Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM KESEHATAN


Disusun guna memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Kesehatan

Disusun Oleh :
Putri Permata Indah (20170610045)
Talitha Trisna Ramadhan (20170610056)
Sekar Ayu Rahmadanti (20170610063)
Febyona Rindang Syahfitri (20170610085)
Nindiya Sukmawati (20170610140)
Nurmala Ita (20170610141)
Engla Atervina (20170610171)

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Setiap makhluk hidup, termasuk manusia, akan mengalami siklus kehidupan
yang dimulai dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia dengan berbagai
permasalahannya, serta diakhiri dengan kematian. Dari proses siklus kehidupan
tersebut, kematian merupakan salah satu yang masih mengandung misteri besar dan
ilmu pengetahuan belum berhasil menguaknya. Untuk dapat menentukan kematian
seseorang sebagai individu diperlukan kriteria diagnostik yang benar berdasarkan
konsep diagnostik yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kematian
sebagai akhir dari rangkaian kehidupan adalah merupakan hak dari Tuhan. Tak
seorangpun yang berhak menundanya sedetikpun, termasuk mempercepat waktu
kematian. Tetapi bagaimana dengan hak pasien untuk mati guna menghentikan
penderitaannya.
Hak pasien untuk mati, yang seringkali dikenal dengan istilah euthanasia, sudah
kerap dibicarakan oleh para ahli. Namun masalah ini akan terus menjadi bahan
perdebatan, terutama jika terjadi kasus-kasus menarik. Di satu pihak tindakan dan
euthanasia pada beberapa kasus dan keadaan memang diperlukan sementara di lain
pihak tindakan ini tidak dapat diterima, bertentangan dengan hukum, moral dan
agama. Mengenai masalah euthanasia bila ditarik ke belakang boleh dikatakan
masalahnya sudah ada sejak kalangan kesehatan menghadapi penyakit yang tak
tersembuhkan, sementara pasien sudah dalam keadaan merana dan sekarat.
Dalam situasi demikian tidak jarang pasien memohon agar dibebaskan
dari  penderitaan ini dan tidak ingin diperpanjang hidupnya lagi atau di lain keadaan
pada pasien yang sudah tidak sadar, keluarga orang  sakit yang tidak tega melihat
pasien yang penuh penderitaan menjelang ajalnya dan minta kepada dokter untuk
tidak meneruskan pengobatan atau bila perlu memberikan obat yang mempercepat
kematian. Dari sinilah istilah euthanasia muncul, yaitu melepas kehidupan seseorang
agar terbebas dari penderitaan atau mati secara baik. Masalah makin sering
dibicarakan dan menarik  banyak perhatian karena semakin banyak kasus yang
dihadapi kalangan kedokteran dan masyarakat terutama setelah ditemukannya
tindakan didalam dunia pengobatan dengan mempergunakan tegnologi canggih
dalam menghadapi keadaan-keadaan gawat dan mengancam kelangsungan hidup.
Banyak kasus-kasus di pusat pelayanan kesehatanterurtama di bagian gawat darurat
dan di bagian unit perawatan intensif yang pada masa lalu sudah merupakn kasus
yang sudah tidak dapat dibantu lagi. 

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu euthanasia?
2. Apa saja jenis-jenis euthanasia?
3. Bagaimana “Euthanasia” ditinjau dari ilmu kedokteran ?
4. Bagaimana pengaturan euthanasia dalam hukum di Indonesia?
5. Bagaimana tindak pidana dalam praktik kedokteran dan delik euthanasia?
6. Pertannggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Pelaksana Tindak Pidana
Euthanasia?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Euthanasia
Dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang medik, kehidupan
seorang pasien bisa diperpanjang dan hal ini seringkali membuat para dokter
dihadapkan padasebuah dilema untuk memberikan bantuan tersebut apa tidak dan
jika sudah terlanjur diberikan bolehkah untuk dihentikan. Tugas seorang dokter
adalah untuk menolong jiwa seorang pasien, padahal jika dilihat lagi hal itu sudah
tidak bisa dilanjutkan lagi dan jika hal itu diteruskan maka kadang akan menambah
penderitaan seorang pasien. Nah, penghentian pertolongan tersebut merupakan salah
satu bentuk euthanasia. Berdasarkan pada cara terjadinya, ilmu pengetahuan
membedakan kematian kedalam tiga jenis:
1. Orthothansia, merupakan kematian yang terjadi karena proses alamiah;
2. Dysthanasia, adalah kematian yang terjadi secara tidak wajar;
3. Euthanasia, adalah kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak
dengan pertolongan dokter.1
Istilah Euthanasia secara etimologis, berasal dari kata Yunani yaitu eu dan
thanatos yang berarti “mati yang baik” atau “mati dalam keadaan tenang atau
senang”. Dalam bahasa inggris sering disebut Marc Killing, sedangkan menurut
“Encyclopedia American mencantumkan Euthanasia ISSN the practice of ending life
in other to give release from incurable sufferering”. Di Belanda disebutkan bahwa
Euthanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan suatu usaha (nalaten) untuk
memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja tidak melakukan sesuatu untuk
memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua ini dilakukan
khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri.2 Suetonis dalam bukunya Vita
Ceasarum merumuskan bahwa euthanasia adalah mati cepat tanpa derita. Pada
perkembangan selanjutnya, istilah euthanasia diartikan sebagai pengakhiran
kehidupan karena belas kasihan (mercy killing) dan membiarkan seseorang untuk

1
Muhammad Ikhsan, 2009, Euthanasia Persepetif Medis Dan Hukum Pidana Indonesia,
https://www.scribd.com/document/11639357/Euthanasia-Persepetif-Medis-Dan-Hukum-Pidana-Indonesia.
2
HR, Ferdiana, 2017, Tindakan Euthanasia sebagai Tindak Pidana dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
Tentang Praktik Kedokteran, http://repository.unpas.ac.id/28620/4/F.BAB%20II%20TINJAUAN%20EUTHANASIA.pdf.
mati (mercy death). Kemudian, ada juga yang mengartikannya sebagai a good or
happy death.3
Mahoney dkk., dalam bukunya Euthanasia and Clinical Practice, sebagaimana
dikutip oleh Syamsul Anwar, mendefinisikan euthanasia sebagai tidak melakukan
secara sengaja sesuatu perbuatan untuk memperpanjang atau secara sengaja
melakukan suatu perbuatan untuk mengakhiri hidup seorang pasien yang
kesemuanya dilakukan semata-mata untuk kepentingan pasien itu sendiri.
Berdasarkan definisi ini, Syamsul Anwar lebih lanjut menjelaskan bahwa euthanasia
berbeda dengan bunuh diri (suicide) karena bunuh diri tidak dilakukan dalam
konteks perawatan penyakit dan sering dilakukan tanpa bantuan orang lain,
sementara euthanasia dilakukan dalam konteks medis dan atas bantuan orang lain.
Euthanasia dibedakan juga dengan bunuh diri atas bantuan dokter (assited suicide)
di mana dalam kasus bunuh diri atas bantuan dokter ini fasilitas untuk bunuh diri
disediakan oleh dokter, sedang kematian dirinya dilakukan oleh yang bersangkutan
sendiri.4
Menurut istilah kedokteran, Euthanasia berarti tindakan untuk meringankan
kesakitan atau penderitaan yang dialami oleh seseorang yang akan meninggal, juga
berarti mempercepat kematian seseorang yang berada dalam kesakitan dan
penderitaan yang hebat menjelang kematiannya. Kode etik kedokteran Indonesia
menggunakan Euthanasia dalam tiga arti, yaitu :
1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang & aman tanpa penderitaan;
2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan
memberi obat penenang;
3. Mengakhiri penderitaan & hidup seorang sakit dengan sengaja atas
permintaan pasien sendiri atau pihak keluarga.
Berdasarkan penjelasan medis, Euthanasia menurut Dr. Kartono Muhammad
adalah membantu mempercepat kematian seseorang agar terbebas dari
penderitaan. Menurut Dr. Med Ahmad Ramli dan K.St. Pamuncak Euthanasia
adalah usaha dokter untuk meringankan penderitaan sakaratul maut. Menurut
Anton M. Moeliono dan kawan-kawan, pengertian Euthanasia adalah suatu
3
Abd. Halim, 2012, Euthanasia dalam Perspektif Moral dan Hukum, http://ejournal.uin-
suka.ac.id/syariah/almazahib/article/view/1346/1168
4
Abd. Halim, 2012, Euthanasia dalam Perspektif Moral dan Hukum, http://ejournal.uin-
suka.ac.id/syariah/almazahib/article/view/1346/1168
tindakan mengakhiri dengan sengaja kehidupan mahluk (orang ataupun hewan)
yang sakit berat atau luka parah dengan kematian yang tenang dan mudah atas
dasar perikemanusaiaan.5

B. Jenis-Jenis Euthanasia
Ada beberapa jenis euthanasia yang semuanya memiliki definisi yang berbeda-
beda. Pendapat dari Dr. R. Soeprono (dalam Prakoso, 1984:54) yang membagi
euthanasia empat jenis yaitu:
1. Euthanasia sukarela (Voluntary euthanasia). Pasien meminta, memberi ijin atau
persetujuan untuk menghentikan atau meniadakan perawatan yang
memperpanjang hidup.
2. Euthanasia terpaksa (Invulunturv eulfzunusiu) Membiarkan pasien mati tanpa
sepengetahuan si pasien sebelumnya dengan cara menghentikan atau meniadakan
perawatan yang memperpanjang hidup.
3. Mercy Killing sukarela (Volunturi Mercy Killing)
Dengan sepengetahuan dan persetujuan pasien diambil tindakan yang
menyebabkan kematian.
4. Mercy Killing terpaksa (Involunlari A1ercv Killing) Tindakan sengaja di ambil
tanpa sepengetahuan si pasien untuk mempercepat kematian.6

C. Euthanasia Ditinjau Dari Ilmu Kedokteran Indonesia


Dalam pasal 11 KODEKI ditegaskan bahwa, “Setiap dokter wajib senantiasa
mengingat kewajiban dirinya dalam melindungi hidup makhluk insani.” Dengan
demikian Seorang dokter wajib mengerti/memahami siklus dan mutu kehidupan
manusia, mulai saat pembuahan dan/atau saat kehidupan diawali, proses alamiah
kehidupan berlangsung sampai dengan menjelang/saat/sesudah kematian manusia,
dengan tujuan untuk menghormati, melindungi dan memelihara hidup mahluk
insani. Sehingga seorang dokter wajib berhati-hati, mempertimbangkan berbagai
aspek diagnosis, pengobatan/perlakuan dan prognosis pada konteks kehidupan
reproduksi pada umumnya serta menggunakan pelbagai kemajuan/kecanggihan
5
HR, Ferdiana, 2017, Tindakan Euthanasia sebagai Tindak Pidana dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
Tentang Praktik Kedokteran, http://repository.unpas.ac.id/28620/4/F.BAB%20II%20TINJAUAN%20EUTHANASIA.pdf.
6
TS Pradjonggo, 2016, Suntik Mati (Euthanasia) Ditinjau Dari Aspek Hukum Pidana Dan Hak Asasi Manusia Di Indonesia,
journal.um.ac.id/index.php/jppk/article/download/5940/2467.
teknologi reproduktif apapun yang dapat menghilangkan atau menurunkan harkat
manusia dan martabat kemanusiaan. Seorang dokter harus mengerahkan segala
kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan memelihara hidup akan tetapi
tidak untuk mengakhirinya.
Kita di Indonesia, sebagai Negara yang ber-Agama dan ber-Pancasila, percaya
kepada kekuasaan mutlak daripada Tuhan Yang Maha Esa. Segala sesuatu
diciptakan-Nya, dan penderitaan yang dibebankan kepada mahkluk manusia, ada
arti dan maksudnya. Oleh sebab itu, dokter harus mengerahkan segala kepandaian
dan kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan memelihara hidup, tidak
untuk mengakhiri hidup dari pada sesama manusia. Adalah tugas ilmu kedokteran
membantu meringankan penderitaan pasien, atau bahkan menyembuhkan penyakit
selama masih dimungkinkan. Jadi, jelas bahwa Kode etik kedokteran Indonesia
melarang tindakan euthanasia.

D. Pengaturan Euthanasia dalam Hukum di Indonesia


Secara yuridis berdasarkan hukum pidana yang berlaku di Indonesia, euthanasia
belum diatur secara jelas. Menurut pengertian kedokteran forensik, euthanasia
adalah salah satu bentuk pembunuhan, dimana seseorang dimatikan dengan maksud
untuk mengakhiri penderitaan orang tadi.7 Namun dalam Pasal 344 KUHP
dinyatakan bahwa “Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang
itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana
penjara paling lama dua belas tahun”. Berdasarkan ketentuan Pasal 344 KUHP
tersebut dapat dipahami bahwa pembunuhan atas permintaan korban sekalipun tetap
diancam pidana bagi pelakunya. Dengan demikian, dalam konteks hukum positif di
Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan terlarang, walaupun pasal
tersebut tidak menyebut istilah euthanasia secara eksplisit.8
Dalam ketentuan Pasal 338 KUHP secara tegas dinyatakan “Barang siapa
sengaja merampas nyawa orang lain karena salah telah melakukan pembunuhan
dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun”. Sementara

7
LP Yudaningsih, 2015, TINJAUAN YURIDIS EUTHANASIA DILIHAT DARI ASPEK HUKUM PIDANA,
https://media.neliti.com/media/publications/43316-ID-tinjauan-yuridis-euthanasia-dilihat-dari-aspek-hukum-pidana.pdf
8
HR, Ferdiana, 2017, Tindakan Euthanasia sebagai Tindak Pidana dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
Tentang Praktik Kedokteran, http://repository.unpas.ac.id/28620/4/F.BAB%20II%20TINJAUAN%20EUTHANASIA.pdf.
itu, dalam ketentuan Pasal 340 KUHP dinyatakan “Barang siapa dengan sengaja dan
dengan rencana lebih dulu merampas nyawa orang lain diancam, karena
pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.15”.
Dalam ketentuan Pasal 340 KUHP menjelaskan bahwa “Barang siapa merampas
nyawa orang lain atas permintaan sendiri yang jelas dinyatakan dengan
kesungguhan hati, diancam dengan pidana paling lama 12tahun penjara”
Selain itu, dalam Pasal 345 KUHP menyatakan bahwa “Barang siapa dengan
sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu
atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling
lama 4 tahun kalau orang tersebut jadi bunuh diri”.
Dan dalam pasal 259 KUHP menjelaskan bahwa “Barang siapa dengan
kesalahannya menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling
lama 5 tahun atau pidana kurungan paling lama 1 tahun”.
Hubungan hukum dokter-pasien dapat pula dikaji dari sudut perdata, yakni
berkaitan dengan perjanjian/perikatan yang diatur dalam pasal-pasal 1313, 1314,
1315, 1319, dan 1320 KUHP Perdata. Pasal 1320, misalnya, mengatur mengenai
syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, antara lain: kemauan (yang bebas tentunya)
dari kedua belah pihak yang membuat perjanjian. Selain itu, harus diingat pula
adanya pasal 351 KUHP. Dalam pengertian pasal ini, suatu tindakan yang dilakukan
terhadap pasien tanpa izin, dapat dikategorikan sebagai penganiayaan.
Apabila seorang dokter bertindak dengan memenuhi unsur-unsur yang
disebutkan dalam pasal-pasal KUHP di atas (khususnya pasal 344), maka dokter itu
telah melakukan euthanasia dan sebagaimana telah dibahas di atas, menurut hukum
merupakan tindak pidana.9
E. Tindak Pidana Dalam Praktik Kedokteran Dan Delik Euthanasia
Istilah tindak pidana dalam praktik kedokteran sebenarnya merupakan istilah
yang asing dalam berbagai disiplin ilmu hukum. Tindak pidana praktik
kedokteran merupakan gabungan dua istilah, yaitu tindak pidana yang berarti
perbuatan atau tindakan yang menimbulkan hukuman atau sanksi pidana.
Sedangkan praktik kedokteran atau profesi kedokteran berdasarkan Undang-
9
Abd. Halim, 2012, EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF MORAL DAN HUKUM, http://ejournal.uin-
suka.ac.id/syariah/almazahib/article/view/1346/1168
Undang No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran diartikan sebagai suatu
tindakan kedokteran atau pekerjaan kedokteran yang dilaksanakan berdasarkan
suatu keilmuan dan kompetensi. Dapat disimpulkan bahwa tindak pidana praktik
kedokteran tidak lain adalah tindakan (medik) yang salah atau kekeliruan yang
dilakukan oleh profesi kedokteran yang buruk serta menimbulkan akibat hukum
atas perbuatan yang dilakukan.
Pakar menggunakan beberapa istilah lain dalam tindak pidana praktik
kedokteran yaitu Medical MalpracticeI yang dalam bahasa Indonesia disebut juga
sebagai kelalaian medik. sedangkan Gonzales dalam bukunya Legal Medicine
Pathology and Toxilogy menggunakan istilah Criminal Malpractice dan Civil
Malpractice. Menurut Hermein Hadiati Koeswadji, memberikan definisi
malpraktik adalah suatu bentuk kesalahan professional yang dapat menimbulkan
luka-luka pada pasien sebagai akibat langsung dari suatu perbuatan atau kelalaian
dokter.

Sedangkan Berkhouwer dan Vorstman mengemukakan istilah malpraktik


adalah setiap kesalahan professional yang diperbuat oleh dokter karena pada
waktu melakukan pekerjaan professionalnya, tidak memeriksa, tidak menilai,
tidak berbuat atau meninggalkan hal-hal yang akan diperiksa, dinilai dan
diperbuat didalam situasi dan kondisi yang sama.
Dengan mengesampingkan perbedaan istilah-istilah dikalangan para ahli
tersebut dapat dikatakan bahwa tindak pidana tersebut dilakukan oleh para
pengemban profesi kedokteran baik berupa kelalaian atau kesalahan yang
berakibat kerugian pada pasien dan diancamkan hukuman atau sanksi pidana atas
perbuatannya.
Terdapat perbedaan yang mendasar antara tindak pidana biasa yang fokusnya
adalah akibat dari tindak pidana tersebut. Tindak pidana dalam praktik
kedokteran atau profesi kedokteran ini fokusnya adalah kausa atau sebab dan
bukan akibat. Suatu tindakan atau perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak
pidana, apabila secara teoritis memenuhi setidaknya tiga unsur, yaitu :
a. Melanggar norma hukum yang tertulis;
b. Bertentangan dengan hukum atau melanggar hukum;
c. Berdasarkan suatu kelalaian atau kesalahan besar.10

Kualifikasi delik dari perbuatan Euthanasia ini berdasarkan Undang-Undang


No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran adalah merupakan jenis delik
Commissionis yang pengertiannya adalah perbuatan melakukan sesuatu yang
dilarang oleh aturan-aturan pidana. Delik Commissionis pada umumnya terjadi
ditempat dan waktu pembuat (dader) mewujudkan segala unsur perbuatan dan
unsur pertanggungjawaban pidana. Walaupun sebetulnya dalam Undang-Undang
No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran tidak ada aturan mengenai
Euthanasia dan juga tidak ada sanksi pidana yang diberikan kepada seorang
dokter yang melakukan tindakan Euthanasia didalam undang-undang tersebut.11
F. Pertannggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Pelaksana Tindak Pidana
Euthanasia
Pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang
tersangka atau terdakwa dapat dimintakan pertanggungjawaban atau tidak.
Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada orang yang melakukan perbuatan
pidana. Seseorang tidak akan dipidana jika tidak ada kesalahan. Unsur-Unsur
Pertanggungjawaban Tindak Pidana:
1. Kemampuan beratanggungjawab
2. Adanya kesalahan
3. Tidak adanya alasan pemaaf
Ditinjau dari sisi hukum, kasus Euthanasia dapat dianggap suatu pembunuhan.
Pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; seseorang dapat dipidana atas
dihukum apabila ia menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja ataupun
karena kekurang hati-hatinya. Ketentuan pelanggaran pidana yang berkaitan
langsung dengan Euthanasia aktif terdapat pada pasal 344 KUHP. Pada Euthanasia
aktif tidak langsung, seorang dokter yang walaupun tujuan utamanya mengurangi
penderitaan pasien dengan menyuntikkan pengurang rasa sakit yang dilakukan
dengan dosis tinggi, tetapi dokter yang bersangkutan juga pasti mengetahui bahwa
dengan dosis setinggi itu pasien dapat meninggal. Perbuatan Euthanasia jelas ini
10
HR, Ferdiana, 2017, Tindakan Euthanasia sebagai Tindak Pidana dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
Tentang Praktik Kedokteran, http://repository.unpas.ac.id/28620/4/F.BAB%20II%20TINJAUAN%20EUTHANASIA.pdf.
11
HR, Ferdiana, 2017, Tindakan Euthanasia sebagai Tindak Pidana dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
Tentang Praktik Kedokteran, http://repository.unpas.ac.id/28620/4/F.BAB%20II%20TINJAUAN%20EUTHANASIA.pdf.
bukan suatu kelalaian tetapi kesengajaan, mengingat ada tiga hal jenis kesengajaan,
yaitu : sengaja sebagai maksud, sengaja dengan keinsyafan pasti dan sengaja
dengan keinsyafan kemungkinan atau dolus evaluantis.
Dari semua analisis diatas, secara yuridis, Euthanasia, terutama Euthanasia aktif
memang merupakan tindak pidana, namun tidak semua orang yang melakukan
tindak pidana harus dihukum. Dalam KUHP Bab III tentang hal-hal yang
Menghapuskan, Mengurangi atau memberatkan Pidana, terutama pasal 48, yang
berbunyi : “barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak
dipidana”. Dalam hal pasien yang sudah tidak dapat disembuhkan secara medis,
tentu dokter yang merawatnya akan sangat kasihan bahkan dapat menderita
batinnya, sudah tidak ada cara lain yang dapat digunakan untuk mengentaskan
penderitaan pasiennya. Ini merupakan suatu pengaruh daya paksa secara psikis.
Istilah daya paksa dalam pasal 48 KUHP umumnya ditafsirkan sebagai daya paksa
secara fisik, tetapi melihat perkembangan situasi dan kondisi serta ilmu dan
teknologi kedokteran yang makin maju, maka akan memakai cara penafsiran secara
“extension”, pengaruh daya paksa ini dapat ditafsirkan sebagai daya paksa fisik dan
psikis.
Dengan demikian dokter yang melakukan Euthanasia dapat dianggap telah
melakukan pelanggaran pidana atau telah melakukan tindak pidana, tetapi dokter
yang bersangkutan tidak dibebani tanggungjawab pidana, atau mendapatkan
keringanan bahkan pembebasan hukuman berasarkan penafsiran pasal 48 KUHP
secara extension. Atas dasar pemikiran tersebut harus ada peraturan perundangan
yang cukup kuat yang mengatur tentang Euthanasia, baik syarat-syarat
pemberlakuannya maupun sanksi jika dilanggarnya.Tanggung Jawab Hukum
Dokter Menurut UU Praktik Kedokteran pasal 85 UU Praktik Kedokteran mencabut
berlakunya Pasal 54 UU Kesehatan sebagai berikut:
1. Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam
melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin.
2. Penentuan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian sebagaimana dimaksud dalam
ayat 1 ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan.
Ketentuan mengenai pembentukan, tugas, dan tata kerja Majelis Disiplin Tenaga
Kesehatan ditetapkan dengan keputusan presiden.12

12
Marusaha Simatupang, 2017, PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DOKTER YANG MELAKUKAN EUTHANASIA DITINJAU DARI
ASPEK MEDIS DAN HUKUM PIDANA, https://jurnal.usu.ac.id/index.php/jmpk/article/view/17674.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1. Euthanasia berarti tindakan untuk meringankan kesakitan atau penderitaan yang
dialami oleh seseorang yang akan meninggal, juga berarti mempercepat
kematian seseorang yang berada dalam kesakitan dan penderitaan yang hebat
menjelang kematiannya.
2. Beberapa jenis euthanasia:
a. Euthanasia sukarela (Voluntary euthanasia)
b. Euthanasia terpaksa (Invulunturv eulfzunusiu)
c. Mercy Killing sukarela (Volunturi Mercy Killing)
d. Mercy Killing terpaksa (Involunlari A1ercv Killing)
3. Ditinjau dari segi medis yang diatur dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia
yang telah diperbaharui dalam Pasal 11, prinsip Euthanasia jelas tidak dianut
oleh dokter-dokter Indonesia, disamping melanggar sumpahnya juga
melanggar moral, etika dan norma hukum di Indonesia. masalah ini penting
dikaji untuk medapatkan solusinya sebab sebagai Negara hukum, tentu saja
ada konsekuensi pertanggungjawaban terhadap suatu perbuatan yang
dijalankan oleh setiap warga Negara atas dasar profesinya.
4. Bila merujuk dari apa telah diuraikan di atas, dapatlah di ambil suatu
kesimpulan, bahwa Euthanasia ataupun pengakhiran kehidupan dengan suatu
permintaan di Indonesia ini tetap dilarang. Larangan ini terdapat Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur tentang tindak pidana
terhadap nyawa yang terdapat dalam pasal 334 KUHP.
5. Dapat disimpulkan bahwa tindak pidana praktik kedokteran tidak lain adalah
tindakan (medik) yang salah atau kekeliruan yang dilakukan oleh profesi
kedokteran yang buruk serta menimbulkan akibat hukum atas perbuatan yang
dilakukan. Sedangkan Kualifikasi delik dari perbuatan Euthanasia ini
berdasarkan Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
adalah merupakan jenis delik Commissionis.
6. Sebagai tenaga profesional dalam dunia medis maka Dokter bertanggung
jawab dalam setiap tindakan medis yang dilakukan terhadap pasien. Begitu
juga halnya yang melekat pada seorang diri dokter, khususnya dalam tindakan
pengakhiran kehidupan atau Euthanasia yang dibebani oleh
pertanggungjawaban pidana, etik, dan profesi.
DAFTAR PUSTAKA

Ikhsan, Muhammad. 2009. “Euthanasia Persepetif Medis Dan Hukum Pidana


Indonesia”. Dalam https://www.scribd.com/document/11639357/Euthanasia-Persepetif-
Medis-Dan-Hukum-Pidana-Indonesia. diakses 19 Desember 2018.
Ferdiana, Herdy Ryzkyta. 2017. “Tindakan Euthanasia sebagai Tindak Pidana
dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran”. Dalam http://repository.unpas.ac.id/28620/4/F.BAB%20II
%20TINJAUAN%20EUTHANASIA.pdf. Diakses 19 Desember 2018.
Halim, Abd. 2012. “Euthanasia dalam Perspektif Moral dan Hukum”. Dalam
http://ejournal.uin-suka.ac.id/syariah/almazahib/article/view/1346/1168. diakses 19
Desember 2018
Pradjonggo, Tjandra Sridjaja. 2016. “Suntik Mati (Euthanasia) Ditinjau Dari Aspek
Hukum Pidana Dan Hak Asasi Manusia Di Indonesia”. Dalam
journal.um.ac.id/index.php/jppk/article/download/5940/2467. Diakses 19 Desember
2018.
Yudaningsih, Lilik Purwastuti. 2015. “TINJAUAN YURIDIS EUTHANASIA
DILIHAT DARI ASPEK HUKUM PIDANA”. Dalam
https://media.neliti.com/media/publications/43316-ID-tinjauan-yuridis-euthanasia-
dilihat-dari-aspek-hukum-pidana.pdf. diakses 19 Desember 2018.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
Kode Etik Kedokteran Indonesia Tahun 2012
Simatupang, Marusaha. 2017. “Pertanggungjawaban Pidana Dokter Yang
Melakukan Euthanasia Ditinjau Dari Aspek Medis Dan Hukum Pidana”. Dalam
https://jurnal.usu.ac.id/index.php/jmpk/article/view/17674. diakses pada 20
Desember 2018.

Anda mungkin juga menyukai