika sedang melaksanakan
tugasnya dan tidak ada upaya penegakan hukum terhadap pelanggaran hukum
tersebut pada saat itulah timbul konsep pelanggaran hak asasi manusia, karena
hukum memerlukan otoritas yang kuat untuk bisa ditegakan dan apabila individu
melakukan pelanggaran hukum maka negara sebagai otoritas yang kuat yang akan
melakukan penegakan hukum tersebut. Pertanyaannya adalah bagaimana kalau
otoritas negara yang melakukan pelanggaran hukum tersebut tidak ada upaya
penegakan hukum pada saat itulah timbul konsep pelanggaran hak asasi manusia,
yang pada dasarnya merupakan harapan warga negara agar aparatur negara yang

225 Kompas, Sabtu, 19 Agustus 2006, Hlm 3.

226 Conde, H Victor, A Handbook of International Human Rights Terminology. Lincoln,


University of Nebraska Press, 1999, Hlm 58

227 United Nation, Human Right Question and Answer, New York: United Nation
Departement of Public Information, 1993.
136
merupakan personifikasi negara dihukum, karena tidak tersentuh hukum, pada saat
itulah yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia timbul.
Pelanggaran dapat dibedakan atas dua hal pelanggaran hak asasi manusia,
yaitu pelanggaran hak asasi manusia dengan berbuat atau violence by act dan
pelanggaran HAM dengan tidak berbuat atau violence by ommission. Pelanggaran
hak asasi manusia dengan berbuat adalah suatu tindakan yang bertentangan dengan
hukum yang dilakukan oleh aparatur negara dalam melaksanakan tugasnya tetapi
tidak diambil tindakan oleh negara. Pelanggaran hak asasi manusia dengan tidak
berbuat adalah apabila perbuatan yang bertentangan dengan hukum tersebut
dilakukan oleh warga negara terhadap warga negara yang lain dan negara tidak
mengambil tindakan terhadap perbuatan yang bertentangan dengan hukum
tersebut, sehingga diartikan negara telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia
dengan tidak berbuat.
Harus dipahami bahwa dengan penjelasan tersebut maka pelanggaran hak
asasi manusia hanya bisa dibayangkan dilakukan oleh negara. Sehingga dengan
demikian kita bisa membedakan antara pelanggaran hak asasi manusia dengan
pelanggaran hukum, dimana pelanggaran hukum dilakukan oleh individu terhadap
individu, dan pelanggaran hak asasi manusia dilakukan oleh negara terhadap
individu, atau ketika negara tidak berbuat apa-apa terhadap pelanggaran hukum
yang dilakukan oleh negara. Sekalipun hukum hak asasi manusia Internasional
adalah Hukum Internasional yang meletakan tanggung jawab pidana pada individu,
tetapi negara mempunyai kewajiban untuk menghukum pelaku pelanggaran berat
hak asasi manusia, sebagai sebuah kewajiban internasional.
“Hukum Internasional telah memberikan landasan yang kokoh untuk
mengefektifkan penghukuman bagi pelaku pelanggaran berat hak asasi
manusia (gross violation of human rights) yang dikategorikan ke dalam
pertanggungjawaban pidana dan perdata. Kewajiban negara untuk
menghukum pelaku pelanggaran berat hak asasi manusia telah
dikembangkan di dalam berbagai instrument hukum hak asasi manusia baik
internasional maupun regional. Bahkan hukum kebiasaan internasional secara
tegas melarang segala bentuk pembebasan hukuman terhadap pelanggaran
berat hak asasi manusia yang dilakukan secara sistematis.
Berdasarkan konsep tanggung jawab negara, suatu negara bertanggung
jawab apabila melanggar kewajiban hukum internasional.Komisi Hukum
Internasional (International Law Commission) kemudian menyatakan bahwa
pelanggaran terhadap kewajiban negara yang digolongkan sebagai
International Wrongful Act, di dalamnya mencakup pelanggaran berat

137
terhadap hak asasi manusia, yang juga dikatagorikan sebagai kejahatan
internasional (international crimes).228

Penjelasan dari Rudi M Rizki peneliti menarik suatu pandangan bahwa negara
yang personalitasnya terwujud dalam individu-individu bertanggung jawab atas
pelaksanaan hak asasi manusia dalam hal ini pelaksanaan kewajiban internasional
dalam kaitannya dengan hak asasi manusia, sehingga peneliti mengatakan
pelanggaran hak asasi manusia hanya bisa dibayangkan apabila unsur negara terlibat
sekalipun tanggung jawab pidana melekat pada individu.
Pada sisi lain selain dari apa yang telah dikemukakan di atas perlu diketahui
pula bahwa dalam hukum hak asasi manusia dikenal adanya hak negara untuk
membatasi hak asasi manusia apabila negara dalam keadaan bahaya. Akan tetapi
yang harus mendapatkan perhatian ialah sekalipun negara dalam keadaan
bagaimanapun ada hak yang tidak bisa dibatasi dalam segala keadaan yang pada
prinsipnya meliputi adalah hak untuk hidup, kebebasan dari tindakan penyiksaan,
bebas dari tindakan yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat, kebebasan
dari perbudakan dan penghambaan, kebebasan dari undang-undang berlaku surut,
serta kebebasan berpikir, berhati nurani dan beragama. 229
Artinya itulah hak asasi manusia yang utama yang tidak boleh hilang dalam
diri manusia dan hak inilah yang selalu dipertahankan dari diri manusia.
Pada sisi lain dalam kajian penulis terdapat pemahaman yang salah tertuang
dalam UU No 39 tahun 1999 dimana pada pasal 1 ayat 6 dikatakan bahwa:
“Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau
kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja atau kelalaian yang
secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, atau membatasi, dan atau
mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin
oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak
akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan
mekanisme hukum yang berlaku.”230

228 Rudi M Rizki dalam Jurnal Hukum Humaniter, “Beberapa Catatan tentang Pengadilan
Pidana International Ad Hoc untuk Yugoslavia dan Rwanda serta Penerapan Prinsip Tanggung
Jawab Negara dalam Pelanggaran Berat HAM”. Vol.1.No.2 April 2006, Diterbitkan oleh Pusat
Studi Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia (terAs) Fakultas Hukum Universitas Trisakti,
Jakarta, Hlm.277.

229 Pasal 4, International Covenant on Civil and Political Rights,1966

230 Pasal 1 ayat 6 Undang-Undang No 39 Ttahun 1999.


138
Peneliti menggaris bawahi pengertian pelanggaran hak asasi manusia yang
terdapat dalam UU No 39 tahun 1999 ini berbeda dengan konsep pelanggaran hak
asasi manusia dalam literatur hak asasi manusia, artinya apabila pelanggaran hukum
tersebut dilakukan oleh individu-terhadap individu sudah semestinya negara
mengambil tindakan hukum terhadap individu tersebut, masalahnya seperti apa yang
sudah peneliti kemukakan di atas bahwa apabila negara diam saja atau aparatur
negara sebagai personifikasi negara dan negara tidak mengambil tindakan hukum
maka pada saat itu terjadi pelanggaran hak asasi manusia.

Konsep lain yang juga menurut peneliti perlu pengkajian lebih lanjut adalah
jurisdiksi dari Undang-Undang No 26 Tahun 2000 mengenenai Pengadilan HAM,
dimana yurisdiksi dari Pengadilan HAM berdasarkan Undang-Undang No 26 Tahun
2000 meliputi kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida. 231 Dalam hal ini
Undang-Undang No 26 mendorong pemikiran setiap orang kepada setiap peristiwa
yang terjadi adalah pelanggaran hak asasi manusia berat yang terdiri atas kejahatan
terhadap kemanusiaan dan genosida, tanpa memulai dengan suatu langkah yang
sistematik dengan memungkinkan Pengadilan HAM menjangkau pelanggaran hak
asasi manusia dimana unsur negara dan kekuasaan terlibat, yang mungkin saja tidak
termasuk katagori pelanggaran hak asasi manusia berat, sehingga idealnya konsep
yang tertuang dalam Undang-Undang No 26 Tahun 2000 memulai yurisdiksi
Pengadilan HAM dari pelanggaran hak asasi manusia yang terdapat unsur negara
dan kekuasaan, dimana negara tidak mampu terjangkau oleh hukum (Praktek
Impunity oleh Negara), lalu secara sistematik mengatur pelanggaran hak asasi
manusia berat, sehingga undang-undang Pengadilan HAM berisi konsep yang
sistematis mengenai kewenangan Pengadilan HAM.

2. Konsep Hukum Internasional dalam hal Penyelesaian melalui Komisi


Kebenaran dan Rekonsiliasi

Hukum Internasional tidak secara khusus mengatur penyelesaian perselisihan


melalui komisi kebenaran dan rekonsiliasi, tetapi dalam masyarakat internasional
ditemukan beberapa contoh penyelesaian persoalan pelanggaran hak asasi manusia,
yang terselesaikan melalui mekanisme komisi kebenaran dan rekonsiliasi. Hal yang
paling penting dalam penyelesaian sengketa melalu komisi kebenaran dan rekonsilisi

231 Undang-Undang No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM

139
adalah adanya pengakuan terhadap kejahatan yang dilakukan, dan adanya
pemberian maaf dari pihak yang menjadi korban sehingga kebenaran dapat
terungkap dalam kasus pelanggaran ham berat tersebut.

Prinsip bahwa KKR sebagai pelengkap (complement) ini telah berkembang


secara internasional, dan ditegaskan kembali dalam Kumpulan Prinsip Perlindungan
Hak Asasi Manusia melalui Prinsip 8 The Updated Set of Principles for the Protection
and Promotion of Human Rights through Action to Combat Impunity tentang
Definition of Commission’s Terms of Reference yang berbunyi sebagai berikut:
“To avoid conflicts of jurisdiction, the Commission’s Terms of Reference must be
clearly defined and must be consistent with the principle that Commissions of
inquiry are not intended to act as substitutes for the civil, administrative or
criminal courts. In particular, criminal courts alone have jurisdiction to establish
individual criminal responsibility, with a view as appropriate to passing
judgement and imposing a sentence;232

Penegasan bahwa KKR adalah pelengkap dan tidak dapat menggantikan proses
yudisial juga dinyatakan dalam Prinsip 23 point (1) Brussels Principles against
Impunity and for International Justice (Maret 2002), sebagai berikut:
Non-judicial commissions of inquiry (such as "truth and reconciliation"
commissions) and judicial procedures, far from excluding each other, are
mutually complementary in the fight against impunity and for international
justice. The constitution and activity of these commissions cannot, however,
replace judicial procedures.233

Bahwa menurut pendapat William A. Schabas, anggota Komisi Kebenaran dan


Rekonsiliasi negara Sierra Leone, bahwa :
“The TRC doesn’t provide perpetrator with a forum to escape procecution... The
TRC counts on voluntary testimony from perpetrators, including the “big fish”,
and it has already found considerable willingness from those involved to come
forward and talk about what they have done.” 234

232 Prinsip 8 The Updated Set of Principles for the Protection and Promotion of Human Rights
through Action to Combat Impunity tentang Definition of Commission’s Terms of Reference

233 Prinsip 23 point (1) Brussels Principles against Impunity and for International Justice
(Maret 2002)

234 (Interview Human Rights Feature dengan Prof. William A. Schabas International
Commissioner, TRC Sierra Leone, “TRC Does Not Provide a Forum to Escape Procecution”.
140
Bahwa menurut pendapat ahli hukum internasional Aryeh Neier, mantan Ketua
Human Rights Watch bahwa “Truth Commissions can exist side by side with
prosecutions, as the case in Argentina until another president, President Menem,
pardoned those who had been convicted by the courts in Argentina and also issued
pardons to those who were still facing trial”.
Pengalaman Beberapa Negara dalam hal Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Argentina
Inilah komisi kebenaran pertama yang mendapatkan perhatian internasional yang
luas. Dibentuk tahun 1983, setelah mundurnya militer dari kekuasaan, Argentina saat
itu sedang memulai transisi cepat menuju pemerintahan demokratis. 235
Diberi nama Komisi Nasional untuk Orang Hilang (Comision Nacional Para La
Desaparacion de Personas, CONADEP). Komisi ini dibentuk oleh Presiden Raul
Alfonsin melalui sebuah dekrit presiden, beranggotakan 10 orang yang dipilih karena
sikapnya yang konsisten dalam membela HAM, serta mewakili lapisan masyarakat
yang beragam, ditambah tiga orang wakil dari Kongres. Komisi ini dipimpin oleh
seorang sastrawan terkemuka dan kharismatis, Ernesto Sabato.
Komisi ini berhasil memastikan bahwa penculikan digunakan sebagai metode
represi yang kemudian mengarah pada kudeta militer, 24 Maret 1976. Sejak itulah
penculikan demi penculikan bermotif politik dilakukan, dan berhasil ditemukan 340
tempat penyekapan rahasia.
CONADEP menunjuk ratusan pejabat militer sebagai orang yang bertanggung
jawab. Namun pada proses pengadilan militer, hanya 365 orang yang dijatuhi
hukuman karena banyak bukti telah dilenyapkan oleh pihak militer. Meskipun
demikian, laporan akhir CONADEP yang diberi judul "nunca mas" (Tidak lagi),
menjadi bahan referensi tidak saja bagi seluruh rakyat Argentina, melainkan juga
bagi berbagai KKR di seluruh penjuru dunia yang menyusulnya.
Chili
September 1973, Jenderal Augusto Pinochet menggulingkan pemerintahan
sipil Cili. Dengan merepresi lawan politiknya secara brutal, Pinochet memerintah Chili
selama 17 tahun. Rezim ini memiliki kebijakan antikomunis yang fanatik untuk
menjustifikasi represinya, mencakup penangkapan massal, penyiksaan, pembunuhan,
dan penghilangan paksa.
Meski rezim Pinochet amat brutal, sebagian warga Chili tetap mendukung
penguasa, khususnya elemen-elemen kanan. Ketika Pinochet melakukan plebisit
pada 1988, harus meninggalkan tahta dengan kekalahan tipis. Penggantinya, Patricio
http://www.hrdc.net/sahrdc/hrfchr59/Issue5/ impunity.htm)

235 http://www.elsam.or.id.id/more.php?id=38-0-4-O-M
141
Aylwin resmi menjabat pada Maret 1999 di bawah batasan-batasan demokrasi.
Soalnya, Pinochet telah mengubah konstitusi pada 1980 untuk menjamin
kekuasaaannya, mempertahankan otonomi dan pengaruh politik militer; termasuk
melanggengkan posisinya sebagai panglima tertinggi militer hingga 1998, dan
kemudian menjadi senator seumur hidup.
Amnesti tersebut mengerangkeng pilihan Aylwin dalam merespon
pelanggaran penguasa Pinochet. Menyadari sulitnya membatalkan amnesti, Presiden
Chili memerintahkan investigasi untuk menemukan kebenaran pelanggaran masa
lalu.
Hanya enam pekan setelah pelantikan dirinya, Aylwin membentuk Komisi
Nasional dan Rekonsiliasi melalui keputusan presiden. Aylwin menunjuk delapan
orang sebagai anggota Komisi. Empat di antaranya pendukung Pinochet, dan lainnya
oposan. Formasi ini menghindarkan persepsi mengenai bias kerja Komisi yang
diketuai mantan senator Raul Rettig.
Komisi mempunyai waktu kerja sembilan bulan. Komisi sangat terbantu oleh
peran ornop dan catatan detil ribuan kasus pelanggaran HAM yang dibawa ke
pengadilan pada rezim militer berkuasa.
Komisi menyelesaikan tugasnya pada Februari 1991 dengan menghasilkan
laporan setebal 1.800 halaman. Usai membaca laporan selama beberapa pekan,
Presiden Aylwin mengumumkan ke rakyatnya. Secara emosional Alywim tampil di
televisi nasional, dan berbicara atas nama negara, Alywim memohon maaf pada
korban dengan menekankan perlunya maaf dan rekonsiliasi, sekaligus meminta
militer ''menunjukkan pemahaman pada luka yang ditimbulkan''.
Laporan Komisi Nasional dan rekonsiliasi Chili lenyap dari perhatian publik
setelah sebulan kemudian, berganti berita penyerangan kelompok kiri bersenjata
terhadap elit politik kanan. Usaha rekonsiliasi akhirnya gagal. 236
El Salvador

Bantuan militer dan lain-lain senilai 4,5 miliar dolar dari Amerika Serikat pada
dekade 1980-an, pemerintah El Salvador melakukan perang selama 12 tahun
melawan gerilyawan kiri Farabundo Marti (1980-1991). Perang ini diwarnai kasus
puluhan ribu pembunuhan politik dan penghilangan orang, juga pembantaian
massal penduduk sipil tidak bersenjata. Diperkirakan 1,4 persen penduduk El
Salvador tewas dalam konflik ini.
Salah satu kasus yang paling menonjol adalah pembunuhan enam pastor Yesuit
pada 1989. Ini memperkuat tekanan internasional agar perang dihentikan. Sebuah
komitmen mengenai pembentukan Komisi Kebenaran untuk El Salvador dicantumkan
236 Ibid.
142
dalam kesepakatan damai antara pemerintah El Salvador dengan Farabundo Marti
National Liberation Front (FMLN) pada bulan April 1991. Para penandatangan
membahas spesifikasi kasus yang harus diselidiki Komisi, namun tidak dicapai
kesepakatan pada kasus penting. Akhirnya Komisi ini dibentuk dan dikelola langsung
oleh PBB.
Komisi memperoleh waktu enam bulan untuk menyelesaikan tugas, dengan
perpanjangan dua bulan untuk investigasi dan penyelesaian laporan. Anggota Komisi
diangkat oleh Sekjen PBB atas persetujuan kedua belah pihak. Komisi diperkuat 20
staf yang bertugas mengumpulkan kesaksian dan investigasi, ditambah 25 staf
sementara pada bulan-bulan terakhir guna mempercepat proses data entry dan
proses informasi. Karena alasan objektivitas, tidak ada warga El Salvador yang
direkrut menjadi staf. Mandat Komisi ini menyelidiki tindak kekerasan serius yang
terjadi sejak tahun 1980, yang karena dampaknya kepada masyarakat menuntut agar
masyarakat mengetahuinya.
Komisi mengumpulkan kesaksian kurang-lebih 20 ribu korban dan saksi. Juga
melaporkan lebih 7.000 kasus pembunuhan, penghilangan, penyiksaan, perkosaan,
dan pembantaian. Komisi menyelidiki beberapa puluh kasus menonjol atau
representatif, dan mendatangkan tim antropolog dari Argentina untuk menggali
kembali sisa pembantai massal di kota El Mozote--yang menjadi pusat kontroversi
internasional.
Meskipun mendapat tekanan militer, Komisi membukukan kesimpulan kuat
bahwa penanggungjawab puluhan kasus kontroversial adalah orang penting di
tubuh angkatan bersenjata. Disebutkan lebih 40 perwira tinggi militer, hakim, dan
oposisi bersenjata sebagai penanggungjawab aksi kekerasan. Disimpulkan bahwa 95
persen pelanggaran HAM dilakukan pihak pemerintah dan militer.
Judul ''Dari Kegilaan ke Harapan'', aktivis dan organisasi HAM setempat dan
Amerika Serikat menerima baik laporan KKR El Salvador. Namun, Komisi dikritik
karena tidak melaporkan secara lengkap beberapa aspek penting kekerasan,
misalnya operasi ''komando pembunuh'' dan peran AS mendukung pasukan
pemerintah.
Militer menjawab laporan itu secara emosional. Menteri Pertahanan, yang juga
tertuduh sebagai pelanggar HAM, tampil di televisi pemerintah dengan mengutuk
laporan Komisi sebagai ''tidak adil, tidak lengkap, ilegal, tidak etis, bias, dan kurang
ajar.'' Militer pun mengeluh karena Komisi tidak memasukkan ke dalam laporannya,
sifat dan sumber serangan komunis terhadap El Salvador.
Presiden sipil Alfredo Cristiani kepada pers menyatakan, laporan Komisi gagal
memenuhi keinginan rakyat El Salvador menuju rekonsiliasi nasional, yaitu untuk

143
''memaafkan dan melupakan masa lalu yang sangat pedih.'' Lima hari setelah laporan
diterbitkan, amnesti umum disahkan oleh legislatif sehingga tidak ada tindakan legal
terhadap para pelaku, yang berakibat menekan ketertarikan publik pada hasil kerja
Komisi.237
Guatemala

Perang saudara di negeri ini melibatkan pemerintah antikomunis dengan


Unidad Revolucianaria Nacional Euatemalca (UNRG). Berlangsung lebih 30 tahun,
sekitar 200 ribu orang dinyatakan tewas dan hilang. Strategi kontra-insurgensi yang
dilakukan negara amat brutal, yakni dengan pem-bumihangus-an ratusan desa dan
pembunuhan puluhan ribu penduduk sipil. Perang berlanjut pada tingkat yang lebih
rendah hingga dekade 1990-an, hingga negosiasi yang dimotori PBB akhirnya
menghentikan peperangan.
Salah satu soal krusial dalam negosiasi mengenai bagaimana pelanggaran HAM
disikapi dalam masa transisi ke perdamaian. Negosiasi sudah dimulai ketika laporan
komisi kebenaran El Salvador diterbitkan pada awal 1993, dan contoh ini menjadi
titik awal referensi Guatemala dalam mempertimbangkan pembentukan komisi
kebenaran.
Kesepakatan membentuk komisi kebenaran dengan nama Komisi untuk
Klarifikasi Pelanggaran Hak Asasi dan Tindakan Kekerasan yang Berakibat
Penderitaan Rakyat Guatemala, ditandatangani di Oslo, Norwegia, pada Juni 1994
oleh pemerintah dan URNG. Namun, dibutuhkan tiga tahun lagi menuju kesepakatan
damai untuk penandatanganan kesepakatan komisi mulai bekerja.
Kesimpulan penting Komisi Klarifikasi, berdasar pola kekerasan di empat
wilayah negeri yang paling parah mengalami kekerasan, ''agen negara Guatemala
dalam kerangka operasi kontrainsurgensi selama 1981-1983, melakukan tindak
genosida terhadap kelompok bangsa Maya.'' Meskipun tidak menyebut nama,
Komisi menyimpulkan bahwa ''mayoritas pelanggaran HAM terjadi dengan
sepengetahuan atau atas perintah otoritas tertinggi negara.'
Afrika Selatan
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan berhasil membongkar
pelanggaran berat HAM yang sebelumnya tak dibayangkan akibat kuatnya
cengkeraman kekuasaan absolut rezim Apartheid. Dan, gebrakan KKR belum akan
berakhir dalam mengungkap kebobrokan rezim.
Di bawah kepemimpinan Uskup Desmond Tutu, Komisi bertugas membuat peta
selengkap mungkin tentang hakikat dan keluasan pelanggaran akut HAM selama 34
tahun rezim Apartheid berkuasa.
237 Ibid.
144
KKR Afsel tiga subkomisi. Pertama, Subkomisi Pelanggaran HAM yang
bertanggungjawab memberi status korban kepada individu-individu. Penetapan
kriteria korban itu tinggal mencomot aturan yang terdapat dalam Undang-Undang
Pelanggaran Berat HAM. Komisi ini menerima kedatangan pihak-pihak terkait untuk
membuat pernyataan. Juga bertugas menerima dan memeriksa kesaksian publik,
mengenai sejumlah kasus.
Kedua, Subkomisi Amnesti yang bertanggungjawab memberi amnesti, pada
para pelaku yang terbukti membuat tindakan, kesalahan, dan kejahatan politis.

Ketiga, Subkomisi Reparasi dan Rehabilitasi. Komisi ini bertugas membuat


rekomendasi ketatapan reparasi dan rehabilitasi para korban. Di samping itu
termasuk rekomendasi pencegahan pelanggaran di masa depan.
Dalam kurun waktu April 1996 - Juni 1997, KKR memberi kesempatan kepada
para korban menceritakan pengalaman kekerasan yang mereka derita. Pada
pertengahan 1997, berdasar informasi yang terkumpul, KKR berusaha memahami
motif personal dan institusional, yang memunculkan pelanggaran HAM. Akhirnya,
pada Oktiber 1998, KKR menerbitkan laporan yang berjudul ''The Report of the Truth
and Reconciliations Commision'' yang terdiri atas lima jilid.
Menurut mantan sekretaris eksekutif KKR Afrika Selatan Paul Van Zyl, sukses
tidaknya KKR banyak ditentukan oleh tujuan pendiriannya. Tergantung apakah hanya
untuk mencari kebenaran atas kejahatan di masa lalu? Atau apakah juga mencari
penyebab lebih jauh, mengapa kejahatan itu terjadi? Apakah juga disertai tujuan
untuk memberikan keadilan kepada para korban, dengan menghukum para pelaku
kejahatan? Dan, bagaimana rekonsiliasi bisa diwujudkan 238

Soal yang sangat perlu diperhitungkan secara hati-hati, Van Zyl berpendapat,
melihat apakah proses transformasi menuju demokrasi sudah berjalan. Ini sangat
penting untuk menilai sejauh mana pihak militer, yang diduga sebagai pelaku utama
kejahatan HAM pada masa lalu, memberikan dukungan terhadap pembentukan
komisi semacam itu.

Mantan Presiden Afsel VW De Clerk, Wapres PW Botha, Kepala Angkatan


Bersenjata Afsel Magnus Malan, serta bekas petinggi rezim apartheid lainnya tak
urung menjadi sasaran pengusutan KKR. Setelah mengumpulkan bahan yang sangat
lengkap, komisi menyerahkan laporan ke Presiden Mandela waktu itu agar
menindaklanjuti temuan dengan mengadili petinggi tersebut.

238 Ibid.
145
Afsel memilih tipe rekonsiliasi yang berujung pada impunitas -- peniadaan
sanksi atas kejahatan yang terjadi. Tipe yang menuntut harga atas pemberian maaf
dan non-prosekusi setelah tercapai rekonsiliasi. Meski begitu, rakyat Afsel cukup
puas dengan memperoleh pengakuan tulus terbuka para tersangka pelanggaran
HAM. Para korban, keluarga, dan kerabatnya mendengar langsung cerita
pelanggaran HAM dari pelaku sekaligus permintaan maafnya.

Atas dasar pemberian maaf dari korban itulah, amnesti akhirnya diberikan.
Sementara korban ditawarkan reparasi, dalam bentuk kompensasi, restitusi, maupun
rehabilitasi. Di sini rekonsiliasi bermakna sebagai suatu kesepakatan pihak-pihak
yang secara langsung berkaitan dalam peristiwa pelanggaran HAM masa lalu.

KKR di Afsel boleh jadi berhasil baik karena mampu memenuhi kepentingan
korban dan keluarga besarnya, serta publik luas. Dan, tak kalah pentingnya adalah
prosesnya berlangsung di hadapan komisi yang memiliki kredibilitas tinggi dan
legitimasi moral. KKR Afsel menjadi tempat pengungkapan penyesalan para pelaku
kejahatan yang menjadi wahana pengobatan (healing) para korban.

Harus diakui, model rekonsiliasi Afsel tak lepas dari kritik, karena tidak dapat
memenuhi keadilan prosedural dan formal sebagaimana bila jalur legal yang
ditempuh. Tapi inilah wujud kepiawaian Mandela membaca situasi politik transisional
yang terjadi di negerinya. Mandela sangat sadar akan beratnya upaya menegakkan
orde moral dan tertib hukum di tengah sangat kuatnya tuntutan rakyat agar negara
mengadili penjahat-penjahat politik penguasa rezin sebelumnya.

Kini, Afsel menjadi kiblat utama bagi upaya penyelesaian pelanggaran HAM.
Abdurrahman Wahid termasuk salah seorang presiden yang belajar langsung ke
Afsel untuk mengetahui tatakerja KKR di sana, khususnya dalam upaya mewujudkan
rekonsiliasi pascarezim Apartheid 1994.

Sukses besar Mandela menyelamatkan bangsa dan rakyatnya, bukan berarti


Afsel benar-benar tanpa masalah ke depan. Salah satu potensi ''masalah'' ke depan
adalah bagaimana rakyat Afsel mampu menarik garis demarkasi yang jelas dan ketat
dengan masa lalunya? Sekarang Mandela turun tahta, tapi hingga kini di benar
sebagaian rakyat Afsel masih menempatkan tokoh yang kenyang di penjara itu
sebagai pemimpin negeri. Sementara pada saat yang sama Afsel tak lagi dipimpin
tokoh rekonsiliasi itu.

Farid Esack, salah seorang tokoh muda yang terlibat perwujudan rekonsiliasi
Afsel, optimis bahwa potensi kemunculan problem tersebut dapat diatasi melalui
146
tersusunnya konstitusi di negara itu. Esack dengan berani menilai kontitusi Afsel
terbaik di dunia. ''Sungguh, negara kami memiliki konstitusi paling baik di dunia.
Saya tak malu mengatakan hal ini,'' katanya. Persoalannya, sambung Esack, konstitusi
bukan sekadar baik di atas kertas saja, tetapi persoalan terpenting adalah
pengaktualisasiannya. 239

3. Konsep Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi dalam hukum Nasional


Dalam sistem hukum nasional kita Komisi kebenaran dan rekonsiliasi pernah
diatur dalam suatu undang-undang yaitu undang-undang No 27 tahun 2004
mengenai komisi kebenaran dan rekonsili, yang kemudian dibatalkan dengan
keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Undang-Undang Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Dalam Undang-Undang No 27 tahun 2004 terdapat bebarapa ketentuan yang


tidak dapat diterima dalam tatanan hukum internasional yang meliputi ;

Konsep pelanggaran hak asasi manusia yang berlaku umum secara


Internasional dalam pengimplementasian oleh Pemerintah Indonesia juga
memerlukan pengkajian lebih lanjut misalnya sebagaimana yang tertuang dalam
Undang-Undang No 27 Tahun 2004 mengenai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
dimana terdapat kritik terhadap pengaturan Konsep hak asasi manusia yang
dipandang berbeda dengan konsep hak asasi manusia yang dikenal dalam Hukum
Internasional.

Beberapa pasal dalam Undang-Undang No 27 tahun 2004 mengenai Komisi


Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dipandang bertentangan dengan konsep hak asasi
manusia yang Universal

Pasal 1 ayat 9

Amnesti adalah pengampunan yang diberikan oleh presiden kepada pelaku


pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 27

239 Ibid
147
Kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 dapat
diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan.

Pasal 44

Pelanggaran Hak asasi manusia yang berat telah diungkapkan dan


diselesaikan oleh komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada
pengadilan hak asasi manusia ad-hoc”240

Apa yang terdapat dalam pasal-pasal tersebut menimbulkan pertanyaan yang


penelitian apakah konsep yang dituangkan dalam Undang-Undang No 27 tahun
2004 telah sesuai dengan konsep Universal dari hak asasi manusia.

Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, UU KKR, dinilai banyak


kelemahan oleh para ahli. Bahkan KKR dinilai gagal memenuhi kewajiban negara
untuk menghormati hak -hak korban, keluarga dan masyarakat berdasarkan hukum
internasional Undang-Undang KKR dipandang gagal memenuhi kewajiban negara
untuk menghormati hak -hak korban, keluarga dan masyarakat berdasarkan hukum
hak asasi manusia internasional. Undang-undang KKR dipandang gagal dalam
investigasi mengungkap kebenaran mengenai kejahatan genosida dan kejahatan
terhadap kemanusiaan sebelum 2000, memberikan reparasi pada korban dan
keluarganya, dan gagal pula dalam menuntut dan menghukum pelaku kejahatan.

Investigasi dalam rangka pengungkapan kejahatan hak asasi manusia berat


harus memenuhi standar dengan tidak hanya dilakukan terhadap pelakunya, tetapi
juga terhadap posisi teratas yang memberi perintah yang tindakannya masih
diketahui oleh pemberi perintah. Inisiatif untuk hal tersebut menurutnya seharusnya
berasal dari negara dan merupakan kewajiban yang berkesinambungan meskipun
terhadap kasus-kasus yang lama.

Ketentuan Pasal 24 UU KKR, di mana KKR wajib memberi keputusan dalam


jangka waktu paling lambat 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal
penerimaan permohon dipandang terlalu singkat dalam hal yang berkaitan dengan
kejahatan terhadap kemanusiaan,"

240 Pasal 1 ayat 9, pasal 27, pasal 44, Undang-Undang No 27 Tahun 2004, tentang Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi
148
Terkait berlakunya pasal 27 UU KKR di mana kompensasi dan rehabilitasi
terhadap korban diberikan hanya bila permintaan amnesti diberikan, rehabilitasi dan
kompensasi bisa tidak diberikan ketika pelaku tidak teridentifikasi, atau tidak berhasil
mendapat amnesty, atau tidak dimaafkan oleh korban, maupun ketika pelaku tidak
diberi amnesti oleh Presiden dan DPR.

Ketidakjelasan kapan restitusi diberikan sebagaimana ketentuan pasal 21 ayat


(1) UU KKR dimana kompensasi dan rehabilitasi dapat ditunda selama tiga tahun
meski tidak ada biaya yang signifikan untuk itu, merupakan persolaan yang
menyebabkan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi mendapat
kritikan dari para ahli hukum.

Selain itu juga tidak ada ketentuan yang dibuat sebagai parameter kepuasan
dan mengenai jaminan tidak adanya pengulangan kejahatan. Dalam praktek PBB
tidak bisa memberi amnesti untuk (pelaku) genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan karena ini termasuk kejahatan berat terhadap HAM. Pada sisi lain
berdasarkan UU No 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM, maka tidak ada
kadaluarsa untuk genosida.

Pemberian amnesti merupakan pelanggaran Pasal 6 ICCPR. Terhadap


pemberian amnesti terdapat batasan sebagaimana prinsip dari Komisi HAM PBB.
"Pelaku dari kejahatan berat berdasarkan hukum internasional tidak boleh mendapat
keuntungan sampai pelaku tersebut dituntut di hadapan pengadilan"

Amnesti tidak bisa dilakukan sebelum penuntutan. Menurutnya,


dimungkinkan pemberian keringanan hukuman kepada pelaku. "Tapi tidak boleh
sebelum penuntutan".

"Yang mengaku tetap dihukum, tetapi tidak seberat bila mereka tidak mengakui,"

"Ketika praktek-praktek tadi sudah menjadi standar internasional, tentunya bisa jadi
customary law. Memang sebaiknya kita mengacu pada aturan-aturan itu". 241

241 Hukum Online, 05,07,2006, http://www.hukumonline.com/; Keterangan Ahli: Undang-


Undang KKR Banyak Cacat, Temu Eropa Digest Number 863, Zo, 9 Juli, 2006 0:39

149
Pada sisi lain pembentukan Komisi kebenaran dan Persahabatan antara
Pemerintah Republik Indonesia dengan Pememeritah Timor Leste juga mengabaikan
konsep-konsep hak asasi manusia yang terdapat dalam Hukum Internasional
sebagaimana yang dikatakan oleh Romli Atmasasmita:

“... ada persoalan mendasar di balik penandatanganan Deklarasi bersama dan


pembentukkan KKP tersebut. Pertama, secara substansial latar belakang dan
filosofi serta materi muatan pembentukan KKP hanya dilandaskan
kepentingan hubungan baik secara bilateral antara kedua negara, akan tetapi
sama sekali mengabaikan prinsip-prinsip penyelesaian masalah pelanggaran
HAM Berat sebagaimana dianut dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun
2000 tentang Pengadilan HAM , dan juga dalam Statuta International Criminal
Court (1998) yaituu pertama, bahwa pelanggaran Hak asasi manusia yang
berat adalah merupakan perbuatan individual dan bukan terkait atau tidak
serta merta merupakan perbuatan suatu negara. Konsekuensi Yuridis dari
prinsip tersebut maka pelanggaran hak asasi manusia tersebut menuntut
pertanggungjawaban individual, bukan pertanggungjawaban negara atau
state responsibility, kecuali hanya satu pertangggungjawaban yang diwajibkan
kepada negara terkait ialah tidak memberikan perlindungan terhadap
pelakunya (no safe haven principle) dan justru harus membantu/mendukung
upaya untuk menemukan kebenaran melalui jalur pengadilan atau jalur
rekonsiliasi. Prinsip Pertanggungjawaban individual dalam peristiwa
Pelanggaran HAM Berat (genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan,
kejahatan perang dan agresi ) telah merupakan karakteristik proses
penyelesaian kasus-kasus tsb sejak mahkamah Nurenberg,Tokyo, dan
Kemudian Rwanda serta di bekas jajahan Yugoslavia. Pembentukkan KKP
untuk menyelesaikan peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat
pasca jejak pendapat ( tahun 1999 ) bertujuan untuk menemukan kebenaran
tanpa penuntutan melainkan hanya untuk pemberian amnesty atau
kompensasi atau reparasi terhadap korban-korban.Hal ini ditegaskan sebagai
salah satu prinsip dalam TOR pembentukan KKP (huruf c ):”...the CTF
(KKP,Pen) Process will not lead to prosecution and will emphazize
instititutional responsibilities”. Prinsip ini menegaskan menegaskan
pengambilalihan tanggungjawab institusi, dan sekali lagi menyimpang dari
priinsip hukum internasional.242

242 Romli Atmasasmita, Mengkritisi Pembentukan komisi kebenaran dan Persahabatan (KKP)
Indonesia dan Timor Leste
150
Prof Romli Atmasasmita mengemukakan suatu pandangan dalam kaitannya
dengan Komisi Kebenaran dan Persahabatan sebagai berikut :

“Dilema pembentukan KKP (The Commission of Truth and Friendship) antara


Indonesia dan Timor Leste dalam penyelesaian peristiwa pelanggaran hak
asasi manusia yang berat pasca jajak pendapat tahun 1999.

Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Timor Leste pada tanggal 9 Maret 2005
telah menandatangani suatu Deklarasi Bersama (Joint Declaration) untuk
menyelesaikan masalah pelanggaran HAM berat di Timor Leste pada tahun
1999 yang lampau melalui pembentukan suatu Komisi Kebenaran dan
Persahabatan-KKP (Truth and Friendship Commission). Deklarasi Bersama ini
merupakan tindak lanjut pertemuan kedua Kepala Negara pada tanggal 14
Desember 2004 di Tampaksiring, Bali. Disetujui pula kedua Menlu dari
Indonesia dan Timor Leste menyusun TOR dari KKP tsb.

Langkah politik luar negeri Indonesia dalam kasus ini merupakan langkah
strategis yang patut mendapat apresiasi dalam rangka menemukan solusi
konflik antara kedua pemerintahan dan masyarakatnya tentang masalah
pelanggaran Ham berat masa lalu di wilayah Timor Leste pasca jajak
pendapat. Pertanyaan mendasar adalah apakah benar langkah tsb merupakan
langkah strategis untuk menyelesaikan masalah atau bahkan justru akan
menimbulkan masalah antara kedua pemerintah dan masyarakatnya di
kemudian hari; hanya sejarah akan membuktikan jawaban atas pertanyaan tsb.

Deklarasi Bersama dan pembentukan KKP merupakan solusi sementara karena


keberhasilannya sangat tergantung dari situasi politik, penegakan hukum di
kedua negara ybs, dan sejauh mana KKP dapat menampung aspirasi
masyarakat Timor Leste khususnya keluarga korban. Pembentukan KKP yang
telah disepakati kedua pemerintahan merupakan cara untuk tidak mencegah
intervensi masyarakat internasional khususnya PBB memasuki masalah
pelanggaran HAM berat di Timor Leste yang menurut pandangan Indonesia
dianggap mampu menyelesaikannya secara bilateral. Langkah strategis yang
dipandang tepat untuk sementara ini sudah barang tentu dengan satu kondisi
151
yaitu bahwa kedua pemerintahan mampu meredam gejolak politik di dalam
negara masing2, dapat menjamin bahwa KKP secara serius mampu
menyelesaikan tugasnya se-objektif dan semaksimal mungkin untuk
menemukan dan menggali fakta-fakta yang diharapkan dapat
mengungkapkan kebenaran tentang peristiwa pelanggaran HAM berat pasca
jajak pendapat.

Konsep Rekonsiliasi dalam Penjelasan Umum UU nomor 27 tahun 2004


berbeda dengan prinsip-prinsip pembentukan KKP huruf c. Penjelasan umum
undang-undang tersebut antara lain menegaskan: “Berdasarkan fakta-fakta yang
ditemukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,pihak yang harus bertanggung
jawab atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi pada
masa sebelum berlakunya UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia harus diidentifikasi. Apabila pelaku mengakui kesalahan,mengakui
kebenaran fakta-fakta,menyatakan penyesalan atas perbuatannya, dan bersedia
meminta maaf kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya,
pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat dapat mengajukan amnesty
kepada presiden”.

Bahkan di dalam Pasal 29 ayat (3) UU Nomor 27 tahun 2004 secara eksplisit
menyatakan: “Dalam hal pelaku tidak bersedia mengakui kebenaran dan
kesalahannya serta tidak bersedia menyesali perbuatannya maka pelaku pelanggaran
hak asasi manusia yang berat tersebut kehilangan hak mendapat amnesty dan
diajukan ke pengadilan hak asasi manusia ad hoc”. Bunyi pasal tsb secara nyata
menuntut adanya pengakuan bersalah dari pelaku pelanggaran hak asasi manusia
yang berat dan kemungkinan tidak tercapai rekonsiliasi dalam artian tersebut akan
diteruskan kepada proses penuntutan dan pemeriksaan pengadilan HAM. Sedangkan
prinsip pembentukan KKP tidak berujung kepada proses penuntutan sehingga
disinilah letak perbedaan mendasar dari kedua konsep rekonsiliasi tersebut. Secara
singkat proses rekonsiliasi versi UU Nomor 27 tahun 2004 tidak menganut
sepenuhnya prinsip “non-impunity” sedangkan versi JD tanggal 9 Maret 2005
menganut secara mutlak prinsip tsb dalam penyelesaian kasus pelangggaran hak
asasi manusia pasca jajak pendapat di Timor Leste tahun 1999.

152
Implikasi pembentukan KKP terhadap proses peradilan HAM Adhoc kasus
Timor Leste
“Implikasi pembentukan KKP muncul ketika meneliti mukadimah dari TOR KKP
khususnya angka 8 dan 10 dihubungkan dengan prinsip yang diletakkan dalam
TOR huruf c dan d. Mukadimah TOR KKP angka 8 berbunyi sebagai berikut:
“Based on and benefiting from our shared experience, and motivated by our
strong desire to move forward, we are determined to bring to a closure
chapter of our recent past through joint efforts. A definitive closure of the issues
of the past would further promote further bilateral relations”.
Berangkat dari mukadimah (angka 8) di atas sangat gambling bahwa kedua
pemerintahan telah sepakat untuk menutup buku kasus pelanggaran hak asasi
manusia yang berat pasca jajak pendapat tahun 1999 di wilayah Timor Leste.
Yang menarik dari bunyi mukadimah tsb adalah premis-premis yang dibangun
untuk menuju kepada rumusan mukadimah tsb sebagaimana dicantumkan
dalam mukadimah angka 10 antara lain sebagai berikut:

“Indonesia and Timor Leste have opted to seek truth and promote friendship as a
new and unique approach rather than the prosecutorial process”.
Langkah kedua pemerintah ini sangat strategis dan cerdik dalam
menyelesaikan masalah bilateral antara kedua negara ybs. Namun kemudian
premise-premis yang dibangun tidak tepat karena kedua belah pihak telah
men-salah artikan pengertian istilah “justice” dalam konteks pelanggaran hak
asasi manusia yang berat karena secara langsung telah menyamakan
penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan kasus
kriminal yang bersifat biasa, sedangkan sudah ditegaskan dalam Undang-
undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM bahwa pelanggaran
HAM yang berat adalah bersifat luar biasa (extra-ordinary crimes) bukan
kejahatan biasa (ordinary crimes). Pandangan dan persepsi yang dibangun
dalam TOR KKP jelas telah mengenyampingkan pendekatan hukum pidana yang
menitikberatkan kepada asas kesalahan dan pertanggungjawaban pidana
sebagai asas universal.
Kekeliruan pemahaman dan persepsi dalam menganalisis peristiwa
pelanggaran HAM berat yang nota bene berada dalam lingkup rezim hukum
pidana telah membuahkan premis-premis yang bersifat menyederhanakan
masalah (pelanggaran HAM berat) yang terbukti dari kalimat: “True justice can
be served with truth and acknowledgement of responsibility. The prosecutorial
system of justice can certainly achieve one objective, which is to punish the

153
perpetrators; but it might not necessarily lead to the truth and promote
reconciliation” (Mukadimah TOR KKP angka 10). Premis di atas telah keliru
mengartikan pengertian istilah “justice” dalam konteks “criminal justice” karena
tujuan hukum pidana sejak berabad yang lampau masiih tetap, yaitu
menemukan kebenaran materiel, bukan menghukum, karena penghukuman itu
hanya sebagai sarana (as a means) yang berfungsi baik represif maupun
preventif atau rekonsiliasi untuk menemukan keadilan (to an ends).
Kekeliruan premise yang dibangun dalam proses pembentukan KKP
berdampak terhadap mandate yang diberikan kepada KKP sekalipun ditegaskan
dalam prinsip TOR (huruf e),antara lain , “Does not prejudice against the onging
judicial process with regard to reported cases of human rights violations in Timor
Leste in 1999..”. Penegasan atas prinsip inipun tidak ada artinya karena telah
ditutup rapat oleh bunyi Mukadimah angka 8 khusus berkaitan dengan kalimat,
“a definitive closure of the issues of the past” sehingga kesepakatan kedua
belah pihak (Indonesia dan Timor Leste) ini telah menutup peluang proses
penuntutan dan peradilan atas pelaku-pelaku pelanggaran hak asasi manusia
yang berat di Timor Leste tahun 1999. Pertanyaan mendasar yang diajukan
sebagai konsekuensi logis dari pembentukan KKP dengan prinsip-prinsip-
prinsip yang dibangun serta mandate yang harus diembannya, adalah, apakah
proses penuntutan dan peradilan terhadap para pelaku pelanggaran HAM di
Timor Leste pasca jajak pendapat masih relevan dan mendesak untuk terus
dilanjutkan?243

Pada akhirnya semua pandangan mengenai Komisi Kebenaran Dan


Persahabatan dalam kaitannya dengan sistem Hukum Indonesia menjadi kenyataan
ketika Komisi kebenaran menyelesaikan laporannya. Pelanggaran HAM berat dan
mendapatkan bukti mengenai : serangan meluas atau sistematis terhadap penduduk
sipil di Timor-Timur Tahun 1999, dimana dikatakan sebagian besar bukti yang
terungkap dalam proses telaah ulang dokumen dan Pencarian fakta sangat kuat
untuk berpendapat bahwa telah terjdi serangan meluas terhadp penduduk sipil di
Timor-Timur tahun 1999.244

243 Romli Atmasasmita, Mengkritisi Pembentukan komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi


http://www.portalhukum.com/modules.php?
op=modload&name=News&file=article&sid=24

244 Laporan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Hlm. 207


154
Pemerintah membentuk komisi kebenaran dan persahabatan yang
menyimpulkan adanya pelanggaran hak asasi manusia yang berat di Timor-Timur
sebagaimana yang terdapat dalam kesimpulan yang ada dalam laporan akhir Komisi
Kebenaran dan Persahabatan .

Berdasarkan hasil Telaah Ulang Dokumen dan hasil analisis atas fakta-fakta
yang telah diulas dalam temuan berdasarkan Kerangka Acuan 14 a (i) dan (ii), Komisi
berkesimpulan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat berupa kejahatan
terhadap kemanusiaan. Kesimpulan Komisi ini juga didasarkan analisis bahwa
kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi telah dilakukan sebagai bagian dari
serangan yang meluas dan sistematis terhadap penduduk sipil. Jenis tindak
kekerasan tersebut antara lain: (1) Pembunuhan; (2) Deportasi atau pemindahan
paksa penduduk; (3) Penahanan ilegal (4) Kekerasan seksual lainnya; (5)
Penghilangan paksa; dan (6) Perbuatan tak manusiawi lain, yaitu penghancuran dan
pembakaran harta benda. Untuk dapat menyimpulkan bahwa pelanggaran HAM
berat dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan terjadi, Komisi pertama-tama
melihat apakah kekerasan tersebut “diarahkan terhadap” warga sipil. Kekerasan ini
dapat berupa segala bentuk kekerasan fisik, pemaksaan, ancaman, intimidasi, atau
penghilangan kemerdekaan fisik. Warga sipil yang diserang harus dalam jumlah yang
cukup untuk menunjukkan bahwa penyerangan tersebut tidak hanya ditujukan
terhadap perorangan sipil dalam jumlah yang sedikit, terbatas, atau terpilih secara
acak, namun sekelompok orang yang signifikan. Pemikiran dasarnya di sini adalah
untuk menentukan apakah ada bukti kredibel mengenai penganiayaan atau
penggunaan kekuatan, pemaksaan, atau kekerasan terhadap sejumlah substansial
warga sipil. Jika kekerasan (1) diarahkan hanya terhadap sedikit warga sipil terpisah,
atau (2) diarahkan terutama terhadap lawan militer yang sah namun terdapat
beberapa warga sipil yang terbunuh dalam suatu insiden yang acak dan terpisah,
maka ini tidak digolongkan sebagai pelanggaran HAM berat berupa kejahatan
terhadap kemanusiaan. Namun di Timor Timur tahun 1999 dimensi politik konflik
dan fokusnya pada Jajak Pendapat, jenis-jenis kejahatan dan status para korban,
terutama penargetan warga sipil yang dipandang memiliki hubungan dengan
keyakinan atau tujuan politik tertentu, secara jelas menunjukkan bahwa serangan
terhadap penduduk sipil telah terjadi. Komisi berkesimpulan bahwa bukti mengenai
hal ini sangat banyak dan definitif.245
Selain temuan Komisi bahwa terjadi serangan terhadap penduduk sipil,
penting juga untuk menentukan bahwa serangan tersebut bersifat “meluas atau
sistematis.” Istilah “meluas” mencakup dimensi kuantitatif, cakupan, dan sifat
245 Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan ,hlm 305
155
serangan. Istilah “sistematis” terutama berkaitan dengan aspek kualitatif serangan
dengan mengindikasikan misalnya, bahwa serangan tersebut bukan terdiri dari
tindak kekerasan yang acak, terpisah dan individual, namun mencakup banyak
tindakan dengan jumlah atau skala korban yang signifikan, atau terdapat
pengorganisasian, perencanaan, koordinasi, atau kegiatan terpola. Di sini sekali lagi
Komisi berkesimpulan bahwa bukti secara kuat menunjukkan serangan terhadap
penduduk sipil di Timor Timur terjadi secara meluas maupun sistematis. Bukti ini
mengindikasikan bahwa jumlah korban dan insiden, juga skalanya, cukup besar.
Bukti juga menunjukkan bahwa serangan sering menjadikan sasaran orang-
orang yang dipandang memiliki afiliasi politik tertentu dan serangan ini terjadi
berulang kali dalam rentang waktu, pada banyak tempat, serta mengikuti pola
perbuatan yang terorganisasi.
Komisi menerima sejumlah besar bukti dokumen dan kesaksian langsung
bahwa pelanggaran HAM berat telah terjadi. Masing-masing sumber
dipertimbangkan dengan saksama untuk menilai keaslian, kedalaman, relevansi dan
nilai faktual tiap-tiap bukti. Kemudian, sumber-sumber ini diperbandingkan dan
diteliti lebih lanjut guna menentukan keterangan mana yang terkoroborasi secara
memadai untuk dapat dianggap benar, dan keterangan mana yang dapat cukup kuat
dibantah untuk dianggap salah. Dalam beberapa bidang analisis mengenai
pelanggaran HAM tertentu tidak terdapat cukup informasi yang memiliki kualitas
pembuktian yang baik bagi Komisi guna memastikan kebenarannya. Selama proses
Komisi telah melakukan pembahasan serta melibatkan para korban, pelaku, saksi,
pejabat lembaga pemerintahan dan penasihat ahli. Para pendukung kedua aliran
politik, baik prootonomi maupun pro-kemerdekaan, telah mendapat kesempatan
untuk memberikan kesaksian faktual dan pandangan mereka. Sebagaimana
dijelaskan pada Bab 5-8,sebagian besar sumber ini secara meyakinkan sepakat
bahwa sejumlah besar serangan terhadap penduduk sipil, dengan sifat dan skala
yang merupakan pelanggaran HAM berat, telah terjadi di Timor Timur.
Langkah Komisi berikutnya adalah mengidentifikasi pihak-pihak yang
melakukan pelanggaran HAM berat berupa kejahatan terhadap kemanusiaan
dimaksud dan menetapkan bagaimana pelanggaran tersebut dilakukan. Berkenaan
dengan ini, Komisi meninjau bukti untuk memastikan pola pada tingkat operasional
dimana pelanggaran HAM berat dilakukan. Standar-standar yang sama dalam
menetapkan pelanggaran HAM berat diterapkan untuk masing-masing tindakan,
terlepas dari identitas atau afiliasi kelembagaan pelaku. Dengan kata lain, Komisi
mengidentifikasi kasus-kasus pelanggaran HAM berat spesifik, dan menentukan
apakah terdapat pola-pola perbuatan yang sistematis dan/atau meluas oleh anggota

156
kelompok-kelompok pro-otonomi, lembaga pemerintah atau kelompok-kelompok
pro-kemerdekaan.
Kelompok pro-otonomi, khususnya milisi, telah diidentifikasi dalam sebagian
besar kasus sebagai pelaku langsung tindakan-tindakan yang merupakan
pelanggaran HAM berat. Tindakan-tindakan ini dilakukan secara luas. Kelompok-
kelompok milisi beroperasi di seluruh Timor Timur tahun 1999 dan melakukan
pelanggaran HAM di setiap kabupaten dan kecamatan di Timor Timur. Organisasi
kelompok milisi menunjukkan banyak ciri ”sistematis”, termasuk perekrutan anggota
dan sumber daya materiil yang terorganisasi; struktur bergaya militer (hirarki
komando, perintah,seragam) dan operasi (pelaporan rutin dan komunikasi radio,
penghadang jalan,kampanye sweeping, serangan terencana); upah; markas-markas
tempat pelatihan dan pertemuan dilakukan, dan senjata disimpan. Pelanggaran-
pelanggaran HAM berat dilakukan dalam bentuk penyerangan sistematis oleh
kelompok tersebut sebagaimana diindikasikan banyak faktor, yaitu:
1. Berbagai rapat perencanaan dan apel.
2. Instruksi, perintah, dan perencanaan para pemimpin yang diakui, atau para
komandan sebelum, selama dan setelah penyerangan, operasi sweeping, serta
patroli-patroli. Pengawasan dan distribusi senjata kepada anggota.
3. Serangan-serangan yang telah disusun rapih, menggunakan taktik bergaya militer,
bersama perwira TNI dan/atau komandan milisi mengkoordinasi atau mengarahkan
serangan-serangan tersebut.
4. Pemberian dukungan logistik termasuk transportasi, amunisi, dan makanan oleh
otoritas Indonesia.
5. Penargetan kategori korban tertentu menurut jender, persepsi afiliasi politik atau
kaitan dengan pendukung suatu kelompok politik.246
Kelompok pro-otonomi yang melakukan serangan terhadap pro-kemerdekaan
tidak bertindak secara spontan atau sendiri. Mereka sering kali bertindak dengan
panduan dan dukungan lembaga-lembaga pemerintah. Komisi telah menetapkan
bahwa terdapat pelaku bersama pelanggaran HAM berat dari anggota militer dalam
sejumlah kasus tertentu, serta kepolisian dan pegawai negeri sipil. Juga terdapat
banyak kasus dimana pejabat militer Indonesia merencanakan, mempersiapkan, atau
mengarahkan operasi-operasi militer, terkadang melibatkan anggota TNI dalam
suatu operasi. Pada beberapa kasus mereka juga memberi dukungan materiil lain
dalam bentuk transportasi atau penggunaan fasilitas militer setempat untuk
penahanan ilegal atau bentuk-bentuk penganiayaan lainnya terhadap warga sipil.
Juga sering terdapat keanggotaan bersama atau yang tumpang tindih pada tingkat

246 Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan,Hlm 305


157
operasional, antara milisi, pasukan keamanan, dan pejabat pemerintahan sipil. Selain
partisipasi bersama dengan milisi sebagai pelaku langsung, pengatur atau
komandan, Komisi juga mengidentifikasi bahwa aparat militer dan pemerintah sipil
terlibat dalam pembentukan dan pemberian dukungan kepada kelompok milisi
dalam berbagai cara, termasuk:
1. Pemberian dana, dukungan logistik, fasilitas fisik, dan bahan-bahan
lainnya,seperti makanan, kepada milisi secara sistematis.
2. Pemberian senjata kepada kelompok-kelompok milisi secara sistematis. 247
Pola-pola perbuatan tersebut diulang oleh milisi dan satuan serta anggota TNI
pada banyak kabupaten di Timor Timur. Hal ini melibatkan banyak individu dan
institusi yang bekerja sama dalam menggunakan kekerasan bersenjata guna
mendukung tujuan politik bersama. Institusi-institusi yang terlibat dalam perbuatan
pelanggaran HAM berat tahun 1999, mencakup antara lain milisi pro-otonomi,
pasukan keamanan Indonesia (TNI dan Polri) dan pejabat pemerintah sipil. Ciri-ciri
kuantitatif dan kualitatif bukti ini memungkinkan Komisi mencapai kesimpulan secara
definitif, akurat dan meyakinkan. Mengenai apakah keterlibatan institusi dimaksud
sudah cukup, dari segi sifat dan cakupan, untuk mendukung kesimpulan bahwa
mereka juga memiliki tanggung jawab kelembagaan atas kejahatan-kejahatan
dimaksud. Komisi juga mengidentifikasi tindak kekerasan yang dilaporkan telah
dilakukan oleh kelompok pro-kemerdekaan (CNRT, Falintil, kelompok pemuda pro-
kemerdekaan) terhadap warga sipil. Sebagian tindakan ini mencakup pembunuhan,
penahanan ilegal, perusakan harta benda, dan pelanggaran seksual.
Dalam semua serangan, korban adalah warga sipil pro-otonomi, termasuk mantan
anggota milisi. Pelanggaran oleh kelompok pro-kemerdekaan tahun 1999 telah
dilaporkan setidaknya terjadi di delapan kabupaten Timor Timur. Serangan-serangan
tersebut juga menunjukkan sejumlah unsur sistematis, yaitu:
1. Serangan bersasaran terhadap orang-orang yang ”dikenal” sebagai
pendukung pro otonomi.
2. Penggunaan operasi-operasi bergaya militer, seperti penghadangan jalan,
patroli teratur dan penyerbuan.
3. Perintah-perintah dan prosedur laporan kepada pejabat militer dan CNRT. 248
Oleh karena itu sangat mungkin bahwa kelompok pro-kemerdekaan telah melakukan
pelanggaran HAM berat secara meluas dan sistematis khususnya dalam tindak
penahanan ilegal.

247Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan,hlm 305

248 Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan,hlm 306


158
Akan tetapi bukti yang menunjukkan adanya pola-pola perlu disikapi dengan
hati-hati, mengingat kegagalan SCU, KPP HAM dan Pengadilan HAM Ad Hoc untuk
memberi prioritas bagi penyelidikan pelanggaran dimaksud. Selain itu jumlah
pelanggaran yang dilaporkan telah dilakukan kelompok pro-kemerdekaan pada
tahun 1999 hanyalah sedikit (kurang dari 50), padahal terdapat ribuan laporan
mengenai pelanggaran oleh kelompok pro-otonomi. Labih jauh lagi, banyak laporan
mengenai pelanggaran oleh pro-kemerdekaan tidak dikuatkan keterangan langsung
saksi mata,korban, pelaku, atau bentuk-bentuk dokumentasi kredibel lain. Sebagian
besar informasi tersebut belum diuji dalam sidang Pengadilan, atau dalam forum lain
yang memungkinkan dilakukannya pemeriksaan rinci.
Banyaknya laporan belum tentu menunjukkan jumlah definitif pelanggaran
kelompok pro-kemerdekaan, karena belum ada penyelidikan memadai tentang
kejadian-kejadian ini agar dapat membuat kesimpulan. Dampak terbatasnya jumlah
dan kualitas laporan adalah bahwa Komisi tidak memiliki dasar kuat guna membuat
temuan konklusif mengenai kelompok pro-kemerdekaan mana yang terlibat, dalam
cara apa, untuk masing-masing bentuk pelanggaran serta seberapa luas, (sifat
meluas) atau bagaimana (sifat sistematis) serangan terjadi.
Panel Khusus melaksanakan tiga persidangan dimana anggota kelompok
prokemerdekaan (termasuk Falintil) dinyatakan bersalah atas tindakan pembunuhan
warga sipil. Selain itu, beberapa laporan mengenai kejahatan oleh pro-kemerdekaan
yang ditelaah oleh Komisi secara mendalam berawal sebagai penyelidikan internal
dalam CNRT dan/atau Falintil, dan tampaknnya telah diteruskan ke proses peradilan.
Dengan demikian, berdasarkan sejumlah kasus dimaksud terdapat dasar untuk
menyimpulkan bahwa anggota kelompok pro-kemerdekaan telah melakukan
pelanggaran HAM berat pada tahun 1999 dan setidaknya dalam beberapa kasus
telah dimintakan pertanggungjawaban. Namun, kemampuan Komisi untuk secara
tuntas menentukan hakikat, cakupan, dan penyebab pelanggaran oleh kelompok
prokemerdekaan serta afiliasi kelembagaan dan hubungan mereka yang
sesungguhnya.
Kerangka yang digunakan Komisi untuk mencapai temuan dan kesimpulan
mengenai pelanggaran HAM berat. Lebih khusus lagi, bagian tersebut merinci dasar-
dasar kesimpulan Komisi bahwa kekerasan di Timor Timur tahun 1999 tidak terdiri
atas tindak kekerasan yang acak, terisolasi dan individual, melainkan menunjukkan
adanya organisasi, perencanaan dan koordinasi.249
Lebih lanjut, juga menjelaskan bagaimana Komisi menyimpulkan bahwa
serangan-serangan yang terkoordinasi dan terorganisasi menjadikan orang-orang

249 Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan,hlm.307


159
sebagai sasaran atas dugaan afiliasi politik mereka. Faktor-faktor dimaksud menjadi
dasar bagi kesimpulan Komisi bahwa pelanggaran HAM berat telah dilakukan dalam
skala meluas dan sistematis, dan faktor-aktor tersebut juga menjadi langkah awal
bagi temuan mengenai tanggung jawab kelembagaan.
Tanggung jawab kelembagaan bersumber dari partisipasi atau pembiaran
oleh lembaga-lembaga Negara dalam suatu tindak kriminal atau perbuatan melawan
hukum. Guna mendukung temuan mengenai tanggung jawab kelembagaan,
partisipasi atau pembiaran tersebut tidak bisa hanya terdiri dari kejadian-kejadian
yang terisolsasi atau yang terjadi sekali-kali,berskala kecil dan hanya melibatkan
sedikit anggota lembaga negara. Tanggung jawab kelembagaan bersumber dari
dukungan, pembiaran, atau keterlibatan langsung maupun tidak langsung dalam
pelanggaran oleh lembaga-lembaga yang terjadi secara sistematis dan berulang,
dalam suatu rentang waktu, di sejumlah tempat, serta mengikuti suatu pola
perbuatan reguler dan terorganisasi. Dalam keadaan seperti ini, lembaga-lembaga
dimaksud harus menerima tanggung jawab atas perilaku anggota mereka karena
tingkat hubungan kelembagaan dalam perbuatan pelanggaran begitu besar
sehingga tidak dapat dikatakan sebagai tindakan terisolasi oleh sedikit individu atau
“oknum.” Dalam menerapkan kerangka konseptual yang dijabarkan pada bab-bab
sebelumnya,Komisi berfokus pada dua pertanyaan sentral. Pertanyaan pertama,
apakah pada tingkat operasional bukti sudah memadai untuk menjadi dasar bagi
temuan mengenai pola-pola kegiatan terkoordinasi dalam suatu rentang waktu dan
di banyak tempat? Pertanyaan kedua berfokus pada pelaku kelembagaan yang
terkait denganpola-pola kegiatan. Pertanyaannya adalah apakah bukti mengenai
pola-pola tersebut juga mengungkapkan lembaga mana yang berpartisipasi dalam
memungkinkan kegiatan terjadi? Partisipasi tersebut dapat berupa dua bentuk: (a)
lembaga yang anggota atau personilnya terlibat secara langsung dalam perbuatan
kejahatan; (b)institusi yang memberi dukungan, pengorganisasian, sumber daya,
arahan, pelatihan, atau perencanaan reguler dan substansial bagi pelaku kejahatan. 250
Jika hanya ada bukti untuk menunjukkan adanya keterlibatan kelembagaan
dalam sedikit kejadian, namun tidak secara konsisten dalam suatu rentang waktu dan
di banyak tempat, maka kemungkinan tidak ada bukti cukup untuk menetapkan
tanggung jawab kelembagaan. Akan tetapi, jika ditemukan pola terus menerus
mengenai keterlibatan kelembagaan dalam sebagian besar atau banyak jenis
kejahatan yang terjadi di Timor Timur selama tahun 1999, maka hal tersebut akan
menjadi dasar kuat bagi temuan tanggung jawab kelembagaan.

250 Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan,hlm 308.


160
Komisi telah merinci temuannya berdasarkan analisis gabungan Telaah Ulang
Dokumen dan Pencarian Fakta. Temuan-temuan tersebut membentuk dasar bagi
kesimpulan bahwa terdapat bukti yang cukup untuk menunjukkan adanya
keterlibatan kelembagaan dalam pelanggaran HAM berat. Temuan-temuan ini juga
menunjukkan bahwa keterlibatan kelembagaan terjadi dalam cakupan dan rentang
waktu yang cukup untuk mendukung kesimpulan mengenai tanggung jawab
kelembagaan beberapa lembaga yang memainkan peran dalam kekerasan tahun
1999.251
Dalam menerapkan kedua pertanyaan di atas terhadap bukti proses Pencarian
Fakta dan Telaah Ulang Dokumen, Komisi berkesimpulan bahwa berdasarkan bukti
tidak diragukan lagi bahwa milisi pro-otonomi merupakan pelaku langsung utama
pelanggaran HAM berat di Timor Timur tahun 1999 dan cara bagaimana
kejahatankejahatan dimaksud dilakukan secara konsisten, terpola dan sistematis
memenuhi syarat bagi tanggung jawab kelembagaan. Pola konsisten perbuatan
langsung oleh milisi-milisi pro-otonomi dalam melancarkan kekerasan terhadap
pendukung pro kemerdekaan yang menckaup pembunuhan, pemerkosaan
sistematis, penyiksaan,penghilangan kemerdekaan fisik berat, serta deportasi dan
pemindahan paksa, sudah begitu jelas sehingga tidak ada lagi keraguan mengenai
tanggung jawab kelembagaan atas kejahatan-kejahatan ini.
Dalam menganalisis sejauh mana lembaga-lembaga Indonesia memenuhi
kriteria tanggung jawab kelembagaan, Komisi berkesimpulan bahwa bukti sudah
cukup jelas dan cukup banyak untuk mendukung kesimpulan dimaksud. Lebih
khusus lagi, Komisi menemukan bahwa anggota TNI, Polri, dan pejabat sipil telah
bekerja sama dengan dan mendukung milisi dalam berbagai cara signifikan yang
turut berkontribusi terhadap perbuatan kejahatan-kejahatan sebagaimana diuraikan
di atas. Bukti juga menunjukkan bahwa anggota TNI kadang-kadang berpartisipasi
langsung dalam operasi yang menimbulkan kejahatan tersebut. Partisipasi semacam
ini mencakup keterlibatan langsung dalam perbuatan kejahatan oleh anggota satuan
TNI yang beroperasi di dalam milisi dan di bawah arahan operasional perwira yang
hadir ketika kejahatan dilakukan.252
Konteks pola kerja sama antara milisi dan TNI melibatkan suatu praktik
kolaborasi yang terus berlangsung yang sudah ada jauh sebelum 1999 antara milisi,
pasukan pertahanan sipil dan satuan-satuan lokal TNI yang keanggotaannya
seringkali tumpang tindih. Pola-pola kerja sama tersebut melibatkan tidak hanya
perencanaan dan perbuatan bersama dalam operasi, namun juga pemberian

251 Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan,hlm.308.

252 Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan,hlm.309


161
berbagai bentuk dukungan materiil. Karena berkembang dari konteks historis
dimaksud, pada tahun 1999 di tingkat operasional lembaga-lembaga ini semuanya
bertindak bersama dalam mencapai tujuan bersama untuk mengalahkan gerakan
pro-kemerdekaan.
Bukti secara meyakinkan menunjukkan bahwa kelompok-kelompok tersebut
sudah sering menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan mereka dan bahwa
kekerasan tersebut mengakibatkan berbagai bentuk pelanggaran HAM berat.
Operasi gabungan mereka sering kali dilakukan di bawah arahan pejabat militer atau
sipil Indonesia. Dalam kasus lainnya, bahkan dimana perwira atau pejabat Indonesia
mungkin tidak merencanakan atau mengarahkan operasinya, namun bukti
menunjukkan bahwa mereka mengetahui, membiarkan, atau menyetujui operasi-
operasi. Pejabat sipil dalam beberapa kejadian terlibat dalam operasi-operasi, dan
umumnya memberi dukungan materiil kepada kelompok milisi yang melakukan
perbuatan dengan pengetahuan bahwa dukungan tersebut akan mengakibatkan
pelanggaran-pelanggaran.253
Bahkan ketika aparat kepolisian tidak terlibat dalam operasi, mereka hampir
tidak efektif sama sekali dalam mencegah kekerasan dan dalam menjaga keamanan
bagi penduduk sipil Analisis Komisi mengenai bukti terkait kedua pertanyaan yang
membentuk dasar bagi temuan tanggung jawab kelembagaan mengungkapkan
bahwa operasi-operasi milisi mengikuti berbagai pola, termasuk tindakan-tindakan
yang dilakukan milisi prootonomi tanpa keterlibatan TNI, operasi yang dipicu oleh
atau atas perintah perwira TNI, dan operasi gabungan yang dilaksanakan TNI, atau
lebih khusus lagi anggota Kopassus bersama anggota milisi.
Analisis Komisi juga mengungkapkan bahwa dalam banyak kasus anggota
milisi juga berada di dalam TNI, sehingga kadang sulit untuk membedakan kedua
organisasi tersebut pada tingkat operasional. Insiden-insiden seperti ini tidak terjadi
secara acak atau terisolasi, namun terjadi sepanjang tahun 1999 dan di seluruh Timor
Timur, dengan tingkat intensitas yang berbeda-beda. Operasi yang mengakibatkan
pelanggaran HAM berat menunjukkan adanya pola kegiatan konsisten yang
melibatkan arahan operasional di bawah suatu struktur komando yang dapat
diidentifikasi, koordinasi dan perencanaan serangan atas warga sipil, dan
melancarkan serangan tersebut dalam gaya militer mengikuti suatu pola taktis yang
biasa. Dengan kata lain, Komisi menemukan bahwa terdapat banyak bukti untuk
menjawab pertanyaan pertama: Terdapat pola-pola kegiatan yang sistematis dan
terkoordinasi dalam rentang waktu tertentu dan di banyak lokasi yang melibatkan
perbuatan pelanggaran HAM berat dan bahwa kegiatan terkoordinasi dan terpola

253 Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan,hlm.309.


162
tersebut juga terjadi dalam derajat dan rentang waktu yang cukup untuk mencapai
temuan tanggung jawab kelembagaan. Pertanyaan berikut yang harus dijawab oleh
Komisi adalah institusi mana yang harus menerima tanggung jawab dimaksud.
Komisi menemui kesulitan lebih besar dalam mencapai kesimpulan definitive
mengenai tanggung jawab kelembagaan bagi pelanggaran HAM berat yang
dilakukan oleh kelompok pro-kemerdekaan. Di satu sisi, tidak diragukan bahwa
pelanggaran HAM telah dilakukan terhadap warga sipil yang menentang
kemerdekaan. Kejahatan-kejahatan ini termasuk pembunuhan, perusakan harta
benda dan penahanan ilegal. Di sisi lain, terdapat kesulitan yang cukup berarti dalam
menganalisis cakupan dan derajat organisasi atau perencanaan kejahatan-kejahatan
dimaksud karena tidak ada investigasi sistematis mengenai peran kelompok-
kelompok pro-kemerdekaan dalam kekerasan tahun 1999. Jelas bahwa tindakan
tersebut sama sekali tidak acak dan terislosai, dan beberapa pelanggaran dapat
dikualifikasi sebagai pelanggaran HAM berat. Hanya dalam kasus penahanan illegal
terdapat cukup banyak bukti yang memadai untuk mencapai kesimpulan mengenai
tanggung jawab kelembagaan. Komisi telah menganalisis seluruh bukti proses Telaah
Ulang Dokumen dan Pencarian Fakta guna menentukan institusi mana yang terlibat
dalam pelanggaran HAM berat melalui partisipasi langsung anggota atau
personilnya. Komisi juga telah memeriksa bukti untuk menentukan institusi mana
yang terkait dengan perbuatan kejahatan-kejahatan ini karena anggotanya memberi
dukungan, organisasi, sumber daya, arahan, pelatihan, atau perencanaan bagi para
pelaku kejahatan ini secara reguler dan substansial. Komisi kemudian menimbang
bukti yang ada guna menilai apakah berbagai bentuk partisipasi atau dukungan ini
telah mencukupi dari segi durasi atau cakupan untuk menjadi dasar bagi kesimpulan
mengenai tanggung jawab kelembagaan.
Mengenai tanggung jawab kelembagaan kelompok-kelompok pro-
kemerdekaan, seperti yang telah dicatat, tidak adanya investigasi yang sistematis
menimbulkan kesulitan untuk mengenakan tanggung jawab kelembagaan atas
penahanan-penahanan ilegal yang dilakukan kelompok-kelompok tersebut. Terdapat
bukti yang cukup mengenai pola luas dari elemenelemen Falintil dan/atau CNRT
yang menahan orang yang dipandang sebagai anggota dan/atau mantan anggota
milisi, namun tidak mudah untuk mengenakan tanggung jawab tepat kepada
institusi-institusi spesifik bagi kejadian-kejadian individual pelanggaran. Analisis
Komisi atas bukti yang ada mengungkapkan bahwa penahanan ilegal tersebut
dilakukan dalam cara yang sistematis yang mencakup perintah resmi, laporan kepada
komandan, dan lain-lain. Atas dasar bukti ini, Komisi berkesimpulan bahwa terdapat

163
setidaknya suatu persetujuan institusional diam-diam bagi pola penahanan ilegal
pada Falintil dan/atau CNRT.
Terkait tanggung jawab kelembagaan pelanggaran HAM berat yang dilakukan
terhadap orang-orang yang diduga pendukung pro-kemerdekaan, Komisi telah
menganalisis banyak jenis bukti yang menghubungkan berbagai institusi dengan
kejahatan-kejahatan tersebut.
Seperti uraian di atas, Komisi berkesimpulan bahwa milisi-milisi pro-otonomi
merupakan pelaku langsung utama kejahatan dimaksud.Pertanyaan pokok mengenai
tanggung jawab kelembagaan yang dihadapi Komisi adalah organisasi lain mana
yang dapat dikaitkan dengan kejahatan-kejahatan tersebut secara memadai
sehingga dapat mendukung kesimpulan bahwa mereka juga memikul tanggung
jawab kelembagaan.
Komisi menemukan bahwa komandan-komandan TNI di Timor Timur
mengendalikan pendanaan, pemasokan, pembagian, dan penggunaan senjata
kepada kelompok-kelompok milisi dan hal ini dilakukan secara sangat terorganisasi.
Mereka juga mengetahui bahwa senjata-senjata ini akan digunakan untuk
mendorong kampanye pro-otonomi dan bahwa pelanggaran HAM berat sedang
terjadi selama proses kampanye tersebut. Dukungan TNI bagi milisi juga mencakup
perencanaan dan pengorganisasian operasi gabungan yang sering melibatkan
anggota dan perwira TNI. Fasilitas TNI lokal digunakan sebagai tempat penahanan
ilegal, dimana berbagai bentuk penganiayaan berat terhadap warga sipil, termasuk
penyiksaan dan kekerasan seksual pun terjadi. Komisi menemukan bahwa pola-pola
perbuatan bersama dan dukungan muncul dari keterkaitan struktural antara TNI dan
milisi serta kelompok sipil bersenjata lainnya yang berkembang selama ini. Sikap TNI
mengandalkan kelompok-kelompok sipil bersenjata semacam tersebut merupakan
kelemahan struktural yang kemudian menjadi salah satu sumber bagi tanggung
jawab kelembagaan mereka atas pelanggaran HAM tahun 1999 di Timor Timur. 254
Komisi juga menemukan bahwa terdapat sangat banyak bukti yang
menunjukkan kegiatan-kegiatan kelompok-kelompok milisi juga didukung oleh
pemerintah sipil dalam berbagai bentuk. Salah satu bentuk dukungan yang
terdokumentasi paling baik adalah cara sistematis dan berkesinambungan
pemerintah sipil menyediakan dana bagi milisi, bahkan setelah mereka jelas-jelas
mengetahui bahwa kelompok-kelompok milisi tersebut sudah melakukan berbagai
pelanggaran HAM berat. Muspida juga ikut memberi kontribusi dukungan kepada
kelompok-kelompok milisi. Pemerintah sipil dan Muspida mengetahui bahwa
kelompok-kelompok keamanan yang berafiliasi dengan militer dan kepolisian terlibat

254 Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan,hlm.311.


164
dalam kegiatan-kegiatan pro-otonomi yang melanggar syarat netralitas TNI dan Polri
sesuai Kesepakatan 5 Mei 1999.
Komisi berkesimpulan bukti cukup kuat menunjukkan bahwa penyediaan dana
dan dukungan materil oleh militer dan pejabat pemerintah merupakan bagian
integral dari suatu hubungan kerja sama yang terorganisasi dan berkesinambungan
dalam mewujudkan tujuan politik bersama, yang bertujuan untuk membantu
kegiatan milisi yang akan mengintimidasi atau mencegah warga sipil mendukung
gerakan prokemerdekaan.
Hal-hal ini menjadi dasar bagi kesimpulan bahwa TNI dan pemerintah sipil
memiliki tanggung jawab kelembagaan atas pelanggaran HAM berat yang dilakukan
terhadap orang-orang yang diduga sebagai pendukung pro-kemerdekaan tahun
1999. Dominasi TNI atas pemerintah sipil, sebagaimana tampak dalam analisis
konteks yang lebih luas pada Bab 4, memperkuat kesimpulan mengenai tanggung
jawab kelembagaan.
Kesimpulan bahwa pelanggaran HAM berat yang ditemukan telah terjadi jelas
bukan merupakan akibat kejadian-kejadian spontan. Sebaliknya, serangan-serangan
tersebut dilakukan secara terorganisasi dan sistematis dengan mejadikan pendukung
pro-kemerdekaan sebagai sasaran. Serangan terutama dilakukan oleh milisi,
walaupun anggota TNI dapat ditunjukkan sering terlibat dalam dan/atau ikut
merencanakan serta mengarahkan serangan-serangan tersebut. Secara keseluruhan,
serangan-serangan ini merupakan suatu kampanye kekerasan yang terorganisasi.
Orang-orang dari milisi, kepolisian,pemerintah sipil setempat, dan TNI berpartisipasi
dalam berbagai tahap kampanye kekerasan dan tekanan politik yang dilancarkan
terhadap warga sipil yang diyakini memiliki hubungan dengan gerakan pro-
kemerdekaan. Kampanye ini mengikuti pola-pola tertentu yang seringkali mencakup
serangkaian kejadian yang saling terkait seperti intimidasi, ancaman dan kekuatan
nyata guna melemahkan dukungan penduduk sipil kepada gerakan pro-
kemerdekaan. Kampanye tersebut melibatkan serangan terorganisasi atas desa-desa
oleh milisi dan TNI. Serangan tersebut mengakibatkan pelanggaran HAM berat yang
mencakup pembunuhan, pemerkosaan dan penyiksaan, serta penghilangan
kemerdekaan, pemindahan paksa dari desa-desa, dan pada akhirnya, dalam banyak
kasus, deportasi.255
Kampanye kegiatan terkoordinasi semacam ini memerlukan perencanaan
serta dukungan logistik dan pendanaan. Komisi berkesimpulan bahwa bukti
menunjukkan anggota TNI dan Polri serta pejabat sipil terkadang terlibat dalam
hampir setiap tahap kegiatan yang menimbulkan pelanggaran HAM berat, termasuk

255 Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan,hlm.312.


165
pembunuhan, pemerkosaan, penyiksaan, penahanan ilegal, dan penghilangan
kemerdekaan fisik berat lainnya, serta pemindahan paksa dan deportasi. Kegiatan
yang berkelanjutan dan terkoordinasi semacam ini yang melibatkan berbagai bentuk
dukungan, dorongan, dan kerja sama menjadi dasar bagi kesimpulan Komisi bahwa
TNI, Polri dan pemerintah sipil bersama memikul tanggung jawab kelembagaan atas
kejahatankejahatan dimaksud.
Komisi telah mengidentifikasi tanggung jawab kelembagaan milisi pro-
otonomi dan kelompok pro-kemerdekaan. Sejak Timor-Leste mencapai
kemerdekaannya, kelompok-kelompok ini tidak lagi ada. Untuk alasan itulah
kesimpulan mengenai tanggung jawab kelembagaan mereka hanya akan memiliki
nilai simbolis. Negaralah yang memiliki kewajiban politik dan moral untuk menerima
tanggung jawab atas pelanggaran HAM oleh kelompok-kelompok dengan siapa
negara pernah memiliki hubungan historis, bahkan ketika kelompok-kelompok
tersebut tidak lagi ada atau telah mengalami transformasi yang cukup signifikan.
Dari sudut pandang yang berorientasi ke depan, Komisi berkesimpulan bahwa
pemerintah Timor-Leste harus mengakui tanggung jawab negara bagi penahanan
ilegal yang merupakan pelanggaran hak asasi manusi berat yang dilakukan oleh
kelompok-kelompok pro-kemerdekaan. Pengakuan tanggung jawab negara atas
kelompok-kelompok ini tidak didasarkan pada akuntabilitas hukum, namun muncul
dari dasar moral dan politik bagi tanggung jawab kelembagaan Perihal kelompok-
kelompok milisi pro-otonomi, mengingat pandangan ke depan Komisi dalam
merumuskan kesimpulannya dan rekomendasi-rekomendasi yang didasarkan pada
kesimpulan-kesimpulan tersebut, Komisi menyimpulkan bahwa Indonesia memikul
tanggung jawab negara bagi pelanggaran hak asasi manusi berat yang dilakukan
oleh milisi-milisi tersebut dengan dukungan dan/atau partisipasi institusi-institusi
Indonesia atau para anggotanya.256

256 Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan,hlm.313


166
BAB IV
PENGATURAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA BERAT DALAM
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
A. Tinjauan Terhadap Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat dalam
Perundang-Undangan di Indonesia
Istilah Pelanggaran HAM Berat pertama kali muncul dalam hukum Indonesia
dan dinyatakan sebagai kejahatan dalarn hukum nasional pada UU No. 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia. Penjelasan Pasal 104 UU No. 39 Tahun 1999
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pelanggaran HAM yang berat adalah
pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau diluar
putusan pengadilan (arbitrary/ extrajudicial killing), penyiksaan, penghilangan orang
secara paksa, perbudakan atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis
(systematic discrimination). Sementara, kejahatan terhadap kemanusiaan tidak
didefinisikan secara spesifik namun disebutkan kejahatankejahatan tertentu. UU No.
39 Tahun 1999 mengamanatkan terbentuknya Pengadilan HAM yang memiliki
jurisdiksi pengadilan Pelanggaran HAM yang berat paling lambat 4 (empat)tahun
sejak UU disahkan257.
Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang mempunyai
jurisdiksi untuk memeriksa dan mengadili pelanggaran HAM yang berat yakni
kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan 258. Dalam merumuskan
kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, UU No. 26 tahun 2000
menyatakan bahwa pengertian kejahatan genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan dalam UU ini sesuai dengan 'Rome Statute of The International Criminal
Court" (Pasal 6 dan Pasal 7). Hal ini berarti bahwa apa yang dimaksud dengan
kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam UU No. 26 Tahun
2000 adalah juga merupakan kejahatan-kejahatan yang paling serius sebagaimana
dimaksud dalam Statuta Roma 1998.259
Pengadopsian secara diam-diam terhadap ketentuan dalam Statuta Roma
1998 ke dalam UU No. 26 Tahun 2000 ini mempunyai beberapa kelemahan.
Pertama, berkaitan dengan tidak lengkapnya jenis kejahatan yang diadopsi,

257 Pasal 104 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999.

258 Pasal 4 UU No. 26 Tahun 2000.

259 Sri Wiyanti Eddyono dan Zainal Abidin, Tindak Pidana Hak Asasi Manusia dalam RKUHP,Penerbit
ELSAM dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Juni 2007,hlm.25.
167
kejahatan yang dikategorikan sebagai pelanggaran berat HAM, yang dicakup oleh
Statuta Roma ada empat: genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang dan
agresi. Akan tetapi, UU No. 26 Tahun 2000 hanya mengambil dua jenis kejahatan,
yaitu: genosida dan kejahatan atas kemanusiaan. Indonesia tidak mengadopsi
kejahatan perang dan agresi sebagai bagian dari pelanggaran HAM yang berat.
Ditemui pula adanya kesalahan menerjemahkan ketentuan dalam Statuta
Roma. Hal-hal tersebut mempunyai implikasi serius atas penafsiran ketentuan
tersebut. Akibatnya, pengaturan tentang kejahatan genosida dan kejahatan
terhadap kemanusiaan dalam UU No. 26 tahun 2000 dalam beberapa bagiannya
merupakan ketentuan yang tidak sesuai dengan maksud aslinya.
Perumusan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan tidak
dilengkapi dengan element of crimes untuk menjelaskan maksud dan tafsir resmi
atas ketentuan tersebut.260
UU No. 26 Tahun 2000 menyatakan dengan tegas bahwa pelanggaran HAM
yang berat adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crimes) dan berdampak secara
luas baik pada tingkat nasional maupun internasional dan bukan merupakan tindak
pidana yang diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana 261. Pendefinisian
inilah yang menunjukkan bahwa kejahatan genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan adalah berbeda dengan perumusan dalam kejahatan-kejahatan dalam
KUHP dan karenanya perlu dilakukan langkah-langkah khusus. Berdasarkan
karakteristik kejahatannya yang sangat khusus dan berbeda dengan kejahatan
"biasa" lainnya, maka Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus. Kekhususan
itu menyebabkan keperluan untuk adanya langkah-langkah penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan yang bersifat khusus pula.
Kekhususannya juga terletak pada asas dan prinsipnya yang diatur secara
berbeda. Asas-asas yang diatur secara berbeda dengan tindak pidana biasa
sebagaimana diberlakukan dalam tindak pidana biasa adalah: pertama, tidak
berlakunya ketentuan mengenai kadaluarsa dalam pelanggaran hak asasi manusia
yang berat262.Kedua, dapat digunakannya asas non-retroaktif untuk kejahatan

Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma 1998.

260 Ibid,hlm. 27.

261 Penjelasan umum UU No. 26 Tahun 2000

262 Pasal 46 UU No. 26 Tahun 2000


168
kemanusiaan dan kejahatan genosida.263 Ketiga, tindakan percobaan, permufakatan
jahat dan pembantuan terhadap kejahatan genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan, hukumannya disamakan ancaman pidananya dengan pelaku
(langsung).264
Meskipun tidak merupakan kekhususan, UU No. 26 Tahun 2000 juga
memberikan penekanan pada ketentuan-ketentuan tertentu misalnya perlindungan
terhadap saksi dan korban dan kewajiban untuk adanya kompensasi, restitusi dan
rehabilitasi bagi korban pelanggaran HAM yang berat. 265 Kemudian, untuk
melengkapi regulasi mengenai operasional dari ketentuan mengenai perlindungan
saksi dan hak-hak kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada korban, pemerintah
mengeluarkan 2 (dua) peraturan pemerintah.266
Pengaturan tentang pengadilan HAM dalam UU No. 26 Tahun 2000 yang
mempunyai junsdiksi atas kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan
meskipun terdapat berbagai kelemahan tampaknya berupaya memenuhi ketentuan
hukum internasional. Dalam UU tersebut diciptakan suatu sistem pengadilan yang
akan memastikan adanya proses pengadilan untuk penuntutan pelaku dan
pemberian mekanisme reparasi korban.
Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dalam
penjelasan pasal 104 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pelanggaran hak
asasi manusia yang berat adalah pembunuhan masal (genocide) pembunuhan
sesenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial killing,
penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan atau diskriminasi yang
dilakukan secara sistematis (systematic discrimination). Rumusan yang cukup luas
dan rinci ini sudah seharusnya menjadi rujukan bagi rumusan pelanggaran berat hak
asasi manusia yang berat yang digunakan untuk pengadilan hak asasi manusia.

Undang-undang No 26 tahun 2000 menyatakan bahwa rumusan dari


genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan diambil dari rumusan standar
internasional. Hal itu dapat dibaca dalam penjelasan pasal 7 yang berbunyi ;

263 Penjelasan umum UU No 26 Tahun 2000

264 Pasal 41 UU No 26 Tahun 2000

265Pasal 34 dan 35UU No 26 tahun 2000

266 Peraturan Pemeintah No 2 Tahun 2002 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan
Peraturan Pemerintah No.3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi
Korban Pelanggaran HAM yang berat.
169
Kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam ketentuan ini
sesuai dengan Rome Statute of the Internastional Criminal Court ( Pasal 6 dan pasal
7)

Namun demikian, bila melakukan perbandingan langsung dengan teks dimaksud


maka kita akan menemukan berbagai perbedaan. Pebedaan-perbedaan yang sangat
mengganggu itu diakibatkan oleh perbedaan dalam penerjemahan maupun dalam
perumusan, antara lain :

a) Dalam Statuta Roma penjelasan unsur-unsur kejahatan yang menjadi


yurisdiksinya, dimuat dalam statuta secara jelas dalam pasal-pasal yang
memberikan pembatasan terhadap munculnya penafsiran yang
berbeda.Sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat 2. Sedangkan dalam UU No
26 tahun 2000 hal itu tidak dilakukan secara taat asas. Ada rumusan yang
dimasukkan dalam pasal undang-undang dan ada pula yang dimasukkan
dalam penjelasan undang-undang. Hal itu menimbulkan kesimpangsiuran
berbagai pengertian standar dari elemen-elemen kejahatan

b) Penerjemahan yang berbeda dari teks Statuta Roma, seperti Attack


directed against any civilian population ( Statuta Roma,Pasal 7 ) diterjemahkan
menjadi serangan yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil
( UU No 26 tahun 2000 pasal 9 ). Seharusnya terjemahan yang benar adalah
ditujukan kepada populasi sipil. Kata langsung dapat ditafsirkan bahwa
serangan itu dlakukan oleh pelaku langsung di lapangan saja. Dengan
demikian hanya mereka yang di lapangan yang dapat dikenakan pasal ini,
dan tidak dapat meliputi pelaku di tingkat komando atau atasan. Sementara
itu rumusan penduduk sipil hanya membatasi target potensial korban
kejahatan hanya pada penduduk setempat.Padahal korban bisa saja bukan
orang-orang yang bukan penduduk setempat, yang pada waktu peristiwa
berada di tempat kejahatan terjadi. Majelis hakim di ICTY dan ICTR memberi
pengertian yang luas pada populasi sipil yang mencakup siapa saja (penduduk
atau bukan penduduk yang menjadi korban kejahatan.

c) Penerjemahan persecution menjadi penganiayaan, yang merupakan


tindakan langsung kepada fisik seseorang. Kata itu bila dikembalikan ke
bahasa Inggris berarti assault. Hal itu dilakukan tanpa penjelasan dalam
undang-undang, yang kemudian membuat acuan yang dipakai adalah Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Berbagai tindakan intimidasi ,teror
yang sifatnya non fisik menjadi luput dari cakupan penganiayaan. Padahal

170
Persecution mencakup pengertian yang lebih luas merujuk kepada perlakuan
yang diskriminatif yang menghasilkan kerugian mental, fisik maupun
ekonomis.267

d) Tidak dimasukkannya ayat 1 (k), pasal 7 Statuta Roma dalam pasal 9


Undang-Undang No 26 tahun2000 menyangkut bentuk-bentuk tindakan yang
tidak manusiawi, yang mempunyai tujuan untuk menimbukan penderitaan
berat atau melukai secara serius atas badan atau mental atau kesehatan fisik.

Pertanggungjawban individu dirumuskan dalam Undang-Undang No 26 tahun


2000 dalam pasal 1 ayat 4 : Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok
orang, baik sipil, militer, maupun polisi yang bertanggungjawb secara individual.
Tidak ada penjelasan lebih jauh dari pasal ini. Berbeda dengan Undang-Undang No
26 tahun 2000, batasan atas pertanggungjawaban individual ini diatur secara rinci
dalam Statuta Roma pasal 33 memberikan pembebasan atas tanggung jawab ini
dalam keadaan tertentu yakni: bila ia terikat oleh kewjiban hukum untuk mematuhi
perintah, yang ia tidak tahu bahwa perintah tersebut sebenarnya melanggar hukum
atau perintah itu tidak nyata-nyata melawan hukum

Berbagai kekacauan rumusan itu dapat dengan mudah dipakai untuk kepentingan
kepentingan yang bertujuan untuk menghambat ditegakkannya keadilan.

Dalam kasus Timor-Timur, Kejahatan pembumihangusan bangunan, rumah


dan fasilitas publik yang diperkirakan mencapai tingkat 80% sebagaimana yang
dilaporkan dalam penyelidikkan Komnas HAM, tidak ikut didakwakan oleh Penuntut
Umum ( Jaksa Agung ) dengan alasan kejahatan tersebut tidak tercakup dalam
rumusan pasal 9 Undang-Undang No 26 tahun 2000. Kejahatan yang luar biasa ini
akan dengan sendirinya harus didakwakan bila persecution tidak diterjemahkan
dengan penganiayaan atau bila ayat 1 k pasal 7 Statuta Roma dimasukkan dalam
Pasal 9 UU No 26 tahun 2000.268

Dalam Undang-Undang No 26 tahun 2000 serangan yang meluas atau


sistematik ini dimuat dalam penjelasan Pasal 9.

Beberapa keterangan tambahan tentang elemen ini, adalah disepakatinya


pengertian yang lebih luas dengan menambahkan dua elemen lain yakni :

267 Article 7 (g) Rome Statute “ Persecution” means the intentional and severe deprivation of
fundamental rights contraryInternational law by reasons of the identity of the Group or collectivity.

268 Asmara Nababan, Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat, Belajar dari
Pengalaman, Jurnal HAM,KOMNAS HAM,Vol 2 No 2. Nopember 2004, hlm 97.
171
(1) Sasaran adalah penduduk sipil dan

(2) Korban yang menjadi sasaran berjumlah banyak. Meskipun disadari


garis batas antara combatant dan penduduk sipil juga sangat tipis

Sebagaimana kerancuan lainnya dalam berbagai ketentuan Undang-Undang


No 26 tahun 2000 maka tanggung jawab komando juga membawa persoalan-
persoalan tersendiri.Pasal 42 ayat 1, menjabarkan tanggung jawab komando sebagai
berikut :

”Komandan Militer atau seorang yang secara aktif bertindak sebagai


komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang
berada dalam yurisdiksi pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada
di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif.

Dalam rumusan ini digunakan kata dapat ( could) bukannya akan (shall) atau
harus ( hould), yang memberikan indikasi bahwa dalam kasus pelanggaran hak asasi
manusia yang berat yang diatur dalam Undang-Undang No 26 tahun 2000,
pertanggungjawaban komando bukanlah sesuatu yang sudah secara otomatis
berlaku. Pasal ini menguatkan pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan dalam
pasal 9 yang cenderung ditujukan kepada pelaku langsung di lapangan. Bila Jaksa
Penuntut ingin menuntut menuntut penanggungjawab komando maka harus
dibuktikan adanya ”keperluan”(urgensi) untuk itu.

Selanjutnya,pasal 42 ayat 1 (a) mensyaratkan penanggungjawab komando


untuk ” seharusnya mengetahui pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja
melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Sumber dari pasal ini terdapat
di Statuta Roma pasal 28 ayat 1 (a) yang secara tegas menyatakan bahwa komandan
militer seharusnya ”mengetahui bahwa pasukan tersebut melakukan atau hendak
melakukan kejahatan.

Distorsi penerjemahan ini dalam rumusan pasal ini telah mengabaikan adanya
kewajiban dari pemegang tanggung jawab komando untuk mencegah terjadinya
kejahatan. Walaupun dalam pasal 42 ayat 1(b) dicantumkan bahwa komando militer
tersebut idak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup
kekuasaannya untk mencegah dan menghentikan perbuatan tersebut...”Namun
dalam rumusan ini dan penjelasan ini tidak ada batasan tentang apa yang”layak”
dan ”perlu” dilakukan oleh penanggungjawab komando.

172
Pasal ini membawa implikasi pada pengadilan yang terpaksa menekankan
fokus perhatiannya pada proses, yaitu apakah tindakan yang dilakukan sudah layak
atau tidak , apakah perlu atau tidak. Hal itu secara otomatis mengabaikan kenyataan
apakah tindakan yang diambil oleh penanggungjawab komando berhasil mencegah
dan menghentikan kejahatan atau tidak, apakah perlu atau tidak. Hal itu secara
otomatis mengabaikan kenyataan apakah tindakan yang diambil oleh
penanggungjaab komando berhasil mencegah dan menghentikan kejahatan atau
tidak. Padahal selain harus bertanggungjawab, jika menjadi pelaku langsung,
penganjur atau penyerta, seorang atasan seharusnya bertanggungjawab secara
pidana secara pidana atas kelalaian melaksanakan tugas dan kealpaan. Standar
hukum kebiasaan internasional untuk kelalaian dan kealpaan dalam arti yang luas
menyatakan bahwa seorang atasan bertanggungjawab secara pidana jika : (1) ia
seharusnya mengetahui bahwa pelanggaran hukum telah terjadi atau sedang terjadi,
atau akan terjadi yang dilakukan oleh bawahannya;(2) ia mempunya kesempatan
untuk mengambil tindakan; dan (3) ia gagal mengambil tindakan korektif yang
seharusnya dilakukan sesuai keadaan yang ada atau terjadi saat itu. Pasal 7 ayat 3
Statuta Roma secara imperatif mencerminkan standar hukum kebiasaan internasional
ini.

Rujukan pada standar internasional yang dilakukan memperlihatkan berbagai


distorsi rumusan Tanggungjawab Komando dalam Undang-Undang No 26 tahun
2000. Oleh karena itu tidaklah mengherankan Jaksa Agung sebagai penyidik dan
penuntut umum punyar banyak kesempatan dan lubang-lubang untuk tidak
menuntut Wiranto sebagai pemegang komando tertinggi dalam garis komando
ABRI dalam kasus Timor-Timur, atau Jenderal Benny Moerdani dan Jenderal Try
Sutrisno dalam Kasus Tanjung Priok, sekalipun keduanya direkomendasikan oleh
Komnas HAM untuk diminta pertanggungjawabannya.

Praktik penuntutan terhadap perkara pelanggaran HAM yang berat di


Indonesia telah dilakukan dalam memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran
HAM yang berat di Timor-Timur, Tanjung Priok dan Abepura Papua. Perkara yang
diadili adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dan sampai saat ini belum ada
perkara terkait dengan kejahatan genosida.
Hasil Pengadilan HAM jauh dari apa yang diharapkan karena hampir kesemua
terdakwa yang diajukan ke pengadilan dibebaskan dari hukuman. Demikian pula
dengan para korban tidak ada satupun yang sampai saat ini mendapatkan reparasi
(pemulihan) yakni adanya kompensasi, restitusi dan rehabilitasi sebagaimana diatur
dalam UU No. 26 Tahun 2000. Selama berlangsungnya pengadilan, perlindungan

173
yang diberikan kepada saksi dan korban juga jauh dari memadai di mana banyak
korban yang takut untuk bersaksi di pengadilan dan para saksi yang mengalami
intimidasi selama memberikan kesaksian di pengadilan. 269
Berbagai analisis dan penelitian mengenai kegagalan pengadilan HAM ini telah
dilakukan dan menunjukkan sejumlah faktor yang membuat pengadilan tersebut
tidak mampu menghukum pelaku dan memberikan keadilan kepada korban. 270
Pengadilan ini gagal menghadirkan dua keadilan prinsipil dalam pengadilan yakni
kegagalan untuk menetapkan pertanggungjawaban komando yang jelas di tingkat
kelembagaan dan tidak sekedar kebersalahan individual dan kegagalan dalam
menjalankan "fungsi kebenaran" yang merupakan mandat pengadilan HAM. Di
samping peran penuntut umum yang memungkinkan kegagalan penuntutan,
pengadilan juga dirancang untuk tidak mandiri. Selain itu, kerangka legal pengadilan
dengan UU No. 26 Tahun 2000 membutuhkan revisi, khususnya yang berkaitan
dengan bukti-bukti dan hukum acaranya.

Hasil pengadilan HAM berdasarkan pemantauan menunjukkan adanya 3


kelemahan utama yakni 1) kegagalan dalam membuktikan adanya pelanggaran HAM
yang berat; 2) bebasnya para terdakwa; dan 3) kompensasi yang tidak pernah
diterima oleh korban.271 Kelemahan regulasi ini mengakibatkan pengadilan HAM
yang telah berjalan dianggap tidak berjalan sesuai dengan standar internasional
sebagaimana pengadilan internasional mengadili kejahatan-kejahatan internasional,
misalnya kejahatan terhadap kemanusiaan. Norma dan praktik peradilan
internasional menunjukkan bahwa penuntutan terhadap kejahatan terhadap
kemanusiaan menghasilkan penghukuman kepada pelaku dan reparasi kepada
korban (lihat bagian II).
Analisis atas kegagalan untuk melakukan penuntutan yang efektif tersebut
telah disadari sejak semula bahwa untuk mengadili kejahatan-kejahatan yang
tergolong serius seperti kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan
perlu suatu pengaturan yang khusus. Pengaturan khusus ini bukan saja berkaitan
dengan hukum materialnya tetapi juga harus mencakup hukum acara pidananya
yang berbeda dengan pengaturan dalam tindak pidana umum sebagaimana diatur
dalam KUHP Ditinjau dari sisi hukum materialnya, masih banyak ketentuan yang

269 Progress Report Elsam I-IX

270 David Cohen,Intended to Fail, The Trial Before the Ad Hoc Human Rights Courts in
Jakarta, International Center for Transitional Justice, Juli 2004.

271 Kelompok Kerja Pemantau Pengadilan HAM, Pengadilan yang Melupakan Korban,
ELSAM, Kontras dan PBHI, 24 Agustus 2004.
174
menimbulkan kerancuan dan ketidaklengkapan sehingga sulit diukur kepastiannya
dan cenderung multiinterpretasi. Dari sisi hukum acaranya, meskipun ada
pengecualian, tetapi masih mengacu pada hukum acara pidana biasa (KUHAP) yang
tidak sesuai dan menyulitkan pembuktian kasus-kasus dalam kategori kejahatan
yang bersifat "luar biasa". Kelemahan hukum formal dan material ini berakibat
peradilan tidak berjalan secara fair dalam implementasinya.
B. Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat dalam Sistem
Peradilan Pidana di Indonesia
Pendekatan dan proses penanganan berbagai kasus pelanggaran HAM berat
selama ini hanya berkutat pada penuntutan terhadap pelaku. Hal ini tentu bukan
sesuatu yang ditentang. Namun hal yang sering luput di samping penuntutan
terhadap pelaku adalah mengenai pemenuhan hak korban. Seringkali pemenuhan
hak korban ini dimengerti sebagai sesuatu yang akan terjadi setelah proses hukum
final. Sementara kita tahu bahwa hanya sedikit kasus pelanggaran HAM berat yang
bisa masuk dalam proses peradilan (Kasus Timor Timur, Tanjung Priok, Abepura).
Yang ada itu pun pada akhirnya tidak memuaskan rasa keadilan karena para pelaku
bebas. Alhasil, pemenuhan hak korban atas reparasi pun menjadi hal yang tidak
dianggap ada. Ini menunjukkan bahwa korban belum menjadi bagian yang penting
dalam proses penegakkan hukum di Indonesia. Padahal perkembangan pendekatan
HAM universal telah mengarah pada sikap bahwa hak korban harus dipenuhi
terlepas dari proses hukum atas kasus yang menimpanya. Artinya, ketika seseorang
atau sekelompok orang menjadi korban, maka sepatutnyalah mereka menerima hak-
haknya atas reparasi (pemulihan).
Pengertian dan ruang lingkup korban menurut Resolusi Majelis Umum PBB
No. 40/34 tahun 1985 adalah orang-orang, baik secara individual maupun kolektif,
yang menderita kerugian akibat perbuatan peraturan yang melanggar hukum pidana
yang berlaku di suatu negara, termasuk peraturan yang melarang penyalahgunaan
kekuasaan.272 Sedangkan Peraturan Pemerintah N0. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara
Perlindungan Saksi dan Korban dalam Pelanggaran HAM berat menyatakan bahwa
korban adalah perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan
sebagai akibat pelanggaran HAM berat yang memerlukan perlindungan fisik dan
mental dari ancaman, ganguan, teror dan kekerasan dari pihak manapun.
Pemenuhan hak korban yang berupa reparasi ini diterjemahkan oleh Komisi
HAM PBB sebagai upaya pemulihan kondisi korban pelanggaran HAM ke kondisi
sebelum pelanggaran tersebut terjadi pada dirinya, baik menyangkut fisik, psikis,
harta benda, dan hak status sosial politik korban yang dirusak dan dirampas. Upaya
272 Pengertian dan ruang lingkup korban menurut Resolusi Majelis Umum PBB No. 40/34
tahun 1985
175
pemerintah untuk melakukan reparasi sudah diatur dalam Pasal 35 UU No. 26 Tahun
2000 menyatakan, ayat 1, bahwa korban pelanggaran HAM yang berat dan atau ahli
warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Ayat 2
menyatakan bahwa kompensasi, restitusi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud
dalam ayat 1 dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM. Ayat 3 menyatakan
bahwa ketentuan mengenai kompensasi, restitusi dan rehabilitasi diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah.273
Dalam penjelasan pasal tersebut kompensasi diartikan sebagai ganti kerugian
yang diberikan oleh negara, karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian
yang sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. Restitusi diartikan sebagai ganti
kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak
ketiga yang ganti rugi ini dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti
kerugian untuk kehilangan atau penderitaan atau penggantian biaya untuk tindakan
tertentu. Sedangkan rehabilitasi adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya
kehormatan, nama baik, jabatan, atau hak-hak lainnya.

Meskipun pemerintah sudah mengesahkan undang-undang mengenai


kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi korban pelanggaran HAM. namun tetap
saja proses untuk mendapatkan reparasi sendiri mengalami berbagai hambatan.
Pertama, pelaku harus dinyatakan bersalah melakukan kejahatan terhadap
kemanusiaan atau genosida. Kedua, untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc
untuk kasus-kasus kejahatan yang terjadi sebelum tahun 2000 harus ada dukungan
dari DPR dan Presiden. Ketiga, jaksa harus membuat permohonan untuk reparasi
bagi korban sebagai bagian dari tuntutannya. Apabila pelaku dinyatakan bersalah,
maka pelaku harus membayar restitusi. Apabila pelaku tidak membayar restitusi ini,
maka korban harus melaporkannya pada Jaksa Agung yang kemudian akan meminta
Departemen Keuangan untuk membayar kompensasi.

Bagi perempuan korban kejahatan seksual, hambatan pertama tidak mungkin


dapat diterobos. Pengadilan HAM menggunakan hukum acara yang sama dengan
kejahatan biasa (KUHAP). Dalam hal membuktikan perkosaan, maka seorang
perempuan harus mempunyai 2 orang saksi, ditambah sebuah surat pemeriksaan
dari dokter yang berdasarkan surat dari polisi 24 jam sesudah kejahatan terjadi.
Tentunya, tak akan ada satupun kasus perkosaan yang terjadi , di daerah konflik
manapun, yang dapat memenuhi persyaratan ini, sehingga tidak mungkin diadili
pengadilan HAM.

273 Pasal 35 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM


176
Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia prinsip-prinsip tersebut diakui dalam
berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku, tetapi ketika menghadapi
penerapan dari peraturan tersebut maka Sistem Hukum Pidana Indonesia
berhadapan dengan hal-hal yang dapat bertentangan dengan standar-standar Hak
Asasi Manusia Internasional.Tidak adanya pelaku yang dihukum dalam kasus
pelanggaran HAM berat di Indonesia menunjukan dugaan adanya pelanggaran
terhadap prinsip admissibility, dan adanya pengambilalihan tanggung jawab oleh
negara menunjukan adanya pelanggaran terhadap prinsip non impunity.
Mengadili atau menghukum para pelaku pelanggaran hak asasi manusia telah
diterima menjadi salah satu prinsip dalam hukum hak asasi manusia internasional,
yang dikenal dengan prinsip “human rights violators must be punished”; negara-
negara tidak dapat begitu saja mengabaikan kewajiban tersebut. Apabila kewajiban
tersebut diabaikan oleh suatu negara, maka barulah kewajiban tersebut dapat
diambil alih oleh masyarakat internasional. Dalam kontek inilah kita bicara mengenai
hubungan antara pengadilan nasional dan internasional dalam mengadili kejahatan-
kejahatan serius tersebut.
Seperti yang terdapat di Indonesia dengan UU No. 26/2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia) dapat dipandang sebagai usaha untuk memenuhi
kewajiban internasional yang digambarkan di atas. Dengan menyediakan mekanisme
remedi yang efektif di tingkat nasional--apakah dalam bentuk menghadirkan
pengadilan hak asasi manusia secara khusus, negara tersebut dapat dipandang
menunjukkan keseriusannya dalam menangani pelanggaran hak asasi manusia di
dalam negerinya. Hukum internasional mengenal prinsip “exhaustion of domestic
remedies”, yang mengharuskan penggunaan semaksimalnya semua upaya hukum
yang tersedia di tingkat nasional terlebih dahulu sebelum menggunakan mekanisme
remedi di tingkat internasional dan regional. Jadi mekanisme remedi internasional
hanya diperlukan bila mekanisme remedi nasional tidak bekerja secara efektif,
sehingga korban merasa belum mendapatkan keadilan; korban dengan demikian
boleh menggunakan mekanisme remedi ke tingkat internasional. Karena itu
menyediakan mekanisme remedi yang efektif di tingkat nasional menjadi tanggung
jawab setiap negara.
Pinsip “exhaustion of domestic remedies” tersebut sebetulnya dimaksudkan
untuk menjaga agar remedi internasional tidak berfungsi sebagai pengganti remedi
di tingkat nasional. Dalam kaitan dengan itu saya ingin mengutip Prof. Louis Henkin,
guru besar hukum hak asasi manusia internasional dari Columbia University, yang
menyatakan:

177
“The law, politics, and institutions of international human rights, then, do not
replace national laws and institutions; they provide additional international
protections for rights under national law. The international law of human rights
is implemented largerly by national law and institutions; it is satisfied when
national laws and institutions are sufficient”274

Menjadi jelas kiranya, bahwa pengadilan nasional merupakan pintu pertama


yang harus dilalui dalam usaha menagih pertanggungjawaban bagi pelanggaran
berat hak asasi manusia. Pengadilan internasional tidak dapat serta-merta
menggantikan peran pengadilan nasional, tanpa melewati pengadilan nasional suatu
negara. Jadi peran pengadilan internasional (apakah yang permanen atau ad hoc)
hanya bersifat komplementer, artinya melengkapi proses pertanggungjawaban
ditingkat nasional. Kalau proses di dalam negeri sudah berjalan dengan memuas,
maka peran pengadilan internasional tidak diperlukan lagi. Kecuali proses yang
berjalan di dalam pengadilan nasional lebih ditujukan untuk melindungi tersangka
(atau dijalankan dengan tidak jujur), maka terbuka bagi pengadilan internasional
mengambil perannya. Prinsip ini juga dikuatkan dalam statuta Roma mengenai
Mahkamah Pidana Internasional.
Dalam konteks norma-norma internasional itulah kita harus melihat atau
menimbang kehadiran Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Kehadirannya
tidak dengan sendirinya menutup kemungkinan bagi Pengadilan Internasional
(apakah permanen atau adhoc) menerapkan jurisdiksinya atas kejahatan atau
pelanggaran berat hak asasi manusia yang terjadi di Indonesia. Makanya masyarakat
internasional hingga saat ini masih terus mengamati dengan tekun proses
pertanggungjawaban yang sedang berlangsung di Pengadilan HAM ad hoc Tim-Tim
di Jakarta; apakah berjalan dengan standar internasional atau tidak?
Dengan melihat hubungan antara pengadilan (hak asasi manusia) nasional
dan internasional, terlihatlah bahwa proses pertanggungjawaban atas kejahatan
serius bukan hanya menjadi milik eksklusif suatu negara. Tetapi juga merupakan
tanggungjawab masyarakat internasional secera keseluruhan. Itu artinya jurisdiksi
pengadilan internasional tetap masih terbuka bagi Indonesia (meskipun Indonesia
secara khusus sudah memiliki Pengadilan HAM), sepanjang pengadilan (hak asasi
manusia) nasionalnya hanya sekedar dijadikan tameng bagi perlindungan bagi para
pelaku. Ukuran-ukuran yang sering dijadikan rujukan untuk menyatakan suatu

274 Ifdhal Kashim , Hak Asasi Manusia Dalam Konteks Nasional dan Internasional,
Paper,ELSAM.

178
Negara gagal menjalankan kewajibannya adalah ketidakinginan mengadili dan
ketidakmampuan.
Tetapi harus pula segera ditambahkan disini, bahwa tidak mudah secara
politik untuk membentuk pengadilan hak asasi manusia internasional. Makanya saat
ini masyarakat internasional, PBB, lebih memilih membentuk pengadilan campuran
yang didalamnya terdapat unsur dalam negeri dan internasional seperti terlihat di
Timor Leste, Kosovo, dan Sierra Leonne. Pengadilan Internasional seperti Rwanda dan
Bekas Yugoslavia dipandang terlalu mahal dan sebagainya.
Dari sudut standard setting sepuluh tahun terakhir menunjukkan kemajuan
berarti dalam perlindungan dan pemajuan hak asasi. Perbaikan tekstual ini tampak
dalam amandemen UUD hingga aturan dan ratifikasi konvensi HAM. Telah pula
tersedia mekanisme untuk me-review berbagai kebijakan dan perangkat peraturan
perundangan. Berbagai persoalan perenial hak asasi seperti paham universalitas,
justiciability, dan agenda mematahkan impunitas mulai menemukan jalan
keluarnya. Meskipun demikian kapasitas dan kecepatan negara merespons
penyelesaian hukum berbagai kasus pelanggaran hak asasi masih sangat rendah.
Perumusan standar juga tidak diimbangi dengan penegakannya, terutama
dalam pengungkapan kebenaran maupun pemberian keadilan bagi korban. Alih-alih
memberi keadilan – hak asasi seperti kehilangan daya yang mempunyai kekuatan
untuk menentukan kemendasarannya. Makna hak asasi telah dikikis sehingga
kehilangan nilai dan tujuannya. Dalam praktek hak asasi menjadi komoditi politik elit
kekuasaan di semua tingkatan.
Gagasan bahwa hak asasi akan terjamin dalam sistem politik demokratis dan
sebaliknya demokrasi harus dilandaskan pada hak asasi . Demokrasi pertama-tama
dan bahkan melulu dipraktekkan sebagai cara daripada tujuan dan nilai. Aktor-aktor
dominan memakai demokrasi bukan untuk mencapai keadilan dan kemakmuran,
melainkan lebih sebagai prosedur.
Sejak reformasi, jaminan perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia
khususnya hak sipil dan politik mengalami kemajuan berarti dalam tataran normatif
dan institusional. Terdapat berbagai produk hukum yang dimaksudkan untuk
memberikan penghormatan dan perlindungan hak ini. Norma-norma umum hak
asasi manusia dapat ditemukan disamping pada Amandemen UUD 1945, Tap MPR
tentang hak asasi manusia adalah UU HAM dan Pengadilan HAM dan ratifikasi
instrumen pokok hak asasi internasional.
Supremasi hukum yang berkeadilan juga masih sangat lemah. Terdapat jurang
yang lebar antara yang normatif dan penegakannya. Praktik penyiksaan masih tetap
terjadi, bukan hanya di tempat-tempat penahanan/penghukuman akan tetapi juga

179
tempat-tempat lain. Disamping itu, selama hampir sepuluh tahun terakhir sistem
hukum dan jajaran aparatur negaranya tidak mampu menjawab berbagai kasus
pembunuhan dalam konflik-konflik horizontal dan vertikal serta kasus-kasus
pelanggaran berat hak asasi masa lalu. Budaya impunitas terus menjangkiti sistem
hukum kita.
Diyakini bahwa berbagai kesenjangan ini terjadi antara lain karena, pertama,
upaya penegakan hak asasi manusia lebih menekankan formalisme hukum daripada
penataan ulang politik hak asasi manusia. Kedua, karena monopoli akses atas
sumber-sumber daya publik oleh modal dan birokrat, yang pada gilirannya
menghambat proses politik dan penegakan hukum demi pemenuhan hak-hak asasi
manusia. Ketiga, karena tidak tersedianya otonomi asosiasional bagi hadirnya
demokrasi substantif; yaitu peluang rakyat (terutama lapisan bawah)
mengorganisasikan diri demi mempertahankan kepentingan dan identitas sendiri
tanpa takut akan dicampuri atau diganggu oleh pemerintah.
Penyelesaian pelanggaran HAM yang berat masa lalu dilakukan dengan:
1. Penguatan kewenangan Komnas HAM dalam penyidikan pelanggaran hak
asasi dan pemberian imunitas bagi penyidik Komnas HAM
2. Civil society mengawal setiap upaya perlindungan korban
Penerapan konsep universalitas dalam sistem hukum nasional Indonesia tidak
dapat dipertahankan dalam implementasi dalam sistem hukum nasional khususnya
dalam penyelesaian kasus Timor Timur melalui komisi kebenaran dan persahabatan,
terbukti dengan kesepakatan untuk menghentikan penyelesaian hukum atas semua
persoalan yang menyangkut pelanggaran HAM pada masa lalu dan membebankan
pertanggungjawaban pada negara,

Hak para korban untuk mendapatkan keadilan yang seharusnya mereka


dapatkan ketika mereka kehilangan hak asasi manusia yang seharusnya dilindungi
negara, hilang dikarenakan negara sepakat untuk melupakan tanpa mengungkap
dengan demikian ada kebenaran yang tidak terungkap.

180
BAB V
ANALISIS TERHADAP IMPLEMENTASI PENGATURAN PELANGGARAN HAK
ASASI MANUSIA BERAT DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI
INDONESIA DAN ANALISIS TERHADAP KONSEP PELANGGARAN BERAT HAK
ASASI MANUSIA DI INDONESIA

A. Analisis Terhadap Implementasi Pengaturan Pelanggaran Hak Asasi


Manusia di Indonesia
UU No. 26 Tahun 2000 lahir dalam situasi di mana tuntutan atas penyelesaian
dugaan pelanggaran HAM yang terjadi pada masa lalu dengan membentuk
Pengadilan HAM. Dengan landasan UU No. 26 Tahun 2000, dibentuk 2 (dua)
pengadilan HAM ad hoc untuk peristiwa pelanggaran HAM yang berat di Timor-
Timur dan Tanjung Priok dan digelar Pengadilan HAM untuk peristiwa pelanggaran
HAM di Abepura. Namun, pengadilan HAM yang digelar tidak memberikan hasil
yang maksimal karena hampir semua terdakwa yang diajukan ke pengadilan HAM
dibebaskan. Para korban pelanggaran HAM yang berat juga tidak mendapatkan
reparasi yang dalam UU No. 26 Tahun 2000 dikenal dengan hak-hak atas
kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.
Berbagai faktor yang menyebabkan kegagalan Pengadilan HAM di antaranya
adalah kurang memadainya pengaturan dalam UU No. 26 Tahun 2000 termasuk
kelemahan hukum acaranya. Kekurangan dalam UU No. 26 Tahun 2000
menyebabkan ketidakjelasan dalam menerapkan peraturan perundangundangan,
misalnya tidak lengkapnya "element of crimes" dari kejahatan yang diatur. Penerapan
hukum acara, yang meskipun terdapat aturan yang bersifat khusus, namun secara
umum masih mengacu pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
yang menyulitkan dalam proses pembuktiannya.
Apa yang menjadi pelajaran dari pengalaman pengadilan HAM ad hoc adalah
kebutuhan untuk merumuskan ketentuan yang mampu memberikan efektivitas
dalam penuntutan kejahatan-kejahatan serius tersebut. Efektivitas penuntutan adalah
memberikan pengaturan yang khusus dan komprehensif dalam mengatur kejahatan
yang mempunyai katarkteristik khusus. Selain itu, kejelasan perumusan delik dan
ketentuan yang berbeda mengenai asas-asas hukurnnya juga perlu dilakukan untuk
menangani kejahatan yang sangat serius, bersifat "extraordinary', dan berbeda
dengan tindak pidana umum.
Banyak istilah-istilah yang disebut dalam UU No 26 tahun 2000 tidak tersedia
atau tidak memadai penjelasannya. Penjelasan yang tidak memadai berimplikasi

181
pada sulitnya meletakkan situasi yang tepat untuk memenuhi unsur-unsur pidana
yang dimaksud. Hal ini akan menyulitkan praktik penuntutan terhadap pelaku.
Jika tidak ada pengaturan yang berbeda untuk kejahatan-kejahatan serius
tersebut, apalagi memperlakukannya sebagai kejahatan biasa dan diterapkan dengan
asas-asas hukum yang "biasa" maka kemungkinan kegagalan dalam penuntutan
akan terus terjadi. Dengan demikian, apa yang menjadi cita-cita hukum pidana untuk
menemukan kebenaran materil, menghukutn pelaku dan memberikan keadilan
kepada korban akan sulit terwujud.
Bebeberapa kejahatan dengan karakteriktik khusus mempunyai prinsip dan
asas yang menyimpang dengan asas-asas umum hukum pidana biasa. Dengan
permasalah tersebut di atas, alih-alih akan menghukum pelaku kejahatan yang
sangat serius tersebut, adanya kelemahan pengaturan dan perumusan deliknya akan
mengakibatkan bebasnya para pelaku dan kegagalan menghadirkan keadilan kepada
korban. Terlebih, Hukum Pidana yang bertujuan untuk melindungi individu dan
masyarakat, dan negara tidak akan mencapai hasil sebagaimana yang diharapkan.
Suatu ketentuan dalam hukum pidana, setidaknya selalu mengatur tiga bagian
penting. Ketiga bagian tersebut adalah mengatur tentang ketentuan mengenai asas-
asas umum yang akan diberlakukan, tindak pidana yang akan diatur dan ancaman
hukuman atas tindak pidana tersebut. Asas-asas hukum yang akan dirumuskan
mengatur tentang kewenangan dan batasan dari penerapan suatu tindak pidana,
termasuk acuan untuk menentukan pidana bagi pelaku dan tanggung jawab pelaku.
Tindak pidana yang diatur haruslah dirumuskan secara jelas dan tidak menimbulkan
banyak interpretasi (asas lex certa). Sementara ancaman pidana harus juga
disesuaikan dengan tingkat kejahatannya (tindak pidana).
Ketiga bagian sebagaimana disebutkan di atas, akan mempengaruhi efektifitas
dalam penegakannya. Hal ini mengharuskan adanya kesesuaian antara tindak pidana
yang diatur, ancaman pidana dan asas-asas hukumnya. Jika antara ketiga bagian
tersebut tidak terdapat kesesuaian maka dalam implementasinya akan menimbulkan
kesulitan. Setidaknya dalam hal rumusan tindak pidana yang tidak lengkap akan
mengakibatkan ketiadaan kepastian hukum, ancaman hukuman yang ringan atau
terlalu berat akan menimbulkan ketidakadilan bagi, korban maupun pelaku, dan
pengaturan asas-asas hukumnya yang tidak sejalan akan berakibat pada kegagalan
dalam melakukan penuntutan terhadap para pelakunya.
Untuk memastikan adanya penghukuman terhadap pelanggaran hak asasi
manusia berat dalam hal ini kejahatan terhadap kemanusiaan diperlukan suatu
pengaturan yang memadai dan lengkap, termasuk berkaitan dengan kecukupan
penerimaan asas-asas hukum untuk memastikan bahwa penegakan hukum akan

182
berjalan dengan efektif. Penanganan dan penyelesaian kejahatan-kejahatan luar
biasa tersebut harus ditempatkan dalam konteks yang lebih lengkap, bukan hanya
menghukum pelaku namun juga memberikan peluang kepada korban untuk
mendapatkan hak reparasi kepada mereka. Kegagalan untuk memberikan remedy
yang efektif bagi korban menyebabkan penyelesaian kejahatan belum dapat
dikatakan adil.
Namun, dalam Undang-Undang No 26 tahun 2000 yang mengatur tentang
kejahatan genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan, belum menunjukkan
adanya kesesuaian dengan prinsip-prinsip hukum internasional.
Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dalam
penjelasan pasal 104 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pelanggaran hak
asasi manusia yang berat adalah pembunuhan masal (genocide) pembunuhan
sesenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial killing,
penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan atau diskriminasi yang
dilakukan secara sistematis (systematic discrimination). Rumusan yang cukup luas
dan rinci ini sudah seharusnya menjadi rujukan bagi rumusan pelanggaran berat hak
asasi manusia yang berat yang digunakan untuk pengadilan hak asasi manusia.

Rumusan yang terdapat dalam Pasal 7 Undang-undang No 26 tahun 2000


tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, ternyata membuat rumusan pelanggaran hak
asasi manusia yang berat, yang menyatakan pelanggaran hak asasi manusia yang
berat meliputi : a.kejahatan genosida;b. Kejahatan terhadap kemanusiaan.Dengan
demikian mengeklusifkan berbagai pelanggaran hak asasi manusia seperti yang
dirumuskan dalam UU No 39 tahun 1999, seperti diskriminasi yang dilakukan secara
sistematis, penyiksaan di luar genosida atau kejahatan serius lainnya.

Undang-undang No 26 tahun 2000 membuat klaim bahwa rumusan dari


genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan diambil dari rumusan standar
internasional. Hal itu dapat dibaca dalam penjelasan pasal 6 dan 7 yang berbunyi:
kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam ketentuan ini sesuai
dengan Rome Statute of the International Criminal Court.

Namun demikian, bila melakukan perbandingan langsung dengan teks


dimaksud maka kita akan menemukan berbagai perbedaan. Pebedaan-perbedaan
yang sangat mengganggu itu diakibatkan oleh perbedaan dalam penerjemahan
maupun dalam perumusan, antara lain :

a) Dalam Statuta Roma penjelasan unsur-unsur kejahatan yang menjadi


yurisdiksinya, dimuat dalam statuta secara jelas dalam pasal-pasal yang

183
memberikan pembatasan terhadap munculnya penafsiran yang
berbeda.Sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat 2. Sedangkan dalam UU No
26 tahun 2000 hal itu tidak dilakukan secara taat asas. Ada rumusan yang
dimasukkan dalam pasal undang-undang dan ada pula yang dimasukkan
dalam penjelasan undang-undang. Hal itu menimbulkan kesimpangsiuran
berbagai pengertian standar dari elemen-elemen kejahatan

b) Penerjemahan yang berbeda dari teks Statuta Roma, seperti Attack


directed against any civilian population (Statuta Roma, Pasal 7) diterjemahkan
menjadi serangan yang ditujkan secara langsung terhadap penduduk sipil
( UU No 26 tahun 2000 Pasal 9). Seharusnya terjemahan yang benar adalah
ditujukan kepada populasi sipil. Kata langsung dapat ditafsirkan bahwa
serangan itu dilakukan oleh pelaku langsung di lapangan saja. Dengan
demikian hanya mereka yang di lapangan yang dapat dikenakan pasal ini,
dan tidak dapat meliputi pelaku di tingkat komando atau atasan. Sementara
itu rumusan penduduk sipil hanya membatasi target potensial korban
kejahatan hanya pada penduduk setempat.Padahal korban bisa saja bukan
orang-orang yang bukan penduduk setempat, yang pada waktu peristiwa
berada di tempat kejahatan terjadi. Majelis hakim di ICTY dan ICTR memberi
pengertian yang luas pada populasi sipil yang mencakup siapa saja (penduduk
atau bukan penduduk yang menjadi korba kejahatan

c) Penerjemahan persecution menjadi penganiayaan, yang merupakan


tindakan langsung kepada fisik seseorang. Kata itu bila dikembalikan ke
bahasa Inggris berarti assault. Hal itu dilakukan tanpa penjelasan dalam
undang-undang, yang kemudian membuat acuan yang dipakai adalah Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Berbagai tindakan intimidasi ,teror
yang sifatnya non fisik menjadi luput dari cakupan penganiayaan. Padahal
Persecution mencakup pengertian yang lebih luas merujuk kepada perlakuan
yang diskriminatif yang menghasilkan kerugian mental, fisik maupun
ekonomis.

d) Tidak dimasukkannya ayat 1 (k), pasal 7 Statuta Roma dalam pasal 9


Undang-Undang No 26 tahun2000 menyangkut bentuk-bentuk tindakan yang
tidak manusiawi, yang mempunyai tujuan untuk menimbukan penderitaan
berat atau melukai secara serius atas badan atau mental atau kesehatan fisik.

Pertanggungjawaban individu dirumuskan dalam Undang-Undang No 26


tahun 2000 dalam pasal 1 ayat 4 : Setiap orang adalah orang perseorangan,

184
kelompok orang, baik sipil, militer, maupun polisi yang bertanggungjawb secara
individual. Tidak ada penjelasan lebih jauh dari pasal ini. Berbeda dengan Undang-
Undang No 26 tahun 2000, batasan atas pertanggungjawaban individual ini diatur
secara rinci dalam Statuta Roma pasal 33 memberikan pembebasan atas tanggung
jawab ini dalam keadaan tertentu yakni: bila ia terikat oleh kewjiban hukum untuk
mematuhi perintah, yang ia tidak tahu bahwa perintah tersebut sebenarnya
melanggar hukum atau perintah itu tidak nyata-nyata melawan hukum

Berbagai kekacauan rumusan itu dapat dengan mudah dipakai untuk


kepentingan kepentingan yang bertujuan untuk menghambat ditegakkannya
keadailan.

Dalam kasus Timor-Timur, Kejahatan pembumuhangusan bangunan, rumah


dan fasilitas publik yang diperkirakan mencapai tingkat 80% sebagaimana yang
dilaporkan dalam penyelidikkan Komnas HAM, tidak ikut didakwakan oleh Penuntut
Umum ( Jaksa Agung ) dengan alasan kejahatan tersebut tidak tercakup dalam
rumusan pasal 9 Undang-Undang No 26 tahun 2000. Kejahatan yang luar biasa ini
akan dengan sendirinya harus didakwakan bila persecution tidak diterjemahkan
dengan penganiayaan atau bila ayat 1 k pasal 7 Statuta Roma dimasukkan dalam
Pasal 9 UU No 26 tahun 2000.

Dalam Undang-Undang No 26 tahun 2000 serangan yang meluas atau


sistematik ini dimuat dalam penjelasan Pasal 9.

Beberapa keterangan tambahan tentang elemen ini, adalah disepakatinya


pengertian yang lebih luas dengan menambahkan dua elemen lain yakni :

(1) Sasaran adalah penduduk sipil dan

(2) Korban yang menjadi sasaran berjumlah banyak. Meskipun disadari


garis batas antara combatant dan penduduk sipil juga sangat tipis

Sebagaimana kerancuan lainnya dalam berbagai ketentuan Undang-Undang


No 26 tahun 2000 maka tanggung jawab komando juga membawa persoalan-
persoalan tersendiri.Pasal 42 ayat 1, menjabarkan tanggung jawab komando sebagai
berikut :

”Komandan Militer atau seorang yang secara aktif bertindak sebagai


komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana
yang berada dalam yurisdiksi pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan
yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif.”
185
Dalam rumusan ini digunakan kata dapat (could) bukannya akan (shall) atau
harus (should), yang memberikan indikasi bahwa dalam kasus pelanggaran hak asasi
manusia yang berat yang diatur dalam Undang-Undang No 26 tahun 2000,
pertanggungjawaban komando bukanlah sesuatu yang sudah secara otomatis
berlaku. Pasal ini menguatkan pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan dalam
pasal 9 yang cenderung ditujukan kepada pelaku langsung di lapangan. Bila Jaksa
Penuntut ingin menuntut menuntut penanggungjawab komando maka harus
dibuktikan adanya ”keperluan”(urgensi) untuk itu.

Selanjutnya,pasal 42 ayat 1 (a) mensyaratkan penanggungjawab komando


untuk ” seharusnya mengetahui pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja
melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Sumber dari pasal ini terdapat
di Statuta Roma pasal 28 ayat 1 (a) yang secara tegas menyatakan bahwa komandan
militer seharusnya ”mengetahui bahwa pasukan tersebut melakukan atau hendak
melakukan kejahatan.

”Dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan


Hak Asasi Manusia telah diatur ketentuan mengenai prinsip yang merupakan
prinsip baru dalam sejarah perkembangan hukum pidana yang bersifat
universal yang bertujuan meningkatkan efisiensi dan efektifitas penegakan
hukum terhadap kejahatan-kejahatan serius yang sangat membahayakan atau
mengancam kehidupan masyarakat internasional. Tujuan utama prisip ini ialah
agar setiap atasan baik sipil maupun militer wajib bertanggungjawab terhadap
setiap kejahatan yang dilakukan oleh bawahannya.Tujuan ini dilandaskan
kepada asumsi bahwa kejahatan serius di bawah yurisdiksi ICC adalah
kejahatan yang melanggar hak asasi manusia dan terjadi sebagai akibat dari
sistem pemerintahan otoriter dan militerisme sehingga pemberantasan dan
pencegahan terhadap kejahatan spesifik ini dan pertanggungjawaban
pidananya sangat sulit. Untuk mencapai tujuan tersebut prinsip prinsip non-
impunity menegaskan bahwa tidak boleh ada imunitas terhadap terhadap
setiap orang yang dipandang wajib dan sangat bertanggungjawab atas
kejahatan tersebut terlepas dari asal-usul atau status sosial atau status
kepangkatannya.Prinsip ini menghedaki agar setiap pelaku kejahatan yang
sangat serius dituntut dan diadili.Prinsip ini merupakan karakteristik baru dan
spesifik dalam sistem pertanggungjawaban pidana yang telah berlaku secara
universal.”275

275 Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional Bagian II, Pt Hecca Mitra utama,
Jakarta,2004,hlm 15
186
Distorsi penerjemahan ini dalam rumusan pasal ini telah mengabaikan adanya
kewajiban dari pemegang tanggung jawab komando untuk mencegah terjadinya
kejahatan. Walaupun dalam pasal 42 ayat 1(b) dicantumkan bahwa komando militer
tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup
kekuasaannya untk mencegah dan menghentikan perbuatan tersebut...” Namun
dalam rumusan ini dan penjelasan ini tidak ada batasan tentang apa yang ”layak”
dan ”perlu” dilakukan oleh penanggungjawab komando.

Pasal ini membawa implikasi pada pengadilan yang terpaksa menekankan


fokus perhatiannya pada proses, yaitu apakah tindakan yang dilakukan sudah layak
atau tidak , apakah perlu atau tidak. Hal itu secara otomatis mengabaikan kenyataan
apakah tindakan yang diambil oleh penanggungjawab komando berhasil mencegah
dan menghentikan kejahatan atau tidak, apakah perlu atau tidak. Hal itu secara
otomatis mengabaikan kenyataan apakah tindakan yang diambil oleh
penanggungjaab komando berhasil mencegah dan menghentikan kejahatan atau
tidak. Padahal selain harus bertanggungjawab, jika menjadi pelaku langsung,
penganjur atau penyerta, seorang atasan seharusnya bertanggungjawab secara
pidana atas kelalaian melaksanakan tugas dan kealpaan. Standar hukum kebiasaan
internasional untuk kelalaian dan kealpaan dalam arti yang luas menyatakan bahwa
seorang atasan bertanggungjawab secara pidana jika: (1) ia seharusnya mengetahui
bahwa pelanggaran hukum telah terjadi atau sedang terjadi, atau akan terjadi yang
dilakukan oleh bawahannya; (2) ia mempunyai kesempatan untuk mengambil
tindakan; dan (3) ia gagal mengambil tindakan korektif yang seharusnya dilakukan
sesuai keadaan yang ada atau terjadi saat itu. Pasal 7 ayat 3 Statuta Roma secara
imperatif mencerminkan standar hukum kebiasaan internasional ini.

Rujukan pada standar internasional yang dilakukan memperlihatkan berbagai


distorsi rumusan Tanggungjawab Komando dalam Undang-Undang No 26 tahun
2000. Oleh karena itu tidaklah mengherankan Jaksa Agung sebagai penyidik dan
penuntut umum punya banyak kesempatan dan lubang-lubang untuk tidak
menuntut wiranto sebagai pemegang komando tertinggi dalam garis komando ABRI
dalam kasus Timor-Timur, atau Jenderal Benny Moerdani dan Jenderal Try Sutrisno
dalam Kasus Tanjung Priok, sekalipun keduanya direkomendasikan oleh Komnas
HAM untuk diminta pertanggungjawabannya.

Mengenai pengahapusan pidana bagi bawahan yang melakukan tindakan


atas perintah jabatan. Yang menyatakan bahwa seseorang tidak dipidana karena

187
melakukan tindak pidana dalam melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh
pejabat yang bewenang. Perintah jabatan yang diberikan tanpa wewenang tidak
mengakibatkan hapusnya pidana, kecuali jika orang yang diperintahkan dengan
iktikad baik mengira bahwa perintah tersebut diberikan dengan wewenang dan
pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.
Ketentuan penghapusan pidana bagi bawahan yang berisikan seorang
bawahan yang melakukan tindak pidana genosida,dan tindak pidana kemanusiaan,
sesuai dengan perintah atasan tidak dapat dipertanggungjawabkan apabila peritah
itu diyakininya dengan itikad baik telah diberikan dengan sah dan pelaksanaan
perintah itu termasuk ruang lingkup wewenangnya sebagai bawahan. Selanjutnya
ditegaskan bahwa perintah untuk melakukan genosida dan kejahatan kemanusiaan
jelas-jelas melanggar hukum.276
Ketentuan di atas menegaskan bahwa setiap perbuatan yang dilakukan
pelakunya tidak dapat dipidana karena alasan perintah jabatan dan hapusnya
pemidanaan karena anggapan adanya perintah yang termasuk dalam lingkungan
pekerjaannya. Ketentuan ini juga menggunakan alasan "itikad baik" di mana
pengertian dari "itikad baik" tidak dijelaskan dan tidak ada penjelasan yang
memadai. Sementara, dalam praktik Peradilan Internasional yang sudah terjadi, itikad
baik yang dimaksud lebih pada itikad baik dalam arti obyektif di mana tidak terdapat
unsur kesalahannya.277
Ketentuan ini mengadopsi ketentuan yang terdapat dalam Statuta Roma
namun tidak secara utuh. Statuta Roma mengatur tentang penghapusan pidana bagi
pelaksanaan perintah dari suatu pemerintahan atau atasan baik militer maupun sipil
di mana orang tersebut berada dalam kewajiban hukum untuk menuruti perintah
dan tidak mengetahui bahwa perintah itu melanggar hukum. Ketentuan ini dibatasi
dengan klausul bahwa perintah melakukan genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan jelas-jelas melawan hukum (orders to commit genocide or crimes
against humanity are manifestly unlawfull
Meskipun terlihat sama dan relevan namun tidak diimbangi dengan ketentuan
mengenai atasan atau pejabat resmi. Seharusnya ketentuan ini juga mengatur
tentang tidak relevannnya jabatan resmi untuk menghilangkan tuntutan pidana dan
pengurangan hukuman. Demikian juga dengan kekebalan dan peraturan prosedural
khusus (immunity or special procedural rules) tidak menghalangi jurisdiksi pengadilan

276 Sri Wiyanti Eddyono dan Zainal Abidin, Tindak Pidana Hak Asasi Manusia dalam RKUHP,Penerbit
ELSAM dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Juni 2007,hlm.40.

277
188
atas orang tersebut.278 Tanpa regulasi yang demikian, sebagaimana pengalaman
pengadilan HAM ad hoc Kasus Timor-Timur, Hakim dapat dengan mudah
menentukan terdakwa yang dinyatakan bersalah tidak segera masuk penjara karena
tenaganya masih dibutuhkan oleh kesatuannya.
Ne bis in idem merupakan asas hukum pidana yang bisa berlaku dalam
berbagai kasus pidana termasuk kasus pelanggaran HAM yang berat. Pengertian ne
bis in idem dipahami sebagai tidak adanya pengadilan lainnya atas perkara yang
sama baik berdasarkan perkaranya/peristiwa (tempos dan locus delictie-nya) dan
kesamaan pelaku, yang telah diadili sebelumnya dan mempunyai kekuatan hukum
yang tetap. Penekanan prinsip ne bis in idem ini adalah peristiwanya sama, pelakunya
sama dan telah diadili dan ada putusan yang mempunyai kekuatan hukum yang
tetap (inkrachl). Pengertian ne bis in idem antara lain dapat dilihat dan ketentuan
dalam undang-undang UU No. 39/1999. 279 Pengertian ini sejalan dengan ketentuan
yang diatur dalam pasal 18 ayat 5 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia..

Kejahatan genosida, dan kejahatan kemanusiaan diberbagai pengalaman yang


terjadi di negara-negara di dunia, banyak pelakunya adalah aparat negara. Oleh
karena itu sangat sulit untuk diadili dimuka pengadilan yang adil dan sungguh-
sungguh. Dalam konteks Indonesia, kesulitan mengadilipun bisa dialami dan pernah
dialami. Dengan berlakunya beberapa proses pengadilan seperti pengadilan umum
dan pengadilan militer bersamaan dengan pengadilan HAM, maka bisa jadi untuk
menghindari diadili melalui peradilan HAM, para pelaku kemudian diadili dengan
pengadilan umum atau militer. Maka ketika peradilan khusus HAM digelar, asas ne
bis in idem digunakan oleh para pelaku untuk menolak diadakan pengadilan
terhadapnya.280
Sebagai kejahatan yang dikategorikan bersifat extra ordinary crimes
seharusnya kejahatan genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan , membuka
peluang adanya pengecualian terhadap asas ne bis in idem dalam hal pengadilan
unable atau unwilling.
Kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan memberikan kewajiban
bagi semua bangsa untuk melakukan penuntutan terhadap para pelakunya.
Kejahatan ini juga tidak mengenal batas waktu untuk penuntutannya. Sampai
kapanpun para kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan tidak bisa

278 Pasal 27 Statuta Roma

279 Pasal 18 UU No 39 Tahun 1999

280 Progress Report Pemantauan Pengadilan HAM, Preliminary Conclusive Report,


Elsam,2005.
189
melepaskan diri dan pertanggungjawaban dan mendapatkan tempat yang aman (no
save haven). Kenyataan ini menjadikan adanya satu prinsip tentang batas waktu
penuntutan atau masa "daluarsa" yang tidak dapat diberlakukan. Dalam hukum
nasional, ketentuan tidak berlakunya daluarsa terhadap kejahatan-kejahatan ini telah
diakui dan dinyatakan secara tegas dalam UU No. 26 tahun 2000.
Pengecualian tersebut sesungguhnya pun telah diatur dalam ketentuan
Statuta Roma yang menyatakan bahwa Pengadilan Internasional dapat mengadili
ulang pelaku pelanggaran HAM berat jika dalam proses pengadilan yang sudah
berjalan merupakan peradilan yang tidak mandiri dan memihak dan ditujukan untuk
melindungi pelaku dari tanggung jawab pidana. 281 Jauh sebelumnya, hal ini juga
telah diatur dalam UN Convention on the Non Applicability of Statutory Limitation to
Ear Crimes and Crimes Against Humanity 1968.
Dengan pemberian amnesti, maka semua akibat hukum pidana terhada
seseorang yang telah melakukan tindak pidana menjadi hapus. ' Dengan pemberian
abolisi, maka penuntutan terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana
ditiadakan.
Amnesti dan abolisi memberikan peluang tidak dilakukannya penghukuman
terhadap tindak pidana genosida, dan tindak pidana terhadap kemanusiaan karena
adanya amnesti dan abolisi. Hal ini sangat bertentangan dengan hukum internasional
yang mewajibkan setiap negara untuk melakukan penuntutan terhadap para pelaku
kejahatan-kejahatan tersebut.282

Selain pemberian amnesti, juga dibuka peluang untuk penyelesaian di luar


proses sebagai alasan untuk gugurnya penuntutan. Namun tidak ada penjelasan
yang memadai tentang apa yang dimaksud dengan penyelesaian di luar proses
sehingga ada kemungkinan bahwa kejahatan kemanusiaan dan genosida
diselesaikan di luar proses. Seharusnya perlu adanya pengecualian, yaitu untuk
tindak pidana genosida,dan kejahatan terhadap kemanusiaan,tidak berlaku
pemberian amnesti dan penyelesaian perkara di luar pengadilan.

281 Pasal 20 ayat 3 Statuta Roma

282Berdasarkan Basic Principles and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation for
Gross Violation of International Human Rights Law and Serious Violation of Internatioal
Humanitarian Law;General Comment 31, Update Set of Principle to Combat Impunity dalam
prinsip 1,9,22, dan 24 yang mengatur bahwa ketika terjadi genosida dan kejahatan
terhadap kemanusiaan maka setiap negara memiliki tugas dan tanggung jawab untuk
menuntut dan menghukum secara setimpal para pelakunya serta tidak memberikan amnesty
kepada para pejabat atau aparat negara sampai mereka dituntut di depan pengadilan.
190
Tujuan Pemidanaan salah satunya adalah penciptaan atau pemenuhan rasa
keadilan untuk korban, tujuan yang sangat relevan dalam konteks penuntutan dan
penghukuman terhadap pelaku kejahatan genosida, dan kejahatan atas
kemanusiaan.
Kejahatan genosida, dan kejahatan kemanusiaan sebagai kejahatan yang
sangat serius dan biasanya dilakukan oleh aparat negara baik sipil maupun militer
memunculkan kebutuhan untuk adanya sistem perlindungan saksi. Sebagaimana
dalam pengaturan dalam Statuta Roma, perlindungan terhadap saksi dan korban
menjadi perhatian penting. 283
Demikian pula dengan UU No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM yang memberikan klausul khusus tentang perlindungan saksi dan
korban.284
Saat ini dengan diundangkannya UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban sedikit banyak telah memberikan landasan normatif tentang
perlindungan saksi dan korban. UU ini memberikan sejumlah hak kepada korban dan
saksi untuk perlindungan dan adanya lembaga khusus untuk perlindungan saksi dan
korban. Para korban kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan juga
mendapatkan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi, yang sebelumnya juga diatur
dalam pasal 35 UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Kompensasi atas kerugian bagi korban sesungguhnya merupakan kewajiban


negara yang harus diberikan tanpa ketergantungan dengan pihak pelaku apakah
pelaku mau memberikan ganti rugi atau tidak. 285 Konteks reparasi harus diletakkan
tidak semata-mata pada konsep ganti kerugian berupa uang tapi juga bentuk lainnya
misalnya non reccurence dan pemuasan (satisfaction). 286
Dari rumusan Undang-Undang No 26 tahun 2000 setidaknya ditemui dua hal
yang menjadi kelemahan dari Bab IX tentang Tindak Pidana Hak Asasi Manusia;
pertama, pengaturan atau rumusan yang dimasukkan tidak memadai, baik karena
tidak lengkap dan hanya mencomot bagian-bagian tertentu dari norma-norma

283 Pasal 68 Statuta Roma

284Pasal 34 UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM

285 Boven van Theo, , Mereka Yang Menjadi Korban, Hak Korban Atas Restitusi, Kompensasi
Dan Rehabilitasi, Elsam 2002.

286 Basic Principles and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation for Gross
Violation of International Human Rights Law and Serious Violation of Internatioal
Humanitarian Law Menyatakan bahwa para korban diberi lima hak reparasi yaitu
Resstitusi,kompensasi,rehabilitasi,pemuasan, dan jaminan ketidak terulangan
191
internasional, maupun karena penterjemahan yang tidak baik sehingga istilah yang
digunakan tidak tepat. Kedua, ada banyak istilah-istilah yang digunakan tidak
dijelaskan secara baik atau tidak ada penjelasannya.
Berdasarkan kesesuaian pengaturan tentang kejahatan terhadap
kemanusiaan dalam Statuta Roma pasal 7 yang menyatakan kejahatan terhadap
kemanusiaan sebagai: "For the purpose of this Statute, "crimes against humanity"
means any of the following acts when committed as part of a widespread or
systematic attact directed agaist any civilian population, with knowledge of the attack
(a)...: "
Dari rumusan dalam Statuta Roma tersebut, terdapat beberapa hal yang
dihilangkan dalam penerjemahannya maupun kesalahan dalam menerjemahkan
maksudnya. Pertama, yakni "... secara langsung ..." yang terlalu berlebihan dan tidak
sesuai dengan terjemahan dari terjemahan Statuta Roma yakni "directed against".
Unsur "serangan yang ditujukan secara langsung" seharusnya diganti dengan
"serangan terhadap" karena lebih sesuai dengan Statuta Roma 1998. 287 Dengan
definisi ini maka arti dari kata "serangan" merupakan serangan yang dilakukan
secara langsung maupun tidak langsung.
Kedua, penerjemahan yang keliru terhadap kata "directed against any civilian
population, yang seharusnya diartikan "ditujukan kepada populasi sipil", diartikan
sebagai "ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil", yang sepadan dengan
pengertian dengan "directly against any civilian population". Kata "langsung" ini bisa
berimplikasi bahwa seolah-olah hanya para pelaku langsung di lapangan sajalah
yang dapat dikenakan pasal ini, sedangkan pelaku di atasnya yang membuat
kebijakan tidak akan tercakup oleh pasal ini.
Ketiga, Perumusan dalam Undang-Undang No 26 tahun 2000 menghilangkan
satu kata yang cukup penting yaitu kata "setiap" sebelum kata "penduduk sipil".
Seharusnya perumusannya adalah "setiap penduduk sipil" yang merupakan
terjemahan dari sumber yang diadopsinya yaitu Statuta Roma yakni "any civilian
population". Menambahkan kata "setiap" sebagai persamaan dan kata "any" akan
memperluas konsekuensi atas cakupan apa yang dimaksud dengan "penduduk sipil".
Istilah "setiap penduduk sipil" akan mampu meliputi mereka yang belum menjadi
warga negara dan kelompok lainnya sehingga pengertian unsur "penduduk sipil"
akan berlaku lebih luas.
Keempat, UU No 26 tahun 2000 menggunakan istilah "penduduk" sebagai
penerjemahan dari "population". Penggunaan kata "penduduk" dan bukannya
"populasi" telah menyempitkan subyek hukum dengan menggunakan batasan-

287 Pasal 7 Statuta Roma, attack directed against any civilian population.
192
batasan wilayah, dan hal ini secara signifikan juga menyempitkan target-target
potensial korban kejahatan terhadap kemanusiaan hanya pada warga negara di
mana kejahatan tersebut berlangsung.
Kelima, pengertian "kebijakan penguasa" atau "kebijakan yang berhubungan
dengan organisasi" merupakan adopsi dari kata "state or organisational policy to
commit such attack" dari Statuta Roma 1998. Penerjemahan "state policy' yang
diterjemahkan sebagai "kebijakan penguasa", seharusnya menjadi "kebijakan
negara". Pengertian antara "kebijakan penguasa" dengan "kebijakan negara" sangat
berbeda. Penerjemahan ini juga menghilangkan kata "to commit such attack".
Keenam, terkait dengan istilah penganiayaan, istilah ini sebenarnya tidak sesuai
dengan terjemahan dari Statuta Roma, yakni "persecution". Dalam Statuta Roma 1998
mengenai bentuk-bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan
persekusi (persecution) sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat 1 huruf (h). Pengertian
`persecution" dalam Statuta Roma adalah perampasan secara sengaja dan keras hak
fundamental bertentangan dengan hukum internasional karena alasan identitas
kelompok atau kolektivitas.
Pengertian persecution dapat mencakup pengertian yang lebih luas merujuk
pada perlakuan diskriminatif yang menghasilkan kerugian mental, fisik maupun
subjek di luar fisik Akibatnya berbagai tindakan teror, intimidasi yang sifatnya non
fisik tidak tercakup dalam pengertian penganiayaan.288
Kejahatan berupa penganiayaan dalam UU No 26 tahun 2000 tidak dijelaskan
dan dapat diartikan, dalam arti leksikal, sebagai perlakuan yang sewenang-wenang.
Pengertian penganiayaan berdasarkan jurisprudensi merupakan perbuatan yang
dengan sengaja menimbulkan rasa tidak enak, rasa sakit, atau luka.
Kesalahan pengertian mengenai kejahatan `persecution" harus dikembalikan
sebagaimana maksudnya sesuai dengan ketentuan dalam Statuta Roma 1998 agar
tidak mengalami kerancuan maksudnya. Bentuk kejahatan berupa "penganiayaan" ini
perlu diganti dengan kejahatan "persekusi terhadap kelompok atau kolektivitas
tertentu karena alasan politis, rasial, kebangsaaan, etnis, kultural, keagamaan, atau
jender yang diakui secara universal sebagai dilarang menurut hukum internasional".
Penjelasan dari pengertian "persekusi" tersebut adalah "perampasan hak asasi secara
keras dan bertentangan dengan hukum internasional karena alasan identitas
kelompok atau kolektivitas".
Secara umum, dalam UU No 26 tahun 2000 memiliki beberapa kelemahan.
Pertama, hampir sama dengan kejahatan genosida kelemahan utama dari kejahatan

288 Asmara Nababan,Penyelesaian Pelanggaran HAM yang Berat: Belajar Dari Pengalaman,
Jurnal HAM, Komnas HAM,Vol 2,tahun 2004,hlm.99.
193
terhadap kemanusiaan adalah ketiadaan penjelasan dari unsur-unsur tindak pidana
(element of crimes). Akibatnya, konsep kejahatan terhadap kemanusiaan dalam UU
No 26 tahun 2000 memiliki beberapa kelemahan yang sangat mendasar yaitu istilah
sistematik atau meluas yang diadopsi dari kata widespread or sytematic tidak
dijelaskan dalam undang-undang ini. 289
Padahal, kedua hal ini penting untuk
menunjukkan sifat khusus pada sifat kejahatan terhadap kemanusiaan, di mana lebih
jauh berimplikasi pada keterlibatan kebijakan dan otoritas yang memegang
kekuasaan dalam terjadinya pelanggaran. Kondisi yang sama juga berlaku terhadap
elemen "diketahui" (intention). Ketidakjelasan definisi ketiga elemen itu membuka
bermacam interpretasi di pengadilan.
Penjelasan yang cukup mendetail dan jelas menjadi penting mengingat
pemahaman bahwa jenis delik kejahatan dalam undang-undang ini adalah kejahatan
khusus yang memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan pengaturan dalam
hukum publik yang ada misalnya kejahatan biasa sebagaimana diatur dalam KUHP
Dalam hal ini kebutuhan terbesar adalah memberikan rumusan yang cukup jelas
untuk menunjukkan sifat khusus delik, misalnya berkaitan dengan adanya unsur
policy. Tanpa ada penjelasan dalam tiap unsurnya, maka akan mengakibatkan
sulitnya pembuktian dan pemidanaan terhadap pelaku kejahatan terhadap
kemanusiaan karena dakwaan jaksa penuntut umum akan disusun secara sumir.
Padahal dalam implementasinya, majelis hakim akan banyak mendasarkan
putusannya pada intepretasi atas rumusan pasal ini.
Oleh sebab itu perlu agar ketentuan tentang tindak pidana kejahatan (dan
juga tindak pidana lainnya) dilengkapi dengan rumusan unsur-unsur deliknya. Hal ini
dimaksudkan untuk memudahkan penerapan dari ketentuan atas jenis tindak pidana
yang bersangkutan.290
Ketidakjelasan dalam memberikan pengertian tentang aspek percobaan,
permufakatan jahat dan pembantuan dalam tindak pidana terhadap kemanusiaan
akan merancukan pertanggungjawaban pidana pelaku. Kejelasan ini misalnya bisa
mengacu pada ketentuan dalam Pasal 25 ayat (3) Statuta Roma tentang dapat
dipidana dan dikenai hukuman terhadap seseorang yang melakukan kejahatan.
Ketentuan dalam Statuta Roma ini akan memperjelas posisi pelaku langsung maupun
pelaku tidak langsung karena membedakan antara direct (pIysical) perpretation,
indirect perpetration dan co perpetration.

289 Statuta Roma tidak mempunyai penjelasan mengenai meluas dan sistematik .

290 Telah ada buku Pedoman unsur-unsur Pelanggaran HAM yang Berat dan Tanggung
Jawab Komandan yang diterbitkan oleh Mahkamah agung
194
Dalam hal pelaku adalah seorang komandan militer atau atasan polisi atau
atasan sipil perlu ditentukan secara tegas bahwa para pelaku tersebut dipidana
dalam konteks melakukan tindak pembantuan, permufakatan jahat atau dalam
posisinya sebagai komandan sehingga dikenakan ketentuan mengenai tanggung
jawab komandan. Secara teoritis, penyertaan dan pembantuan atau sering
dipadankan dengan pengertian joint criminal enterprises sangat berbeda maksudnya
dengan dengan tanggung jawab komandan. Implikasi dari pembedaan ini adalah
dalam pembuktiannya, seorang komandan bisa saja dinyatakan bersalah karena tidak
melakukan tindakan yang layak pada anak buahnya yang melakukan tindak pidana
kemanusiaan, namun jika komandan didakwa dengan pembantuan maka sejak awal
komandan memang sudah mengatahui dan ikut serta dalam terjadinya tindak pidana
kemanusiaan tersebut.
A. Prosedur Penyelesaian Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia dalam
Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
1. Analisis Kasus Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Republik
Indonesia No 34 PK/Pid.HAM.Ad Hoc/2007 Atas Nama Eurico Guterres
Putusan No 34 PK/Pid.HAM.Ad Hoc/2007 membatalkan putusan mahkamah
Agung RI No 06 K/Pid HAM Ad Hoc/2005 Tgl 13 Maret 2006 Jo Putusan Pengadilan
Tinggi Hak Asasi Manusia Ad Hoc 2004/PT DKI Tanggal 29 Juli 2004 Jo Putusan
Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc Pada pengadilan Negeri Jakarta Pusat No
04/Pid.HAM/Ad Hoc/2002/PN.Jkt Pst Tanggal 27 November 2002 yang menetapkan
Permohonan Peninjauan Kembali Eurico Guterres tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana seperti yang didaulat oleh Jaksa
penuntut umum. Majelis hakim memutuskan antara lain:
1. Menyatakan Pemohon Peninjauan Kembali Eurico Guterres tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana seperti yang
didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum ;
2. Membebaskan Eurico Guterres oleh karena itu dari segala dakwaan ;
3. Memulihkan hak Terpidana dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta
martabatnya.
Resume kasus:
a. Terdakwa dihukum 10 tahun penjara atas tindakan kejahatan terhadap
kemanusiaan tetapi tetap bebas sebelum ada keputusan banding, meskipun
banding belum diajukan.
b. Sejumlah 31 dokumen telah diajukan ke pengadilan sebagai bukti,
dibandingkan dengan satu dua dokumen di pengadilan lainnya.
c. Tidak seperti kasus lain, pernyataan saksi sebelum pengadilan dinyatakan

195
sebagai bukti
d. Temuan-temuannya bertentangan langsung dengan perkara Priyanto
e. Perkara ini memperlihatkan hal-hal yang gagal dilakukan hakim di pengadilan
lain dan jenis bukti yang bias digunakan oleh mereka yang berkehendak
menggunakannya.
Dakwaan : Eurico Guterres wakil komandan PPI dan komandan milisi Aitarak
dituduh melakukan pembunuhan dan penganiayaan sebagai tindakan kejahatan
terhadap kemanusiaan karena gagal mengendalikan pasukannya yang berada dalam
kendali dan komando efektifnya, ketika mereka melancarkan serangan ke rumah
Manuel Carrascalo tanggal 17 April 1999.Dakwaan menyatakan bahwa terdakwa,
pada upacara resmi dan apel bersama milisi pro integrasi, Pam Swakarsa dan PPI,
telah berpidato di depan pengikutnya dan bawahannya dengan menyatakan bahwa
mereka harus membunuh pemimpin pro kemerdekaan dan khususnya Manuel
Carascalo dan keluarganya. Tetapi tuduhan tanggung jawab komando itu hanya
menyangkut kegagalannya mencegah penyerangan. Dakwaan itu tidak menuduhnya
telah member perintah atau memancing penyerangan. Dakwaan itu juga menuduh
pasukan TNI berpartisipasi dalam penyerangan. Gutteres dinyatakan bersalah dan
dihukum penjara 10 tahun.
Penuntutan: Jaksa menghadirkan 11 saksi. 8 dari padanya adalah TNI, pegawai
pemerintah, dan anggota milisi. Dua adalah saksi korban.Disamping itu pengadilan
memerintahkan 7 buah pernyataan pra pengadilan dibacakan sebagai bukti,
meskipun tim pembela terdakwa keberatan. Enam dari pernyataan itu berasal dari
korban. Saksi korban memberikan penjelasan terperinci tentang tentang
penyerangan itu, dan partisipasi TNI dalam penyerangan itu. Pengadilan tidak
seperti panel pengadilan lainnya, juga memberikan ringkasan terinci kesaksian yang
terkandung di dalam pernyataan pra pengadilan. Dari isi pernyataan tersebut, terlihat
betapa ketidakmampuan membawa saksi ke hadapan pengadilan merupakan
kerugian pengadilan yang besar.Kesaksian mereka memberikan gambaran yang
eksterm dan tegas tentang penyerangan, identitas banyak pelaku dan juga pidato
Eurico Gutteres dan lain-lain.
Pada sidang tanggal 8 Agutus 2002,dari 9 saksi yang dipanggil, hanya dua
yang muncul.dari dua ini,hanya satu yang merupakan saksi korban: Manuel
Carascalo, tidak ada ketika penyerangan itu terjadi, tetapi mendengan pidato
Gutteres di radio. Kesaksian itu juga memberikan rincian penting tentang bagaimana
pemerintah mendanai Pam Swakarsa dan hubungan tumpang tindihnya dengan PPI
dan kelompok milisi lainnya. Tidak seperti kesaksian mengenai penyerangan yang
diajukan jaksa di kasus lain yang sering kabur ( Misalnya pengadilan Priyanto dan

196
Suratman), bukti yang diajukan ini memberikan penjelasan rinci tentang tentang
jumlah dan tipe kendaraan penyerang, seragam dan penampilan mereka, kronologi
penyerangan, dll. Di samping itu 31 dokumen resmi diajukan sebagai bukti,
sementara ini, banyak kasus lain, jaksa hanya mengajukan satu atau dua dokumen.
Orang bisa jadi heran mengapa kualitas kesaksian dan bukti jauh lebih lengkap,
dalam perkara dimana terdakwanya orang Timor-Timur, berbeda dengan perkara
yang melibatkan anggota militer dari satu peristiwa yang sama. Lebih jauh,
keputusan hakim mengarahkan bahwa bukti tersedia untuk digunakan pada kasus
lainnya, meskipun ternyata itu tidak digunakan.
Keputusan hakim: berdasarkan tinjauannya atas bukti-bukti, hakim yang
mengadili perkara membuat uraian panjang tentang temuan-temuan fakta.
Barangkali yang paling penting dicatat adalah bahwa mereka di sini melawan
langsung banyak temuan kunci di perkara Priyanto. Mereka memperlihatkan dengan
jelas apa yang gagal dilakukan oleh hakim pada pengadilan lainnya dan menunjukan
bukti seperti apa yang tersedia. Khususnya mereka menunjukan betapa mudahnya
menetapkan fakta mengenai hubungan TNI dengan milisi, dan mengenai tindakan
khusus kekerasan yang dilakukan. Keputusan hakim ini juga memperlihatkan bahwa
kalau saja jaksa dan hakim punya sedikit inisiatif, kesimpulan tidak perlu terlalu lama
dibuat atas hal-hal seperti apakah benar ada "milisi" pro integrasi di Timor Timur,
apakah mereka memiliki senjata, atau apakah yang dikatakan Gutterres dalam
pidatonya pada apel upacara, apabila jaksa dan hakim hanya punya sedikit inisiatif.
Juga termasuk di sini pilihan mereka atas hal-hal yang esensial. Ini memperlihatkan
perbedaannya dengan sebagian besar perkara yang membuat temuan minimal,
sering tidak terinci atas fakta-fakta esensial:
A. Pada tanggal 17 April 1999, sekitar 6000 orang menghadiri apel di lapangan
depan kantor Gubernur. Partisipan datang dari berbagai kabupaten di Timor
Timur, dan pejabat yang hadir dalam upacara itu, diantaranya adalah Muspida
Timor Timur, Gubernur Timor Timur Abilio Osorio Soares, Bupati Dili, Walikota
Dili.
B. Bupati Dili, Dominggus M.D. Soares, mengusulkan pada gubernur Timor Timur
untuk mengadakan upacara peringatan Pam Swakarsa di ibukota propinsi Timor
Timur. Atas panduan Gubernur, sebuah komite peringatan Pam Swakarsa
dibentuk
C. Kelompok-kelompok milisi terkait dengan militer, yang tujuannya adalah
mempertahankan integrasi. Militer mendukung (misalnya, senjata) kelompok-
kelompok yang memiliki hubungan khusus dengannya. Organisasi militer yang
mendukung milisi adalah Kopasus

197
D. Kodim atau polisi melatih pasukan Aitarak atau anggota PPI yang menjadi
anggota Pam Swakarsa, Hansip, atau Kamra, karena banyak yang tidak punya
pekerjaan. Pemerintah lokal membayar anggota Pam Swakarsa sebesar Rp.
150.000 dan 10 kg beras/ bulan.
E. Terdakwa memimpin pasukan Aitarak di Dili. Di antara partisipan apel tersebut
ada orang yang membawa senjata M 16 - mereka ini adalah anggota TNI yang
bergabung dalam kerumunan.
F. Selama pidato, tedakwa dan pimpinan PPI, serta kerumunan pengunjung itu
berteriak, "Bantai mereka! Bunuh mereka!" dan menembakan senjata ke udara
untuk menyambut pidato itu.
G. Peristiwa ini diliput dan disiarkan oleh RRI, TV dan media massa.
H. Selama apel upacara, personil polisi dan TNI berada di pinggir untuk menjaga
keamanan, tetapi mereka tidak memberi tanggapan atas partisipan yang
membawa senjata atau yang menembakan senjatanya.
I. Keterkaitan erat antara terdakwa dan polisi dan TNI berasal dari fakta bahwa
instansi-instansi itu sering meminta informasi pada terdakwa dan membantu
untuk mengatasi konflik dan sengketa.
J. Berkaitan dengan peristiwa pembantaian dan perusakan harta benda setelah
pengumuman jajak pendapat di semua komunitas di Dili, polisi dan tentara
semua terlibat dalam tindakan perusakan dan pembantaian.
K. Ada sebuah telegram dari Pangdam Udayana (Adam Damiri) mengenai
peristiwa di Ainaro, dimana milisi Aitarak, setelah melakukan misi pembersihan
mengunjungi markas batalion TNI untuk beristirahat dan kembali ke markas
Aitarak di hotel Tropikal Dili.
Setelah membuat temuan faktual ini, pengadilan mendiskusikan masalah
hukum secara panjang lebar (dan ini satu-satunya panel yang melakukan hal ini)
untuk menilai kesaksian para saksi. Ada analisa detil tentang mengapa pengadilan
menetapkan kesaksian dari saksi tertentu, terutama mereka yang pernyataannya
dibaca di pengadilan, sebagai kesaksian yang dipercaya. Analisis yang panjang lebar,
terinci dan cermat untuk menjelaskan alasan mengapa sejumlah kesaksian tertentu
lebih dipercaya di bandingkan yang lain, nyaris tidak ada di perkara-perkara yang
membebaskan terdakwa.
Berlandaskan pada temuan-temuan faktual, dan ditetapkannya kredibilitas
kesaksian serta pernyataan tersumpah sebelum pengadilan oleh para saksi korban,
maka pengadilan tidak kesulitan untuk mengkaitkan terdakwa dengan perbuatan
kejahatan yang didakwakan padanya dengan menggunakan doktrin
pertanggungjawaban komando atau atasan sipil Pengadilan mendasarkan

198
temuannya pada suatu analisis yang sangat hati-hati dan bernuansa mengenai sifat
organisasi dimana terdakwa menjadi bagiannya, peran dan otoritasnya secara de jure
maupun de facto. Temuan itu juga didasarkan pada analisis cermat dan mendalam
atas bukti yang mendukung temuan bahwa terdakwa memiliki kendali efektif atas
anggota milisi yang melancarkan serangan. Analisis ini dibangun dari suatu
pengetahuan yang solid atas ketetapan-ketetapan-kasus hukum di pengadilan ICTY
dan ICTR dan juga pengadilan-pengadilan utama pasca Perang Dunia II dan
khazanah kepustakaan tentang hukum humaniter internasional.
Orang mungkin bertanya faktor apa yang membedakan kasus ini dengan
kasus lain yang . Patut dicatat, bahwa hakim di panel ini adalah juga anggota panel
dari peradilan perkara lain yang memutus bersalah dua orang terdakwa. Hakim-
hakim ini memiliki reputasi sebagai hakim paling progresif dan menguasai masalah
hukum humaniter internasional. Dua sifat ini tecermin pada keinginan kuat mereka
untuk berurusan secara efektif dengan masalah pembuktian yang tidak dilakukan
oleh majelis hakim yang lain (atau menjadi cara untuk minta dimaklumi). Ini juga
tercermin pada kualitas yurisprudensial dan keputusan hakim dibandingkan dengan
perkara-perkara lain. Di samping itu, jaksa yang bertugas menangani perkara ini
telah mengejar tuntutannya dengan energi cukup, yang tercermin dari jumlah bukti
dokumen yang diajukan. Tentu orang bisa bertanya mengapa jaksa semacam ini
diberi tugas menangani perkara ini sedangkan jaksa yang lemah menuntut di kasus
lain, misalnya perkara Adam Damiri. Dari segala kemungkinan, jawabannya terletak
pada masalah sistemik yang akan dibahas di bawah ini.291
Didapatkan sejumlah pemahaman penting mengenai proses pengadilan dan
investigasi jaksa. Jaksa hanya menerima berkas perkara (BAP) dari para penyidik.
Tidak satupun jaksa yang menyidik perkara ini terlibat dengan proses pengadilan.
Peraturan kejaksaan menetapkan bahwa mereka tidak dapat memasukkan bukti lain
yang tidak ada di berkas perkara. Berkas perkara menentukan proses penuntutan.
Tetapi menambahkan bahwa bukti-bukti tambahan bisa muncul kalau hakim
menanyakannya. Misalnya memasukkan sebagai barang bukti, surat-surat yang tidak
pernah masuk dalam berkas perkara Guterres, tetapi diperoleh dari perkara Adam
Damiri. Inisiatif-inisiatif semacam ini begitu pentingnya, sebagai jalan untuk bergerak
melampaui batasan-batasan peraturan yang dangkal. Tetapi kebanyakan jaksa tidak
mau melakukan tindakan semacam ini. Di samping itu dienarkan bahwa keputusan

291 Cohen david, Dimaksudkan Supaya gagal Proses Persidangan Pada Pengadilan Hak Asasi
Manusia Ad Hoc di Jakarta, International Center for Transitional Justice, Juli 2004, Hal 28
199
mengenai saksi mana yang akan dipanggil bukan di bawah kendali jaksa penuntut
perkara.292
Jaksa yang membawa kasus ke pengadilan membuat dakwaan berdasarkan
BAP. Rancangan dakwaan diserahkan pada jaksa senior untuk dibahas dan disetujui.
Prinsip dasar mempersiapkan dakwaan adalah bahwa itu harus berdasarkan BAP.
Jaksa ini tidak menuduh Gutterres telah menghasut, mengorganisir maupun
berpartisipasi langsung dalam penyerangan karena BAP tidak memberi informasi
atau bukti mengenai hal ini. Tetapi pernyataan ini agak tidak jujur karena pada
pernyataan-pernyataan sebelum pengadilan yang termuat dalam BAP menegaskan
bahwa Gutterres memancing kerumunan itu untuk membunuh Manuel Carrascalao
dan keluarganya. Karenanya bisa dicurigai bahwa mungkin soal keterlibatan ini
ditetapkan dengan berkonsultasi dengan jaksa senior yang akan menyetujui
dakwaan.
2. Analisis Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Hak Asasi Manusia Ad
Hoc pada Pengadilan Tinggi Jakarta dalam Putusan Nomor :
01/Pid.HAM/Ad Hoc/2004/PT.DKI atas Nama Adam Damiri
Pengadilan Tinggi Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Tinggi Jakarta
dalam Putusan Nomor: 01/Pid.HAM/Ad Hoc/2004/PT.DKI menerima permohonan
banding dari penuntut umum dan terdakwa Mayor Jenderal TNI Adam R Damiri,
dengan menguatkan Putusan Sela Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 31 Juli 2002 Nomor :
09/Pid.HAM/AD.HOC/2002/PH.JKT.PST, yang dimohonkan banding tersebut.
Membatalkan Putusan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat tanggal 5 Agustus 2003 Nomor:
09/Pid.HAM/Ad.Hoc/2002/PH.JKT.PST, yang dimohonkan banding tersebut dan
menyatakan :
1. Terdakwa Mayor Jenderal TNI Adam Damiri tersebut tidak terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang berat yang didakwakan kepadanya
2. Membebaskan terdakwa tersebut dari dakwaan
3. Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat,
martabatnya.
Resume Kasus:
A. Dihukum tiga tahun penjara dengan alasan Adam Damiri gagal mencegah
terjadinya kejahatan-kejahatan tertentu, meskipun jaksa meminta meminta
banding. Dalam Proses banding Adam Damiri dibebaskan

292 Idem,Hal 28
200
B. Proses penuntutan, dalam requisitornya (tuntutan akhir dakwaan dan fakta),
menyatakan bahwa dakwaan itu tidak terbukti, dan menjadi kondisi bagi tuntutan
bebas.
C. Pernyataan mereka yang menerangkan mengapa mereka tidak bisa
membuktikan dakwaan itu seluruhnya tidak konsisten dengan temuan pada
perkara Muis, lihat ringkasan di atas.
D. Jaksa secara umum terlihat tidak kompeten (gagal mengajukan bukti dan
menggali pertanyaan secara tepat pada para saksi)
E. Atmosfir intimidasi yang kental
F. Perkara ini paling jelas memperlihatkan lemahnya kehendak politik yang
memungkinkan proses yang efektif dan imparsial
Dakwaan: Damiri didakwa atas tindakan pembunuhan dan penganiayaan
sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan karena Damiri "tahu atau seharusnya tahu
bahwa pasukan yang ada di bawah komando dan kendali efektifnya" telah
melakukan atau sedang melakukan kejahatan ini, sebagai bagian dari suatu serangan
yang meluas atau sistematik. Peristiwa khusus yang membuat Damiri didakwa adalah
peristiwa tanggal 6 April 1999, serangan atas kediaman Pastor Rafael dos Santos di
Liquica, serangan tanggal 17 April di rumah Manuel Carrascalao Dili, serangan 5-6
September atas Diosis Dili dan rumah Uskup Belo dan serangan atas kompleks gereja
Suai pada tanggal 6 September. Dakwaan itu menuduh bahwa anggota TNI secara
langsung berpartisipasi di semua serangan tersebut dan menunjuk nama-nama
individu tertentu, termasuk sejumlah perwira.
Penuntutan: Tuntutan jaksa ini muncul pada suatu tahap pengadilan dimana
jaksa menganjurkan pengadilan menerima tuduhan-tuduhan yang menurutnya
sudah terbukti dan meminta hakim membuat keputusan (requisitor). Pihak penuntut
menyatakan bahwa fakta-fakta hukum berikut ini telah ditemukan selama
pengadilan:
A. Kekerasan di kediaman Pastor Rafael dos Santos pada tanggal 6 April 1999
adalah sebuah Proses Persidangan pada Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc di
Jakarta "bentrokan spontan antara kekuatan pro-integrasi dan pro-kemerdekaan."
B. Tidak ada bukti keterlibatan TNI atau pasukan lain yang berada di bawah
komando dan kontrol efektif terdakwa. Enam orang saksi lainnya (semuanya TNI,
termasuk dua terdakwa di pengadilan lain) bertentangan dengan kesaksian
Pastor Rafael.
C. Terdakwa mengambil tindakan yang sepatutnya untuk mencegah kekerasan
dan melakukan penyelidikan. Kesimpulan yang sama juga benar terhadap
peristiwa penyerangan di rumah Manuel Carrascalao (yaitu "suatu bentrokan

201
antara massa pro-kemerdekaan dan pro-integrasi.)
Penjelasan atas tiga peristiwa ini secara langsung bertentangan dengan
temuan dalam perkara Muis. Dalam perkara Muis, kekerasan tidak dilihat sebagai
sebuah "bentrokan" tetapi suatu serangan dengan keterlibatan TNI. Lebih jauh,
kesaksian terdakwa terlihat lebih terpercaya dibandingkan kesaksian saksi korban
Uskup Belo. Meski dalam perkara Muis hakim menemukan bahwa fakta-fakta itu
benar terbukti, melampaui keraguan apapun, tapi jaksa merasa bahwa bukti yang
mereka ajukan tidak memperkuat tuduhan dan karenanya mereka tidak dapat
mengajukan kasus untuk dinilai. Dalam suatu kesimpulan yang terasa seperti
pembelaan, jaksa membuat pernyataan berdasarkan kesaksian terdakwa, bahwa
telah terbukti TNI mengambil "tindakan segera, responsif dan profesional" untuk
menghentikan dan mencegah kerusuhan.
Pada tanggal 23 Januari 2003, Pastor Rafael dos Santos di Dili pada akhirnya
memberikan keksaksian melalui tele-konperensi mengenai pembantaian Liquica di
gerejanya. Keterangannya dengan lugas bertentangan dengan keterangan saksi TNI
dan Polisi sebelumnya. Rafael dos Santos memberi kesaksian melihat personil TNI
secara aktif berpartisipasi dalam serangan. Saksi TNI dan polisi yang memberikan
kesaksian bahwa mereka telah mencoba mencegah kekerasan, tetapi Pastor Rafael
menyatakan melihat TNI menyerang dan mengidentifikasi beberapa nama mereka.
Rafael dos Santos juga memberi kesaksian bahwa polisi melempar gas air mata ke
dalam gereja.
Pihak jaksa penuntut, ketika meminta tuntutan bebas, tidak mencari
pembenaran mengapa Rafael dos Santos memilih untuk mengabaikan semua bukti-
bukti itu dan memberikan kredit pada kesaksian terdakwa dan personil TNI yang
dengan jelas untuk membenarkan diri sendiri.
Di dalam "analisis yudisial" nya, pihak penuntut menekankan beberapa pokok yang
jelas salah dan tidak akurat:
A. Kesaksian saksi ahli bahwa seorang komandan secara moral
bertanggungjawab atas perbuatan anak buahnya, tetapi pertanggungjawaban
legal terletak pada pelaku itu sendiri
B. Pendapat saksi ahli bahwa "terdakwa tidak seharusnya bertanggung jawab
secara kriminal berdasarkan prinsip pertanggungjawaban komando karena
bentrokan antara masa sipil non militer tidak memiliki hubungan struktural,
organisasional dan komando serta kendali efektif dengan terdakwa maupun
dengan para komandan yang menjadi anak buah terdakwa."
C.Bahwa untuk menetapkan tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan, patut
dibuktikan bahwa serangan itu adalah hasil dari suatu kebijakan negara yang

202
dilaksanakan melalui TNI, hal ini, menurut mereka, tidak terbukti, sehingga
elemen tuduhan lain yang ada dalam dakwaan tidak perlu didiskusikan lagi.
Dari titik pandang hukum humaniter internasional, pandangan adanya
tanggungjawab moral versus legal tidak dibenarkan sejak keputusan hakim dalam
pengadilan Nuremberg. Meninjau pokok kedua, kata kuncinya adalah "massa sipil."
Konsep ini konsisten dengan penolakan jaksa untuk mengakui kehadiran nyata milisi,
yang bahkan belum lagi mempertimbangkan dukungan dari TNI dan badan-badan
negara lainnya (sebagaimaan dinyatakan dalam keputusan hakim atas perkara Nur
Muis). Akhirnya, mengenai elemen kebijakan dalam kejahatan terhadap
kemanusiaan, pihak penuntut membuat argumen seperti membuat pembelaan.
Memang ada perbedaan pendapat mengenai masalah kebijakan resmi dalam
ketetapan-ketetapan hukum di ICTY dan ICTR. Biasanya orang mengira pihak
penuntut akan bertahan pada pendapat bahwa tidak dibutuhkan suatu kebijakan
yang resmi tertuang untuk membuktikan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pandangan ini akan melawan pandangan tim pembela yang biasanya menuntut
adanya kebijakan resmi. Tapi seperti sering terlihat di pengadilan ini, dalam
tuntutannya (requisitor) jaksa justru terlihat seperti "pembela tersembunyi". 293
Sudah cukup jelas bahwa strategi penuntutan diarahkan untuk mencegah
hakim memberi keputusan penghukuman bagi Adam Damiri. Tuntutan itu juga
mencuci bersih keterlibatan TNI dan pemerintah Indonesia dari tindakan kejahatan
terhadap kemanusiaan di Timor Timur. Pokok-pokok yang didaftar di atas, yang
ditekankan oleh pihak penuntut, secara bersamaan merupakan pokok perseteruan
penting antara pemerintah Indonesia yang menyangkal bertanggungjawab dan KPP
HAM dan laporan-laporan internasional. Dengan kata lain, pihak penuntut dengan
menggunakan perkara perwira tinggi militer, mendakwa komandan militer, bertujuan
untuk membela peran TNI dan pemerintah Indonesia berhadapan dengan
pandangan para ahli internasional dan untuk menghadapi penyelidikan resminya
sendiri.
Lemahnya kredibilitas argumen pihak jaksa penuntut dalam tuntutannya lahir
dari keseluruhan penampilannya yang lemah di pengadilan. Pihak penuntut tidak
mengajukan bukti-bukti perkara yang sudah tercantum dalam BAP, malah lebih
sering bergantung pada saksi-saksi yang jelas-jelas membela terdakwa. Mereka tidak
siap untuk menuntut kasus ini. pengadilan Adam Damiri tanggal 8 Desember 2002,
jaksa mengajukan senjata api sebagai bukti. Berkas perkara menyatakan bahwa lebih
dari 26 pucuk senjata telah diamankan, tetapi jaksa hanya mengajukan 5 pucuk
senjata tua yang ditumpuk bersama-sama di dalam satu kotak. Damiri tidak

293 Idem, Hal 18


203
memberikan landasan argumen mengapa senjata-senjata itu diajukannya sebagai
bukti, dan tidak menyatakan apakah senjata itu milik kelompok pro integrasi atau pro
kemerdekaan. Senjata itu tidak diberi label atau diidentifikasi dengan layak. BAP
menyatakan bahwa senjata-senjata yang ada pada jaksa untuk diajukan sebagai
bukti termasuk didalamnya adalah M 16, yang akan memberikan fakta kuat bahwa
TNI merupakan sumber yang mungkin bagi persenjataan milisi.
Soedjarwo (terdakwa di perkara lain) kemudian disiapkan sebagai saksi.
Menjelang sidang mulai. Jaksa kemudian bertanya pada Soedjarwo beberapa
pertanyaan, tetapi tak satupun pertanyaan itu berkaitan dengan tujuan membuktikan
penuntutan. Jaksa bertanya soal senjata dan saksi menjawab bahwa lima pucuk itu
bukan punya TNI tetapi senjata tua Portugis. Jawaban ini membenarkan argumen
terdakwa bahwa kekuatan pro integrasi tidak menerima senjata dari TNI. Jaksa tidak
bertindak lebih jauh untuk mencari tahu sumber-sumber persenjataan dan siapa
yang menggunakannya. Implikasinya, sudah tentu bahwa senjata itu merupakan
senjata milisi dan tentunya tidak datang dari TNI. Ketika hakim dan tim pembela
mengambil kesempatan bertanya, jaksa terlihat tidak sekalipun membuat catatan-
catatan. Jaksa itu terlihat tidak punya perhatian, terlihat bosan dan kadang-kadang
terlihat terkantuk-kantuk. Menurut pendapat pengamat internasional yang hadir saat
itu, tampilannya dalam mengajukan pertanyaan benar-benar tidak kompeten. Hakim,
sebaliknya mengejar pertanyaan dengan ketat. Mereka, sudah tentu, menghadapi
masalah struktural dari semua pengadilan ini - tidak hanya melimpahnya para saksi
TNI, tetapi juga karena terdakwa saling memberikan kesaksian di antara pengadilan
yang berbeda. menyelesaikan masalah ini.
Keputusan hakim Para hakim itu membuat keputusan bersalah terhadap
Adam Damiri. Dalam hal ini penting menganalisa landasan yang mereka pakai, di
tengah situasi jaksa yang justru meminta bebas karena tidak mampu membuktikan
semua tindak kejahatan yang didakwakan.
3. Analisis Kasus Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung
Republik Indonesia No 45 PK/Pid.HAM.Ad Hoc/2004 Atas Nama Abilio
Soares
Majelis hakim mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon
Peninjauan kembali ABILIO JOSE OSORIO SOARES tersebut; Membatalkan putusan
kasasi Mahkamah Agung tanggal 1 April 2004 Nomor : 04 K/PID.HAM.AD HOC/2003
jo. Putusan Pengadilan Tinggi HAM Ad Hoc Jakarta tanggal 13 Maret 2003 Nomor :
01/PID.HAM/AD HOC/2002/ PT.DKI, jo. Putusan Pengadilan HAM Ad Hoc pada
Pengadilan HAM Jakarta Pusat tanggal 14 Agustus 2002 Nomor : 01/PID.HAM/AD.
HOC/ 2002/PK.JKT.PST.

204
Dalam putusan peninjauan kembali dari mahkamah Agung tersebut
keputusan yang diambil adalah:
1. Menyatakan Terpidana ABILIO JOSE OSORIO SOARES tidak terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam dakwaan Kesatu dan
2. Kedua ; Membebaskan Terpidana oleh karena itu dari segala dakwaan ;
3. Memulihkan hak Terpidana dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta
martabatnya ;
4. Memerintahkan agar Terpidana segera dilepaskan dari Lembaga
Pemasyarakatan ;
5. Menetapkan barang bukti sebagaimana tersebut dalam daftar barang bukti
diserahkan kepada Penuntut Umum untuk dijadikan bukti dalam perkara lain;
6. Membebankan biaya perkara dalam semua tingkat pengadilan kepada
Negara.
Adapun Abilio Suarez berdasarkan Pengadilan HAM Jakarta Pusat tanggal 14
Agustus 2002 No. 01/PID.HAM/AD HOC/2002/PH.JKT.PST, yang amar lengkapnya
berbunyi sebagai berikut:
1. Menyatakan Terdakwa ABILIO JOSE OSORIO SOARES terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dalam dakwaan Kesatu dan
dakwaan Kedua : PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT BERUPA
KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN ;
2. Menghukum Terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana penjara
selama 3 (tiga) tahun ;
3. Menetapkan barang bukti sebagaimana tersebut dalam daftar barang bukti
diserahkan kepada Penuntut Umum Ad Hoc untuk dijadikan bukti dalam
perkara lain ;
4. Menghukum Terdakwa untuk membayar ongkos perkara sebesar Rp. 5.000,-
(lima ribu rupiah).
Putusan Pengadilan Tinggi HAM Ad Hoc Jakarta tanggal 13 Maret 2003 No.
01/PID.HAM/AD HOC/20021PT.DKI amar lengkapnya berbunyi sebagai berikut
1. Menerima permintaan banding dari Penasihat Hukum Terdakwa dan Jaksa
Penuntut Umum tersebut ;
2. Menguatkan putusan Pengadilan Hak Azasi Manusia Jakarta Pusat tanggal 14
Agustus 2002 No. 01/PID.HAM/AD.HOC/2002/ PH.JKT.PST, yang dimohonkan
banding tersebut ;
3. Menghukum Terdakwa untuk membayar biaya perkara pada kedua tingkat
peradilan, yang dalam tingkat banding ditetapkan sebesar Rp. 1.0019,- (seribu

205
rupiah) ;
Putusan Mahkamah Agung tanggal 1 April 2004 No. 04
K/PID.HAM.AD.HOC/2003 amar lengkapnya berbunyi sebagai berikut
- Menolak permohonan kasasi dari Terdakwa : ABILIO JOSE OSORIO SOARES
dan Pemohon kasasi : JAKSA PENUNTUT UMUM tersebut ;
- Menghukum Pemohon kasasi/Terdakwa untuk membayar biaya perkara dalam
tingkat kasasi ini sebesar Rp, 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah) ;
Membaca surat permohonan peninjauan kembali bertanggal 7 Juni yang
diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri HAM Ad Hoc Jakarta at pada tanggal 7
Juni 2004 dari Kuasa Terdakwa yang diajukan untuk dan atas nama Terdakwa sebagai
Pemohon peninjauan kembali tersebut, berdasarkan surat kuasa khusus bertanggal 6
Mei 2004 sebagai Terpidana, yang memohon agar putusan Mahkamah Agung
tersebut dapat ditinjau kembali ;
Resume Kasus: Dihukum 3 tahun pidana penjara dan dikuatkan dalam proses
hukum selanjutnya pada tingkat Banding dan Kasasi, tetapi mengajuan Peninjauan
Kembali oleh mahkamah Agung dikabulkan
Dakwaan: Terdakwa ABILIO JOSE OSORIO SOARES bersalah melakukan tindak
pidana kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai diatur dalam dakwaan:
Kesatu : Melanggar Pasal 42 ayat (2) a dan b jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf a
Pasal 37 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM ;
Kedua : Melanggar Pasal 42 ayat (2) a dan b jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf h
Pasal 40 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM ;
Tuntutan: tuntutan Penuntut Umum pada tanggal 11 Juli 2002 yang adalah
sebagai berikut:
1. Menyatakan Terdakwa ABILIO JOSE OSORIO SOARES bersalah melakukan
tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai diatur dalam dakwaan:
Kesatu : Melanggar Pasal 42 ayat (2) a dan b jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf a
Pasal 37 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM ;
Kedua : Melanggar Pasal 42 ayat (2) a dan b jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf h
Pasal 40 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM ;
Bahwa terdakwa telah didakwa didakwa:
1) Kesatu : Pasal 42 ayat (2) huruf a dan b, jis Pasal 7 huruf b, pasal -9 huruf
a dan Pasal 37 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 ;

206
2) Kedua : Pasal 42 ayat (2) huruf a dan b, jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf
h dan Pasal 37 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 ;
Salah satu unsur dari dakwaan Kesatu adalah : bertanggung jawab secara pidana
terhadap pelanggaran HAM yang berat, yang dilakukan oleh bawahannya, dan yang
dimaksudkan sebagai bawahannya Terpidana dalam perkara ini adalah:
1. Drs. Herman Sedyono, Bupati Kovalirna
2. Leonito Martins, Bupati Liquisa ;
3. Eurico Gutteres, Wakil Panglima Pasukan PPI
Dalam sistem hukum nasional kita pelanggaran berat HAM diakomodir dalam
UU No 26 tahun 2000 mengenai pelanggaran berat yang HAM terdiri atas Genocida
dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan.

Kondisi yang demikian menunjukan bahwa ada pembatasan pelanggaran


berat HAM yang diatur dalam hukum nasional yang tidak seperti yang diatur dalam
hukum internasional. Sehingga tidak mampu menjangkau war crime dan agresi.

Sejak tahun 2000, dengan diundangkannya UU No. 26 tahun 2000 tentang


pengadilan HAM, Indonesia mempunyai mekanisme untuk melakukan penuntutan
data kasus-kasus kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida. Hadirnya
mekanisme ini membuka peluang dihadapkannya pelaku pelanggaran HAM berat
yang sebelumnya menikmati impunitas ke depan pengadilan. Pengadilan ini juga
memberikan mekanisme untuk pemenuhan hak-hak korban yakni pengaturan
tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.

Sejak saat itu, upaya penyelidikan atas peristiwa yang diduga terjadi
pelanggaran HAM yang berat dilakukan.

Hasil dari putusan-putusan pengadilan tersebut ternyata membebaskan


hampir semua terdakwa. Dengan hasil ini, banyak kalangan menyatakan bahwa
pengadilan ini telah gagal, bahkan selama proses pengadilan berjalan, kritik telah
muncul berkaitan dengan kinerja pengadilan yang berada dibawah standar
pengadilan internasional.294 Pandangan yang lain menyatakan bahwa pengadilan ini
memang sejak awal sengaja diupayakan untuk mengalami kegagalan. 295 Beberapa
kasus dalam Pengadilan HAM memang secara prosedural belum selesai karena

294 Progress Report ELSAM IV, “Pengadilan HAM dibawah Standar: Preliminary Conclusive
Report”, 4 Juli 2002.

295 David Cohen, Intended to Fail , The Trial Before the Ad Hoc Human Rights Court in
Jakarta, ICTJ, July, 2004.
207
masih ada proses selanjutnya yaitu ada tingkat banding maupun kasasi, sehingga
penilaian atas proses peradilan yang terjadi belum bisa dikatakan lengkap.

Ketidakberhasilan pengadilan HAM ini, selain bebasnya para terdakwa, juga


tidak mampu memenuhi hak-hak korban pelanggaran HAM yang berat. Hak-hak
korban yang meliputi hak atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi sampai saat ini
tidak satupun yang diterima oleh korban. Padahal secara jelas bahwa para korban
pelanggaran HAM yang berat berhak mendapat kompensasi, restitusi dan rehabilitasi
berdasarkan pasal 35 UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Kegagalan pengadilan untuk melakukan proses penghukuman yang efektif
dan memberikan remedies kepada korban menyisakan banyak pertanyaan mengenai
proses pengadilan yang terjadi. Kegagalan pengadilan berakibat pada tidak
tercapainya keadilan bagi korban dan membuka kembali bahwa pengadilan ini
ternyata memiliki sejumlah kelemahan dan hambatan. Studi dan pengkajian yang
dilakukan oleh berbagai pihak menunjukkan bahwa kelemahanan proses peradilan
HAM terjadi dalam tahap mulai dari penyelidikan sampai dengan pemeriksaan di
pengadilan. Persoalan ketidak cukupan regulasi disebut-sebut menjadi salah satu
faktor yang mendorong kegagalan pengadilan. Faktor lainnya yang juga diduga
sebagai faktor yang memperlemah pengadilan HAM adalah kapasitas para penegak
hukumnya baik mulai tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan tidak
terkecuali para hakim yang mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat ini.
Pengadilan yang telah berjalan mempunyai kelemahan, hambatan dan hasil berbeda
satu sama lain.

Kasus pelanggaran HAM yang berat di Timor-timur berdasarkan mandat dari


Keppres No. 96 tahun 2001 adalah kasus-kasus yang terjadi pra dan paska jajak
pendapat dengan tempus delictie bulan April – September 1999 dan locus delictie
nya meliputi Dili, Liquica dan Suai Kovalima. 296 Ada perbedaan mengenai locus
delictie kasus-kasus yang diajukan ke pengadilan dengan hasil kesimpulan
penyelidikan Komnas HAM yang menyatakan peristiwa yang terjadi bukan hanya di 3
(tiga) wilayah tersebut tetapi hampir diseluruh kabupaten di Timort-Timur.
Perbedaan dari Hasil KPP dengan proses pengadilan adalah juga berkaitan dengan
jumlah pihak yang diduga dapat dimintai pertanggungjawaban dalam kejahatan
yang terjadi, yang meliputi pelaku lapangan dan para pemegang kebijakan dan
kekuasaan pada saat itu. Sementara jumlah terdakwa yang diajukan ke pengadilan
hanya 18 terdakwa baik dari kalangan militer, polisi maupun sipil.

296 Sebelumnya dengan Keputusan Presiden No. 53 tahun 2001.


208
Pemeriksaan pengadilan tidak dilakukan secara serentak dengan diadilinya
semua terdakwa tetapi secara bertahap. Pada tahap pertama pengadilan memeriksa
3 (tiga) berkas perkara, dan selanjutnya 9 berkas lainnya secara bersamaan. Tidak
diketahui secara pasti mengenai strategi penuntutan yang demikian, karena secara
pola tidak menunjukkan adanya pola yang sama misalnya penuntutan dilakukan dari
terdakwa yang mempunyai posisi terendah terlebih dahulu atau terdakwa dari posisi
tertinggi terlebih dahulu.297
Hasil pengadilan sampai dengan saat ini menujukkan satu tingkat penurunan
keputusan yang cukup drastis jika dibandingkan hasil keputusan di tingkat pertama,
banding dan kasasi di Mahkamah Agung. Pada tingkat pertama 6 (enam) terdakwa
dinyatakan bersalah, tingkat banding 2 (terdakwa) yang dinyatakan bersalah dan
tingkat kasasi 2 (dua) terdakwa bersalah. Proses lain yang dilalui terdakwa adalah
peninjauan kembali (PK) yang diajukan oleh terdakwa Abilio J. O. Soares yang
akhirnya membebaskan dirinya dan kemudian diikuti dengan bebasnya Eurico
Guterres setelah Peninjauan Kembalinya dikabulkan oleh Mahkamah Agung.
Dalam kasus pelanggaran HAM yang berat di Timor-timur ini semua
keputusan menunjukkan adanya kejahatan terhadap kemanusiaan, namun pelaku
yang dapat dimintakan pertanggungjawaban inilah yang terjadi perbedaan antar
keputusan yang diambil oleh Majelis Hakim. Secara umum keputusan-keputusan
menunjukkan bahwa pelaku kejahatan kemanusiaan adalah milisi atau kelompok
sipil, sementara pertanggunjawaban terhadap para pelaku yang diajukan ke
pengadilan lebih banyak dikaitkan dengan posisi dan jabatannya saat itu yang
seharusnya mempunyai otoritas untuk melakukan upaya menghentikan kejahatan

297

Komposisi para terdakwa dalam 3 kasus pertama tidak mencerminkan adanya pola yang
pasti karena 3 berkas pertama ini yang diajukan adalah Abilio Soares yang merupakan
terdakwa dari sipil dengan jabatan tertinggi, sementara ada terdakwa lainnya yang
merupakan bawahan terdakwa yaitu Leonito Martens (Bupati Liquica), Herman Sedyono
(bupati Kovalima) dan Eurico Guterres (Wakil Panglima PPI). Berkas kedua adalah Timbul
Silaen (Kapolda Timor-timur saat itu) yang juga mempunyai bawahan yang diajukan sebagai
terdakwa yaitu Hulman Gultom (Kapolres Dili), Adios Salova (Kapolres Liquica) dan Gatot
Subyaktoro (Kapolres Suai Kovalima). Berkas ketiga dengan 5 (lima) terdakwa Herman
Sedyono, Liliek Koshadiyanto (Dandim Suai Kovalima), Gatot Subyaktoro, Ahmad
Syamsuddin (Ka Staf Kodim Suai) dan Sugito (Danramil Suai), para terdakwa dari milter
berdasarkan pada jengjang komando saat itu mempunyai atasan yang juga sebagai
terdakwa yaitu Noer Muis (Danrem Dili) dan Adam Damiri (Pangdam Udayana). Dari pola ini
tidak jelas apakah strategi penuntutan dari pejabat dengan tingkat paling bawah atau paling
atas terlebih dahulu.
209
yang terjadi, dan bukan sebagai pihak yang ikut dalam tindakan kejahatan itu sendiri.
Akibatnya, antar satu keputusan dengan keputusan yang lain seringkali tidak
mempunyai kesamaan tingkat kesalahan, dan sangat tergantung dengan panafsiran
dari masing-masing majelis hakim, padahal kasus yang terjadi sangat berkaitan satu
sama lainnya.298
Putusan pengadilan juga tidak ada satupun yang memberikan keputusan
mengenai kompensasi, restitusi maupun rehabilitasi kepada korban. Padahal putusan
pengadilan mengakui adanya kejahatan terhadap kemanusiaan dan adanya korban
dalam kejahatan tersebut. Diduga, tidak adanya keputusan kompensasi kepada
korban lebih disebabkan tidak adanya permohonan kompensasi, restitusi maupun
rehabilitasi yang diajukan ke pengadilan baik oleh penuntut umum maupun korban.
Setelah proses pengadilan HAM ad Hoc berakhir yang membebaskan semua
terdakwa di pengadilan, maka pemerintah membentuk komisi kebenaran dan
persahabatan yang menyimpulkan adanya Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang
berat di timor-timur sebagaimana yang terdapat dalam kesimpulan yang ada dalam
laporan akhir komisi kebenaran dan persahabatan

Sejak tahun 2000, dengan diundangkannya UU No. 26 tahun 2000 tentang


pengadilan HAM, Indonesia mempunyai mekanisme untuk melakukan penuntutan
data kasus-kasus kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida. Hadirnya
mekanisme ini membuka peluang dihadapkannya pelaku pelanggaran HAM berat
yang sebelumnya menikmati impunitas ke depan pengadilan. Pengadilan ini juga
memberikan mekanisme untuk pemenuhan hak-hak korban yakni pengaturan
tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.

Sejak saat itu, upaya penyelidikan atas peristiwa yang diduga terjadi
pelanggaran HAM yang berat dilakukan. Serangkaian penyelidikan dilakukan oleh
Komnas HAM menjadikan 3 (tiga) kasus yang telah diselidiki diajukan ke pengadilan
HAM. Dua pengadilan HAM ad hoc untuk kasus Timor-timur dan Tanjung Priok, dan
satu Pengadilan HAM di Makassar untuk kasus Abepura (selanjutnya semua disebut
dengan Pengadilan HAM).

Hasil dari putusan-putusan pengadilan tersebut ternyata membebaskan


hampir semua terdakwa. Dengan hasil ini, banyak kalangan menyatakan bahwa

298 Kasus ini dianggap berkaitan, meskipun dengan pemberkasan secara terpisah, adalah
adanya kaitan antara para terdakwa yang diajukan ke pengadilan terutama dari terdakwa
polisi dan militer, yang mempunyai jengjang komando dan hubungan atasan bawahan.
Sementara peristiwa-peristiwa yang terjadi adalah peristiwa yang saling berurutan dan
mempunyai keterkaitan satu sama lainnya baik pola maupun konteks terjadinya peristiwa.
210
pengadilan ini telah gagal, bahkan selama proses pengadilan berjalan, kritik telah
muncul berkaitan dengan kinerja pengadilan yang berada dibawah standar
pengadilan internasional.299 Pandangan yang lain menyatakan bahwa pengadilan ini
memang sejak awal sengaja diupayakan untuk mengalami kegagalan. 300 Beberapa
kasus dalam Pengadilan HAM memang secara prosedural belum selesai karena
masih ada proses selanjutnya yaitu ada tingkat banding maupun kasasi, sehingga
penilaian atas proses peradilan yang terjadi belum bisa dikatakan lengkap.

Ketidakberhasilan pengadilan HAM ini, selain bebasnya para terdakwa, juga


tidak mampu memenuhi hak-hak korban pelanggaran HAM yang berat. Hak-hak
korban yang meliputi hak atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi sampai saat ini
tidak satupun yang diterima oleh korban. Padahal secara jelas bahwa para korban
pelanggaran HAM yang berat berhak mendapat kompensasi, restitusi dan rehabilitasi
berdasarkan pasal 35 UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Kegagalan pengadilan untuk melakukan proses penghukuman yang efektif
dan memberikan remedies kepada korban menyisakan banyak pertanyaan mengenai
proses pengadilan yang terjadi. Kegagalan pengadilan berakibat pada tidak
tercapainya keadilan bagi korban dan membuka kembali bahwa pengadilan ini
ternyata memiliki sejumlah kelemahan dan hambatan. Studi dan pengkajian yang
dilakukan oleh berbagai pihak menunjukkan bahwa kelemahanan proses peradilan
HAM terjadi dalam tahap mulai dari penyelidikan sampai dengan pemeriksaan di
pengadilan. Persoalan ketidakcukupan regulasi disebut-sebut menjadi salah satu
faktor yang mendorong kegagalan pengadilan. Faktor lainnya yang juga diduga
sebagai faktor yang memperlemah pengadilan HAM adalah kapasitas para penegak
hukumnya baik mulai tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan tidak
terkecuali para hakim yang mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat ini.

Analisa umum putusan pengadilan HAM ini mencakup aspek-aspek pokok


yang berkaitan dengan terbuktinya perkara, pertanggungjawaban terdakwa,
pemidanaan, dan aspek reparasi kepada korban. Persoalan-persoalan pokok tersebut
pada prinsipnya saling terkait satu sama lain yang akan menunjukkan hasil
pengadilan HAM yang telah berjalan.
Semua surat dakwaan yang diajukan di pengadilan HAM adalah kejahatan
terhadap kemanusiaan dengan berbagai bentuk kejahatannya. Kejahatan terhadap

299 Progress Report ELSAM IV, “Pengadilan HAM dibawah Standar: Preliminary Conclusive
Report”, 4 Juli 2002.

300 David Cohen, Intended to Fail , The Trial Before the Ad Hoc Human Rights Court in
Jakarta, ICTJ, July, 2004.
211
kemanusiaan adalah salah perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan
yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan
secara langsung terhadap penduduk sipil. Hal ini berarti bahwa untuk membuktikan
adanya kejahatan terhadap kemanusiaan, disamping membutikan adanya bentuk
kejahatan yang terjadi, misalnya pembunuhan, juga harus membuktikan bahwa
perbuatan tersebut merupakan bagian dari serangan terhadap penduduk sipil yang
dilakukan secara meluas atau sistematik. Serangan secara langsung terhadap
penduduk sipil adalah suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap
penduduk sipil sebagai kelanjutan dari kebijakan penguasa atau kebijakan yang
berhubungan dengan organisasi.301
Ketidakberhasilan membuktikan dakwaan atau perbedaan putusan dalam
menentukan ada tidaknya perbuatan yang termasuk kejahatan kemanusian sangat
tergantung dari penafsiran atas unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan
sebagaimana disebutkan diatas. Dalam ketiga kasus yang terjadi, putusan-putusan
menunjukkan adanya perbedaan kesimpulan meskipun kasusnya adalah sama atau
setidaknya merupakan bagian dari peritiwa yang terjadi.
Dalam kasus Timor-Timur, keseluruhan putusan pengadilan menyatakan
bahwa telah tejadi pelanggaran HAM yang berat terhadap semua peristiwa yang
didakwakan namun tidak semua terdakwa dapat dimintai pertanggung jawaban atas
terjadinya pelanggaran HAM yang berat tersebut. Kejahatan terhadap kemanusiaan
berupa pembunuhan dan penganiayaan yang mengakibatkan lukanya orang terbukti
secara sah dan meyakinkan. Putusan pengadilan tingkat pertama, meskipun dapat
dibuktikan adanya kejahatan terhadap kemanusiaan, terdapat pola pengungkapan
terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan. Pertama, terbukti ada kejahatan
terhadap kemanusiaan tetapi tidak mampu menunjukkan adanya gambaran utuh
mengenai pola dan keterkaitan antara milisi, aparat sipil, polisi maupun militer. 302
Kedua, majelis hakim menyatakan bahwa kebijakan penyerangan yang
mengakibatkan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut bukan hanya
kebijakan organisasi masyarakat yang pro integrasi secara mandiri tetapi terkait erat
dengan kebijakan tertentu untuk memenangkan kelompok pro integrasi dengan

301 Lihat pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

302 Terdapat dua putusan yang menunjukkan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan
adalah serangan antara satu kelompok masyarakat dengan masyarakat lainnya yaitu yang
pro kemerdekaan dengan yang pro integrasi. Penyerangan ini melepaskan faktor dukungan
aparat birokrasi sipil, institusi militer maupun institusi polri dalam setiap pola penyerangan
yang dilakukan sehingga kebijakan penyerangan yang dilakukan adalah kebijakan
organisasional dari masyarakat tersebut.
212
tujuan korban yang spesifik. Kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi meskipun
dilakukan olah kelompok pro integrasi, tetapi atas dukungan dan merupakan
kelanjutan atas kebijakan pemerintah untuk mendukung atau mempertahankan
Timor-timur sebagai bagian dari negara kesatuan Republik Indonesia.
Kelemahan terbesar dalam kasus Timor-Timur adalah tidak terbongkarnya
kejahatan yang dilakukan secara sistematik dan meluas, termasuk pembuktian atas
adanya unsur kebijakan negara. Hampir disemua putusan dalam pengadilan HAM
tidak mampu membuktikan bahwa kejahatan yang terjadi adalah bagian dari
kebijakan negara. Kasus Timor-Timur yang sampai akhir persidangan mampu
menunjukkan adanya pelanggaran HAM yang berat berupa kejahatan terhadap
kemanusiaan pada akhirnya hanya mampu membuktikan bahwa kejahatan tersebut
dilakukan oleh sekelompok masyarakat dan tidak ada sangkut pautnya dengan
policy negara pada saat itu.
Penyempitan locus delictie yang hanya didasarkan pada saat peristiwa terjadi
memberikan sumbangan besar untuk terpenuhinya unsur-unsur kejahatan terhadap
kemanusiaan, sebagaimana yang terjadi dalam kasus Tanjung Priok. Pemberkasan
perkara dengan membagi-bagi terdakwa mengakibatkan adanya ketidaklengkapan
melihat kasus secara keseluruhan dan menyempitkan luasan kejahatan yang terjadi
karena pada akhirnya majelis hakim hanya terpaku pada berkas perkara yang
ditanganinya. Sementara kejahatan yang terjadi ada keterkaitan yang sangat jelas.
Tidak pernah dibuktikan atau dijelaskan sebagaii unsur penting dalam kejahatan
kemanusiaan tentang unsur “sebagai bagian” kajahatan yang seharusntya majelis
hakim melihat bahwa kejahatan yang terjadi merupakan bagian dari rangkaian
peristiwa lainnya.
Pemaknaan atas pengertian “serangan” juga seringkali dirancukan dengan
pengertian “bentrokan” sehingga menghilangkan unsur adanya niat atau
kesengajaan untuk melakukan kejahatan. Perbedaan hasil penyimpulan adanya
kejahatan terhadap kemanusiaan adalah pada satu sisi dinyatakan adanya serangan
yang berarti ada perencanaan dan disisi lain yang terjadi adalah bentrokan sehingga
hanya merupakan peristiwa yang sifatnya spontan dan terdapat unsur pembelaan
diri. akhirnya mengakibatkan timbulknya korban jiwa dari penduduk sipil. 303
303 Unsur-unsur dari serangan adalah 1) tindakan baik secara sistematis atau meluas, yang
dilakukan secara berganda (multiple commission of acts) yang dihasilkan atau merupakan
bagian dari kebijakan atau organisasi, tindakan berganda berarti harus bukan tindakan
yang tunggal atau terisolasi, 2) “serangan” baik secara meluas atau sistematis tidaklah
semata-mata “serangan militer” seperti yang diatur dalam Hukum Humaniter
Internasional, Tetapi, serangan dapat juga berarti lebih luas misalnya kampanye atau
operasi yang dilakukan terhadap penduduk sipil, Serangan tersebut tidak hanya harus
213
Terdakwa yang diajukan ke Pengadilan HAM Timor-Timur dari kalangan sipil,
polisi maupun militer. Dari jumlah tersebut,keseluruhannya pada akhirya dinyatakan
bebas dan tidak bersalah. Kondisi ini menunjukkan bahwa terdapat kegagalan yang
cukup serius dari proses penuntutan terhadap para terdakwa.
Para terdakwa dalam pengadilan HAM untuk kasus Timor-timur, didakwa
dengan pasal 42 UU No. 26 tahun 2000. Pasal tersebut adalah pasal yang mengatur
tentang tanggung jawab Komando dan tanggung jawab atasan. Namun dalam
beberapa dakwaan lainnya, para terdakwa juga didakwa dengan pasal 55 ayat (1)
KUHP tentang penyertaan.
Kegagalan untuk menghukum terdakwa dalam berbagai kasus putusan
banyak disebabkan karena tidak terbuktinya para terdakwa yang didakwa dengan
pasal 42 tersebut. Dalam kasus Timor-Timur, pada tingkat pertama, sebagian besar
putusan pengadillan HAM ad hoc kasus Timor-timur menyatakan bahwa pelaku
lapangan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah anggota milisi yang berada di
masing-masing lokasi dimana peristiwa kejahatan kemanusiaan terjadi, dan
beberapa putusan yang menunjukkan partisipasi terdakwa atau keikutsertaan
terdakwa dalam pelanggaran HAM yang berat tersebut dan adanya anggota TNI
yang terlibat sebagai pelaku dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kasus Timor-timur, dari 12 putusan pengadilan tingkat pertama, menimbulkan
pertanggung jawaban para terdakwa yang berbeda dan memberikan hukuman
terhadap 6 terdakwa. Secara umum ada empat pola hubungan atas
pertanggungjawaban para terdakwa dikaitkan dengan terjadinya kejahatan terhadap
kemanusiaan. Pertama, terbuktinya bawahan terdakwa yang melakukan pembiaran
atas terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan. Kedua bahwa para terdakwa tidak
ada hubungan dengan pelaku pelanggaran HAM yang berat baik de facto maupun
de jure. Ketiga adalah adanya “kelalaian” yang dilakukan oleh para terdakwa
sehingga menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM yang berat. Keempat, putusan
pengadilan menunjukkan bahwa terdakwa bertanggungjawaban karena sebagai
komandan atas pelaku pelanggaran HAM yang berat. Namun pola ini berubah pada
pemeriksaan tingkat banding dan kasasi dimana hanya 2 (dua) terdakwa dari
kalangan sipil yang tetap dinyatakan bersalah. Dalam putusan Peninjauan Kembali,
Abilio JO Soares dan Eurico Guterres bahkan kemudian dibebaskan karena

melibatkan angkatan bersenjata, atau kelompok bersenjata dan 3) persyaratan dianggap


terpenuhi jika penduduk sipil adalah obyek utama dari serangan tersebut. Lihat Pedoman
Unsur-unsur Tindak Pidana Pelanggaran HAM yang Berat dan Pertanggungjawaban
Komando, Mahkamah Agung RI, 2006, Hal. 24.

214
mengajukan bukti baru yang mampu mengubah keputusan Mahkamah Agung
semula.304
Terbuktinya kejahatan terhadap kemanusiaan berpengaruh terhadap para
posisi terdakwa juga terlihat pada para terdakwa yang didakwa dengan pasal tentang
tanggung jawab komandan dan tanggung jawab atasan. Berdasarkan atas keputusan
yang dikaitkan dengan pertangungjawaban para terdakwa, terdapat beberapa
masalah yang muncul dalam keputusan tersebut. Pertama, adanya ketidakjelasan
pembedaan antara penggunaan pasal 42 UU No. 26 tahun 2000 dengan dengan
pasal 55 ayat (1) kesatu tentang penyertaan. Tangung jawab komando dan atasan
dan tindakan penyertaan (joint criminal enterprise) adalah berbeda. Penggunaan dan
penerapan secara salah akan mengakibatkan kesulitan pembuktian dan
pertanggungjawaban terdakwa.
Kedua, terdapat ketidaksamaan dalam menafsirkan pengertian tentang delik
pembiaran (omission), dalam hal ini tidak melakukan tindakan yang layak dan
diperlukan untuk mencegah dengan ada atau tidaknya tindakan yang dilakukan oleh
komandan atau atasan. Kegagalan bertindak (failure to act) harus diartikan dengan
tidak melakukan tindakan sama sekali atau tidak melakukan tindakan yang layak
sehingga komandan harus bertanggung jawab. Hal ini untuk dapat menentukan
secara tegas tentang aspek-aspek pembelaan diri pasukan, tindakan-tindakan yang
proporsional dan tindakan-tindakan yang dikategorikan dalam satu prosedur
operasi.
Ketiga, tidak diajukannya pelaku lapangan ke pengadilan akan mempengaruhi
proses pembuktian kesalahan terdakwa yang didakwa dengan pasal tentang
tanggungjawab komandan atau atasan. Kasus Timor-timur memperlihatkan bahwa
terbuktinya pelanggaran HAM yang berat namun dilakukan oleh pelaku yang tidak
bisa dibuktikan adanya keterkaitan dengan terdakwa menimbulkan tidak ada pihak
yang dapat dimintai pertanggungjawaban.

304 Abilio dalam memori peninjauan kembalinya mengajukan dua novum (bukti baru) yakni
bahwa saat hasil jajak pendapat diumumkan mulai terjadi kekacauan dan penembakan, dan
saat itu pengendalian keamanan diambil alih oleh Panglima Kodam IX Udayana Adam
Damiri. Bukti lain yang diajukan Abilio adalah sejak bulan Mei 1998 posisinya sebagai
gubernur mulai digoyang oleh ABRI, karena dianggap menghambat upaya penyelesaian
masalah Timtim dengan pendekatan militer. Abilio juga pernah diminta oleh Panglima ABRI
agar mengundurkan diri sebagai gubernur, namun permintaan itu ditolak. Posisi saya selaku
gubernur digoyang oleh tentara. Tentara mulai merekayasa perusakan mobil dinas gubernur
oleh orang-orang suruhan mereka. Abilio juga didemo sejumlah orang yang dipimpin Eurico
Guterres, yang menurut jaksa adalah anak buah Abilio.
215
Pemidanaan terhadap pihak yang dinyatakan bersalah dalam pengadilan HAM
ad hoc kasus Timor-timur tidak sepenuhnya diterapkan karena adanya putusan yang
menghukum para para terdakwa dengan hukuman di bawah minimum pemidanaan.
Penjatuhan pidana yang dibawah ketentuan ini meyulut kontroversi karena dianggap
sebagai sebuah putusan yang mendobrak ketentuan yang sudah jelas dalam
undang-undang .
Dalam Putusan Pengadilan HAM ad hoc kasus Timor-timur dari 6 orang yang

dinyatakan bersalah hanya satu orang saja yang dihukum sesuai batas minimum UU

No. 26 tahun 2000 yaitu 10 tahun, selebihnya dihukum antara 3 tahun sampai

dengan 5 tahun. Di tingkat banding, 6 orang yang dinyatakan bersalah di tingkat

pertama hanya 2 yang tetap dinyatakan bersalah yang dua-duanya dari sipil, satu

terdakwa tetap dengan hukuman yang sama dan satu lagi mengalami pengurangan

hukuman dari 10 tahun menjadi 5 tahun. Hal ini berarti bahwa putusan yang

dijatuhkan kesemuanya dibawah hukuman minumum yang ditentukan UU. Bahkan

ditingkat kasasi, Mahkamah Agung juga tetap memberikan putusan 3 tahun penjara

terhadap Abilio tetapi mengkoreksi putusan terhadap Eurico Guterres yang

menghukum dengan 10 tahun penjara.

Argumentasi hakim mengenai hukuman yang jauh dibawah ketentuan

undang-undang adalah berkaitan dengan berbagai pertimbangan mengenai konsep

keadilan dan penghukuman kepada korban. Majelis hakim menyatakan bahwa

penjatuhan hukuman kepada terdakwa harus disesuaikan dengan tingkat kesalahan

atas peranan terdakwa dalam kejahatan yang terjadi. Hakim secara tegas

menyatakan bahwa hakim bukan merupakan corong undang-undang yang harus

mematuhi setiap ketentuan dalam undang-undang.

216
Argumen yang lebih yuridis disampaikan oleh majelis hakim dalam kasus

Timor-timur untuk terdakwa Soedjarwo yang dihukum 5 tahun penjara. Dalam

argumentasinya majelis hakim menyatakan bahwa lama penjatuhan pidana yang

dibawah ketentuan minimal dalam UU ini dikaitkan dalam asas atau prinsip dalam

hukum pidana Indonesia yaitu mengenai ketentuan atas dua ancaman hukuman

yang terhadap sebuah delik yang sama dikenakan hukuman yang paling

meringankan terdakwa (pasal 1 ayat 2 KUHP). Argumentasi yang juga berperspektif

hukum dikemukakan bahwa dalam praktek peradilan internasional tidak pernah ada

ketentuan hukuman minimal dan beberapa putusan pengadilannya juga

memutuskan hukuman yang sesuai dengan tingkat kesalahan terdakwa.

Mengenai putusan yang dibawah ancaman minimal ini Mahkamah Agung

(Mahkamah Agung) terkesan mendua karena dalam terdapat argumentasi yang

berbeda dalam mensikapi putusan dibawah UU. Insitusi tertinggi lembaga

pengadilan ini tidak mempunyai sikap yang tegas. Putusan MA terhadap Abilio

Soares tetap 3 (tiga) tahun penjara, sementara untuk Eurico Guterre yang ditingkat

banding yang dihukum 5 tahun penjara dikembalikan ke 10 tahun.

Fakta ini menunjukkan bahwa norma yang terkandung dalam UU, meskipun
dinyatakan secara tegas, ternyata tidak dapat berlaku secara efektif bahkan seringkali
disimpangi oleh lembaga peradilan itu sendiri. Ketentuan ini dapat dikatakan sebagai
ketentuan yang tidak berlaku dan telah menjadi preseden bahwa ketentuan ini telah
bisa disimpangi.

Pada bagian terakhir dari disertasi ini penulis ingin menyampaikan bahwa
Sebagai suatu negara hukum yang menghormati hak asasi manusia kondisi yang
disebutkan dalam uraian terdahulu seharusnya tidak terjadi, kegagalan dalam
memberikan keadilan kepada para korban pelanggaran hak asasi manusia dapat
217
dipandang sebagai kegagalan dalam memberikan penghormatan terhadap hak asasi
manusia sebagai salah satu unsur yang harus ada di dalam negara hukum, demikian
juga dengan teori hak asasi manusia dimana pelanggaran hak asasi manusia berat
merupakan suatu kejahatan yang luar biasa yang harus mendapatkan hukuman
sebagai pertanggungjawaban atas pelanggaran terhadap hak asasi manusia
tersebut. Dalam kaitannya dengan teori hukum pembangunan tentunya hukum harus
membangun masyarakat, akan tetapi dengan kegagalan penyelesaiaan pelanggaran
hak asasi manusia berat dan kegagalan dalam memberikan keadilan bagi para
korban maka hukum belum dapat berperan sebagai sarana pembangunan, dan
tujuan dari sitem peradilan pidana yaitu untuk menghukum pelaku kejahatan juga
tidak tercapai, sedangkan dalam kaitannya dengan pelanggaran hak asasi manusia
berat, yang secara yuridis formal apabila Indonesia tidak meratifikasi Statuta Roma
yang berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia berat tersebut, maka
Indonesia tidak terikat dengan Statuta Roma, tetapi sebagai negara yang beradab
maka Indonesia berkewajiban untuk menjalankan norma-norma yang dipandang
baik dalam hubungan internasional dan hukum internasional, sekalipun Indonesia
tidak terikat pada Perjanjian Internasional tersebut.

218
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dengan apa yang diuraikan pada bab-bab terdahulu, maka kesimpulan yang
diambil dalam penelitian ini adalah :

1. Pengaturan tentang pelanggaran berat hak asasi manusia berat dalam


Undang-Undang No 26 tahun 2000, tidak cukup memadai untuk menangani
pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi, termasuk kelemahan hukum
acaranya dan ketidakjelasan dalam menerapkan peraturan perundangundangan
seperti tidak lengkapnya "element of crimes" dari kejahatan yang diatur.
Penerapan hukum acara, yang meskipun terdapat aturan yang bersifat khusus,
namun secara umum masih mengacu pada Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) yang menyulitkan dalam proses pembuktiannya,
sehingga diperlukan ketentuan yang mampu memberikan efektivitas dalam
penuntutan kejahatan-kejahatan serius tersebut.
2. Penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia berat dalam sitem
peradilan pidana Indonesia berdasarkann Undang-Undang No 26 tahun 2000
belum dapat menciptakan kepastian hukum dan keadilan bagi korban
pelanggaran hak asasi manusia berat di Timor-Timur.

B. Saran
1. Untuk melengkapi ketentuan peraturan perundang-undangan pelanggaran hak
asasi manusia berat perlu dilakukan perbaikan atas Undang-Undang No 26
Tahun 2000 yang meliputi baik hukum materil dan hukum formil.
2. Untuk menciptakan kepastian hukum dan keadilan bagi korban pelanggaran
hak asasi manusia di Timor Timur Pemerintah Indonesia segera memberikan
kompensasi, restitusi dan rehabilitasi sesuai hasil pelaksanaan Memorandum
of Understanding antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Timor
Leste.

219
Daftar Pustaka
A. Buku

Agustinus Edy Kristianto, A.Patra M.Zein, Panduan Bantuan Hukum Di Indonesia


Pedoman Anda memahami dan Menyelesaikan masalah Hukum ,
Ausaid,YLBHI,PSHK dan IALDF,Jakarta, 2009.

A.Masyur Effendi, Dimensi Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan
Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994.

A. Prayitno,Et Al, Pendidikan kebangsaan,Demokrasi dan Hak Asasi


Manusia,Penerbit Universitas Trisakti,Jakarta, 2001.

Abdul Manan, Demi Keadilan, catatan 15 tahun Elsam Memperjuangkan HAM,


Penerbit Elsam 2008.

Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional Indonesia, Studi Sosio-


Legal atas konstituante 1956-1959,Grafiti, Jakarta,1995.

Adnan Buyung Nasution, Implementasi Perlindungan Hak Asasi Manusia dan


Supremasi Hukum, Dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VII
,Denpasar,2003

_______, A.Patra M.Zein, Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia, Kelompok
Kerja Ake Arif, Yayasan Obor Indonesia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia, Jakarta, 2006.

Andrey Sujatmoko, Tanggung Jawab Negara atas Pelanggaran Berat HAM: Indonesia,
Timor Leste dan Lainnya, Grasindo, Jakarta 2005.

220
Allan McChesney, Memajukan dan Membela Hak - Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya Insist Press, 2003.

Allison Morris dan Warrant Young, Reforming Criminal Justice: The Potential of
Restorative Justice, dalam Restorative Justice Philosophy to Practice, Edited by
Heather Strang and John Braithwaite, The Australian National University, Asghate
Publishing, Ltd, 2000.

Baderin Mashood A, International Human Rights and Islamic law, Oxfords University
Press,2003

Baehr Peter R., Human Rights Universality in Practise, Macmillan Press Ltd, London,
1999.

Bagir Manan, Perkembangan UUD 1945,FH.UII Press Yogyakarta,2004.

-----------, Dimensi-Dimensi Hukum Hak Asasi Manusia,Butir-Butir Pemikiran dalam


rangka Purnabakti Prof.Dr.H.Rukmana Amanwinata,S.H.MH.Pusat Studi Kebijakan
Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran,2009.

-----------, Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di


Indonesia, Yayasan Hak Asasi Manusia, Demokrasi dan Supremasi Hukum,
Alumni, Bandung 2001.

Bassiouni, M.Cherif, Report of the Independent Expert on the Right to


Restitution.Compensation. and Rehabilitation for Victims of Grave Violation of
human Rights and Fundamental Freedoms, E/CN.4/1999/65, Geneva: office of the
United nation High Commissioner of Human Rights.

221
Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era
Dinamika Global, Penerbit Alumni Bandung,2000.

Boven Van Theo, Mereka Yang Menjadi Korban, Hak Korban Atas Restitusi,
Kompensasi Dan Rehabilitasi, Elsam 2002.

BP 7 Pusat, Cita Negara Persatuan Indonesia, Penerbit BP 7. 1996.

Brownlie, Ian, Principles of Public International Law, London : Oxford dan ELBS,1987.

Bronkhorst, Daan, Menguak Masa Lalu Merenda Masa Depan: Komisi Kebenaran di
Berbagai Negara, Jakarta, ELSAM, 2002.

Cassese Antonio, Hak Asasi Manusia, di Dunia yang Berubah,Yayasan Obor


Indonesia,Jakarta, 1994.

Ceunfin Frans, Hak-Hak Asasi Manusia, Pendasaran dalam Filsafat hukum dan Filsafat
Politik, Penerbit Ldaler,Maumere,2004.

Cohen David, Dimaksudkan Supaya gagal Proses Persidangan Pada Pengadilan Hak
Asasi Manusia Ad Hoc di Jakarta, International Center for Transitional Justice, Juli
2004.

Cohen David, Fadillah Agus, Widati Wulandari, Pengadilan Setengah Hati :


Eksaminasi Publik atas Putusan Pengadilan HAM Kasus Timor-Timur, Elsam, 2008.

222
Conde, H.Victor, A Handbook of International Human Rights Terminology, Lincoln
University of Nebraska Press, 1999.

C.F.G. Sunaryati hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir abad ke-20,
Alumni,Bandung,1994.

Djoko Sutono, Hukum Tata Negara (materi kuliah yang dihimpun oleh harun Al
Rasjid), Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982.

Davidson Scott, Hak Asasi Manusia, Jakarta: Grafiti Pers, 1992.

David Cohen, Dimaksudkan Supaya Gagal, Proses Persidangan pada Pengadilan Hak
Asasi Manusia Ad Hoc di Jakarta, International Center for Transitional Justice, Juli
2004.

Dewi Fortuna Anwar et al, Violent internal Conflict in Asia Pacifics, Histories,Political
Economies and Policies, yayasan Obor Indonesia, LIPI, Lasema-CNRS,KITLV-
Jakarta,2005.

Dicey.A.V., Introduction to the Study of the Law of the Constitution, Ninth Edition,
Macmillan and Co Limited ST Martins Street, London 1952.

Djokosoetono, Hukum Tata Negara,Ind,Hill,Co,Jakarta, 2006.

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat,Hak Asasi Manusia Miskin Dukungan


Politik, Catatan Awal Tahun 2008 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat,
ELSAM, 2008.

223
---------, Kasus-Kasus Hukum yang Terkait dengan Pengadilan Pidana Internasional
Bagi Bekas Negara Yugoslavia, Elsam, 2004.

--------, Kasus-Kasus Hukum yang terkait dengan Pengadilan Pidana Internasional


Bagi untuk Rwanda, Elsam, 2006.

---------, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan Dalam Rancangan KUHP, Position Paper
Advokasi RUU KUHP Seri3, 2005.

Eriyantouw Wahid, Keadilan Restoratif Vis a Vis Peradilan Konvensional Dalam


Hukum Pidana Reorientasi Serta Prospeknya di Indonesia, Pidato pengukuhan
Guru Besar Tetap dalam Bidang Hukum Pidana, Hukum Pidana Ekonomi dan
Tindak Pidana Khusus, Fakultas Hukum Universitas Trisati, Jakarta,19
Agustus,2009.

E Saefullah Wiradipradja,Tanggungjawab Pengangkut Dalam Hukum Pengangkutan


Udara Internasional Dan nasional, Penerbit Liberty,Yogyakarta, 1989

Freeman Mark, Komisi-Komisi Kebenaran dan Kepatutan


Prosedural,ELSAM,Jakarta,2008.

Friedman.W., Legal Theory, Second Edition, Stevens & Sons, Limited,1949.

F Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Universitas Atmajaya Yogyakarta.

Geoffrey Robinson, Timor-Timur 1999, Kejahatan Terhadap Umat Manusia, Sebuah


laporan yang dibuat berdasarkan permintaan Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi

224
Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, University California Los Angeles,
diterbitkan oleh Perkumpulan Hak dan Elsam Dili dan Jakarta, 2003

Hayner B Priscilla, Kebenaran Tak Terbahasakan, Refleksi Pengalaman Komisi-Komisi


Kebenaran, Kenyataan dan Harapan, Elsam 2005.

Samuel Gultom, Mengadili Korban, Praktek Pembenaran Terhadap Kekarasan Negara,


ELSAM ,2003.

------------, Mencari akar dan Pandangan Bersama,ELSAM, Jakarta, 2002.

Hikmahanto Juwana, Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional, Lentera Hati, Jakarta,
2001.

Hingorani,R.C. Modern International Law, Oxford and IBH Publishing Co.New Delhi,
1982.

Hestor Gross Espiell, “Humanitarian Law and Human Rights”, dalam Januzy
Symonides (editor), Human Rights: Concept and Standards, Paris: UNESCO, 2000.

Hirst Megan, Kebenaran Yang Belum Berakhir, Kajian Terhadap Laporan Komisi
Kebenaran dan Persahabatan Indonesia dan Timor Leste Tentang Kejahatan Yang
Terjadi Pada Tahun 1999, International Center For Transtitional Justice.

Human Rights Watch, Genosida,Kejahatan Perang,dan Kejahatan Terhadap


kemanusiaan,Saripati Kasus-Kasus Pelanggaran HAM Berat dalam Pengadilan
Pidana Internasional untuk Rwanda Jilid I, ELSAM,Jakarta,2007.

225
Human Rights Watch, Genosida,Kejahatan Perang,dan Kejahatan Terhadap
kemanusiaan,Saripati Kasus-Kasus Pelanggaran HAM Berat dalam Pengadilan
Pidana Internasional untuk Yugoslaviaa Jilid II, ELSAM,Jakarta,2007.

Ifdhal Kasim, , Menghadapi Masa Lalu: Mengapa Amnesti, Briefing Paper Series
tentang Komisi kebenaran dan rekonsiliasi,no 1,1 agustus 2000.

----------,Apakah, Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi, Briefing Paper Series tentang


Komisi kebenaran dan rekonsiliasi,no 1,1 agustus 2000.

Indriyanto Seno Adji, Penyiksaan dan HAM dalam Perspektif KUHAP, Jakarta, Pustaka
Sinar Harapan,1998.

IGM. Nurdjana, Sistem Hukum Piana dan Bahaya Laten Korupsi “ Perspektif Tegaknya
Keadilan Melawan Mafia Hukum, Pustaka Pelajar,Yogyakarta,2009.

Jimly Asshiddiqie,Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi,Serpihak Pemikiran


Hukum,Media, dan HAM,Editor Zainal A.M.Husein,Penerbit Konstitusi
Press,Jakarta,2005.

Joeniarto,Negara Hukum, Yayasan Badan Penerbit Universitas Gajah Mada,


Yogyakarta, 1968.

Komnas perempuan dan Kelompok kerja Pengungkap Kebenaran, Memperkenalkan


Per Memoriam ad Spem Sosialisasi laporan Akhir Komisi kebenaran dan
persahabatan (KKP)-Indonesia Timor-Leste.

226
Kaligis, O.C., Peradilan (Politik ) HAM di Indonesia 1, Jakarta, OC Kaligis & Associate,
2002.

----------------, Peradilan Politik HAM di Indonesia 2, Jakarta, OC Kaligis &


Associate, 2002.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Kajian Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam
RUU KUHPidana,Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2006.

Kuntjoro Purbopranoto,Hak-Hak Asasi Manusia dan Pancasila,Pradnya


Paramita,Jakarta,1979.

Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, Sistem Administrasi Negara


Kesatuan Republik Indonesia Buku I Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Negara,
Lembaga Administrasi Negara, Jakarta, 2003.

Lili Rasjidi dan Liza Sonia Rasjidi, Monograf Pengantar Metode Penelitian dan
Penulisan Karya Ilmiah Hukum, Bandung, Januari 2005.

Mahkamah Agung Republik Indonesia, Pedoman Unsur-Unsur Tindak Pidana


Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat dan Pertanggungjawabab Komando,
Mahkamah agung Republik Indonesia, 2006.

Manfred Nowak, Pengantar ada Rezim HAM Internasional, Pustaka Hak Asasi
Manusia Raoul Wallenberg Intitute, 2003.

Masyur Effendi, Hak Asasi Manusia,Ghalia Indonesia, Jakarta 1993.

227
Mas Achmad Santosa, Pembaharuan Hukum Indonesia Agenda yang Terabaikan,
MelibS, Jakarta, 2000.

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama,Jakarta,1992.

------------, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008.

Mochtar Kusumaatmaja, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta Bandung, cetakan


ketujuh, 1990.

Mochtar Kusumaatmaja & Etty R Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit


Alumni Bandung,2003.

-----------------, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan Kumpulan Karya Tulis,


Pusat Studi Wawasan Nusantara bekerjasama dengan PT Alumni, Bandung, 2004.

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
Pusat Studi Hukum Hukum Tata Negara, FH-UI dan CV.Sinar bakti, Jakarta,1998.

Moeljano,Asas-Asas hukum Pidana, Rineka Cipta,2008.

Mordiono et al, Cita negara persatuan Indonesia, BP7 Pusat, Jakarta,1996.

Muhammad Tahir Azhary, Negara hukum, Suatu Studi Tentang prinsip-Prinsipnya,


Dilihat dari Segi hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah
dan Masa Kini, Kencana,jakarta,2004.

228
Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, The
Habibie Center, Jakarta 2002.

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP, Semarang,
1995.

Muladi, Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif
Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama Bandung, 2005

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung,
1984.

Nickel.W.James, Hak Asasi Manusia Making Senses of Human Rights Refleksi Filosofis
atas Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Gramedia Pustaka Utama, 1996

Otje Salman dan Anton F Susanto, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan dan
Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung 2004.

Otje Salman dan Eddy Damian (Editor), Konsep-Konsep Hukum Dalam pembangunan,
Pusat studi Wawasan nusantara,Hukum dan pembangunan , Bekerjasam dengan
PT Penerbit Alumni,Bandung,2002.

Padmo Wahyono, Indonesia Negara Berdasarkan Hukum, Ghalia Indonesia,1983.

Paul S baut & Beny K Harman K, Kompilasi Deklarasi Hak Asasi Manusia, Yayasan
Lembaga bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, 1998.

229
Adnan Buyung Nasution, Implementasi Perlindungan Hak Asasi Manusia dan
Supremasi Hukum, Dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VII
,Denpasar,2003

Philipus M Jhon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu Surabaya,
1987.

Piers Pigou, Menangis Tanpa Air Mata, Demi Keadilan dan Rekonsiliasi di Timor Leste,
Perspektif dan Harapan Komunitas, International Trasitional Justice, 2004.

Ramdlon Naning, Cita dan Citra Hak Asasi Manusia di Indonesia, diterbitkan oleh
Lembaga Kriminologi UI Program Penunjang bantuan Hukum di Indonesia, 1983.

Ratner Steven R & Abrams Jason S, Melampaui Warisan Nuremberg,


Pertanggungjawaban untuk Kejahatan Terhadap Hak Asasi Manusia dalam
Hukum Internasional,ELSAM. 2008.

Robertus Robert, Politik Hak Asasi Manusia dan Transisi di Indonesia, Sebuah Refleksi
Kritis, Elsam, 2008.

Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Refika


Aditama,Bandung,2000.

------------, Pengantar Hukum Pidana Internasional Bagian II,Hecca Mitra


Utama,2004.

----------, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer,Kencana,jakarta,2010.


230
-------------, Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionism, cet.
II (revisi), Binacipta, Bandung, 1996.

---------,Romli Atmasamita, System Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan


Abolisionism, cet. II (revisi), Binacipta, Bandung, 1996.

Rona K.M.Smith et al, Hukum Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia
Universitas Islam Indonesia ( PUSHAM UII ), Yogyakarta, 2008

Robertson,Geofrey, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan; Perjuangan Untuk


Mewujudkan Keadilan Global,Komnas HAM,Jakarta, 2002.

---------, Timor-Timur 1999 Kejahatan Terhadap Umat Manusia,Perkumpulan HAK


dan ELSAM, Universitas California Los Angeles, Juli,2003.

SAHRDC-HRDC,Komnas HAM & Prinsip-Prinsip Paris Sebuah Gugatan, ELSAM 2001.

Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transasi Politik Indonesia, Pusat Studi
Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, 2003.

Sriwiyanti Eddyono dan Zainal Abidin, Tindak Pidana Hak Asasi Manusia dalam
RKUHP, Penerbit ELSAM dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Jakarta,2007

Starke,JG. Pengantar Hukum Internasional 1, Sinar Grafika,Jakarta,1999.

------------, Pengantar Hukum Internasional 1, Sinar Grafika,Jakarta,1997.


231
Sinta Dewi dan Achmad Gusman Catur Siswandi (editor), Hukum dan Perkembangan
Masyarakat: Suatu Tinjauan kritis atas Perkembangan Hukum di Indonesia, Tim
Editor Kumpulan Karya Ilmiah Para Ahli hukum Dalam Rangka Purna Bakti di
Unpad dan Usia ke 70 Tahun Prof.Dr.H.E.Saefullah Wiradipradja,SH.LLM.,Bandung
2008.

Soedjono Dirdjosisworo, Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia, Citra Aditya


Bhakti,Bandung, 2002.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, PT RajaGrafindo Persada,1994.

Soerjono Soekanto, Pengantar penelitian Hukum,UI P-Press, Jakarta,1984.

Solly Lubis, Pembahasan UUD 1945, Penerbit Alumni bandung,1997.

Subhi Mahmassani, Konsep Dasar Hak Hak asasi manusia Studi Perbandingan
dalam Syariat Islam dan Perundang-Undangan Modern,Tirtama
Indonesia,Jakarta,1987.

Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Penerbitan Universitas Atmajaya, Yogyakarta,


1988.

Teitel Ruti G, Keadilan Transisional, Sebuah Tinjauan Komprehensif,


Elsam,Jakarta,2004

232
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius,
Yogyakarta,Cetakan ke 15 tahun 05,1982.

Todung Mulya Lubis, In Search of Human Rights : Legal political dilemmas of


Indonesia’s New Order 1966-1990, Gramedia Pustaka Utama,Jakarta,1993.

Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Imunitas Kedaulatan Negara di forum Pengadilan


Asing,Bandung,Alumni, 1999.

Zainudin Maliki, Birokrasi Militer dan Partai Politik dalam Negara Transisi, Galang
Press, Jakarta, 2000

B. Jurnal

Arat, Zehra F Kabaskal, “Forging A Global Culture of Human Rights: Origin and
Prospects of International Bill of Rights”, dalam Human Rights Quarterly A
Comparative and International Journal of the Social Sciences,Humanities, and Law,
Volume 28, Number 2, May 2006, The John Hopkins University.

Asmara Nababan : “Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat: Belajar
dari Pengalaman”, Jurnal HAM, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia,Vol2
No.2.Nopember 2004.

“Constitutional and International Protection of Human Rights Competing or


Complementary System”, Human Rights Law Journal, Vol 15, No 1-2

Demokrasi & HAM, Vol 1, Mei-Agustus 2000

233
E.Saefullah Wiradipradja, Konsekuensi Yuridis Keanggotaan Indonesia dalam WTO-
GATS dan Pengaruhnya terhadap Industri dan Perdagangan Jasa, Jurnal Hukum
Internasional Unpad, Vol.I No.1 Tahun 2002.

Human Rights Law Journal, N.P Engel Publisher, Khel am Rhein, Strasbourg, Vol
19.No 1, 30 April 1998

Human Rights Quarterly A Comparative and international Journal of The Social


Sciences Humanity and Law, Volume 25 Number 4 November 2003, The Jhon
Hopkins University Press.

Human Rights Quarterly, A Comparative and International Journal of The Social


Sciences, Humanities, and Law, Volume 25 Number 1, February 2003

Goodhart, Michael, “Origins and Universality in the Human Rights Debates : Cultural
Essentialism and the Chalenge of Globalizations”, dalam Human Rights Quarterly A
Comparative and international Journal of The Social Sciences Humanity, and Law,
Volume 25 Number 4 November 2003, The Jhon Hopkins University Press.

Komariah Emong Sapardjaja, Mekanisme Nasional Untuk Penyelesaian Pelanggaran


Hak Asasi Manusia yang Berat, Jurnal HAM, Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia,Vol2 No.2.Nopember 2004.

Mahoney, Paul, “Marvellous Richness of Diversity or Indivious Cultural Relativism”,


dalam Human Rights Law Journal ,Vol.19,No 1,30 April 1998,N.P.Engel Publisher.

Ria Maran, “Hak Asasi Manusia dan Politik Internasional”, Jurnal Demokrasi dan
HAM

Vol.1, No 3, Maret-Juni 2001.


234
Rina Rusman, Konsep Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia, Dilihat Dari Sisi Hukum
Humaniter, Jurnal HAM, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia,Vol2 No.2.Nopember
2004.

R Herlambang Perdana Wiratama, “Konstitutionalisme dan Hak-Hak Asasi Manusia,”


Human Rights Law Studies Faculty of Law Airlangga University, Jurnal Ilmu Hukum
Yuridika, vol 20, No 1 Januari 2005

Rudi M Rizki, “Beberapa Catatan tentang Pengadilan Pidana International Ad Hoc


untuk Yugoslavia dan Rwanda serta Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Negara
dalam Pelanggaran Berat HAM”, Jurnal Hukum Humaniter, Vol.1.No.2 April 2006,
diterbitkan oleh Pusat Studi Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia (terAs)
Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta.

Scott Walker & Steven C, Poe, “Does Cultural Diversity Affect Countries Respect for
Human Rights?”, Human Rights Quarterly A Comparative and International
Journal of The Social Sciences, Humanities,and Law,Volume 24 Number 1 February
2002.

Short, Sonia Haris, “International Human Rights Law: Imperialist, Inept and Ineffective
Cultural Relativism and the UN Convention on the Rights of the Child”, dalam
Human Rights Quarterly, A Comparative and International Journal of The Social
Sciences, Humanities, and Law, Volume 25 Number 1, February 2003.

C. Artikel dan laporan

Aminuddin, makalah Negara Hukum Rule of Law dan Negara Hukum Rechtstaat,
Materi Kuliah Hukum Tata Negara Lanjutan Pada Program Pasca Sarjana
Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang, 19 Maret 1999.

235
Asmara Nababn,Penyelesaian Pelanggaran HAM yang Berat: Belajar Dari
Pengalaman, Jurnal HAM, Komnas HAM,Vol 2,tahun 2004

Abdul Hakim Garuda Nusantara http://www.komisihukum.go.id/newsletter.php

................., Penerapan Hukum Internasional Dalam Kasus Pelanggaran Hak Asasi


Manusia Berat di Indonesia.

Berita Kontras No 11/XI/2003

--------------, No 02/III-IV/2004

--------------,N0 04/VII-VIII/2004

BP7 Pusat, Cita Negara Persatuan Indonesia, 1996.

Dignitas Jurnal Hak Asasi Manusia,Volume I No I Tahun 2003, Elsam 2003.

Dignitas, Jurnal Hak Asasi Manusia, Volume IV No I Tahun 2006,

Elsam,Jakarta,2006.

Dignitas, Jurnal hak Asasi Manusia, Volume III No 1 Tahun 2005, Elsam Jakarta, 2005.

Dadan Ramdhan, Mendiskusikan Konsep dan Praktek HAM di Sekolah

236
Farijmei A.Gofar, Asinergisitas Pemeriksaan pendahuluan Perkara Pelanggaran Hak
Asasi Manusia yang Berat, ,Dignitas Jurnal Hak Asasi Manusia , Elsam, Volume IV
No I Tahun 2006.

Hukum Online, 05,07,2006, http://www.hukumonline.com/; Keterangan Ahli: Undang-


Undang KKR Banyak Cacat, temu_eropa Digest Number 863, Zo, 9 juli, 2006 0:39

Ifdhal Kashim , Hak Asasi Manusia Dalam Konteks Nasional dan Internasional .

Institut Ecata-INPI Pact,Hak Asasi Manusia dalam Tajuk,1997.

Jurnal HAM,Vol 4 Th 2007, Komisi nasional Hak Asasi Manusia, 2007.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia,Laporan Tahunan, Jakarta 2006

Laporan Akhir Komisi Kebenaran Dan Persahabatan Indonesia Timor Leste

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Budaya

Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999.

Laporan Akhir Komisi Kebenaran Dan Persahabatan Indonesia Timor Leste

-------------, Tanggung Jawab Negara Peran Institusi Nasional dan Masyarakat, 1999.

237
-------------, Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia, 2000

---------------,Laporan Tahunan, Jakarta 2006

Kompas Online, Senin 25 Agustus 1997, Pelaksanaan HAM Belum Jadi Faktor Integrasi

Kontras, Pergulatan Kemanusiaan dan Keadilan, 2002.

Laporan Diskusi Meja Bundar Kelompok Kerja masyarakat Transitional Justice,


“Pentingnya Pengesahan Secepatnya ICCPR dan ICESCR untuk meningkatkan
Perlindungan dan Penegakan HAM”, Kelompok Kerja Masyarakat Transitional
Justice, Infid, Elsam, 2002.

Priyambudi Sulistiyanto, Keadilan Transisional di Indoneisa Pasca Soeharto: Kasus


Pembantaian Tanjung Priok,, Dignitas Jurnal Hak Asasi Manusia , Elsam, Volume
IV No I Tahun 2006.

Progress Report ELSAM IV, “Pengadilan HAM dibawah Standar: Preliminary


Conclusive Report”, 4 Juli 2002.

Rangkuman Lokakarya Hak Asasi Manusia VVV, Quo Vadis Pemajuan dan Penegakan
Hak Asasi Manusia di Indonesia, Denpasar 2003

Romli Atmasasmita, Mengkritisi pembentukan komisi kebenaran dan Persahabatan


(KKP) Indonesia dan Timor Leste

Kompas, Senin, 14 Agustus 2006.

238
-------------, Sabtu, 19 Agustus 2006.

Propatria, Indonesia di Tengah Transisi, Propatria, 2000.

Satya Arinanto, “ Demokrasi berdasarkan Konstitusi: Mungkin Terjelma dalam


Realita.” Artikel dalam majalah Hukum dan Pembangunan, No 3 tahun XXXIII,FH
UI, Jakarta, 1993.

Sunaryati Hartono, “Upaya Menyusun Hukum Ekonomi Indonesia Pasca tahun 2003”,
Makalah disampaikan pada Seminar Pembangunan nasional VII Tema
Penegakkan Hukum dalam Era Pembangunan Bekelanjutan diselenggarakan oleh:
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia Denpasar 14-18 Juli 2003.

Sutandyo Wignjosubroto,Kursus Hak Asasi Manusia untuk advokat,Elsam 2005.

Vratislav Pechota, Kovenan Hak Sipil dan Politik dalam Materi Training Hukum dan
HAM bagi Dosen Pengajar Hukum dan HAM di Fakultas Hukum pada Perguruan
Tinggi Negeri dan Swasta di Indonesia, diselenggarakan oleh Pusham Universitas
Islam Indonesia, bekerjasama dengan University of Oslo Norway, Yogyakarta, 22-
24 September 2005

D. Deklarasi dan Pedoman Dasar

Basic Principles and Guidelines on the Right to A Remedy and Reparation for Victims
of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations of
International Humanitarian Law

239
Universal Declaration of Human Rights, 1948

Vienna Declaration 1993

E. Peraturan Perundangan

Undang-Undang Dasar 1945

Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Pandangan Hidup Bangsa Indonesia


Tentang Hak asasi manusia dan Piagam Hak asasi manusia

Undang-Undang No 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang


Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi,
atau Merendahkan Martabat Manusia.

Undang-Undang no 29 tahun 1999 tentang Ratifikasi International Convention on the


Elimination of All forms of Racial Discrimination.

Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

240
Undang-Undang No 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional
Tahun 2000-2004

Undang-Undang No 27 Tahun 2004 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Keputusan Presiden Republik Indonesia No 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional


Hak Asasi Manusia

Keputusan Presiden No 129 tentang rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun
1998-2003

Keputusan Presiden No 40 Tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi
Manusia Tahun 2004-2009

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 Tentang Rencana


Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009, Sinar Grafika, 2005.

Piagam Hak Asasi Manusia Indonesia.

F. Ensiklopedi

Badudu-Zein, Kamus Umum bahasa Indonesia, Pustaka Sinar harapan, Jakarta, 2001.

Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, abridged sixth edition, West
Publishing, St. Paul, MN, USA, 1998

241
United Nations, Human Right Question and Answer, New York.United Nation
Department of Public Information, 1993

WJS Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia,Balai Pustaka, Jakarta, 1993.

Websters Ninth New Collegiate Dictionary, Miriam Webster inc., Publishers


Springfield, Massachusetts,USA.

----------New Twentieth Century Unabridged Dictionary, Second Edition, Prentice Hall


Press, New York, 1972.

242
243

Anda mungkin juga menyukai