Anda di halaman 1dari 2

Periode Demokrasi Terpimpin bermula dengan keluarnya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli

1959 (menurut Mahfud MD sah pada tanggal 22 Juli 1959 berdasarkan prinsip keselamatan
rakyat) sebagai bentuk penolakan terhadap pemberlakuan politik partai-partai yang digunakan
sebagai dalih pemerintahan otoriter melalui musyarah mufakat yang dipimpin oleh Soekarno
selaku presiden dalam dewan perwakilan DPAS. Kesimpulan disini diambil karena presiden
memegang kekuasaan paling kuat setelah pembubaran parlemen diantara kekuasaan politik
lainnya yaitu PKI dan angkatan darat. Kemunculan dekrit diawali dengan keadaan kritis politik
dan instabilitas pemerintahan sebab konstituante (pemilu desembar 1955) belum menetapkan
UUD baru menggantikan UUDS 1950 sehingga dua kelompok (gol islam dan pacasila) bersiteru
mengusulkan dasar negara dan kedua suara golongan tidak ada yang mencapai 2/3 yang hadir
dalam rapat. Hal itu menyebabkan kondisi politik dan pemerintahan tidak stabil terlebih kala itu
Indonesia menganut demokrasi liberal dan diperparah oleh aspirasi masyarakat yang beredar bebas
di media massa. Oleh karena konstituante tidak menunjukan hasil maka presiden Soekarno
mengeluarkan dekrit presiden dengan tiga diktum yaitu untuk membubarkan konstituante,
memberlakukan UUD 1945, dan merencanakan pembentukan MPRS dan DPAS. Pemberlakuan
ini didukung kuat oleh PKI dan mendapat penolakan kuat dari berbagai daerah dan berbagai
parpol. Bahkan bentuk otoriter tercermin saat DPR dibubarkan melalui vonis Penpres No 3 tahun
1960 karena tidak menyetujui RAPBN 1960, jadi dapat disimpulkan bahwa pembubaran tersebut
sebagai indikasi bentuk inkonstitusional bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 dari
diturunkannya Penpres untuk menghentikan pelaksanaan tugas DPR. Menggantikan peran DPR
dibuatlah DPR-GR meskipun kedudukannya lemah karena anggota dewan dipilih oleh soekarno
karena mendukung keputusannya, banyak penpres dan peperpu, dan terlebih karena parpol lemah.
Pelemahan ini juga terlihat dari adanya sikap anti pers oleh pemerintah dan didukung oleh PKI
dan TNI terutama oleh AD yang memegang wewenang melalui SK. Meski semakin tahun tindakan
anti pers menurun karena korporasi pers yang akan ditiadakan juga semakin berkurang bahkan
dalam jangka waktu 1956-1960 terlebih pers yang diterima pemerintah adalah pers yang setuju
dengan politik demokrasi terpimpin. Selain itu tidak ada perlindungan untuk pers dengan dalih
harus mengikuti tujuan demokrasi terpimpin dengan memberitakan atau mendoktrinisasi Manipol
dan USDEK. Peran pemerintah merupakan manifestasi keinginan Soekarno karena kekuasaan
eksekutif dipegag kuat oleh Presiden dalam bentuk DPA yang diketua oleh soekarno sleaku
lembaga yang berperan dalam pengambilan keputusan sehingga peran pemerintah lebih kuat. Jadi
pada periode ini kondisi politik dipengaruhi oleh 3 kekuatan politik dengan peranan besar oleh
presiden, oleh karenanya melahirkan karakter produk hukum yang otoriter yang dapat dilihat
dalam hukum pemilu, hukum pemda, dan hukum agraria. Pada periode ini tidak ada kelanjutan
untuk ruu pemilu bahkan DPR yang lahir dari hasil pemilu 1955 ditiadakan dan diganti dengan
DPR-GR. Hingga akhir kepemimpinan soekarno di periode Demokrasi Terpmpin tidak
terlaksanakan pemilu padahal merupakan salah satu seruan berdasarkan pidato Nawaksara. Hal ini
mengisyaratkan agar kekuasaan dapat ditentukan oleh presiden melalui perwakilan dewan DPR-
GR ditambah lagi pada kala itu ada perubahan UU Pemda yang dengan alasan bahwa aturan
terdahulu bersendikan demokrasi liberal dan harus diganti ke demokrasi kekeluargaan. Terlebih
karena diprakasai oleh tindakan para perwakilan daerah menuntut perluasan kekuasaan,
pembaharuan wilayah, dan banyaknya timbul mosi dan revolusi daerah sehingga menimbulkan
efek disintegritas. Karena sikap terlalu bebas maka pengaturan daerah di atur peraturan baru yang
lebih terpusat dimana kepala daerah diusulkan oleh DPR dan disahkan oleh presiden, selain itu
penguatan ini dilihat dari pengawasan pemerintah pusat terhadap daeraj lebih kuat dimana
penyelesaian sengketa diselesaikan oleh instansi yang lebih tinggi dan bukan dalam pengadilan,
Dengan ini maka pemerintah pusat yaitu presiden dapat berwenang atas pemerintah daerah.
Adapun dari pemerintahan yang otoriter melahirkan hukum agraria yang memberikan hak
menguasai oleh negara dimana rancangan peraturan telah direncanakan pada periode sebelumnya.
Kelahiran UUPA menghapus hukum lama yang sangat eksploitatif dan tidak adil sekaligus
memberikan hukum adat kedudukan istimewa dengan begitu menghapus dualisme hukum.
Meskipun hukum adat yang diambil telah mengikuti batas-batas yaang ada dalam UUPA
sedangkan UUPA mengkristalisasi asas-asas hukum adat sehingga dapat diterima. Adanya
pemberlakuan hak menguasai oleh negara menjadi indikator pemerintahan yang otoriter meskipun
berdasarkan pada prinsip fungsi sosial. Selain itu UUPA yang digunakan untuk menghapus hukum
lama ia harus me-konversikan hak hak lama ke hak-hak baru sebagai bentuk konsekuensi
penghapusan dualistis hukum agraria.

Anda mungkin juga menyukai