Berdasarkan data yang dilansir World Resources Institute, kebakaran lahan gambut
baru-baru ini telah membuat Indonesia menjadi salah satu negeri
dengan emisi tertinggi dunia. Namun utusan khusus presiden untuk
perubahan iklim, Rachmat Witoelar mengatakan, semua itu merupakan
faktor alam.
Ini adalah kebakaran karena alam. Kan El-Nino bukan bikinan pemerintah. Kan
diakui itu karena El-Nino... Ya itu kan alam.
Kelapa sawit
Lahan gambut selama ini menjadi andalan bagi perkebunan kelapa sawit untuk
memperluas lahan.
Atas rencana moratorium pemanfaatan lahan gambut dan peninjauan izin konsesi
perusahaan di lahan gambut, juru bicara Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit
Indonesia, Tofan Mahdi, mengatakan pihaknya akan menentang semua
pembatasan.
Image captionPemerintah
berencana memberlakukan moratorium pemanfaatan lahan
gambut dan peninjauan izin konsesi.
Belum jelas bagaimana pelaksanaan moratorium dan peninjauan izin konsesi lahan
gambut nanti. Namun, demi memastikan perlindungan lahan gambut
sekaligus menentukan pelaku pembakaran, Kiki Taufik dari organisasi
Greenpeace mendesak keterbukaan informasi konsesi lahan.
Seharusnya data konsesi dapat diakses publik secara terbuka sehingga publik bisa
sama-sama memonitoring atau mengetahui persis siapa biang keladi pembakaran.
Selama ini kan data konsesi dianggap seperti data rahasia sehingga kita tidak tahu
kebakaran itu ada di lahan konsesi siapa, ujarnya kepada wartawan BBC Indonesia,
Jerome Wirawan.
Pengawasan
Kiki menambahkan bahwa selama ini perusahaan perkebunan dan hutan tanaman
industri punya modus tersendiri.
Di peta memang kelihatan sederhana, tapi fakta di lapangan cukup berat. Semula
saya mengira investigasi untuk perusahaan bisa selesai dalam waktu satu minggu
atau 10 hari, tapi faktanya anak buah saya di lapangan memerlukan waktu sampai
25 hari sampai 30 hari. Karena kan perjalanannya berat, mengontrolnya juga berat.
Lahan gambut lebih banyak menyimpan karbon jika dibandingkan dengan hutan
atau jenis tanah lainnya. Menurut lembaga World Resources Institute, saat
kebakaran melanda dua bulan lalu, emisi karbondioksida Indonesia dalam 26 hari
mencapai 1.043 juta metrik ton, atau melampaui rata-rata emisi karbon harian
Amerika Serikat.
Bersama 146 pemimpin negara lainnya, Presiden Jokowi hari Senin ini (30/11)
dijadwalkan akan menjelaskan komitmen Indonesia dalam mengurangi emisi
gas rumah kaca sebesar 29% pada 2030 sebagai upaya mengatasi perubahan
iklim.
Akan tetapi, target 29% pada 2030 dapat berubah mengingat Indonesia mengalami
kebakaran hutan dan lahan. Akibatnya, jumlah emisi Indonesia disebut-sebut
melebihi rata-rata emisi karbondioksida harian Amerika Serikat, yang selama ini
berpredikat sebagai penyumbang gas rumah kaca terbesar kedua setelah Cina.
Angka itu kan yang kita serahkan pada 20-an September, sebelum kita melihat
situasi berat di akhir September sampai akhir Oktober, kata Menteri Kehutanan dan
Lingkungan Hidup Siti Nurbaya, merujuk pada penyerahan dokumen pengurangan
emisi nasional ke Badan Perubahan Iklim PBB.
Angka 29%itu proporsi utamanya lebih kepada emisi energi, yang notabene
sekarang bertumpu pada energi batubara. Sementara, kita belum bisa
menanggulangi kebakaran hutan yang terjadi saat ini. Dan itu masih sampai
sekarang menjadi sumber emisi utama Indonesia, kata Yuyun.
Menurut data tersebut, hanya dalam 26 hari saja emisi dari kebakaran hutan dan
lahan mencapai 1.043 juta metrik ton. Jumlah itu belum mencakup sektor lain seperti
energi atau transportasi.
Kesungguhan diragukan
Menurut Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya, Presiden Jokowi
juga akan menjelaskan manajemen lahan gambut di Indonesia pada KTT
Perubahan Iklim di Paris.
Hal yang bakal dipertegas ialah tidak ada lagi ijzn baru bagi perusahaan di
lahan gambut dan praktik pembukaan lahan dengan membakar.
Namun, hal itu diragukan Yuyun Indradi, juru kampanye hutan Greenpeace Asia
Tenggara yang mempertanyakan langkah pemerintah dalam menindak perusahaan
pelaku pembakaran. Dia lalu memberi contoh sebuah perusahaan yang dibekingi
orang-orang penting.
Ada mantan petinggi Polri, kejaksaan, dan militer di perusahaan itu. Alasannya
menjadi lebih ke arah politis ketimbang legal. Jadi, selain tidak realistis, (komitmen
pemerintah untuk mengurangi emisi) tidak ambisius. Artinya kesungguhan untuk
mengurangi emisi masih diragukan, kata Yuyun.
Ada tiga perusahaan yang dicabut izinnya dan kita sudah membekukan 19 izin.
Pemerintah tentu tidak dalam posisi, katakanlah, menyusahkan swasta. Pemerintah
juga tidak akan hanya berpihak pada sini atau pihak situ. Pemerintah itu kan simpul
negosiasi dari segala aspirasi, kata Siti Nurbaya kepada wartawan BBC Indonesia,
Jerome Wirawan.
Profesor Richard Tol dari Sussex University, Inggris, memperkirakan dampak negatif
pemanasan global akan melampaui dampak positifnya bila terjadi peningkatan suhu
sampai 1,1 derajat celsius - yang sebentar lagi tercapai.
Ketika ditanya apakah masyarakat telah sampai pada titik ketika konsekuensi
perubahan iklim mulai melebihi manfaatnya, dia membalas "Iya. Dalam komunitas
akademik, ini bukan temuan kontroversial."
Menurut Tol, diskusi soal dampak peningkatan temperatur di bawah 2 derajat celsius
tidak relevan karena bumi kemungkinan akan memanas 3-5 derajat celsius. Hal ini
akibat para politisi tak akan rela atau mampu melakukan penghematan yang
dibutuhkan demi mempertahankan peningkatan suhu di bawah 2 derajat celsius.
Dia mengatakan peningkatan sampai 4 derajat celsius akan bisa diatasi oleh Eropa
dan negara lain yang cukup kaya untuk menanggung biaya yang dibutuhkan untuk
adaptasi. Cara terbaik mengatasi perubahan iklim, katanya kepada BBC, ialah
memaksimalkan pertumbuhan ekonomi.
Hak atas fotoAFPImage caption Gejala perubahan iklim mulai dirasakan warga dunia.
Profesor ilmu bumi dari Exeter University Tim Lenton mengatakan, perkiraan Tol
sangat optimistis.
"Daratan di Eropa tengah akan lebih hangat dari rata-rata 4 derajat ceslius, yang
berpotensi mengubah pola musim di sepanjang Eropa.
"Kita akan kehilangan lapisan es di Arktik pada musim panas, dan lapisan itu akan
jauh lebih tipis pada musim dingin.
"Kami telah menemukan kaitan perubahan pola cuaca dan distribusi aliran sungai.
"Penyebab kenaikan suhu sampai 6 derajat celsius bukan emisi karbon, melainkan
respon biosfer. Akankah kita dapat mempertahankan cadangan karbon di tanah
permafrost, hutan hujan, dan hutan boreal, lahan basah, dan daerah pesisir? Karena
di situlah penyimpanan terbesarnya."
"Kita menghasilkan emisi sembilan gigaton karbon per tahun dari bahan bakar fosil,
namun terdapat 100 gigaton tersimpan di bawah tundra Siberia. Ada berkali-kali lipat
simpanan karbon yang lebih besar di topsoil atau tanah tropis, atau di bawah es di
Arktik"
"Bila kita tidak mengelola ekosistem dengan baik, ia dapat menusuk kita dari
belakang."
Api yang terus membakar kawasan hutan dan lahan di enam provinsi di
Indonesia kali ini menyebarkan kabut asap sampai ke wilayah negara tetangga
seperti Thailand dan Filipina, yang biasanya tak pernah kena dampak.
Bukan hanya asap yang timbul dari kebakaran lahan gambut, tapi juga simpanan
stok karbondioksida ke udara.
Lahan gambut lebih banyak menyimpan karbon jika dibandingkan dengan hutan
atau jenis tanah lainnya. Lalu, dengan masifnya kebakaran hutan dan lahan
(karhutlan) yang terjadi, seberapa besar sumbangan emisi karbondioksida atau CO2
dari Indonesia?
Kontribusi emisi Indonesia dibanding komitmen penurunan emisinya jauh banget, seperti langit
dan bumi.Yuyun Indradi
Menurut data tersebut, hanya dalam 26 hari saja emisi dari kebakaran hutan dan
lahan mencapai 1.043 juta metrik ton, atau melebihi emisi karbondioksida Amerika
Serikat dalam satu tahun terakhir.
Padahal selama ini AS adalah penyumbang gas rumah kaca terbesar kedua setelah
Cina, dan ekonominya 20 kali lebih besar daripada Indonesia.
Dan Andika Putraditama dari World Resources Institute menambahkan, "Yang perlu
digarisbawahi, angka ini masih perkiraan."
Perkiraan Bappenas
Tetapi, meski perkiraan, bukan berarti angka emisi ini bisa dilewatkan begitu saja.
"Sekarang sudah mencapai 1,5 juta metrik ton CO2 hanya dari kebakaran hutan dan
lahan, dan baru sampai pada akhir Oktober. Perkiraan emisinya off the roof dari
perkiraan pemerintah, 69% hanya dari emisi karhutla," ujar Andika.
Padahal perhitungan emisi Indonesia bukan hanya dari sektor kehutanan, tapi juga
ada dari sektor lain seperti energi atau transportasi.
Dan upaya Indonesia untuk mendirikan PLTU-PLTU baru dengan tenaga batubara
akan menyumbang emisi yang besar juga.
Perhitungan emisi karbon ini menjadi penting menjelang pertemuan tingkat tinggi
soal iklim yang akan berlangsung di Paris pada akhir November nanti.
Apalagi kondisi kebakaran hutan dan lahan yang terjadi sekarang pastinya akan
menyumbang emisi karbondioksida yang besar.
"Tidak ada (penghitungan ulang target). Karena tidak perlu. Amit-amit ya, 29% saja
kita sudah hah heh hoh (berat). Sudah maksimal itu. Orang lain cuma 12%, 16%,
kenapa mau dinaikin lagi, sudahlah," kata Rachmat.
Hak atas fotoAFPImage captionKabut
asap dari kebakaran hutan dan lahan di Indonesia
yang sampai ke pelabuhan Cebu, Filipina.
"Mereka tidak akan mempersoalkan emisi kamu sekarang berapa. If they do, we
don't have to answer (Jika iya, kita tidak perlu menjawab)," ujarnya lagi.
Namun, Nur mengakui, kebakaran hutan dan lahan akan menambah berat upaya
Indonesia dalam mengurangi emisi.
"Kalau tanpa emisi dari karhutlan, kan pengurangan emisinya tidak sebesar itu,
karena telah terjadi karhutla, emisi dari sektor lahan menjadi tinggi sehingga untuk
mengurangi sekian persen kan juga upayanya lebih tinggi, action yang diperlukan."