Anda di halaman 1dari 3

Perspektif Pemerintahan

Sabtu, 07 Januari 2017


Relasi DPRD Dengan Pemerintah Daerah Dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah
Oleh. Muhadam Labolo

Pasca revisi UU 32/2004 menjadi UU 23/014 Tentang Pemerintahan Daerah,


eksistensi DPRD menjadi lebih terang benderang sekalipun pada sisi lain tetap mengandung
misteri. Kejelasan eksistensi DPRD tersebut setidaknya terlihat dalam pasal 2 UU No.
23/2014 dimana kedudukan DPRD adalah pejabat daerah. Selama ini satu-satunya entitas
yang tidak jelas jenis kelaminnya adalah DPRD, apakah pejabat negara atau pejabat
daerah. Konsekuensi sebagai pejabat daerah inilah yang menjadi dasar mengapa
diperlukan revisi terhadap PP 24/2007 dan turunan revisinya (37 dan 21/2008) Tentang
Kedudukan Protokol dan Keuangan Pimpinan dan Anggota Dewan. Sayangnya hingga
memasuki awal tahun 2017 sejak janji Presiden SBY dan Jokowi, peraturan tersebut tak
kunjung selesai disesuaikan. Lamanya penyesuaian tersebut mengakibatkan DPRD sulit
untuk diperlakukan sebagai pejabat daerah dibanding Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah yang selama ini statusnya jelas sebagai Pejabat Negara. Persoalan yang selalu
muncul adalah apakah perlakuan terhadap DPRD setaraf dengan pejabat eselon tertentu di
level pemerintah provinsi dan kabupaten/kota ataukah perlakuan terhadap DPRD hanya
pada soal keprotokoleran dan keuangan semata. Pada soal protokoler misalnya, apakah
perlakuan terhadap DPRD sama persis dengan pejabat daerah sekelas pimpinan tinggi
pratama, madya atau utama. Atau, karena UU Nomor 5 Tahun 2014 Tentang ASN tak
mengenal istilah eselonisasi sebagaimana UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah, apakah perlakuan terhadap DPRD setaraf dengan eselon dua atau eselon satu di
level provinsi. Dalam konteks keuangan bagi pimpinan dan anggota DPRD, apakah standar
gaji dan tunjangan sama juga dengan pejabat daerah yang disetarakan dengan itu (eselon
atau pejabat tinggi tertentu). Masalahnya, bila kedudukan DPRD disamakan dengan
pejabat pemerintah daerah, maka perhitungan gaji pokok DPRD semestinya tidak lagi
didasarkan pada gaji pokok kepala daerah sebagai pejabat negara, tetapi didasarkan pada
gaji pokok pejabat pemerintah daerah. Jika hal itu disepakati maka kemungkinan gaji pokok
DPRD jauh lebih tinggi dibanding standar gaji pokok kepala daerah dan wakil kepala daerah
yang hingga saat ini juga belum mengalami perubahan. Apabila PP terbaru menjawab
semua itu maka Pemda segera menyesuaikan penganggaran yang sesuai bagi aktivitas
DPRD di tahun 2017.
Jika kita bandingkan dengan UU 22/1999 Tentang Pemerintahan Daerah, posisi
DPRD seakan terlepas dari pemerintah daerah. Pada UU ini kekuasaan Pemda mengalami
pergeseran ke DPRD (legislative strong). Pada UU 32/2014 kedua entitas tersebut tampak
mencari keseimbangan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Terlepas dari
itu, pertanyaan umum yang sering dilontarkan adalah bagaimanakah relasi DPRD dengan
pemerintah daerah pasca revisi undang-undang pemerintahan daerah? Marilah kita lihat
dinamika fungsi awal DPRD yaitu legislasi, keuangan dan pengawasan. Sejak putusan MK
terhadap sejumlah pasal pada UU 27/2009 DPRD dinilai bukan Badan Legislatif
sebagaimana DPR. Konsekuensi atas putusan itu maka fungsi legislasi DPRD dalam UU
tersebut dicabut. Kedudukan dan fungsi DPRD selanjutnya diatur lebih jelas lewat UU
No.23/2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Oleh karena DPRD bukan badan legislatif
maka DPRD tidak menjalankan fungsi legislasi (membuat undang-undang) tetapi melakukan
fungsi lain yang setaraf dengan itu yaitu membentuk peraturan daerah. Implikasinya alat
kelengkapan DPRD berubah dari Badan Legislasi (Baleg) menjadi Badan Pembentukan
Peraturan Daerah (Bapemperda). Jadi DPRD dalam hal ini bukanlah pembuat
undang-undang yang bersifat nasional sebagaimana DPR yang diatur dalam konstitusi
namun sebagai pembentuk peraturan daerah yang bersifat lokalistik dan berpedoman pada
undang-undang yang lebih tinggi. Tentang ketentuan teknis soal itu dapat dilihat pada
Permendagri No.80/2016 sebagai pengganti Permendagri No.1 Tahun 2014 Tentang
Pembentukan Produk Hukum Daerah.
Lalu sejauhmanakah fungsi DPRD dalam hal keuangan daerah. Putusan MK No.
35/PUU-XI/2013 terhadap sejumlah pasal pada UU No.27/2009 Tentang MD3 dan UU
Keuangan Negara, tampaknya pemerintah membatasi kewenangan DPR dalam
pembahasan anggaran hingga satuan tiga (fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja).
Terlepas bahwa putusan MK tersebut hanya ditujukan pada DPR, namun Surat Edaran
Sekretaris Kabinet di masa SBY No. SE-8/Seskab/VI/2014 tgl. 11 Juni 2014 dan SE
Mendagri No.902/3224/SJ tgl. 24 Juni 2014 point 1 huruf (a) menyebutkan bahwa
persetujuan DPR/DPRD terhadap APBN/APBD tidak mencakup pada pembahasan hingga
unit organisasi, fungsi dan program atau satuan tiga. Artinya putusan MK terhadap DPR
dianggap mutatis mutandis terhadap fungsi DPRD dalam hal keuangan di daerah.
Konsekuensi lebih jauh atas surat edaran tersebut berarti fungsi DPRD dalam hal keuangan
dibatasi hingga ke aspek jenis belanja yang bersifat operasional. Dalam hal ini DPRD lebih
pada aspek pembahasan strategi kebijakan dan cenderung dipaksa menyetujui
perencanaan teknis operasional yang di desain pemerintah daerah dalam bentuk program
dan kegiatan rutin.

Dalam konteks fungsi pengawasan DPRD tampak pula bahwa sebagai konsekuensi atas
posisi DPRD sebagai salah satu unsur penyelenggara pemerintahan daerah selain kepala
daerah maka sulit bagi DPRD melaksanakan fungsi pengawasan yang sesungguhnya
karena berada dalam satu kamar penyelenggaraan pemerintahan daerah (fused model).
Ditengah lemahnya fungsi pengawasan DPRD, konstruksi bikameral ditingkat lokal
semacam itu relatif menjamin stabilitas penyelenggaraan pemerintahan daerah karena
pertanggungjawaban kebijakan secara umum berada ditangan kedua institusi. Lalu
bagaimana relevansinya dengan perangkat daerah dibawahnya? Didalam UU No.23/2014
dan PP No.18/2016 Tentang Perangkat Daerah disebutkan bahwa perangkat daerah adalah
unsur pembantu kepala daerah dan DPRD dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan.
Memaknai batasan ini maka seluruh perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan merupakan unsur pembantu Kepala Daerah dan DPRD. Dapat dipahami
bahwa batasan ini muncul disebabkan DPRD maupun kepala daerah berada dalam satu
kamar dimana masing-masing adalah unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Dampak
lebih jauh terhadap batasan ini tentu saja dapat menyeret keikutsertaan DPRD dalam
menentukan tidak saja struktur organisasi perangkat daerah, demikian pula komposisi
personil yang layak atau tidak menjadi unsur pembantu keduanya. Tentu saja hal ini dapat
memicu potensi konflik baru antara DPRD dan Kepala Daerah. Mungkin strategi yang tepat
dalam menjaga harmoni kedepan adalah perlunya suatu desain perda inisiatif tentang Tata
Cara Pengangkatan Pejabat di Lingkungan Pemerintah Daerah sehingga keterlibatan DPRD
dan Kepala Daerah dalam menentukan para pembantunya dapat dikomunikasikan bersama
selain syarat lain yang telah ditentukan dalam Undang-Undang ASN dan Pemda. Dalam hal
fungsi pembentukan peraturan daerah perlunya di desain perda inisiatif tentang Tata Cara
Pembentukan Produk Hukum Dilingkungan Pemerintah Daerah sehingga semua usul
inisiatif DPRD maupun Pemda dapat dibahas dan disetujui bersama. Hal ini untuk
mencegah terciptanya masalah pembatalan/sabotase pembahasan dari salah satu unsur
penyelenggara pemerintahan daerah, termasuk upaya mengantisipasi hasil evaluasi
ranperda oleh entitas pemerintah yang lebih tinggi (provinsi dan pemerintah). Dalam banyak
kasus pasca evaluasi ditingkat yang lebih tinggi mendorong terjadinya konflik laten antara
DPRD dan Kepala Daerah akibat raibnya sejumlah program dan kegiatan dengan alasan
yang tidak jelas. Masing-masing bertahan dengan argumentasi yang tak memiliki dasar
apakah perlu duduk kembali antara Banggar dan TAPD ataukah cukup direvisi oleh
pemerintah daerah. Bila hasil evaluasi bersifat perbaikan redaksional mungkin tak perlu
melibatkan DPRD, namun bagaimana jika berkaitan dengan representasi DPRD di sejumlah
dapil yang selama ini telah diperjuangkan dengan sungguh-sungguh? Perda inisiatif
semacam itu menurut hemat saya dapat sekaligus mengatur sejauhmana keterlibatan
DPRD dalam hal penggunaan fungsi keuangan khususnya pembicaraan pada skala satuan
tiga yaitu program, kegiatan dan jenis belanja.
muhadam labolo di 19.43
Berbagi

Tidak ada komentar:


Posting Komentar


Beranda
Lihat versi web
Saya dan Sekitarnya,

muhadam labolo
Jakarta Selatan, DKI Jakarta, Indonesia
Muhadam Labolo, dilahirkan di Pagimana, Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah,
tanggal 5 Agustus 1972. Gelar Sarjana Pemerintahan diperoleh dari Institut Ilmu
Pemerintahan (IIP) Jurusan Politik Pemerintahan pada tahun 2001, setelah sebelumnya
menyelesaikan Program Diploma III di Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri
Jatinangor untuk derajat Ahli Madya Pemerintahan pada tahun 1995. Sedangkan Magister
Ilmu Pemerintahan diperoleh dari kerjasama Institut Ilmu Pemerintahan dengan Universitas
Padjajaran Bandung pada tahun 2005. Menyelesaikan Program Doktoral (2011) pada
universitas Padjadjaran Bandung. Dibidang organisasi kemahasiswaan pernah menjabat
sebagai Ketua Umum Senat Mahasiswa Institut Ilmu Pemerintahan.
Lihat profil lengkapku
Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai