Anda di halaman 1dari 3

GERAKAN DAN ORGANISASI ISLAM MODERN DI INDONESIA

A. Prolog
Dalam usaha menemukan jati dirinya, dalam diri umat Islam Indonesia tumbuh dan
berkembang beragam gerakan Isam sebagai usaha melakukan perubahan untuk menentukan masa
depan. Perbedaan organisasi Islam berubah dari sekedar mazhab furuiyah (ibadah) menjadi
perbedaan orientasi politik. Dengan menelaah konteks kesejarahan dan ajaran gerakan Islam
Indonesia yang dominan di awal abad 21, diharapkan mahasiswa mampu memahami dan
mengambil hikmah dari perbedaan yang ada.
Memasuki abad 21, pengaruh globalisasi ikut memberikan warna tersendiri pada dinamika
organisasi dan gerakan Islam di Indonesia. Organisasi Islam yang telah mapan secara kultural,
struktural, maupun institusional yaitu Nadhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, kini harus siap
bersanding dan bersaing dengan gerakan Islam transnasional (organisasi Islam lintas Negara),
seperti Hizbut Tahrir, Salafi, Jamaah Tabligh, Ikhwanul Muslimin (IM). Meskipun pada awalnya
Nadhatul Ulama dan Muhammadiyah juga terinspirasi perkembangan wacan keagamaan yang
berkembang di Timur Tengah, namun mereka mengalami akulturasi dengan tradisi dan pemikiran
lokal Indonesia yang terjadi selama puluhan tahun. Misalnya, dalam tradisi Nadhatul Ulama,
pengaruh gerakan-gerakan tarekat seperti Naqsyabandiyah dan tijaniyah yang berpusat dan
berkembang dan Syiria dan Mesir cukup signifikan. Sedangkan Muhammadiyah pada awal-awal
berdirinya tidak lepas dari ide-ide pembaharuan Islam moderat yang dipelopori Syaikh
Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Muhammad bin Abdul Wahab, hingga Jamaludin al-Afghani.
Dengan munculnya organisasi baru tersebut, Muhammadiyah dan NU diletakkan dalam
kategori Islam moderat, terutama sejak studi Islam semakin didominasi oleh dikotomi radikal
vs moderat (Asyari, 2010:3). Dinamika social keagamaan pasca peristiwa terorisme 11 Sepember
di Amerika semakin mengkristalkan warna gerakan Islam tersebut.
B. Muhammadiyah
1. Latar belakang
Tanggal 18 November 1912 M merupakan momentum penting lahirnya
Muhammadiyah. Kelahiran Muhammadiyah merupakan awal dari sebuah gerakan Islam
modernis yang melakukan perintisan pemurnian akidah (purifikasi) sekaligus pembaruan
Islam di Indonesia. Sebuah gerakan yang didirikan oleh KHA. Dahlan dari kota santri
Kauman, Yogyakarta.
Kata Muhammadiyah secara bahasa berarti pengikut Nabi Muhammad.
Penggunaan kata Muhammadiyah dimaksudkan untuk menisbahkan penganut
Muhammadiyah dengan ajaran perjuangan Nabi Muhammad SAW. Kelahiran
Muhammadiyah merupakan manifestasi dari gagasan pemikiran dan amal perjuangan dari
sang pendiri, KHA. Dahlan alias Muhammad Darwis.
Setelah menunaikan ibadah haji dan bermukim di Mekkah untuk yang kedua kalinya
pada tahun 1903, KHA. Dahlan mulai menyemaikan benih pembaruan di Tanah Air. Gagasan
pembaruan itu diperolah KHA. Dahlan setelah berguru kepada ulama-ulama Indonesia yang
bermukim di Mekah, seperti Syeikh Ahmad Khatib dari Minangkabau, Kyai Nawawi dari
Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya, dan Kyai Fakih dari Maskumambang Gresik; juga
setelah membaca pemikiran-pemikiran para pembaru Islam seperti Ibn Taimiyah, Muhammad
bin Abd al-Wahhab, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha.
2. Ajaran dan Pemikiran
Pemikiran keagamaan Muhammadiyah yang memiliki implikasi sosial cukup besar
ialah pemurnian agama (purifikasi) di bidang akidah dan amaliah. Hal ini tercermin dalam
pengajaran KHA. Dahlan tentang tafsir al-Quran yang dirangkum oleh K.R.H. Hadjid dalam
17 Kelompok Ayat-Ayat al-Quran. Esensi dari ajaran ke-17 ayat tersebut dapat disimpulkan
meliputi; (1) pemurnian akidah, (2) kepedulian sosial, (3) dakwah amar makruf nahi munkar,
dan (4) jihad fi sabilillah dengan jiwa, raga, dan harta. Dengan kata lain KHA. Dahlan
menekankan makna beragama Islam tidak cukup hanya melakukan ibadah ritual, tetapi harus
diwujudkan dalam amal nyata dengan orientasi sikap peduli sosial.
KHA. Dahlan belajar fiqih mazhab Syafii, tasawuf al-Ghazali, serta akidah
Ahlussunah wal Jannah. Hanya saja yang membedakan KHA. Dahlan dengan KH. Hasyim
Asyari, sang pendiri NU, adalah bahwa beliau juga membaca buku-buku yang ditulis oleh
Muhammad Abduh dan Ibnu Taimiyyah. Menurut Mulkhan (1990:64) latar belakang inilah
yang membedakan prinsip dasar ajaran Muhammadiyah dengan NU.
Sebagai sebuah organisasi sosial keagamaan, Muhammadiyah memiliki ajaran dan
atau pemikiran yang membedakan ia dengan organisasi Islam yang lain. Diantara ajaran
Muhammadiyah yang relative menonjol adalah:
1) Mengamalkan ibadah hanya yang secara eksplisit disebutkan dalam al-Quran dan hasits
shahih. Muhammadiyah menghindari pengamalan hadits dlaif dan maudlu, terutama
yang dicampur dengan tradisi masyarakat lokal, seperti mendoakan orang meninggal pada
hari yang ke 1-7, 40, 100, 1000, atau setiap tahun (haul), peringatan Maulid Nabi,
peringatan 1 Suro, dan lain-lain. Terkait dengan hal ini, Mulkhan (1990:66) menyatakan
bahwa pendekatan yang dilakukan Muhammadiyah dalam menghadapi perubahan zaman
dan perkembangan dunia modern adalah dengan kembali (rujuk) kepada al-Quran dan
menghilangkan sikap fatalism serta menjauhkan diri dari sikap taqlid, melalui jalan
menghidupkan jiwa dan semangat ijtihad.
2) Selain menggunakan al-Quran dan hadis Nabi, mereka mengikuti hasil ijtihad dari ulama
yang dipandang sebagai tokoh-tokoh pembaru, seperti: Ahmad bin Hanbal, Ibn Taimiyah,
Ibn al-Qayyim al-Jauziyah dan lain-lain, atau mengikuti hasil keputusan Majlis Tarjih
(lembaga musyawarah hukum Islam melalui pengumpulan dalil-dalil terkuat dari al-
Quran dan hadits).
3) Segala hal baru mengenai ibadah yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah adalah
bidah (membuat syariat baru yang terlarang dalam agama), seperti mengeraskan bacaan
zikir, zikir bersama, dan lain-lain. KH. A. Dahlan menyerang sinkretisme (pencampur-
adukan ajaran) dan pengaruh animisme maupun agama lain yang dianggapnya menodai
Islam dan sudah membudaya. Ia juga menolak praktik-praktik kultural keagamaan seperti
tahlilan dan segala ritus yang tidak secara jelas bersumber pada al-Quran dan hadits yang
sahih (otentik) (Karim, 1986:5).
4) Menggunakan metode hisab (penghitungan astronomi matematis) untuk menentukan awal
dan akhir Ramadhan.
5) Lebih peduli pada pengembangan pendidikan formal daripada pendidikan non formal
seperti pesantren.
6) Lebih peduli pada program sosial kemasyarakatan daripada pelaksanaan ritual keagamaan
yang bersifat kultural.
Meski Muhammadiyah banyak berkontribusi terhadap modernisasi umat Islam di
Indonesia, organisasi dan gerakan ini tidak terlepas dari kritik. Sejumlah kritik yang diarahkan
pada Muhammadiyah antara lain:
1) Kaderisasi kompetensi keulamaan di Muhammadiyah terkesan lamban
2) Minim lembaga pencetak kader keulamaan yang solid seperti pesantren
3) Pola ibadah cenderung kering dari nuansa penghayatan dan tasawuf
4) Gerakan dakwahnya bersifat elitis dan akademis di daerah perkotaan.

3. Basis Mahasiswa
Menurut Mujani (dalam Asyari, 2010:1), lebih dari 25 juta muslim Indonesia adalah
pengikut Muhammadiyah. Pada umumnya mereka berada di daerah perkotaan dan merupakan
kaum terpelajar. MM Billah (dalam Yunahar, 1993:11) berpendapat bahwa basis sosial dari
Muhammadiyah adalah sekolah modern, para pedagang, penduduk kota, para petani, dan
mencakup wilayah Jawa dan luar Jawa.
4. Pendekatan Dakwah
Dalam berdakwah, Muhammadiyah cenderung menggunakan pendekatan salaf
(manhaj al-salaf) dan dakwah menyeluruh (dakwah al-Islam kaffah). Dalam realitasnya,
Muhammadiyah memfokuskan dakwahnya pada pendidikan dan pelayanan kesehatan. Hal ini
terbukti dari banyaknya sekolah dan rumah sakit yang didirikan oleh Muhammadiyah.
Muhammadiyah juga menggunakan pendekatan ammar maruf nahi mungkar yang bersifat
struktural dari atas ke bawah (melalui kekuasaan).
Dalam dakwahnya Muhammadiyah konsen pada pemurnian dan pembaharuan. Di
samping itu dakwah Muhammadiyah bertumpu pada tiga prinsip yaitu tabsyir
(menyenangkan), islah (memperbaiki), dan tajdid (memperbarui). Prinsip tabsyir adalah
upaya Muhammadiyah untuk mendekati dan merangkul setiap potensi umat Islam (umat
ijabah) dan umat non-muslim (umat dakwah) untuk bergabung dalam naungan petunjuk Islam
dengan cara-cara yang bijaksana, pengajaran dan bimbingan yang baik, dan mujadalah
(diskusi dan debat) yang lebih baik. Prinsip islah ialah upaya membenahi dan memperbaiki
cara ber-Islam yang dimiliki oleh ummat Islam, khususnya warga Muhammadiyah, dengan
cara memurnikannya sesuai petunjuk syarI yang bersumber pada al-Quran dan sunnah Nabi.
C. Nadhatul Ulama (NU)

Anda mungkin juga menyukai