BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PERMASALAHAN
Kasus pelanggaran HAM memang selalu menjadi isu menarik. Bahkan semua yang
melanggar kebebasan seseorang dinilai melanggar HAM. Kondisi ini mengingatkan pada
mencuatnya isu kebebasan dan hak-hak dasar manusia yang pernah menjadi ikon
kosmologi pada abad ke-18. Pada masa itu hak-hak dasar tidak hanya dipandang sebagai
kewajiban yang harus dihormati penguasa. Tetapi, juga hak yang mutlak dimiliki oleh rakyat.
Bahkan pada abad 18 muncul kredo (pernyataan kepercayaan) tiap manusia dikaruniakan hak-
hak yang kekal. Hak yang tidak dapat dicabut dan yang tidak pernah ditinggalkan ketika
umat manusia beralih untuk memasuki era baru dari kehidupan pramodern ke kehidupan
modern. Serta tidak pernah berkurang karena tuntutan hak memerintah penguasa. Betapa
HAM telah mendapatkan tempat khusus di tengah-tengah perkembangan kehidupan
manusia mulai abad 18 sampai sekarang.
Berikut ini akan diuraikan kasus – kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia
pada Periode 1998 – 2011.
Ketentuan HAM di Indonesia dalam UUD 1945 tercantum dalam Pasal 28A – 28J.
Sebenarnya pada UUDS 1950 ( 1949 – 1950 ), telah memuat pasal-pasal HAM lebih banyak dan
lengkap dibandingkan UUD 1945. Namun, Konstituante yang dibentuk melalui Pemilu tahun
1955 dibubarkan berdasarkan Kepres Nomor 150 tahun 1959, tanggal 5 Juli 1959.
Kemudian berbagai pihak untuk melengkapi UUD 1945 yang berkaitan dengan HAM,
melalui MPRS dalam sidang-sidangnya awal Orde Baru telah menyusun Piagam Hak-Hak Asasi
Manusia dan Hak-Hak serta Kewajiban Warga Negara. MPRS telah menyampaikan Nota MPRS
kepada Presiden dan DPR tentang pelaksanaan HAM. Karena berbagai kepentingan politik saat
itu, akhirnya tidak jadi diberlakukan. Dapat dilihat bahwa pemerintahan Orde Baru bersifat anti
terhadap Piagam HAM, dan beranggapan bahwa masalah HAM sudah diatur dalam berbagai
perundang-undangan.13[13] Berikut ini diuraikan mengenai pelaksanaan penegakan HAM
Pidana di Indonesia dari mulai masa Kabinet Orde Baru, Kabinet Reformasi Pembangunan dan
Kabinet Gotong-royong.
3.4 Upaya Hukum dalam menyelesaian Kasus – Kasus HAM Berat di Indonesia
Maraknya kasus-kasus pelanggaran berat yang terjadi di Indonesia lebih banyak
mengarah pada crimes by government ( Trisakti, penghilangan paksa, Semanggi I dan II,
Tanjung Priok, dll ), sehingga perlu penyelasaian oleh pemerintah dengan membuka kembali
kasus tersebut. Kasus masa lampau yang saat ini sedang diupayakan dibuka kembali, yakni
Kasus 27 Juli 1996 (Kudatuli) dan kasus kerusuhan Mei 1998. Tragedi Trisakti, Semanggi I dan
II termasuk kejahatan HAM berat yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan. Unsur penting dari
kejahatan terhadap kemanusiaan adalah adanya serangan yang dilakukan secara sistematis
(systematic) atau meluas (widespread) dan serangan itu ditujukankepada warga sipil.
Tindak kejahatan inilah yang diduga terjadi pada kasus Trisakti, Semanggi dan II.
Upaya membuka kembali kasus pelanggarah HAM berat dapat dilakukan dengan dua
cara, yaitu :
Jalur Hukum ( Pidana/Penal )
Penggunaan jalur hukum (pidana) dapat ditempuh sesuai dengan isi ketentuan UU Nomor 26
tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang dilakukan dengan cara-cara yang sudah ditetapkan
tahapan-tahapan dalam Pasal 10 – 33 UU Pengadilan HAM. Ketentuan pidana juga diatur dalam
Pasal 36-42 UU Pengadilan HAM dengan ketentuan penjara minimal 5 tahun dan maksimal
pidana mati atau penjara seumur hidup. Terdapat ketentuan mengenai delik omission
(pembiaran) dan commissionis. Dalam Kasus Timor-Timor ada terdakwa yang divonis pidana
penjara selama 3 tahun di bawah standar minimum.
Jalur Alternatif
Keberadaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ( KKR ) di Indonesia diatur dalam Pasal 47 ayat
(1) dan (2) UU No 26 Tahun 2000, yang intinya tidak menutup kemungkinan adanya alternative
penggunaan lembaga KKR untuk menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM yang terjadi
sebelum UU Pengadilan HAM diundangkan.
Dalam praktiknya, aparat penegak hukum Indonesia telah melakukan pelanggaran asas
non-retroaktif. Buktinya, dalam kasus Abdullah Puteh dan Kasus Jose Abilio Soares. Dalam
kasus Puteh, ia disidik oleh penyidik KPK. Tindakan Puteh yang didakwakan oleh penuntut
umum dilakukan pada bulan Juni 2002, sedangka KPK baru lahir tanggal 27 Desember 2002
melalui UU No 30 Tahun 2002. Sedangka UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK menganut asas
non-retroaktif ( Pasal 72). Pada kasus Abilio, Pasal 43 ayat (1) UU No 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM menganut asas retroaktif. Maka, Pengadilan Ad Hoc HAM Indonesia
mengadili Abilio.16[16]
Untuk membuka kembali kasus-kasus pelanggaran HAM berat, diperlukan “filter” yang
dapat meyaring kaus pelanggaran HAM berat melalui “political wisdom” dari DPR, sekalipun
sifat dari “filter”, seperti digelarnya pengadilan HAM Ad Hoc terhadap Kasus Tanjung Priok,
DOM ( Daerah Operasi Militer ) Aceh, dan Kasus Timor-Timor pasca jajak pendapat.17[17]
Selama pemerintahan Orde Baru hingga Reformasi, banyak kasus Korupsi di Indonesia
yang tidak terselesaikan dengan baik. Sebagaimana dinyatakan oleh Lembaga Internasional
bahwa Indonesia adalah negara ketiga paling korup sedunia, dan merupakan negara paling korup
se Asia. Sebagai negara paling korup, tanpa seorang koruptor pun yang dipenjarakan.
BAB IV
KESIMPULAN
Pada Masa Orde Baru hingga Kabinet Gotong-Royong banyak pelanggaran HAM yang
terjadi, baik yang sedang diselesaikan maupun belum disentuh.
Otoritarianisme rezim Orde Baru antara lain ditandai dengan banyaknya kasus kasus
pelanggaran HAM baik yang terselubung maupun yang terbuka. Memang pada masa itu
instrumen instrumen penegakan HAM telah ada sekalipun tidak selengkap di era reformasi
misalnya ketentuan ketentuan tentang HAM yang tersebar dalam peraturan perundang-undangan
yang sudah ada, Deklarasi Universal Tentang Hak Asasi Manusia yang telah disetujui dan
diumumkan oleh Resolusi Majlis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948, dibentuknya
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berdasarkan Keppres No 50 Tahun 1993 dan lain lain.
Instrumen instrumen di atas ternyata tidak dapat berfungsi bagi penegakan HAM karena hukum
secara umum pada masa Orde Baru hanya diajdikan alat untuk mempertahankan kekuasaan,
bukan untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan, atau dengan kata lain hukum pada masa itu
tidak untuk ditegakkan.
Keterpurukan hukum di Indonesia menghambat penegakan HAM di negara kita sehingga
kasus pelanggaran HAM yang tergolong berat hingga sekarang tidak ada yang berhasil diusut
secara tuntas dan profesional dan sudah tentu hal ini sangat mengusik rasa keadilan masyarakat
secara umum. Pelaksanaan dan penegakan HAM diatur dalam UU No 39 tahun 1999 dan
dilaksanakannya Pengadilan Ad-Hoc, atas pelanggaran HAM di Jakarta dan Timor-Timor.
Memang, pelaksanaan Pengadilan Ad Hoc atas pelanggaran HAM di Timor-Timor penuh dengan
kepentingan politik. Di satu pihak pelaksanaan pengadilan Ad Hoc atas desakan PBB, di pihak
lain berbenturan kepentingan penegakan HAM dengan kepentingan Nasional. Penegakan hukum
harus terus dilakukan. Tragedi Trisakti-Semanggi mungkin telah menjadi sejarah. Namun
jangan sampai penegakan hukum di Indonesia juga hanya menjadi cerita masa lalu. Jangan
sampai suatu tindakan pelanggaran terlepas dari kaca mata hukum hanya karena tertutup
oleh isu-isu yang sedang hangat beredar atau adanya kepentingan tertentu.
Terlepas dari berbagai macam kelebihan dan kekurangannya, bagi kita merupakan suatu
kemajuan yang sangat berarti, karena bangsa Indonesia memiliki komitmen yang tinggi atas
jaminan serta penegakan HAM.