Anda di halaman 1dari 3

The Living Law

By
admin
-
02/01/2017
0
247

Dr. RAHMAT BAKRI, S.H., M.H.

Rahmat Bakri
DALAM studi ilmu hukum, perbincangan tentang the living law bukan hal
baru. Tokoh sosiologi hukum Eugen Ehrlich (1862-1922) sudah mengenalkan
konsep ini. Ahli hukum berkebangsaan Austria itu menempatkan the living
law sebagai salah satu sumber pelengkap hukum yang disejajarkan dengan
sejarah dan teori hukum.

Perbincangan tentang the living law mengemuka kembali dan menjadi


perhatian pemerhati hukum setelah pendapat ahli hukum tata negara Prof.
Dr. Yusril Ihza Mahendra dimuat di salah satu media online nasional. Yusril
mengatakan hukum Islam adalah the living law atau hukum yang hidup
dalam masyarakat. Pernyataan itu disampaikan berkenaan dengan eksistensi
fatwa yang dikeluarkan MUI (Majelis Ulama Indonesia).

Karakteristik the living law adalah sifatnya yang dinamis. Meskipun tidak
diformulasikan dalam hukum positif tapi the living law hidup dalam alam
pikiran dan kesadaran hukum masyarakat. Karena sifatnya yang dinamis
maka the living law sangat adaptif terhadap perkembangan dan kebutuhan
masyarakat. Menurut Yusril, salah satu instrumen hukum Islam sebagai the
living law adalah fatwa yang dikeluarkan oleh mufti atau institusi lain yang
dianggap mempunyai otoritas dalam masyarakat.

Poin penting dari pendapat Yusril adalah pernyataannya bahwa apabila


negara bersifat demokratis, maka akan memformulasikan hukum dengan
mengangkat kesadaran hukum masyarakat menjadi hukum positif sesuai
kebutuhan hukum masyarakat. Namun seandainya itu tidak atau belum
dilakukan, maka negara harus menghormati hukum yang hidup yang
antara lain tercermin dalam fatwa-fatwa yang dikeluarkan otoritatif tersebut.

Negara juga harus memfasilitasinya agar hukum yang hidup itu dapat
terlaksana dengan baik dalam kehidupan masyarakat.

Menarik bagi pemerhati hukum sebab pada hari yang sama, ahli hukum tata
negara lainnya Prof. Dr. Moh. Mahfud MD juga menulis tema serupa di salah
satu media nasional. Tentang fatwa MUI Nomor 56 Tahun 2016 yang
menyatakan “haram” bagi kaum muslimin memakai atribut-atribut agama
lain, termasuk atribut Natal. Bagi Mahfud, fatwa bukanlah hukum positif.
Dikatakan jangankan fatwa yang dikeluarkan MUI, fatwa MA (Mahkamah
Agung) yang merupakan lembaga yudikatif tertinggi pun tidak mengikat.
Fatwa hanyalah pendapat hukum (legal opinion) dan bukan hukum itu
sendiri.

Setelah terbitnya pernyataan Yusril, Mahfud MD kembali menulis di salah


satu media yang berbeda. Hendak meluruskan bahwa antara dirinya dengan
Yusril tidak ada perbedaan pendapat berkenaan dengan eksistensi fatwa
MUI. Dalam tulisan keduanya, Mahfud menambahkan bahwa jika ada orang
Islam yang mau melaksanakan fatwa, itu sebagai kesadaran beragama
secara pribadi. Bukan sebagai kewajiban hukum. Tidak mengikuti fatwa
keagamaan, sanksinya adalah sanksi otonom atau sanksi yang datang dari
dalam diri sendiri berupa penyesalan atau rasa berdosa.

Sebagai orang yang belajar hukum saya dapat memahami alur pikir kedua
ahli hukum di atas. Pernyataan Mahfud MD sangat tepat dalam konteks
untuk mencegah adanya kecenderungan pihak-pihak tertentu untuk menjadi
penegak fatwa MUI. Baik yang akan dilakukan oleh penegak hukum maupun
oleh masyarakat. Meskipun setuju dengan fatwa MUI tapi demi hukum dan
sikap tertib dalam bernegara, hal ini tidak boleh dilakukan.

Pada sisi lain, pendapat yang disampaikan Yusril juga sangat relevan dalam
konteks pembangunan hukum nasional kita ke depan. Hukum Islam
sebagai the living law harus menjadi sumber inspirasi dalam menggali dan
merumuskan kaidah-kaidah hukum nasional. Tidak terbatas pada hukum
Islam tapi juga termasuk hukum adat, hukum eks kolonial Belanda, serta
berbagai konvensi internasional yang mengandung nilai-nilai universal
tentang keadilan.

Sebab salah satu karakteristik hukum menurut H.L.A. Hart


adalah efficacy yang berarti suatu aturan hukum ditaati secara umum.
Hukum yang tidak sejalan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat
sulit untuk ditaati dan tidak akan efektif berlaku.

*) Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Tadulako

http://radarsultengonline.com/2017/01/02/the-living-law/

Anda mungkin juga menyukai