Anda di halaman 1dari 3

Keadilan atau Kepastian Hukum???

Baru ini Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi


pasal 268 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tentang
Pengajuan Kembali (PK) yang diajukan oleh mantan Ketua KPK Antasari Azhar, atas
permohonan itu MK menyatakan bahwa kini upaya hukum luar biasa yakni
permohonan PK dapat dilakukan lebih dari satu kali atau berkali-kali.

Antasari Azhar divonis bersalah dalam pembunuhan atas (Alm)Nasrudin


Zulkarnain, Direktur PT Rajawali Putra Banjaran. Ia divonis hakim 18 tahun penjara
dari tingkat pertama sampai kasasi. Pada 6 september 2011, Antasari mengajukan
PK ke Mahkamah Agung, namun upaya itu ditolak karena bukti yang diajukan tidak
tepat. Antasari kemudian mengajukan yudicial review pasal 268 ayat (3) KUHAP
mengenai pengajuan PK ke Mahkamah Konstitusi dan MK mengabulkan
permohonan uji materi Antasari Azhar dan PK dapat diajukan lebih dari satu kali.

Pro kontra timbul dari putusan MK terkait uji materil pasal 268 ayat (3)
KUHAP bahwa permohonan PK yang bisa dilakukan lebih dari satu kali atau berkali-
kali akan menimbukan ketidakpastian hukum. Ada kekhawatiran jika hal ini akan
memberikan keuntungan atau peluang bagi pelaku extraordinary crime seperti
terorisme, korupsi maupun narkoba untuk melakukan berbagai cara agar
mendapatkan novum atau bukti baru sehingga dapat meringankan hukuman
meraka. Misalnya terpidana mati narkoba yang kemudian mengajukan permohonan
PK untuk mendapatkan keringanan hukuman. Disatu sisi bahwa dengan adanya PK
yang berulangkali, maka itu akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab orang
yang sudah dijatuhi hukuman belum dapat dieksekusi hukumannya, dengan
alasannya menunggu proses PK.

Namun disisi lain pihak yang menyetujui PK dapat dilakukan lebih dari satu
kali dengan alasan keadilan tidak dapat dibatasi dengan sempitnya waktu dan
prosedur formalitas."Upaya hukum luar biasa bertujuan untuk menemukan keadilan
dan kebenaran materiil," kata Hakim Konstitusi Anwar Usman saat membacakan
pertimbangan putusan. Keadilan tidak dapat dibatasi dengan waktu atau ketentuan
formalitas yang membawa bahwa upaya hukum luar biasa (PK) hanya dapat diajukan
satu kali. Hakim Konstitusi Anwar Usman menyatakan mungkin saja ada setelah PK
diajukan dan diputuskan, akan ada novum baru yang belum diketemukan pada PK
sebelumnya.

Lalu, muncul dibenak kita, apa hakikat sebenarnya yang menjadi tujuan
hukum, keadilankah atau kepastian hukum? Sebenarnya tujuan hukum sangat
beragam dan berbeda-beda tergantung dari sudut pandangnya. Dalam ilmu hukum
pidana, ada 3 aliran klasik yang mengklasifikasi tujuan hukum, yakni aliran etis,
aliran utilitis dan aliran normatif yuridis. Aliran etis, menganggap bahwa pada
prinsipnya tujuan hukum itu semata-mata untuk mencapai keadilan. Aliran utilitis,
menganggap bahwa tujuan hukum untuk mencapai kemanfaatan atau kebahagian
masyarakat. Sedangkan aliran normatif yuridis, menganggap bahwa tujuan hukum
semata-mata untuk mencapai kepastian hukum.
Pandangan yang menganggap tujuan hukum semata-mata untuk mencapai
keadilan (aliran etis) sebenarnya keadilan itu sendiri hanya keadilan yang bersifat
abstrak. Karena keadilan wujudnya tidak nyata dan berbeda makna bagi setiap
orang. Namun, Aristoteles yang menganut aliran ini mengemukakan jika keadilan
berwujud kemauan yang sifatnya tetap dan terus menerus untuk setiap orang yang
merupakan haknya, dan keadilan sebagai pembenaran bagi pelaksanaan hukum
yang diperlawankan dengan kesewenang-wenangan.

Aliran utilitis memasukan ajaran moral praktis dimana hukum bertujuan


untuk memberikan kemanfaatan dan kebahagian yang sebesar-besarnya bagi
masyarakat. Bahkan Jeremy Bentham mengemukakan bahwa negara dan hukum
semata-mata ada hanya untuk manfaat sejati, yaitu kebahagiaan mayoritas rakyat.
John Raws dengan teorinya yang disebut teori Rawls atau Justice as Fairness
(keadilan sebagai kejujuran) menyatakan bahwa hukum itu haruslah menciptakan
suatu masyarakat yang ideal yaitu masyarakat yang mencoba memperbesar
kebahagiaan dan memperkecil ketidakbahagiaan (the greatest happiness of the
greatest number people).

Sedangkan aliran normatif yuridis berpendapat jika hukum pada dasarnya


diciptakan sebagai sesuatu yang otonom dan mandiri, yang tidak lain hanyalah
kumpulan peraturan-peraturan yang tertulis dan tujuan pelaksanaan hukum dalam
hal ini sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum. Menurut aliran ini,
meskipun aturan hukum dan penerapan hukum dirasakan tidak adil dan tidak
bermanfaat hal tersebut tidaklah menjadi masalah, asalkan kepastian hukum
ditegakkan.

Hakim dalam memutuskan suatu perkara, secara kasuistis, selalu dihadapkan


pada ketiga hal tersebut, yaitu kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan.
Menurut Sudikno Mertokusumo, ketiga asas tersebut harus dilaksanakan secara
kompromi, yaitu dengan cara menerapkan ketiga-tiganya secara berimbang atau
proporsional sesuai dengan kasus yang dihadapi.

Namun pratiknya di pengadilan, hal demikian menjadi kendala bagi hakim


dalam memutuskan perkara yang dihadapi. Oleh karena, hakim harus memilih salah
satu dari ketiga tujuan hukum itu untuk memutuskan suatu perkara dan tidak
mungkin ketiganya mencakup sekaligus dalam satu putusan. Mengutip pendapat
Achmad Rifai yang menyatakan;

“Jika diibaratkan dalam sebuah garis, hakim dalam memeriksa dan memutuskan
suatu perkara berada di antara 2 (dua) titik pembatas dalam garis tersebut, yaitu
apakah berdiri pada titik keadilan atau titik kepastian hukum, sedangkan titik
kemanfaatan sendiri berada di antara keduanya. Pada saat hakim menjatuhkan
putusan yang lebih dekat mengarah kepada asas kepastian hukum, maka secara
otomatis, hakim akan menjauh dari titik keadilan. Sebaliknya, kalau hakim
menjatuhkan putusan lebih dekat mengarah kepada keadilan, maka secara otomatis
pula hakim akan menjauhi titik kepastian hukum”.
Keraguan mengenai apa yang menjadi hakikat daripada tujuan hukum,
menurut Imam Ibnu Hazm al-andalusi maka yang menjadi tujuan hukum (syariat)
adalah keadilan, tidak ada hukum apabila tidak ada keadilan, dan apabila norma
hukum bertentangan dengan norma keadilan, maka norma itu tidak pantas menjadi
norma hukum. Menurutnya, didalam keadilan hukum ada kepastian hukum dan
didalam kepastian hukum itu ada keadilan hukum, keadilan hukum dan kepastian
hukum bukanlah dua hal yang bertentangan sehingga tugas filsafat hukum untuk
mempertemukan keduanya.

Bagi sebagian pendapat yang memandang hukum sebagai ajaran hukum


normatif yuridis yang menitikberatkan tujuan hukum untuk memperoleh kepastian
hukum maka hal ini menjadi alasan mereka yang menolak jika PK boleh diajukan
lebih dari satu kali atau berulang-ulang kali. Sedangkan Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi yang memutus permohonan uji materi Antasari Azhar menilai jika
keadilan adalah yang terpenting dan segala-galanya dan tidak ada hal apapun yang
dapat menghambatnya meskipun dihadapkan dengan kepastian hukum. Karena PK
merupakan upaya hukum luar biasa dalam rangka menemukan kebenaran materiil
sehingga tak berbatas waktu.

Putusan Majelis Hakim MK mengenai PK yang dapat diajukan berulang kali


memang tergolong hal yang baru. Untuk itu, supaya menciptakan tertib hukum agar
segera diatur mengenai prosedur pengajuan PK yang dapat diajukan lebih dari satu
kali.

Memang sangat sulit untuk kita mencari dan menemukan apa sebenarnya
tujuan hukum, karena hukum dibuat oleh manusia dan diperuntukkan bagi manusia.
Maka penilaiannya pun tak lepas dari perdebatan dan subjektivitas. Meskipun
demikian, hal ini tidak menjadi halangan bagi law enforcement dalam upaya
penegakan hukum dalam keadaan apapun, karena seperti adagium bahwa hukum
harus ditegakkan meskipun langit akan runtuh (fiat justitia et pereat mundus).

Anda mungkin juga menyukai