Anda di halaman 1dari 18

TEORI HUKUM

Ini merupakan kumpulan handout tentang kenapa teori hukum itu ada dan apa sebenarnya
teori hukum. Bahan ini didapat dari pertemuan awal dengan Prof. Dr. Hata, SH., MH.
Presentasi Power Pointnnya dapat diunggah dalam Teori Hukum_Kuliah 1.

B.Arief Sidharta : “Teori Ilmu Hukum (rechtstheorie) secara umum dapat diartikan sebagai
ilmu atau disiplin hukum yang dalam perspektif interdisipliner dan eksternal secara kritis
menganalisis berbagai aspek gejala hukum, baik tersendiri maupun dalam kaitan
keseluruhan, baik dalam konsepsi teoritisnya mau pun dalam pengejawantahan praktisnya,
dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan memberikan penjelasan
sejernih mungkin tentang bahan hukum yang tersaji dan kegiatan yuridis dalam kenyataan
masyarakat. Obyek telaahnya adalah gejala umum dalam tatanan hukum positif yang
meliputi analisis bahan hukum, metode dalam hukum dan kritik ideologikal terhadap hukum (
Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, 2000,h.122).
JJH Bruggink :” Teori hukum adalah seluruh pernyataan yang saling berkaitan berkenan
dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan sistem
tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan “(HR Otje Salman et.al.”Teori Hukum”,
2002,h.60).
Hans Kelsen (Satjipto Rahardjo : Hukum Dalam Jagat Ketertiban, h.8-9) :
The aim of a theory of law, as of any science, is to reduce chaos and multiplicity to unity.
Legal theory is science, not volition. It is knowledge of what the law is, not of what the law
ought to be.
The Law is a normative not a natural science.
Legal theory as a theory of norms is not concerned with the effectiveness of legal norms.
A theory of law is formal, a theory of the way of ordering, changing content in a specific way.
f. The relation of legal theory to a particular system of positive law is that of possible to
actual law.
b. Tujuan teori hukum, ilmu apapun, adalah untuk mengurangi kekacauan dan keragaman
untuk persatuan.
c. Teori hukum adalah ilmu, bukan kemauan. Ini adalah pengetahuan tentang apa hukum
itu, bukan dari apa yang hukum seharusnya.
d. Hukum adalah normatif bukan ilmu alam.
e. Teori hukum sebagai teori norma tidak peduli dengan efektivitas norma-norma hukum.
f. Sebuah teori hukum adalah formal, suatu teori cara pemesanan, konten berubah
dengan cara tertentu.
g. Hubungan teori hukum untuk sistem tertentu dari hukum positif adalah bahwa mungkin
untuk hukum yang sebenarnya.
Perkembangn ilmu dan teknologi yang sangat pesat pada abad keduapuluh mendorong
Kelsen untuk mengangkat ilmu hukum untuk bisa maju sederajat dengan kemajuan sains
waktu itu.
J H von Kirchman : ilmu hukum berdiri di atas fondasi yang subyektif karena itu sebagai
sains ia menjadi sangat goyah. Hanya dengan vonis tiga kata saja dari pembuat
undang-undang, maka seluruh perpustakaan menjadi bubar.
Kelsen ingin membuktikan bahwa ilmu hukum itu tidak subyektif melainkan obyektif, sama
dengan sains yang lain. Ia harus membangun teori yang mengatasi subyektivitas pembuat
undang-undang. A theory of law is formal. Tidak boleh mengandung muatan nilai,
kepentingan dan lain-lain.
Schuyt, dengan merujuk pada Holmes dan Cordozo menyarankan agar ilmu hukum
melepaskan diri dari cara menganalisa persoalan berdasar metode hukum yang sempit
dan selalu mencari pertolongan kepada lmu-ilmu lain.
Kemajuan ilmu alam, ekonomi, sosial, politik seharusnya mendorong para ahli hukum untuk
memanfaatkan kemajuan tsb.
Hunt (The Sociological movement in law) : The twentieth century has produced a movement
towards the sociologically oriented study of law. The study of law can no longer be regarded
as the exclusive preserve of legal professionals, whether practitioners or academics. There
has emerged a sociological movement in law which has had as its common and explicit goal
the assault on legal exclusivism.
Nonet & Selznick : Hukum (di Amerika) gagal menyelesaikan persoalan hukum karena
hanya melihat ke dalam dan tidak keluar. Disarankan untuk melakukan sintesis antara
jurisprudence dan social sciences.
Satjipto Rahardjo : Studi sosiologis terhadap hukum yang menumbangkan analytical
positivism hanya merupakan simbul atau dorongan untuk melakukan “studi saja terhadap
hukum secara lebih benar … di belakang studi sosiologis masih berderet yang lain seperti
antropologi, sosiologi dan ekonomi….”.
Teori ilmu hukum juga bertujuan untuk menjelaskan kejadian-kejadian dalam bidang hukum
dan mencoba untuk memberikan penilaian. Menurut Radburch tugas dari teori hukum
adalah membikin jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada dasar-dasar
filsafat yang paling dalam.2)
Teori hukum merupakan kelanjutan dari usaha untuk mempelajari hukum positif. Teori
hukum menggunakan hukum positif sebagai bahan kajian dengan telaah filosofis sebagai
salah satu sarana bantuan untuk menjelaskan tentang hukum.
Teori hukum dipelajari sudah sejak zaman dahulu, para ahli hukum Yunani maupun Romawi
telah membuat pelbagai pemikiran tentang hukum sampai kepada akar-akar filsafatnya.
Sebelum abad kesembilan belas, teori hukum merupakan produk sampingan yang
terpenting dari filsafat agama, etika atau politik. Para ahli fikir hukum terbesar pada awalnya
adalah ahli-ahli filsafat, ahli-ahli agama, ahli-ahli politik. Perubahan terpenting filsafat hukum
dari para pakar filsafat atau ahli politik ke filsafat hukum dari para ahli hukum, barulah terjadi
pada akhir-akhir ini. Yaitu setelah adanya perkembangan yang hebat dalam penelitian, studi
teknik dan penelitian hukum. Teori-teori hukum pada zaman dahulu dilandasi oleh teori
filsafat dan politik umum. Sedangkan teori-teori hukum modern dibahas dalam bahasa dan
sistem pemikiran para ahli hukum sendiri. Perbedaannya terletak dalam metode dan
penekanannya. Teori hukum para ahli hukum modern seperti teori hukum para filosof ajaran
skolastik, didasarkan atas keyakinan tertinggi yang ilhamnya datang dari luar bidang hukum
itu sendiri.Teori-Teori Hukum Pada Zaman Yunani-Romawi
Plato (427-347 sebelum Masehi) beranggapan bahwa hukum itu suatu keharusan dan
penting bagi masyarakat. Sebagaimana yang dituliskannya dalam “The Republik”, hukum
adalah sistem peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun baik yang mengikat
masyarakat. Pelaksanaan keadilan dipercayakan kepada para pengatur pemerintahan yang
pendidikan serta kearifannya bersumber pada ilham merupakan jaminan untuk terciptanya
pemerintahan yang baik.3) Dan pada karyanya yang telah diperbaharui Plato mulai
mengusulkan “negara hukum” sebagai alternatif suatu sistem pemerintahan yang lebih baik,
dengan konsepnya mengenai negara keadilan yang dijalankan atas dasar norma-norma
tertulis atau undang-undang.
Aristoteles (384-322 sebelum Masehi) adalah murid Plato yang paling termasyur. Ia adalah
seorang pendidik putra raja yang bernama Aleksander Agung. Menurut Aristoteles hukum
harus ditaati demi keadilan, dan ini dibagi menjadi hukum alam dan hukum positif. Hukum
alam menurut Aristoteles merupakan aturan semesta alam dan sekaligus aturan hidup
bersama melalui undang-undang. Pada Aristoteles hukum alam ditanggapi sebagai suatu
hukum yang berlaku selalu dan dimana-mana karena hubungannya dengan aturan alam.
Hukum positif adalah semua hukum yang ditentukan oleh penguasa negara. Hukum itu
harus selalu ditaati, sekalipun ada hukum yang tidak adil.
Aristoteles juga membedakan antara keadilan “distributif” dan keadilan “korektif” atau
“remedial”. Keadilan distributif mengacu kepada pembagian barang dan jasa kepada setiap
orang sesuai dengan kedudukannya didalam masyarakat, dan perlakuan yang sama
terhadap kesederajatan dihadapan hukum (equality before the law). Keadilan jenis ini
menitikberatkan kepada kenyataan fundamental dan selalu benar, walaupun selalu
dikesampingkan oleh hasrat para filsuf hukum untuk membuktikan kebenaran pendirian
politiknya, sehingga cita keadilan secara teoritis tidak dapat memiliki isi yang tertentu
sekaligus sah. Keadilan yang kedua pada dasarnya merupakan ukuran teknik dari
prinsip-prinsip yang mengatur penerapan hukum. Dalam mengatur hubungan hukum harus
ditemukan suatu standar yang umum untuk memperbaiki setiap akibat dari setiap tindakan,
tanpa memperhatikan pelakunya dan tujuan dari perilaku-perilaku dan obyek-obyek tersebut
harus diukur melalui suatu ukuran yang obyektif.
Selanjutnya Aristoteles memberikan pembedaan terhadap keadilan abstrak dan kepatutan.
Hukum harus menyamaratakan dan banyak memerlukan kekerasan didalam penerapannya
terhadap masalah individu. Kepatutan mengurangi dan menguji kekerasan tersebut, dengan
mempertimbangkan hal yang bersifat individual.4)

Pada Abad Pertengahan


Thomas Aquinas (1225-1275) adalah seorang rohaniawan Gereja Katolik yang lahir di Italia,
belajar di Paris dan Kolin dibawah bimbingan Albertus Magnus.
Didalam membahas arti hukum, Thomas Aquinas mulai dengan membedakan antara
hukum-hukum yang berasal dari wahyu dan hukum-hukum yang dijangkau oleh akal budi
manusia sendiri. Hukum yang didapati dari wahyu disebut hukum Ilahi (ius divinum
positivum). Hukum yang diketahui berdasarkan kegiatan akal budi ada beberapa macam.
Pertama-tama ada hukum alam (ius nature), kemudian juga hukum bangsa-banga (ius
gentium), akhirnya hukum positif manusiawi (ius positivum humanum).
Tentang hukum yang berasal dari wahyu dapat dikatakan, bahwa hukum mendapat
bentuknya dalam norma-norma moral agama. Seringkali norma-norma itu sama isinya
dengan norma-norma yang umumnya berlaku dalam hidup manusia.
Untuk dapat menjelaskan hukum alam, Thomas Aquinas bertolak dari ide-ide dasar
Aristoteles. Aturan alam semesta tergantung dari Tuhan yang menciptakannya. Oleh karena
itu aturan alam ini harus berakar dalam suatu aturan abadi (lex aeterna), yang terletak
dalam hakekat Allah sendiri. Hakekat Allah itu adalah pertama-tama Budi Ilahi yang
mempunyai ide mengenai segala ciptaan. Budi Ilahi praktis membimbing segala-galanya
kearah tujuannya. Semesta alam diciptakan dan dibimbing oleh Allah, tetapi lebih-lebih
manusia beserta kemampuannya untuk memahami apa yang baik dan apa yang jahat dan
kecenderungan untuk membangun hidupnya sesuai dengan aturan alam itu. Oleh karena itu
untuk hukum alam, Thomas Aquinas pertama-tama memaksudkan aturan hidup manusia ,
sejauh didiktekan oleh akal budinya. Hukum alam yang terletak dalam akal budi manusia itu
(lex naturalis) tidak lain daripada suatu pertisipasi aturan abadi dalam ciptaan rasional.
Hukum alam yang oleh akal budi manusia ditimba dari aturan alam, dapat dibagi dalam dua
golongan yaitu : hukum alam primer dan hukum alam sekunder. Hukum alam primer dapat
dirumuskan dalam norma-norma yang karena bersifat umum berlaku bagi semua manusia.
Hukum alam sekunder dapat diartikan dalam norma-norma yang selalu berlaku in abstracto,
oleh karena langsung dapat disimpulkan dari norma-norma hukum alam primer, tetapi dapat
terjadi juga adanya kekecualian berhubung adanya situasi tertentu. Thomas Aquinas
membedakan antara keadilan distributif, keadilan tukar-menukar dan keadilan legal.
Keadilan distributif menyangkut hal-hal umum. Keadilan tukar-menukar menyangkut barang
yang ditukar antara pribadi seperti misalnya jual beli. Keadilan legal menyangkut
keseluruhan hukum, sehingga dapat dikatakan bahwa kedua keadilan tadi terkandung
keadilan legal.5)

Teori-Teori Pada Abad XIX dan Selanjutnya


Positivisme dan Utilitarianisme
Selama abad XIX manusia semakin sadar akan kemampuannya untuk mengubah keadaan
dalam segala bidang. Dalam abad ini pula muncul gerakan positivisme dalam ilmu hukum.
Oleh H.L.A Hart (lahir tahun 1907), seorang pengikut positivisme diajukan berbagai arti dari
positivisme sebagai berikut :6)

Hukum adalah perintah.


Analisis terhadap konsep-konsep hukum adalah usaha yang berharga untuk dilakukan.
Analisis yang demikian ini berbeda dari studi sosiologis dan historis serta berlainan pula dari
suatu penilaian kritis.
Keputusan-keputusan dapat dideduksikan secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah
ada terlebih dahulu, tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijakan serta
moralitas.
Penghukuman (judgement) secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh
penalaran rasional, pembuktian atau pengujian.
Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum, harus senantiasa dipisahkan dari
hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan. Inilah yang sekarang sering kita terima
sebagai pemberian arti terhadap positivisme ini.
Berbeda dengan John Austin (1790-1859), yang menyatakan bahwa hukum adalah
sejumlah perintah yang keluar dari seorang yang berkuasa didalam negara secara
memaksakan, dan biasanya ditaati. Satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan tertinggi
didalam suatu negara. Sumber-sumber yang lain disebutnya sebagai sumber yang lebih
rendah (subordinate sources).
John Austin mengartikan ilmu hukum sebagai teori hukum positif yang otonom dan dapat
mencukupi dirinya sendiri. Menurut John Austin, tugas dari ilmu hukum hanyalah untuk
menganalisa unsur-unsur yang secara nyata ada dari sistem hukum modern. Sekalipun
diakui ada unsur-unsur yang bersifat histeris didalamnya, namun unsur-unsur tersebut telah
diabaikan dari perhatian. Hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat
didalam suatu negara.
Jeremy Bentham (1748-1832) adalah seorang penganut utilitarian yang menggunakan
pendekatan tersebut kedalam kawasan hukum. Dalilnya adalah bahwa manusia itu akan
berbuat dengan cara sedemikian rupa sehingga ia mendapatkan kenikmatan yang
sebesar-besarnya dan menekan serendah-rendahnya penderitaan.7)Tujuan akhir dari
perundang-undangan adalah untuk melayani kebahagiaan paling besar dari sejumlah
terbesar rakyat.
Rudolph von Jhering sering disebut sebagai “social utilitarianism”. Ia mengembangkan
segi-segi positivisme dari John Austin dan menggabungkannya dengan prinsip-prinsip
utilitarianisme dari Jeremy Bentham dan John Stuart Mill.

Rudolph von Jhering memusatkan perhatian filsafat hukumnya kepada konsep tentang
“tujuan”, seperti dikatakannya didalam salah satu bukunya yaitu bahwa tujuan adalah
pencipta dari seluruh hukum, tidak ada suatu peraturan hukum yang tidak memiliki
asal-usulnya pada tujuan ini, yaitu pada motif yang praktis. Menurutnya hukum dibuat
dengan sengaja oleh manusia untuk mencapai hasil-hasil tertentu yang diinginkan. Ia
mengakui bahwa hukum itu mengalami suatu perkembangan sejarah, tetapi menolak
pendapat para teoritisi aliran sejarah, bahwa hukum itu tidak lain merupakan hasil dari
kekuatan-kekuatan historis murni yang tidak direncanakan dan tidak disadari. Hukum
terutama dibuat dengan penuh kesadaran oleh negara dan ditujukan kepada tujuan
tertentu.8)

John Stuart Mill berpendapat hampir sama dengan jeremy bentham, yaitu bahwa tindakan
itu hendaklah ditujukan kepada tercapainya kebahagiaan. Standar keadilan hendaknya
didasarkan kepada kegunaannya. Akan tetapi Ia berpendapat, bahwa asal usul kesadaran
akan keadilan itu tidak ditemukan pada kegunaan, melainkan pada dua sentimen, yaitu
rangsangan untuk mempertahankan diri dan perasaan simpati. Menurut John Stuart Mill,
keadilan bersumber pada naluri manusia untuk menolak dan membalas kerusakan yang
diderita, baik oleh diri sendiri, maupun oleh siapa saja yang mendapatkan simpati dari kita.
Perasaan keadilan akan memberontak terhadap kerusakan, penderitaan, tidak hanya atas
dasar kepentingan individual, melainkan lebih luas dari itu, sampai kepada orang-orang
lainyang kita samakan dengan diri kita sendiri. Hakikat keadilan dengan demikian,
mencakup semua persyaratan moral yang sangat hakiki bagi kesejahteraan umat
manusia.9)

Teori Hukum Murni

Hans Kelsen (1881-1973),adalah pelopor aliran ini. Bukunya yang terkenal adalah Reine
Rechslehre (ajaran hukum murni).Teori hukum murni ini lazim dikaitkan dengan Mazhab
Wina. Mazhab Wina mengetengahkan dalam teori hukum pencarian pengetahuan yang
murni, dalam arti yang paling tidak mengenal kompromi, yaitu pengetahuan yang bebas dari
naluri, kekerasan, keinginan-keinginan dan sebagainya.

Teori hukum murni juga tidak boleh dicemari oleh ilmu-ilmu politik, sosiologi, sejarah dan
pembicaraan tentang etika. Dasar-dasar pokok teori Hans Kelsen adalah sebagai berikut
:10)
Tujuan teori tentang hukum, seperti juga setiap ilmu, adalah untuk mengurangi kekalutan
dan meningkatkan kesatuan (unity)
Teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak, keinginan. Ia adalah pengetahuan tentang
hukum yang ada, bukan tentang hukum yang seharusnya ada
Ilmu hukum adalah normatif, bukan ilmu alam
Sebagai suatu teori tentang norma-norma, teori hukum tidak berurusan dengan persoalan
efektifitas norma-norma hukum
Suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu teori tentang cara pengaturan dari isi yang
berubah-ubah menurut jalan atau pola yang spesifik
Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positif tertentu adalah seperti
antara hukum yang mungkin dan hukum yang ada.
Salah satu ciri yang menonjol pada teori hukum murni adalah adanya suatu paksaan. Setiap
hukum harus mempunyai alat atau perlengkapan untuk memaksa. Negara dan hukum
dinyatakan identik, sebab negara hanya suatu sistem perilaku manusia dan pengaturan
terhadap tatanan sosial. Kekuasaan memaksa ini tidak berbeda dengan tata hukum, dengan
alasan bahwa didalam suatu masyarakat hanya satu dan bukan dua kekuasaan yang
memaksa pada saat yang sama.
Bagian lain dari teori Hans Kelsen yang bersifat dasar adalah konsepsinya mengenai
Grundnorm, yaitu suatu dalil yang akbar yang tidak dapat ditiadakan yang menjadi tujuan
dari semua jalan hukum bagaimanapun berputar-putarnya jalan itu. Grundnorm merupakan
induk untuk melahirkan peraturan-peraturan hukum dalam suatu tatanan sistem tertentu

TENTANG TEORI, KONSEP DAN PARADIGMA

DALAM KAJIAN TENTANG

MANUSIA, MASYARAKAT DAN HUKUMNYA

oleh: Soetandyo Wignjosoebroto

Sesungguhnyalah tidak ada satu konsep semata wayang tentang apa yang disebut hukum
itu. Maka pula, apabila diketahui bahwa apa yang disebut konsep itu sesungguhnya
merupakan penentu suatu bangunan teori – seperti yang dikatakan dalam kepustakaan
berbahasa Inggris bahwa ‘concepts is the building blocks of theories’, haruslah disimpulkan
di sini bahwa “tiadanya kesamaan konsep akan berkonsekuansi pada akan tiadanya satu
teori semata tentang apa yang disebut hukum itu”. Hukum yang dikonsepkan sebagai
‘aturanaturan undang-undang’ tentulah akan diteorikan lain dari hukum yang dikonsepkan
sebagai seluruh hasil proses yudisial yang berujung pada putusan hakim’, dan akan lain
pula apabila hukum dikonsepkan dalam ujud realitas atau realisasinya yang tertampak
sebagai ‘keteraturan perilaku manusia dalam kehidupan bermasyarakatnya’.

Tentang apa yang dimaksud dengan ‘konsep’ dan ‘teori’ yang lazim dirujuk dalam berbagai
wacana akademik pada umumnya. Karena perbincangan tentang ‘teori’ ini tak hanya akan

menyangkut ihwal strukturnya saja, akan tetapi juga ihwal perkembangannya — yang tak
selamanya lancar-lanacar saja melainkan acap benar banyak mengalami berbagai gejolak
dan konflik pemikiran – maka persoalan ‘paradigma’sudah selayaknya kalau juga
dipaparkan dan dijelaskan di bab pertama ini. Relevansi perbincangan tentang ‘konsep, teori
dan paradigma’ dengan permasalahan dalam kajian hukum akan dibicarakan di bab-bab
berikutnya.

Tentang Konsep

Dalam bahasa sehari-hari, apa yang disebut ‘konsep’ itu tak lain daripada ‘kata’. Di sebut
dalam batasan tertentu yang definitif, apa yang disebut konsep secara umum ini tak lain
daripada apa yang disebut ‘terma’ dalam logika dan apa yang disebut ‘istilah’ dalam setiap
perbincangan keilmuan. Apapun sebutannya dalam berbagai perbincangan, secara umum
dapatlah dikatakan per definisi bahwa ‘konsep’ itu ialah simbol tertentu yang digunakan
sebagai representasi objek yang diketahui dan/atau dialami oleh manusia dalam kehidupan
bermsyarakatnya. Sebagai simbol bermakna, setiap konsep bermukim di alam numenon,
ialah alam ide yang imajinatif, sedangkan objek yang diwakili berada di alam phenomenon,
ialah alam fakta-aktual yang indrawi.[1]

Kucing sebagai hewan berkaki empat sebagaimana yang kita lihat sehari-hari di

sekitar rumah kita dengan segala ulah lakunya, misalnya, adalah objek amatan mata kita.

Sebagai objek, kucing berada di alam fenomenon yang sekaligus juga indrawi. Tetapi
kata’kucing’ (dalam bahasa Indonesia) atau yang boleh juga diganti dengan kata ‘cat’ (dalam
bahasa Inggris) adalah suatu simbol representatif yang berada di alam nomenon yang
sekaligus juga imajinatif. Sebagai simbol representatif yang berada di alam nomenon, dan
yang sekaligus juga imajinatif itu, kata atau terma ‘kucing’ ini akan bersifat abstrak dan
umum, yang akan tergambar secara berlain-lainan dalam imajinasi para pewacana, dan
akan “terlukis” berbeda-beda di alam imajinasi dari orang ke orang.

Konsep dalam alam imajinasi yang abstrak ini sebenarnya masih berjenjang-jenjang,
terkategorikan ke dalam kelas-kelas, dari yang relatif lebih kongkrit sampaipun ke yang lebih
– atau bahkan bisa yang jauh lebih – abstrak dan bermakna lebih umum atau luas. ‘Kucing’,
misalnya, adalah konsep yang abstrak, tetapi ‘binatang’ adalah konsep yang lebih abstrak
dan ‘makhluk’ adalah konsep yang jauh lebih abstrak lagi. Makin abstrak, akan makin luas
cakupan representasinya. Kata ‘binatang’ sebagai konsep jelas tidak akan mencakup apa
yang kita kenali lewat amatan sebagai ‘kucing’ saja, akan tetapi juga mencakupi
hewanhewan lain seperti harimau, anjing, kambing, ayam, buaya, ikan dan lain-lain ad
infinitum.

Lebih abstrak daripada konsep ‘binatang’, tentu saja konsep ‘makhluk hidup’, dan masih
lebih abstrak lagi adalah konsep ‘semua makhluk’.

Sementara itu, di tingkat abstraksi manapun, sesuatu konsep bisa direduksi kembali agar
lebih kongkrit dengan menambahkan kata sifat atau kata keterangan lain yang berefek
mengkhususkan. Kembali pada kata ‘kucing’ sebagai contoh, ‘kucing hitam’, misalnya
adalah terma atau konsep yang lebih kongkrit daripada ‘kucing’ begitu saja. ‘Kucing hitam
yang kakinya pincang dan yang kemarin saya beri makan’ tak pelak lagi adalah terma yang
jauh lebih kongkrit lagi. Dalam kajian zoologi, segala macam hewan tersebut di muka, yang

dicakup dalam konsep animal kingdom, bisa saja direduksi secara konseptual ke dalam dua
divisi animalea yang bercakupan lebih sempit dan saling membedakan, misalnya ke dalam
‘hewan yang menyusui (mamalia) dan ‘bertelur’; yang menyusui masih akan bisa
dikongkritkan lagi secara konseptual ke dalam ‘yang pemakan daging (karnivora)’ dan ‘yang
pemakan tumbuh-tumbuhan (herbivora)’, dan seterusnya. Begitulah kita dapati dalam
perbincangan keilmuan, kali ini mengambil zoologi sebagai contoh, adanya berbagai konsep
– animalea, mamalia, herbivora – yang berbeda-beda tingkat abstraksinya, yang dengan
demikian juga luas-sempit atau umum-khusus taraf cakupannya.

Dalam ilmu pengetahuan sosial, objek-objek yang terjumpai dalam kehidupan sosial pun
harus dibataskan secara definitif kedalam konsep-konsep, dan persoalan yang berkenaan
dengan taraf abstraksinya akan pula mesti diperhatikan. Hanya saja, cukup berbeda dari
kajian-kajian ilmu hayat dengan objek hewan atau tumbuh-tumbuhan yang lebih kasat mata,
kajian-kajian ilmu pengetahuan sosial akan lebih banyak berkenaan dengan objek-objek
yang

tak secara langsung berkategori kasat mata. Kelas sosial (yang atas, yang tengah atau yang
bawah, misalnya adalah konsep yang tak bisa dibataskan berdasarkan kerja “sekali amatan
yang direk”, melainkan mesti dikerjakan dengan memperhatikan tengara-tengaranya (the
signs) yang manifes di alam indrawi, yang oleh sebab itu dapat didatakan; misalnya tingkat
pendapatannya, tingkat pendidikan dan keterpelajarannya, tingkat kekayaannya, dan
apapun lainnya lagi. Berbeda dengan ilmu hayat atau ilmu alam kodrat lainnya, yang
seabstrak apapun simbolsimbol yang dipakai sebagai konsep, selalu saja konsep-konsep itu
gampang menunjukkan objek-objek rujukannya dengan sekali amatan, tidaklah demikian
halnya dengan kajian ilmiah yang berobjek manusia berikut masyarakatnya. Akan diketahui
nanti bagaimana dalam kajian dengan objek manusia dan/atau masyarakatnya ini – baik
yang dikenali sebagai ilmu pengetahuan sosial maupun yang dikenali sebagai ilmu hukum –
konsep-konsep yang dikembangkan akan condong lebih bersifat abstrak, imajinatif, dan
merupakan konstruksikonstruksi rasional dalam alam pikiran daripada lebih bersifat hasil
abstraksi yang berpadanan langsung dengan objek yang terjumpai sebagai fenomenon/na di
alam indrawi ini. Dengan demikian, ilmu pengetahuan sosial dan ilmu hukum itu boleh
dikatakan lebih gampang dicenderungkan ke gambarannya yang ideal dengan blue-sky
concepts-nya daripada kajian-kajian ilmu alam kodrat (natural and life sciences) yang nyata
lebih down to earth, punya padanannya yang nyata dan direk di alam indrawi.

Tentang Teori

‘Teori’ – berasal dari kata theoria dalam bahasa Latin yang berarti ‘perenungan’,

yang pada gilirannya berasal dari kata thea dalam bahasa Yunani yang berarti ‘cara atau
hasil pandang’[2] — adalah suatu konstruksi di alam ide imajinatif manusia tentang
realitas-realitas yang ia jumpai dalam pengalaman hidupnya. Adapun yang disebut
pengalaman ini tidaklah hanya pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia dari alam
kehidupannya yang indrawi, tetapi juga diperoleh dari alam kontemplatif-imajinatifnya,
khususnya dalam ilmu pengetahuan yang berobjek manusia dalam kehidupan
bermasyarakatnya. Apapun sumbernya, apakah pengalamannya yang indrawi ataukah
pengalamannya yang kontemplatif-imajinatif murni, teori itu adalah suatu himpunan
konstruksi yang dibangun oleh konsep-konsep yang berada di alam ide imajinatif manusia,
Berada di alam imajinatif, teori adalah gambaran — atau hasil penggambaran — secara
reflektif fenomena yang dijumpai dalam alam pengalaman indrawi manusia, dibangun
dengan bahan-bahan pembangun yang – sebagaimana kita ketahui — disebut konsep.
Betullah apa yang dikatakan secara ringkas dalam kepustakaan berbahasa Inggris, seperti
yang telah dikatakan di awal bab ini, bahwa concepts is the building blocks of theories.
Didefinisikan dalam rumusan yang demikian, berbicara tentang ‘teori’, tak pelak lagi orang
niscaya akan diperjumpakan dengan dua macam realitas. Yang pertama adalah realitas in
abstracto yang berada di alam idea yang imajinatif, dan yang kedua adalah padanannya
yang berupa realitas in concreto yang berada di alam pengalaman yang indrawi. Di dalam
bahasa falsafati, sementara orang mengatakan bahwa realitas pertama disebut ‘realitas
nomenon’ (atau

‘nomena’ apabila jamak), sedangkan yang tersebut kedua disebut ‘realtas fenomenon’
(atau‘fenomena’ apabila jamak).

Berhakikat sebagai realitas yang berada di alam nomena yang imajinatif itu, teori

hanya bisa dijembatani dengan padanannya yang berada di alam realitas fenomena, vise
versa, bersaranakan simbol-simbol yang – dalam ilmu bahasa — disebut ‘kata-kata’ – atau
rangkaiannya yang disebut ‘kalimat’. Ringkasnya kata, teori itu terdiri dari sehimpunan
konsep berikut rangkaian-rangkaiannya yang disebut ‘hukum’ (dalam artinya yang umum
dan luas). Adapun yang disebut hukum dalam artinya yang umum dan luas ini tak lain
daripada kalimat-kalimat pernyataan tentang adanya keniscayaan dalam dua rupa. Yang
pertama ialah keniscayaan faktual yang berasal dari hasil amatan indrawi di alam fenomena
(disebut nomos atau keteraturan empirikal yang objektif); sedangkan yang kedua ialah
keniscayaan moralitas yang berasal dari segugus ajaran yang diyakini kebenarannya
sebagaimana yang bermaqom di alam nomena (disebut norma, atau pula aturan yang
secara subjektif membedakan mana yang baik, yang karena itu wajib dijalani, dan mana
pula yang buruk, yang karena itu wajib dijauhi).
Keniscayaan tersebut pertama, apabila telah teruji dan terverifikasi berdasarkan data —
ialah ‘informasi yang dihimpun secara terukur dari alam empirik berdasarkan metode sains’
— akan disebut hukum alam atau hukum kodrat, atau yang didalam bahasa Inggris disebut
the scientific laws of nature. Hukum kodrat adalah suatu rangkaian kata yang secara
afirmatif menyatakan adanya teori tentang ada-tidaknya hubungan kausal atau korelatif
antara fenomenon yang telah dikonsepkan. Misalnya tentang adanya hubungan antara
‘permintaan atas suatu komoditas’ dan ‘harga komoditas itu’ ; kian tinggi jumlah ‘permintaan’
akan kian tinggi pula ‘harga’; demikian sebaliknya, kian rendah jumlah ‘permintaan’ akan
kian rendah pula ‘harga yang ditawarkan’. Teori aakan tervalidasi secara ilmiah manakala
konstruksi rasionalnya seperti yang disebutkan di muka itu konform dengan data empirik
yang bisa dan telah diperoleh lewat observasi, untuk selanjutnya diabstrakkan sebagai asas
atau dalil yang akan menjelaskan sejumlah amatan yang serupa, di manapun dan
kapanpun, yang terjadi di alam fenomena.

Berbeda dengan keniscayaan tersebut pertama, keniscayaan tersebut kedua tidaklah


memerlukan verifikasi pembenaran dari konsep-konsep yang diperoleh sebagai hasil
observasi. Alih-alih, kebenaran keniscayaan tersebut kedua ini berpangkal pada
konsepkonsep abstrak yang disebut bahan-bahan ajaran, yang hadirnya sebagai realitas
tidaklah dibenarkan atas otoritas data empirik melainkan, melainkan atas dasar asas-asas
yang diyakini sebagai ‘yang telah benar dengan sendirinya (self-evident)’. Kalaupun toh
diperlukan dasar pembenar yang lebih bersifat in personam, amatlah lazim kalau orang
mengklaim bahwa asas-asas itu datang dari sumber kekuasaan yang teramat sentral, baik
yang abstrak (wahyu Tuhan atau tradisi ajaran nenek moyang) ataupun yang lebih kongkrit
dan struktural (titah raja atau putusan suatu badan legislatif).

Mana yang akan dipilih dan diyakini sebagai dasar pembenar pengetahuan berikut teori-teori
yang dibangun olehnya itu akan tergantung dari paradigmanya. Paradigma yang
mensyaratkan kebenaran pengetahuan itu mesti didasarkan pada kebenaran faktual yang
diperoleh dari hasil amatan indrawi yang aktual akan disebut paradigma nomotetik atau
kebenaran fenomenologik, sedangkan paradigma kedua yang mensyaratkan agar
kebenaran pengetahuan itu harus diniscayakan berdasarkan ajaran moral, entah yang
bersumber wahyu entah pula yang bersumber tradisi akan disebut kebenaran normatif atau
kebenaran menologik. Sehubungan dengan kontroversi antara dua ragam dasar pembenar
pengetahuan yang disebut paradigma itu, maka memperbincangkan kebenaran
pengetahuan dan/atau teoriteorinya itu, tak pelak lagi, orang mestilah akan juga
memperbincangkan ihwal ‘paradigma’. Apakah paradigma itu?

Tentang Paradigma

Apakah yang dinamakan’paradigma’ itu? Paradigma adalah suatu istilah yang kini amat
populer dipakai dalam berbagai wacana di kalangan para akademisi untuk menyebut
adanya “suatu pangkal(an) atau pola berpikir yang akan mensyarati kepahaman interpretatif
seseorang secara individual atau sekelompok orang secara kolektif pada seluruh gugus
pengetahuan berikut teori-teori yang dikuasainya”. Istilah ini berasal muasal dari bahasa
Yunani klasik, paradeigma, dengan awal pemaknaannya yang filosofik, yang berarti ‘pola
atau model berpikir’. Dari pangkalan berpikir yang berbeda inilah, sekalipun melihat objek
yang sama, orang tak ayal lagi akan memandang objek yang sama itu dengan persepsi
interpretatif — dan akhirnya juga dengan simpulan dan pandangan – yang berbeda. Segelas
air, sebagai misal, di satu pihak dapat dipersepsi sebagai sebuah gelas yang berisi air,
tetapi di lain pihak dapat pula

dipersepsi sebagai sejumlah air yang tengah berada di dalam sebuah gelas. Seseorang
yang religius – untuk menyebut misal lain — akan cebnderung melihat manusia sebagai ruh
yang terpenjara dalam tubuh yang fisikal, sedangkan seseorang yang lebih berorientasi
sekular akan lebih cenderung untuk melihat manusia sebagai tubuh fisikal yang berfungsi
secara biokhemikal sebagai konverter energi yang memungkin terjadinya berbaagai
gerakan.

Seseorang ahli sejarah ilmu pengetahuan bernama Thomas Kuhn menggunakan

istilah paradigma itu tidak hanya untuk mengisyaratkan adanya pola atau pangkal berpikir
yang berbeda, akan tetapi juga adanya potensi dan proses konflik antara berbagai pola
berpikir yang akan melahirkan apa yang disebut paradigm shift. Dijelaskan olehnya[3]

bahwa, sepanjang sejarah peradabannya yang panjang, komunitas-komunitas manusia itu


hanya akan dapat mempertahankan eksistensinya atas dasar kemampuannya
mengembangkan pola atau model berpikir yang sama untuk mendefinisikan
pengetahuan-pengetahuannya, dan menstrukturkannya sebagai ilmu pengetahuan yang
diterima dan diyakini bersama sebagai “yang normal dan yang paling benar”, untuk
kemudian didayagunakan sebagai penunjang kehidupan yang dipandangnya “paling normal
dan paling benar” pula. Tetapi bersikukuh pada satu gugus pengetahuan dengan keyakinan
paradigmatik tak selamanya bertahan dalam jangka panjang. Dari sejarah ilmu pengetahuan
diketahui bahwa selalu terjadi pergeseran atau beringsutnya suatu komunitas dengan
segala pengetahuan dan ilmunya itu dari satu paradigma ke lain paradigma. Inilah yang
disebut the paradigm shift itu.

Demikianlah pola berpikir alias paradigma yang mendefinisikan pengetahuan suatu


komunitas sebagai pengetahuan yang “normal dan normal” ini hanya bisa bertahan
sepanjang kurun waktu tertentu, sampai ….. sampai suatu ketika tatkala datang krisis; ialah
ketika seluruh gugus teori pengetahuan yang “normal” ternyata tak lagi dapat
didayagunakan secara memuaskan untuk menjawabi persoalan hidup yang bermunculan,
demikian rupa sehingga terjadi kegelisahan yang mendorong orang untuk mencari teori-teori
pengetahuan baru untuk menjawabi banyak persoalan yang tak bisa dipecahkan
bersaranakan pengetahun-pengethuan berparadigmaa lama, dengan “beringsut untuk
beralih” ke pengetahuan pengetahuan baru

yang dibangun atas dasar paradigma yang baru. Terjadilah di sini pergeseran dari pola
berpikir paradigmatik yang lama ke yang baru. Kuhn (1922- ), seorang ahli fisika, dalam
kapasitasnya sebagai pengkaji sejarah ilmu pengetahuan mengatakan bahwa
perkembangan intelektual dalam peradaban manusia itu tidaklah pernah berlangsung
secara lempang-lempang saja dalam satu alur arus linier yang berotoritas besar (a
mainstream). Alih-alih, dalam perkembangan selalu saja terjadi kritik yang mengundang
gejolak, ialah tatkala paradigma lama — sebagai “ilmu yang dipandang normal dan
berlegitimasi pada masanya” – gagal menjawabi masalah-masalah baru yang timbul, dan
selanjutnya hanya akan menerbitkan anomali-anomali saja. Keadaan seperti itu akan
mengundang paradigma baru yang bisa menawarkan alternatif. Apabila diterima, paradigma
baru ini akan menjadi sumber terjadinya arus pemikiran baru, yang tak hanya akan
menyandingi melainkan juga sampai bisa menandingi mainstream lama. Apabila berhasil,
paradigma baru akan dominan sebagai mainstream yang meminggirkan paradigma lama,
walau mungkin saja yang lama ini tidak akan lenyap begitu saja dari percaturan.

Konsep paradigm shifts membuka kesadaran bersama bahwa para pengkaji ilmu

pengetahuan itu tak akan selamanya mungkin bekerja dalam suatu suasana “objektivitas”
yang mapan, yang bertindak tak lebih tak kurang hanya sebagai penerus yang berjalan
dalam suatu alur progresi yang linier belaka. Para pengkaji dan peneliti ilmiah yang sejati
selalu saja memiliki subjektivitas naluriah untuk bergerak secara inovatif guna mencari dan
menemukan alur-alur pendekatan baru, atau untuk mempromosikan cara pendekatan yang
sampai saat itu sebenarnya sudah ada namun yang selama ini terpendam dan terabaikan
oleh kalangan yang selama ini berkukuh pada paradigma lama yang diyakini telah berhasil
menyajikan sehimpunan pengetahuan yang “normal dan tak lagi diragukan legitimasinya”.

Kehendak untuk mencari dan menemukan alur pendekatan baru yang berbau bid’ah ini
selalu saja terjadi dalam sejarah falsafati dan keilmuan manusia, khususnya apabila terjadi
perubahan besar yang mendasar pada kehidupan sosial-politik, yang menghadapkan
manusia warga masyarakat politik pada banyak permsalahan baru yang menghendaki
jawabanjawaban yang baru pula.

Konflik Paradigma Yang Klasik:

Kebenaran Teologik Versus Kebenaran Saintifik

Dalam kajian filsafat sosial dan ilmu pengetahuan sosial, yang kelak meliput juga kajian
tentang hukum nasional yang modern, ada dua paradigma yang sejak lama berebut dan silih
berganti merebut posisi dominan, baik dalam percaturan akademik maupun dalam
pemecahan masalah kehidupan sehari-hari. Adapun kedua paradigma itu ialah paradigma
teologik yang etik-normatif dan paradigma saintifik yang logik-empirik. Paradigma tersebut
pertama tampil sebagai mainstream yang dominan sejak dari era falsafati kaum Stoa di
masa sejarah Yunani kuno, sebagaimana yang diwakili antara lain oleh Aristoteles (384-322
s.M.), sedangkan paradigma yang kedua datang mencabar pada masa yang jauh lebih
kemudian, ialah masa datangnya ajaran tentang kebangkitan rasio manusia yang dikenali
sebagai era renesans, sebagaimana yang diwakili antara lain oleh Galileo dari Galilea (1564
-1642).
Paradigma Aristotelian:

Paradigma Aristotelian berpangkal pada kepahaman bahwa alam semesta ini berhakikat
sebagai suatu keteraturan atau suatu tertib (disebut‘order’ dalam bahasa Inggris) yang
sudah pre-establihed, dalam arti bahwa ‘sudah tercipta dan menjadi ada sejak awal
mulanya’. Alam semesta itu sudah ada di idea Tuhan yang normatif sebelum ada dalam
wujudnya yang empirik dalam alam amatan manusia. Lebih lanjut lagi alam pemikiran
Aristoteles, semesta itu tidaklah cuma merupakan sesuatu “ada sebelum ada”
(pre-established), akan tetapi juga disifati oleh hadirnya keselarasan (harmony) yang final
dan sekaligus juga merupakan suatu rancangbangun tatanan yang terwujud hanya karena
adanya suatu penciptaan oleh Yang Maha Sempurna, yang oleh sebab itu juga
mengisyaratkan adanya tujuan subjektif Sang Maha Sempurna yang final (causa finalis)
pula, ialah kesempurnaan yang tak akan dapat diganggu. Episteme Aristotelian — yang
memahamkan semesta sebagai suatu tertib tunggal yang preestablished, finalistik, serba
berkelarasan dan teleologik (<teleos = tujuan) – ini, menggambarkan semesta ini sebagai
suatu tertib kodrati yang telah sempurna, yang tidak hanya ‘tak akan dapat diganggu’ akan
tetapi juga ‘tak boleh diganggu’. Tak ayal lagi, alam semesta ini lalu juga dipahamkan
sebagai suatu alam yang berkeniscayaan mutlak karena bersumber dari moral
kesempurnaan Tuhan, yang dalam kekuasaannya sebagai Sang Khalik adalah pencipta
kebaikan dan keindahan yang tak terbantah. Semesta merupakan ekspresi kecerdasan dan
kearifan illahi, dan setiap elemen dalam tatanan moral seperti ini (yang anorganik maupun
yang organik, tak kurang-kurangnya juga manusia) sudah dikodratkan dan karena itu
haruslah pula berulahlaku menuruti keniscayaan yang sudah kodrati itu, deikian rupa agar
keteraturan dan keselarasan dalam tertib semesta ini akan senantiasa terjaga. Nama
Gotfried Wilhelm Leibniz (1646-1716) barangkali dapatlah disebut sebagai salah seorang
representasi paham Aristotelian dari masa yang boleh dibilang sezaman dengan maraknya
paham Galilean yang dikatakan sebagai perintis peletakan dasar-dasar ontologik dan
epistimologik bagi perkembangan ilmu pengetahuan fisika modern. Sebagai pemikir dalam
garis Aristotelian, alam pemikiran Leibniz tak terlalu berbeda dengan episteme Aristotelian
yang dikuasai oleh pemikiran metafisikal yang meyakini kebenaran konsep, bahwa
kehidupan semesta ini telah dikuasai sejak awal mula oleh suatu imperativa keselarasan.
Dengan perkataan lain, alam semesta ini pada hakikatnya adalah suatu tertib
berkeselarasan yang telah terwujud secara pasti sejak awal mulanya sebagai suatu
preestablished harmonius order yang tak sekali-kali mengenal adanya pertentangan. Leibniz
menggambarkan hadirnya keselarasan semesta semisal hadirnya keselarasan yang
dimainkan oleh suatu paduan orchestra. Sekian banyak pemusik (ialah satuan-satuan yang
oleh Leibniz disebut monad yang independen) telah “memainkan” bagian masingmasing
yang sekalipun masing-masing bertindak sendiri-sendiri secara mandiri, namun secara total
terwujudlah suatu berkeselarasan. Dipahamkan bahwa keselarasan itu terwujud tak lain
karena adanya partitur yang telah ada dan tercipta serta ditetapkan sejak awal mula oleh
sang komposer, lama sebelum musik dimainkan oleh para monad itu dan tersaksikan secara
indrawi.. Partitur itu telah hadir sebagai bagian yang inheren di dalam setiap diri satuan
(pemain) yang sama-sama hadir di dalam totalitas sistem (orkestra).
Paradigma Galilean:

Paradigma Galilean, yang mencabar paradigma lama yang Aristotelian, marak pada suatu
zaman tatkala sejumlah manusia pencari kebenaran mencoba memahami keteraturan alam
semesta ini tidak lagi berhakikat sebagai a harmonious pre-established God’s order.
Paradigma baru ini mengetengahkan pemikiran bahwa seluruh tertib semesta
inisesungguhnya merupakan himpunan fragmen variabel dalam jumlah yang tak terhingga,
yang secara terus-menerus berhubungan secara interaktif dalam suatu proses kausalitas di
ranah indrawi, yang sekalipun tampak seperti suatu kekisruhan (chaos), yang berlangsung
secara= berterusan seolah tanpa mengenal titik henti yang final, namun yang sesungguhnya
– di tengah situasi yang secara indrawi tampak kisruh itu — sedang berproses secara
progresif dengan keniscayaan yang tinggi, bergerak dari suatu situasi keseimbangan yang
semula ke suatu situasi keseimbangan berikutnya, ad infinitum. Inilah yang kelak, dalam
sains fisika, disebut homeostasis..

Demikianlah akan dikatakan secara paradigmatik dalam pemikiran yang Galilean ini bahwa
semesta itu adalah sesungguhnya suatu jaringan variabel yang interaktif, yang bergerak
secara dinamik dan progresif di tengah alam indrawi yang objektif, tunduk pada imperativa
kausalitas yang berada di luar rencana dan kehendak sesiapapun. Imperativa kausalitas ini
meniscayakan terjadinya keterulangan hubungan interaktif antar-variabel yang progresif,
yang oleh sebab itu akan memungkinkan para pemantau yang dengan tekun menyimaknya
untuk menengarai adanya universalitas dalam hubungan antar-variabel itu, yang pada
gilirannya akan memungkinkan para pemantau ini dapat membuat prediksi apa yang akan
terjadi apabila satu variabel dikontrol dan/atau dihadirkan terhadap variabel yang lain. Di
sinilah letak keistimewaan paradigma Galilean yang non-teologik melainkan saintifik, yang
memungkinkan terjadinya “transfer” dari episteme (pengetahuan yang murni dengan
idiom-idiomnya yang normatif) ke techne (pengetahuan yang aplikatif dengan idiomidiomnya
yang lugas dan rasional untuk mengatakan apa adanya). Dari paradigma yang tak hanya
mengetengahkan perlunya mengetahui berbagai peristiwa kausalitas di alamnya yang
objektif dan “buta nilai”, melainkan yang juga menyadari adanya kemungkinan mengontrol
sebab untuk memproduksi dan mereproduksi akibat inilah lahirnya ilmu pengetahuan
(science>sains) berikut berbagai metodenya untuk memanipulasi hubungan-hubungan
sebabakibat ke arah ragam-ragamnya yang tak hanya bernilai ilmiah/saintifik tetapi juga
yang

teknologik.

Pengetahuan Tentang Manusia Berikut Perilakunya:

Manusia Seperti ‘Apa Adanya’ Sebagai Objek Kajian Sains

Berabad lamanya pemikiran dalam rangka pencarian pengetahuan yang benar tentang ihwal
manusia, berikut kebenaran perilakunya, tak pernah dilepaskan dari pengkategoriannya ke
dalam rumpun episteme Aristotelian yang normatif-moralistik. Dalam kategori rumpun ini,
kebenaran tentang ihwal manusia secara kategorikal akan masuk dalam perbincangan
tentang rightness yang dilawankan dengan wrongdoing, dan bukan tentang persoalan
factual truth yang harus dilawankan dengan falseness atau the untruth. Maka, tatkala
kehidupan fauna dan flora mulai diminati sebagai objek kajian life sciences, yaitu suatu
kajian dalam tradisi dan strategi Galilean yang saintifik, manusia sebagai makhluk hidup
tidaklah serta merta dipandang patut untuk dikaji dalam eksistensi jasmaniahnya yang
faktual itu. Vesalius, misalnya, memperoleh reaksi keras ketika ia membedah mayat untuk
mempelajari anatomi tubuh manusia, yang ternyata berkemiripan dengan anatomi
makhlukmakhluk hewani lainnya. Reaksi muncul karena konsep tentang manusia pada
masa itu mengunggulkan manusia sebagai makhluk tercipta dalam kualitasnya yang paling
sempurna di antara makhluk-makhluk yang lain. Dalam pembedahan anatomik, tatkala
Vesalius mengatakan kesaksiannya bahwa ia tidak menemukan apapun yang boleh disebut
‘ruh’ di dalam tubuh yang ia bedah itu, dan apa yang ia temukan tak berbeda secara
kualitatif dengan apa yang ada di dalam tubuh-tubuh hewan, sang dokter pembedah ini
mendapatkan reaksi dan dakwaan yang amat keras sebagai pengganggu kepercayaan umat
yang selama ini meyakini kesempurnaan Tuhan dan refleksiNya pada makhluk-makhluk
ciptaannya. Reaksi keras juga diserukan terhadap teori evolusi yang dikemukakan Charles
Darwin tentang The Origin of Species dua abad kemudian. Reaksi tidak hanya dimaksudkan
untuk menyangkal tesis Darwin bahwa jenis-jenis makhluk yang ada di permukaan bumi
saat ini merupakan produk proses sebab-akibat yanag acak, yang berlangsung secara
evolusioner, antara berbagai unsur dinamik yang ada di dalam tubuh makhluk (potensi
mutasi) dan yang ada di luar tubuh (lingkungan yang menuntut kemampuan adaptif
makhluk). Lebih lanjut dari itu, reaksi terutama juga sehubungan dengan tersiratnya asumsi
dalam teori Darwin, bahwa evolusi yang menjelaskan asal-muasal primordial
makhluk-makhluk hidup itu boleh juga dipakai untuk menjelaskan asal-muasal manusia
(yang mungkin sekali primordial juga, dan tidak sempurna sejak awal mulanya).

Apapun juga kerasnya reaksi dan keberatan yang diserukan atas digunakannya

pendekatan scientism dengan paradigma Galilleannya itu, tanpa bisa ditahan-tahan lagi
pemikiran pada alur scientism — yang meragukan kesempurnaan sistem semesta sejak
awal penciptaannya – mulai masuk juga ke alam pemikiran mereka yang menempatkan
manusia dan kehidupan kolektifnya sebagai objek pemikiran dan/atau kajiannya. Inilah
pemikiran yang terbilang eklektik dan merupakan pengkajian yang tergolong sekular, dalam
arti bahwa dan nomos an norma adalah identik, dalam arti bahwa apapun yang merupakan
‘keteraturan umum’ yang terjadi dalam kehidupan manusia, suatu nomos yang tersimak
dalam wujud pola perilaku (pattern of behavior) manusia adalah sesuatu yang secara
normatif harus dibilang wajar dan manusiawi, dan karena itu ya “baik-baik saja”.. Pola
perilaku manusia yang mencerminkan adanya naluri egosentrik untuk mempertahankan
eksistensinya yang jasmaniah, misalnya, oleh Adam Smith dikatakan secara jelas sebagai
pola perilaku individual yang – sekalipun pada dasarnya adalah perilaku yang berangkat dari
usaha memperjuangkan kepentingannya sendiri – adalah sesuatu fenomen yang wajar,
yang oleh sebab itu tak tercela, dan harus dibilang etis jugalah adanya. Menurut Smith,
dalam bukunya The Wealth of Nations (1776), justru self-interest itulah yang mendorong
manusia-manusia bekerja keras untuk memperoleh meningkatkan kesejahteraan
jasmaninya, dan secara total akan meningkatkan pula kesejahteraan bangsa. Perilaku yang
berbasis self-interest namun mampun mendatangkan kesejahteraan bangsa inilah yang
mendorong Smith untuk menggolongkan manusia bermotif ekonomi ini tidak hanya hadir
sebagai Homo economicus.tapi juga sebagai Homo ethicus.

Pola perilaku manusia yang berbasis kepentingan pribadi tatkala berupaya memenuhi
kebutuhan jasmaninya– yang toh dikonsepkan juga sebagai perilaku etik oleh Adam Smith
— itu tersimak dalam ujud fakta–fakta lugas dalam kehidupan manusia. Proses interaktif
antar-manusia ke arah tertetapkannya nilai dan harga suatu barang adalah salah satu
contohnya.. Nomos yang di kemudian hari dinamakan ‘hukum permintaan-penawaran’
menggambarkan dengan jelas perilaku individual manusia, namun yang kemudian
berlangsung interaktif di pasar dalam suasana yang bebas, tanpa adanya order (perintah
normatif), telah berproses secara acak ke terbentuknya suatu order (keteraturan nomotetik)
yang berkeniscayaan. Naiknya permintaan niscaya akan menaikkan harga, dan, pada
gilirannya, naiknya harga akan menaikkan penawaran. Apabila penawaran akan terus naik,
maka harga akan turun, dan turunnya harga akan menaikkan permintaan. Demikianlah
“goncangan chaotic” itu akan terus berlangsung sampai terjadi keseimbangan baru (yang
pada saatnya akan mengalami goncangan chaotic baru oleh sebab tertentu, yang niscaya
akanmenjurus ke keseimbangan – yang menggambarkan suatu tertib – yang baru pula).

Positivisme Yang Berparadigma Galilean Abad 18-19:

Paham Falsafati Untuk Mendasari Kajian Tentang Hadirnya Keteraturan Dalam Kehidupan
Bermasyarakat Manusia

Pada belahan awal abad 19, marak suatu pemikiran falsafati yang dikenali dengan sebutan
paham positivisme. Positivisme adalah suatu paham falsafati dalam alur tradisi Galilean
yang muncul dan berkembang .pada abad 18. Positivisme – yang berkembang sebagai hasil
pemikiran falsafati perintisnya yang bernama Auguste Comte (1798-1857) — mencoba
mendayagunakan paradigma Galilean ini untuk menjelaskan kehidupan manusia dalam
masyarakatnya. Menurut Comte – yang berlatarbelakangkan kesarjanaan matemática dan
fisika itu – konsep dan metode ilmu alam kodrat dapat juga dipakai untuk menjelaskan
kehidupan kolektif manusia. Menurut Comte, kehidupan manusia itu – sebagaimana
peristiwa-peristiwa yang berlangsung “seperti apa adanya” di kancah alam benda-benda
anorganik yang tak bernyawa – pun terjadi di bawah imperativa hukum sebab akibat dengan
segala kondisi dan faktor probabilitasnya. Hubungan sebab-akibat antar-variabel seperti itu
nyata kalau terlepas dari sembarang kehendak atau rencana yang berkesengajaan yang
sifatnya subjektif.

Sebagaimana halnya kejadian-kejadian di alam semesta yang tunduk pada suatu

hukum yang terbit dari suatu proses acak yang tak berada di bawah imperativa suatu grand
design, menurut Comte kehidupan manusia itu selalu saja dapat dijelaskan sebagai
prosesproses aktualisasi hukum sebab-akibat yang serba berdasarkan hal-hal yang tak
deterministic pula sifatnya. Setiap kejadian dan/atau perbuatan dalam kehidupan manusia –
yang kasuistik sekalipun — selalu saja dapat dijelaskan dari sisi sebab-sebabnya yang
rasional dan alami, dan yang karena itu bersifat ilmiah/scientific. Setiap perbuatan tidaklah
dapat dimaknakan dari substansinya yang berupa niat dan tujuannya sendiri yang
moral-altruistik yang metafisikalitu. Berpenjelasan seperti itu, berangkat dari paradigma
Gallilean yang semula didayagunakan untuk menjelasakan alam tak bernyawa saja,
positivisme harus dikatakan sebagai paham monisme dalam ihwal metodologi keilmuan.
Artinya, bahwa hanya ada satu metode saja dalam kajian sains yang lugas itu, baik yang
akan didayagunakan dalam kajian ilmu pengetahuan alam dan hayat (natural and life
sciences) maupun yang akandidayagunakan dalam kajian ilmu pengetahuan sosial (social
sciences). Menurut kaum positivis ini, mempelajari perilaku benda-benda mati dalam fisika
dan mempelajari perilaku manusia yang mempunyai jiwa dan ruh tidaklah perlu dibedakan.
Dua macam perilaku dalam ranah yang berbeda ini dikatakan sama-sama dikontrol oleh
hukum sebab-akibat yang dapat dijelaskan sebagai imperativa-imperativa yang berlaku
secara universal.

Perkembangan konsep dan metodologi seperti ini, yang menggambarkan terjadinya order –
ialah suatu keteraturan yang tertib yang terwujud sebagai produk interaksi atau hasil
transaksi antar-manusia – tertemui juga kemudian dalam upaya para pemikir untuk
menjelaskan kehidupan berhukum-hukum di tengah suasana kehidupan yang sedang go
national di negeri Barat pada masa itu. Di sini, di tengah kehidupan yang kian berkembang
dalam konfigurasinya yang baru sebagai organisasi negara bangsa, kekuatan pengatur yang
bisa difungsikan untuk mengontrol ketertiban dalam kehidupan yang baru inipun
dikonsepkan sebagai hasil tawar-menawar antar manusia warga bangsa. Transaksi lewat
“suatu pasar politik” antar-manusia dan/atau antar-golongannya itulah nanti yang akan
menentukan hukum baru apa yang akan diterima dan berlaku.

Di “pasar politik” — yang di masyarakat-masyarakat demokratik diinstitusikan sebagai


parlemen, kalaupun sekali-sekala bisa melimpah juga ke jalanan — inilah terjadinya
interaksi dan transaksi antar-manusia warga bangsa untuk menemukan “kompromi harga”.
Warga bangsa dan/atau organisasi politiknya, masing-masing dengan latar belakang
kepentingan dan/atau keyakinannya, menyepakatkan macam keseimbangan baru, yang
didokumentasikan secara tertulis, yang di dalam kajian-kajian scientific atau quasi-scientific
tentang hal ini disebut lex atau lege, (yang di dalam bahasa Indonesia diterjemahkan
‘undangundang’).

Dalam kehidupan kebangsaan, yang dikonsepkan sebagai hasil proses sejarah

sebagaimana berlangsung sebagai proses acak, (tidak menuruti suatu grand design
melainkan by accidents and chances), hukum yang berfungsi sebagai penata tertib
kehidupan kebangaan itu pun nyata kalau terwujud dan tersimak sebagai hasil proses
sejarah, yang acak dan tidak bisa diniscayakan karena adanya suatu grand design yang
final.
Di sinilah awal perkembangan suatu cabang ilmu dan ajaran baru tentang sarana

pengontrol ketertiban yang – menurut paradigmanya – merupakan hasil proses interaktif


antar-warga sendiri. Inilah ilmu (nomologik<nomos+logika) dengan segala teorinya, yang
menjadi dasar suatu ajaran baru dengan segala ragam doktrinnya (yang normatif) tentang
penerapannya guna mengontrol ketertiban masyarakat demi terwujudnya kehidupan yang
lebih berketeraturan. Tanpa hendak membedakan peristilahannya, seluruh teori dan ajaran
itu disebut jurisprudence (di dalam bahasa Inggris), atau rechtswetenschap (dalam bahasa
Belanda), dan Rechtswissen-schaft (dalam bahasa Jerman), yang kemudian diterjemahkan
dan dipopulerkan dengan penamaan ‘ilmu hukum’ dalam bahasa Indonesia.(***)

[1] Nomenon (atau nomena kalau plural) itu berasal dari bahasa Yunani klasik yang berarti
‘buah gagasan’,.Nomenon itu sendiri berasal dari kata nonein yang berarti ‘berpikiran’, yang
pada gilirannya juga berasal dari kata nous yang berari ‘alam gagasan’. Sementara itu,
phenomenon (atau phemomena dalam bentuknya yang plural) juga berasal dari bahasa
Yunani klasik yang berari ‘fakta yang segera terlihat’. Fenomenon itu sendiri berasal dari
kata phanesthai yang berarti ‘menampak’, yang pada gilirannya berasal dari kata phainein
yang berarti ‘memperlihatkan’ atau ‘menunjukkan’. Demikianlah, dari arti kata-kata itu jelas
sudah apa yang dimaksud dengan ‘realitas nomena’ yang bermaqom di alam imajinasi
manusia dan apa pula yang dimaksud dengan ‘realitas fenomena’ yang berada di alam
indrawi manusia.

[2] Dari kata dasar thea ini pulalah datangnya kata modern ‘teater’ yang berarti ‘pertunjukan’
atau ‘tontonan’ yang berkonotasi dengan pengertain ‘apa yang dilhat’..

[3]: Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: Chicago University
Press, 1962).

Terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia dikerjakan oleh Tjun Surjaman, Peran


Paradigma Dalam Revolusi Sains (Bandung: Remaja Karya, 1986).

Anda mungkin juga menyukai