Anda di halaman 1dari 9

Rabu, 10 Mei 2017

PERKEMBANGAN PENGATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD)

PERKEMBANGAN PENGATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH ( DPRD )

DI INDONESIA

Diajukan Sebagai Salah SatuTugas Mandiri


Pada Mata Kuliah Pemerintah Daerah

Dosen : Prof. Dr. Drs. Sadu Wasistono, M.Si


Dr. Drs. M.H. Arry Djauhary, M.Si

Disusun Oleh :
Nama : Ade Surahman
NPM : L23.016.0021

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN


UNIVERSITAS LANGLANGBUANA
BANDUNG

PERKEMBANGAN PENGATURAN
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD)

Pendahuluan
Sejak terjadinya reformasi pada tahun 1998, tonggak sejarah baru dalam perjalanan
ketatanegaraan Indonesia seolah dimulai dari awal. Mulai dari tahun 1999 hingga tahun
2002, UUD 1945 telah mengalami perubahan (amandemen) sebanyak empat kali. Dalam
kerangka amandemen UUD 1945 itu, bangsa kita telah mengadopsi prinsip-prinsip baru
sistem ketatanegaraan, yakni mulai dari prinsip pemisahan/pembagian kekuasaan, prinsip
checks and balances, hingga prinsip supremasi hukum dalam penyelesaian ‘konflik politik’.
Melalui amandemen UUD 1945 itu, lahirlah sejumlah lembaga-lembaga negara, baik yang
kewenangannya diberikan oleh konstitusi (constitutionally entrusted power) maupun yang
yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang (legislatively entrusted power).(
Ni’matul Huda: 2005:vii-viii).
Dalam hubungannya dengan pemerintahan di daerah, prinsip demokrasi tidak boleh
disederhanakan hanya berkaitan dengan pengambilan keputusan dan penyelenggaraan
pemerintahan yang melibatkan peran serta masyarakat. Demokrasi juga tidak sekadar
berbicara mengenai pembagian/pemisahan kekuasaan, baik antar lembaga-lembaga negara
di tingkat Pusat maupun antara Pusat dan Daerah, tetapi ada sejumlah hal penting untuk
diperhatikan, yakni (i) unsur-unsur dari kekuasaan, (ii) bahan baku pengambilan keputusan,
dan (iii) pola hubungan antara penguasa dan rakyat (Muhammad Fauzan, 2006:19).
Salah satu isu penting hasil demokrasi dalam pentas ketatanegaraan Indonesia ialah
lembaga legislatif daerah, yang dikenal dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Isu DPRD sangat urgen diperbincangkan, apalagi bila diletakkan dalam bingkai prinsip
checks and balances (Moh. Mahfud MD, 2007: 66) dan paradigma pembagian/pemisahan
kekuasaan. Untuk itu, tulisan ini akan membahas sejumlah isu terkait DPRD dalam
Perundang-undangan Pemerintahan Daerah dan Lembaga Legislatif Daerah, yakni (i)
perundang-undangan pemerintahan daerah dan lembaga legislatif daerah, (ii) kedudukan
DPRD, (iii) fungsi, tugas dan wewenang DPRD, (iv) keanggotaan DPRD, dan (v) alat
kelengkapan DPRD. Tulisan diakhiri dengan “penutup” yang menegaskan pokok pikiran
utama dan saran penting yang diajukan.
Perundang-undangan Pemerintahan Daerah dan Lembaga Legislatif Daerah UUD 1945
Hasil Amandemen memuat bab khusus tentang pemerintahan daerah, yakni Bab VI
(Pemerintahan Daerah) yang memiliki 3 (tiga) pasal, yaitu Pasal18, Pasal 18A, dan Pasal
18B. Ketiga pasal ini merupakan hasil amandemen kedua UUD 1945, yang disahkan pada
tahun 2000. Ketiga Pasal tersebut dijadikan landasan yuridis konstitusional bagi
perundang-undangan pemerintahan daerah dan lembaga legislatif daerah.
Sepanjang sejarah ketatanegaraan Indonesia, perihal lembaga perwakilan daerah yang
sering disebut DPRD merupakan salah satu aspek yang diatur di dalam
perundang-undangan yang mengatur pemerintahan daerah. Adapun perundang-undangan
dimaksud meliputi: (i) UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah
(selanjutnya disebut UU 18/1965), (ii) UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan di Daerah (selanjutnya disebut UU 5/1974), (iii) UU No. 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU 22/1999), (iv) UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU 32/2004), (v) PERPPU No. 3 Tahun
2005 tentang Perubahan atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(selanjutnya disebut PERPPU 3/2005), (vi) UU No. 8 Tahun 2005 tentang Penetapan
sebagai UU atas PERPPU No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas UU No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU 8/2005), dan (vii) UU No. 12
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (selanjutnya disebut UU 12/2008), dan (viii) UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU 23/2014), (ix) Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(selanjutnya disebut PERPPU 2/2014), (x) UU No. 9 / 2015 tentang Perubahan Kedua Atas
UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU 9/2015).
Di dalam UU 23/2014, pengaturan tentang DPRD dicantumkan dalam sejumlah pasal, yakni
Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 4, Pasal 1 angka 23, Pasal 37, Pasal 57, Pasal 79 ayat 1,
Pasal 80 ayat (1) , Pasal 81 ayat 1, Pasal 82, Pasal 83 ayat (2), Pasal 85, Pasal 94, Pasal
95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98 ayat (2), Pasal 99, Pasal 100, Pasal 101, Pasal 102, Pasal
103, Pasal 105, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, Pasal 109, Pasal 110, Pasal 111, Pasal
112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 208, Pasal 236, Pasal
239 ayat 2, 3, 4, 7), Pasal 240, Pasal 241 ayat (1), Pasal 242, Pasal 253, Pasal 261 ayat (4),
Pasal 388.
Patut dicatat bahwa PERPPU 2/2014 mengubah dua Pasal yaitu Pasal 101 ayat (1) huruf d
dihapus, Pasal 154 ayat (1) huruf d dihapus dan UU No. 9 / 2015 mengubah ketentuan ayat
(1) Pasal 63, Pasal 65 ayat 1 huruf f dihapus, Pasal 66 ayat 3 dihapus, Pasal 88 diubah,
Pasal 101 ayat (1), di antara huruf d dan huruf e, disisipkan huruf d1, Pasal 154 ayat (1), di
antara huruf d dan huruf e, disisipkan huruf d1. Dengan demikian, sejauh terkait DPRD
dalam UU 23/2014, yang tersentuh perubahan hanyalah Pasal 101 ayat (1) saja dan Pasal
154 ayat (1).
Sementara itu, serangkaian perundang-undangan yang secara khusus mengatur perihal
DPRD juga telah lahir sepanjang sejarah ketatanegaraan Indonesia. Adapun
perundang-undangan dimaksud mencakup: (i) UU No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR dan DPRD (selanjutnya disebut UU 16/1969), (ii) UU No. 5 Tahun
1975 tentang Perubahan UU No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR,
DPR dan DPRD (selanjutnya disebut UU 5/1975), (iii) UU No. 2 ahun 1985 tentang
Perubahan atas UU No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 1975 (selanjutnya disebut UU 2/1985),
(iv) UU No. 5 Tahun 1995 tentang Perubahan atas UU No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan
dan Kedudukan MPR, DPR sebagaimana telah beberapakali diubah, Terakhir dengan UU
No. 2 Tahun 1985 (selanjutnya disebut UU 5/1995), (v) UU No. 4 Tahun 1999 tentang
Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD (selanjutnya disebut UU 4/1999), (vi) UU
No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD
(selanjutnya disebut UU 22/2003), dan (vii) UU No. 27 Tahun 2009 tentang Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD (selanjutnya disebut UU 27/2009). UU
27/2009-melalui Pasal 407-mencabut keberlakuan UU 22/2003; dan UU terakhir ini
mencabut keberlakuan UU 4/1999; sedang UU 4/1999 ini mencabut keberlakuan UU
2/1985. UU No. 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Dengan demikian, yang kini berlaku hanyalah UU 17/2014.
Secara umum, pengaturan tentang DPRD terdapat dalam Bab V (DPRD Provinsi) yang
memuat Pasal 314 s/d Pasal 362 dan dalam Bab VI (DPRD Kabupaten/Kota) yang terdiri
atas Pasal 363 s/d Pasal 412. Diantara pasal-pasal ini, terdapat pasal yang telah dicabut
karena sudah diatur secara khusus di dalam UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah yakni Pasal 1 angka 4, Pasal 314 sampai dengan Pasal 412, Pasal 418 sampai
dengan Pasal 421. Pencabutan tersebut termaktub dalam Pasal 409 huruf d UU Pemda
2014 yang mencabut dan menyatakan tidak berlaku materi muatan UU MD3 yang khusus
mengatur mengenai DPRD, baik DPRD provinsi maupun DPRD kabupaten/kota. Dengan
demikian, sejauh terkait pembahasan DPRD, yang kini berlaku adalah UU 23/2014 tentang
Pemerintahan Daerah.
Kedudukan DPRD
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah
daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. (Pasal 1 angka 2, UU 23/2014).
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga
perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan
Daerah. (Pasal 1 angka 2, UU 23/2014).
Perangkat Daerah adalah unsur pembantu kepala daerah dan DPRD dalam
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. (Pasal 1 angka
23, UU 23/2014).
Kedudukan DPRD sebagai unsur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dilaksanakan
oleh DPRD dan kepala daerah. DPRD dan kepala daerah berkedudukan sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah yang diberi mandat rakyat untuk melaksanakan
Urusan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah. Dengan demikian maka DPRD dan
kepala daerah berkedudukan sebagai mitra sejajar yang mempunyai fungsi yang berbeda.
DPRD mempunyai fungsi pembentukan Perda, anggaran dan pengawasan, sedangkan
kepala daerah melaksanakan fungsi pelaksanaan atas Perda dan kebijakan Daerah. Dalam
mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah tersebut,
DPRD dan kepala daerah dibantu oleh Perangkat Daerah.
Sebagai konsekuensi posisi DPRD sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah
maka susunan, kedudukan, peran, hak, kewajiban, tugas, wewenang, dan fungsi DPRD
tidak diatur dalam beberapa undang-undang namun cukup diatur dalam Undang-Undang ini
secara keseluruhan guna memudahkan pengaturannya secara terintegrasi.
Perdebatan tentang isu kedudukan DPRD menyentuh pertanyaan mendasar, yakni apa
“jenis kelamin” DPRD; apakah DPRD didudukan secara tegas sebagai lembaga (badan)
legislatif sebagaimana dikenal dalam konsep trias politica ataukah diposisikan sebagai salah
satu unsur penyelenggara pemerintahan daerah (Ari Dwipayana, 2008:20).
Lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda
2014) yang menggantikan UU Nomor 32 Tahun 2004 membawa perubahan penting
terhadap fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), baik itu DPRD provinsi maupun
DPRD kabupaten/kota. DPRD yang sebelumnya melaksanakan fungsi legislasi, anggaran,
dan pengawasan kini berubah menjalankan fungsi pembentukan peraturan daerah (perda),
anggaran, dan pengawasan.
Titik fokus perubahan penting itu terletak pada perubahan fungsi legislasi menjadi fungsi
pembentukan perda. Pada tataran praktik perubahan itu mungkin tidak penting dan tidak
berimplikasi apa-apa karena sebelum diubah menjadi fungsi pembentukan perda pun
memang fungsi DPRD adalah membentuk perda bersama dengan kepala daerah.
(http://www.gresnews.com/berita/opini/90191-tinjauan-fungsi-dprd-paska-uu-pemda-2014/0/)
.
Penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi dan kabupaten/kota terdiri atas kepala
daerah dan DPRD dibantu oleh Perangkat Daerah. (Pasal 57 UU 23/2014). DPRD provinsi
terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan
umum. DPRD provinsi merupakan lembaga perwakilan rakyat Daerah provinsi yang
berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi. (Pasal 95 ayat
1 UU 23/2014).
Di dalam UU 23/2014, DPRD direposisi dari Badan Legislatif Daerah menjadi unsur
penyelenggara pemerintahan daerah. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 95 bahwa DPRD
merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pergeseran kedudukan DPRD dari Badan Legislatif
Daerah menjadi unsur penyelenggara pemerintahan daerah tentu didasarkan atas perspektif
dominan yang dianut para perumus UU 23/2014. Pertama, menurut para perumus UU
32/2004, dalam sistem negara kesatuan (unitarian state) tidak dikenal badan legislatif di
tingkat daerah; dan badan legsilatif hanya berada di tingkat nasional (pusat). Oleh karena
itu, dalam skema logika UU 23/2014, DPRD bukan lembaga legislatif daerah. Kedua,
karena DPRD bukan lembaga legislatif daerah, DPRD harus didudukkan sebagai salah satu
unsur penyelenggara pemerintahan daerah bersama-sama pemerintah daerah. Dengan
demikian, DPRD berada dalam ranah yang sama dengan pemerintah daerah dalam struktur
hubungan dengan pemerintah pusat. Dengan kata lain, DPRD berada dalam rezim
pemerintahan daerah.
Apa implikasi dari rumusan kedudukan DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan
daerah? Pertama, memposisikan DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan
ketimbang sebagai lembaga perwakilan rakyat membuat DPRD lebih kuat secara
institusional dari perspektif tata pemerintahan, tidak dari perspektif politik. Pada gilirannya,
DPRD diposisikan sebagai lembaga perwakilan politik yang terlibat dalam proses politik
pemerintahan. Kedua, kedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah
membuat posisi DPRD mengalami problem psiko-politis di hadapan pemerintah daerah
sehingga mekanisme check and balances tidak bisa berjalan dengan baik. Ketiga, selain
mengalami problem psiko-politis di hadapan kepala daerah, DPRD juga “lemah” secara
psiko-politis di hadapan pemerintah pusat. Kedudukan sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah membuat DPRD berada dalam struktur hierarkis rezim pemerintahan
daerah yang dipimpin oleh Presiden. Akibat bekerjanya struktur hierarkis ini, DPRD tidak
bisa melepaskan diri dari proses politik dan produk hukum yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Pusat, dalam hal ini Menteri Dalam Negeri (Mendagri).
Fungsi, Tugas dan Wewenang DPRD
Pada sisi lain, sesungguhnya DPRD lebih berfungsi sebagai lembaga pengontrol terhadap
kekuasaan pemerintah daerah daripada sebagai lembaga legislatif dalam arti yang
sebenarnya. Namun, dalam kenyataan sehari-hari, DPRD itu biasa disebut sebagai lembaga
legislatif. DPRD, baik di daerah provinsi maupun kabupaten/kota, berhak mengajukan
rancangan peraturan daerah (Raperda) kepada Gubernur-sesuai dengan yang ditentukan
dalam UU 23/2014. Namun, hak inisiatif ini sebenarnya tidaklah menyebabkan posisi DPRD
menjadi pemegang kekuasaan legislatif yang utama. Pemegang kekuasaan utama di bidang
ini tetap ada di tangan pemerintah, dalam hal ini Gubernur atau Bupati/Walikota. (Jimly
Asshiddiqie, 2006: 297).
Dengan demikian, fungsi utama DPRD ialah untuk mengontrol jalannya pemerintahan di
daerah, sedang berkenaan dengan fungsi legislatif, posisi DPRD bukanlah aktor yang
dominan. Pemegang kekuasaan yang dominan di bidang legislatif itu tetap Gubernur dan
Bupati/Walikota. Bahkan, UU23/2014 “mewajibkan” Gubernur dan Bupati/Walikota
mengajukan rancangan peraturan daerah (Raperda) dan menetapkannya menjadi Perda
dengan persetujuan DPRD. Artinya, DPRD itu hanya bertindak sebagai lembaga pengendali
atau pengontrol yang dapat menyetujui, menolak ataupun menyetujui dengan
perubahan-perubahan, dan sesekali dapat mengajukan Raperda dengan usul inisiatif sendiri
(Jimly Asshiddiqie, 2006:298).
Seiring dengan itu, berdasarkan pasal 101 ayat 1 UU 23/2014 dinyatakan bahwa DPRD
mempunyai tugas dan wewenang: (a). membentuk Perda Provinsi bersama gubernur; (b)
membahas dan memberikan persetujuan Rancangan Perda Provinsi tentang APBD Provinsi
yang diajukan oleh gubernur; (c) melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda
Provinsi dan APBD provinsi; (d) dihapus; (e) mengusulkan pengangkatan dan
pemberhentian gubernur kepada Presiden melalui Menteri untuk mendapatkan pengesahan
pengangkatan dan pemberhentian; (f) memberikan pendapat dan pertimbangan kepada
Pemerintah Daerah provinsi terhadap rencana perjanjian internasional di Daerah provinsi;
(g) memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama
internasional yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah provinsi; (h) meminta
laporan keterangan pertanggungjawaban gubernur dalam penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah provinsi; (i) memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama dengan Daerah
lain atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan Daerah provinsi; dan (j)
melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Sebagaimana telah dikemukakan, sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah,
DPRD memiliki fungsi-fungsi dalam rangka mengawal berjalannya pemerintahan daerah.
Fungsi tersebut mencakup fungsi pembentukan perda Provinsi, fungsi anggaran dan fungsi
pengawasan. (Pasal 96 ayat 1 UU 23/2014).
Fungsi-fungsi tersebut dimiliki dan dijalankan oleh DPRD dalam kerangka representasi
rakyat di Daerah provinsi dan kabupaten/kota. Dalam rangka melaksanakan fungsi DPRD
provinsi menjaring aspirasi masyarakat. Dapat dijelaskan bahwa fungsi pembentukan Perda
Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1) huruf a dilaksanakan dengan cara:
(a) membahas bersama gubernur dan menyetujui atau tidak menyetujui rancangan Perda
Provinsi; (b) mengajukan usul rancangan Perda Provinsi; dan; (c) menyusun program
pembentukan Perda bersama gubernur. Dalam menetapkan program pembentukan Perda
Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPRD provinsi melakukan koordinasi
dengan gubernur. Fungsi anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1) huruf b
diwujudkan dalam bentuk pembahasan untuk persetujuan bersama terhadap rancangan
Perda Provinsi tentang APBD provinsi yang diajukan oleh gubernur. (2) fungsi anggaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan cara: a. membahas KUA dan
PPAS yang disusun oleh gubernur berdasarkan RKPD; b. membahas rancangan Perda
Provinsi tentang APBD provinsi; c. membahas rancangan Perda Provinsi tentang perubahan
APBD provinsi; dan d.membahas rancangan Perda Provinsi tentang Pertanggungjawaban
APBD provinsi. Fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1) huruf c
diwujudkan dalam bentuk pengawasan terhadap: a. pelaksanaan Perda provinsi dan
peraturan gubernur; b. pelaksanaan peraturan perundang-undangan lain yang terkait
dengan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah provinsi; dan c. pelaksanaan tindak lanjut
hasil pemeriksaan laporan keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan. (2) Dalam
melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan laporan
keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
DPRD provinsi berhak mendapatkan laporan hasil pemeriksaan keuangan yang dilakukan
oleh Badan Pemeriksa Keuangan. (3) DPRD provinsi melakukan pembahasan terhadap
laporan hasil pemeriksaan laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4)
DPRD provinsi dapat meminta klarifikasi atas temuan laporan hasil pemeriksaan laporan
keuangan kepada Badan Pemeriksa Keuangan.
Sebagai penyelenggara pemerintahan DPRD provinsi dan kab/kota mempunyai hak:a.
interpelasi; b. angket; dan c. menyatakan pendapat. Hak interpelasi adalah hak DPRD
provinsi untuk meminta keterangan kepada gubernur atau bupati/walikota mengenai
kebijakan Pemerintah Daerah provinsi dan kab/kota yang penting dan strategis serta
berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hak angket sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPRD provinsi untuk melakukan penyelidikan
terhadap kebijakan Pemerintah Daerah provinsi yang penting dan strategi sserta berdampak
luas pada kehidupan masyarakat, Daerah, dan negara yang diduga bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang- undangan. Hak menyatakan pendapat adalah hak DPRD
provinsi untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan gubernur atau mengenai kejadian
luar biasa yang terjadi di Daerah provinsi disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya
atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket.
Untuk mengoptimalkan pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang DPRD provinsi serta hak
dan kewajiban anggota DPRD provinsi, dibentuk fraksi sebagai wadah berhimpun anggota
DPRD provinsi. Selain itu DPRD didukung oleh sebuah struktur yang disebut dengan alat
kelengkapan DPRD
Problem peran dan fungsi DPRD bisa jadi bersumber dari UUD 1945 sendiri. UUD 1945
mengatur tentang DPRD dalam dua bab yang berbeda, yaitu Bab VI tentang Pemerintahan
Daerah dan Bab VIIB tentang Pemilihan Umum. Bab VI memuat 3 (tiga) Pasal, yakni Pasal
18 (memiliki 7 ayat), Pasal 18A (memiliki 2 ayat), dan Pasal 18B (memiliki 2 ayat).
Sedangkan Bab VIIB memuat 1 (satu) pasal saja, yakni Pasal 22E (memiliki 6 ayat). Dalam
Bab tentang Pemerintahan Daerah (Bab VI) disebutkan bahwa pemerintahan daerah
provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki DPRD yang anggota-anggotanya dipilih
melalui pemilihan umum.33 Sementara dalam Bab tentang Pemilihan Umum (Bab VIIB)
dikatakan bahwa Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
Alat Kelengkapan DPRD
Adapun alat kelengkapan DPRD terdiri atas: (i) Pimpinan, (ii) Badan Musyawarah, (iii)
Komisi, (iv) Badan pembentukan Perda Provinsi dan Kab/kota, (v) Badan Anggaran, (vi)
Badan Kehormatan, dan (vii) alat kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat
paripurna. Dalam menjalankan tugasnya, alat kelengkapan dibantu oleh sekretariat dan
dapat dibantu oleh kelompok pakar atau tim ahli.
Masing-masing alat kelengkapan DPRD tersebut tidak diatur secara rinci dalam Pasal 110
UU 23/2014, kecuali perihal Pimpinan DPRD. Perihal tata cara pembentukan, susunan serta
tugas dan wewenang alat kelengkapan DPRD didelegasikan untuk diatur sendiri oleh
DPRD. Sebagai salah satu alat kelengkapan DPRD, pimpinan DPRD tentunya memiliki
sejumlah tugas dan fungsi. Walaupun demikian, UU 23/2014 ternyata tidak mengatur secara
rinci tugas dan fungsi pimpinan DPRD. UU ini hanya mengatur komposisi pimpinan DPRD
serta tatacara pengisian jabatan tersebut. Pengaturan tentang tugas dan wewenang
Pimpinan DPRD sebagai bagian dari alat kelengkapan DPRD justru dimandatkan untuk
diatur lebih lanjut dalam peraturan DPRD tentang tata tertib.

Penutup
Perkembangan DPRD di Indonesia cukup terasa manakala lahir UU No. 23 tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan yang sangat penting dan mendasar adalah
terkait dengan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), baik itu DPRD provinsi
maupun DPRD kabupaten/kota. DPRD yang sebelumnya melaksanakan fungsi legislasi,
anggaran, dan pengawasan kini berubah menjalankan fungsi pembentukan peraturan
daerah (perda), anggaran, dan pengawasan.

Pustaka Acuan

Jimly Asshiddiqie. 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Konstitusi Press.

Muhammad Fauzan. 2006. Hukum Pemerintahan Daerah: Kajian tentang Hubungan


Keuangan antara Pusat dan Daerah, Yogyakarta: UII Press.

Ni’matul Huda. 2005. Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta; Rajawali Press.

Moh. Mahfud MD. 2007. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi.
Jakarta: LP3ES.

(http://www.gresnews.com/berita/opini/90191-tinjauan-fungsi-dprd-paska-uu-pemda-2014/0/)
.

CV.MANDIRI KREATIF di 12.37


Berbagi

Tidak ada komentar:


Posting Komentar
Link ke posting ini
Buat sebuah Link



Beranda
Lihat versi web
Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai