Anda di halaman 1dari 16

PENUGASAN INDIVIDU 1

RANGKUMAN MATERI HAM


DAN PERADILAN HAM

Nama : Mohammad Noval


NIM : 1407621003
Prodi : PIPS A 2021
Mata Kuliah : Demokrasi dan Ham

A. Pengertian Hak Asasi Manusia (HAM)


Menurut John Locke, Hak asasi adalah hak yang diberikan langsung oleh Tuhan sebagai
sesuatu yang bersifat kodrati. Artinya, hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya tidak dapat
dipisahkan dari hakikatnya, sehingga sifatnya suci.
Miriam Budiardjo membatasi pengertian hak-hak asasi manusia sebagai hak yang
dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau
kehadirannya di dalam masyarakat.
Menurut Mahfudz M.D. HAM merupakan hak yang sudah melekat pada martabat setiap
manusia dan hak tersebut sudah dibawa pada saat sejak lahir ke dunia dan pada hakikatnya hak
tersebut memiliki sifat kodrati.
Menurut Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Nomor XVII/MPR/1998, hak asasi manusia adalah hak dasar yang melekat pada diri
manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan
berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup, kemerdekaan, perkembangan manusia dan
masyarakat yang tidak boleh diabaikan, dirampas, atau diganggu-gugat oleh siapapun.
Hakikat hak asasi manusia secara pengertian pada dasarnya meliputi hak-hak
alamiah manusia, yang menurut Piagam PBB tentang Deklarasi Universal of Human Right
meliputi : a. Hak berpikir & mengeluarkan pendapat; b. Hak memiliki sesuatu; c. Hak
mendapatkan pendidikan & pengajaran; d. Hak menganut aliran kepercayaan atau agama;
e. Hak untuk hidup; f. Hak untuk kemerdekaan hidup; g. Hak untuk memperoleh nama
baik; h. Hak untuk memperoleh pekerjaan; i. Hak untuk mendapatkan perlindungan
hukum.
Pelanggaran HAM di Indonesia banyak sekali terjadi, tetapi sering terjadi
pembiaran. Pembiaran itu bisa dilihat dari segi untuk tidak melakukan investigasi terhadap
pelanggaran berbagai kasus pelanggaran HAM, antara lain Kasus di Aceh, Papua atau atas
peristiwa pembantaian massa di kurun waktu 1966-1970, kasus Petrus (penembakan
misterius) dipertengahan 1980-an, kasus Talangsari Lampung (1989), konflik komunal di
Ambon, Poso, atau Kalimantan, hingga kemandekan dalam investigasi kasus pembunuhan
Munir.
Demikian pula kasus-kasus pelanggaran HAM yang macet diproses tuntutan
seperti kasus Trisakti, Semanggi I dan II, kasus tragedi Mei 1998, kasus Wasior dan
Wamena di Papua merupakan pelanggara n serupa. Sementara kegagalan Pengadilan
HAM untuk menghukum para pelaku pelanggaran HAM berat yang terjadi di Timor-
Timur 1999 seperti yang digambarkan dalam kasus dibaawah, kasus Tanjung Priok
(1984), dan kasus Abepura (2000) juga merupakan pelangggaran yang identik.

B. Dalam Konteks Instrumentasi Hukum HAM di Indonesia


Pengakuan dan perlindungan terhadap HAM pada periode pasca reformasi bisa
dikatakan sebagai tahapan penentuan dan penataan aturan secara konsisten yang
bersesuaian dengan prinsip-prinsip HAM universal.
Berikut instrumen hukum HAM yang lahir pasca reformasi, pertama, TAP MPR
No. XVII/MPR/1998 tentang HAM. Ketetapan MPR ini merupakan instrumen HAM yang
muatannya bukan hanya tentang Piagam HAM, tetapi juga memuat amanat kepada
Presiden dan lembaga-lembaga tinggi negara untuk memajukan perlindungan HAM,
termasuk mengamanatkan kepada mereka untuk meratifikasi instrumen-instrumen
internasional yang berkaitan dengan jaminan pemenuhan HAM. Pada masa ini, BJ. Habibie
membuat Rencana Aksi Nasional HAM (RAN-HAM) tahun 1998-2003, yang memuat
agenda pemerintahannya dalam penegakan HAM, meliputi pendidikan dan sosialisasi
HAM serta program ratifikasi instrumen internasional HAM.
Kedua, UUD 1945 setelah amandemen yang mengatur Pasal khusus tentang HAM,
terletak pada bab tersendiri yaitu Bab XA, di dalamnya terdapat 26 butir ketentuan yang
menjamin terhadap pemenuhan HAM yang melekat dalam ketentuan pasal 28.
Ketiga, UU. No. 39 tahun 1999 tentang HAM. Undang-Undang ini merupakan
instrumen yang pokok yang menjamin semua hak yang tercantum di berbagai instrumen
internasional tentang HAM. Undang-undang ini memuat pengakuan dan perlindungan hak-
hak yang sangat luas karena banyak ketentuannya yang merujuk pada katagorisasi hak
yang ada dalam UDHR, ICCPR, ICESCR, CRC, dan beberapa lainnya. Selain itu, UU. No.
39 tahun 1999 tentang HAM juga mengatur soal kelembagaan Komnas HAM.
Keempat, UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Secara umum,
Undang- undang ini mengatur dua hal, pertama, pengaturan soal perbuatan pidana yang
dikategorikan sebagai pelanggaran berat HAM, kedua, pengaturan soal hukum acara
proses pengadilan HAM. Pengaturan soal kategorisasi pelanggaran berat HAM diatur
dalam pasal 7-9 yang secara umum rumusannya diambil dari Statuta Roma, sedangkan
hukum acara yang diatur meliputi penangkapan, penahanan, penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, pemeriksaan di persidangan, syarat-syarat pengangkatan hakim sampai pada
ketentuan eksekusi hukuman pelanggaran.
C. Pelanggaran HAM di Indonesia
Pelanggaran HAM di Indonesia banyak sekali terjadi, tetapi sering terjadi pembiaran.
Pembiaran itu bisa dilihat dari segi untuk tidak melakukan investigasi terhadap pelanggaran
berbagai kasus pelanggaran HAM, antara lain Kasus di Aceh, Papua atau atas peristiwa
pembantaian massa di kurun waktu 1966-1970, kasus Petrus (penembakan misterius)
dipertengahan 1980-an, kasus Talangsari Lampung (1989), konflik komunal di Ambon,
Poso, atau Kalimantan, hingga kemandekan dalam investigasi kasus pembunuhan Munir.
Setelah reformasi dengan keluarnya UU No 39 tahun 1999 perlindungan terhadap
HAM sudah memiliki payung hukum yang jelas. UU No 39 tahun 1999 memerintahkan
dibentuknya lembaga peradilan Ham untuk menyelesaikan kasus –kasus HAM. Keluarlah
UU No 26 tahun 2000 tentang peradilan HAM Yang bisa diproses dalam Peradilan HAM
menurut UU Nomor 26 Tahun 2000 adalah pelangggaran HAM berat. Yang termasuk
kategori pelanggaran HAM berat adalah Genosida dan Kejahatan terhadap kemanusiaan.
D. Peradilan HAM
Pengadilan HAM di Indonesia merupakan salah satu bagian dari Sistem Peradilan
di Indonesia. Pengadilan HAM memiliki tugas penting untuk membangunrasa kepercayaan
rakyat Indonesia dan komunitas Internasional tentang kedaulatan dan kepastian hukum di
Indonesia saat ini.
Pengadilan merupakan pengantar (agent) dari peradaban, demokratisasi dan
pembebasan Penegakkan Hukum atas Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia Menurut
Aturan Perundang-undangan Saat ini.
Dalam kerangka rule of law, peraturan perundang-undangan merupakan salah satu
anatomi dalam instalasi politik HAM. Salah satu produk hukum (sekaligus produk politik)
sangat pentingdalam kerangka pemenuhan, penegakan dan penghormatan HAM adalah
UU No. 26 tahun 2000 mengenai Pengadilan HAM.
Pembentukan UU tentang Pengadilan HAM di Indonesia didasarkan pada
pertimbangan sebagai berikut:
 Pelanggaran HAM berat merupakan “extra ordinary crimes” dan berdampak secara
luas baik pada tingkat nasional maupun internasional dan bukan merupakan tindak
pidana yang diatur didalam KUHP serta menimbulkan kerugian baik materil maupun
immaterial perseorangan maupun masyarakat sehingga perlu segera dipulihkan dalam
mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai perdamaian, ketertiban,
ketenteraman, keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Terhadap perkara pelanggaran HAM yang berat diperlukan langkah-langkah
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang bersifat khusus. Kekhususan dalam
penanganan pelanggaran Ham yang berat adalah:
a) Diperlukan penyidik dengan membentuk tim Ad Hoc, penyidik Ad Hoc, penuntut
umum Ad Hoc, dan hakim Ad Hoc;
b) Diperlukan penegasan bahwa penyelidikan hanya dilakukan oleh Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), sedangkan penyidik tidak berwenang
menerima laporan atau pengaduan sebagaimana diatur dalam KUHAP;
c) Diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk melakukan
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di Pengadilan.
d) Diperlukan ketentuan yang menegaskan tidak ada kadaluarsa bagi pelanggaran
HAM yang berat.
Berkenaan dengan penugasan MPR kepada Presiden untuk menyelesaikan kasus-
kasus pelanggaran HAM, Presiden Abdurrahman Wahid kemudian menindak lanjutinya
dengan menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 53 Tahun 2001 tentang
Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
pada tanggal 23 April 2001. Pembentukan Keppres ini dilakukan sebagai pelaksanaan Pasal
43 ayat (1) UU Nomor 26 Tahun 2000, yang menentukan bahwa pelanggaran HAM yang
berat yang terjadi sebelum berlakunya UU tersebut diperiksa dan diputus oleh Pengadilan
HAM Ad Hoc.
Berkenaan dengan penugasan MPR kepada Presiden untuk menyelesaikan kasus-
kasus pelanggaran HAM, Presiden Abdurrahman Wahid kemudian menindak lanjutinya
dengan menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 53 Tahun 2001 tentang
Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
pada tanggal 23 April 2001. Pembentukan Keppres ini dilakukan sebagai pelaksanaan Pasal
43 ayat (1) UU Nomor 26 Tahun 2000, yang menentukan bahwa pelanggaran HAM yang
berat yang terjadi sebelum berlakunya UU tersebut diperiksa dan diputus oleh Pengadilan
HAM Ad Hoc.
Dalam Keppres tersebut disebutkan bahwa Pengadilan HAM tersebut berwenang
memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM berat yang terjadi di Timor Timur
pasca jajak pendapat dan perkara pelanggaran HAM berat yang terjadi di Tanjung Priok
pada tahun 1984. Pada awal masa kepresidenan Megawati Soekarnoputri, Keppres ini
langsung mengalami revisi, yakni dengan diterbitkannya Keppres No. 96 Tahun 2001
tentang Perubahan Atas Keppres No. 53 Tahun 2001. Pasal 2 merupakan bagian yang
mengalami perubahan dengan maksud untuk lebih memperjelas tempat dan waktu tindak
pidana (locus and tempus delicti) pelanggaran HAM berat yang terjadi di Timor Timur dan
Tanjung Priok, yaitu penambahan kalimat wilayah hukum Liquica, Dilli, Suai pada bulan
April 1999 dan bulan September 1999 untuk kasus Timor Timur serta bulan September
1984 untuk kasus Tanjung Priok.
Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan
peradilan umum yang dibentuk pada pengadilan negeri. Untuk pertama kali, Pengadilan
HAM tersebut dibentuk serempak di Jakarta Pusat, Surabaya, Medan dan Makassar, dengan
wilayah hukumnya sebagai berikut:
a) Jakarta Pusat meliputi wilayah Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Sumsel,
Lampung, Bengkulu, Kalbar dan Kalteng;
b) Surabaya meliputi wilayah Provinsi Jatim, Jateng, Yogyakarta, Bali, Kalsel, Kaltim,
NTB dan NTT;
c) Medan meliputi wilayah Provinsi Sumut, Aceh, Riau, Jambi dan Sumbar;
d) Makassar meliputi wilayah Provinsi Sulsel, Sultra, Sulteng, Sulut, Maluku, Maluku
Utara dan Papua.

4
Pengadilan HAM berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran
HAM berat. Pelanggaran HAM yang terjadi disamping kasus Timor Timur dan Tanjung
Priok seperti disebutkan di atas, kasus Aceh, Papua, Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II,
Kerusuhan Massa di berbagai tempat di Indonesia merupakan yurisdiksi kewajiban
Pengadilan HAM untuk memprosesnya lebih lanjut demi tercapainya keadilan. Undang-
undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, memiliki lingkup
kewenangan sebagai berikut:
 Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara
pelanggaran HAM yang berat.
 Pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM
yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia
oleh warga negara Indonesia.
 Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM
yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18 (delapan belas)
tahun pada saat kejahatan dilakukan.

 Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara


pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Pelanggaran hak asasi manusia yang berat
tersebut meliputi:
a) kejahatan genosida;
b) kejahatan terhadap kemanusiaan.
 Kejahatan genosida (Pasal 7a) adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud
untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa,
ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:
a) membunuh anggota kelompok;
b) mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggotaanggota
kelompok;
c) menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan
secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
d) memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam
kelompok; atau
e) memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

5
 Kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 7b) adalah salah satu perbuatan yang dilakukan
sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa
serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
a) pembunuhan;
b) pemusnahan;
c) perbudakan;
d) pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e) perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-
wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
f) penyiksaan;
g) perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan,
pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain
yang setara;

penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari


persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau
alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut
hukum internasional;
h) penghilangan orang secara paksa; atau
i) kejahatan apartheid.

6
 Ketentuan pidana untuk HAM berat dapat dikelompokkan dalam 4 (empat) kelompok.
 Kelompok kesatu, yaitu perbuatan pelanggaran HAM yang berat “genosida” (pasal
8) dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima)
tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun.
 Kelompok kedua, yaitu perbuatan pelanggaran HAM yang berat “kejahatan
terhadap kemanusiaan” (pasal 9) yaitu salah satu perbuatan berupa serangan meluas
penduduk sipil, dipidana mati atau pidana seumur hidup atau penjara paling lama
25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun.
 Kelompok ketiga, yaitu perbuatan percobaan, permufakatan jahat, atau pembantuan
untuk melakukan pelanggaran HAM yang berat “genosida” atau “kejahatan
terhadap kemanusiaan” (pasal 8 dan 9) dipidana sama sebagaimana dimaksud pada
pasal 36,37,38,39 dan 40.
 Kelompok keempat, yaitu komandan militer dapat dipertanggung-jawabkan
terhadap pasukan yang berada di bawah komandonya, diancam dengan pidana yang
sama sebagaimana dimaksud pasal 36,37,38,39 dan 40.

Dalam kasus pelanggaran HAM, penyelidikan dilakukan oleh Komnas HAM dan dapat
membentuk Tim Ad Hoc yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan
menyerahkan hasil penyelidikan kepada penyidik. Hakim Ad Hoc diangkat dan diberhentikan
Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.

1. Dalam undang-undang pengadilan HAM, perlindungan terhadap korban dan saksi juga
mendapat perhatian, di mana korban dan saksi berhak atas perlindungan fisik dan mental
dariancaman, gangguan, terror dan kekerasan. Perlindungan dilakukan oleh aparat penegak
hukum dan aparat keamanan secara cuma-cuma.
2. Pelanggaran hak asasi manusia yang berat seperti yang diatur dalam Undang-undang No.
26 Tahun 2000 tidak dikenal kadaluwarsa.

7
Pengadilan HAM juga berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi
manusia yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia
oleh warga negara Indonesia.

Namun ada pengecualian terhadap seseorang yang dibawah umur yakni Pengadilan HAM
tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat
yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun pada saat
kejahatan dilakukan, yang berhak memeriksa dan memutus adalah Pengadilan Negeri.

Kedudukan Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan


Peradilan Umum yang berkedudukan di daerah kabupaten atau daerah kota yang daerah
hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan.

E. Hukum Acara Pengadilan HAM

Hukum acara atas perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan
berdasarkan ketentuan hukum acara pidana. Ketentuan hukum acara proses peradilan hak asasi
manusia sesungguhnya telah diatur secara khusus dalam Bab IV Pasal 10-33 UU No. 26 Tahun
2000. Secara garis besar diurut dalam beberapa bagian: (i) Penangkapan; (ii) Penahanan; (iii)
Penyelidikan; (iv) Penyidikan; (v) Penuntutan; dan (vi) Pemeriksaan di Sidang Pengadilan.

 Penangkapan (pasal 11)


Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penangkapan untuk
kepentingan penyidikan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan pelanggaran hak
asasi manusia yang berat berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Pelaksanaan tugas
penangkapan dilakukan oleh penyidik dengan memperlihatkan surat tugas dan
memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas
tersangka dengan menyebutkan alasan penangkapan, tempat dilakukan pemeriksaan serta
uraian singkat perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dipersangkakan.
 Penahanan (pasal 12-17)
Jaksa Agung sebagai penyidik dan penuntut umum berwenang melakukan
penahanan atau penahanan lanjutan untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan.

8
Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa
yang diduga keras melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat berdasarkan bukti
yang cukup, dalam hal terdapat keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka
atau terdakwa akan melarikan diri, merusak, atau menghilangkan barang bukti, dan atau
mengulangi pelanggaran hak asasi manusia yang berat
 Penyelidikan (pasal 18-20)
Penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam
melakukan penyelidikan dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri atas Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia dan unsur masyarakat. Hakim Pengadilan HAM dengan penetapannya
berwenang melakukan penahanan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan
Dalam melaksanakan penyelidikan, penyelidik berwenang:
a) melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam
masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat
pelanggaran hak asasi manusia yang berat;
b) menerima laporan atau pengaduan dari seseorang atau kelompok orang tentang
terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat, serta mencari keterangan dan
barang bukti;
c) memanggil pihak pengadu, korban, atau pihak yang diadukan untuk diminta dan
didengar keterangannya;
d) memanggil saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya;
e) meninjau dan mengumpulkan keterangan di tempat kejadian dan tempat lainnya
yang dianggap perlu;
f) memanggil pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau
menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya;
g) atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:
1) pemeriksaan surat;
2) penggeledahan dan penyitaan;
3) pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat-
tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu;
4) mendatangkan ahli dalam hubungan dengan penyelidikan.

9
 Penyidikan (pasal 21-22)
Penyidikan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Jaksa
Agung. Penyidikan idak termasuk kewenangan menerima laporan atau pengaduan. Dalam
pelaksanaan tugas Jaksa Agung dapat mengangkat penyidik ad hoc yang terdiri atas unsur
pemerintah dan atau masyarakat. Untuk dapat diangkat menjadi penyidik ad hoc harus
memenuhi syarat:
a) warga negara Republik Indonesia;
b) berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam
puluh lima) tahun;
c) berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang
hukum;
d) sehat jasmani dan rohani;
e) berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
f) setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan
g) memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang hak asasi manusia.
 Penuntutan (pasal 23-25)

Penuntutan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung.
Dalam pelaksanaan tugas Jaksa Agung dapat mengangkat penuntut umum ad hoc yang
terdiri atas unsur pemerintah dan atau masyarakat. Untuk dapat diangkat menjadi penuntut
umum ad hoc harus memenuhi syarat :
a. warga negara Republik Indonesia;
b. berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam
puluh lima) tahun;
c. berpendidikan sarjana hukum dan berpengalaman sebagai penuntut umum;
d. sehat jasmani dan rohani;
e. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
f. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan
g. memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang hak asasi manusia.
Penuntutan wajib dilaksanakan paling lambat 70 (tujuh puluh) hari terhitung sejak tanggal
hasil penyidikan diterima. Komnas HAM sewaktu-waktu dapat meminta keterangan secara

10
tertulis kepada Jaksa Agung mengenai perkembangan penyidikan dan penuntutan perkara
pelanggaran hak asasi manusia yang berat
 Sumpah (pasal 26)
Sumpah penyidik dan Jaksa Penuntut Umum ad hoc sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21 ayat (4) dan Pasal 23 ayat (3).
 Pemeriksaan disidang Pengadilan (pasal 27-33)
Perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat diperiksa dan diputus oleh Pengadilan
HAM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4. Pemeriksaan perkara pelanggaran hak asasi
manusia yang berat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh majelis hakim
Pengadilan HAM yang berjumlah 5 (lima) orang, terdiri atas 2 (dua) orang hakim pada
Pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc. Majelis hakim
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diketuai oleh hakim dari Pengadilan HAM yang
bersangkutan.
Untuk dapat diangkat menjadi hakim ad hoc pada Mahkamah Agung harus memenuhi
syarat:
a. warga negara Republik Indonesia;
b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun;
d. berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang
hukum;
e. sehat jasmani dan rohani;
f. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
g. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan
h. memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang hak asasi manusia.

F. Lembaga HAM
Setiap diri kita adalah pejuang HAM. Penegakan HAM dimulai dari lingkup yang
kecil tersebut jika dilakukan oleh setiap orang akan berubah menjadi langkah besar. Yang
terpenting dalam hal ini adalah bahwa setiap orang menghormati hak asasi manusia
sesamanya. Maka apapun bentuk langkah yang diambil untuk menunjukkan penghormatan
terhadap HAM, hal tersebut merupakan dukungan luar biasa bagi penegakan HAM. Sikap

11
positif terhadap upaya penegakan HAM dapat dimulai dari lingkungan keluarga, sekolah
dan masyarakat luas. Di lingkungan masyarakat luas sikap positif terhadap upaya
penegakan HAM dapat dilakukan antara lain sebagai berikut:
1. Tidak mengganggu ketertiban umum
2. Saling menjaga dan melindungi harkat dan martabat manusia
3. Menghormati keberadaan masing-masing
4. Berkomunikasi dengan baik dan sopan

Menurut Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada Pasal
17 menyebutkan bahwa: “Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi,
menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dengan undang-undang ini,
peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang HAM yang diterima
oleh Negara Republik Indonesia”. Dari ketentuan undang-undang ini, pemerintah wajib dan
bertanggung jawab melindungi HAM.

Adapun lembaga perlindungan HAM di Indonesia adalah:


 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) (Keppres No 50 Tahun 1993).
Lembaga yang mandiri yang berkedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya
yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan dan mediasi hak asasi
manusia (perdamaian kedua belah pihak, penyelesaian perkara dengan cara negosiasi,
konsultasi)
 Tujuan Komnas HAM: Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi
manusia sesuai dengan Pancasila, UUD 1945 dan Piagam PBB serta Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia. Meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna
berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi
dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam rangka penegakkan HAM, Komnas HAM
melakukan pemanggilan saksi, dan pihak kejaksaan yang melakukan penuntutan
dipengadilan HAM. Menurut Pasal 104 UU HAM, untuk mengadili pelanggaran HAM
yang berat dibentuk pengadilan HAM dilingkungan peradilan umum yaitu pengadilan
negeri dan pengadilan tinggi. Proses peradilan sesuai dengan fungsi badan peradilan.

12
 Selain KOMNAS HAM ada juga lembaga yang bukan merupakan lembaga negara yang
bisa membantu penyelesaian pelanggaran-pelanggaran HAM yaitu yang kita kenal dengan
Lembaga Bantuan Hukum;
 Selain itu masih ada lembaga-lembaga lain yang bisa membantu masyarakat kalau ada
laporan terjadinya pelanggaran HAM, yaitu Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Komisi
perempuan, Kontrass

G. Proses Peradilan Perkara HAM di Indonesia

Proses penyelesaian pelanggaran HAM menurut undang-undang pengadilan HAM


melalui tahap penangkapan, penahanan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sumpah
dan pemeriksaan. Pasal 10 menentukan bahwa dalam hal tidak ditentukan lain dalam
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, hukum acara atas perkara pelanggaran HAM yang
berat, dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana.

Dengan demikian, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang


pengadilan, upaya hukum, pelaksanaan putusan pengadilan serta pengawasan dan
pengamatan pelaksanaan putusan atas perkara pelanggaran HAM yang berat, jika tidak
ditentukan lain dalam UU Pengadilan HAM, maka hukum acara atas pelanggaran HAM
yang berat tersebut dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana.

Pasal 11 dan Pasal 12 UU Pengadilan HAM memberikan kewenangan kepada Jaksa


Agung sebagai penyidik untuk melakukan penangkapan dan penahanan termasuk
wewenang Jaksa Agung sebagai penuntut umum. Selanjutnya, proses penyelidikan
terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat serta penerimaan atas pelaporannya
dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Pelanggaran HAM yang berat
diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM paling lama 90 hari terhitung sejak perkara
dilimpahkan ke Pengadilan HAM, dan dapat diperpanjang lagi selama 90 hari. Dalam
perkara pelanggaran HAM yang berat permohonan banding ke Pengadilan Tinggi diperiksa
dan diputus paling lama 90 hari sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tinggi, dan

13
Permohonan Kasasi ke Mahkamah Agung diperiksa dan diputus 90 hari sejak perkara itu
dilimpakan ke Mahkamah Agung.

Kasus Pelanggaran HAM berat di Indonesia hingga saat ini masih banyak yang
belum tuntas sekitar ada 12 kasus HAM bat di indonesia yang belum tuntas. Salah satu
contohnya kasus pelanggaran HAM berat di Paniai, Papua.

H. Peradilan HAM Internasional


Penyelesain pelanggaran HAM berat di era sebelum dan pada waktu Perang Dunia
II itu di selesaikan melalui mekanisme pengadilan HAM Internasional ad hoc, yaitu
Nuremberg Tribunal yang dibentuk oleh negara sekutu, dan Tokyo Tribunal yang di bentuk
oleh negara Amerika Serikat. Pelanggaran HAM sistemik yang dilakukan oleh
Pemerintahan Apartheid di Afrika Selatan berakhir dengan membentuk Kosmos yaitu
Konstitusi Revolusionedan membentuk South Africa’s Truth and Reconciliation
Comission (TRC).
Pelanggaran HAM dengan corak keberutalan yang dilakukan Pesiden Slobodan
Milosevic di Bosnia Hesegovina diakhiri dengan mengadili pelanggaran HAM berat yang
dilakukan oleh Milosevic dan kroninya dengan mekanisme pengadilan HAM Internasional
ad hoc yang dibentuk oleh PBB (dipelopori oleh Dewan Keamanan PBB) yaitu the
International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia (ICTY). Dan pelanggaran HAM
berat yang terjadi di Rwanda diselesaikan melalui pembentukan Mahkamah HAM
Internasional yang dibentuk oleh PBB juga yaitu The International Criminal Tribunal for
Rwanda (ICTR).
Hingga saat ini ada beberapa model (Cassel, 2002) dalam upaya menuntut dan
mengadili pelanggaran HAM berat, yaitu:
1. Penuntutan dan Pengadilan Reguler, seperti penuntutan terhadap Pinoched di Chilli, John
Walker Lind di Amerika Serikat
2. Internasional atau Extra-teritorial, seperti tuntutan Spanyol untuk mengekstradisi
Phinoched dari Inggris
3. Nasional tapi spesial, sperti pengadilan HAM ad hoc di Indonesia dalam kasus pelanggaran
HAM di Timor Timor, dan/atau (yad) Tanjung Priok.

14
4. Mix model seperti dicontohkan di Sierra Lione dan Kamboja, dimana mayoritas hakimnya
dari kamboja dan selebihnya dari negara lain yang difasilitasi PBB, atau sebaliknya.
5. Pengadilan yang administrasinya dilakukan oleh PBB seperti yang dilakukan di Kosovo
dan Timor Timur selama berada dalam kekuasaan UNTAET, karena didaerah tersebut
belum ada pemerintahan.
6. Pengadilan Internasional yang permanen, yang otoritasnya global seperti halnya ICC (the
International Criminal Court).
7. Pengadilan Militer regular yang mengadili tentara dan musush tentara.
8. Pengadilan Militer Khusus

Model pengadilan dalam upaya mengadili pelanggaran HAM berat ini terlihat tergantung pada
kondisi sosial politik dari negara yang bersangkutan. Tetapi yang terpenting bagi proses suatu
pengadilan HAM adalah tegaknya keadilan dan pemulihan ketertiban. Hal ini menurut adanya
pengadilan yang independen, dukungan nasional nasional dan internasional, serta adanya
legitimasi sosial, maral dan yuridis.

15

Anda mungkin juga menyukai