Anda di halaman 1dari 22

KEWENANGAN PEMBUBARAN PARTAI POLITIK

SEBAGAI KORPORASI YANG MELAKUKAN TINDAK


PIDANA PENCUCIAN UANG

Proposal Penelitian Hukum

Oleh:
Muhammad Dzikri Akbar Syafi’i, S.H.
231221018

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM


MINAT STUDI HUKUM PERADILAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................i

1. Latar Belakang..............................................................................................2

2. Rumusan Masalah.........................................................................................4

3. Tujuan Penelitian..........................................................................................5

4. Manfaat Penelitian........................................................................................5

5. Tinjauan Pustaka...........................................................................................6

6. Metode Penelitian.......................................................................................14

DAFTAR BACAAN.............................................................................................20

i
2

1. Latar Belakang

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 jo Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (UU Partai Politik),

menjelaskan apa yang dimaksud Partai Politik adalah organisasi yang

bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia

secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk

memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota masyarakat,

bangsa, dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik

Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun1945.

Partai politik itu sebagai badan hukum atau korporasi yang dapat

mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana saat ini masih

belum ada peraturan yang tegas menyatakan hal tersebut, akan tetapi pada

UU Partai Politik menyebutkan mengenai partai politik sebagai badan

hukum dilihat dari keberadaan dan statusnya, yaitu berdasarkan rumusan

Pasal 3 undang-undang tersebut yang menunjukkan partai politik lahir

sebagai badan yang tercipta oleh hukum (rechtspersoon, legal entity),

dengan kata lain bahwa partai politik ada merupakan sesuatu yang created

by legal process atau melalui proses hukum sesuai dengan ketentuan

peraturan yang ada.1

Menurut Hassbulah F. Sjawie, dalam bukunya menyatakan bahwa

permasalahan pertanggungjawaban suatu partai politik menjadi


1
Russel Butarbutar, ;Pertanggungjawaban Pidana Partai Politik Dalam Tindak Pidana
Korupsi Dan Pencucian Uang, Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Volume 3, Nomor 2 Tahun 2016,
hlm. 358. (Diakses pukul 10.18, 21 Oktober 2022).
3

pelaku/subjek tindak pidana merupakan sesuatu yang tidak bisa dianggap

mudah, mengingat partai politik adalah badan hukum dimana pangkal dari

permasalahannya adalah tiada pidana tanpa kesalahan sebagai asas yang

harus dipenuhi. Kesalahan yang dimaksud adalah sikap kalbu atau yang

disebut dengan mens rea dimana secara alami hanya terdapat pada orang

alamiah saja, maka pertanggungjawaban pidana yang dapat diminta adalah

hanya kepada manusia alamiah saja.2

Penjatuhan pidana terhadap korporasi sebagai pelaku tindak pidana

pencucian uang dapat dilakukan apabila dilakukan oleh anggota nya yang

diduga melakukan pencucian uang selain untuk menguntungkan dirinya

sendiri juga diduga untuk menguntungkan suatu korporasi tersebut.

Apabila terdapat anggota partai politik yang melakukan pencucian uang

maka seharusnya partai politik itu dapat dijatuhkan pidana juga karena

merupakan satu kesatuan dalam partai politik atau korporasi itu sendiri.

Korporasi bertanggungjawab atas apa yang sudah dilakukan oleh anggota

dalam pertanggungjawaban korporasi masuk kedalam teori Vicarious

Liability. Selama tindakan karyawan tersebut dilakukan untuk kepentingan

korporasi maka korporasi wajib bertanggungjawab atas tindakan dan

dampak dari tindakan itu. Penjatuhan pidana pokok terkait kasus tersebut

berupa pidana denda untuk korporasi atau badan hukum dalam hal ini

partai politik.

2
Hassbulah F. Sjawie, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada Tindak Pidana Korupsi
Cet 1 (Jakarta: Prenada Media Group, 2015), hlm 63.
4

Penjatuhan pidana pokok kepada korporasi berupa denda, terdapat

pula pidana tambahan berupa pembubaran korporasi, adapula yang

menjadi perdebatan disini terkait pidana tambahan pembubaran korporasi

dalam hal ini partai politik. Pengaturan pembubaran korporasi sebagai

pidana tambahan dalam Undang-Undang No 8 Tahun 2010 Tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU

Tindak Pidana Pencucian Uang) secara tidak langsung memberikan

kewenangan kepada Hakim Pengadilan Negeri untuk dapat membubarkan

partai politik sebagai korporasi yang terbukti melakukan tindak pidana

pencucian uang.

Sementara disisi lain dalam Pasal 24C Undang-Undang Dasar

Republik Indonesia Tahun 1945 UU Partai Politik tertulis bahwa yang

memiliki kewenangan untuk membubarkan partai politik ialah Mahkamah

Konstitusi. Berdasarkan hal tersebut, terdapat tumpang tindih kewenangan

antara Hakim Pengadilan Negeri dengan Mahkamah Konstitusi dalam hal

pembubaran partai politik. Untuk itu perlu dilakukan kajian terkait

“Kewenangan Pembubaran Partai Politik Sebagai Korporasi Yang

Melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang”, agar sesuai dengan

Konstitusi serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan urain dalam latar belakang di atas, maka masalah

yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut:


5

1. Apakah Hakim Mahkamah Konstitusi berwenang

membubarkan partai politik sebagai korporasi yang melakukan

tindak pidana pencucian uang?

2. Apakah Hakim Pengadilan Negeri berwenang membubarkan

partai politik sebagai korporasi yang melakukan tindak pidana

pencucian uang?

3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas,

maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk menyelesaikan masalah hukum terkait kewenangan

pembubaran partai politik sebagai korporasi yang melakukan

tindak pidana pencucian uang.

2. Untuk mengetahui kewenangan pembubaran partai politik

sebagai korporasi yang melakukan tindak pidana pencucian

uang.

4. Manfaat Penelitian

1. Kegunaan Teoritis

a. Penulisan hukum ini diharapkan dapat bermanfaat bagi

perkembangan ilmu hukum pidana khususnya terkait

kewenangan pembubaran partai politik sebagai korporasi yang

melakukan tindak pidana pencucian uang.


6

b. Hasil dari penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan

kontribusi yakni sebagai referensi bagi penelitian sejenis di

masa yang akan datang.

2. Kegunaan Praktis

a. Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberi masukan

serta pencerahan bagi para penegak hukum terkait kewenangan

pembubaran partai politik sebagai korporasi yang melakukan

tindak pidana pencucian uang.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

pengetahuan serta pemahaman bagi akademisi dan masyarakat

mengenai kewenangan pembubaran partai politik sebagai

korporasi yang melakukan tindak pidana pencucian uang.

5. Tinjauan Pustaka

1. Konsep Kewenangan

Mengenai wewenang ini, H.D. Stout mengatakan bahwa

wewenang merupakan pengertian yang berasal dari hukum

organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai

keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan

penggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik di

dalam hubungan hukum publik. Sedangkan menurut F.P.C.L.

Tonnaer, kewenangan pemerintah dalam kaitan ini dianggap

sebagai kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dan


7

dengan begitu, dapat diciptakan hubungan hukum antara

pemerintah dengan warga negara.3

Dalam negara hukum, wewenang pemerintahan itu berasal

dari peraturan perundang-undangan yang berlaku. R.J.H.M.

Huisman menyatakan pendapatnya bahwa organ pemerintahan

tidak dapat menganggap bahwa ia memiliki sendiri wewenang

pemerintahan. Kewenangan hanya diberikan oleh undangundang.

Pembuat undang-undang dapat memberikan wewenang

pemerintahan tidak hanya kepada organ pemerintahan, tetapi juga

terhadap para pegawai atau terhadap badan khusus atau bahkan

terhadap badan hukum privat.4

Secara teoretis, kewenangan yang bersumber dari peraturan

perundang-undangan tersebut diperoleh melalui 3 (tiga) cara yaitu

atribusi, delegasi dan mandat. Hal tersebut salah satunya dijelaskan

oleh H.D. van Wijk yang memberikan defenisi ke setiap cara

tersebut, yaitu:5

a. Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh

pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan;

b. Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan

dari satu organ kepada organ pemerintahan lainnya; dan

3
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), hlm. 101.
4
Ibid, hlm. 103.
5
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Edisi Ke 12, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), hlm.
102.
8

c. Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan

kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya.

2. Pembubaran Partai Politik

Sementara terkait pengaturan mengenai pembubaran partai

politik di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2008 tentang Partai Politik. Pasal 41 Undang-Undang tentang

Partai Politik menjelaskan bahwa terdapat tiga hal yang membuat

partai politik bubar, yakni membubarkan diri atas keputusannya

sendiri, menggabungkan diri dengan partai politik lain, atau

dibubarkan oleh Mahkamah Konstiusi.6

Berdasarkan Pasal 48 ayat (3) Undang-Undang nomor 2

Tahun 2008 tentang Partai Politik, Mahkamah Konstitusi dapat

membubarkan partai politik terhadap partai politik yang sudah

dibekukan karena melanggar ketentuan Pasal 40 ayat (2) Undang-

Undang nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan melakukan

pelanggaran lagi terhadap Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang nomor

2 Tahun 2008 tentang Partai Politik7.

Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang nomor 2 Tahun 2008

tentang Partai Politik sendiri mengatur larangan terhadap partai

politik untuk melakukan kegiatan yang bertentangan dengan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

dan peraturan perundang-undangan, aatau melakukan kegiatan


6
Lihat, Pasal 41 Undang-Undang tentang Partai Politik
7
Lihat, Pasal 48 ayat (3) Undang-Undang tentang Partai Politik
9

yang membahayakan keutuhan dan keselamatan Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

Mahkamah Konstitusi juga dapat membubarkan partai

politik yang melakukan pelanggaran terhadap Pasal 40 ayat (5)

Undang-Undang nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

sebagaimana diatur dalam Pasal 48 ayat (7) Undang-Undang

nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. 8 Pasal 40 ayat (5)

Undang-Undang nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sendiri

mengatur tentang larangan terhadap partai politik untuk menganut

dan mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau paham

komunisme/Marxisme-Leininisme.

Pembubaran partai politik juga diatur dalam UU TPPK

sebagai suatu sanksi tambahan mengingat bahwa partai politik

merupakan badan hukum sehingga partai politik juga termasuk

kedalam subjek hukum dalam UU TPPK sebagai korporasi.

3. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Berbicara tentang pertanggungjawaban pidana korporasi,

tidak dapat dilepaskan dengan tindak pidana. Walaupun dalam

pengertian tindak pidana tidak termasuk masalah

pertanggungjawaban. Tindak pidana hanya menunjukkan kepada

dilarangnya suatu perbuatan.9

8
Lihat, Pasal 48 ayat (7) Undang-Undang tentang Partai Politik
9
Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi Di Indonesia, (Bandung : CV Utomo, 2004), Hlm. 27.
10

Menurut Mardjono Reksodipuro, sehubungan dengan

diterimanya korporasi sebagai subjek hukum pidana, maka hal ini

berarti telah terjadi perluasan dari pengertian siapa yang

merupakan pelaku tindak pidana (dader). Permasalahan yang

segera muncul adalah sehubungan dengan pertanggungjawaban

pidana korporasi. Asas utama dalam pertanggungjawaban pidana

adalah harus adanya kesalahan (schuld) pada pelaku. Dalam

keadaan pelaku adalah manusia, maka kesalahan ini dikaitkan

dengan celaan (verwijtbaarheid; blameworthiness) dan karena itu

berhubungan dengan mentalitas atau psyche pelaku. Bagaimana

halnya dengan pelaku yang bukan manusia, yang dalam hal ini

adalah korporasi.

Dalam kenyataan diketahui bahwa korporasi berbuat dan

bertindak melalui manusia (yang dapat pengurus maupun orang

lain). Jadi pertanyaan yang pertama adalah, bagaimana konstruksi

hukumnya bahwa perbuatan pengurus (atau orang lain) dapat

dinyatakan sebagai sebagai perbuatan korporasi yang melawan

hukum (menurut hukum pidana). Dan pertanyaan kedua adalah

bagaimana konstruksi hukumnya bahwa pelaku korporasi dapat

dinyatakan mempunyai kesalahan dan karena itu dipertanggung-

jawabkan menurut hukum pidana. Pertanyaan ini menjadi lebih

sulit apabila difahami bahwa hukum pidana Indonesia mempunyai


11

asas yang sangat mendasar yaitu : bahwa “tidak dapat diberikan

pidana apabila tidak ada kesalahan” (dalam arti celaan).10

4. Tindak Pidana Pencucian Uang

Istilah pencucian uang (money laudering) pertama kali

muncul pada tahun 1920-an ketika para mafia Amerika Serikat

mengakusisi atau membeli usaha Laudromatis (mesin pencucian

otomatis). Ketika itu anggota mafia mendapatkan uang dalam

jumlah besar dari kegiatan pemerasan, prostitusi, perjudian dan

penjualan minuman beralkohol illegal serta perdagangan narkotika.

Dikarenakan anggota mafia diminta menunjukan sumber dananya

agar seolah-olah sah atas perolehan uang tersebut maka mereka

melakukan praktik pencucian uang. Salah satu cara yang dilakukan

adalah dengan seolah-olah membeli perusahaan-perusahaan yang

sah dan menggabungkan uang haram dengan uang yang diperoleh

secara sah dari kegiatan usaha (Laundromats) tersebut. Alasan

pemanfaatan usaha Laundromats tersebut karena sejalan dengan

hasil kegiatan usaha Laundromats yaitu dengan menggunakan uang

tunai (cash).

Secara garis besar unsur pencucian uang terdiri dari: unsur

objektif (actus reus) dan unsur subjektif (mens rea). Unsur objektif

(actus reus) dapat dilihat dengan adanya kegiatan menempatkan,

10
Mardjono Reksodipuro, kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan (Jakarta: Pusat
Pelayanan keadilan dan Pengabdian Hukum UI, 1994), hlm. 102.
12

mentransfer, membayarkan atau membelanjakan, menghibahkan

atau menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negari,

menukarkan atau perbuatan lain atas harta kekayaan (yang

diketahui atau patut diduga berasal dari kejahatan). Sedangkan

unsur subjektif (mens rea) dilihat dari perbuatan seseorang yang

dengan sengaja, mengetahui atau patut menduga bahwa harta

kekayaan berasal dari hasil kejahatan, dengan maksud untuk

menyembunyikan atau menyamarkan harta tersebut.

Ketentuan yang ada dalam UU Tindak Pidana Pencucian

Uang terkait perumusan tindak pidana pencucian uang

menggunakan kata “setiap orang” dimana dalam Pasal 1 ayat (9)

ditegaskan bahwa Setiap orang adalah orang perseorangan atau

korporasi. Sementara pengertian korporasi terdapat dalam pasal 1

angka (10). Dalam pasal ini disebutkan bahwa Korporasi adalah

kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik

merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

Sanksi pidana yang dapat dijatuhkan terhadap orang

perseorangan di dalam UU Tindak Pidana Pencucian Uang adalah

pidana penjara dan pidana denda. Khusus untuk korporasi, dalam

Pasal 6 ayat (1) UU Tindak Pidana Pencucian Uang menjelaskan

bahwa “dalam hal tindak pidana Pencucian Uang sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dilakukan oleh


13

korporasi, pidana dijatuhkan terhadap korporasi dan/atau Personil

Pengendali Korporasi”11.

Selanjutnya dalam Pasal 6 ayat (1) UU Tindak Pidana

Pencucian Uang juga menjelaskan bahwa “Pidana dijatuhkan

terhadap Korporasi apabila tindak pidana Pencucian Uang: a.

dilakukan atau diperintahkan oleh Personil Pengendali Korporasi;

b. dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan

Korporasi; c. dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau

pemberi perintah; dan d. dilakukan dengan maksud memberikan

manfaat bagi Korporasi”.12

Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi

diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU Tindak Pidana Pencucian Uang

menjelaskan bahwa “Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap

Korporasi adalah pidana denda paling banyak

Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah)”. 13


Sedangkan

Pidana tambahan yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi diatur

dalam Pasal 7 ayat (2) UU Tindak Pidana Pencucian Uang yang

menjelaskan bahwa “Selain pidana denda sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), terhadap Korporasi juga dapat dijatuhkan pidana

tambahan berupa: a. pengumuman putusan hakim; b. pembekuan

sebagian atau seluruh kegiatan usaha Korporasi; c. pencabutan izin


11
Lihat, Pasal 6 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
12
Lihat, Pasal 6 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
13
Lihat, Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
14

usaha; d. pembubaran dan/atau pelarangan Korporasi; e.

perampasan aset Korporasi untuk negara; dan/atau f.

pengambilalihan Korporasi oleh negara”.14

6. Metode Penelitian

1) Type Penelitian

Tipe penelitian dalam penelitian tesis ini adalah penelitian hukum.

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan know-how dalam ilmu

hukum, bukan sekedar know-about. Sebagai kegiatan know-how,

penelitian hukum dilakukan untuk memecahkan isu hukum yang

dihadapi.15 Penelitian hukum dilakukan dengan mengidentifikasi masalah

hukum, melakukan penalaran hukum, menganalisis masalah yang dihadapi

kemudian diberi pemecahan atas masalah tersebut.

2) Metode Pendekatan Penelitian

Dikarenakan dalam penelitian in menggunakan penelitian normatif,

maka pendekatan yang digunakan pada penulisan hukum menurut Peter

Mahmud Marzuki yakni :16

a) statute approach atau Pendekatan perundang-undangan.

b) case approach atau Pendekatan kasus.

c) historical approach atau Pendekatan historis.

d) comparative approach atau Pendekatan perbandingan.

14
Lihat, Pasal 7 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
15
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), (Jakarta : Prenamedia Group,
2005), hlm. 60.
16
Ibid, hlm 133.
15

e) conceptual approach atau Pendekatan konseptual.

Dari beberapa pendekatan di atas, adapun pendekatan yang

dilakukan dan digunakan oleh penulis yakni statute approach atau

pendekatan perundang-undangan serta conceptual approach atau

pendekatan konseptual.

Statute approach atau pendekatan perundang-undangan ialah

pendekatan yang menelaah seluruh undang-undang maupun regulasi atau

ketentuan yang berkaitan dengan isu hukum yang ditangani. 17 Pendekatan

perundang-undangan ini digunakan agar dapat menganalisis berbagai

Peraturan Perundang-undangan yang mengatur tentang kewenangan

pembubaran partai politik sebagai korporasi pelaku tindak pidana

pencucian uang.

Kemudian yang kedua, conceptual approach atau pend ekatan

konseptual, ialah pendekatan yang beranjak dari pandangan serta doktrin

yang berkembang di ilmu hukum18. Konsep/doktrin yang dipakai pada

penelitian ini mengacu pada konsep “kewenangan pembubaran partai

politik sebagai korporasi pelaku tindak pidana pencucian uang”. Sehingga

dengan mempelajari pandangan serta doktrin tersebut akan menemukan

gagasan-gagasan yang melahirkan pengertian hukum, konsep hukum, dan

asas hukum yang sesuai dengan isu hukum yang dihadapi. Pemahaman

terhadap doktrin dan juga pandangan tersebut merupakan sandaran untuk

17
Ibid, hlm 133-134.
18
Ibid, hlm. 135-136.
16

membangun argumentasi hukum sehingga dapat memecahkan isu hukum

yang dihadapi.

3) Sumber Bahan Hukum

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat

autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri

dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam

pembuatan perundang-undangan dan putusan hakim.19 Sumber hukum

primer dalam penelitian ini meliputi bahan-bahan hukum yang mengikat

yang terdiri dari:

(1).Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945;

(2).Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

(3).Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi;

(4).Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik;

(5).Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang;

(6).Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik;

(7).Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi;
19
Ibid, hlm. 181.
17

(8).Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi

Undang-Undang;

(9).Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan

Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi;

(10). Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 Tentang

Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Korporasi;

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum

yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang

hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal

hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan. 20 Bahan hukum

sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berupa buku-buku, artikel,

jurnal, makalah serta data-data lainnya yang mendukung penelitian ini.

4) Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum

Begitu isu hukum ditetapkan, peneliti melakukan penelusuran

untuk mencari bahan-bahan hukum yang relevan terhadap isu yang

dihadapi. Penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan cara mencari

peraturan perundang-undangan mengenai atau yang berkaitan dengan

kewenangan pembubaran partai politik sebagai korporasi pelaku tindak


20
Ibid, hlm. 181.
18

pidana pencucian uang, sementara untuk pengumpulan data sekunder,

diperoleh dengan cara melakukan studi kepustakaan yakni dengan

mencari, mencatat, menginventarisasi, serta mempelajari data-data yang

merupakan bahan pustaka dan literatur.

5) Metode Pengelolaan dan Analisis Data

Bahan hukum yang sudah didapatkan kemudian akan dilakukan

pengelompokkan bahan hukum yang disesuaikan dengan permasalahan

atau isu hukum pada penelitian ini. Bahan hukum yang sudah tergabung

akan dikaji dengan mendalam untuk mendapat gambaran dan jawaban

terhadap permasalahan yang diteliti. Pada penelitian ini analisis yang

dipakai ialah analisis normatif yakni analisis dengan mengedepankan

penalaran hukum yang salah satunya menggunakan penafsiran hukum.

Penafsiran hukum yang digunakan antara lain penafsiran sistematis, yakni

menafsirkan peraturan dengan menghubungkannya terhadap undang-

undang atau peraturan hukum lain dengan keseluruhan sistem hukum.

Penafsiran ini melihat terhadap kaitan diantara aturan dalam undang-

undang yang saling bergantung21. Penafsiran berikutnya adalah penafsiran

teleologis yakni penafsiran berdasarkan tujuan adanya undang-undang

itu22.

21
Ibid., hlm. 152
22
Ibid., hlm. 151
19

Pembahasan menggunakan metode analisis yuridis normatif

bertitik tolak terhadap penalaran yuridis. Terdapat 3 (tiga) acuan dasar

pada penalaran yuridis, yaitu 23:

a) Berpretensi untuk mewujudkan positivitas (hukum harus memiliki

otoritas);

b) Mewujudkan koherensi (hukum sebagai tatanan);

c) Mewujudkan keadilan (hukum sebagai pengaturan hubungan antar

manusia yang tepat).

Pada akhirnya dapat ditemukan pemegang kewenangan

pembubaran partai politik sebagai korporasi pelaku tindak pidana

pencucian uang. Sehingga dapat memberikan kepastian hukum dan

manfaat bagi aparat penegak hukum terkait pembubaran partai politik

sebagai korporasi pelaku tindak pidana pencucian uang.

23
Bernard Arief Sidharta, dalam materi Yudi Widagdo Harimurti pada Kuliah Hukum
Metode Penelitian & Penulisan Hukum, Progra, Studi Strata 1 (S1) Fakultas Hukum Universitas
Trunojoyp Madura, Tanggal 8 September 2019.
20

DAFTAR BACAAN

Buku/Literatur:

HR, Ridwan. 2006. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Rajawali Pers.

HR, Ridwan. 2016. Hukum Administrasi Negara Edisi Ke 12. Jakarta: Rajawali

Pers.

Marzuki, Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum (Edisi Revisi). Jakarta :

Prenamedia Group.

Priyatno, Dwidja. 2004. Kebijakan Legislasi Tentang Sistem

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia. Bandung:

CV Utomo.

Reksodiputro, Mardjono. 1994. kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan.

Jakarta: Pusat Pelayanan keadilan dan Pengabdian Hukum UI.

Sjawie, Hassbulah F. 2015. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada Tindak

Pidana Korupsi Cet 1. Jakarta: Prenada Media Group.

Soemitro, Ronny Hanitijo. 1988. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri I.

Jakarta: Ghalia Indonesia.

Jurnal:

Butarbutar, Russel. 2016. Pertanggungjawaban Pidana Partai Politik Dalam

Tindak Pidana Korupsi Dan Pencucian Uang. Padjadjaran Jurnal

Ilmu Hukum. 3(2). hlm. 358. (Diakses pukul 10.52, 15 November

2022).

Peraturan Perundang-Undangan:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


21

Undang Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Tindak Pidana Pencucian Uang.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang Undang

Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.

Anda mungkin juga menyukai