Anda di halaman 1dari 20

Tugas Analisis Ilmu Sosial Dari Hukum

Nama : Nizar Fikri


NIM : 110012200020
Dosen : DR. Trubus Rahardiansyah & Maya Indrasti N. PhD

Keterkaitan Kontrol Sosial dan Perubahan Sosial Hukum, Analisis Buku Steven Vago,
Social Change

A. Pemahaman Kontrol Sosial

Dalam proses adaptasi masyarakat, hukum formal yang terkodifikasi semakin


dibutuhkan saat suatu masyarakat menemui kemajemukannya. Kodifikasi mampu
menyeragamkan aturan di dalam masyarakat yang kompleks, dengan tujuan agar lebih mudah
mengorganisasi suatu masyarakat untuk ketertiban bersama. Dengan penjelasan Steven Vago,
dalam konteks dan tujuan yang demikian, dapat dipahami bahwa peran hukum formal
merupakan cara untuk memelihara aturan dan menawarkan pola kebiasaan masyarakat
sehingga dapat diprediksi (predictability of behavior). Predictability of behavior ini muncul
dari keseragaman aturan dan ketertiban, dan Vago menjadikannya sebagai pengertian
sederhana dari “social control”, dan hukum hanya salah satu dari sekian banyak bentuk kontrol
sosial. Vago memberikan penjelasan peran sosial hukum ke dalam tiga tema, yaitu: social
control, conflict resolution, dan law as social change. Studi atas upaya mengatur masyarakat
cyber dan menjalankan hukum di dalamnya, dengan penekanan pada peran serta masyarakat
mayantara memerlukan penjabaran ketiganya untuk menjelaskan.

Penjelasan dari Steven Vago tentang Law and Social Control. Dalam buku tersebut
Vago seakan memisahkan antara law dan social control dan menghubungkannya dengan kata
‘dan’, ia tidak membahasakannya sebagai dua hal yang semestinya integral dalam kesatuan,
tetapi Vago mengesankan seakan keduanya terpisah. Tanpa terlalu berkepanjangan, berikut
penjelasanya.

Pada awal dari bab buku ini Steven Vago menjelaskan, kontrol sosial merujuk pada
cara para anggota sebuah masyarakat memelihara aturan dan meningkatkan kemungkinan
untuk memperkirakan suatu tindakan. Vago menjelaskan bahwa terdapat banyak bentuk
kontrol sosial, dan hukum adalah salah satunya. Oleh karenanya ia menekankan pembahasan
pada situasi ketika bentuk-bentuk mekanisme kontrol lain tidak dapat berjalan efektif atau
memang tidak ada, dan hukum mengambil kesempatannya berperan sebagai kontrol sosial.
Selanjutnya untuk memberikan penjelasan yang lebih baik dengan pemilahan kontrol sosial ke
dalam dua bagian, yakni kontrol sosial informal dan kontrol sosial formal. Hal ini sengaja
dilakukan Vago untuk menghindari overlapping antara keduanya, dan untuk membantu
melakukan analisis secara lebih efektif.

1. Kontrol sosial informal

Kontrol sosial secara informal dicontohkan dengan fungsi-fungsi yang berjalan dalam
cara kerakyatan(norma-norma yang dimunculkan dalam praktik keseharian sebagaimana mode
pakaian tertentu, etiket, dan penggunaan bahasa) dan adat-istiadat(norma-norma sosial
berasosiasi dengan perasaan-perasaan intens tentang benar atau salah dan aturan tertentu
tentang tingkah laku yang secara sederhana tidak akan mengganggu, sebagai contoh, incest).
Kontrol informal tersebut terdiri atas teknik-teknik yang oleh individu yang mengetahui satu
sama lain dalam dasar keseuaian personal akan memuji kepada mereka yang mentaati harapan
bersama dan menunjukkan ketidaknyamanan kepada mereka yang tidak mentaatinya.

Dengan demikian kontrol sosial yang sifatnya informal selalu merupakan bagian dari
masyarakat dengan ciri keeratan sosial yang oleh Durkheim dikatakan memiliki mechanical
solidarity, yang oleh Dragan Milovanovic (1994) dikatakan sebagai tipe normal dalam
masyarakat yang pemilahan tingkat pekerjanya masih sangat kecil, dan “perekat” ikatan sosial
dalam kesamaan dan kesetaraan masih kuatTetapi konteks kontrol sosial informal tidaklah
hanya ada dalam bentuk masyarakat dengan mechanical solidarity sebagaimana dijelaskan
Durkheim. Nilai-nilai tentang solidaritas dan kesepakatan dalam masyarakat majemuk dengan
konsep hukum tidak tertulisnya juga selalu memiliki potensi informal social controls.

Mekanisme informal dari kontrol sosial dirancang untuk lebih efektif dalam kelompok
dan masyarakat dimana relasi bersifat face to face dan intimasi dan dimana pembagian
pekerjaan relatif sederhana. Selanjutnya, intensional interaksiface to face dalam masyarakat
tertentu menciptakan konsensus moral yang dikenal oleh seluruh anggotanya; juga membawa
tindakan menyimpang secara cepat menjadi perhatian setiap orang.
2. Kontrol sosial formal

Sebagaimana konsep Durkheim yang memilah solidaritas ke dalam dua partisi, Steven
Vago memiliki kecenderungan yang sama. Vago menjelaskan bahwa kontrol sosial formal
biasanya merupakan karakteristik dari masyarakat yang lebih kompleks dengan pembagian
tingkat pekerjaan yang lebih besar, heterogenitas populasi, dan sub- grup dengan nilai-nilai
terkompetensi dengan bentuk berbeda dalam adat-istiadat dan ideologi. Kontrol yang bersifat
formal muncul ketika kontrol informal tidak lagi sesuai diterapkan untuk memelihara
kenyamanan pada norma-norma tertentu dan dicirikan dengan sistem yang mengenal
spesialisasi agen-agen sosialnya dan dengan teknik-teknik yang standar.

Seperti telah dijelaskan bahwa pengertian formal adalah saat yang informal tidak lagi
mampu hadir dan memberikan fungsi kontrolnya. Maka formal selalu timbul dari kebutuhan
akan keteraturan dan kontrol yang membuat segalanya kepada keadaan sebagaimana kondisi
informal. Seperti menjelaskan bagaimana Durkheim berupaya mengganti secara perlahan
‘solidaritas mekanis’ sederhana dengan ‘solidaritas organik’ yang lebih kompleks, yakni
solidaritas komplementer, berkat semakin tegasnya pembagian kerja dalam masyarakat. Jika
Durkheim berusaha menjaga tetap adanya solidaritas, maka demikian pula peran sosial kontrol
selalu diupayakan tetap ada, karena eksistensinya yang menjadi urgensi dan kebutuhan sosial.

Formal dijelaskan sebagai kebutuhan yang tumbuh sebagai karena ketiadaan informal.
Begitu pula hukum, informal mengenal adalah mulai dikenalnya konsep ‘standarisasi’ atau
dalam hukum dikenallah hukum yang mengenal prinsip ‘legalitas’ atau ketertulisan. Sehingga
logika kebenaran dan kesalahan, kebaikan dan kejahatan, yang sesuai definisi bersama,
dituangkan ke dalam perundang-undangan untuk dijadikan sebagai alat kontrol sosial.

B. Pemahaman Perubahan Sosial

Perubahan sosial berarti modifikasi dalam cara orang bekerja, menyokong keluarga,
mendidik anak mereka, mengatur diri mereka sendiri, dan mencari arti sesungguhnya dalam
kehidupan. Hal ini juga berarti sebuah restrukturasi cara-cara mendasar bagi orang dalam
hubungan kemasyarakatan satu sama lain dengan perhatian-perhatian atas kepemerintahan,
ekonomi, pendidikan, agama, kehidupan keluarga, rekreasi, bahasa, dan berbagai aktifitas
lainnya.

Dalam sisi pandang ekstrim, melihat bahwa hukum adalah sebuah variabel yang
tergantung dengan yang lainnya, ditentukan dan dibentuk dengan nilai-nilai kekinian dan opini-
opini masyarakat. Merujuk pada hal ini, perubahan-perubahan hukum akan menjadi tidak
mungkin meskipun diawali dengan perubahan sosial; reformasi hukum tidak dapat melakukan
apapun selain mengkodifikasi kebiasaan. Ini jelasnya tidak demikian, dan mengacuhkan
kenyataan bahwa melalui sejarah institusi-institusi hukum telah mulai menemukan dengan cara
“memiliki sebuah aturan tertentu, meskipun kurang dimengerti, sebagai instrumen-instrumen
yang dimatikan, pengawasan, atau dengan kata lain mengatur fakta atau langkang dari
perubahan sosial”

Hukum menciptakan norma-norma, bahan mentah bagi kontrol sosial. Kekuatan-


kekuatan sosial melontarkan tekanan-tekanan; tuntutantuntutan ini “membentuk” hukum,
namun institusi-institusi yang ada pada sistem hukum menuai tuntutan-tuntutan itu,
menghablurkan (mengkristalkan) dan mengubahnya menjadi peraturan, prinsip, dan instruksi-
instruksi bagi pegawai negeri dan penduduk pada umumnya. Dalam menjalankan hal ini,
sistem hukum bisa bertindak sebagai instrumen perubahan yang tertata, rekayasa sosial (social
engineering). Contoh yang paling jelas adalah fungsi legislatif. Pengadilan-pengadilan juga
menciptakan peraturan – khususnya dalam sistem-sistem hukum umum, dan ada lusinan
dewan, lembaga, komisi, dll. Dengan kekuasaan membuatperaturan dalam pemerintahan
modern, kebanyakan di antara mereka memiliki kekuasaan untuk mengarahkan dan
mengontrol

Menurut Steven Vago, perbedaan pendekatan definisi yang dibuat menuju kepada
kesatuan yang pasti. Secara ringkas, bisa disebut di sini bahwa konsep perubahan sosial
merupakan proses perubahan secara kuantitatif atau kualitatif yang terjadi pada fenomena
sosial baik dirancang atau tidak dirancang. Perubahan secara kuantitatif merujuk aspek struktur
masyarakat yang mengalami perubahan dan secara kualitatif merujuk pula pada nilai dan
kandungan perubahan tersebut terhadap peranan dan fungsi kehidupan masyarakat. Oleh sebab
itu dapat disimpulkan bahwa perubahan sosial dalam pengertian istilah adalah segala
perubahan yang berlaku pada struktur, fungsi, pandangan hidup, dan sikap manusia dalam
masyarakat yang mempengaruhi sistem sosial, sehingga perubahan tersebut menghasilkan
nilai, fungsi, norma dan hasil yang baru untuk menyelesaikan persoalan yang dialami oleh
masyarakat.

Menurut Steven Vago, dalam pengertian yang paling konkret, perubahan sosial berarti
bahwa sejumlah besar orang terlibat dalam kegiatan dan hubungan kelompok yang berbeda
dari yang mereka atau orang tua mereka lakukan beberapa waktu sebelumnya. Seperti yang
dinyatakan oleh Hans Gerth dan C. Wright Mills: “Dengan perubahan sosial kita mengacu pada
apapun yang mungkin terjadi dalam perjalanan waktu ke peran, institusi, atau tatanan yang
terdiri dari struktur sosial, kemunculan, pertumbuhan dan kemundurannya” (1953). :398).
Masyarakat adalah jaringan pola hubungan yang kompleks di mana semua anggota
berpartisipasi dalam berbagai tingkatan. Hubungan ini berubah, dan perilaku berubah pada saat
yang bersamaan. Individu dihadapkan pada situasi baru yang harus mereka tanggapi. Situasi
ini mencerminkan faktor-faktor seperti pengenalan teknik baru, cara baru mencari nafkah,
perubahan tempat tinggal, dan inovasi baru, gagasan, dan nilai-nilai sosial. Jadi, perubahan
sosial berarti modifikasi cara orang bekerja, membesarkan keluarga, mendidik anak-anak
mereka, mengatur diri mereka sendiri, dan mencari makna hidup yang tertinggi. Perubahan
sosial dapat pula diartikan bahwa telah terjadi perubahan yang mendasar dalam bidang
kehidupan yang berhubungan dengan pemerintahan, perekonomian, pendidikan, kepercayaan,
kehidupan berkeluarga, hiburan, bahasa, dan kegiatan lainnya. Salah satu bidang kehidupan
yang memberikan peran besar dalam perubahan sosial adalah bidang teknologi. Dikatakan
demikian karena banyak sosiolog dan ahli hukum yang berpendapat bahwa perubahan
teknologi dalam suatu masyarakat dapat memberikan dampak yang besar kepada
perkembangan sistem hukum dalam masyarakat tersebut.

Kesulitan umum dengan definisi perubahan sosial ini adalah masalah reifikasi,
kecenderungan untuk menyamakan abstraksi konseptual dari realitas dengan sepenggal realitas
aktual. Kita dapat memisahkan unsur-unsur yang ditekankan dalam definisi tersebut, yang
meliputi struktur sosial, fungsi masyarakat, hubungan sosial, bentuk proses sosial, dan waktu.
Tapi kami masih kesulitan memahami apa yang berubah. Istilah "perubahan" sering digunakan
secara longgar, dan seperti yang telah diilustrasikan, upaya definisi cukup banyak dan saling
bertentangan sehingga dapat banyak membantu.

Pada titik ini, Steven Vago mengusulkan pendekatan yang berbeda menuju definisi
perubahan sosial yang bisa diterapkan. Untuk tujuan saat ini, perubahan sosial
dikonseptualisasikan sebagai proses perubahan kualitatif atau kuantitatif yang direncanakan
atau tidak direncanakan dalam fenomena sosial yang dapat dianalisis dalam lima komponen
yang saling terkait. Demi kesederhanaan, komponen ini disebut identitas, tingkat, durasi,
besaran, dan tingkat perubahan. Misalkan saja dalam hal perkembangan teknologi komputer,
dengan adanya perkembangan teknologi tersebut terjadi berbagai perubahan-perubahan dalam
cara hidup masyarakat, seperti cara berbelanja, cara memproduksi barang, cara menyebarkan
informasi dan hal lainnya yang dimana mempengaruhi berbagai bidang kehidupan sehingga
diperlukan pembentukan hukum baru untuk mengatur perubahan cara hidup tersebut teori yang
didasarkan pada pendapat golongan rasionalis dari Steven Vago menjelaskan, bahwa menurut
teori ini hukum diciptakan dengan serasional mungkin untuk memberikan perlindungan kepada
anggota masyarakat dari bahaya. Dalam teori tersebut terdapat suatu masalah, yaitu bahwa
batasan bahaya yang dapat berlaku dalam suatu masyarakat ditentukan oleh pembuat hukum
dalam masyarakat tersebut. Nilai-nilai, syarat-syarat, dan hal-hal lain yang mendefinisikan
suatu perbuatan dapat ditentukan oleh pembuat hukum sehingga perbuatan tersebut dapat
berupa suatu perbuatan melawan hukum. Apabila digambarkan dengan contoh, maka hal
tersebut dapat digambarkan dalam bentuk perjudian dan pelacuran yang dimana perbuatan
yang berhubungan dengannya dapat ditentukan oleh seorang pembuat hukum untuk
menentukan sejauh mana batasan dalam perjudian dan pelacuran yang dapat dimasukan dalam
perbuatan kriminal. Dengan kata lain, dalam pembentukan hukum melalui teori ini pembuat
undang-undang dapat melakukan suatu kriminalisasi terhadap suatu perbuatan yang sebetulnya
tidak dianggap berbahaya oleh masyarakat.

Menurut Steven Vago, keberhasilan hukum sebagai mekanisme perubahan sosial


dikondisikan oleh sejumlah faktor. Salah satunya, yaitu jumlah informasi yang ada mengenai
legislasi dan putusan.

a) Apabila transmisi informasi tersebut tidak mencukupi, maka hukum tidak akan
memproduksi dampak yang dimaksud;

b) Pengabaian hukum tidak dianggap sebagai permakluman untuk ketidakpatuhan, namun


pengabaian tersebut tentu membatasi keefektivan hukum (limits the law’s effectiveness). Di
antaranya karena faktor aturan yang samar (vague rules) yang menimbulkan multi -persepsi
dan interpretasi. Hal ini terkait dengan faktor bahasa hukum yang harus dibebaskan dari
ambiguitas.

c) Hukum tidak dapat dilihat pengoperasiannya dari satu dimensi, yaitu negara, namun dari
banyak dimensi masyarakat.

C. Hubungan Kontrol Sosial dan Perubahan Sosial dari Hukum

Sebagai alat kontrol sosial, Steven Vago membedakan hukum dengan kontrol sosial
yang bersifat informal, seperti kebiasaan dan mores. Pembedaan tersebut didasarkan pada
prosedur pembentukannya. Kontrol sosial yang bersifat informal proses pembentukannya
ditunjukkan melalui kebiasaan-kebiasaan yang berkembang di masyarakat. Proses tersebut
berbeda dengan kontrol sosial yang bersifat formal, lebih tepat dalam kaitan ini disebut hukum.
Hukum, menurut Vago, terdapat di dalam institusi-institusi yang terdapat di dalam masyarakat
dan pembentukannya dapat beragam, mulai dari kesepakatan antara dua pihak atau lebih
sampai dengan pendelegasian kepada badan tertentu untuk melakukan penegakkan hukum
tersebut. Menurut Steven Vago, hukum muncul sebagai alat kontrol sosial ketika kontrol sosial
informal tidak dapat mempertahankan pelaksanaan norma-norma tertentu dan kontrol tersebut
digolongkan sebagai bagian pelaksanaan dari badan-badan khusus tertentu. Munculnya hukum
sebagai ultimate social control tersebut, dalam perspektif Vago, didasarkan kepada keyakinan
akan kemampuan negara sebagai pembentuk hukum untuk memelihara kesesuaian pola-pola
perilaku dan negara itu sendiri terdiri dari berbagai prosedur-prosedur yang digunakan untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat. Penjelasan Vago itu kembali menegaskan peran negara yang
dominan di dalam menciptakan perubahan masyarakat melalui hukum.

Memasuki abad ke-20, perubahan masyarakat yang bersifat terencana menjadi pilihan
banyak negara. Pilihan tersebut menjadi identitas kemoderenan suatu masyarakat. Perubahan
yang bersifat evolusioner berpijak kepada banyaknya kebutuhan yang bermunculan di
masyarakat sementara pemenuhannya dilakukan secara bertahap. Dalam konteks tersebut,
hukum diciptakan untuk memenuhi kebutuhan yang muncul di masyarakat, sebagaimana
dikutip oleh Steven Vago berikut:

“ The paradox…is that the more civilized man becomes, the greater is man’s need for
law and the more law he creates. Law is but a response to social needs.”

Steven Vago menyatakan bahwa telah mengidentifikasi sejumlah hal dalam masyarakat
yang bisa membatasi hukum sebagai instrumen perubahan. Mereka yakni:

1. Faktor Sosial
Faktor ini dicontohkan oleh Steven Vago diantaranya Kelas Sosial, Resistensi Ideologi
dan Organisasi Oposisi

2. Faktor Psikologis
Faktor ini diantaranya Kebiasaan (Habit), Motivasi, Keacuhan (Ignorance), Persepsidan
Pengembangan Moral.
3. Faktor Budaya
Faktor ini dipengaruhi oleh Fatalisme, Kesukuan/Superioritas Kelompok, Ketidakcocokan
dan Tabu (Superstition)
4. Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi ini juga termasuk dalam kelompok yang mempengaruhi keterbatasan
dalam masyarakat apabila digunakan sebagai instrument of social change.

Pâda umumnya hukum sebagai kontrol sosial akan lebih berhasll apabila berkaitan
dengan bidang-bidang kehidupân yang netral sifatnya, dalam ârti tidak menyangkut masalah
pribâdi yang bersifat sensitif. Steven Vago mengemukakan kontrol sosial sebagai.:
...purposive, planed and directed social change initiated guided and supported by the law.
Dengan istilah "berkreasi” sekedar untuk menghindari dari penggunaan lstilah yang terdengar
agak kasar, yaitu “merekayasa masyarakat,/rekayasa sosial" ârtinya seolah-olah membebaskan
pemerintah dalam menggunakan hukum untuk memanipulâsi perkembângân masyarakat, atau
membiarkan sekelompok orâng menggunakan hukum untuk mengeksploitasi sekelompok
orang lain.

Apabila diperhatikan dengan seksama, dapatlah diketahui bahwa bagian terbesâr dâri
produk hukum di lndonesia selalu saja bermakud untuk mengubah sesuatu. Oleh sebâb itu ciri
menoniol dari pelaksanaan tugas pembentuk undang-undang di lndonesiâ saat ini terletak padâ
pelaksanaan tugâsnya yâitu mendorong perubahan sosiâl dengan perundang-undangan.
Memandang hukum sebagai alat kontrol sosial manusia maka hukum merupakan salah satu
alat pengendali sosial. Alat lain masih ada sebab masih saja diakui keberadaan pranata sosial
lainnya (misalnya keyakinan, kesusilaan).

Kontrol sosial merupakan aspek normatif kehidupan sosial, hal itu bahkan dapat
dinyatakan sebagai pemberi defenisi tingkah laku yang menyimpang dan akibat-akibat yang
ditimbulkannya, seperti berbagai larangan, tuntutan, dan pemberian ganti rugi. Hukum sebagai
alat kontrol sosial memberikan arti bahwa ia merupakan sesuatu yang dapat menetapkan
tingkah laku manusia. Tingkah laku ini dapat didefenisikan sebagai sesuatu yang menyimpang
terhadap aturan hukum. Sebagai akibatnya, hukum dapat memberikan sanksi atau tindakan
terhadap si pelanggar. Karena itu, hukum pun menetapkan sanksi yang harus diterima oleh
pelakunya.

Hal ini berarti bahwa hukum mengarahkan agar masyarakat berbuat secara benar
menurut aturan sehingga ketentraman terwujud. Sanksi hukum terhadap perilaku yang
menyimpang, ternyata terdapat perbedaan di kalangan suatu masyarakat. Tampaknya hal ini
sangat berkait dengan banyak hal, seperti keyakinan agama, aliran falsafat yang dianut. Dengan
kata lain, sanksi ini berkaitan dengan kontrol sosial Mengulangi lagi rumusan kontrol sosial
ini, maka ia adalah suatu proses yang dilakukan untuk mempengaruhi orang-orang agar
bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakat. Sebagaimana diuraikan di atas, maka oleh
hukum, kontrol sosial tersebut dijalankan dengan menggerakkan berbagai aktivitas, yang
melibatkan penggunaan dari kekuasaan negara, mekanisme kontrol sosial sebagai “segala
sesuatu yang dilakukan untuk melaksanakan proses yang direncanakan untuk mendidik,
mengajak atau bahkan memaksa para warga masyarakat agar menyesuaikan diri dengan
kebiasaan-kebiasaan dan nilai-nilai kehidupan masyarakat yang bersangkutan”.

Sebagai suatu lembaga yang diorganisasi secara politik, melalui lembagalembaga yang
dibentuknya. Aspek pekerjaan hukum ini kelihatannya bersifat statis, yaitu sekedar
memecahkan masalah yang dihadapkan kepadanya secara konkret, mengatur hubungan-
hubungan sosial yang ada. Keadaan itu berbeda dengan hukum sebagai sarana Sosial
Engeenering, yang orientasinya tidak ditujukan kepada pemecahan masalah yang ada,
melainkan berkeinginan untuk menimbulkan perubahan-perubahan dalam tingkah laku
anggota-anggota masyarakat.

Apa yang tampak sebagai statis itu disebabkan hukum sebagai sarana kontrol sosial
sekedar mempertahankan pola hubunganhubungan serta kaedah-kaedah yang ada pada masa
sekarang. Sesungguhnya hanya sampai di situ saja sifat statis yang bisa dilihat melekat pada
hukum sebagai sarana kontrol sosial, sedangkan untuk selebihnya pekerjaan kontrol sosial ini
cukup sarat pula dengan dinamika dan perubahan-perubahan. Harus ditambahkan juga bahwa
yang diperkenalkan sebagai perubahan-perubahan di atas terutama berhubungan dengan
masalah kelembagaan, yaitu tentang faktor-faktor perubahan yang membebani perkejaan
lembaga-lembaga hukum sehingga diperlukan adanya penyesuaian di pihak lembaga-lembaga
tersebut. Dalam melakukan regulasi hukum terdapat suatu mekanisme kontrol sosial melalui
tekanan eksternal mencakup sanksi negatif dan positif.

Sanksi positif dan negatif ini adalah bentuk kontrol sosial. Jenis kontrol sosial itu,
dilihat dari penjelasan di atas, bisa bersifat formal atau resmi, dan juga bisa bersifat informal
atau tidak resmi. Reaksi yang khas terhadap penyimpangan dan pemutusan aturan dapat
menghasilkan sanksi baik formal maupun informal. Metode kontrol sosial informal paling baik
dicontohkan oleh folkways (norma-norma yang ditetapkan pratik umum seperti yang
menentukan metode pakaian, etiket, dan penggunaan bahasa) dan adat istiadat atau mores
(norma-norma sosial yang terkai dengan perasaan yang kuat dari benar atau salah dan aturan
yang pasti yang sama sekali tidak dilanggar-misalnya, perbuatan zina). Kontrol informal ini
terdiri dari “teknik di mana individu yang mengenal satu sama lain secara pribadi sesuai dengan
kehendak mereka, yang memenuhi harapan mereka, dan mereka juga dapat menunjukkan
ketidaksenangan kepada mereka yang tidak senang”, sedangkan kontrol formal melibatkan
penetapan proseedur secara eksplisit (undang-undang, peraturan, kode, keputusan) dan
mengambil dua bentuk umum:

1) Kontrol sosial yang dilembagakan oleh negara dan diberi wewenang untuk menggunakan
kekuatan dan
2) Kontrol sosial yang dikenakan oleh lembaga selain negara, seperti kelompok bisnis dan
buruh, organisasi keagamaan, dan akademi serta universitas

Steven Vago mencoba memaparkan pada berbagai metode sosiologis dan perspektif
teoretis yang digunakan untuk menjelaskan interaksi antara hukum dan masyarakat di
Indonesia dengan menggunakan literatur ilmu sosial. Steven Vago tidak mengedepankan pada
teori tunggal sosiologi hukum meskipun dalam beberapa konteks Vago membahasnya.
Mekanisme nonlegal, kontrol sosial, dan penyelesaian sengketa dalam masyarakat tradisional
sangat kental,di mana kepentingan bersama lebih efektif dibandingkan dengan masyarakat
multi-modern di mana kesamaan kepentingan telah berkurang atau sedang dalam proses
berkurang.

Saat ini beragam hukum dibutuhkan dalam masyarakat modern, namun, setiap sistem
hukum terbentuk dari ide, tujuan, dan cita – cita masyarakat, yang mencerminkan perbedaan
hukum dan budaya setiap masyarakat. Inilah sebabnya mengapa undang-undang (hukum)
dalam suatu masyarakat akan berbeda dengan masyarakat lainnya. Meskipun dalam aturannya
mengatur hal tertentu yang sama, namun akan ada perbedaan dalam pengaturannya. Dalam
teorinya Vago memperkenalkan interaksi hukum dan masyarakat sebagai sebuah kajian
Sosiologi yang berkaitan dengan nilai-nilai, pola interaksi, dan ideologi yang mendasari
pengaturan struktural dasar dalam suatu masyarakat, banyak di antaranya diwujudkan dalam
hukum sebagai sebuah aturan substantif.

Perubahan sosial dalam pola evolusi budaya, dimana perubahan unsur budaya dalam
masyarakat terjadi secara bertahap dalam waktu relatif lama. Pola difusi budaya, dimana
perubahan masyarakat terjadi karena adanya penyebaran budaya dan temuan yang bersifat
teknologi (inovasi) dari masyarakat yang sudah maju. Pola akulturasi, dimana perubahan
masyarakat terjadi karena pengintegrasian aspek kebudayaan yang kuat ke dalam kebudayaan
yang lemah.
Baik sosiologi dan hukum sangat memandang penting dengan norma-aturan itu. Norma
dan aturan menjadi sebuah aturan berperilaku untuk masyarakat dalam situasi–situasi tertentu.
Sejalan dengan pendapat Vago, penulis menyimpulkan bahwa Pemecahan hukum sudah
ditentukan sebelum masalah. Tatanan nilai dalam masyarakat menjadi pedoman dasar dalam
menyelesaikan permasalahan, sekalipun jika pada saat tersebut belum terbentuk hukum tertulis.

Vago menjelaskan konsep hukum dengan membawa "definisi" hukum oleh Cardozo,
Holms dan Webber. Meskipun lebih banyak memberikan pandangan dari perspektif sosiologis,
definisi yang dikemukakan oleh Weber lebih jelas karena penekanan Weber pada hukum
sebagai tatanan hukum dan inklusi luas pada "Perintah normatif lainnya", seperti hukum adat
dan konvensi yang juga termasuk dalam domain hukum. Sehingga disini sekalipun belum
terbentuk hukum tertulis, norma yang hidup dimasyarakat sebagai wujud dari kearifan lokal
dapat digunakan sebagai sumber hukum.

Merujuk pada dua konsepsi ideal masyarakat, yaitu konsensus dan masyarakat konflik.
Dalam masyarakat konsensus, nilai-nilai umum sudah ditentukan, dan mereka yang menentang
nilai-nilai umum dalam masyarakat sebenarnya tengah dalam proses (masa transisi) untuk
menyepakati dan membuat konsensus. Sedangkan dalam masyarakat konflik, sesungguhnya
mereka sedang berjuang untuk mengembangkan konsensus semacam itu, konflik yang terjadi
merupakan bentuk perspektif nilai yang berbeda antara satu dengan yang lain, sehingga konflik
yang terjadi sebenarnya merupakan upaya mereka untuk “menegenalkan” nilai – nilai yang
berbeda tersebut agar dapat diterima. Kehadiran hukum dimaksudkan untuk membangun
masyarakat secara utuh. Adagium ubi ius ibi societas, dimana ada hukum disitu ada
masyarakat. Adagium tersebut memberikan penegasan bahwa dimanapun ada masyarakat,
maka sudah barang tentu di dalamnya pasti ada hukum. Hukum hadir untuk memberikan
panduan, arahan, dan dasar dalam mengatur tata kehidupan, pola interaksi, tata pergaulan dari
semua individu yang tergabung dalam masyarakat tersebut.

Hukum hadir dalam rangka menjaga keseimbangan hak dan kewajiban yang dimiliki
oleh setiap individu yang ada dalam masyarakat. Hukum hadir menjadi dasar dan pondasi
tatanan dan pembentukan system social, system budaya, system politik, system ekonomi,
system pertahanan dari sebuah masyarakat. Hukum hadir untuk menjadi arah dan landasan
perjalanan dalam membangun peradaban masyarakat. Hukum hadir dalam rangka untuk
menjaga dan menjamin keberlangsungan dan kesinambungan semua aspek tata kehidupan
masyarakat.
Dengan demikian hukum hadir dimaksudkan untuk menjaga dan menjamin keberadaan
struktur social masyarakat yang kokoh, yang didalamnya terdapat perkehidupan yang adil,
pasti, tertib, dan sejahtera, oleh karena hukum menjadi dasar dalam membangun keseimbangan
hak dan kewajiban antara individu dalam masyarakat. Dengan kata lain kehadiran hukum
dalam masyarakat dalam rangka menjadi dasar arah pembangunan dan pengembangan
peradaban tata kehidupan masyarakat.

Hakekat pengkajian kearifan lokal dalam pembentukan hukum memberikan penegasan


tentang makna keadilan dilihat dalam perspektif nilai-nilai kebenaran, kebaikan, keadilan yang
hidup dan berkembang di masyarakat yang masih ditaati dan dijadikan dasar dalam bersikap,
berperilaku dan bertindak dalam konteks interaksi membangun peradaban dan tata
perikehidupan mereka. Doktrin yang dianut dan berkembang adalah “hukum untuk manusia”.
Sehingga hukum apapun itu dibuat untuk kepentingan dan kebutuhan hidup manusia dalam
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Institusi peradilan dipandang sebagai bagian integral
dari sistem masyarakatnya.

Kajian kearifan lokal dalam hukum kebiasaan atau hukum adat dalam pembentukan
hukum, menempatkan manusia sebagai subyek, dan menjadi pusat dari semua nilai keadilan,
kebenaran, kebaikan, ketertiban. Dalam perkembangannya memasukkan nilainilai lokal dalam
pembentukan hukum nasional dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan dengan memandang
bahwa hukum apapun termasuk hukum tertulis apabila tidak mengandung nilai keadilan
dianggap bukan hukum. Dalam pembentukan hukum yang berdasar pada kearifan lokal,
terdapat dua pondasi penting, yaitu system hukum dan budaya hukum. Sistem hukum,
sebagaimana yang digunakan disini adalah prosedur. Hal-hal yang kita ingin memahaminya,
pada pokoknya, adalah bagaimana orang menangani berbagai urusan dalam masyarakat,
bagaimana mereka mengatasi perselisihan-perselisihan mereka, jenis-jenis fungsi apa sajakah
yang mereka harapkan dapat memberi bantuan, bagaimana hubungan fungsi-fungsi tersebut
secara sistemik, dan sumber kekuasaan apa sajakah yang mereka miliki. Suatu sistem hukum
terdiri dari berbagai proses formal, yang melahirkan lembaga-lembaga formal, bersama-sama
dengan prosesproses informal di sekelilingnya.

Steven Vago menyatakan:

“Lawmaking is a complex and continuous process, and it exists as response to a number


of social influences that operate in society. The forces that influence lawmaking cannot always
be precisely determined, measured, or evaluated.”
Menurutnya, paling tidak ada tiga hal yang mempengaruhi proses pembentukan hukum,
yaitu: interest groups, public opinion, dan social science. Steven Vago menyebut bahwa
bekerjanya hukum sebagai Social Control atau Kontrol sosial digambarkan pada suatu proses
atau mekanisme yang digunakan masyarakat untuk menyesuaikan prilaku dan sikapnya pada
mekanisme itu sendiri, dan mekanisme itulah yang disebut dengan aturan hukum. Kemudian
diperjelas oleh Achmad ali bahwa dengan dilaksanakannya hukum oleh subyek hukum maka
hal tersebut sudah menjadi indikator bekerjanya aturan hukum.

Dalam konteks kehidupan modern, atau dalam kaitannya dengan hukum berarti hukum
modern, konsep the rule of law dianggap sebagai yang paling ideal untuk mewujudkan
supremasi hukum. Rule of law sendiri merupakan konsep yang berkaitan dengan hubungan dan
tindakan atau perbuatan manusia yang diatur oleh sesuatu yang terkodifikasi, impersonal, dan
prosedur yang tidak memihak, dan peraturan-peraturan yang diterapkan secara sama (equal)
dan adil (fair) untuk semua orang. Pemahaman ini sejalan dengan rule of law dalam pendekatan
formal yang dimaknakan bahwa hukum sebagai instrumen tindakan pemerintah. Dalam rule of
law, orang-orang berbagi keyakinan bahwa hubungan dan tindakan mereka “dipaksa” oleh
peraturan dan institusi hukum, dan lembaga-lembaga yang dibentuk dengan ekspektasi yang
serupa. Dalam hal ini, hukum merupakan sumber terakhir dari kontrol sosial. Sebagaimana
dikatakan Steven Vago, hukum pada dasarnya memiliki tiga fungsi, yaitu sebagai kontrol sosial
(social control), penyelesaian sengketa (dispute resolution), dan alat pengatur masyarakat
(social engineering). Ini berarti, selain untuk menyelesaikan sengketa, hukum juga berfungsi
untuk melakukan kontrol sosial dan mengatur masyarakat. Karena itu, pengaturan hukum
(regulasi) terjadi hampir dalam semua sektor kehidupan. Berbagai sektor kehidupan yang
saling berhubungan, dipilah-pilah untuk kemudian direduksi menjadi sektor yang saling
berhadapan sehingga dibutuhkan peraturan untuk mengatur atau menjaga kekompakannya.
Padahal, apa yang menjadi tradisi modern ini sesungguhnya sulit ditemukan pada masyarakat
tradisional. Rouland mengungkap bahwa hukum bukanlah suatu obyek dengan pembatasan
yang tak berubah-ubah, melainkan lebih sebagai suatu cara dalam memahami hubungan-
hubungan sosial.

Steven Vago dalam Law and Society menemukan bahwa lembaga hukum berfungsi
setidaknya sebagai pengamat sosial, mempromosikan perubahan sosial dan menyelesaikan
perselisihan. Sehubungan dengan upaya menghidupkan kembali perekonomian nasional,
diharapkan peraturan perundang-undangan dapat berperan sebagai monitor sosial. Situasi
sosial ekonomi saat ini menjadi semakin kompleks dan terancam sulit diselesaikan akibat
dampak pandemi. Kedudukan kebijakan hukum sebagai otoritas kontrol sosial bertujuan untuk
perubahan sosial dalam masyarakat. Dengan kata lain, peran hukum harus mampu mengatasi
permasalahan ekonomi saat ini sesuai kebijakan regulasi. Pengaruh kebijakan negara hukum
diharapkan dapat mempengaruhi situasi sosial yang saat ini sulit untuk dinormalisasi.

Dalam kaitannya dengan rule of law, beberapa sumber atau basis sosial yang
melatarinya penting untuk diulas. Basis sosialnya itu dalam hal ini adalah liberalisme dan
kapitalisme. Dalam perkembangannya, model liberalisme klasik (classical liberalism) dan
kapitalisme kompetitif (competitive capitalism), yang sesungguhnya menjadi latar belakang
rule of law, telah bergeser menuju liberalisme dan kapitalisme korporasi. Tulisan Turkel dalam
buku tersebut mengungkap pengaruh liberalisme dan kapitalisme terhadap rule of law, dan
karenanya menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Dalam membahas liberalisme dan
kapitalisme sebagai basis sosial rule of law menurut Turkel, artikel ini setelah bagian ini akan
membahas hubungan antara liberalisme dan rule of law serta kapitalisme dan rule of law.
Bagian berikutnya ingin menelaah secara paradigmatik ulasan Turkel tentang liberalisme dan
kapitalisme dalam kaitannya dengan rule of law. Dalam telaah paradigmatik ini ingin
ditunjukkan bahwa pemikiran Turkel sesungguhnya masih terbingkai dalam positivisme, lebih
tepatnya adalah paradigma pos-positivisme.

Hukum adalah sesuatu yang abstrak, tidak dapat dilihat dan tidak dapat diraba, yang
dapat dilihat adalah tingkah laku manusia seharihari, lebih tepat lagi tingkah laku hukum
manusia. Hukum itu sendiri merupakan hasil karya manusia berupa norma yang berisikan
petunjuk bagi manusia untuk bertingkah laku, hal ini berkaitan dengan keberadaan manusia
sebagai makhluk yang berakal budi, sehingga setiap tingkah laku manusia harus diatur secara
normatif dengan arti bahwa manusia harus bertingkah laku sesuai dengan norma-norma yang
ditentukan sebagai pegangan hidupnya. Melalui penormaan tingkah laku ini, hukum memasuki
semua aspek kehidupan manusia, seperti yang dikatakan Steven Vago;

“The normative life of the state and its citizens”.

Dalam proses adaptasi masyarakat, hukum formal yang terkodifikasi semakin


dibutuhkan saat suatu masyarakat menemui kemajemukannya. Kodifikasi mampu
menyeragamkan aturan di dalam masyarakat yang kompleks, dengan tujuan agar lebih mudah
mengorganisasi suatu masyarakat untuk ketertiban bersama. Dengan penjelasan Steven Vago,
dalam konteks dan tujuan yang demikian, dapat dipahami bahwa peran hukum formal
merupakan cara untuk memelihara aturan dan menawarkan pola kebiasaan masyarakat
sehingga dapat diprediksi (predictability of behavior). Predictability of behavior ini muncul
dari keseragaman aturan dan ketertiban, dan Vago menjadikannya sebagai pengertian
sederhana dari “social control”, dan hukum hanya salah satu dari sekian banyak bentuk kontrol
sosial. Vago memberikan penjelasan peran sosial hukum ke dalam tiga tema, yaitu: social
control, conflict resolution, dan law as social change. Studi atas upaya mengatur masyarakat
cyber dan menjalankan hukum di dalamnya, dengan penekanan pada peran serta masyarakat
mayantara memerlukan penjabaran ketiganya untuk menjelaskan.

Steven Vago memberikan abstraksi menarik di awal pembahasannya tentang Law as


Method of Conflict Resolution. Ia mengutip dari Kriesberg dan Aubert. “At every level in
society conflict is ubiquitous. Sociologists consider social conflict as a relationship between
two or more parties who (or whose representatives) believe they have incompatible goals.”
This relationship is usually characterized by some overt signs of antagonism. Kutipan tersebut
menggambarkan bahwa dalam segala tingkatan sosial senantiasa berpotensi terdapatnya
konflik yang serupa. Di dalam pemikiran para sosiolog, sebagaimana disampaikan Kriesberg,
menyatakan bahwa konflik adalah hubungan antara dua atau lebih kelompok yang yakin bahwa
mereka memiliki tujuan-tujuan yang tidak berkesesuaian. Vago lalu melanjutkan bahwa,
cakupan konflik dapat terbentang dari permasalahan keluarga hingga perang besar. Yang
melibatkan berbagai tingkat kelompok, individu, grup, maupun organisasi.

Seiring dengan pertumbuhan sosial, akan juga meningkatnya kemampuan dari


mekanisme hukum untuk melakukan resolusi konflik, dan penciptaan berbagai bentuk
pemulihan keadaan dan hak-hak yang dapat diberikan secara legal. Pengadilan memberikan
forum untuk melakukan penyelesaian berbagai bentuk perselisihan baik privat maupun publik.
Untuk menunjukkan kemampuan dari peran layanan-layanan pengadilan, setidaknya para
penuntut perkara ke persidangan harus mampu untuk menunjukkan sisi rasa keadilan dalam
perkaranya dan mampu mempertahankan diri. Sebagaimana layaknya metode yang berfungsi
menjembatani antara teori dan kenyataan, hukum adalah metode untuk menyelesaikan berbagai
konflik dalam masyarakat.

Berbagai idealisme tentang keadilan yang ada di dalam masyarakat dan berbagai nilai-
nilai di dalamnya, diberikan ruang. Peran oleh pengadilan bagi mereka yang menuntut keadilan
atas berbagai perselisihan yang terjadi di dalam masyarakat dalam berbagai tingkatan sosial.
Hukum tidak sekedar pasif menjadi sebuah metode yang semacam monolog terhadap realitas
sosial, hukum berkembang seiring dengan pertumbuhan sosial dan perselisihan yang
berseliweran di dalamnya. Dan Vago menekankan, setidaknya ada prasyarat, bahwa
kemampuan untuk menuntut rasa keadilan dan kemampuan untuk mempertahankannya di
muka pengadilan adalah utama. Dan dengan cara itu pulalah hukum terus berkembang,
dipertahankan, disanggah, dan terus beradaptasi untuk mampu menyelesaikan konflik dalam
masyarakat.

Padahal apabila hukum berfungsi dengan baik dalam penyelesaian berbagai kerusuhan
dan tindak kejahatan, maka dapat menjamin rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, selain
itu dapat mencegah jatuhnya korban yang lebih banyak dan kerusakan yang lebih parah, bahkan
dapat memberikan rasa aman, dan pada sisi yang lain setiap persengketaan, problem sosial dan
hukum akan dapat diselesaikan dengan baik, adil dan memuaskan semua pihak. Penyelesaian
sengketa merupakan salah satu fungsi dari hukum, namun ia bukan satu-satunya hngsi dari
hukum. Steven Vago dalam bukunya menulis tentang hal ini.

“:Why do we need law, and what does it do for society ? More speccally what function
does law perform ? As with the definition of law. there is no agreement among scholars
of law and society on the precise finctions,, nor is there consensus on their relative
weight and importance. A variety of finctions are highlited in the literature (see, for
example, Aubert 1969, 11, Bredemir, 1962: 74, Mermin, 1973: 5-10, Nuder and Todd,
1978: 1, Pollack, 1979: 669 and Samford 1989: 11 6-1 20) depending on the conditions
under which law operates at a particular time and place. The recurrent themes include
sosial control, dispute settlement, and socia engineering”

Memang penentuan tentang fungsi dari hukum dalam masyarakat belum ada
kesepakatan dari para pakar hukum dan hal ini sangat tergantung pada kondisi masyarakat di
mana hukum itu berlaku sesuai dengan tempat dan waktu. Namun penegasan di atas
menyebutkan ada tiga hngsi dari hukum yaitu:

1. Social control (sosial kontrol),


2. Dispute settlement (penyelesaian sengketa), dan
3. Social engineering (rekayasa sosial).

Lebih jauh Steven Vago menjelaskan tentang fungsi yang kedua dari hukum yaitu
sebagai dispute settlement (penyelesaian sengketa). Steven Vago mengemukakan:

“By settling dispute through an authoritative allocation of Iegal right and obligations,
the law provides an alternative to other methods of dispute resolution. Increasingly,
people in all walb of life let the courts settle matters that were once resolved by informal
and non legal mechanism, such ar negotiation, mediation, or forcible self-help
measures. It should be noted, however, that law only deals with disagreement that have
been translated into legal disputes. A legal resolution of conjict does not necessarily
result in a reduction of tension or antagonism between the aggrieved parties. For
example, in a case of employment discrimination on the basis of race, the court may
focus on one incident in what is a complex and often not very clear cut series of
problems. It results in a resolution of specijic Iegal dispute, but on in the amelioration
of the broader issues that have produced that”

Dengan demikian hukum juga dapat mempunyai fungsi sebagai sarana yang cukup
efektif melakukan penyelesaian sengketa dan sekaligus memberikan solusi dalam penyelesaian
suatu konflik yang terjadi dalam masyarakat.

hukum melakukan fungsi-fungsi yang essensial untuk mempertahankan masyarakat,


kecuali bagi masyarakat-masyarakat yang memang paling sederhana. Fungsi essensial tersebut
adalah:

1. Mendefinisikan hubungan-hubungan antara anggota-anggota masyarakat, untuk


menetapkan hal-ha apa yang boleh dilakukan dan yang tidak, sebagai usaha untuk paling
sedikit mempertahankan integrasi minimal dari Kegiatan-kegiatan antar individu dan
Kelompok dalam masyarakat.
2. Fungsi yang kedua ini mengalir dari keharusan untuk menjinakkun kekuasaan yang bersifat
telanjang dan mengarahkannya dalam rangka mempertahankan ketertiban. Di sini kita
berhadapan dengan mmalah pengalokasian kekuasaan dan penentuan tentang siapa yang
boleh melakukan paksaan fisik sebagai suatu previlese yang diakui dalam rnasyaraht dan
bersama dengan itu pula melakukan seleksi untuk memilih bentuk yang paling efektif dari
sanksi untuk mencapai tujuantujuan sosial yang dilqyani oleh hukum;
3. Penyelesaian sengketa-sengketa yang muncul;
4. Mendefinisikan kembali hubungan-hubungan antar individu-individu dan kelompok-
kelompok pada saat kondisi kehidupan mengalami perubahan. Hal ini dilakuhn untuk
mempertahanikan kemampuan beradaptasi.

Bilamana fungsi ini dapat dijalankan dengan baik maka berbagai konflik sosial yang
tejadi dalarn masyarakat akan dapat dipecahkan dengan sebaikbaiknya. Penyelesaian sengketa
adalah satu fungsi dari hukum, namun ia bukan satu-satunya fungsi dari hukum. Steven Vago
dalam bukunya menulis tentang hal ini:
“Why do we need law, and what does it do for society ? More specifically what function
does law perform ? As with the definition of law, there is no agreement among scholars
of law and society on the precise functions, nor is there consensus on their relative
weight and importance. A variety of finctions are highlifed in the literature (see, for
example, Aubert 1969, 11, Bredeneir, 1962: 74, Mermin, 1973: 5-10, Nader and Todd,
1978: 1, Pollack 1979: 669 and Samford, 1989: 116-120) depending on the conditions
under which law operates at a particular time and place. The recurrent themes include
social control, dispute settlement, and social engineering.”

Memang penentuan tentang fungsi dari hukum dalam masyarakat belum ada
kesepakatan dari para pakar hukum dan ha1 ini sangat tergantung dari kondisi masyarakat di
mana hukum itu berlaku sesuai dengan tempat dan waktu, namun penegasan di atas
menyebutkan ada tiga fungsi dari hukum yaitu:

1. Social control (kontrol sosial)

2. Dispute settlement (penyelesaian sengketa), dan

3. Social engineering (rekayasa sosial).

Lebih jauh Steven Vago menjelaskan tentang fungsi yang kedua dari hukum yaitu
sebagai dispute settlement (penyelesaian sengketa) Steven Vago mengemukakan:

“By settling dispute through an authoritative allocation of legal right and obligations,
the law provides an alternative to other method of dispute resolution. Increasingly,
people in all walks of life let the court settle matters that were once resolved by informal
and non legal mechanism, such as negotiation, mediation, or forcible self-help
measures. It should be noted, however, that law only deals with disagreement that have
been translated into legal disputes. A legal resolution of contict does not necessarily
result in a reduction of temion or antagonism between the aggrieved parties. For
example, in a case of employmeni discrimination on the basis of race, the court may
focus on one incident in what is a complex and often not very clear cut series of
problems. It results in a resolution of specijic legal dispute, but on in the amelioration
of the broader issues that have produced that conflict.”

Jadi dengan demikian hukum juga dapat mempunyai hngsi sebagai sarana yang cukup
efektif melakukan penyelesaian sengketa dan sekaligus memberikan solusi dalam penyelesaian
suatu konflik yang te jadi dalam masyarakat. Pandangan lain yang masih ada hubungamya
dengan pendapat di atas adalah seperti yang dikemukakan oleh Soerjomo Soekanto, yang
mengacu pada pendapat Hoebel menyatakan bahwa hukum sebagai aspek kebudayaan,
mempunyai beberap hngsi hndamental untuk memelihara kedudukan masyarakat, yaitu:

1. Merumuskan pedoman bagaimana warga masyarakat seharusnya berperikelakuan, sehingga


terjadi integrasi minimal dalam masyarakat;
2. Menetralisir kekuatankekuatan dalam masyarakat, sehingga dalam dimanfdkan untuk
mengadakan ketertiban;
3. Mengatasi persengketaan, agar keadaan semula pulih kembali;
4. Merumuskm kembali pedoman-pedoman yang mengatur hubungan antar warga masyarakat
dan kelompok-kelompok, apabila terjadi perubahan-perubahan

Model pembuatan hukum menurut Steven Vago dikatakan bahwa penyusunan suatu
peraturan perundang-undangan berlangsung dalam struktur sosial tertentu dengan demikian
merupakan bagian dari proses sosial yang lebih besar. Berangkat dari perspektif yang demikian
itu, maka penyusunan sebuah peraturan perundang-undangan tidak secara otomatis berjalan
lancar, mana kala struktur sosial di mana pembuatan itu berlangsung tidak demokratis. Dengan
kata lain sangat tergantung dari kondisi masyarakat. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan model
perspektif teoritis pembuatan hukum menurut Steven Vago, sebagai terurai di bawah ini:

Pertama, model rasionalistik menyatakan bahwa hukum (khususnya hukum pidana)


diciptakan sebagai suatu cara rasional untuk melindungi masyarakat.

Kedua, pandangan fungsionalis dalam pembuatan hukum adalah berkaitan dengan


bagaimana hukum timbul. Dalam pandangan ini hukum adalah suatu jenis khusus dari
“kebiasaan yang dilembagakan kembali” dan hukum adalah sah karena mewakili,
menggambarkan suara rakyat. Hukum secara esensial merupakan kestabilan kebiasaan dari
tertib normative yang berlaku. Walaupun ada konflik dalam masyarakat hukum secara relatif
marginal (tidak memihak) dan hokum tidak memerlukan nilai-nilai dasar. Dalam pandangan
ini konflik dan kompetisi dalam masyarakat sesungguhnya akan memberi sumbangan bagi
kohesi dan solidaritas masyarakat.

Ketiga, teori konflik, teori ini mengemukakan bahwa pertentangan nilai, ketidaksamaan
akses terhadap sumber-sumber ekonomi dan akibat pergerakan struktural dalam masyarakat
sebagai determinasi pokok dari hukum. Secara khusus timbulnya hukum dapat dilacak pada
munculnya kelas elit. Para elit ini seperti dikemukakannya, menggunakan mekanisme kontrol
sosial seperti hukum untuk memperkokoh posisi yang menguntungkan diri mereka dalam
masyarakat. Dalam peristiwa konflik di luar norma yang ada para penganut teori konflik akan
berpendapat bahwa kelompok-kelompok kepentingan lebih terikat erat dengan kepentingan-
kepentingan kelompok elit yang mungkin menang dalam konflik.

Keempat, teoris “moral enter premier” (usahawan/pejuang moral) mengaitkan


timbulnya peristiwa-peristiwa penting dengan “munculnya seorang pengusaha invidual atau
kelompok”. Aktivitas-aktivitas mereka dapat dengan tepat disebut “moral enterprise” karena
apa yang mereka usahakan adalah penciptaan sebuah fragmen baru tata moral masyarakat,
pedomannya benar atau salah. Yang patut dicatat dalam pandangan ini bahwa pengesahan
sebuah undang-undang mungkin juga merupakan simbolisasi supremasi kelompok-kelompok
yang mendukungnya. Penciptaan sebuah hukum adalah merupakan sebuah pernyataan bahwa
perilaku ilegal adalah tidak terhormat.

Anda mungkin juga menyukai