Anda di halaman 1dari 36

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat


Allah SWT karena hanya dengan rahmat dan karunia-
Nya, kami dapat menyelesaikan karya tulis yang berjudul
“Pandangan Etika dan Hukum Mengenai Euthanasia”
dengan baik dan cukup memuaskan.
Adapun maksud dan tujuan penulisan dan
penyusunan karya tulis ini adalah sebagai bentuk
pemenuhan tugas Mata Kuliah Sosio Antropologi
Kesehatan yang diampuh oleh Ibu Dra. Mardia Bin
Smith, S.Pd. M.Si. Kami mengucapkan banyak terima
kasih kepada ibu beserta semua pihak yang telah
memberikan saran, masukan dan juga dukungan kepada
kelompok kami.
Kami sangat menyadari bahwa masih terdapat
banyak kekurangan yang mungkin tidak kami sadari
dalam karya tulis ini. Oleh sebab itu, kami mengharapkan
kritik dan saran yang konstruktif dari berbagai pihak
untuk kami jadikan sebagai pelajaran untuk menjadi lebih
baik ke depannya.

Gorontalo, 12 April 2019

Penyusun
Kelompok 3

1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................... 1
DAFTAR ISI. ................................................................. 2
BAB I EUTHANASIA. .................................................. 4
1.1 Sejarah Euthanasia .................................................... 4
1.2 Macam-Macam Euthanasia. ...................................... 7
BAB II ETIKA KESEHATAN. .................................. 10
2.1 Kode Etik Kesehatan ............................................... 10
2.2 Euthanasia dalam Perspektif Moral ......................... 12
2.3 Euthanasia dan Hak Asasi Manusia .........................15
BAB III HUKUM KESEHATAN. ............................. 19
3.1 Perspektif Euthanasia dari Segi Perundang-Undangan
Indonesia........................................................................ 19
3.2 Perspektif Euthanasia Ditinjau dari Segi
Medis ............................................................................. 22
3.3 Euthanasia Dikaji dalam Perspektif Hukum
Kesehatan.......................................................................24
BAB IV DAMPAK DAN PENGARUH
EUTHANASIA DALAM KEHIDUPAN
MASYARAKAT .......................................................... 28
4.1 Dampak Euthanasia ................................................. 28

2
4.2 Pengaruh Euthanasia dalam Kehidupan
Masyarakat.....................................................................31
DAFTAR PUSTAKA. ................................................. 35

3
BAB I
EUTHANASIA
1.1 Sejarah Euthanasia
Euthanasia (dari bahasa Yunani: eu yang artinya baik,
dan thanatos yang berarti kematian) adalah praktik
pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui cara
yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau
menimbulkan rasa sakit yang minimal, biasanya
dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang
mematikan. Kata Euthanasia berasal dari bahasa Yunani
yaitu "eu" (baik) dan "thanatos" (maut, kematian) yang
apabila digabungkan, Euthanasia berarti kematian yang
baik. Kematian yang baik di sini menurut perspektif ilmu
medis yaitu kematian yang mana dibantu oleh tenaga
medis dengan maksud untuk menghentikan penderitaan
yang dirasakan pasien akibat penyakit yang dideritanya
sudah tidak tertahankan atau dalam artian parah.
Dewasa ini orang menilai Euthanasia terarah pada
campur tangan ilmu kedokteran yang meringankan
penderitaan orang sakit atau orang yang berada di
sakratul maut. Kadang-kadang proses “meringankan
penderitaan” ini disertai dengan bahaya mengakhiri

4
hidup sebelum waktunya. Dalam arti yang lebih sempit,
Euthanasia dipahami sebagai mercy killing, membunuh
karena belas kasihan, entah untuk mengurangi
penderitaan, entah terhadap anak tak normal, orang sakit
jiwa, atau orang sakit tak tersembuhkan. Tindakan itu
dilakukan agar janganlah hidup yang dianggap tak
bahagia itu diperpanjang dan menjadi beban bagi
keluarga serta masyarakat.
Pada sub-bab dalam bab pertama ini, kami akan
membahas mengenai sejarah terjadinya Euthanasia.
Bagaimanakah perkembangan Euthanasia sejak zaman
dahulu sampai dengan zaman sekarang? Kira-kira negara
manakah yang mempelopori Euthanasia untuk pertama
kalinya? Mari simak penjelasan berikut dengan saksama.
Dalam perjalanan sejarah, ada banyak perubahan
untuk menentukan apakah seorang dapat dinyatakan mati
atau tidak. Definisi kematian tetap sama yaitu
berhentinya secara irreversible seluruh fungsi pengaturan
manusia sebagai organisme secara keseluruhan baik
mental maupun fisik. Namun kriteria kematian seseorang
sendiri berubah seturut perkembangan ilmu pengetahuan
dan kedokteran. Zaman modern mencatat bahwa kriteria

5
kematian telah berubah dari berhentinya denyut jantung
dan pernafasan menjadi kriteria neurologis yaitu
kematian seluruh otak yakni batang otak dan otak besar.
“Pada Zaman Renaissance, pandangan tentang
euthanasia diutarakan oleh Thomas More dan Francis
Bacon. Francis Bacon dalam Nova Atlantis, mengajukan
gagasan euthanasia medica, yaitu bahwa dokter
hendaknya memanfaatkan kepandaiannya bukan hanya
untuk menyembuhkan, melainkan juga untuk
meringankan penderitaan menjelang kematian. Ilmu
kedokteran saat itu dimasuki gagasan euthanasia untuk
membantu orang yang menderita waktu mau meninggal
dunia. Thomas More dalam “The Best Form of
Government and The New Island of Utopia” yang
diterbitkan tahun 1516 menguraikan gagasan untuk
mengakhiri kehidupan yang penuh sengsara secara bebas
dengan cara berhenti makan atau dengan racun yang
membiuskan.” (Dikutip dari halaman internet
http://agungmavis20.blogspot.com/2015/11/makalah-
euthanasia.html)

6
1.2 Macam-Macam Euthanasia
Masing-masing orang memiliki nilai martabat
sendiri-sendiri yang ada secara intrinsik (ada bersama
dengan adanya manusia dan berakhir bersama dengan
berakhirnya manusia). Keberadaan martabat manusia ini
terlepas dari pengakuan orang, artinya ia ada entah diakui
atau tidak oleh orang lain. Masing-masing orang harus
mempertanggungjawabkan hidupnya sendiri-sendiri dan
oleh karena itu masing-masing orang memiliki tujuan
hidupnya sendiri. Karena itu, manusia tidak pernah boleh
dipakai hanya sebagai alat/instrumen untuk mencapai
suatu tujuan tertentu oleh orang lain.
“Dalam hal ini, Euthanasia dikategorikan menjadi
beberapa kelompok, yakni:
Euthanasia Aktif
Euthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan
secara aktif oleh dokter untuk mengakhiri hidup seorang
pasien yang dilakukan secara medis. Biasanya dilakukan
dengan penggunaan obat-obatan yang bekerja cepat dan
mematikan. Euthanasia aktif terbagi menjadi dua
golongan. Euthanasia aktif terbagi lagi ke dalam 2
bagian, yaitu:

7
- Euthanasia aktif langsung, yaitu cara pengakhiran
kehidupan melalui tindakan medis yang
diperhitungkan akan langsung mengakhiri hidup
pasien. Misalnya dengan memberi tablet sianida
atau suntikan zat yang segera mematikan.
- Euthanasia aktif tidak langsung, yang
menunjukkan bahwa tindakan medis yang
dilakukan tidak akan langsung mengakhiri hidup
pasien, tetapi diketahui bahwa risiko tindakan
tersebut dapat mengakhiri hidup pasien.
Misalnya, mencabut oksigen atau alat bantu
kehidupan lainnya.
Euthanasia Pasif
Euthanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau
mencabut segala tindakan atau pengobatan yang perlu untuk
mempertahankan hidup manusia, sehingga pasien diperkirakan
akan meninggal setelah tindakan pertolongan dihentikan.
Euthanasia Volunter
Euthanasia jenis ini adalah Penghentian tindakan
pengobatan atau mempercepat kematian atas permintaan
sendiri.

8
Euthanasia Involunter
Euthanasia involunter adalah jenis euthanasia yang
dilakukan pada pasien dalam keadaan tidak sadar yang
tidak mungkin untuk menyampaikan keinginannya.
Dalam hal ini dianggap famili pasien yang bertanggung
jawab atas penghentian bantuan pengobatan. Perbuatan
ini sulit dibedakan dengan perbuatan kriminal.” (Dikutip
dari halaman
http://agungmavis20.blogspot.com/2015/11/makalah-
euthanasia.html)

9
BAB II
ETIKA KESEHATAN
2.1 Kode Etik Kesehatan
Profesi tenaga medis sudah sejak lama menentang
adanya Euthanasia, sebab profesi kedokteran adalah
untuk menyembuhkan dan bukan untuk mematikan.
Profesi medis adalah untuk merawat kehidupan dan
bukan untuk merusak kehidupan. Seperti halnya
tercantum dalam Sumpah Hipokrates yang jelas-jelas
menolak perihal tersebut, “Saya tidak akan memberikan
racun yang mematikan ataupun memberikan saran
mengenai hal ini kepada mereka yang memintanya.”
(Dikutip dari
https://johnkoplo.wordpress.com/2008/05/30/euthanasia-
tinjauan-dari-segi-medis-etis-dan-moral/) Sumpah ini
kemudian menjadi dasar sumpah seluruh dokter di dunia,
termasuk di Indonesia.
Kode Etik Kedokteran Indonesia tentang kewajiban
dokter kepada pasien, disebutkan bahwa seorang dokter
harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi
hidup makhluk insani. Ini berarti bahwa menurut kode
etik kedokteran, dokter tidak diperbolehkan mengakhiri

10
hidup seorang yang sakit meskipun menurut pengetahuan
dan pengalaman tidak akan sembuh lagi. Tetapi apabila
pasien sudah dipastikan mengalami kematian batang otak
atau kehilangan fungsi otaknya sama sekali, maka pasien
tersebut secara keseluruhan telah mati walaupun
jantungnya masih berdenyut. Penghentian tindakan
terapeutik harus diputuskan oleh dokter yang
berpengalaman yang mengalami kasus-kasus secara
keseluruhan dan sebaiknya hal itu dilakukan setelah
diadakan konsultasi dengan dokter yang berpengalaman,
selain harus pula dipertimbangkan keinginan pasien,
kelurga pasien, dan kualitas hidup terbaik yang
diharapkan. Dengan demikian, dasar etik moral untuk
melakukan euthanasia adalah memperpendek atau
mengakhiri penderitaan pasien dan bukan mengakhiri
hidup pasien. Sampai saat ini, belum ada aturan hukum
di Indonesia yang mengatur tentang euthanasia. Pasal-
pasal KUHP justru menegaskan bahwa euthanasia aktif
maupun pasif tanpa permintaan dilarang. Hakikat profesi
kedokteran adalah menyembuhkan dan meringankan
penderitaan. Euthanasia justru bertentangan radikal
dengan hakikat itu.

11
Namun, beberapa ahli hukum juga berpendapat
bahwa tindakan melakukan perawatan medis yang tidak
ada gunanya secara yuridis dapat dianggap sebagai
penganiayaan. Ini berkaitan dengan batas ilmu
kedokteran yang dikuasai oleh seorang dokter. Tindakan
di luar batas ilmu kedokteran tersebut dapat dikatakan di
luar kompetensi dokter tersebut untuk melakukan
perawatan medis. Apabila suatu tindakan dinilai tidak
ada gunanya lagi, sesuai dengan kode etik kedokteran,
maka dokter tersebut tidak lagi berkompeten melakukan
perawatan medis. Maka dari itu ditegaskan bahwa
betapapun gawatnya dan menderitanya seorang pasien,
seorang dokter tetap tidak diperbolehkan melakukan
tindakan mengkhiri hidup atau mempercepat kematian
pasien tesebut karena hal tersebut jelas-jelas sangatlah
bertentangan dengan Kode Etik Kedokteran.
2.2 Euthanasia dalam Perspektif Moral
Banyak peristiwa dalam hidup kita mengatasi
perhitungan dan perencanaan manusia (kemandulan,
kesembuhan atau kematian di luar dugaan) dan
menimbulkan keyakinan bahwa hidup itu pada akhirnya
adalah anugerah. Memang manusia meneruskan atau

12
mewariskan kehidupan, tetapi kehidupan itu sendiri tidak
berasal dari padanya, melainkan dalam bahasa religius
dari Tuhan sebagai pencipta dan sumber kehidupan.
Dibandingkan dengan Tuhan, hidup manusia itu
kontingen, dapat ada, dapat tidak ada, tetapi memang de
facto ada karena diciptakan Tuhan.
Dengan demikian, manusia tidak mempunyai hak
apapun untuk mengambil atau memutuskan hidup baik
hidupnya sendiri maupun hidup orang lain. Euthanasia
adalah bentuk dari pembunuhan karena euthanasia
mengambil hidup orang lain atau hidupnya sendiri
(assisted suicide). Euthanasia menjadi salah satu cermin
di mana manusia ingin merebut hak prerogatif dari Allah
yang mana adalah Tuhan atas segala kehidupan.
Dalam menilai masalah euthanasia, perlu disadari
bahwa masalah euthanasia amat kompleks di kalangan
masa kini. Masalah euthanasia tidak pernah berdiri
sendiri tetapi selalu berkait dengan soal lain, misalnya
sosial, politik dan ekonomi. Dalam sub-bab kali ini, kami
menyajikan premis untuk penilaian euthanasia dari segi
moral kehidupan.

13
Dari sekian banyak nilai, kiranya jelas bahwa hidup
merupakan nilai dasar. Tanpa hidup banyak nilai lainnya
menjadi tidak atau kurang berarti. Karena itu, hidup juga
merupakan nilai yang sangat tinggi, bahkan dalam arti
tertentu juga nilai tertinggi di antara nilai-nilai dunia
fana. Hidup manusia adalah dasar dari segala sesuatu.
Tanpa hidup, manusia tidak punya apapun, termasuk hak-
haknya. Karena itu, hidup manusia adalah hak dasar dan
sumber segala kebaikan. Martabat manusia tidak berubah
meskipun dia dalam keadaan koma. Ia tetap manusia
yang bermartabat. Oleh karena itu, ia tetap harus
dihormati. Karena hidup merupakan anugerah dengan
nilai asasi dan sangat tinggi, maka hidup merupakan hak
asasi manusia dan karenanya juga harus dilindungi
terhadap segala hal yang mengancamnya.
“Hidup memang anugerah, namun anugerah yang
terbatas. Oleh karena itu hidup harus juga diterima dalam
keterbatasannya yaitu kematian. Keterbatasan sebenarnya
bukanlah keburukan, tetapi seringkali dirasakan sebagai
keburukan, meskipun di lain pihak juga dapat diinginkan
sebagai pembebasan. Soalnya sekarang ialah di mana
batas itu, kapan saatnya tiba, sebab manusia dewasa ini

14
makin mampu “menunda” saat kematian atau
“memperpanjang hidup”. Pandangan ini tidak
dimaksudkan sebagai hiburan murah, melainkan memang
bersumber pada kekayaan iman yang mempunyai
cakrawala yang jauh lebih luas daripada penalaran akal
budi manusia. Kematian dianggap sebagai sebuah
peristiwa natural. Tidak ada harapan bahwa kehidupan
fisik dapat dijaga dengan seluruh biaya yang ada. Kita
hanya bisa berharap bagaimana dalam kondisi serta
pemahaman yang benar, orang dapat menerima kematian
tersebut dengan ikhlas.” (Dikutip dari halaman
https://johnkoplo.wordpress.com/2008/05/30/euthanasia-
tinjauan-dari-segi-medis-etis-dan-moral/)
2.3 Euthanasia dan Hak Asasi Manusia
Seiring dengan persoalan akan kebebasan manusia
untuk melakukan sesuatu atas dirinya, mulai muncul
suatu tuntutan untuk mengakui euthanasia sebagai bagian
dari hak asasi manusia. Dalam hal ini, euthanasia
dianggap sebagai hak untuk mati, sebagaimana laporan
Tim Pengkajian Masalah Hukum. Pelaksanaan
Euthanasia yang menyatakan bahwa Perkembangan yang
paling menarik dari masalah – masalah Hak Asasi

15
Manusia adalah berkaitan dengan euthanasia, dimana hak
untuk mati dianggap bagian dari hak-hak asasi manusia.
Kehadiran euthanasia sebagai Hak Asasi Manusia
berupa hak untuk mati, dianggap sebagai sebuah
konsekuensi logis dari adanya hak untuk hidup. Oleh
karena setiap orang berhak untuk hidup, maka setiap
orang juga berhak untuk memilih kematian yang
dianggap menyenangkan bagi dirinya. Kematian yang
menyenangkan inilah yang kemudian memunculkan
istilah Euthanasia.
Secara filosofis, jika dikaji lebih dalam maka
sebenarnya manusia tidak memiliki hak untuk hidup
karena manusia tidak memiliki hidup itu sendiri.
Kehadiran manusia sepenuhnya merupakan kehendak
Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini terlihat pada kelahiran
manusia, dimana ia tidak memiliki wewenang untuk
menentukan kapan harus terlahir, dalam kondisi
bagaimana akan terlahir, ataupun dari rahim siapa ia akan
lahir. Jika hak untuk hidup itu dimiliki oleh manusia,
maka ia akan dapat menentukan kapan ia akan hidup,
dalam kondisi apa ia akan hidup, maupun dari rahim
siapa ia akan memulai hidupnya. Namun ternyata,

16
manusia tidak memiliki hak tersebut. Manusia hanya
mengetahui bahwa ia telah terlahir dan telah dikaruniai
kehidupan.
“Apabila ditinjau bahwa hak atas hidup manusia
berada pada kehendak Tuhan, maka dapat dikatakan
bahwa manusiapun tidak memiliki hak untuk mati
mengingat pada dasarnya manusia tidak memiki hak
untuk hidup. Apabila manusia itu sendiri tidak memiliki
hak untuk hidup, bagaimana mungkin ia memiliki hak
untuk mati, sedangkan adanya kematian adalah karena
ada hidup. Dalam hal ini, dengan tidak dimilikinya hak
hidup oleh manusia, maka manusia juga tidak memiliki
hak untuk mati, yang dewasa ini lebih dikenal dengan
euthanasia. Dengan demikian, setiap tindakan euthanasia
dianggap melawan anugerah Tuhan.” (Dikutip dari jurnal
dalam halaman internet
https://media.neliti.com/media/publications/13078-ID-
euthanasia-dan-perkembangannya-dalam-kitab-undang-
undang-hukum-pidana.pdf)
Dari uraian di atas, kehidupan sepenuhnya
merupakan hak Tuhan Yang Maha Esa, sehingga
manusia tidak memiliki hak untuk hidup. Dalam hal ini,

17
manusia telah dikarunia kehidupan oleh Tuhan, sehingga
ia memiliki hak untuk mempertahankan hidupnya. Jadi
lebih tepat jika dikatakan bahwa manusia tidak memiliki
hak hidup, tetapi memiliki hak untuk mempertahankan
hidupnya.

18
BAB III
HUKUM KESEHATAN
3.1 Perspektif Euthanasia dari Segi Perundang-
Undangan Indonesia
Kedudukan Undang-Undang dalam kehidupan
ketatanegaraan suatu negara sangat penting karena
menjadi tolak ukur kehidupan dalam bernegara dan
berbangsa untuk mengetahui aturan-aturan pokok yang
ditujukan baik kepada penyelenggara negara maupun
masyarakat dalam ketatanegaraan, khususnya Negara
Indonesia.
Indonesia merupakan satu dari sekian banyaknya
negara yang berlandaskan akan hukum. Hukum di
Indonesia sendiri sangatlah berpatokan kepada Undang-
Undang 1945. Bisa dikatakan bahwa Undang-Undang
1945 merupakan pedoman bagi seluruh aparat penegak
hukum untuk memutuskan suatu peradilan akan masalah-
masalah yang timbul dan kemudian berdampak bagi
kehidupan di Indonesia. Maka dari itu, tidak salah lagi
bahwa Undang-Undang dikategorikan ke dalam 4 pilar
pokok yang berperan penting dalam pembangunan
Indonesia selain Pancasila dan lainnya.

19
Berbicara Undang-Undang, pada sub-bab kali ini
kami akan membahas tentang Undang-Undang yang
mengatur Euthanasia. Apakah benar Euthanasia dapat
dilakukan jika telah mendapat persetujuan dari pihak
keluarga maupun pasien? Bukankah dalam pandangan
hukum maupun perspektif medis di Indonesia Euthanasia
dilarang keras? Lalu bagaimanakah perspektif Euthanasia
yang sebenarnya dalam Undang-Undang? Mari kita
uraikan satu per satu.
Membahas perihal kematian, tidak seorang pun dapat
mengetahuinya secara pasti kapan dia akan
meninggalkan dunia ini, karena masalah hidup dan mati
merupakan kehendak dari Yang Maha Kuasa. Oleh
karena itu, segala macam perbuatan manusia yang
bermaksud merenggut nyawa manusia adalah suatu
perbuatan dosa, sekalipun dilakukan dengan cara baik-
baik seperti halnya Euthanasia; tindakan mengakhiri
hidup seseorang akibat adanya suatu penyakit berat yang
dialaminya dengan berbagai pertimbangan dan bertujuan
agar si penderita tidak merasakan sakit lagi.
Namun, jika dilihat dari segi perundang-undangan
sampai dengan saat ini belum ada peraturan yang

20
menerangkan bahwa Euthanasia dapat dilakukan. Akan
tetapi karena masalah ini kian lama menimbulkan kontra
baik di dunia hukum, dunia medis, maupun khalayak
masyarakat karena hal ini bersangkutan dengan nyawa
seseorang, maka dari itu satu-satunya landasan yang
dipakai adalah Pasal 344 KUHP Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana yang berbunyi, "Barang siapa
menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang
itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan
sungguh-sungguh dihukum penjara selama-lamanya dua
belas tahun" (Dikutip dalam Buku Hukum Pidana
Pengembangan oleh Oemar Sesno Adji, 1985. Dari
halaman internet
https://media.neliti.com/media/publications/13078-ID-
euthanasia-dan-perkembangannya-dalam-kitab-undang-
undang-hukum-pidana.pdf)
Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa
apabila seorang dokter memberikan suntik mati atau
melakukan tindakan Euthanasia ini atas permintaan
pasien atau pihak keluarga pasien, maka ia dianggap
telah melakukan tindak pidana pembunuhan dan diancam
dengan hukuman penjara paling lama 12 tahun penjara

21
sesuai dengan Pasal 344 KUHP. Akan tetapi, apabila
pelaku melakukan perbuatan tersebut berdasarkan
inisiatifnya sendiri tanpa adanya permintaan dan
persetujuan dari pihak pasien maka ia dianggap telah
melakukan tindak pidana pembunuhan berencana dengan
ancaman hukuman mati atau penjara seumur hidup
berdasarkan Pasal 340 KUHP.
3.2 Perspektif Euthanasia Ditinjau dari Segi Medis
Pada dasarnya sebuah tindakan yang dilakukan oleh
seseorang dilakukan karena adanya tujuannya masing-
masing. Seperti halnya tindakan yang dilakukan oleh
dokter ataupun tenaga ahli kesehatan dalam dunia
kesehatan dilakukan guna bertujuan untuk melaksanakan
upaya pencegahan dan pengobatan suatu penyakit,
termasuk di dalamnya tindakan medis yang didasarkan
hubungan individual antara dokter dengan pasien yang
membutuhkan kesembuhan atas penyakit yang
dideritanya. Tenaga medis merupakan pihak yang
mempunyai keahlian di bidang medis dan mampu
melakukan sebuah tindakan medis yang sebaik-baiknya
bagi kebaikan pasien.

22
Pada sub-bab sebelumnya telah dibahas perundang-
undangan yang mengatur akan kasus Euthanasia.
Selanjutnya pada sub-bab ini akan dibahas mengenai
Euthanasia ditinjau dari Segi Medis. Mari kita simak
pembahasan kali ini dengan seksama.
“Tindakan medik merupakan suatu tindakan yang
seharusnya hanya boleh dilakukan oleh para tenaga
medis karena tindakan tersebut ditujukan terutama bagi
pasien yang mengalami gangguan kesehatan. Suatu
tindakan medik adalah keputusan etik yang dilakukan
oleh manusia terhadap manusia lain yang umumnya
memerlukan pertolongan dan keputusan tersebut
berdasarkan pertimbangan atas beberapa alternatif yang
ada. Dimana keputusan tersebut harus memenuhi tiga
syarat, yakni pertama bahwa keputusan tersebut benar-
benar sesuai dengan ketentuan hukum medis yang
berlaku, kedua tujuannya bermaksud demi kebaikan
pasien, dan terakhir keputusan tersebut harus tepat sesuai
dengan konteks serta situasi dan kondisi saat itu sehingga
dapat dipertanggungjawabkan” (Dikutip dari Jurnal
Tanggung Jawab Hukum Seorang Dokter dalam
Menangani Pasien oleh R. Abdoel Djamali dan

23
Leenawati Tedjapermana, 1988.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/6
3856/Chapter%20II.pdf?sequence=3&isAllowed=y)
Dari segi medis, Euthanasia merupakan sebuah
pilihan terakhir yang dilakukan oleh dokter untuk
mengatasi rasa sakit yang diderita oleh pasien
berdasarkan persetujuan dari pihak keluarga pasien dan
pasien itu sendiri. Apabila secara ilmu kedokteran hampir
tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan kesembuhan
ataupun pengurangan penderitaan pada diri pasien, maka
jalan satu-satunya dapat dilakukan tindakan ini. Namun
sekali lagi ditegaskan bahwa hal ini sangatlah bertolak
belakang dengan hukum di Indonesia. Maka dari itu,
meskipun tindakan yang dilakukan oleh para tenaga
medis telah mendapat persetujuan dari pihak pasien,
tindakan tersebut tetap akan ditindaki secara pidana oleh
aparat hukum karena telah bertentangan dengan hukum
yang ada.
3.3 Euthanasia Dikaji dalam Perspektif Hukum
Kesehatan
Pada masa pembangunan masa kini, hukum
merupakan suatu kebutuhan yang harus diarahkan dan

24
disesuaikan dengan tingkat kemajuan di berbagai bidang,
sehingga tercapai suatu kepastian hukum guna
memperlancar pelaksanaan pembangunan.
Perkembangan IPTEK di era ini sudah semakin pesat
dengan banyaknya penemuan-penemuan yang
bermanfaat bagi kepentingan manusia, khususnya dalam
bidang ilmu kedokteran sudah banyak ditemukan obat-
obatan dan alat medis yang serba modern. Walaupun
demikian, manusia tetap tidak dapat melepaskan diri dari
berbagai persoalan yang dialaminya seperti halnya
kesehatan, kelahiran atau bahkan kematian.
Dalam sub-bab terakhir pada bab ini, akan dibahas
mengenai Euthanasia dikaji dalam Perspektif Hukum
Kesehatan. Bagaimanakah pandangan hukum kesehatan
akan Euthanasia? Apakah ada perbedaan antara hukum
negara dengan hukum dalam dunia kesehatan? Baiklah,
kita langsung saja masuk pada pembahasan terakhir di
bab ini.
Untuk dapat menentukan kematian seseorang sebagai
individu diperlukan kriteria diagnostik yang benar
berdasarkan konsep diagnostik yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kematian sebagai

25
akhir dari rangkaian kehidupan adalah merupakan hak
dari Tuhan. Tak seorangpun yang berhak menundanya
sedetikpun, termasuk mempercepat waktu kematian.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa negara
manapun di dunia ini, seorang dokter mempunyai
kewajiban untuk menolong pasiennya seberapapun
gawatnya sakit pasien tersebut dan tetap harus
melindungi serta mempertahankan hidup pasiennya.
Walaupun pasien sebenarnya sudah tidak dapat
disembuhkan lagi atau sudah dalam keadaan sekarat
berbulan-bulan lamanya, akan tetapi dalam hubungan ini
dokter tidak boleh melepaskan diri dari kewajiban untuk
selalu melindungi hidup pasiennya, sebagaimana yang
diucapkan dalam sumpah kedokterannya.
“Semua perbuatan yang dilakukan oleh dokter
terhadap pasien harus bertujuan untuk memelihara
kesehatan dan keselamatan pasiennya. Walaupun kadang-
kadang ia terpaksa melakukan operasi yang sangat
membahayakan, akan tetapi tindakan ini di ambil setelah
di pertimbangkan secara mendalam bahwa tidak ada jalan
lain untuk menyelamatkan jiwa pasien agar dapat
terhindar dari ancaman maut. Sekalipun dalam

26
operasi tersebut mengandung banyak resiko. Oleh sebab
itulah, sebelum operasi di mulai perlu adanya pernyataan
persetujuan secara tertulis dari pasien dan keluarganya”
(Dikutip dari buku Etika Kedokteran Dan Hukum
Kesehatan Edisi 3 oleh M. Jusuf Hanafiah dan Amri
Amir, 1999).
Demikian diharapkan kepada para dokter agar
senantiasa menjaga nilai-nilai luhur sebagai petugas
kesehatan yang menjunjung tinggi profesionalitas
berdasarkan standar yang diatur oleh kode etik
kedokteran.

27
BAB IV
DAMPAK DAN PENGARUH EUTHANASIA
DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT
4.1 Dampak Euthanasia
Pada umumnya seseorang yang menderita sakit parah
yang tidak tertahankan akan berusaha untuk menghindari
penyebab rasa sakitnya, namun apabila tidak
memungkinkan apalagi ditambah dengan faktor lain dan
cukup berat, maka tidak menutup kemungkinan pasien
tersebut akan memilih jalur bunuh diri. Pada pasien yang
mengalami keadaan seperti itu, bunuh diri dilakukan
dengan adanya bantuan dari dokternya sendiri untuk
melakukan Euthanasia. Akan tetapi, dokter melakukan
prosedur tersebut setelah mendapatkan persetujuan dari
pihak keluarga maupun dari pasiennya dengan sebab
tidak kuat lagi menahan sakit yang dideritanya. Maka
dari itu, tindakan Euthanasia dapat dilaksanakan.
Walau bagaimana pun, menghilangkan nyawa atau
membiarkan seseorang meninggal dunia dengan begitu
saja merupakan tindakan yang bertentangan dengan
profesionalisme kerja dari seorang dokter. Dalam hal ini,
sampai dengan saat ini Negara Indonesia belum

28
melegalkan adanya Euthanasia. Hal ini dikarenakan
bahwa proses Euthanasia itu sendiri merupakan suatu
tindakan yang bertentangan dengan prinsip Negara
Indonesia, yakni negara yang berlandaskan atas hukum
seperti yang tercantum pada UUD 1945 Pasal 1 Ayat 3.
Tidak hanya melanggar hukum, akan tetapi Euthanasia
sendiri juga melanggar hak asasi manusia yang mana
sudah ada dalam diri seorang manusia sejak ia lahir
sampai dia meninggal.
Pada bab ini akan dijelaskan tentang dampak dan
juga pengaruh Euthanasia dalam kehidupan masyarakat.
Untuk sub-bab yang pertama, kita akan membahas
mengenai dampak-dampak apa saja yang terjadi jika
Euthanasia dilegalkan di Indonesia. Bagaimanakah
selanjutnya, mari simak dalam pembahasan berikut.
“Suatu tindakan Euthanasia yang dilakukan oleh
seorang dokter, tidak begitu saja terlepas dari jeratan
hukum yang berlaku di Indonesia. Karena Euthanasia
merupakan tindakan menghilangkan nyawa seseorang.
Tidak ada alasan pembenar bagi seorang dokter yang
melakukan Euthanasia, dengan tindakan tersebut
dikenakan Pasal 344 yang mendekati unsur delik

29
tindakan Euthanasia. Euthanasia ditinjau dari aspek
moral dan hak asasi manusia bertentangan dengan hak
asasi manusia yang paling mendasar yaitu hak untuk
hidup. Hal ini tertuang dalam Pasal 29 A UUD 1945 dan
dalam Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, maka
dengan landasan hukum yang ada setiap hak asasi
manusia harus dilindungi dan dijunjung tinggi.” (Dikutip
dari Jurnal milik Rindi Ramadhini (2009) Euthanasia
Ditinjau Dari Aspek Hukum Pidana Dan Hak Asasi
Manusia. Under Graduates thesis, Universitas Negeri
Semarang. Dalam halaman internet
https://lib.unnes.ac.id/2405/)
Segala sesuatu yang dilakukan ataupun dijalankan
oleh setiap individu tentunya memiliki dampaknya
tersendiri. Seperti halnya Euthanasia, Euthanasia juga
menimbulkan dampak-dampak tersendiri dalam
kehidupan masyarakat. Dampak-dampak tersebut antara
lain, yaitu tindakan Euthanasia membuat pasien jadi
mudah putus asa karena tidak memiliki semangat untuk
berjuang melawan penyakitnya lagi, melanggar hak asasi
yang dimiliki oleh pasien tersebut, memerlukan biaya

30
yang banyak untuk melakukan tindakan tersebut dan
terakhir pihak keluarga/pelaku Euthanasia terancam
tindak pidana jika Euthanasia dilakukan tidak sesuai
prosedur tenaga medis.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
Euthanasia tidak bisa langsung dilaksanakan begitu saja.
Euthanasia dapat dilakukan jika telah memenuhi syarat-
syarat yang telah ditentukan oleh hukum kesehatan, yang
mana harus berlandaskan prosedur ketenagakerjaan
medis serta telah mendapatkan ijin dari pihak keluarga
ataupun pasien itu sendiri.
4.2 Pengaruh Euthanasia dalam Kehidupan
Masyarakat
“Masalah Euthanasia menimbulkan pro dan kontra.
Ada sebagian orang yang menyetujui euthanasia ini dan
sebagian pihak lainnya menolak perihal Euthanasia
tersebut. Dalam hal ini tampak adanya batasan karena
adanya sesuatu yang mutlak berasal dari Tuhan dan
batasan karena adanya hak asasi manusia. Pembicaraan
mengenai euthanasia tidak akan memperoleh suatu
kesatuan pendapat etis sepanjang masa. Pihak yang pro
menyatakan bahwa tindakan Euthanasia dilakukan

31
dengan persetujuan, dengan tujuan utama menghentikan
penderitaan pasien. Salah satu prinsip yang menjadi
pedoman kelompok ini adalah pendapat bahwa manusia
tidak boleh dipaksa untuk menderita. Jadi, tujuan
utamanya adalah meringankan penderitaan pasien.
Sedangkan pihak yang kontra menyatakan mereka setuju
bahwa membunuh orang adalah tindakan yang salah.
Bagi mereka, Euthanasia adalah suatu pembunuhan yang
terselubung. Bagi orang beragama, Euthanasia
merupakan tindakan immoral dan bertentangan dengan
kehendak Tuhan. Mereka berpendapat bahwa hidup
adalah semata-mata diberikan oleh Tuhan sendiri
sehingga tidak ada seorang pun atau institusi manapun
yang berhak mencabutnya, bagaimanapun keadaan
penderita tersebut. Dikatakan bahwa manusia sebagai
makhluk ciptaan Tuhan tidak memiliki hak untuk mati.”
(Dikutip dari Buku milik Peschke and Karl-Heinz
berjudul “The Pros and Cons of Euthanasia
Reexamnined” dalam The Irish Theological Quarterly
Volume 58, Number 1, Kildare: St. Patrick’s College,
1992. Dalam halaman internet

32
https://johnkoplo.wordpress.com/2008/05/30/euthanasia-
tinjauan-dari-segi-medis-etis-dan-moral/)
Perdebatan ini tidak akan pernah berakhir, karena
sudut pandang yang dipakai sangatlah bertolak belakang
dan lagi-lagi alasan perdebatan tersebut adalah masalah
legalitas dari perbuatan Euthanasia. Untuk dapat
menentukan kematian seseorang sebagai individu
diperlukan kriteria diagnostik yang benar berdasarkan
konsep diagnostik yang dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah. Kematian sebagai akhir dari rangkaian
kehidupan adalah merupakan hak dari Tuhan. Tak
seorangpun yang berhak menundanya sedetikpun,
termasuk mempercepat waktu kematian.
Pada sub-bab terakhir dalam bab ini akan dijelaskan
tentang pengaruh Euthanasia dalam kehidupan
masyarakat. Kira-kira apa saja ya pengaruh Euthanasia
dalam kehidupan Masyarakat? Silahkan disimak dengan
baik-baik.
Sejak awal sebelum tindakan Euthanasia ini muncul
di Indonesia, rupanya Euthanasia sudah menjadi sorotan
yang cukup membekas di dalam pikiran masyarakat.
Dengan kemajuan teknologi yang begitu cepat,

33
masyarakat jadi mudah tahu tentang peristiwa apa saja
yang terjadi di wilayah luar Indonesia, salah satunya
kasus Euthanasia yang kini sudah diterapkan di Negara
Eropa dan dilegalkan keberadaannya. Namun, tentunya
hal tersebut harus memenuhi beberapa syarat tertentu.
Fenomena ini mengundang banyak perhatian dari
masyarakat di berbagia pelosok dunia, contohnya
Indonesia. Sejauh ini, kasus Euthanasia masih sangat
minim ditemukan di Negara Indonesia. Hanya ada
beberapa kasus yang telah ditangani dan kemudian
ditindaklanjuti sesuai dengan Hukum Pidana mengenai
kasus tersebut. Kalau ada ketentuan yang memang
melegalkan secara khusus serta mengakui akan tindakan
Euthanasia, sekalipun syarat-syarat terpenuhi
berdasarkan prinsip kode etik kedokteran, tetap saja hal
tersebut dalam perspektif kehidupan masyarakat dan juga
di mata hukum tidak tepat dan tidak boleh dilaksanakan.
Maka dari itu, masyarakat harus dapat berpikir terlebih
dahulu sebelum mengambil tindakan Euthanasia. Karena
bisa saja dirinya terjerat dalam hukum dan tentunya hal
tersebut yang akan berpengaruh dalam kehidupannya
sendiri.

34
DAFTAR PUSTAKA
M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir. 1999. Etika
Kedokteran dan Hukum Kesehatan Edisi 3. Jakarta:
EGC.
Rindi Ramadhini. 2009. Euthanasia Ditinjau dari Aspek
Hukum Pidana dan Hak Asasi Manusia. Semarang:
Universitas Negeri Semarang, Under Graduates
Thesis. (Dalam halaman internet
https://lib.unnes.ac.id/2405/ diakses pada tanggal
12 April 16:39)
http://agungmavis20.blogspot.com/2015/11/makalah-
euthanasia.html (Diakses pada tanggal 12 April
pukul 15:47)
https://johnkoplo.wordpress.com/2008/05/30/euthanasia-
tinjauan-dari-segi-medis-etis-dan-moral/ (Diakses
pada tanggal 14 April pukul 19:07)
https://media.neliti.com/media/publications/13078-ID-
euthanasia-dan-perkembangannya-dalam-kitab-
undang-undang-hukum-pidana.pdf (Diakses pada
tanggal 14 April pukul 20:33)

35
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/6
3856/Chapter%20II.pdf?sequence=3&isAllowed=y
(Diakses pada tanggal 12 April pukul 21:27)

36

Anda mungkin juga menyukai