Anda di halaman 1dari 14

Soal pengurangan emisi Indonesia,

aktivis soroti keterbukaan data


1 Desember 2015

Melalui pidato pada KTT Perubahan Iklim di Paris, Presiden Jokowi


menerangkan upaya Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca terkait
dengan kebakaran hutan dan lahan gambut.

Langkah prevensi telah disiapkan dan sebagian mulai diimplementasikan, restorasi


eksosistem lahan gambut dengan pembentukan Badan Restorasi Gambut. Di bidang
tata kelola dan sektor lahan melalui penerapan one map policy, menerapkan
moratorium dan review izin pemanfaatan lahan gambut, kata Jokowi.

Berdasarkan data yang dilansir World Resources Institute, kebakaran lahan gambut
baru-baru ini telah membuat Indonesia menjadi salah satu negeri
dengan emisi tertinggi dunia. Namun utusan khusus presiden untuk
perubahan iklim, Rachmat Witoelar mengatakan, semua itu merupakan
faktor alam.

Ini adalah kebakaran karena alam. Kan El-Nino bukan bikinan pemerintah. Kan
diakui itu karena El-Nino... Ya itu kan alam.

Kelapa sawit

Lahan gambut selama ini menjadi andalan bagi perkebunan kelapa sawit untuk
memperluas lahan.

Atas rencana moratorium pemanfaatan lahan gambut dan peninjauan izin konsesi
perusahaan di lahan gambut, juru bicara Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit
Indonesia, Tofan Mahdi, mengatakan pihaknya akan menentang semua
pembatasan.

Menurutnya, perusahaan sudah memikul tanggung jawab.


Kita harus kembali ke tanggung jawab masing-masing. Kalau company, dia harus
bertanggung jawab di dalam lahan konsesi mereka sendiri. Kalau kita mengutip data
dari Global Forest Watch, titik api yang berasal dari perkebunan sawit itu kurang 10%
dari total sebaran api. Sebagian besar api berasal dari lahan konservasi dan lahan
masyarakat. Memang paling enak kan menyalahkan perusahaan."

Image captionPemerintah
berencana memberlakukan moratorium pemanfaatan lahan
gambut dan peninjauan izin konsesi.

Belum jelas bagaimana pelaksanaan moratorium dan peninjauan izin konsesi lahan
gambut nanti. Namun, demi memastikan perlindungan lahan gambut
sekaligus menentukan pelaku pembakaran, Kiki Taufik dari organisasi
Greenpeace mendesak keterbukaan informasi konsesi lahan.

Seharusnya data konsesi dapat diakses publik secara terbuka sehingga publik bisa
sama-sama memonitoring atau mengetahui persis siapa biang keladi pembakaran.
Selama ini kan data konsesi dianggap seperti data rahasia sehingga kita tidak tahu
kebakaran itu ada di lahan konsesi siapa, ujarnya kepada wartawan BBC Indonesia,
Jerome Wirawan.
Pengawasan

Kiki menambahkan bahwa selama ini perusahaan perkebunan dan hutan tanaman
industri punya modus tersendiri.

Modusnya perusahaan yang banyak dilakukan di lapangan ialah mereka


memperluas lokasi konsesi di sekitar konsesinya. Mereka akan membuka sedikit
demi sedikit karena lemah sekali pengawasan pemerintah.

Hak atas fotoAFPImage captionPengawasan


kebakaran hutan, menurut menteri kehutanan
dan lingkungan hidup, tidak semudah yang dibayangkan.

Soal pengawasan, Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya,


mengatakan hal itu tidak semudah yang dibayangkan.

Di peta memang kelihatan sederhana, tapi fakta di lapangan cukup berat. Semula
saya mengira investigasi untuk perusahaan bisa selesai dalam waktu satu minggu
atau 10 hari, tapi faktanya anak buah saya di lapangan memerlukan waktu sampai
25 hari sampai 30 hari. Karena kan perjalanannya berat, mengontrolnya juga berat.

Lahan gambut lebih banyak menyimpan karbon jika dibandingkan dengan hutan
atau jenis tanah lainnya. Menurut lembaga World Resources Institute, saat
kebakaran melanda dua bulan lalu, emisi karbondioksida Indonesia dalam 26 hari
mencapai 1.043 juta metrik ton, atau melampaui rata-rata emisi karbon harian
Amerika Serikat.

Komitmen Indonesia di KTT Perubahan


Iklim diragukan
Jerome WirawanWartawan BBC Indonesia
30 November 2015

Bersama 146 pemimpin negara lainnya, Presiden Jokowi hari Senin ini (30/11)
dijadwalkan akan menjelaskan komitmen Indonesia dalam mengurangi emisi
gas rumah kaca sebesar 29% pada 2030 sebagai upaya mengatasi perubahan
iklim.

Kontribusi Indonesia itu diharapkan dapat mendorong terciptanya kesepakatan


mengikat demi membatasi pemanasan global di bawah dua derajat
Celsius.

Akan tetapi, target 29% pada 2030 dapat berubah mengingat Indonesia mengalami
kebakaran hutan dan lahan. Akibatnya, jumlah emisi Indonesia disebut-sebut
melebihi rata-rata emisi karbondioksida harian Amerika Serikat, yang selama ini
berpredikat sebagai penyumbang gas rumah kaca terbesar kedua setelah Cina.

Angka itu kan yang kita serahkan pada 20-an September, sebelum kita melihat
situasi berat di akhir September sampai akhir Oktober, kata Menteri Kehutanan dan
Lingkungan Hidup Siti Nurbaya, merujuk pada penyerahan dokumen pengurangan
emisi nasional ke Badan Perubahan Iklim PBB.

Sumber emisi utama

Hak atas fotoGETTYImage captionPresiden


Joko Widodo akan menjelaskan komitmen
Indonesia untuk mengurangi emisi sebesar 29% pada 2030 dalam KTT
Perubahan Iklim atau COP ke-21 di Paris, Prancis.

Juru kampanye hutan Greenpeace Asia Tenggara, Yuyun Indradi, berpendapat


target Indonesia untuk mengurangi emisi 29% pada 2030 terlalu kecil.

Sebab, saat penghitungan emisi Indonesia dibuat, pemerintah menitikberatkan pada


sektor energi. Padahal, kebakaran hutan dan lahan kini menjadi
sumber emisi utama.
Hak atas fotoAFPImage captionJuru
kampanye hutan Greenpeace Asia Tenggara, Yuyun
Indradi, berpendapat kebakaran hutan dan lahan kini menjadi sumber emisi
utama.

Angka 29%itu proporsi utamanya lebih kepada emisi energi, yang notabene
sekarang bertumpu pada energi batubara. Sementara, kita belum bisa
menanggulangi kebakaran hutan yang terjadi saat ini. Dan itu masih sampai
sekarang menjadi sumber emisi utama Indonesia, kata Yuyun.

Sebelumnya, organisasi lingkungan hidup, World Resources Institute, mengutip hasil


penelitian Guido van der Werf dari Global Fire Emissions Database yang
menyatakan emisi karbon akibat kebakaran hutan dan lahan di
Indonesia telah mengalahkan rata-rata emisi karbon harian AS.

Menurut data tersebut, hanya dalam 26 hari saja emisi dari kebakaran hutan dan
lahan mencapai 1.043 juta metrik ton. Jumlah itu belum mencakup sektor lain seperti
energi atau transportasi.

Kesungguhan diragukan

Menurut Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya, Presiden Jokowi
juga akan menjelaskan manajemen lahan gambut di Indonesia pada KTT
Perubahan Iklim di Paris.
Hal yang bakal dipertegas ialah tidak ada lagi ijzn baru bagi perusahaan di
lahan gambut dan praktik pembukaan lahan dengan membakar.

Hak atas fotoAFPImage captionMenurut


Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Siti
Nurbaya, Presiden Jokowi juga akan menjelaskan manajemen lahan gambut di
Indonesia pada KTT Perubahan Iklim di Paris.

Namun, hal itu diragukan Yuyun Indradi, juru kampanye hutan Greenpeace Asia
Tenggara yang mempertanyakan langkah pemerintah dalam menindak perusahaan
pelaku pembakaran. Dia lalu memberi contoh sebuah perusahaan yang dibekingi
orang-orang penting.

Ada mantan petinggi Polri, kejaksaan, dan militer di perusahaan itu. Alasannya
menjadi lebih ke arah politis ketimbang legal. Jadi, selain tidak realistis, (komitmen
pemerintah untuk mengurangi emisi) tidak ambisius. Artinya kesungguhan untuk
mengurangi emisi masih diragukan, kata Yuyun.

Tudingan bahwa pemerintah tidak bersungguh-sungguh dibantah Menteri Kehutanan


dan Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya. Menurutnya, pemerintah telah melakukan
penegakan hukum yang tegas.

Ada tiga perusahaan yang dicabut izinnya dan kita sudah membekukan 19 izin.
Pemerintah tentu tidak dalam posisi, katakanlah, menyusahkan swasta. Pemerintah
juga tidak akan hanya berpihak pada sini atau pihak situ. Pemerintah itu kan simpul
negosiasi dari segala aspirasi, kata Siti Nurbaya kepada wartawan BBC Indonesia,
Jerome Wirawan.

Masyarakat akan 'mulai merasakan


dampak perubahan iklim'
16 November 2015

Masyarakat sebentar lagi akan merasakan dampak merugikan perubahan iklim,


menurut seorang ahli ekonomi terkemuka.

Profesor Richard Tol dari Sussex University, Inggris, memperkirakan dampak negatif
pemanasan global akan melampaui dampak positifnya bila terjadi peningkatan suhu
sampai 1,1 derajat celsius - yang sebentar lagi tercapai.

"Banyak orang berpendapat kalau sedikit pemanasan mungkin menguntungkan bagi


manusia, bila diukur berdasarkan laba bersih dalam dolar, tetapi pemanasan yang
lebih tinggi akan merugikan," kata Profesor Tol kepada BBC.

Ketika ditanya apakah masyarakat telah sampai pada titik ketika konsekuensi
perubahan iklim mulai melebihi manfaatnya, dia membalas "Iya. Dalam komunitas
akademik, ini bukan temuan kontroversial."

Menurut Tol, diskusi soal dampak peningkatan temperatur di bawah 2 derajat celsius
tidak relevan karena bumi kemungkinan akan memanas 3-5 derajat celsius. Hal ini
akibat para politisi tak akan rela atau mampu melakukan penghematan yang
dibutuhkan demi mempertahankan peningkatan suhu di bawah 2 derajat celsius.

Dia mengatakan peningkatan sampai 4 derajat celsius akan bisa diatasi oleh Eropa
dan negara lain yang cukup kaya untuk menanggung biaya yang dibutuhkan untuk
adaptasi. Cara terbaik mengatasi perubahan iklim, katanya kepada BBC, ialah
memaksimalkan pertumbuhan ekonomi.
Hak atas fotoAFPImage caption Gejala perubahan iklim mulai dirasakan warga dunia.

<span >Mengelola ekosistem

Profesor ilmu bumi dari Exeter University Tim Lenton mengatakan, perkiraan Tol
sangat optimistis.

"Daratan di Eropa tengah akan lebih hangat dari rata-rata 4 derajat ceslius, yang
berpotensi mengubah pola musim di sepanjang Eropa.

"Kita akan kehilangan lapisan es di Arktik pada musim panas, dan lapisan itu akan
jauh lebih tipis pada musim dingin.

"Kami telah menemukan kaitan perubahan pola cuaca dan distribusi aliran sungai.

"Kita lalu berspekulasi kekeringan di Mediteranea akan mendorong... perpindahan


manusia. Wajah Eropa akan sangat berbeda."

Johan Rockstrom, direktur di pusat penelitian ketahanan lingkungan di Stockholm


University, memperingatkan peningkatan suhu global di atas 2 derajat celsius akan
berisiko memicu dampak yang tak dapat diperbaiki."

"Penyebab kenaikan suhu sampai 6 derajat celsius bukan emisi karbon, melainkan
respon biosfer. Akankah kita dapat mempertahankan cadangan karbon di tanah
permafrost, hutan hujan, dan hutan boreal, lahan basah, dan daerah pesisir? Karena
di situlah penyimpanan terbesarnya."
"Kita menghasilkan emisi sembilan gigaton karbon per tahun dari bahan bakar fosil,
namun terdapat 100 gigaton tersimpan di bawah tundra Siberia. Ada berkali-kali lipat
simpanan karbon yang lebih besar di topsoil atau tanah tropis, atau di bawah es di
Arktik"

"Bila kita tidak mengelola ekosistem dengan baik, ia dapat menusuk kita dari
belakang."

Target pengurangan emisi Indonesia


jelang Konferensi Iklim PBB
Isyana ArthariniWartawan BBC Indonesia
3 November 2015

Api yang terus membakar kawasan hutan dan lahan di enam provinsi di
Indonesia kali ini menyebarkan kabut asap sampai ke wilayah negara tetangga
seperti Thailand dan Filipina, yang biasanya tak pernah kena dampak.

Bukan hanya asap yang timbul dari kebakaran lahan gambut, tapi juga simpanan
stok karbondioksida ke udara.

Lahan gambut lebih banyak menyimpan karbon jika dibandingkan dengan hutan
atau jenis tanah lainnya. Lalu, dengan masifnya kebakaran hutan dan lahan
(karhutlan) yang terjadi, seberapa besar sumbangan emisi karbondioksida atau CO2
dari Indonesia?

Organisasi lingkungan hidup, World Resources Institute, mengutip hasil penelitian


Guido van der Werf dari Global Fire Emissions Database yang menyatakan emisi
karbon akibat kebakaran hutan dan lahan di Indonesia telah
mengalahkan rata-rata emisi karbon harian AS.

Kontribusi emisi Indonesia dibanding komitmen penurunan emisinya jauh banget, seperti langit
dan bumi.Yuyun Indradi

Menurut data tersebut, hanya dalam 26 hari saja emisi dari kebakaran hutan dan
lahan mencapai 1.043 juta metrik ton, atau melebihi emisi karbondioksida Amerika
Serikat dalam satu tahun terakhir.

Padahal selama ini AS adalah penyumbang gas rumah kaca terbesar kedua setelah
Cina, dan ekonominya 20 kali lebih besar daripada Indonesia.

Dan Andika Putraditama dari World Resources Institute menambahkan, "Yang perlu
digarisbawahi, angka ini masih perkiraan."

Perkiraan Bappenas

Tetapi, meski perkiraan, bukan berarti angka emisi ini bisa dilewatkan begitu saja.

Andika menambahkan tak perlu membandingkannya jauh-jauh dengan Amerika


Serikat, karena Bappenas sudah menghitung perkiraan emisi karbondioksida
Indonesia pada 2015, yaitu sebesar 1,63 juta metrik ton.
Hak atas fotoEPAImage captionEmisi
karbon akibat kebakaran hutan dan lahan yang
terjadi di Indonesia diperkirakan telah mengalahkan rata-rata emisi karbon
harian di AS.

"Sekarang sudah mencapai 1,5 juta metrik ton CO2 hanya dari kebakaran hutan dan
lahan, dan baru sampai pada akhir Oktober. Perkiraan emisinya off the roof dari
perkiraan pemerintah, 69% hanya dari emisi karhutla," ujar Andika.

Padahal perhitungan emisi Indonesia bukan hanya dari sektor kehutanan, tapi juga
ada dari sektor lain seperti energi atau transportasi.

Dan upaya Indonesia untuk mendirikan PLTU-PLTU baru dengan tenaga batubara
akan menyumbang emisi yang besar juga.

Perhitungan emisi karbon ini menjadi penting menjelang pertemuan tingkat tinggi
soal iklim yang akan berlangsung di Paris pada akhir November nanti.

Pertemuan tersebut salah satunya akan membahas komitmen negara-negara dunia


dalam mengurangi emisi gas rumah kaca mereka sebagai upaya mengatasi
perubahan iklim.

Menjelang pertemuan tersebut, Indonesia sudah menyerahkan dokumen


pengurangan emisi nasional ke Badan Perubahan Iklim PBB yang menyatakan
bahwa Indonesia akan mengurangi emisi sebesar 29% pada 2030.
Indonesia 'sudah maksimal'
Sudah maksimal itu. Orang lain cuma 12%, 16%, kenapa mau dinaikin lagi, sudahlah.Rachmat
Witoelar

Bagaimanapun juru kampanye hutan Greenpeace Asia Tenggara, Yuyun Indradi,


berpendapat target Indonesia untuk mengurangi emisi 29% pada 2030 nanti
sebenarnya terlalu kecil.

Apalagi kondisi kebakaran hutan dan lahan yang terjadi sekarang pastinya akan
menyumbang emisi karbondioksida yang besar.

"Kontribusi emisi Indonesia dibanding komitmen penurunan emisinya jauh banget,


seperti langit dan bumi. Kita sudah masuk lagi top five emisi terbesar di dunia.
(Target) 29% itu tidak menunjukkan komitmen yang cukup untuk mengurangi emisi.
Bisa nggak ditinggikan mendekati kontribusi emisinya, sehingga terjadi penurunan
emisi sangat signifikan?" kata Yuyun.

Utusan Khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim, Rachmat Witoelar,


mengatakan target pengurangan emisi sebesar 29% pada 2030 itu sudah cukup
ambisius.

"Tidak ada (penghitungan ulang target). Karena tidak perlu. Amit-amit ya, 29% saja
kita sudah hah heh hoh (berat). Sudah maksimal itu. Orang lain cuma 12%, 16%,
kenapa mau dinaikin lagi, sudahlah," kata Rachmat.
Hak atas fotoAFPImage captionKabut
asap dari kebakaran hutan dan lahan di Indonesia
yang sampai ke pelabuhan Cebu, Filipina.

Masyarakat internasional dalam negosiasi perubahan iklim PBB pun, tambah


Rachmat, tak akan mempertanyakan soal kebakaran hutan dan lahan.

"Mereka tidak akan mempersoalkan emisi kamu sekarang berapa. If they do, we
don't have to answer (Jika iya, kita tidak perlu menjawab)," ujarnya lagi.

Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan


Kehutanan, Nur Masripatin, juga mengatakan target 29% sudah merupakan
keputusan politik yang memungkinkan Indonesia terus membangun ekonominya
tanpa merusak lingkungan.

Namun, Nur mengakui, kebakaran hutan dan lahan akan menambah berat upaya
Indonesia dalam mengurangi emisi.

"Kalau tanpa emisi dari karhutlan, kan pengurangan emisinya tidak sebesar itu,
karena telah terjadi karhutla, emisi dari sektor lahan menjadi tinggi sehingga untuk
mengurangi sekian persen kan juga upayanya lebih tinggi, action yang diperlukan."

Anda mungkin juga menyukai