Anda di halaman 1dari 2

Setelah masa kemerdekaan Indonesia yang dikenal dengan pemerintahan periode demokrasi

liberal dimana terus berlangsung dinamika politik yang mempengaruhi produk hukum. Periode
ini bermula saat Jepang menjanjikan kemerdekaan Indonesia dengan mempersiapkan dasar
negara dan rancangan undang-undang terlebih dahulu melalui BPUPKI. Hasil tersebut
disahkan dilanjutkan oleh PPKI untuk merumuskan pembukaan dan barang tubuh UUD tetapi
mengalami revisi pada 18 Agustus 1945 setelah proklamasi. Para masa awal terjadi
kebingungan sistem pemerintahan dimana pasal 4 (1) menunjukan pemerintahan presidensiil
dan pasal parlementer untuk itu diundangkan pasal 1 (2) Indonesia sebagai negara berlandaskan
Demokrasi. Namun dalam penerapanya masih belum sempurna karena diawal masa hanya ada
presiden sehingga di sahkan KNIP sebagai kekuasaan legislatif dan mengesahkan GBHN dan
BP-KNIP. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan sistem kabinet dari presidensiil ke
parlementer yang ikut menggeser konfigurasi politik kearah pluralis atau liberal yang
ditunjukkan sistem multipartai dan mencerminkan watak Demokrasi. Hingga tahun 1947
terjadi 3x pergantian kabinet yaitu sjahrir I, sjahrir II, dan sjahrir III serta kabinet amir
Sjarifuddin yang juga jatuh.
Kedatangan Belanda memecah belah Indonesia menjadi negara serikat dengan berdasarkan
asas Federasi sehingga diganti nama jadi Republik Indonesia Serikat. Negara ini menganut
sistem parlementer Pasal 118 yang kekuasaan berdaulat pada pemerintah bersama DPR dan
Senat. Oleh karena tidak sesuai aspirasi masyarakat negara Federasi RIS menggabungkan diri
dengan RI di Yogyakarta dan membuat piagam persetujuan untuk kembali ke negara Kesatuan
dengan membuat rancangan UUDS dan pada 15 Agustus 1950 mulai berlaku dibawah kabinet
wilopo. Dimulailah era Demokrasi liberal sesuai sistem parlementer dan berorientasi para
prularitas masyarakat. Dalam UUDS 1950 ditujukan sementara sebab ada lembaga yang
ditugaskan menyusun UUD tetap. Pada periode ini 1945-1950 dikatakan bahwa Demokrasi
liberal yang dilakukan mengganggu kestabilan politik dan pemerintahan sebab terlalu besarnya
peran legislatif. Pemerintah kewalahan karena jumlah partai terlalu banyak terlebih terus
menerus diserang oleh pers.
Selama periode Demokrasi liberal melahirkan produk hukum yang responsif. Seperti
implementasi hukum pemilu yang mencerminkan Demokrasi perwakilan dengan sistem
multiparpol dan sebuah lembaga pemilu untuk penyelenggaraannya. Tetapi pemerintah dan
parlemen terus mengulur untuk membuat UU pemilu karena enggan kehilangan kekuasaan.
Hingga terjadi peristiwa perlawanan ABRI 17 Oktober 1952 dan peran pers yang semakin
menyudutkan untuk mendesak pembuatan UU pemilu. Akhirnya pada kabinet wilopo UU
tersebut disahkan dimana didalamnya mencakup electrokal law dan electrocal process yang
cukup kuat sehingga pemerintah tidak dapat berbuat interpretasi. Untuk pertama kali pemilu
tahun 1955 berjalan dengan baik yaitu penggunaan hak pilih dan hak dipilih sesuai dengan hak
asasi serta dilaksanakan dengan sebebas-bebasnya, dilindungi oleh penguasa yang adil dan
rules of game yang dihormati seluruh golongan. Merespon keinginan pemerintah menerapkan
prinsip Demokrasi pemerintah menberikan otonom secara desentralisasi dengan tujuan
mewujudkan prinsip kebebasan dalam memenuhi kepentingan sehingga dapat pelayanan
sebaik-baiknya. Meskipun pembagian kekuasaan ini secara vertikal tetapi hubungan pusat dan
daerah terorganisir dengan baik yaitu pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab.
Adapun segi hukum agraria dituntut melakukan penyesuaian dengan kondisi bangsa Indonesia
yg dilakukan dalam 2 langkah yaitu pengundangan secara parsial dan membentuk panitia untuk
merumuskan peraturan agraria yang berlaku secara nasional.

Anda mungkin juga menyukai