Anda di halaman 1dari 21

Kamisan

Apa itu Kamisan?


Kamisan adalah aksi damai yang menuntut pemimpin negara agar
dapat menyelesaikan kasus kasus pelanggaran ham yang ada. Aksi ini
ada sejak 18 Januari 2007 dari para korban maupun keluarga korban
pelanggaran HAM di Indonesia. Setiap Kamis pukul 16.00-17.00 WIB di
depan istana negara, mereka mengenakan pakaian dan atribut serba
hitam, berdiri, diam, dan berpayung hitam bertuliskan berbagai kasus
pelanggaran HAM.
Kenapa Ada Kamisan?
Kamisan hadir sebagai bentuk aksi dari para korban dan keluarga
Tragedi 1965, Semanggi I, Semanggi II, Trisakti, Tragedi 13-15 Mei
1998, Talangsari, Tanjung Priok, dan korban pelanggaran HAM
lainnya. Mereka meminta negara untuk menyelesaikan kasus-kasus
tersebut yang sekarang masih terhambat di Kejaksaan Agung.
Berapa kali Kamisan
digelar?
Sejak 18 Januari 2007 dimulai, Kamisan kini sudah
menggelar aksi di depan Istana Negara sebanyak 580 kali
dengan dua era pemerintahan yang berbeda, yakni pada
kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko
Widodo
Siapa saja yang ikut
Kamisan?
Salah satu penggagas Kamisan, Maria Katarina Sumarsih
mengungkapkan, pada tahun 1999, dirinya bersama korban dan
keluarga pelanggaran HAM membentuk sebuah paguyuban, yaitu
Paguyuban Korban/Keluarga Korban Tragedi Berdarah 13-15 Mei
1998, Semanggi I (13 November 1998), Semanggi II (24 September
1999), dan Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TruK).
Apa ada tanggapan dari
Presiden ? #UsutTuntas

Peserta aksi kamisan bertemu dengan Presiden Joko Widodo


pada 31 Mei 2018. Pertemuan itu merupakan yang pertama
setelah 11 tahun mereka melakukan aksinya. Dalam pertemuan
itu, peserta Kamisan menuntut agar Jokowi mengakui kasus
pelanggaran HAM yang sudah masuk dalam tahap penyelidikan
di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Kasus itu, yakni seperti
tragedi Semanggi I, Semanggi II, Trisakti, penghilangan paksa 13-
15 Mei 98, Talangsari, Tanjung Priok, dan tragedi 1965. Setelah
adanya pengakuan dari negara, peserta aksi Kamisan juga
menuntut agar kasus-kasus itu segera diproses Kejaksaan Agung.
"Ini menjadi tanggung jawab Jaksa Agung untuk melanjutkan ke
tingkat penyidikan," kata ibu Sumarsih.
Siapa Sumarsih ?

Sumarsih adalah ibu Bernardinus Realino Norma Irmawan alias Wawan, korban
penembakan saat Tragedi Semanggi I pada 11-13 November 1998. Dua puluh tahun
sudah Sumarsih berjuang mencari keadilan bagi putranya. Bagi Sumarsih dan
keluarganya, Wawan belum mendapatkan keadilan meski presiden sudah berganti
sekian kali. Aksi Kamisan adalah salah satu saluran perjuangan Sumarsih untuk
menuntut penuntasan kasus pelanggaran HAM. Aksi tersebut dilakukan di seberang
Istana Merdeka setiap pekannya, sejak tahun 2007.
Aksi Kamisan tersebut diakui Sumarsih menjadi salah satu penyemangatnya untuk terus
memperjuangkan penuntasan kasus-kasus pelanggaran berat HAM.
Melalui aksi itu, ia memiliki kesempatan bertemu banyak orang yang
memberinya aliran semangat. Apalagi, ketika ada generasi muda yang
menghadiri aksi tersebut untuk belajar mengenai HAM. "Ketika mereka
datang mau belajar soal HAM itu bagus sekali, ini ada manfaatnya yang
saya lakukan," kata Sumarsih. Ia juga mengapresiasi masyarakat, media,
dan akademisi yang memberikan dukungan melalui berbagai bentuk.
Tragedi Semanggi

Tragedi Semanggi menunjuk kepada 2 kejadian protes masyarakat


terhadap pelaksanaan dan agenda Sidang istimewa MPR yang
mengakibatkan tewasnya warga sipil. Kejadian pertama dikenal dengan
Tragedi Semanggi I terjadi pada tanggal 11-13 November 1998, masa
pemerintah transisi Indonesia, yang menyebabkan tewasnya 17 warga
sipil. Kejadian kedua dikenal dengan Tragedi Semanggi II terjadi pada
24 September 1999 yang menyebabkan tewasnya seorang mahasiswa
dan 11 orang lainnya di seluruh Jakarta serta menyebabkan 217 korban
luka-luka.
Tragedi I
Pada bulan November 1998 pemerintahan transisi Indonesia mengadakan Sidang
Istimewa untuk menentukan Pemilu berikutnya dan membahas agenda-agenda
pemerintahan yang akan dilakukan. Mahasiswa bergolak kembali karena mereka tidak
mengakui pemerintahan Bacharuddin Jusuf Habibie dan tidak percaya dengan para
anggota DPR/MPR Orde Baru. Mereka juga mendesak untuk menyingkirkan militer dari
politik serta pembersihan pemerintahan dari orang-orang Orde Baru.
Masyarakat dan mahasiswa menolak Sidang Istimewa MPR 1998 dan juga menentang
dwifungsi ABRI/TNI. Sepanjang diadakannya Sidang Istimewa itu masyarakat bergabung
dengan mahasiswa setiap hari melakukan demonstrasi ke jalan-jalan di Jakarta dan
kota-kota besar lainnya di Indonesia. Peristiwa ini mendapat perhatian sangat besar dari
seluruh Indonesia dan dunia internasional Hampir seluruh sekolah dan universitas di
Jakarta, tempat diadakannya Sidang Istimewa tersebut, diliburkan untuk mencegah
mahasiswa berkumpul. Apapun yang dilakukan oleh mahasiswa mendapat perhatian
ekstra ketat dari pimpinan universitas masing-masing karena mereka di bawah tekanan
aparat yang tidak menghendaki aksi mahasiswa.
Tragedi II
Pada tanggal 24 September 1999, untuk yang kesekian kalinya tentara melakukan
tindak kekerasan kepada aksi-aksi mahasiswa.
Kala itu adanya pendesakan oleh pemerintahan transisi untuk mengeluarkan
Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU PKB) yang materinya
menurut banyak kalangan sangat memberikan keleluasaan kepada militer untuk
melakukan keadaan negara sesuai kepentingan militer. Oleh karena itulah
mahasiswa bergerak dalam jumlah besar untuk bersama-sama menentang
diberlakukannya UU PKB.
Mahasiswa dari Universitas Indonesia, Yun Hap meninggal dengan luka tembak di
depan Universitas Atma Jaya.
Tragedi Trisakti
Dua puluh satu tahun lalu, 12 Mei 1998, peristiwa mencekam
dan berdarah terjadi di kampus Universitas Trisakti, Grogol,
Jakarta Barat, saat mahasiswa melakukan demonstrasi
menentang pemerintahan Soeharto. Empat mahasiswa tewas
dalam penembakan terhadap peserta demonstrasi yang
melakukan aksi damai, yaitu Elang Mulia Lesmana, Hafidin
Royan, Heri Hartanto, dan Hendriawan Sie. Sementara itu,
dokumentasi Kontras menulis, korban luka mencapai 681
orang dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
Tragedi Trisakti menjadi simbol dan penanda perlawanan mahasiswa
terhadap pemerintahan Orde Baru. Setelah tragedi itu, perlawanan
mahasiswa dalam menuntut reformasi semakin besar, hingga akhirnya
memaksa Presiden Soeharto untuk mundur pada 21 Mei 1998. Kerusuhan
yang bernuansa rasial sebenarnya sempat terjadi sehari setelah Tragedi
Trisakti, yaitu pada 13-15 Mei 1998. Namun, kerusuhan itu tidak
mengalihkan perhatian mahasiswa untuk tetap bergerak dan menuntut
perubahan. Hingga kemudian, pada 18 Mei 1998 mahasiswa berhasil
menguasai kompleks gedung MPR/DPR, dan beberapa hari kemudian
menjatuhkan pemerintahan yang berkuasa selama 32 tahun.
Lalu, apa yang terjadi pada 12 Mei 1998
itu?

Demonstrasi mahasiswa di Universitas Trisakti merupakan rangkaian aksi


mahasiswa yang menuntut reformasi sejak awal 1998. Aksi mahasiswa
semakin terbuka dan berani sejak Soeharto diangkat menjadi presiden
untuk ketujuh kalinya dalam Sidang Umum MPR pada 10 Maret 1998.

Penembakan terhadap mahasiswa diketahui tidak hanya berasal dari aparat


keamanan yang berada di hadapan peserta demonstrasi. Dalam berbagai
dokumentasi televisi, terlihat juga tembakan yang dilakukan dari atas fly
over Grogol dan jembatan penyeberangan. Aparat keamanan tidak hanya
menembak dengan menggunakan peluru karet. Pihak kampus pun
menemukan adanya tembakan yang terarah, dengan menggunakan peluru
tajam.
Misteri penembak.

Dikutip dari buku Mahasiswa dalam Pusaran Reformasi 1998, Kisah yang Tak
Terungkap (2016) yang ditulis Rosidi Rizkiandi, ahli kedokteran forensik dr
Abdul Mun'im Idries mengatakan bahwa hasil visum memang
memperlihatkan serpihan peluru kaliber 5,56 mm di tubuh Hery Hertanto.
Peluru itu biasanya digunakan senjata laras panjang jenis Styer atau SS-1. Saat
itu, senjata Styer digunakan oleh satuan Brimob atau Kopassus. Hasil otopsi
Tim Pencari Fakta ABRI juga mengungkap hasil yang sama. Hal senada juga
didapat dari uji balistik di Forensic Technology Inc di Montreal, Kanada.
Namun, Kapolri saat itu, Jenderal Pol Dibyo Widodo membantah anak
buahnya menggunakan peluru tajam. Kapolda Metro Jaya Hamami Nata juga
menyatakan bahwa polisi hanya menggunakan tongkat pemukul, peluru
kosong, peluru karet, dan gas air mata.
Persidangan terhadap enam terdakwa beberapa tahun kemudian
juga tidak dapat mengungkap siapa penembak mahasiswa yang
menggunakan peluru tajam dan motifnya. Enam terdakwa hanya
dituduh dengan sengaja tidak menaati perintah atasan. Misteri
penembakan masih menyelimuti sejarah kelam itu. Akan tetapi,
empat mahasiswa yang tewas dalam Tragedi 12 Mei 1998 tetap
dikenang sebagai pahlawan reformasi.
Contoh Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia :

1. Insiden di Talang Sari Lampung Timur 7 Februari 1989


2. Peristiwa Pembantaian GAM di ACeh di tahun 90an
3. Peristiwa Pembantaian Petani di Mesuji Sumatera Selatan pada Tahun 1997
4. Insiden Demo Mahasiswa Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998
5. Insiden Semanggi 1 dan 2 pada tanggal 13 November 1998 dan 24
Septembber 1999
6. Insiden tewasnya Aktifis HAM Munir pada tanggal 7 September 2004
7. Insiden tewasnya Marsinah aktifis wanita Nganjuk pada tanggal 4 Mei 1993
8. Peristiwa penculikan aktifis pro Demokrasi pada tahun 1997 dan 1998
9. Tragedi BOM Bali pada tahun 2002 yang dilakukan oleh kelompok teroris
asal Indonesia
10.Konflik Suku Dayak dan Madura di Sampit pada tahun 2001
11. Tragedi perang suku di Poso Sulawesi tengah pada tahun 1998 – 2000
Contoh kasus pelanggaran HAM di Indonesia yang masih
menjadi misteri sampai saat ini karena belum diketahui
dalangnya adalah kerusuhan Mei 98. Situasi yang sangat
mencekam tidak hanya terjadi di Ibu Kota saja, ditempat lain
pun terjadi penjarahan dan kekerasan. Peristiwa tersebut
termasuk dalam kasus pelanggaran HAM yang cukup berat.
Secara umum pelanggaran hak asasi manusia berat
dikelompokkan menjadi dua, diantaranya.
Jenis-jenis Pelanggaran HAM Berat :

• Pelanggaran terhadap manusia


Sudah banyak kasus pelanggaran HAM di Indonesia
yang terjadi saat ini. Kasus pelanggaran HAM berat
yang dialami oleh manusia seperti pembunuhan,
penyiksaan, pemerkosaan, perbudakan, dan lain
sebagainya. Segala bentuk kekerasan yang berakibat
pada terancamnya nyawa seseorang atau bahkan
menghilangkannya termasuk dalam kelas berat.
• Pelanggaran HAM Genosida
kasus pelanggaran HAM Genosida bisa dilakukan oleh
seseorang atau kelompok tertentu dengan tujuan untuk
menghancurkan atau memusnahkan kelompok lain dengan
jalan kekerasan. Penyebab dari munculnya kasus ini adalah
perbedaan pandangan baik tentang agama, sosial, atau bahkan
karena perebutan wilayah kekuasaan. Bentuk kekerasan yang
dilakukan bisa dengan pembunuhan, kekerasan fiisk, hingga
pencegahan lahirnya generasi baru. Pemusnahan massal ini
sering terjadi saat zaman perang.
THANK YOU
FOR
ATTENTION

Anda mungkin juga menyukai