Anda di halaman 1dari 19

MUHAMMADIYAH SEBAGAI GERAKAN TAJDID

Disusun guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kemuhammadiyahan

Oleh
Nurmala Ita
NIM 20170610141

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
YOGYAKARTA
2017
DAFTAR ISI

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dua faktor yang melandasi atau yang menjadi latar belakang berdirinya
Muhammadiyah yaitu faktor internal dan eksternal. Yang dimaksud dengan faktor
internal adalah faktor yang berkaitan dengan kondisi keagamaan kaum muslimin di
Indonesia sendiri yang karena berbagai sebab telah menyimpang dari ajaran Islam
yang benar. Faktor eksternal adalah faktor yang berkaitan dengan: (a) politik Islam
Belanda terhadap kaum muslimin di Indonesia; dan (b) pengaruh ide dan gerakan
pembaharuan Islam dari Timur Tengah.
Sebagai langkah perbaikan diusahakan untuk memahami kembali Islam, dan
selanjutnya berbuat sesuai dengan apa yang mereka anggap sebagai standar Islam
yang benar. Misi utama yang dibawa oleh Muhammadiyah adalah pembaharuan
(tajdid) pemahaman agama. Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid terus
mendorong tumbuhnya gerakan pemurnian ajaran Islam dalam masalah yang baku
(al-tsawabit) dan pengembangan pemikiran dalam masalah-masalah ijtihadiyah
yang menitikberatkan aktivitasnya pada dakwah amar makruf nahi munkar
Muhammadiyah tampak sekali dengan sadar melakukan berbagai upaya
pembaharuan demi mencapai cita-cita transformasi sosialnya. Program yang cukup
menonjol dari Persyarikatan Muhammadiyah dari generasi awal, dan hingga sampai
saat sekarang ini terfokus pada aspek aqidah. Pemberantasan TBC (Takhayul,
Bid’ah dan Churafat) merupakan respon konkrit Muhammadiyah terhadap budaya
setempat yang dianggap menyimpang dari aturan aqidah islamiyah. Bahwa sesuatu
yang berbau mistik harus dijauhkan dari sikap umat Islam keseharian dengan cara
mengubah sesuatu yang berasal dari sufisme menjadi akhlak.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian tajdid dalam gerakan Muhammadiyah?
2. Bagaimana Model Tajdid yang dilakukan oleh Muhammadiyah?
3. Bagaimana Tantangan Gerakan Tajdid Muhammadiyah pada Agenda Kedepan?

iii
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tajdid dalam Gerakan Muhammadiyah


Salah satu ciri yang melekat pada Persyarikatan Muhammadiyah adalah
muhammadiyah sebagai gerakan tajdid. Muhammadiyah sejak semula menempatkan
diri sebagai sebagai salah satu organisasi yang berkhidmat menyebarluaskan ajaran
Islam sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah, sekaligus
membersihkan berbagai amalan umat yang terang-terangan menyimpang dari ajaran
Islam baik berupa syirik maupun bid’ah. Salah satu upaya gerakan tajdid, yaitu
memerangi secara total berbagai bentuk penyimpangan ajaran Islam. Sebab semua
penyimpangan ajaran Islam tersebut dapat merusak aqidah dan ibadah seseorang.
Sifat tajdid yang dikenakan pada gerakan Muhammadiyah sebenarnya tidak
hanya sebatas upaya untuk memurnikan ajaran islam dari berbagai penyimpangan-
penyimpangan ajaran Islam, melainkan juga termasuk upaya Muhammadiyah
sebagai gerakan pembaharuan cara-cara pelaksanaan ajaran Islam dalam kehidupan
sehari-hari. Untuk membedakan antara keduanya maka tajdid dalam pengertian
pemurnian dapat disebut sebagai purifikasi (purification), dan tajdid dalam
pembaharuan dapat disebut reformasi (reformation).1
1. Purifikasi
Pada mulanya, Muhammadiyah dikenal dengan gerakan purifikasi, yaitu
kembali kepada semangat dan ajaran Islam yang murni dan membebaskan umat
Islam dari Tahayul, Bid'ah dan Khurafat. Cita-cita dan gerakan pembaruan yang
dipelopori Muhammadiyah sendiri sebenarnya menghadapi konteks kehidupan
keagamaan yang bercorak ganda yaitu sinkretik dan tradisional. Di Kauman,
K.H. Ahmad Dahlan berdiri ditengah-tengah dua lingkungan itu. Di satu pihak,
ia menghadapi Islam-sinkretik yang diwakili oleh kebudayaan Jawa, dengan
Kraton dan golongan priyayi sebagai pendukungnya dan di pihak lain
menghadapi Islam tradisional yang tersebar dipesantren-pesantrennya.2
1
Drs. H. Musthafa Kamal Pasha, B.Ed dan Ahmad Adaby Darban, SU, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam,
(Yogyakarta: Lembaga pengkajian dan Pengalaman Islam, UMY, 2000), hal. 115
2
Mujtahid, Gerakan Pemikiran Muhammadiyah: Antara Purifikasi dan Modernisasi, dari
http://www.muhammadiyah.or .id /id /news/print/883/gerakan-pemikiran-muhammadiyah-antara-purifikasi- dan-

iv
 

Dalam Muhammadiyah, purifikasi adalah gerakan pembaruan untuk


memurnikan agama dari syirk  yang pada dasarnya merupakan rasionalisasi
yang berhubungan dengan ide mengenai transformasi sosial dari masyarakat
agraris ke masyarakat industrial, atau masyarakat tradisional ke masyarakat
modern.3 Dilihat dari segi ini sangat jelas bahwa Muhammadiyah telah
memberikan suatu ideologi baru dengan suatu pembenaran teologi industrial,
dan modern. Tampaknya Muhammadiyah memang mengidentifikasi diri untuk
cita-cita semacam itu. Upaya Muhammadiyah untuk melakukan persiapan ke
arah transformasi itu misalnya adalah dengan melepaskan beban-beban kultural
yang sampai sejauh itu dianggap dapat menghambat kemajuan. Usaha
pemurnian agama untuk membersihkan Islam dari praktek-praktek syirk,
takhayul, bid'ah dan khurafat, merupakan bukti yang menjelaskan itu.

Muhammadiyah berusaha mendongkel budaya Islam sinkritik dan Islam


Tradisional sekaligus, dengan menawarkan sikap keagamaan yang lebih puritan.
Gerakan "pemurnian" (purifikasi) berarti rasionalisasi yang menghapus sumber-
sumber budaya lama untuk digantikan budaya baru, atau menggantikan tradisi
lama dengan etos yang baru. Muhammadiyah tampak sekali dengan sadar
melakukan pelbagai upaya pembaruan demi mencapai cita-cita transformasi
sosialnya itu.

Perlu digaris bawahi terlebih dahulu di sini bahwa program


purifikasi adalah ciri yang cukup menonjol dari Persyarikatan Muhammadiyah
generasi awal, hingga saat ini. Namun harus disadari pula bahwa program
purifikasi memang lebih terfokus pada aspek aqidah. Pemberantasan TBC
(Takhayul, Bid'ah dan Churafat) merupakan respon konkrit Muhammadiyah
terhadap Budaya setempat yang dianggap menyimpang dari aturan aqidah
Islamiyah.

modernisasi.html, diakses pada 11 Februari 2018


3
Ibid

v
Proses Islamisasi yang dilakukan Muhammadiyah tidak henti-hentinya
menderukan gerakan dakwah. Muhammadiyah melakukan bentuk rasionalisasi
Islam maupun Jawaisme. Pada waktu itu banyak sekali kepercayaan masyarakat
yang mendekati syirk, bahkan syirk terang-terangan. Kebiasaan masyarakat
Islam tradisional berupa meminta-minta restu pada makam-makam keramat,
sihir memelihara jin, dan menggunakan berbagai bentuk jimat tidak sesuai
dengan gagasan kemurnian Islam. Kepercayaan masyarakat Jawa waktu itu
berupa mbaurekso tempat-tempat keramat berupa gunung, sungai, mata air,
pohon, batu, dan gua. Begitu juga kepercayaan pada lelembut penjaga desa,
kuburan, rumah, sawah, dan tempat-tempat lain. Orang jawa juga percaya pada
bermacam primbon. Demikian pula bermacam-macam ajian, petung (hari baik-
buruk), jampi-jampi, dan perdukunan. Semuanya itu adalah bentuk dari
penyimpangan-penyimpangan ajaran Islam.

Selanjutnya, Muhammadiyah juga melakukan demistifikasi.  Bahwa


sesuatu yang berbau mistik harus dijauhkan dari sikap umat Islam keseharian
dengan cara mengubah sesuatu yang berasal dari sufisme menjadi akhlak.
Sebab konsep akhlak menjadikan agama tidak kontemplatif. Sufisme rasional
menyebabkan ketergantungan, sebab seorang guru adalah perantara bagi
murid-muridnya. Begitu juga Muhammadiyah mengajarkan etos kerja, sebagai
sebuah upaya konkrit yang dapat dirasakan hasilnya. Upaya ini disebut sebagai
gerakan tranformatif, yakni perubahan dari kondisi masyarakat yang agraris
menuju masyarakat modern, plural atau kota. Dari pendapan ekonomi rendah
menuju pendapatan ekonomi yang berkecukupan. Karena itu, Muhammadiyah
dikenal sebagai gerakan modernis, atau dalam kata lain, Muhammadiyah
sebagai gejala perkotaaan.

Gerakan pemurnian agama oleh Muhammadiyah nampaknya diikuti


dengan beban-beban kultural. Keutuhan masyarakat dan pemerataan pendapatan
penduduk desa yang selama ini terselengara upacara tahlil, barzanji,
atau kenduri  dalam masyarakat Islam tradisional mulai terancam oleh gerakan

vi
puritanisasi itu. Begitu juga pemberantasan syirk yang berupa keyakinan-
keyakinan masyarakat desa seperti konsep mengenai ‘'sing mbau rekso" juga
mulai mengguncang tertib masyarakat desa karena keyakinan pada kekuatan-
kekuatan supernatural semacam itu sangat berkaitan dengan konsep-konsep
mengenai ketertiban, keamanan, dan kesejahteraan desa.4

 Lebih lanjut, Kuntowijoyo menjelaskan bahwa upaya pemurnian yang


dilakukan Muhammadiyah telah membawa resiko dan biaya sendiri. Misalnya,
gejala individualisme. Hilangnya bentuk budaya yang mengikat masyarakat
menjadi unit yang utuh seperti tampak dalam kesatuan-kesatuan masyarakat
desa yang mempunyai sistem pemerataan ekonomi, dan kerja sama, telah
melonggarkan ikatan sosial masyarakat. Tentu pelonggoran ikatan desa bukan
hanya akibat rasionalisasi dari gerakan Muhammadiyah saja, meskipun
Muhammadiyah justru memberikan sanksi ideologis berupa pembenaran agama
terhadap pelonggaran ikatan itu. Individualisme yang sepatutnya menjadi ciri
masyarakat kota masuk pula ke desa-desa.

Gerakan purifikasi Muhammadiyah sampai saat ini masih melakukan


penguatan dan penyadaran terhadap pola kehidupan manusia. Gerakan yang
tidak kalah pentingnya adalah penajaman tauhid. Karena formulasi tauhid
adalah terletak pada realitas sosial. Apapun bentuknya, tauhid menjadi titik
sentral dalam melandasi dan mendasari aktivitas. Tujuan tauhid adalah
memanusiakan manusia. Karena itu, dehumanisasi merupakan tantangan tauhid
yang harus dikembalikan kepada tujuan tauhid. Ilmu sosial profetik berusaha
memberikan jalan untuk mengubah berdasarkan cita-cita profetik etik. Jadi,
tujuannya adalah memberikan perubahan terhadap masyarakatnya. Perubahan
itu didasarkan pada cita-cita yang tertera dalam surat Ali Imran ayat 110.

ِ ‫س تَأْ ُمرُونَ ِبا ْل َم ْع ُر‬


‫وف‬ ِ ‫ب لَ َكانَ َخ ْي ًرا لَ ُه ْم ِم ْن ُه ُم ُك ْنتُ ْم َخ ْي َر أُ َّم ٍة أُ ْخ ِر َجتْ لِلنَّا‬
ِ ‫َوتُؤْ ِمنُونَ بِاهَّلل ِ َولَ ْو آَ َمنَ أَ ْه ُل ا ْل ِكتَا‬
ِ ‫َوتَ ْن َه ْونَ َع ِن ا ْل ُم ْن َك ِر ا ْل ُمؤْ ِمنُونَ َوأَ ْكثَ ُر ُه ُم ا ْلفَا‬
َ‫سقُون‬

vii
Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman
kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi
mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah
orang-orang yang fasik.” Qs.3:110.5

Kuntowijoyo memberikan tiga muatan dalam ayat tersebut di atas sebagai


karakteristik ilmu sosial profetik, yakni kandungan nilai humanisasi, liberasi
dan transendensi. Tujunnya supaya diarahkan untuk merekayasa masyarakat
menuju cita-cita sosial-etiknya di masa depan.6

2. Pembaruan (modernisasi/reformasi)

Modernisasi (tajdid) adalah gerakan pembaruan pemikiran Muhammadiyah


untuk mencari pemecahan atas berbagai persoalan yang mereka hadapi. Yang
merujuk pada Al- Qur'an dan As- Sunnah sebagai titik tolak atau landasan yang
sekaligus juga memberi pengarahan, ke arah pemikiran itu harus
dikembangkan.7 Secara etimologi, tajdid berarti pembaruan, inovasi, restorasi,
modernisasi penciptaan sesuatu yang baru, dan lain-lain yang berkaitan dengan
makna itu. Maka jika dihubungkan dengan pemikiran tajdid dalam
Islam, tajdid  adalah usaha dan upaya intelektual Islami untuk menyegarkan dan
memperbaruhi pengertian dan penghayatan terhadap agamanya berhadapan
dengan perubahan dan perkembangan masyarakat. Kerja tajdid adalah ijtihad
yang sangat strategis dalam membumikan konteks waktu dan ruang.8 Gerakan
tajdid dalam Muhammadiyah di dasarkan pada tiga faktor, yaitu pertama,
pemahaman atau penafsiran terhadap suatu doktrin trasendental tidak pernah
bernilai mutlak benar semutlak benarnya doktrin itu sendiri. Dalam Islam,
masalah ini berkenaan kepercayaan kepada konsep Nabi terakhir pada diri
Rasulullah. Menurut konsep ini, otomatis tentang wahyu telah berakhir pada

viii
diri Rasulullah. Dengan perkataan lain, tidak ada otoritas yang sama bobot dan
statusnya dalam soal memahami setiap ajaran yang berasal dari wahyu dengan
otoritas Muhammad sebagai Rasul terakhir. Konsekwensi dari pandangan ini
ialah bahwa otoritas siapapun di bidang penafsiran terhadap Al-Qur'an dengan
bantuan sunnah dan sejarah difahami secara putus terhadap masalah yang
dipersoalkan.

Kedua, Islam bertujuan untuk menciptakan suatu tata sosial politik di atas


landasan etik dan moral yang kuat dalam rangka mengaktualisasikan
prinsip rahmatan lil alamin dalam ruang dan waktu. Ketiga, tajdid dalam
pemikiran dan pelaksanaan Islam pernah ditunjukkan  oleh para sahabat,
terutama Umar Ibn Khattab yang telah merubah kebijaksanaan Nabi tentang
persoalan tanah di Iraq dan Mesir yang dikuasai setelah perang Prajurit Islam
menang perang.9 Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid diharapkan mampu
menyesuaikan dengan keadaan zaman yang selalu berubah. Tajdid lebih banyak
menitik beratkan pada pemikiran secara konstektual, baik itu bidang hukum,
maupun bidang lainnya. Karena itu, Muhammadiyah tidak akan sampai
kekeringan wacana yang senantiasa setiap waktu berubah. Tajdid dipersiapkan
untuk menghadapi atau mengantisipasi terjadinya perubahan-perubahan yang
seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang selain
berdampak positif juga berdampak negatif. Rekayasa genetika misalnya, telah
menyedot perhatian serius dari kalangan tokoh Muhammadiyah untuk
memberikan suatu batasan-batasan atau pemecahan yang dapat dipandang
menguntungkan bagi kehidupan manusia. Dalam Muhammadiyah, ada lembaga
khusus yang sengaja menangani masalah-masalah perkembangan hukum.
Lembaga itu adalah Majelis Tarjih. Lembaga tarjih menangani persoalan
konrtemporer yang selalu berkembang dan sangat menuntut adanya jawaban
yang harus digariskan. Persoalan ini tidak hanya berbau fiqh tetapi juga
masalah-masalah yang lebih berdimensi sosial kemasyarakatan. Semula yang
hanya mengurusi masalah-masalah fiqh sekarang berubah menjadi lembaga

ix
yang menangani masalah sosial-keagamaan. Isu-isu sosial-budaya, dialog
agama, gender, perburuhan, dan sebagainya adalah bidang garap
Muhammadiyah sekarang. Pengembangan pemikiran Muhammadiyah semakin
meluas jangkauannya. Sehingga yang dikembangkan oleh Muhammadiyah
adalah memadukan antara dimensi "normativitas" wahyu dengan "historisitas"
pemahaman wahyu. Jadi wilayah al-ruju' ila al-Qur'an wa al-
Sunnah, dan Tajdid atau Ijtihad10 berjalan sealur dan seirama.

Muhammadiyah dengan tajdidnya akan senantiasa akan relevan terhadap


perubahan yang akan bergulir. Tajdid bagi Muhammadiyah adalah perangkat
yang dipersiapkan untuk mengantisipasi kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Tajdid sebagai media atau sarana yang benar-benar diharapkan
mampu menyelesaikan dan meremajakan problema meskipun hal itu sama
sekali baru.

B. Model Tajdid Muhammadiyah

Tajdid, yang muncul dalam berbagai ragam gerakan pembaharuan dalam sejarah
Islam, merupakan salah satu bentuk implementasi nilai ajaran Islam setelah
meninggalnya Nabi. Gerakan tajdid muncul sebagai jawaban terhadap tantangan
kemunduran yang dialami dan, atau jawaban terhadap tantangan kemajuan yang
dicapai oleh kaum Muslimin. Misi Tajdid Muhammadiyah sebenarnya diarahkan
untuk membangun kembali watak dan karakter masyarakat. Ada komponen penting
yang menjadi sumber terbentuknya peradaban utama.

Pertama, Islam sebagai sumber pokok ajaran yang berkaitan dengan nilai
keadilan, kebebasan, persamaan, toleransi, dan pluralitas. Kedua, apresiasi Islam
terhadap ilmu pengetahuan. Ketiga, warisan tradisi klasik Islam yang telah
melahirkan berbagai ragam pemikiran yang sampai sekarang menjadi khazanah
penting sumber kajian Islam. Keempat, Bahasa Arab serta bahasa kawasan Islam.
Kelima, tegaknya aturan dan hukum yang mampu membentuk prilaku seseorang dan

10

x
menjamin kebebasan berekspresi. Keenam, terciptanya tatanan masyarakat plural
yang menjunjung tinggi nilai-nilai seperti yang disebutkan di atas.

Dalam masyarakat seperti ini tingkat kedewasaan, kecerdasan, dan kesadaran


warga anggotanya menjadi unsur utama terciptanya tatanan masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya. Masyarakat cukup dewasa untuk bisa mengatur diri sendiri.
Model tajdid yang dilakukan oleh Muhammadiyah harus mengacu pada
pembentukan watak dan karakter warga anggota masyarakat yang memiliki
kompetensi nilai-nilai diatas. Dengan demikian, model tajdid dalam gerakan
muhammadiyahan dibagi dalam 3 bidang, yaitu:

1. Bidang keagamaan

Pembaharuan dalam bidang keagamaan adalah penemuan kembali ajaran


atau prinsip dasar yang berlaku abadi, yang karena waktu lingkungan situasi dan
kondisi mungkin menyebabkan dasar-dasar tersebut kurang jelas dan tertutup
oleh kebiasan dan pemikiran tambahan lain.
KH Ahmad Dahlan selalu berpegang teguh pada doktrin bahwa “semua
ibadah diharamkan kecuali ada perintah dan semua muamalah adalah boleh
kecuali ada larangan”.11 Oleh karena itu dalam pelaksanaan agama baik
menyangkut aqidah (keimanan) ataupun ritual (ibadah) haruslah sesuai dengan
aslinya, yaitu sebagaimana diperintahkan oleh Allah dalam Al-Quran dan
dituntunkan oleh Nabi Muhammad SAW, lewat sunah-sunahnya.
Di antara praktek-praktek dan kebiasaan yang bukan berasal dari agama
Islam antara lain : pemujaan arwah nenek moyang, benda-benda keramat,
berbagai macam upacara dan selamatan, seperti pada waktu-waktu tertentu pada
waktu hamil, pada waktu puput pusar, khitanan, pernikahan, dan kematian.
Upacara dan do’a yang diadakan pada hari ke-3, ke-5, ke-40, ke-100, ke-1000
setelah meninggal. Peristiwa penting yang bersifat sosial yang berhubungan
dengan kepercayaan seperti kenduri/slametan pada bulan Sya’ban dan Ruwah.

11
HerySucipto, 2005, Tajdid Muhammadiyah dari Ahmad Dahlanhingga A. SyafiiMaarif, Jakarta,
Grafindo, hlm.21

xi
Berziarah ke makam orang-orang suci dan minta didoakan. Begitu pula orang
sering kali meminta nasehat dan bantuannya kepada petugas agama di desa
(seperti modin, rois, kaum) dalam hal-hal yang berhubungan dengan  takhayul,
misal untuk menolak pengaruh penyakit, yang untuk itu biasanya mereka diberi
atau dibacakan doa-doa dalam bahasa Arab, yang di antara doa tersebut tidak
jarang bagian-bagian yang berbau Agama Hindu atau animisme dari zaman
kuno, dan sebagainya. 
Terhadap tradisi dan kepercayaan di atas banyak orang Islam yang
menganggap bahwa hal tersebut termasuk amalan-amalan keagamaan, atau
setidak-tidaknya hal tersebut tidak bertentangan. Untuk itu Muhammadiyah
berusaha meluruskan kembali dengan memberantas segala bentuk bid’ah dan
khurafat sepeti bentuk di atas.Usaha Muhammadiyah untuk memurnikan
keyakinan umat Islam Indonesia, ialah Muhammadiyah telah mengenalkan
penelaahan kembali dan pengubahan drastis, jika diperlukan, menuju penafsiran
yang benar terhadap Al-Qur’an dan Al-Hadits. Usaha pemurnian tersebut antara
lain dapat disebut :
a. Penentuan arah kiblat yang tepat dalam bersembahyang, sebagai kebalikan
dari kebiasaan sebelumnya, yang menghadap tepat ke arah Barat.
b. Penggunaan perhitungan astronomi dalam menentukan permulaan dan akhir
bulan puasa (hisab), sebagai kebalikan dari pengamatan perjalanan bulan
oleh petugas agama.
c. Menyelenggarakan sembahyang bersama di lapangan terbuka pada hari raya
Islam, Idul Fitri dan Idul Adha, sebagai ganti dari sembahyang serupa dalam
jumlah jama’ah yang lebih kecil, yang diselengarakan di Masjid. Hal ini
dilakukan dengan tujuan lain agar para wanita yang sedang haid dapat bisa
bergabung bersama (walaupun tidak ikut sholat) karena hal ini tidak
mungkin dapat dilakukan apabila di dalam Masjid.
d. Pengumpulan dan pembagian zakat fitrah dan korban pada hari raya tersebut
di atas, oleh panitia khusus.
e. Penyampaian khutbah dalam bahasa daerah, sebagai ganti dari penyampaian
khutbah dalam bahasa Arab.

xii
f. Penyederhanaan upacara dan ibadah dalam upacara kelahiran, khitanan,
perkawinan dan pemakaman, dengan menghilangkan hal-hal yang bersifat
politheistis darinya.
g. Penyerderhanaan makam, yang semula dihiasi secara berlebihan. Dari Jabir -
Radhiyallaahu ‘anhu-, dimana dia berkata: “Rasulullah -Shallallaahu
‘alaihi wasallam- telah melarang menembok kuburan, duduk di atasnya, dan
membuat bangunan di atasnya!”.(Hadits Riwayat Muslim, Ahmad, An-
Nasa’i dan Abu Dawud).12
h. Menghilangkan kebiasaan berziarah ke makam orang-orang suci (wali).
i. Membersihkan anggapan adanya berkah yang bersifat ghaib, yang dimiliki
oleh para kyai/ulama tertentu, dan pengaruh ekstrim dari pemujaan terhadap
mereka.
j. Penggunaan kerudung untuk wanita, dan pemisahan laki-laki dengan
perempuan dalam pertemuan-pertemuan yang bersifat keagamaan.
2. Bidang pendidikan
Dalam kegiatan pendidikan, Muhammadiyah mempelopori dan
menyelenggarakan sejumlah pembaharuan dan inovasi yang lebih nyata.
Muhammadiyah telah memiliki 13 ribu sekolah dari jenjang Pendidikan TK, SD,
SLTP, SMU, madrasah diniyah serta pondok pesantren.13 Pembaharuan
pendidikan ini meliputi dua segi, yaitu segi cita-cita dan segi teknik pengajaran.
a. Segi cita-cita
Segi cita-cita yang dimaksud ialah ingin membentuk manusia muslim yang
baik budi, alim dalam agama, luas dalam pandangan dan paham masalah
ilmu keduniaan, dan bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya.
b. Teknik pengajaran
Adapun teknik, adalah lebih banyak berhubungan dengan cara-cara
penyelenggaraan pengajaran. Gagasan pendidikan Muhammadiyah adalah
untuk mendidik sejumlah banyak orang awam dan meningkatkan
pengetahuan masyarakat
12

13

xiii
3. Bidang sosial masyarakat
Di bidang sosial dan kemasyarakatan, Muhammadiyah merintis bidang
sosial kemasyarakatan dengan mendirikan rumah sakit, poliklinik, panti asuhan,
rumah singgah, panti jompo, Pusat kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM),
posyandu lansia yang dikelola melalui amal usahanya dan bukan secara
individual sebagai mana dilakukan orang pada umumnya.

C. Tantangan Gerakan Tajdid Muhammadiyah pada Agenda Kedepan


Tajdid merupakan proses yang tidak pernah berhenti. Ia akan tumbuh dan
berkembang seiring dengan perkembangan kehidupan manusia. Dalam ranah
agama, tajdid dimaknai sebagai upaya untuk redefinisi makna di tengah-tengah
kehidupan manusia yang progresif Islam seringkali dimaknai penganutnya sebagai
agama yang “rahmatan lil alamin”, agama yang senantiasa sesuai di setiap tempat
dan zaman. Untuk mengejawantahkannya, seringkali dihadapkan pada dilema
antara normativitas teks dengan realitas sosial. Dalam menghadapi dilema ini, maka
yang harus diubah adalah cara pandang terhadap teks al-Qur’an dan al-Sunnah.
Amin Rais menyebut tajdid dilakukan secara konprehensif yang mengarah kepada
future oriented. (Amin Rais, Visi dan Misi Muhammadiyah, 1998: 10).
Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid menggunakan tiga paradigma dalam
membaca teks yakni bayani, burhani, dan irfani. Ketiga paradigma ini diharapkan
mampu menjawab dilema antar teks dan konteks sehingga menghasilkan Islam
yang rahmatan lil alamin.

       Pengetahuan dan peradaban manusia senantiasa berubah dan berkembang


seiring dengan perkembangan zaman. Sebagai bagian dari narasi besar ilmu
pengetahuan, ilmu-ilmu keislaman pun  mengalami pergeseran paradigmatik. Hal
ini terjadi karena ilmu-ilmu yang lahir tidak lepas dari bingkai sosial yang
mengkonstruk realitas. Bingkai sosial inilah yang selalu mengalami perubahan
seiring dengan pperkembangan peradaban manusia. Oleh karena itu, pergeseran
paradigma merupakan tuntutan sejarah.

xiv
        Perkembangan peradaban manusia kini sampai pada era pluralisme dan
multikulturalisme. Agama-agama yang selama ini mapan dengan dirinya, ternyata
mengalami problematika ketika berhadapan dengan realitas luar yang makin
kompleks dan plural. Untuk itu, maka, harus ada redefinisi terhadap makna dan
orientasi agama, sehingga agama senantiasa relevan dengan peradaban manusia.

Tantangan yang dihadapi Muhammadiyah pada abad pertama usianya pasti


berbeda dari abad kedua usianya, meskipun kontinuitasnya antara keduanya tetap
ada. Untuk itu, Paradigma, Model, dan Strategi Tajdidnya juga harus disesuaikan
dengan perkembangan terbaru discourse keislaman baik dalam teori maupun
praktek. Muhammadiyah harus melakukan upaya pembaharuan from within, yang
meliputi strategi pembaharuan gerakan pendidikan yang selama ini digelutinya,
mengenal dengan baik dan mendalam metode dan pendekatan kontemporer
terhadap studi Islam dan Keislaman era klasik dan lebih-lebih era kontemporer,
mendekatkan dan mendialogkan Islamic Studies dan Religious Studies, bersikap
inklusif terhadap perkembangan pengalaman dan keilmuan generasi mudanya,
terbuka, mengenalkan dialog antar budaya dan agama di akar rumput, memahami
Cross-cultural Values dan multikulturalitas, dalam bingkai fikih NKRI, dan begitu
seterusnya. Tanpa menempuh langkah-langkah tersebut, gerakan pembaharuan
Islam menuju ke arah terwujudnya Masyarakat dan Peradaban Utama di tanah air
ini, tentu akan mengalami kesulitan bernapas dan kekurangan oksigen untuk
menghirup dan merespon isu-isu sosial - keagamaan global dan isu-isu peradaban
Islam kontemporer.

Muhammadiyah adalah Gerakan Islam, Dakwah amar ma’ruf nahi munkar


dan  Tajdid yang  bersumber pada Al-Qur”an dan As Sunnah. Kelahiran
Muhammadiyah tidak lain kerena diilhami, dimotivasi dan disemangati oleh ajaran-
ajaran Al Qur’an. Dan apa yang digerakkan oleh Muhammadiyah tidak ada motif
lain kecuali semata-mata untuk merealisasikan prinsip-prinsip ajaran Islam dalam
kehidupan yang riil dan konkrit. Gerakan Muhammadiyah hendak berusaha untuk
menampilkan wajah Islam dalam wujud yang riil, konkrit dan nyata, yang dapat

xv
dihayati, dirasakan dan dinikmati oleh umat sebagai rahmatan lil alamin. Oleh
Alasan tersebut Muhammadiyah disebut sebagai gerakan Islam.

Sementara seorang Tokoh NU KH. Ahmad Siddiq dari Malang menjelaskan


bahwa makna tajdid dalam arti pemurnian (purifikasi)  menyasar pada tiga sasaran,
yaitu:
1. I’adah atau pemulihan; yaitu membersihkan ajaran Islam yang tidak murni lagi
2. Ihanah atau memisahkan; yaitu memisah-misahkan secara cermat oleh ahlinya,
mana yang sunnah dan mana pula yang bid’ah
3. Ihya’ atau menghidup-hidupkan; yaitu menghidupkan ajaran-ajaran Islam yang
belum terlaksana atau yang terbengkalai.
Asas Muhammadiyah  adalah Islam, maksudnya adalah asas idiologi
persyarikatan Muhamadiyah adalah Islam, bukan kapitalis dan  bukan pula sosialis. 
Dewasa ini idiologi yang berkembang di dunia ada tiga yang dominan, yaitu :
kapitalis, sosialis dan Islam. Masyarakat yang beridiologi kapitalis di motori oleh
Amerika dan Eropa, setelah usai perang dingin menunjukkan eksistensinya yang
lebih kuat. Sedangkan yang beridiologi sosialis di motori oleh Rusia dan Cina.
Khusus Rusia mengalami depolitisasi pasca perang dingin, dan cenderung melemah
posisi daya tawarnya bagi sekutu-sekutunya. Sementara masyarakat yang
beridiologi Islam  memag ada kecenderungan menguat namun tidak ada pemimpin
yang kuat secara politis.
Namun idiologi dalam perspektif Muhammadiyah adalah idiologi gerakan.
Idiologi gerakan Muhammadiyah merupakan sistematisasi dari pemikiran-
pemikiran mendasar mengenai Islam yang diproyeksikan dan diaktualisasikan ke
dalam sistem gerakan yang memilki ikatan jama’ah, jam’iyah dan imamah yang
solid.
Sejak lahirnya Muhammadiyah memang sudah dapat diketahui asas
gerakannya, namun pada tahun 1938-1942 di bawah kepemimpinan Kyai Mas
Mansur mulai dilembagakan idiologi Muhammadiyah, yaitu dengan lahir konsep
Dua Belas langkah Muhammadiyah. Yaitu memperdalam iman, memperluas faham
keagamaan, memperbuahkan budi pekerti, menuntun amalan intiqad, menguatkan

xvi
persatuan, menegakkan keadilan, melakukan kebijaksanaan, menguatkan tanwir,
mengadakan musyawarah, memusyawaratkan putusan, mengawasi gerakan
kedalam dan memperhubungkan gerakan keluar. Dengan lahirnya konsep ini maka
Muhammadiyah  tumbuh  menjadi paham dan kekuatan sosial-keagamaan dan
sosial politik tertentu di Indonesia.
Pada tahun 1942-1953 dibawah kepemimpinan Ki Bagus Hadikusumo
dirumuskan konsep idiologi Muhammadiyah secara lebih sistematik yaitu ditandai
dengan lahirnya Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah. Muqaddimah
Anggaran Dasar Muhammadiyah  berisi pokok-pokok pikiran sebagai berikut :
Hidup manusia harus berdasar Tauhid, hidup manusia bermasyarakat, hanya ajaran
Islam satu-satunya ajaran hidup yang dapat dijadikan sendi pembentuk pribadi
utama dan mengatur ketertiban hidup bersama menuju hidup bahagia sejahtera yang
hakiki di dunia dan akhirat, berjuang menegakkan dan menjunjung tinggi agama
Islam untuk mewujudkan masyarakat utama, adil dan makmur yang diredhai Allah
SWT adalah wajib, sebagai ibadah kepada Allah dan berbuat ihlah dan ihsan
kepada sesama manusia, perjuangan menegakkan dan menjunjung  tinggi agama
Islam hanyalah akan berhasil bila dengan mengikuti jejak perjuangan para  nabi
terutama perjuangan nabu Muhammamd SAW. Perjuangan mewujudkan pokok-
pokok pikiran seperti diatas hanya dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan
akan berhasil bila dengan cara berorganisasi, dan seluruh perjuangan doarahkan
tercapainya tujuan Muhammadiyah, yaitu terwujudnya masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya.
Pada tahun 1968 dalam muktamar Muhammadiyah  ke 37 di Yogyakarta
perumusan idiologi Muhammadiyah semakin mengental, ditandai dengan lahirnya
Matan Keyakinan dan Citra-cita Hidup Warga Muhammadiyah, yang berisi pokok-
pokok pikiran sebagai berikut; pertama; Muhammadiyah adalah Gerakan yang
berasas Islam, bercita-cita dan bekerja untuk terwujudnya masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya, kedua; Muhammadiyah adalah berkeyakinan bahwa Islam
ada;ah Agama Allah yang diwahyukan kepada mulai Nabi Adam smpai kepada
Nabi Muhammad SAW. Ketiga; Muhammadiyah dalam mengamalkan ajaran Islam
berdasarkan Al Qur’a, dan  Sunnah Rasul, keempat; Muhammadiyah bekerja untuk

xvii
terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang-bidang Aqidah, Akhlak,
Ibadah dan Muamalat Diniawiyat dan yang kelima; Muhammadiyah mengajak
segenap lapisan bangsa Indonesia  untuk berusaha bersama-sama menjadikan suatu
Negara yang adil makmur dan diridhai Allah SWT.
      Tantangan selanjutnya datang dari ranah budaya atau kultur sosial
masyarakat lokal. Agama sebagai sistem nilai, norma dan ajaran yang dominan,
berhadapan dengan sistem nilai yang datang dari tradisi atau adat masyarakat
setempat. Sistem nilai itu lahir dari kearifan lokal yang secara turun temurun
dipegang oleh sebuah masyarakat sebagai suatu ajaran yang harus dijunjung tinggi.
Dialektika antara agama dan budaya (kearifan) lokal ini juga sering memicu
ketegangan, konflik dan perpecahan.

Muhammadiyah 100 tahun kedua, meninjau ulang paradigma yang selama


ini dipegang merupakan suatu keharusan. Misalnya, sikap Muhammadiyah terhadap
persoalan budaya lebih bersifat monolitik. Kecendrungan ini bisa dilihat dari
identitas yang melekat dalam Muhammadiyah yakni gerakan Islam yang murni, di
samping sebagai gerakan modernisme.

       Muhammadiyah 100 tahun kedua, diharapkan mampu melangkah dengan


pandangan dan strategi yang lebih tepat sasaran dan mencapai keberhasilan dalam
mewujudkan visi dan tujuannya, baik tujuan jangka menengah dan jangka panjang,
maupun tujuan ideal yakni terbentuknya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

Untuk mencapai tujuan yang ideal ini, diperlukan transformasi baru dalam
aktualisasi gerakannya di berbagai bidang kehidupan. Disinilah pentingnya
aktualisasi ideologi medernisme-reformasi Islam dalam gerakan dakwah dan tajdid
gelombang kedua yang diperlukan Muhammadiyah. melalui potensi dan modal
sebagai gerakan pencerahan, Muhammadiyah diharapkan terus berkiprah untuk
pencerahan dan kemajuan bangsa, serta mampu menjadikan gerakan Islam
kosmopolitan yang membawa Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.

      Selain transformasi dalam aktualisasi gerakan, juga transformasi di bidang


pemikiran, pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan usaha-usaha lain yang bersifat
unggul dan terobosan, Muhammadiyah dituntut untuk terus berkiprah dengan

xviii
inovatif. Dengan demikian transformasi dakwah dan tajdid, yakni melakukan
perubahan-perubahan pandangan dan strategi dakwah dan tajdid lebih mendasar
sebagai alternatif. Benni Setiawan, www.muhammadiyahstudies.blog)

       Sejumlah tawaran bagi Muhammadiyah dalam melakukan reorientasi


terhadap gerakan tajdid yang diperankannya. Jalaluddin Rahmat pernah
menawarkan formulasi Tauhid Sosial sebagaimana gagasan Dr. M. Amien Rais
sebagai blueprint (cetak biru) tajdid Muhammadiyah jilid dua. Ahmad Syafii
Maarif menawarkan Muhammadiyah sebagai gerakan ilmu untuk melangkah ke
depan di tengah pergulatan pemikiran Islam dan tantangan besar yang demikian
kompleks saat ini.

     Tajdid Muhammadiyah bersifat jama’iy atau kolektif, tetapi tentu saja
memerlukan etos ijtihad dan sistem yang lebih dinamis agar tidak mengalami
kelambanan dan tidak terperangkap pada posisi statis. Sedangkan berbagai variasi
dan pengembangan wacana pemikiran sebaiknya diberi ruang yang lebih longgar
agar tradisi pemikiran terus berkembang, tentu saja disertai sikap tasamuh dan
memiliki pertanggungjawaban intelektual yang tinggi.

       Keberhasilan Muhammadiyah melangkah melintasi zaman menuju 100 tahun


kedua, karena potensi dan modal dasar yang dimiliki sebagai gerakan pencerahan.
Melalui gerakan pencerahan yang membawa misi dakwah dan tajdid yang
membebaskan, memberdayakan, dan memajukan kehidupan di tengah dinamika
abad modern yang sarat tantangan.

xix

Anda mungkin juga menyukai