Anda di halaman 1dari 10

OPERASI MILITER INDONESIA DI ACEH 1990-1998

Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki manusia sejak manusia itu dilahirkan. Hak
asasi dapat dirumuskan sebagai hak yang melekat dengan kodrat kita sebagai manusia yang
bila tidak ada hak tersebut, mustahil kita dapat hidup sebagai manusia. Hak ini dimiliki oleh
manusia semata – mata karena ia manusia, bukan karena pemberian masyarakat atau
pemberian negara. Maka hak asasi manusia itu tidak tergantung dari pengakuan manusia lain,
masyarakat lain, atau Negara lain. Hak asasi diperoleh manusia dari Penciptanya, yaitu Tuhan
Yang Maha Esa dan merupakan hak yang tidak dapat diabaikan.

Manusia adalah makhluk Tuhan yang mempunyai martabat yang tinggi. Hak asasi manusia
ada dan melekat pada setiap manusia. Oleh karena itu, bersifat universal, artinya berlaku di
mana saja dan untuk siapa saja dan tidak dapat diambil oleh siapapun. Hak ini dibutuhkan
manusia selain untuk melindungi diri dan martabat kemanusiaanya juga digunakan sebagai
landasan moral dalam bergaul atau berhubungan dengan sesama manusia.
Pada setiap hak melekat kewajiban. Karena itu,selain ada hak asasi manusia, ada juga
kewajiban asasi manusia, yaitu kewajiban yang harus dilaksanakan demi terlaksana atau
tegaknya hak asasi manusia (HAM). Dalam menggunakan Hak Asasi Manusia, kita wajib
untuk memperhatikan, menghormati, dan menghargai hak asasi yang juga dimiliki oleh orang
lain.

Kesadaran akan hak asasi manusia, harga diri, harkat dan martabat kemanusiaannya, diawali
sejak manusia ada di muka bumi. Hal itu disebabkan oleh hak – hak kemanusiaan yang sudah
ada sejak manusia itu dilahirkan dan merupakan hak kodrati yang melekat pada diri manusia.
Sejarah mencatat berbagai peristiwa besar di dunia ini sebagai suatu usaha untuk menegakkan
hak asasi manusia.

Namun demikian, kendati hak asasi manusia bukan merupakan pemberian dari sesama
manusia, masih ada saja pelanggaran hak asasi yang dibuat olah manusia kepada manusia
lain. Di berbagai negara, pelanggaran terhadap hak asasi manusia kerap terjadi dan tidak
dapat terhindarkan. Hal ini termasuk salah satu permasalahan besar semua negara di dunia
dan sangat sulit untuk diatasi. Di indonesia sendiri sebagaimana kita ketahui, pelanggaran
HAM terjadi hampir di setiap daerah, contohnya pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh
tahun 1989-2005. Tahun 1989 – 1998, pemerintah memberlakukan Aceh sebagai Daerah
Operasi Militer (DOM), CoHA (2002-2003), DM I, DM II dan DS (2003-2005). Sepanjang
masa itu telah terjadi pembunuhan, penyiksaan, penghilangan, pemerkosaan dan pelecehan
seksual, perampasan harta benda, pembakaran, pengusiran terhadap warga sipil. Kasus
tergolong besar diantaranya Kasus Tgk Bantaqiah, Kasus Simpang KKA dan Kasus
Arakundo dari ratusan kasus yang dilaporkan. Laporan terakhir Kontras menyatakan
masyarakat, TNI, PMI, dan AMM ikut melakukan penggalian kuburan sepanjang 2005-2007
sebanyak 41 kuburan telah dibongkar berisi 61 kerangka yang diduga korban konflik. Hal ini
tentu masih sangat kuat melekat dalam ingatan kita, bagaimana masyarakat Aceh saat itu
dicekam perasaan takut dan tidak aman. Sekitar 3.000 kasus pelanggaran Hak Azazi Manusia
(HAM) yang terjadi di masa konflik sejak tahun 1989-2005, hingga kini belum ada proses
hukum. Padahal, dalam MoU Helsinki telah diamanatkan bahwa ada Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR) untuk mengungkapkan fakta-fakta kebenaran terhadap para korban
konflik.

Makalah ini akan membahas seputar kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh, hak apa
saja yang dilanggar,siapa yang melakukan pelanggaran, dan apa solusi yang harus dilakukan
agar masyarakat yang dilanggar Haknya bisa kembali mendapatkan haknya yang telah
dilanggar itu.

Pendekatan Teori

Hak asasi manusia merupakan ciri terkhir dari demokrasi. Suatu negara akan disebut negara
yang bermartabat apabila negara tersebut memberikan penghargaan terhadap hak asasi
manusia.Teori tentang HAM pada awalnya bermula dari Magna Charta. Magna Charta
dicetuskan pada 15 Juni 1215 yang prinsip dasarnya memuat pembatasan kekuasaan raja dan
hak asasi manusia lebih penting daripada kedaulatan raja. Tak seorang pun dari warga negara
merdeka dapat ditahan atau dirampas harta kekayaannya atau diasingkan atau dengan cara
apapun dirampas hak-haknya, kecuali berdasarkan pertimbangan hukum. Piagam Magna
Charta itu menandakan kemenangan telah diraih sebab hak-hak tertentu yang prinsip telah
diakui dan dijamin oleh pemerintah. Piagam tersebut menjadi lambang munculnya
perlindungan terhadap hak-hak asasi karena ia mengajarkan bahwa hukum dan undang-
undang derajatnya lebih tinggi daripada kekuasaan raja.
Kemudian Padatahun 1628, muncul Petition of Rights yang berisi pertanyaan-pertanyaan
mengenai hak-hak rakyat beserta jaminannya. Petisi ini diajukan oleh para bangsawan kepada
raja di depan parlemen pada tahun 1628. Isinya secara garis besar menuntut hak-hak sebagai
berikut : Pajak dan pungutan istimewa harus disertai persetujuan, Warga negara tidak boleh
dipaksakan menerima tentara di rumahnya, Tentara tidak boleh menggunakan hukum perang
dalam keadaan damai.

Perkembangan selanjutnya dicetuskan Hobeas Corpus Act yang merupakan undang- undang


yang mengatur tentang penahanan seseorang dibuat pada tahun 1679. Isinya
adalah Seseorang yang ditahan segera diperiksa dalam waktu 2 hari setelah penahanan dan
Alasan penahanan seseorang harus disertai bukti yang sah menurut hukum.
Kemdian, pada tahun 1689 dicetuskan Bill of Rights yang merupakan sebuah  undang-
undang dan diterima parlemen Inggris, yang isinya menjelaskan pola-pola kenagaraan harus
patuh terhadap konstitusi.

Di Amerika serikat, perwujutan HAM tertuang dalam Amanat Presiden Flanklin D.


Roosevelt tentang “empat kebebasan” yang diucapkannya di depan Kongres Amerika Serikat
tanggal 6 Januari 1941 yakni :
·         Kebebasan untuk berbicara dan melahirkan pikiran (freedom of speech and
expression).
·         Kebebasan memilih agama sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya (freedom of
religion).
·         Kebebasan dari rasa takut (freedom from fear).
·         Kebebasan dari kekurangan dan kelaparan (freedom from want).

Selanjutnya pada 10 desember 1948 PBB mengeluarkan Declaration of Human Rights,


disusul 18 tahun kemudian dihasilkan konvenant yang sifatnya lebih mengikat dan resmi
serta ada prosedur peward dan punnishment nya. Hasil konvenant tersebut adalah: Universal
Declaration of Human Rights; International Convenant on Civil and Political Rights;
International Convenat of Economic, Socoal and Cultural Rights; Protoconal Option on Civil
ang Political Rights; dan Protoconal Option II.

Di Indonesia sendiri, Hak Asasi Manusia bersumber dan bermuara pada pancasila. Yang
artinya Hak Asasi Manusia mendapat jaminan kuat dari falsafah bangsa, yakni Pancasila.
Bermuara pada Pancasila dimaksudkan bahwa pelaksanaan hak asasi manusia tersebut harus
memperhatikan garis-garis yang telah ditentukan dalam ketentuan falsafah Pancasila.  Negara
Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar
manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat dan tidak terpisah dari manusia yang harus
dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusisan,
kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.

Berbagai instrumen hak asasi manusia yang dimiliki Negara Republik


Indonesia,yakni: Undang – Undang Dasar 1945, Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998
tentang Hak Asasi Manusia,dan  Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia. Di Indonesia secara garis besar disimpulkan, hak-hak asasi manusia itu dapat
dibeda-bedakan menjadi sebagai berikut :
a.       Hak – hak asasi pribadi (personal rights) yang meliputi kebebasan menyatakan
pendapat, kebebasan memeluk agama, bebas dari ancaman, dan kebebasan bergerak.
b.      Hak – hak asasi ekonomi (property rights) yang meliputi hak untuk memiliki sesuatu,
hak untuk membeli dan menjual serta memanfaatkannya.
c.       Hak – hak asasi politik (political rights) yaitu hak untuk ikut serta dalam pemerintahan,
hak pilih (dipilih dan memilih dalam pemilu) dan hak untuk mendirikan partai politik.
d.      Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan
( rights of legal equality).
e.       Hak – hak asasi sosial dan kebudayaan ( social and culture rights). Misalnya hak untuk
memilih pendidikan dan hak untukmengembangkan kebudayaan.
f.       Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan
(procedural rights). Misalnya peraturan dalam hal penahanan, penangkapan, penggeledahan,
dan peradilan.

Secara konkret untuk pertama kali Hak Asasi Manusia dituangkan dalam Piagam Hak Asasi
Manusia sebagai lampiran Ketetapan Permusyawarahan Rakyat Republik Indonesia Nomor
XVII/MPR/1998.

  
Pembahasan
Pelanggaran HAM di Aceh

Di Indonesia, masalah HAM seperti bertolak belakang,masih saja terjadi kasus-kasus


pelanggaran HAM di sejumlah daerah yang belum terselesaikan. Konvenant-konvenant
maupun deklarasi serta undang-undang tentang HAM yang ada di republik ini seakan tidak
dapat membendung terjadinya kasus pelanggaran HAM. Lantas sistem punishment yang
seharusnya diterapkan belum juga dilaksanakan secara maksimal.

Kasus Aceh misalnya, Semenjak dideklarasikannya GAM oleh Hasan Di Tiro, Aceh selalu
menjadi daerah operasi militer dengan intensitas kekerasan yang tinggi. Operasi militer yang
digelar oleh pemerintah Indonesia di Aceh sejak tahun 1976-2005 untuk menumpas Gerakan
Aceh Merdeka, dengan berbagai bentuk operasi militer yang diterapkan mulai dari
penerapan Daerah Operasi Militer (DOM), Darurat Militer (DM), Darurat Sipil I (DS I)
dan Darurat Sipil II (DSII), di Aceh telah mengakibatkan terjadinya kekerasan dan
pelanggaran HAM terhadap masyarakat sipil yang tak berdosa. Tahun 1989 – 1998,
Sepanjang masa itu pelanggaran HAM berat terhadap warga Aceh banyak dijumpai, mulai
dari penagkapan, penyiksaan, ada yang dibunuh dan mayatnya entah kemana,
pemerkosaan ,perampasan harta benda, dan pengusiran secara paksa oleh oknum Aparat
keamanan Indonesia seperti TNI, Polri, Intelijen, dan Milisi. Kasus tergolong besar
diantaranya Kasus Tgk Bantaqiah, Kasus Simpang KKA dan Kasus Arakundo dari ratusan
kasus yang dilaporkan.

Sederetan kasus pelanggaran HAM terjadi di Aceh dan menyisakan luka yang sangat
mendalam. Kasus ini jelas melanggar konvenat yang dikeluarkan PBB dan bertentangan
dengan undang-undang Republik Indonesia tentang HAM. Dapat kita lihat bahwa banyak hak
yang dilanggar disini, hak hidup, hak kebebasan, hak atas kepemilikan harta benda, hak
kebebasan dari rasa takut serta hak mendapatkan perlindungan hukum. Kondisi ini diperparah
lagi dengan tidak adanya proses hukum terhadap para pelaku kekerasan dan pelanggaran
HAM, dan tidak adanya rehabilitasi atas dampak konflik yang dialami korban.

Sebagaimana kita ketahui, para korban konflik mengalami kerugian yang sangat besar yang
telah membawa dampak secara langsung dan tidak langsung terhadap kelangsungan hidupnya
ke depan. Penyiksaan, trauma masa lalu, kehilangan orang yang dicintai, hilangnya
pekerjaan, kondisi kesehatan yang buruk, pengorbanan atas harta benda, pencemaran nama
baik, perkosaan dan pelecehan seksual terhadap perempuan merupakan bentuk-bentuk
kekerasan yang sampai kapanpun tidak bisa ditolerir dan sampai saat ini belum ada
penyelesaiannya.

Untuk kasus pembantaian Tgk. Bantaqiah diselesaikan dengan pengadilan koneksitas. Namun
pelaku Letkol. Sujono dinyatakan hilang. Sementara ratusan kasus pelanggaran HAM lainnya
termasuk Kasus Simpang KKA dan Kasus Arakundo  belum sama sekali diproses.
dikarenakan Kejaksaan masih enggan mengusut tuntas laporan Komnas HAM karena
menunggu DPR memutuskan membentuk pengadilan ad hoc untuk pelanggaran HAM berat
terlebih dahulu.Tidak ada kejelasan apakah pengadilan HAM untuk Aceh bersifat retroaktif,
dan mekanismenya berdasarkan mekanisme pengadilan HAM di indonesia atau berdasarkan
pengadilan HAM internasional, Lemahnya peran Komnas HAM karena kuatnya isue
separatis di Aceh, dan Ketiadaan Perpres atau Perpu untuk pengadilan HAM dan KKR Aceh

Pelanggaran di Aceh belum di Tangani secara Serius


Hingga empat tahun usia perdamaian Aceh, pemerintah Aceh tidak serius menangani
persoalan kasus penghilangan orang secara paksa di Aceh. Buktinya, semua qanun yang
pernah dibuat oleh eksekutif dan legilatif hingga akhir pemerintahan legislative yang lama
pada 30 September lalu, tak ada satupun produk hukum yang memuat penyelesaian kasus
penghilangan orang secara paksa di Aceh. Pemerintah Aceh saja belum serius menangani
persoalan pelanggaran HAM, apalagi pemerintah pusat, hal tersebut dikarenakan, upaya
penyelesaikan kasus pelanggaran HAM (termasuk penghilangan orang secara paksa) yang
dilaklukan oleh pemerintah tidak semata-mata dilandaskan oleh prinsip hukum. Melainkan
upaya itu lebih menjurus kepada politik dan pemenuhan kepentingannya yang sulit diketahui
oleh masyarakat luas.
Kini dengan adanya parlemen baru, agar penghuni parlemen Aceh  yang baru dapat
menciptakan produk-produk hukum yang selaras dengan upaya penyelesaian kasus tersebut.
Apalagi kalangan Partai Aceh yang berkomitmen merealisasikan butir-butir MoU Helsinki
merupakan penghui mayoritas di parlemen tersebut. Aktifis Ikatan Keluarga Orang Hilang
Indonesia mengakui, para keluarga korban penghilangan orang secara paksa di Aceh tidak
semestinya terlalu bergantung kepada Komnas HAM sebagai lembaga independent
pemerintah yang memiliki mandate untuk mengadvokasi kasus pelanggaran HAM di Aceh.
Pasalnya, mereka kerap mengkambing hitamkan keterbatasan mandate untuk menindak
lanjuti berbagai kasus yang ada. Akibatnya, tidak sedikit kasus pelanggaran HAM yang
terjadi di Aceh belum teradili.
Karenanya, keluarga korban juga harus mendapatkan dukung politik dari pemerintah. Sebut
saja seperti yang terjadi di Jakarta baru-baru ini terkait pelanggaran HAM di tanjung Priuk.
Berkat desakan keluarga korban, DPR RI mengelurkan rekomendasi pembentukan
pengadilan Ad Hoc dan menuntut presiden untuk serius menyikapi kasus ini. Hal ini bisa
dilakukan oleh keluarga korban di Aceh dengan terus mendesak DPR Aceh melalui berbagai
hal.

Pandangan Kedepan
Hal yang harus dilihat kedepan adalah bagaimana agar masyarakat Aceh yang dilanggar hak
nya mendapatkan haknya kembali. Kedepan, penanganan terhadap kasus pelanggaran HAM
tentu harus lebih ditingkatkan, terutama oleh pemerintah Indonesia sebagai regulator dan
sebagai pengelola Negara, hal ini diperlukan untuk memberikan rasa keadilan kepada para
korban secara khusus, dan kepada masayarakat Indonesia secara umum, hal ini juga
diharapkan akan menjadi pelajaran berarti bagi semua masyarakat dan penyelenggara negara,
untuk tidak mengulangi pelanggaran-pelanggaran tersebut diatas.

Diperlukan rekonsiliasi nasional, sebagai agenda penegakan hak asasi manusia saat ini, jalan
‘rekonsiliasi nasional’ kita perlukan bukan untuk maksud ‘melupakan’ (to forget), melainkan
untuk mengintegrasikan kembali semua anak bangsa yang tersingkirkan, terkotak-kotak atau
terpolarisasi akibat sistem politik otoriter di masa lalu.

Bukan hanya rekonsiliasi nasional yang harus dilakukan, namun diperlukan kemauan yang
kuat dari pemerintah dan berbagai pihak dalam upaya menyelesaikan pelanggaran HAM ini,
ditingkat daerah, seperti di Aceh pemerintah harus segera menyelesaikan persoalan
pelanggaran HAM ini, melaksanakan institusionalisasi instrumen penanganan masalah HAM,
misalnya dengan membentuk dan merumuskan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
(KKR), karena dalam UU tentang Pengadilan HAM, Eksistensi lembaga KKR dalam UU
Pengadilan HAM tersebut tercantum dalam Pasal 47 ayat (1) dan (2). Komisi yang akan
dibentuk dengan UU tersendiri dimaksudkan sebagai lembaga ekstra yudisial yang ditetapkan
dengan UU bertugas untuk menegakkan kebenaran dengan mengungkapkan penyalahgunaan
kekuasaan dan pelanggaran HAM pada masa lampau. Sesuai dengan ketentuan hukum dan
perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan pengungkapan kebenaran. Pelaku yang
terkait dengan permasalahan ini harus diperiksa dan diadili sesuai hukum yang berlaku.

Penyebab Peristiwa Aceh


Gerakan Aceh Merdeka atau biasa disingkat GAM, sesuai namanya, adalah kaum separatis
yang ingin memerdekakan diri dari Indonesia. Didirikan oleh Hasan di Tiro yang merupakan
keturunan dari pahlawan nasional dari era perjuangan Aceh melawan Belanda yaitu Tengku
cik Di Tiro. Lebih detailnya, GAM menginginkan tanah Aceh menjadi negara yang berdaulat.
Gerakan ini menyebabkan adanya konflik antara pemerintah Indonesia dengan GAM.
Indonesia didukung oleh Amerika Serikat sedangkan GAM didukung oleh Swedia,
Organisasi Papua Merdeka dan Arab-Libya Jamahiriyah. Tentu konflik yang berkepanjangan
mulai dari era presiden Soeharto hingga berakhir Susilo Bambang Yudhoyono.
GAM berdiri karena rakyat Aceh merasa kecewa pada pemerintah RI. Kekecewaan ini terjadi
karena beberapa faktor. Faktor pertama yaitu masalah agama. Pemerintah menolak keinginan
keinginan rakyat Aceh untuk menerapkan syariat Islam. Maksud Aceh tidak ingin
memisahkan diri Republik Indonesia tapi hanya diberi ijin untuk menerapkan syariat Islam
spesial hanya di wilayahnya. Sebenarnya Aceh memang lekat dengan Islam karena secara
historis merupakan wilayah dari Kesultanan Samudra Pasai yang menerapkan syariat Islam di
pemerintahannya. Kemudian adanya kebijakan fusi partai dan semua aspirasi rakyat Aceh
harus masuk ke Partai Persatuan Pembangunan.
Faktor kedua yaitu tidak adilnya pemerintah RI pada masyarakat Aceh atas bagi hasil
pengolahan sumber daya alam yang diambil dari Aceh. Eksplorasi Sumber daya alam di Aceh
memang memberikan keuntungan yang sangat banyak. Pada tahun 1969 ditemukan ladang
gas baru di daerah Arun. Ladang gas ini diperkirakan bisa diolah selama tiga puluh tahun.
Nilai produksi pertahun pun cukup besar yaitu rata-rata US$ 31 miliar per tahun. Berarti jika
tiga puluh tahun maka bisa mendapatkan US$ 93 miliar. Bahkan Hasan di Tiro menganggap
para orang Jawa neokolonialis karena sudah mengeksploitasi kekayaan alam di Aceh tanpa
mempedulikan penduduk asli Aceh.
Membicarakan peperangan antara RI dan GAM rasanya seperti membuka luka lama yang
telah mengering. Luka historis yang terjadi karena konflik yang kejam dan berlangsung
selama hampir tiga puluh tahun. Jika kita cari hubungannya hingga ke belakang, munculnya
peperangan tersebut disebabkan oleh kecewanya rakyat Aceh atas kebijakan tidak adil yang
dilakukan oleh pemerintah pusat RI.  Berikut adalah beberapa penyebab peristiwa
pelanggaran Hak Azasi Manusia di tanah Aceh pada 1990.
1.Penggiringan Masyarakat Aceh untuk Memilih Golkar
Seorang ahli bernama Otto Syamsudin menilai bahwa pelanggaran HAM di serambi mekah
ini disebabkan oleh politis ketika Pemilu pada tahun 1987. Pelanggaran ini berupa represi
yang dirasa memaksakan pilihan rakyat Aceh untuk mencoblos Golkar. Upaya untuk terus
mempertahankan kejayaan Golkar di pemilu adalah agenda terselubung dari tekanan militer
dan politik lewat penetapan Daerah Operasi Militer atau disingkat DOM. Wajar saja rakyat
marah. Sudah hubungan pemerintah dengan GAM sedang memburuk dan konflik yang tak
jelas dimana ujungnya. Justru di situasi seperti ini pemerintah malah memaksakan pilihan
pada rakyat.

2. Operasi Jaring Merah


Pada akhir 1989, Soeharto melakukan operasi militer dengan nama sandi Operasi Jaring
Merah. Tujuan utama operasi ini mengurangi kekuatan utama pengikut Hasan Tiro. Mereka
dicap sebagai Gerakan Pengacau Keamanan atau GPK oleh negara. Jaring Merah secara teori
hanya mengurangi kekuatan Hasan Tiro. Tapi dalam praktiknya, tentara dinilai tidak terlalu
selektif ketika memburu para gerilyawan yang sangat loyal pada Hasan Tiro. Sehingga
sepertinya tentara melakukan pembantaian yang cenderung asal-asal dan akhirnya membantai
warga sipil juga. Atas peristiwa ini, pasukan pemerintah melakukan pelanggaran hak asasi
manusia dalam ukuran yang besar dan secara sistematis ketika memberlakukan operasi Jaring
Merah.

3. Adanya Desa yang Menjadi Simpatisan GAM


Karena adanya Operasi Jaring Merah, maka para loyalis Hasan Tiro bersembunyi di banyak
tempat. Salah satu tujuan persembunyian mereka adalah desa-desa di Aceh. Desa yang
diduga menyembunyikan anggota dan gerilyawan GAM dibakar. Tak cukup di situ, anggota
keluarga tersangka GAM diculik dan disiksa. Sekitar 300 anak di bawah umur dan wanita
mengalami perkosaan. Untuk korban jiwa berkisar antara 9.000 hingga 12.000 jiwa.
Mayoritas warga sipil terbunuh mulai tahun 1989 hingga 1998 dalam operasi jaring merah
tersebut.
Selain gas, di Aceh masih ada banyak manufaktur yang sangat berprospek. Contohnya seperti
PT Aceh Asean Fertilizer, PT. Pupuk Iskandar Muda, PT dan PT Kraft Aceh. Selain pupuk,
produksi hutan Aceh juga sangat banyak dan menguntungkan. Pada tahun 1997 pendapatan
mencapai Rp. 1 triliun pertahun. Sayangnya, melimpahnya sumber daya alam di tanah Aceh
tidak memberikan manfaat ke tanah dan masyarakat Aceh sendiri. Kondisi yang tidak adil ini
semakin parah karena munculnya berbagai macam siksaan psikis dan fisik yang dilakukan
oleh militer kepada rakyat Aceh.

Kesimpulan
Hak Asasi Manusia merupakan hak dasar yang dimiliki manusia dan bersumber dari Tuhan.
Hak tersebut bukan diberikan oleh negara maupun oleh sesama manusia. Oleh karena itu
penghormatan terhadap HAM haruslah dijunjung tinggi, manusia bermartabat tidak berhak
melakukan pelanggaran HAM terhadap manusia lain. Pelanggaran yang dilakukan akan
dikenakan sanksi sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Namun demikaian
pelanggara HAM masih marak terjadi. Kasus Aceh misalnya. Sejak dideklarasikan adanya
Gerakan Aceh Merdeka, Aceh menjadi daerah dengan potenti pelanggaran HAM yang tinggi.
Pemberlakuan DOM di Aceh melahirkan pelanggaran HAM berat, dari mulai
penggusuran,penculikan,penyiksaan, penghilangan paksa, sampai ke pembunuhan terjadi
mulai tahun 1989 sampai 2005. Hal ni menyisakan trauma yang mendalam bagi masyarakat
Aceh. Untuk itu diperlukan upaya-upaya agar masyarakat Aceh yang telah dilanggar haknya
bisa mendapatkan haknya kembali. Upaya itu dapat dlakukan dengan jalan rekonsiliasi.

Anda mungkin juga menyukai