Anda di halaman 1dari 5

PENEGAKAN HUKUM YANG MENJAMIN KEADILAN, KEPASTIAN

HUKUM DAN KEMANFAATAN (STUDI KASUS : KASUS MBAH


MINAH)
14.25

LBH PERJUANGAN

Pendahuluan
Masalah penegakan hukum merupakan persoalan yang dihadapi oleh
setiap masyarakat di dalam mengatasi konflik. Walaupun setiap masyarakat
memiliki corak dengan karakteristik yang berbeda-beda, tetapi masyarakat
mempunyai aturan tersendiri dalam penegakan hukumnya demi mencapai
tujuan yang sama yaitu terciptanya kedamaian, ketertiban dan kesejahteraan
masyarakatnya. Demi tercapainya ketertiban dan kedamaian hukum, maka
hukum berfungsi memberikan jaminan kepada seseorang agar kepentingannya
diperhatikan oleh orang lain. Ketika kepentingan tersebut maka akan timbul
suatu konflik. Dalam Negara hukum, konflik baik secara individual maupun sosial
harus diselesaikan melalui jalan hukum. Hukum harus bisa melindungi setiap
kepentingan yang dilanggar, sehingga hukum berarti aturan main yang tidak
hanya bersifat formal, tetapi lebih dari itu mengandung nilai-nilai keadilan.
Hukum adalah kontrol sosial dari pemerintah (law is government social control),
sebagai aturan dan proses sosial yang mencoba mendorong perilaku baik yang
berguna atau mencegah perilaku buruk. Oleh karenanya hukum itu harus
dilaksanakan dan ditegakan tanpa membeda-bedakan atau memberlakukan
hukum tidak secara diskriminatif. Pada dasarnya hukum itu tidak berlaku secara
diskriminatif kecuali oknum aparat atau penegak hukum dalam kenyataan sosial
telah memberlakukan hukum itu secara diskriminatif. Akhirnya penegakan
hukum tidak mencerminkan adanya kepastian hukum dan rasa keadilan dalam
masyrakat.
Pasal 1 UUD 1945 jelas mengatakan bahwa Negara Indonesia adalah
Negara hukum, sehingga konsekuensi yang timbul menyebabkan Indonesia
memiliki aturan-aturan tertulis yang digunakan untuk mengatur dan
menciptakan ketertiban bagi masyarakatnya. Aturan-aturan yang dirumuskan
kedalam bentuk peraturan dalam penegakannya diharapkan dapat memberikan
keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan bagi masyarakat.
Indonesia saat ini sedang mengalami krisis dalam penegakan hukum (law
enforcement). Fenomena tersebut dapat dilihat ketika dalam penegakan hukum,
kepastian hukum lebih diutamakan daripada keadilan atau kemanfaatan hukum
itu sendiri. Salah satu contoh kasus yang bisa ditelaah yaitu kasus Mbah Minah
yang mencuri 3 biji kakao dari perkebunan milik PT. Rumpun Sari Antan 4.

Penegakan hukum berdasarkan nilai keadilan, kepastian hukum dan


kemanfaatan
Gustav Radbruch mengatakan bahwa hukum yang baik adalah ketika
hukum tersebut memuat nilai keadilan, kepastian hukum dan kegunaan.
Sekalipun ketiganya merupakan nilai dasar hukum, namun masing-masing nilai
mempunyai tuntutan yang berbeda satu dengan yang lainnya, sehingga
ketiganya mempunyai potensi untuk saling bertentangan dan menyebabkan
adanya ketegangan antara ketiga nilai tersebut (Spannungsverhaltnis).

Hukum sebagai pengemban nilai keadilan menurut Radbruch menjadi


ukuran bagi adil tidak adilnya tata hukum. Tidak hanya itu, nilai keadilan juga
menjadi dasar dari hukum sebagai hukum. Dengan demikian, keadilan memiliki
sifat normatif sekaligus konstitutif bagi hukum. Keadilan menjadi landasan moral
hukum dan sekaligus tolok ukur sistem hukum positif. Kepada keadilan-lah
hukum positif berpangkal. Sedangkan konstitutif, karena keadilan harus menjadi
unsur mutlak bagi hukum sebagai hukum. Tanpa keadilan, sebuah aturan tidak
pantas menjadi hukum.
Apabila, dalam penegakan hukum cenderung pada nilai kepastian hukum
atau dari sudut peraturannya, maka sebagai nilai ia telah menggeser nilai
keadilan dan kegunaan. Hal ini dikarenakan, di dalam kepastian hukum yang
terpenting adalah peraturan itu sendiri sesuai dengan apa yang dirumuskan.
Begitu juga ketika nilai kegunaan lebih diutamakan, maka nilai kegunaan akan
menggeser nilai kepastian hukum maupun nilai keadilan karena yang penting
bagi nilai kegunaan adalah kenyataan apakah hukum tersebut berguna bagi
masyarakat. Demikian juga, ketika yang diperhatikan hanya nilai keadilan, maka
akan menggeser nilai kepastian hukum dan kegunaan. Sehingga, dalam
penegakan hukum harus ada keseimbangan antara ketiga nilai tersebut.
Ketiga nilai hukum tersebut tidak dapat diterapkan secara seimbang oleh
aparat penegak hukum ketika mereka menangani kasus Mbah Minah yang
dituduh mencuri 3 biji kakao dari perkebunan milik PT. Rumpun Sari Antan 4. Di
dalam persidangannya, Minah menuturkan bahwa tiga biji kakao tersebut untuk
menambah bibit tanaman kakao di kebunnya di Dusun Sidoharjo, Desa
Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas. Minah mengaku
sudah menanam 200 bibit pohon kakao di kebunnya, tetapi ia merasa jumlah itu
masih kurang. Namun, belum sempat buah tersebut dibawa pulang, seorang
mandor perkebunan, Sutarno, menegurnya. Minah lantas meminta maaf dan
meminta Sutarno untuk membawa ketiga buah kakao tersebut. Alih-alih
permintaan maafnya diterima, manajemen PT RSA 4 malah melaporkan Minah ke
Kepolisian Sektor Ajibarang.
Kalau melihat kasus Minah, dapat disimpulkan bahwa aparat penegak
hukum mengutamakan kepastian hukum dalam penegakan hukumnya tanpa
memperhatikan rasa keadilan. Penegakan hukum yang diartikan oleh para aparat
penegak hukum yang menangani kasus Minah adalah Penegakan hukum secara
tekstual yaitu mengartikan perbuatan Minah sebagai pencurian. Padahal kalau
mau dihitung, harga buah kakao tersebut lebih murah dibandingkan biaya
perkara yang harus dikeluarkan untuk menangani kasus tersebut. Selain itu,
motif Minah adalah potret dari kemiskinan. Kalau ada yang mau dihukum,
seharusnya Negara karena tidak dapat menjalankan fungsinya yaitu
mensejahterakan rakyat.
Minah divonis hukuman percobaan penjara 1 bulan 15 hari. Hakim sebagai
pemutus perkara mencoba menegakan hukum secara tekstual dimana ketika
seseorang melanggar hukum maka dia harus mendapatkan hukuman tanpa
memperhatikan apa yang menjadi dasar si pelanggar hukum. Menurut van
Apeldoorn, hakim harus menyesuaikan (waarderen) undang-undang dengan halhal yang konkrit yang terjadi di masyarakat dan hakim dapat menambah
(aanvullen) undang-undang apabila perlu. Hakim harus menyesuaikan undangundang dengan hal yang konkrit, karena undang-undang tidak meliputi segala
kejadian yang timbul dalam masyarakat. Untuk itu, diperlukan hakim yang
progresif dalam memutus suatu perkara yaitu dengan memperhatikan
keberlakuan yuridis, sosiologis dan filosofis.

Berdasarkan pendapat Radbruch, dapat dikatakan bahwa seorang hakim


dapat mengabaikan hukum tertulis (statutarylaw/ state law) apabila hukum
tertulis tersebut ternyata dalam praktiknya tidak memenuhi rasa keadilan
sebagaimana diharapkan oleh masyarakat pencari keadilan. Namun, wajah
peradilan Indonesia berangkat dari kasus Minah hanya menitikberatkan pada
aspek dogmatika atau statutory law bahkan seringkali hakim hanya bertugas
untuk menjadi corong undang-undang (la bouche de la loi) yang berakibat pada
penciptaan keadilan formal belaka bahkan seringkali menemui kebuntuan
legalitas formal.
Penegakan hukum yang berkeadilan seharusnya sarat dengan etis dan
moral. Penegakan hukum seharusnya dapat memberi manfaat atau berdaya
guna (utility) bagi masyarakat. Namun disamping itu, masyarakat juga
mengharapkan adanya penegakan hukum untuk mencapai keadilan. Kendatipun
demikian, terkadang apa yang dianggap berguna belum tentu adil, begitu juga
sebaliknya, apa yang dirasakan asil, belum tentu berguna bagi masyarakat.
Namun perlu diperhatikan bahwa di dalam menegakan hukum akan lebih baik
diutamakan nilai keadilan. Hal ini sesuai dengan penegakan hukum progresif
menurut Satjipto Rahardjo.
Satjipto Rahardjo mengatakan penegakan hukum merupakan satu usaha
untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep menjadi kenyataan. Penegakan
hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum
menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum adalah pikiran-pikiran badan
pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum.
Oleh karena itu, tujuan penegakan hukum yang paling utama adalah untuk
menjamin adanya keadilan tanpa mengabaikan aspek kemanfaatan dan
kepastian hukum bagi masyarakat. Gustav Radbruch menyebut keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum sebagai tiang penyanggah penegakan
hukum. Ketiga-tiganya diperlukan untuk sampai pada pengertian dan
implementasi hukum yang memadai. Khusus tujuan keadilan atau finalitas yaitu
menekankan dan menentukan isi hukum, sebab isi hukum memang sesuai
dengan tujuan yang hendak dicapai. Namun Satjipto Rahardjo mengingatkan
bahwa masalah kepastian hukum bukan urusan undang-undang semata,
melainkan lebih merupakan urusan perilaku manusia. Kepastian hukum itu
menjadi masalah besar sejak hukum itu dituliskan. Sebelum itu, selama ribuan
tahun, apabila kita berbicara mengenai hukum, maka kita lebih banyak berbicara
mengenai keadilan.
Menurut Satjipto Rahardjo, pemikiran hukum perlu kembali pada filosofi
dasarnya yaitu hukum untuk manusia. Dengan filosofi tersebut, maka manusia
menjadi penentu dan titik orientasi hukum. Hukum bertugas melayani manusia,
bukan sebaliknya. Oleh karena itu, hukum itu bukan merupakan institusi yang
lepas dari kepentingan manusia.
Seperti halnya kasus Minah tersebut, untuk mewujudkan keadilan bagi
korban dan pelaku, adalah baik ketika para penegak hukum berpikir dan
bertindak secara progresif yaitu tidak menerapkan peraturan secara tekstual
tetapi perlu menerobos aturan (rule breaking) karena pada akhirnya hukum itu
bukan teks demi tercapainya keadilan yang diidamkan oleh masyarakat.
Hukum yang progresif berangkat dari asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk
manusia, bukan sebaliknya. Hukum bukan sebagai institusi yang bersifat mutlak
dan final, melainkan sebagai institusi bermoral, bernurani dan karena itu sangat
ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia. Hukum

adalah suatu institusi yang bertujuan untuk mengantarkan manusia kepada


kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia. Kemanusiaan
dan keadilan menjadi tujuan dari segalanya dalam kita berkehidupan hukum.
Maka kalimat hukum untuk manusia bermakna juga hukum untuk keadilan.
Ini berarti, bahwa kemanusiaan dan keadilan ada di atas hukum. Intinya adalah
penekanan pada penegakan hukum berkeadilan yang di Indonesia yaitu
terciptanya kesejahteraan masyarakat atau yang sering disebut dengan
masyarakat yang adil dan makmur. Oleh karena itu, pemerintah yang
mengemban tugas negara dalam membuat undang-undang harus sungguhsungguh memperhatikan 2 (dua) hal yang telah dijelaskan di atas yaitu hukum
hendaknya membuat sejahtera dan bahagia masyarakat serta hukum yang
diciptakan harus berpihak kepada masyarakat dan itulah yang disebut hukum
untuk manusia.
Menurut Suteki, Masalah yang seringkali muncul adalah tidak dipenuhinya nilai
keadilan, terutama rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hakim tidak
dengan sungguh-sungguh menggali nilai-nilai yang hidup di masyarakat (the
living law) seperti yang telah diamanatkan oleh UU Kekuasaan Kehakiman
dengan alasan terkait dengan aturan hukum formal yang sebenarnya kaku dan
seringkali melenceng dari rasa keadilan masyarakat. Di sini penegakan hukum
telah mengalami kebuntuan legalitas formalnya untuk menghadirkan keadilan
substantif. Ada yang perlu dilakukan untuk menembus kebuntuan legalitas
formal itu, yaitu dengan melakukan non of enforcement of law yaitu kebijakan
tidak menegakan hukum.
Kebijakan untuk tidak memberlakukan hukum dapat dilakukan dalam situasi
sebagai berikut :
1.

Kalau hukum tidak akrab dengan realitas social, tidak dekat dengan rasa
keadilan rakyat, tidak dimengerti karena bahasa hukum yang sulit dimengerti.
Bahasa hukum terbatas jumlahnya dan rata-rata berasal dari golongan penguasa
dan orang-orang yang sulit dimengerti oleh rakyat ini kerap kali dianggap
merupakan suatu kesombongan kekuasaan (the arrogance of power).

2.

Bilamana peraturan pelaksanaan merupakan sesuatu yang mutlak harus ada


pada suatu produk hukum tertentu. Dalam keadaan demikian ini, tanpa
peraturan pelaksanaan, maka produk hukum secara operasional akan berhenti
fungsinya dan hanya dapat menjadi bahan diskusi.

3.

Bila peraturan perundang-undangan bertentangan dengan Pancasila sebagai


Kaidah Penuntun.
Menurut penulis, kebijakan tidak menegakan hukum seharusnya bias
dilakukan oleh para aparat penegak hukum ketika menangani kasus minah demi
terwujudnya keadilan substansial dan bukan hanya keadilan formal yang hanya
mementingkan nilai kepastian hukum.

Penutup
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa krisis yang terjadi
dalam penegakan hukum khususnya dalam terciptanya keadilan disebabkan
paradigma aparatur penegak hukum masih dengan paradigma lama yaitu
semata-mata mengedepankan aspek kepastian hukum dengan mengabaikan
aspek keadilan dan kemanfaatan. Artinya aparatur penegak hukum terutama

yang berhubungan langsung dengan pengadilan, lebih memperhatikan peraturan


dan prosedur, sehingga keadilan menjadi terpinggirkan.
Aparatur
penegak
hukum
khususnya
hakim
terpaku
dengan
paradigma rule making yang hanya menerapkan undang-undang semata. Kurang
berani untuk menerapkan paradigma rule breaking yaitu penerapan hukum yang
melompat ke aspek nilai-nilai keadilan dan terutama kemanusiaan.
Paradigma rule breaking ini sering disebut penegakan hukum progresif. Aparatur
penegak hukum belum sepenuhnya memahami bahwa tujuan penegakan hukum
yang berkeadilan adalah hukum untuk terwujudnya kesejahteraan dan
kebahagiaan manusia. Dimana keadilan tersebut bukan hanya keadilan formal
tetapi keadilan substansial.

DAFTAR PUSTAKA
Rahardjo.Satjipto, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Yogyakarta :
Gentapress, 2008.

Suteki, Kebijakan Tidak Menegakkan Hukum (Non Enforcement of Law) Demi


Pemuliaan Keadilan Substantif dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar, Semarang :
Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2010

Tanya.Bernard, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi,
Yogyakarta : Genta Publishing, 2010

www.google.com

Marsinta Uly
Anggota LBH Perjuangan

Anda mungkin juga menyukai