Anda di halaman 1dari 20

ANALISIS PROSES PEMERIKSAAN PERKARA

BERDASARKAN UNDANG – UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 DAN


SUBSTANSINYA

Tugas ini disusun untuk memenuhi prasyarat mata kuliah Alternatif Penyelesaian
Sengketa

Oleh :

Begya Aurora Muhamad Rifai


C100160178
C

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2019
1. Pengertian
Arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa disepakati antara
pihak yang bersengketa disampaikan kepada satu atau lebih arbiter yang
mengeluarkan penghargaan. Dengan ini maka ada sebuah alternatif
penyelesaian sengketa (ADR) Mekanisme karena memungkinkan para
pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka di luar pengadilan Negara
yaitu, tanpa litigasi atau non litigasi
Di antara metode alternatif penyelesaian sengketa, arbitrase
didefinisikan sebagai yurisdiksi berarti dari penyelesaian sengketa karena
kuasa yang diberikan kepada arbiter untuk memutuskan kasus dan
mengeluarkan penghargaan. Berbeda dari mediasi dan negosiasi, pihak
tidak memiliki mengatakan pada solusi ditemukan oleh pengadilan
arbitrase, yang dikenakan pada mereka dengan cara yang final dan
mengikat.
Ciri utama dari arbitrase adalah sifat konsensual nya. Sebuah
perselisihan dapat diselesaikan dengan arbiter hanya jika kedua belah
pihak telah sepakat untuk ini. perjanjian para pihak biasanya mengambil
bentuk klausul arbitrase dalam kontrak, sebelum terjadinya sengketa.
Setelah sengketa telah muncul, para pihak dapat setuju untuk
menyerahkan sengketa khusus untuk pengadilan arbitrase.

2. Jenis Arbitrase
Arbitrase mungkin domestik atau internasional. Biasanya,
arbitrase yang internasional ketika pihak dari kebangsaan yang berbeda
dan / atau ketika kepentingan perdagangan internasional yang
dipertaruhkan. Definisi ini dapat bervariasi tergantung pada hukum yang
mengatur perjanjian para pihak untuk menengahi. Ada berbagai jenis
arbitrase tergantung pada materi pelajaran dalam sengketa, sebagai
contoh komersial, konstruksi, investor-Negara atau arbitrase investasi
(ISDS), dll.
Proses arbitrase dapat dikategorikan sebagai arbitrase
institusionaldan arbitrase ad-hoc. Kebanyakan proses arbitrase
yang dikelola oleh lembaga arbitrase, termasuk ICC, SCC, ICSID,
UNCITRAL (PCA), LCIA, SIAC, HKIAC, DIAC, SELAI, ICDR,
ADA (Crcrja) dan
lain.

3. Aturan Hukum Proses Pemeriksaan Arbitrase


Pada dasarnya Undang-Undang memberika kebebasan kepada
para pihak untuk menentukan sendiri acara dan proses arbitrase yang
akan digunakan dalam pemeriksaan perkara, pilihan para pihak terhadap
proses beracara pemeriksaan perkara arbitrase harus dinyatakan secara
tegas dan tertulis dalam suatu perjanjian arbitrase dengan syarat
sepanjang hal tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan UU No 30
Tahun 1999.
Cara mengadakan Arbitrase berdasarkan Pasal 8 ayat (1) UU No 30 Tahun
1999 Pemohon menyampaikan pemberitahuan kepada termohon untuk
berarbitrase, pemberitahuan itu dapat dilakukan melalui surat tercatat,
telegram, Email, buku ekspedisi
Cara Mengadakan Arbitrase berdasarkan Pasal 8 ayat (2):
a. Nama dan alamat pihak yang berperkara.
b. Klausula dalam perjanjian arbitrase.
c. Perjanjian tentang masalah yang menjadi sengketa.
d. Dasar tuntutan dan jumlah yang dituntut.
e. Cara penyelesaian yang dikehendaki para pihak.
f. Perjanjian yang disepakati oleh para pihak tentang jumlah
arbiter.

4. Pemeriksaan Perkara Dilakukan Secara Tertutup


Pemeriksaan arbitrase harus dilakukan secara tertutup tanpa ada
pengecualian hal ini terdapat dalam pasal 27 UU No 30 Tahun 1999
ditetntukan bahwa semua pemeriksaan perkara oleh arbiter atau majelis
arbitrase dilakukan secara tertutup. Hal ini dimaksudkan untuk lebih
menegaskan sifat kerahasiaan, penyelesaian melalui arbitrase sifat
kerahasiaan ini cenderung menjadi pilihan utama bagi kalangan
usahawan yang tidak menginginkan mesyarakat umum mengetahui
adanya perselisihan atau sengketa yang dialami oleh usahawan tersebut
dengan pihak lain yang merupakan mitra usahanya.

5. Keterlibatan Para Pihak dalam Proses Persidangan


a. Para pihak yang bersengketa (termohon dan pemohon)
b. Ada kuasa hukum, pemeriksaan perkara arbitrase boleh diwakili oleh
kuasa hukum. Pasal 29 ayat (2) UU No 30 Tahun 1999 “kepada para
pihak yang berperkara diberikan kesempatan untuk menunjuk kuasanya
sebagai wakil dimuka pengadilan baik secara lisan maupun tertulis yang
bersifat khusus.
c. Namun pemberian kuasa ini bersifat fakultatif (artinya tidak harus
penyelesaian sengketa arbitrase diwakili oleh kuasa hukum)
d. Keterlibatan pihak ketiga dalam proses pemeriksaan perkara.
e. Dalam proses pemeriksaan perkara arbitrase dimungkinkan adanya
keterlibatan pihak ketiga yang disebut Intervensi.
Intervensi ada 2 yaitu vooging dan Tussencomst.

1. Vooging : Ikut sertanya pihak ketiga karena ditarik oleh salah satu
pihak, biasanya yang menarik.
2. Tussencomst : Keinginan pihak ketiga karena mempunyai
kepentingan terhadap pemeriksaan perkara tersebut.
Menurut pasal 30 UU No 30 Tahun 1999 pihak ketiga diluar
perjanjian arbitrase dapat turut serta dan menggabungkan diri dalam proses
penyelesaian sengketa melalui arbitrase dengan syarat :
1. Terdapat unsur kepentingan yang terkait dengan sengketa yang
bersangkutan.
2. Keikutsertaan pihak ketiga disepakati oleh para pihak yang
berperkara.
3. Keikutsertaan pihak ketiga disetujui oleh arbiter atau majelis
arbitrase yang bersangkutan.

6. Putusan

Putusan ada terdapat dua macam yaitu putusan sela (Profesional) dan
putusan akhir :

1. Putusan sela
Putusan sela dapat diambil sebelum menjatuhkan putusan akhi, hal ini
bertujuan untuk ketertiban pemeriksaan perkara yang meliputi :
a. Untuk menetapkan sita jaminan
b. Memerintahkan kepada pihak ketiga untuk menitipkan barang-
barang milik debitur atau tergugat.
c. Memerintahkan pihak ketiga atau tergugat untuk menjual barang
yang sudah rusak.

2. Putusan akhir

Adalah putusan yang bersifat menentukan pencabutan dan perubahan surat


permohonan atau surat tuntutan,
Pasal 47 UU No 30 Tahun 1999 disebutkan bahwa pemohon arbitrase dapat
mencabut atau merubah surat permohonan arbitrase atau menambah surat
tuntutan melalui arbitrase.
Pencabutan dan perubahan tuntutan ini hanya akan dilakukan sebelum
adanya jawaban dari pihak termohon atau pencabutan dan perubahan tuntutan
dilakukan dengan persetujuan termohon jika sudah ada jawaban dari termohon.
Ketentuan ini bertujuan untuk melindungi kepentingan termohon agar tidak
dirugikan sebagai akibat dicabutnya atau dirubahnya surat permohonan
tersebut. Perubahan dan pencabutan tuntutan arbitrase tersebut diperkenankan
untuk mengubah atau mencabut isi dan dasar hukum tuntutan, oleh karena itu
arbiter atau majelis arbiter berhak untuk menentukan batas batas perubahan atau
pencabutan tuntutan arbitrase sepanjang tidak merugikan pihak termohon
arbitrase.

7. Proses Pemeriksaan Perkara melalui Arbitrase


1. Penyampaian surat tuntutan oleh pemohon dan jawaban dari
termohon pada arbitrase ad hoc.Proses arbitrase diawali dengan
penyampaian surat tuntutan oleh pemohon kepada termohon.
Penetapan ini tercantum dalam pasal 38 UU No 30 Tahun 1999
bahwa dalam jangka waktu yang telah ditentukan oleh arbiter atau
majelis arbitrase pemohon harus menyampaikan surat tuntutannya
kepada arbiter atau majelis arbitrase.

Surat tuntutan tersebuat harus diajukan secara tertulis dan berisi antara lain
:

a. Identitas para pihak (apabila menggunakan advokat, advokat itu


dicantumkan setelah nama pihak, apabila tergugat setelah
tergugat, penggugat setelah penggugat)
b. Uraian singkat tentang duduk perkara atau posita
c. Isi tuntutan harus jelas (petitum)

2. Segera setelah menerima surat tuntutan dari pihak pemohon arbiter


para pihak menggunakan arbiter tunggal atau ketua majelis arbitrase
akan menyampaikan satu salinan surat tuntutan kepada termohon
disertai dengan perintah bahwa termohon harus menanggapi dan
memberikan jawaban secara tertulis dalam waktu 14 hari sejak
diterimanya salinan surat tuntutan oleh termohon.Apabila termohon
tidak menyampaikan jawabannya, arbiter atau majelis arbitrase
wajib memanggil pemohon atau kuasanya untuk hadir dimuka
sidang arbitrase dalam jangka waktu 14 hari terhitung mulai
dikeluarkannya surat perintah pemanggilan, namun apabila termohn
menjawab surat tuntutan pemohon maka arbiter atau majelis
arbitrase wajib menyerahkan jawaban tersebut kepada pemohon,
ketua majelis arbitrase memerintahkan kepada kedua belah pihak
untuk menghadap dimuka sidang arbitrase yang ditetapkan paling
lama 14 hari terhitung sejak dkeluarkannya surat perintah
pemanggilan.

8. Proses ke BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia)

1. Proses arbitrase diawali dengan masukna surat permohonan dari


pemohon kesekretariat panitia arbitrase BANI, sekretariat ada 5
permohonan.
2. Sekretariat memeriksa surat permohonan diperiksa secara teliti
apakah dalam perjanjian antara pihak yang berperkara terdapat
klausula yang menyertakan secara tegas bahwa : BANI adalah
institusi yang ditunjuk oleh para pihak untuk menyelesaikan
perkara.Bila didalamnya klausula terdapat klausula yang
menyatakan bahwa BANI adalah institusi yang ditunjuk mak
pemohon diterima, namun apabila klausula tidak tercantum secara
tegas maka BANI adalah institusi yang ditunjuk maka permohonan
akan ditolak.\
3. Permohona tersebut oleh BANI diberikan bukti penerimaan dan
nomor pendaftaran yang kemudian diberi kwitansi dan nomor
pembayaran.
4. Setelah menerima surat permohonan tersebut ketua BANI
membentuk Majelis arbitrase atau apabila pemohon dan termohon
telah menetapkan pilihan majelis arbitrase maka kemudian ketua
BANI menerbitkan surat keputusan atas terbentuknya majelis
arbitrase tersebut dan juga ditetapkan besarnya biaya perkara yang
dibebankan kepada termohon dan pemohon dengan surat keputusan
pula, apabila para pihak telah membayar biaya perkara arbitrase
maka oleh BANI dibuatkan Undangan untuk menghadiri sidang
pertama pemeriksaan perkara kepada termohon dan pemohon.

9. Proses Jalannya Sidang Perkara

1). Pada sidang pertama dimulai maka ketua majelis arbitrase


menyatakan sidang dibuka dan tertutup untuk umum. Apabila
pemohon dan termohon hadir oleh ketua majelis arbitrase dibacakan
surat tuntutan pemohon. Ketua majelis arbitrase menawarkan
kepada para pihak suatu penyelesaian sacara damai atau
perdamaian, apabila para pihak menerima perdamaian maka
kemudian ketua majelis arbitrase membuat surat perdamaian yang
mempunyai kekuatan seperti kekuatan putusan arbiter atau hakim.
2). Pada sidang pemeriksaan pertama maka termohon harus
menyampaikan jawabannya dan jug adapat mengajukan tuntutan
balik (rekovensi) bersama dengan jawaban termohon.
3). Apabila dalam sidang pertama pemohon tidak hadir sedangkan
termohin hadir maka surat permohonan pemohon dinyatakan gugur,
sehingga tugas majelis arbitrase selesai.Apabila dalam sidang
pertama termohon tidak hadir tanpa alasan yang sah maka majelis
arbitrase memanggil termohon sekali lagi dan apabila termohon
tidak hadir juga diberi waktu 10 hari, maka majelis menjatuhkan
putusan verstek kecuali jika tuntutan pemohon tidak beralasan.
4). Namun apabila pada sidang tersebut pemohon dan termohon hadir
maka termohon harus menyampaikan jawabannya dan gugat balik
apabila ada. Dalam jawaban termohon dapat menyampaikan hak
ingkar jika menurut termohon memepunyai keyakinan bahwa
arbiter tidak memenuhi syarat-syarat untuk menjadi arbiter,dengan
UU No 30 Tahun 1999.
5). Apabila termohon dapat membuktikan tuntutan ingkar tersebut
maka arbiter yang bersangkutan dapat diganti.
6). Selanjutnya dimana pada saat itu pemohon diminta untuk
memasukkan jawaban pada permohonan dan rekopensi jika ada
(Replik) dan pada sidang selanjutnya termohon dapat menanggapi
replik dari pemohon (Duplik).
7). Dalam jawab-jinawab dibutuhkan pembuktian. Penggugat memberi
bukti sedangkan tergugat memberi bantahan. Arbiter membuat
kesimpulan. Arbiter membuat putusan yang disetujui para pihak.
8). Setelah putusan arbitrase disetujui para pihak.
10. Cara Membuat Surat Kuasa

1). Dalam membuat surat kuasa arbitrase sama dengan membuat


sirat kuasa kepengadilan negeri.
2). Yang penting dalam pembuatan surat kuasa yaitu :

a. Nomor surat kuasa itu dibuat.


b. Identitas penerima dan pemberi kuasa.
c. Perkara apa yang terjadi.
d. Sejauh mana pemberi kuasa membrika kuasa kepada
penerima kuasa. Dalam soal ada hak subtitusi hak untuk
melimpahkan apa wewenangnya kepada kuasa hukum lain
tidak? Jika ada dicantumkan, jika tidak maka tidak perlu
ditulis.
e. TTD.
f. Ingat terlebih dulu membuat surat kuasa dari pada membuat
surat permohonan.
3). Surat kuasa apabila lebih dari 3 bulan maka tidak dapat dipakai
atau diberlakukan lagi.

11. Pendapat dan Putusan Arbitrase

1). Setelah arbiter atau majelis arbitrase selesai memeriksa perkara


kemudian menjatuhkan putusan guna mengakhiri sengketa
disamping memberikan putusan arbiter atau majelis arbitrase dapat
pula memberikan pendapat mengenai suatu persoalan yang
berkaitan dengan perjanjian.
2). Dengan demikian terdapat 2 macam produk yang dibuat oleh arbiter
atau majelis arbitrase yaitu pendapat dan putusan arbitrase.
3). Putusan arbitrase merupakan suatu putusan yang diberikan oleh
arbitrase ad hoc maupun lembaga arbitrase atas suatu perbedaan
pendapat, perselisihan paham maupun persengketaan mengenai
suatu poko persoalan yang lahir dari suatu perjanjian yaitu dasar-
dasar yang memuat klausula arbitrase yang diajukan pada arbitrase
ad hoc maupun lembaga arbitrase untuk diputuskan oleh arbiter.
Tanpa adanya suatu sengketa lembaga arbitrase dapat menerima
permohonan yang diajukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian
untuk memberikan suatu pendapat yang mengikat mengenai suatu
hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian dalam hal belum
timbulnya sengketa. Dengan diberikannya pendapat oleh lembaga
arbitrase tersebut maka kedua belah pihak terikat dalam suatu
perjanjian atau kontrak, bila diantara pra pihak bertindak
bertentangan dengan pendapat yang diberika oleh arbiter atau
majelis arbitrase maka pihak yang bersengketa dianggap melanggar
perjanjian (wanprestasi), pad aintinya putusan maupun pendapat
arbitrase berisi pernyataan yang diucapkan arbiter atau majelis
arbitrase yang berbentuk tertulis. Pernyataan arbiter atau majelis
arbitrase kan berbentuk putusan arbitrase apabila didalamnya
terdapat unsur sengketa
sedangkan kalau pernyataan arbiter atau majelis arbitrase dituangakn dalam
bentuk pendapat bila isinya tidak terdapat sengketa atau dengan kata lain didalam
putusan arbitrase terdapat sengketa diantara para pihak terhadap suatu perjanjian
sebaliknya didalam pendapat arbitrase tidak terdapat sengketa.
4). Dasar putusan arbitrase
Seorang arbiter atau majelis arbitrase dapat mengambil keputusan
berdasarkan dengan ketentuan hukum.Ketentuan hukum yang dimaksud adalah
ketentuan hukum yang ada dan peraturan hukum yang berhubungan dengan
bidang yang disengketakan dengan memperhatikan nilai-nilai hukum yang
hidup dalam kehidupan dalam kegiatan ekonomi, sosial, politik, agama dan
moral sehingga menghasilkan putusan yang adil. Dengan adanya ketentuan ini
arbiter harus memberikan putusan berdasarkan hukum dan tidak boleh
menyimpang dengan ketentuan hukum yang bersifat memaksa , oleh karena
itu jika para pihak mengadakan suatu perjanjian yang berisikan ketentuan
bahwa arbiter dalam memutus perkara wajib mendasarkan ketentuan-ketentuan
hukum maka arbiter tidak dapat mengesampingkan dari peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Hakim PN membuat, menentukan dan menetapkan
putusan sedangkan arbiter membuat putusan saja yang menentukan adalah para
pihak dan ditetapkan di PN.
5). Berdasarkan keadilan dan kepatutan
Pada dasarnya arbiter dalam memutus perkara wajib memutus perkara
berdasarkan ketentuan hukum, hal ini berarti bahwa arbiter tidak dapat
memutus berdasarkan keadilan dan kepatutan, putusan arbitrase yang
didasarkan pada keadilan dan kepatutan hanya dapat dilakukan arbiter apabila
ada pihak yang dalam perjanjiannya dengan tegas menyebutkan bahwa para
pihak memberikan kekuasaan atau kewenangan kepada arbiter untuk
memberikan putusan, sebaliknya dalam hal arbiter tidak diberi kuasa dan
kewenangan untuk memberikan keputusan berdasarkan keadilan dan kepatutan
maka arbiter hanya dapat memberi putusan berdasarkan kaidah huku materiil
sebagaimana yang dilakukan oleh hakim dalam rangka memberkan putusan
arbitrase yang berdasarkan pada keadilan dan kepatutan maka arbiter
mempunyai hak untuk mengesampingkan hukum fakultatif ( hukum yang tidak
memaksa dan dalam hal tertentu hukum yang bersifat memaksa harus
diterapkan.

12. Pelaksaan Putusan

1. Pelaksanaan putusan arbitrase Nasional (bersifat Final tapi


mengikat)
Pelaksanan putusan arbitrase nasional harus dilaksanakan oleh para pihak
secara sukarela, jika para pihak tidak bersedia melakukan pelaksanaan putusan
arbitrase nasional secara sukarela maka dapat dilaksanakan putusan itu secara
paksa (eksekusi).
2. Supaya putusan arbitrase dapat dilaksanakan maka putusan arbitrase
tersebut harus didaftarkan di kepaniteraan PN untuk mendapatkan
penetapan hukum dari PN, se
kekuatan dan kepastian hukum. Putusan arbitrase nasional bersifat mandiri,
final dan mengikat. Ketua PN berhak menolak permohonan pelaksanaan
eksekusi terhadap putusan arbitrase nasional dengan alasan-alasan sebagai
berikut :
a. Putusan dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase yang tidak
berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara
arbitrase yang bersangkutan.
b. Putusan dijatuhkan melebihi batas kewenangan arbiter atau
majelis arbitrase yang diberikan oleh para pihak yang berperkara.
c. Putusan yang dijatuhkan ternyata tidak memenuhi syarat
penyelesaian sengketa melalui arbitrase yaitu :
(a). Sengketa yang diputus bukan sengketa
mengenai bidang perdagangan.
(b). Sengketa yang diputus bukan mengenai hak yang
menurut hukum dan peraturan perundangan dikuasai
sepihak oleh yang berperkara.
(c). Sengketa yang diputus ternyata termasuk sengketa
yang menurut Perundangan tidak dapat diadakan
perdamaian.
3. Putusan yang dijatuhkan ternyata bertentangan dengan keadilan dan
ketertiban umum.
4. PN bisa mengeksekusi jika diminta oleh pemohon dan dapat
mengeksekusi apabila sudah dipertimbangkan matang-matang oleh
PN.

Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional berdasarkan UU No 30 Tahun


1999 Ada beberapa prinsip, yaitu :
1. Prinsip Final dan binding

Putusan arbitrase Internasional yang diakui dan dapat dilaksanakan di


Indonesia dianggap sebagai putusan arbitrase Internasional yang berkekuatan
hukum tetap dari putusan arbitrase Internasional di Indonesia.Di dalam pasal 68
ayat (1) UU No 30 Tahun 1999 menentukan bahwa terhadap putusan ketua PN
Jakarta Pusat yang mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase Internasional
tidak dapat diajukan banding dan kasasi dengan demikian setiap anggota
konpensi berkewajiban mengakui putusan arbitrase Internasional sebagai
putusan yang mengikat (Binding) dan mempunyai kekuatan eksekusi terhadap
para pihak.Dengan adanya penegasan dan pengakuan putusan arbitrase
internasional yang diajukan atas permintaan ekskutornya kepada pengadilan
sama halnya dengan keputusan yang mempunyai hukum tetap.Dengan demikian
tidak ada alasan lagi untuk menolak atau menyatakan pemberian eksekutornya
tidak dapat diterima kecuali putusan tersebut melanggar asas-asas yang
ditentukan.Disamping itu dengan adanya penegasan ini pengadilan tidak
berwenang untuk mempermasalahkan materi putusan, tugas pokok pengadilan
dalam menjalankan fungsi ekskutornya hanya dapat meneliti
apakah ada yang dilanggar terhadap asas-asas atas asas-asas yang dilarang
maupun pelanggaran atas aturan formal yang bersifat fundamental apabila tidak
ada dia harus memberi eksekutor-eksekutor, namun bila ada dia harus menolak
pemberian eksekusi.

2. Asas Resiprositas (Timbal Balik)

Pengadilan dalam memberikan eksekutornya harus mendasarkan pada


prinsip resiprositas (tidak semua putusan arbitrase Internasional dapat diakui
dan dilaksanakan di wilayah hukum RI).Negara Indonesia hanya akan
mengakui dan mengeksekusi putusan arbitrase internasional bila negara yang
menjatuhkan putusan arbitrase Internasional tersebut juga mengakui dan
melaksanakan putusan arbitrase di Indonesia. Dengan demikian dipersyaratkan
adanya ikatan secara bilateral maupun multilateral dengan Indonesia mengenai
pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase Internasional ( Pasal 66 UU N0
30 tahun 1999)

Pengakuan putusan arbitrase Internasional sepanjang Hukum dan HAM.


Putusan arbitrase Internasional yang diakui dan dapat dilaksanakan di Indonesia
selain harus memenuhi syarat juga harus putusan yang memuat hukum yang
menurut hukum termasuk dalam kasus ruang lingkup hukum dagang atau
perdagangan atau ekonomi sepanjang putusan arbitrase Internasional tersebut
termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan dan harus dapat dilaksanakan
di Indonesia (pasal 66 UU No 30 Tahun 1999). Putusan arbitrase Intetnasional
hanya akan dieksekusi di Indonesia jika eksekutornya telah diponir (didaftarkan
di PN Jakarta Pusat) setelah putusan itu mempunyai kekuatan hukum tetap dan
setelah arbiter atau kuasanya menyerahkan dokumen yang diperuntukkan, untuk
itu adapun dokumen yang akan diponer meliputi :

a. Asli atau salinan otentik penulisan putusan arbitrase Internasional


disertai naskah terjemahan dalam bahasa Indonesia.
b. Asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar putusan arbitrase
disertai terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
c. Surat keterangan dari perwakilan diplomasi RI dinegara-negara dengan
putusan arbitrase internasional ditetapkan yang menyatakan bahwa
negara termohon terikat perjanjian (baik secara bilateral maupun
multilateral) dengan negara RI perihal pengakuan dan pelaksanaan
arbitrase Internasional.

Permohonan pelaksanaan arbitrase internasional disampaikan kepada PN


Jakarta Pusat disertai dengan dokumen yang telah dideponer, maka atas dasar
permohonan tersebut PN Jakarta Pusat mengeluarkan putusan yang isinya
menerima atau menolak untuk mengakui dan mengeksekusi suatu putusan
arbitrase Internasional.
Apabila putusan tersebut di pengadilan dan pengadilan akan mengakui dan
melaksanakan putusan arbitrase Internasional tersebut sehingga putusan arbitrase
Internasional tersebut bersifat final yang kemudian tidak dapat diajukan banding
dan kasasi,
namun jika ketua PN Jakarta Pusat menolak mengakui putusan arbitrase
Internasional maka terhadapnya dapat diupayakan kasasi ke MA, setelah kasasi
ini MA mempertimbangkan untuk menerima atau menolak kasasi putusan yang
telah diajukan oleh karena itu putusan MA bersifat final karenanya tidak dapat
diupayakan perlawanan apapun.

13. Kelebihan Dan Kelemahan Arbitrase

Pada umumnya lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan


dengan lembaga peradilan umum, yaitu sebagai berikut.

1. Sidang arbitrase adalah tertutup untuk umum, sehingga kerahasiaan


sengketa para pihak terjamin.
2. Kelambatan yang diakibatkan oleh hal prosedural dan administratif
dapat dihindari.
3. Para pihak yang bersengketa dapat memilih arbiter yang menurut
keyakinannya mempunyai pengalaman, pengetahuan, jujur dan adil,
serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang
disengketakan.
4. Sikap arbiter atau majelis arbiter dalam menangani perkara arbitrase
didasarkan pada sikap yang mengusahakan win-win solution
terhadap para pihak yang bersengketa.
5. Pilihan umumuntuk menyelesaikan sengketa serta proses dan
tempat penyelenggaraan arbitrase dapat ditentukan oleh para pihak.
6. Putusan arbitrase mengikatpara pihak (final and binding) dan
dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana ataupun langsung
dapat dilaksanakan.
7. Suatu perjanjian arbitrase (klausul arbitrase) tidak menjadi batal
karena berakhir atau batalnya perjanjian pokok.
8. Didalam proses arbitrase, arbiter atau majelis arbitrase harus
mengutamakan perdamaian diantara para pihak yang bersengketa.

Selain kelebihan-kelebihan tersebut diatas, terdapat juga kelemahan-


kelemahandari arbitrase, yaitu sebagai berikut.

1. Putusan arbitrase ditentukan oleh kemampuan teknis arbiter untuk


memberikan keputusan yang memuaskan untuk melakukan rasa
keadilan para pihak.
2. Apabila pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan
arbitrase, maka diperlukan perintah dari pengadilan untuk
melakukan eksekusi atas putusan arbitrase tersebut.
3. Pada praktiknya pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase
asing masih menjadi hal yang sulit.
4. Pada umumnya pihak-pihak yang bersengketa di arbitrase adalah
perusahaan- perusahaan besar, oleh karena itu untuk
mempertemukan kehendak para pihak yang bersengketa dan
membawanya ke badan arbitrase tidaklah mudah.
14. Mekanisme Pembatalan Putusan Arbitrase

Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 70 UU Arbitrase, para pihak dapat


mengajukan pembatalan apabila putusan arbitrase diduga mengandung unsur-
unsur antara lain:

1. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan setelah


putusan dijatuhkan, diakui palsu dan/atau dinyatakan palsu;
2. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat
menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
3. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah
satu pihakdalam pemeriksaan sengketa.

Permohonan pembatalan diajukan secara tertulis dalam waktu tiga puluh


(30) 9 hari kepada pengadilan wilayah hukum di mana keputusan arbitrase
diambil, hal ini didasarkan pada syarat putusan arbitrase asing (internasional),
yang apabila permohonan dikabulkan, maka dalam waktu 30 hari ketua
pengadilan negeri akan menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya
atau sebagian putusan arbitrase.Untuk memberikan kepastian hukum kepada
pihak lawan, berdasarkan ketentuan Pasal 72 ayat (4) UU Arbitrase dinyatakan
bahwa terhadap putusan pembatalan dari pengadilan negeri dapat
diajukanpermohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam
tingkat pertama dan terakhir.

Akan tetapi UU Arbitrase tidak mengatur tentang ketentuan mengenai batas


waktu pengajuan banding dan memori banding, maka hal ini harus didasarkan
kepada ketentuan hukum acara yang berlaku, yang menyatakan bahwa pengajuan
memori banding oleh pemohon banding wajib disampaikan dalam tenggang
waktu 14 hari setelah permohonan banding dicatat dalam buku daftar register.
Sejak permohonan banding diterima paling lama tiga puluhhari kemudian sudah
harus diputus.Untuk putusan arbitrase internasional, seperti disebutkan didalam
pasal 70, pasal 71, pasal 72 UU Arbitrase, hanya memberi wewenang kepada
pengadilan Indonesia untuk melakukan pembatalan putusan arbitrase yang dibuat
diIndonesia.Hal ini dapat diartikan bahwa ketentuan-ketentuan pembatalan
tersebut bukan sebagai dasar bagi pengadilan Indonesia untuk melakukan
pembatalan putusan arbitrase internasional.Hal ini terlihat dari penggunaan kata
putusan arbitrase internasional dalam pasal 65 sampai dengan pasal 69 UU
Arbitrase yang dibedakan dengan kata putusan arbitrase seperti tercantum dalam
pasal 70 UU Arbitrase.

Jadi pengadilan Negeri tidak dapat membatalkan putusan arbitrase


internasional, sedangkan putusan arbitrase yang dibuat di dalam negeri hanya
dapat dibatalkan dengan melihat persyaratan limitative dalam pasal 70 UU
Arbitrase.Majelis hakim pengadilan negeri Jakarta pusat berpendapat bahwa
secara prinsip hanya Pasal VI jo. V (1) (e)Konvensi New York 1958 hanya
merujuk pada satu otoritas yang berwenang (one competent authority).Hanya ada
satu pengadilan yang berwenang dalam membatalkan putusan arbitrase
internasional, yaitu pengadilan di mana putusan arbitrase di buat.

Anda mungkin juga menyukai