Anda di halaman 1dari 6

PENDAHULUAN

Hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam
penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang terkait
dengan interaksinya antara individu atau dengan instansi. Hak juga merupakan sesuatu yang
harus diperoleh. Masalah HAM adalah sesuatu hal yang sering kali dibicarakan dan dibahas
terutama dalam era reformasi ini. HAM lebih dijunjung tinggi dan lebih diperhatikan dalam
era reformasi dari pada era sebelum reformasi. Perlu diingat bahwa dalam hal pemenuhan
hak, kita hidup tidak sendiri dan kita hidup bersosialisasi dengan orang lain. Jangan sampai
kita melakukan pelanggaran HAM terhadap orang lain dalam usaha perolehan atau
pemenuhan HAM pada diri kita sendiri. Dalam hal ini penulis merasa tertarik untuk membuat
makalah tentang HAM. Maka dengan ini penulis mengambil judul “Hak Asasi Manusia”.
Oleh karena itu tim penyusun makalah akan membahas lebih lanjut mengenai Tragedi
Semanggi itu sendiri, Kejahatan Berat, kaitannya dengan HAM dan penanganan  dari
pemerintah sendiri.
 
 
PEMBAHASAN
A. Awal Tragedi Simangi I  1998 dan Simangi II 1999

Tragedi Semanggi menunjuk kepada dua kejadian protes masyarakat terhadap pelaksanaan
dan agenda Sidang Istimewa yang mengakibatkan tewasnya warga sipil. Kejadian pertama
dikenal dengan Tragedi Semanggi I terjadi pada 11-13 November1998, masa pemerintah
transisi Indonesia, yang menyebabkan tewasnya 17 warga sipil. Kejadian kedua dikenal
dengan Tragedi Semanggi II terjadi pada 24 September1999 yang menyebabkan tewasnya
seorang mahasiswa dan sebelas orang lainnya di seluruh Jakarta serta menyebabkan 217
korban luka-luka.
Pada bulan November 1998 pemerintahan transisi Indonesia mengadakan Sidang
Istimewa untuk menentukan Pemilu berikutnya dan membahas agenda-agenda pemerintahan
yang akan dilakukan. Mahasiswa bergolak kembali karena mereka tidak mengakui
pemerintahan B. J. Habibie dan tidak percaya dengan para anggota DPR/ MPR Orde Baru.
Mereka juga mendesak untuk menyingkirkan militer dari politik serta pembersihan
pemerintahan dari orang-orang Orde Baru.
Masyarakat dan mahasiswa menolak Sidang Istimewa 1998 dan juga menentang dwifungsi
ABRI/ TNI. Sepanjang diadakannya Sidang Istimewa itu masyarakat bergabung dengan
mahasiswa setiap hari melakukan demonstrasi ke jalan-jalan di Jakarta dan kota-kota besar
lainnya di Indonesia. Peristiwa ini mendapat perhatian sangat besar dari
seluruh Indonesia dan dunia internasional. Hampir seluruh sekolah dan universitas di Jakarta,
tempat diadakannya Sidang Istimewa tersebut, diliburkan untuk mencegah mahasiswa
berkumpul. Apapun yang dilakukan oleh mahasiswa mendapat perhatian ekstra ketat dari
pimpinan universitas masing-masing karena mereka di bawah tekanan aparat yang tidak
menghendaki aksi mahasiswa.
Pada 24 September1999, untuk yang kesakian kalinya tentara melakukan tindak kekerasan
kepada aksi-aksi mahasiswa. Kalau itu adanya pendesakan oleh pemerintahan transisi untuk
mengeluarkan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU PKB) yang materinya
menurut banyak kalangan sangat memberikan keleluasaan kepada militer untuk melakukan
keadaan negara sesuai kepentingan militer. Oleh karena itulah mahasiswa bergerak dalam
jumlah besar untuk bersama-sama menentang diberlakukannya UU PKB. Mahasiswa
dari Universitas Indonesia, Yun Hap meninggal dengan luka tembak di depan Universitas
Atma Jaya

B.        Fakta dan Pola Pelanggaran Hak Asasi Manusia


Berdasarkan fakta-fakta, dokumen, keterangan dan kesaksian berbagai pihak, KPP HAM
menemukan berbagai kekerasan yang pada dasarnya melanggar hak asasi manusia seperti
pembunuhan, penganiayaan, penghilangan paksa, perkosaan, perampasan kemerdekaan dan
kebebasan fisik yang dilakukan secara sistematis serta meluas yang dilakukan oleh pelaku
tertentu dengan sasaran masyarakat tertentu. Masyarakat tersebut secara khusus adalah
mahasiswa maupun masyarakat yang berdemonstrasi terhadap kekuasaan politik
untukmenuntut perubahan, termasuk terhadap rencana melahirkan UU PKB.
KPP HAM memusatkan perhatian pada tiga (3) rangkaian kejadian di sekitar kampus Trisakti
12-13 Mei 1998, di sekitar Semanggi 13-14 November 1998 (dikenal dengan peristiwa
Semanggi I), dan pada 23-24 September 1999 (dikenal dengan Semanggi II). Meskipun kurun
waktu terjadinya peristiwa tesebut berbeda, tiga rangkaian peristiwa ini tidak dapat
dipisahkan dan dilepaskan dari kebijakan pemerintah dalam menghadapi gelombang
demonstrasi mahasiswa dan masyarakat akan perlunya reformasi.
Kekerasan-kekerasan yang tidak manusiawi dan sangat kejam yang ditemukan dalam ketiga
peristiwa itu mencakup tindakan-tindakan di bawah ini :

1)    Pembunuh
an
Telah
terjadi

pembunuhan yang sistematis di berbagai daerah dalam waktu yang panjang, yaitu pada Mei
1998, Nopember 1998, serta September 1999. Tindakan pembunuhan itu dilakukan terhadap
mahasiswa demonstran, petugas bantuan medis, anggota masyarakat yang berada disekitar
lokasi demonstran, ataupun anggota masyarakat yang dimobilisasi untuk menghadapi
demonstran. Pembunuhan serupa juga dilakukan dalam kerusuhan massa yang diciptakan
secara sistematis sebagaimana terjadi di Jakarta dan Solo pada Mei 1998 (lihat laporan
TGPF).

2)   Penganiayaan
Telah terjadi penganiayaan untuk membubarkan demonstrasi yang dilakukan sejumlah
mahasiswa dan anggota masyarakat yang dilakukan oleh aparat TNI dan POLRI (dahulu
disebut ABRI). Penganiayaan ini terjadi secara berulang-ulang di berbagai lokasi, seperti
pada kampus Universitas Trisakti, dan Universitas Atmajaya, dan Semanggi yang
mengakibatkan timbulnya korban fisik (seperti terbunuh, luka ringan dan luka berat) dan
mental. Hal ini dikarenakan terkena gas air mata, pukulan, tendangan, gigitan anjing pelacak
dan tembakan sehingga harus mengalami perawatan yang serius.

3)   Perkosaan atau bentuk kekerasan seksual lain yang setara


Terutama pada Mei 1998, telah terjadi tindak kekerasan seksual termasuk perkosaan yang
mengakibatkan sejumlah perempuan mengalami trauma dan penderitaan fisik dan mental.
Trauma yang dialami sulit diatasi karena korban tidak berani tampil untuk menceritakan apa
yang dialaminya.

4)   Penghilangan paksa
Pada bulan Mei 1998, telah terjadi penghilangan secara paksa terhadap 5 (lima) orang yang
diantaranya adalah aktifis dan anggota masyarakat yang hingga kini nasib dan keberadaannya
tidak diketahui. Dalam peristiwa ini, negara belum juga mampu menjelaskan nasib dan
keberaan mereka.

5)   Perampasan kemerdekaan dan kebebasan fisik


Sebagai bagian dari tindakan kekerasan, dilakukan pula tindakan penggeledahan,
penangkapan dan penahanan yang dilakukan secara sewenang-wenang dan melewati batas-
batas kepatutan sehingga menimbulkan rasa tidak aman dan trauma. Perbuatan ini dilakukan
sebagai bagian yang tidak terpisah dari upaya penundukan secara fisik dan mental terhadap
korban.

C.        Upaya Penyelesaian Dalam Pelanggran HAM


1.      Pembentukan Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Peristiwa Trisakti,
Semanggi I dan Semanggi II 
Meskipun DPR RI telah merekomendasikan agar kasus Trisakti dan Semanggi I dan II
ditindak lanjuti dengan Pengadilan Umum dan Pengadilan Militer, namun sehubungan
dengan adanya dugaan telah terjadinya pelanggaran HAM berat, tuntutan keadilan bagi
keluarga korban dan masyarakat, dan dalam rangka penegakan hukum dan penghormatan hak
asasi manusia, dipandang perlu Komnas HAM melakukan penyelidikan dengan membentuk
Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II. Maka dalam
Rapat Paripurna Komnas HAM tanggal 5 Juni 2001 menyepakati pembentukan Komisi
Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi
II yang selanjutnya dituangkan dalam SK Nomor 034/KOMNAS HAM/VII/ 2001 tanggal 27
Agustus 2001.

2.      Landasan Hukum 
Pembentukan Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia peristiwa Trisakti,
Semanggi I, dan Semanggi II didasarkan atas:
a)        Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
b)        Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
c)         Keputusan Rapat Paripurna Komnas HAM tanggal 5 Juni 2001.
d)        Keputusan Ketua Komnas HAM Nomor 034/KOMNAS HAM/VII/2001 tanggal 27
Agustus 2001 tentang Pembentukan Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi
Manusia peristiwa Trisakti, Semanggi I& II.

3.      Tugas dan Wewenang


Tugas dan wewenang KPP HAM Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II adalah :
a)   Melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang terjadi dan kasus-
kasus yang berkaitan
b)   Meminta keterangan pihak-pihak korban
c)    Memanggil dan memeriksa saksi-saksi dan pihak-pihak yang diduga terlibat dalam
pelanggaran hak asasi manusia
d)   Mengumpulkan bukti-bukti tentang dugaan pelanggaran hak asasi manusia
e)   Meninjau dan mengumpulkanketerangan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang
dianggap perlu
f)     Kegiatan lain yang dianggap perlu Penyelesaian kasus trisakti nasibnya kurang lebih
sama dengan reformasi, yaitu mati suri. Bertahun-tahun sudah kasus trisakti terjadi, tapi
para pelaku tidak pernah terungkap dengan terang benderang, sehingga mereka tak
pernah dibawa ke meja hijau.

Padahal Komnas HAM menengarai adanya pelanggaran HAM berat pada penangan
demonstrasi mahasiswa Trisakti 12 Mei 1998. Salah satu indikasi sulitnya membongkar kasus
ini adalah keterlibatan orang-orang penting (berkuasa) pada saat itu atau bahkan sampai saat
ini sehingga ada banyak kepentingan yang menghalang-halangi penuntasa kasus ini.Tahun
demi tahun terus bergulir. Pemerintah (presiden) pun telah beberapa kali berganti, namun
penyelesaian kasus trisakti tidak tahu rimbanya. Komnas HAM menyatakan bahwa mereka
telah menyerahkan laporan penyalidikan kasus itu sejak 6 Januari 2005 kepada Kejaksaan
Agung. Namun sampai saat ini tidak ada tindak lanjut yang jelas yang dapat diketahui
masyarakat terutama keluarga korban. Untuk itu diperlukan keseriusan, kejujuran, dan
kebranian berbagai pihak untuk menuntaskan kasus ini. Presiden serta menkopolhukam dan
kementrian hukum dan HAM yang ada dibawahnya harus bertindak. DPR memberikan
pengawasan dan meningkatkan pemerintah, Kejaksaan Agung harus mengambil langkah
strtegis. Demikian juga keberadaan Komnas HAM dan pihak lainnya untuk sama-sama
mencari solusi penyelesaiann kasus ini. Tanpa itu semua, sepertinya kita masih harus
menunngu bagaimana akhir dari tragedy Trisakti.

PENUTUP
A.        Kesimpulan
HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan kiprahnya. Setiap
individu mempunyai keinginan agar HAM-nya terpenuhi, tapi satu hal yang perlu kita ingat
bahwa Jangan pernah melanggar atau menindas HAM orang lain. Dalam kehidupan
bernegara HAM diatur dan dilindungi oleh perundang-undangan RI, dimana setiap bentuk
pelanggaran HAM baik yang dilakukan oleh seseorang, kelompok atau suatu instansi atau
bahkan suatu Negara akan diadili dalam pelaksanaan peradilan HAM, pengadilan HAM
menempuh proses pengadilan melalui hukum acara peradilan HAM sebagaimana terdapat
dalam Undang-Undang pengadilan HAM. Penanganan dan penyelesaian kasus Trisakti-
Semanggi tidak pernah mendapatkan kepastian hukum. Sepertinya keberadaan UU HAM,
Komnas HAM, dan KPP HAM tidak berdaya mengungkap tragedi kemanusiaan tersebut.
Ironisnya justru memunculkan perbedaan pendapat. Apakah tragedi berdarah ini termasuk
pelanggaran HAM berat atau bukan. Sebenarnya ada apa dengan aparat penegak hukum kita.

B.        Saran
Sebagai makhluk sosial kita harus mampu mempertahankan dan memperjuangkan HAM kita
sendiri. Di samping itu kita juga harus bisa menghormati dan menjaga HAM orang lain
jangan sampai kita melakukan pelanggaran HAM. Dan jangan sampai pula HAM kita
dilanggar dan dinjak-injak oleh orang lain.Jadi dalam menjaga HAM kita harus mampu
menyelaraskan dan mengimbangi antara HAM kita dengan orang lain

Anda mungkin juga menyukai