Dalam konteks fungsi pengawasan DPRD tampak pula bahwa sebagai konsekuensi atas
posisi DPRD sebagai salah satu unsur penyelenggara pemerintahan daerah selain kepala
daerah maka sulit bagi DPRD melaksanakan fungsi pengawasan yang sesungguhnya
karena berada dalam satu kamar penyelenggaraan pemerintahan daerah (fused model).
Ditengah lemahnya fungsi pengawasan DPRD, konstruksi bikameral ditingkat lokal
semacam itu relatif menjamin stabilitas penyelenggaraan pemerintahan daerah karena
pertanggungjawaban kebijakan secara umum berada ditangan kedua institusi. Lalu
bagaimana relevansinya dengan perangkat daerah dibawahnya? Didalam UU No.23/2014
dan PP No.18/2016 Tentang Perangkat Daerah disebutkan bahwa perangkat daerah adalah
unsur pembantu kepala daerah dan DPRD dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan.
Memaknai batasan ini maka seluruh perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan merupakan unsur pembantu Kepala Daerah dan DPRD. Dapat dipahami
bahwa batasan ini muncul disebabkan DPRD maupun kepala daerah berada dalam satu
kamar dimana masing-masing adalah unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Dampak
lebih jauh terhadap batasan ini tentu saja dapat menyeret keikutsertaan DPRD dalam
menentukan tidak saja struktur organisasi perangkat daerah, demikian pula komposisi
personil yang layak atau tidak menjadi unsur pembantu keduanya. Tentu saja hal ini dapat
memicu potensi konflik baru antara DPRD dan Kepala Daerah. Mungkin strategi yang tepat
dalam menjaga harmoni kedepan adalah perlunya suatu desain perda inisiatif tentang Tata
Cara Pengangkatan Pejabat di Lingkungan Pemerintah Daerah sehingga keterlibatan DPRD
dan Kepala Daerah dalam menentukan para pembantunya dapat dikomunikasikan bersama
selain syarat lain yang telah ditentukan dalam Undang-Undang ASN dan Pemda. Dalam hal
fungsi pembentukan peraturan daerah perlunya di desain perda inisiatif tentang Tata Cara
Pembentukan Produk Hukum Dilingkungan Pemerintah Daerah sehingga semua usul
inisiatif DPRD maupun Pemda dapat dibahas dan disetujui bersama. Hal ini untuk
mencegah terciptanya masalah pembatalan/sabotase pembahasan dari salah satu unsur
penyelenggara pemerintahan daerah, termasuk upaya mengantisipasi hasil evaluasi
ranperda oleh entitas pemerintah yang lebih tinggi (provinsi dan pemerintah). Dalam banyak
kasus pasca evaluasi ditingkat yang lebih tinggi mendorong terjadinya konflik laten antara
DPRD dan Kepala Daerah akibat raibnya sejumlah program dan kegiatan dengan alasan
yang tidak jelas. Masing-masing bertahan dengan argumentasi yang tak memiliki dasar
apakah perlu duduk kembali antara Banggar dan TAPD ataukah cukup direvisi oleh
pemerintah daerah. Bila hasil evaluasi bersifat perbaikan redaksional mungkin tak perlu
melibatkan DPRD, namun bagaimana jika berkaitan dengan representasi DPRD di sejumlah
dapil yang selama ini telah diperjuangkan dengan sungguh-sungguh? Perda inisiatif
semacam itu menurut hemat saya dapat sekaligus mengatur sejauhmana keterlibatan
DPRD dalam hal penggunaan fungsi keuangan khususnya pembicaraan pada skala satuan
tiga yaitu program, kegiatan dan jenis belanja.
muhadam labolo di 19.43
Berbagi
muhadam labolo
Jakarta Selatan, DKI Jakarta, Indonesia
Muhadam Labolo, dilahirkan di Pagimana, Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah,
tanggal 5 Agustus 1972. Gelar Sarjana Pemerintahan diperoleh dari Institut Ilmu
Pemerintahan (IIP) Jurusan Politik Pemerintahan pada tahun 2001, setelah sebelumnya
menyelesaikan Program Diploma III di Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri
Jatinangor untuk derajat Ahli Madya Pemerintahan pada tahun 1995. Sedangkan Magister
Ilmu Pemerintahan diperoleh dari kerjasama Institut Ilmu Pemerintahan dengan Universitas
Padjajaran Bandung pada tahun 2005. Menyelesaikan Program Doktoral (2011) pada
universitas Padjadjaran Bandung. Dibidang organisasi kemahasiswaan pernah menjabat
sebagai Ketua Umum Senat Mahasiswa Institut Ilmu Pemerintahan.
Lihat profil lengkapku
Diberdayakan oleh Blogger.