Anda di halaman 1dari 10

HUKUM TATANEGARA

HAK ASASI MANUSIA

Disusun oleh

Kelompok IV

Gusnata (10200122006)

Ric Zahir Wandiputra (10200122027)

Wahyu (10200122034)

Muhammad Sahrial (10200122035)

HUKUM TATANEGARA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN ALAUDDIN MAKASSAR

2022/2023
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Hakikat Hak Asasi Manusia

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak hak yang melekat pada setiap manusia, yang
tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. Hak hidup misalnya, adalah klaim
untuk memperoleh dan melakukan segala sesuatu yang dapat membuat seseorang tetap hidup.
Tanpa hak tersebut seksistensinya sebagai manusia akan hilang.

Senada dengan pernyataan yang dikemukakan oleh John Locke, bahwasanya Hak
Asasi Manusia adalah hak hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta
sebagai sesuatu yang bersifat kodrat. Karena sifatnya yang demikian, maka tidak ada
kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabut Hak Asasi Manusia. HAM adalah hak dasar
setiap manusia yang dibawa sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, bukan
pemberian manusia ataupun Lembaga kekuasaan. 1

Hak Asasi Manusia ini tertuang dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia. Menurut UU ini, Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya
yang harus dihormati dan dijunjung tinggi demi kehormatan dan martabat manusia.

B. Sejarah Kelahiran Hak Asasi Manusia

Para ahli HAM menyatakan bahwa sejarah kelahiran HAM bermula dari Kawasan
Eropa. Awal HAM di Eropa dimulai dengan adanya Magna Charta yang lahir pada tahun
1215 di Inggris.. Magna Charta diperuntukkan kepada raja agar dapat membatasi kekuasaan
absolutnya. Kekuasaan absolut raja, seperti menciptakan hukum tetapi tidak terikat dengan
peraturan yang mereka buat, sehingga dibatasi dan kekuasaan mereka harus
dipertanggungjawabkan secara hukum. Sejak lahirnya Magna Charta, raja yang melanggar
aturan kekuasaan harus diadili dan mempertanggungjawabkan kebijakan pemerintahannya.
Lahirnya Magna charta merupakan cikal bakal lahirnya monarki konstitusional.

1
A. Ubaedillah & Abdul Rozak, Pancila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani (Cet. VIII; Jakarta: Prenada
Media Group, 2003), h. 148.
Dari sinilah lahir doktrin bahwa raja tidak kebal hukum lagi. Dengan demikian, sudah
mulai dinyatakan bahwa raja terikat kepada hukum dan bertanggungjawab kepada rakyat,
walaupun kekuasaan membuat undang undang pada masa itu lebih banyak berada di tangan
raja. Lahirnya Magna Charta diperjuangkan oleh para rakyat dan bangsawan Inggris yang
kontra terhadap sistem pemerintahan Raja John. 2

Lahirnya Magna Charta kemudian diikuti oleh perkembangan yang lebih konkret
dengan lahirnya Bill Of Rights di Inggris pada tahun 1628. Pada masa itu mulai timbul
adanya persamaan manusia di muka hukum (equality before the law) yang memperkuat
dorongan timbulnya negara hukum. Dengan demikin, Bill Of Rights ini dijadikan sebagai
tonggak lahirnya asas persamaan, di mana hak persamaan ini mendukung terwujudnya hak
kebebasan.

Selanjutnya pada tahun 1789 lahir deklarasi Perancis. Deklarasi ini memuat aturan
aturan hukum yang menjamin hak asasi manusia dalam proses hukum, seperti larangan
penangkapan dan penahanan seseorang secara sewenang wenang tanpa alasan yang sah atau
penahanan tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh Lembaga hukum yang berwewenang.
Prinsip presumption of innocence adalah bahwa orang-orang yang di tangkap, kemudian
ditahan dan dituduh berhak dinyatakan tidak bersalah sampai ada keputusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap yang menyatakan ia bersalah. Prinsip ini kemudian dipertegas oleh
prinsip prinsip HAM lain, seperti kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan beragama,
dan perlindungan hak milik. 3

Kemudian alam Konferensi Buruh Internasional di Philadelphia, Amerika Serikat,


dihasilkan sebuah deklarasi HAM. Deklarasi ini memuat pentingnya menciptakan
perdamaian dunia berdasarkan keadilan sosial dan perlindungan seluruh manusia. Hal
tersebut kemudian dijadikan dasar perumusan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(DUHAM) yang dikukuhkan pada 1948.

2
Majda El-Muhtaj, M. Hum., Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia (Cet. II; Jakarta: Prenada Media
Group, 2007), h. 50.
3
A. Ubaedillah & Abdul Rozak, Pancila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani (Cet. VIII; Jakarta: Prenada
Media Group, 2003), h. 150.
C. Prinsip Prinsip HAM

Terdapat beberapa prinsip yang telah menjiwai HAM, antara lain:

1. Prinsip Kesetaraan (Equality)

Merupakan suatu ide yang meletakkan semua orang terlahir bebas dan memiliki
kesetaraan dalam HAM, dimana pada situasi yang sama harus diperlakukan sama dan pada
situasi yang berbeda diperlakukan berbeda pula.

2. Pelarangan Deskriminatif

Jika semua orang dianggap setara, maka seharusnya tidak ada perlakuan deskriminatif
dalam rangka mencapai kesetaraan. Pada dasarnya deskriminasi merupakan kesenjangan
perbedaan perlakuan dari perlakuan yang seharusnya sama atau setara.

3. Prinsip Universal

Merupakan prinsip tertinggi dimana HAM itu berlaku secara keseluruhan dimanapun
seseorang berada di dunia ini.

4. Prinsip Martabat Manusia

Hak asasi merupakan hak yang melekat , dan dimiliki setiap manusia di dunia. Prinsip
ini menegaskan perlunya setiap orang untuk menghormati hak orang lain, hidup damai dalam
keberagaman yang bisa menghargai satu sama lain, serta membangun toleransi sesame
manusia.4

D. Pengaturan Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Sebelum Amandemen

UUD 1945 sering disebut dengan “UUD Proklamasi”. Dikatakan demikian karena
kemunculannya bersamaan dengan lahirnya Negara Indonesia melalui proklamasi
kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945.5

Satu hal yang menarik bahwa meskipun UUD 1945 adalah hukum dasar tertulis yang
didalamnya memuat hak hak dasar manusia Indonesia serta kewajiban kewajiban yang
bersifat dasar pula, namun istilah HAM itu sendiri tidak ditemukan dalam UUD 1945. Baik

4
Khairunnisa, A. A. (2018). Penerapan Prinsip-Prinsip Hak Asasi Manusia Dalam Pembentukan Produk Hukum
Oleh Pemerintah Daerah. Jurnal MP (Manajemen Pemerintahan), h. 68.
5
Majda El-Muhtaj, M. Hum., Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia (Cet. II; Jakarta: Prenada Media
Group, 2007), h. 60.
dalam pembukaan, batang tubuh, maupun penjelasannya. Yang ditemukan bukanlah HAM,
tetapi hanyalah hak dan kewajiban warga negara.

Diakui bahwa proses perumusan UUD 1945 sangat tergesa gesa. Waktu yang tersedia
dirasakan sangat pendek apalagi dalam kenyataannya dihadapkan dengan momentum
Proklamasi Kemerdekaan RI. Atas dasar itu, Presiden Soekarno menandaskan bahwa UUD
1945 adalah “UUD Kilat”, yang karenanya harus dilakukan perubahan pada saat Indonesia
merdeka.

E. Pengaturan Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Setelah Amandemen

Dalam sejarah UUD 1945, perubahan UUD merupakan sejarah baru bagi masa depan
konstitusi Indonesia. Perubahan UUD 1945 dilakukan sebagai buah dari amanat reformasi
sejak turunnya rezim Soeharto. Terdapat empat kali perubahan yang berturut turut telah
dilakukan sejak tahun 1999 sampai dengan 2002.

Khusus mengenai pengaturan HAM, dapat dilihat pada Perubahan Kedua UUD 1945
Tahun 2000. Perubahan dan kemajuan signifikan adalah dengan dicantumkannya persoalan
HAM secara tegas dalam sebuah bab tersendiri, yakni bab XA (Hak Asasi Manusia) dari
mulai pasal 28A sampai dengan 28J.

Pengaturan HAM kelihatan menjadi semakin dipertegas, sebagaimana ditegaskan


pada pasal 28A yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak
mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Kemajuan lain dapat juga dilihat pada pasal 28I
yang berbunyi “Hak hidup, hak untuk tidak disiksa, hak beragama, dan hak untuk tidak
diperbudak adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. 6

F. Mekanisme Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia

Hukum acara yang digunakan dalam Pengadilan HAM adalah Kitab UndangUndang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) sepanjang tidak diatur secara khusus oleh UU No. 26 Tahun
2000 (lex specialis derogat lex generalis). Adapun proses penyelesaian pelanggaran HAM
berat menurut UU No. 26 Tahun 2000 adalah sebagai berikut :

6
Majda El-Muhtaj, M. Hum., Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia (Cet. II; Jakarta: Prenada Media
Group, 2007), h. 64.
1. Penyelidikan

Penyelidikan dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Hal ini bertujuan adanya objektifitas hasil penyelidikan, apabila dilakukan oleh lembaga
independen. Dalam penyelidikan, penyelidik berwenang:

a. Melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam


masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat
pelanggaran berat HAM.
b. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang atau kelompok orang tentang
terjadinya pelanggaran berat HAM serta mencari keterangan dan barang bukti.
c. Memanggil pihak pengadu, korban atau pihak yang diadukan untuk diminta dan
didengar keterangannya.
d. Memanggil saksi untuk dimintai kesaksiannya.
e. Meninjau dan mengumpulkan keterangan di tempat kejadian dan tempat lainnya
jika dianggap perlu.
f. Memanggil pihak terkait untuk melakukan keterangan secara tertulis atau
menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya.
g. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa pemeriksaan surat,
penggeledahan dan penyitaan, pemeriksaan setempat, mendatangkan ahli dalam
hubungan dengan penyelidikan

2. Penyidik

Penyidikan pelanggaran berat HAM dilakukan oleh Jaksa Agung. Dalam pelaksanaan
tugasnya Jaksa Agung dapat mengangkat penyidik ad hoc yang terdiri atas unsur pemerintah
dan masyarakat. Sebelum melaksanakan tugasnya, penyidik ad hoc mengucapkan sumpah
atau janji menurut agamanya masing masing. Syaratsyarat yang harus dipenuhi sebagai
penyidik ad hoc, yaitu:

a. Warga Negara Indonesia.


b. Berumur sekurang-kurangnya 40 tahun dan paling tinggi 65 tahun.
c. Berpendidikan Sarjana Hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian
dibidang hukum.
d. Sehat jasmani dan rohani.
e. Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan baik.
f. Setia kepada Pancasila dan UUD 1945.
g. Setia kepada Pancasila dan UUD 1945

Penyidikan diselesaikan paling lambat 90 hari terhitung sejak tanggal hasil


penyelidikan diterima dan dinyatakan lengkap oleh penyidik. Penyidikan dapat diperpanjang
90 hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai daerah hukumnya dan dapat diperpanjang lagi 60
hari. Jika dalam waktu tersebut, penyidikan tidak juga terselesaikan, maka dikeluarkan surat
perintah penghentian penyidikan oleh Jaksa Agung.

3. Penuntutan

Penuntutan dilakukan oleh Jaksa Agung. Jaksa Agung dapat mengangkat penuntut
umum ad hoc yang terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat. Syarat untuk diangkat
menjadi penuntut umum sama halnya dengan syarat diangkat menjadi penyidik ad hoc.
Penuntutan dilakukan paling lama 70 hari sejak tanggal hasil penyidikan diterima.

4. Pemeriksaan di Sidang Pengadilan

Pemeriksaan perkara pelanggaran berat HAM dilakukan oleh majelis hakim


Pengadilan HAM berjumlah 5 orang, terdiri atas 2 orang hakim pada Pengadilan HAM dan 3
orang hakim ad hoc. Syarat-syarat menjadi Hakim Ad Hoc :

a. Warga Negara Indonesia


b. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
c. Berumur sekurang-kurangnya 45 tahun dan paling tinggi 65 tahun
d. Berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian
dibidang hokum
e. Sehat jasmani dan rohani
f. Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan baik
g. Setia kepada Pancasila dan UUD 1945
h. Setia kepada Pancasila dan UUD 1945

Perkara paling lama 180 hari diperiksa dan diputus sejak perkara dilimpahkan ke
Pengadilan HAM. Banding pada Pengadilan Tinggi dilakukan paling lama 90 hari terhitung
sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tinggi. Kasasi paling lama 90 hari sejak perkara
dilimpahkan ke Mahkamah Agung.

5. Pelaksanaan Putusan Pengadilan

Di dalam Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tidak ada ketentuan khusus
mengenai pelaksanaan dari putusan pengadilan HAM, termasuk pula pengadilan HAAM ad
doc, pengadilan tinggi atau Mahkamah Agung yang telah memperoleh kekuatan hukum yang
tinggi.

Oleh karena itu, atas dasar pasal 10, maka sesuai dengan ketentuan yang terdapat
dalam pasal 270 KUHAP, yang melaksanakan putusan pengadilan yang sudah memperoleh
kekuatan hukum tetap tersebut adalah Jaksa. 7

G. Pengadilan Hak Asasi Manusia

Pelanggaran terhadap HAM dapat dilakukan baik oleh aparatur negara maupun warga
negara. Untuk menjaga pelaksanaa HAM, penindakan terhadap pelanggaran HAM dilakukan
melalui proses peradilan HAM melalui tahap tahap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.
Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan pengadilan
umum.

Sebagai salah satu upaya untuk memenuhi rasa keadilan, maka pengadilan atas
pelanggaran HAM kategori berat seperti yang terdapat pada UU Nomor 26 Tahun 2000 Bab
III pasal 7, seperti genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dengan demikian,
pelanggaran HAM kategori berat diadili dengan membentuk Pengadilan HAM ad Hoc yang
dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat dengan keputusan Presiden dan berada di
lingkungan peradilan umum. 8

Pengadilan HAM berkedudukan didaerah provinsi dan daerah kabupaten/kota yang


meliputi daerah hukum pengadilan umum yang bersangkutan. Pengadilan HAM bertugas dan
berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat.

7
R. Wiyono, S.H., Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia (Cet. III; Jakarta: Prenada Media Group, 2015),
h. .28-61.
8
R. Wiyono, S.H., Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia (Cet. III; Jakarta: Prenada Media Group, 2015),
h. 75.
Sementara itu Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur
dibawah 18 tahun pada saat kejahatan dilakukan.

H. Konsepsi Hak Asasi Manusia Dalam Islam

Hak asasi dalam Islam berbeda dengan hak asasi dalam pengertian umumnya. Sebab
Islam berpandangan bahwa seluruh hak merupakan kewajiban bagi negara maupun individu
yang tidak boleh diabaikan.

Negara tidak saja menahan diri dari menyentuh hak hak asasi ini, melainkan
mempunyai kewajiban memberikan dan menjamin hak hak ini. Negara berkewajiban
menjamin perlindungan sosial bagi setiap individu tanpa ada perbedaan antara laki laki atau
perempuan, tidak ada perbedaan antara muslim atau non muslim.

Islam tidak hanya menjadikan itu sebagai suatu kewajiban kepada negara saja
melainkan negara diperintahkan untuk berperang demi melindungi hak hak ini. Kaum
muslimin di bawah pimpinan Khalifah pertama, Abu Bakar ra. Berperang untuk melindungi
hak hak fakir miskin yang ada dalam zakat dengan melawan orang orang yang tidak mau
membayar zakat.

Dalam pandangan Islam, upaya penegakan keadilan tercakup dalam wawasan


pengalaman ibadah, karena dalam konsepsi Islam melaksanakan keadilan itu lebih dekat
kepada taqwa. Islam mengisyaratkan adanya penegakan hukum (kesamaan, kebenaran dan
keadilan), karena kekuasaan yang tanpa paradigma keadilan akan menimbulkan
kesewenangan. Memperjuangkan dan menikmati hak asasi merupakan kewajiban suci,
sehingga dengan tegaknya keadilan senantiasa terkait dengan tegaknya hukum yang hakiki
dan hak asasi manusia yang sesuai dengan fitrahnya. 9

9
Drs. Ahmad Nur Fuad, MA, Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Islam (Cet. I; Malang: MADANI, 2010), h.12.
DAFTAR PUSTAKA

A. Ubaedillah & Abdul Rozak, Pancila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani (Cet. VIII; Jakarta: Prenada
Media Group, 2003)

Majda El-Muhtaj, M. Hum., Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia (Cet. II; Jakarta: Prenada Media
Group, 2007)

Khairunnisa, A. A. (2018). Penerapan Prinsip-Prinsip Hak Asasi Manusia Dalam Pembentukan Produk Hukum
Oleh Pemerintah Daerah. Jurnal MP (Manajemen Pemerintahan)

R. Wiyono, S.H., Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia (Cet. III; Jakarta: Prenada Media
Group, 2015)

Drs. Ahmad Nur Fuad, MA, Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Islam (Cet. I; Malang: MADANI, 2010)

Anda mungkin juga menyukai