Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

AGAMA BUDDHA
( EKONOMI DALAM PERSPEKTIF BUDDHIS )

Dosen pengampu : Widarto, S.Ag, M.M

Disusun oleh Kelas BM-4

Kelompok 1 :

- FITRIA ( 1721128 ) - YONGKY S ( 1721051)

- FEBBY M ( 1721133 ) - SVENKY ( 1721047 )

- INDRAWATI ( 1721137 ) - SILVI (1721021)

- NATASYA K ( 1721151 )

S-1 Manajemen
“STIE Pelita Indonesia”
KATA PENGANTAR
Namo Buddhaya,

Terpujilah Sanghyang Adi Buddha Tuhan Yang Maha Esa, Sang Tri Ratna, serta
Boddhisatva-Mahasatva karena berkat pancaran cinta kasih yang tanpa batas serta
dukungan karma baik akhirnya kami mampu menyelesaikan penyusunan makalah ini yang
merupakan salah satu tugas dalam mata kuliah Agama Buddha dengan baik dan benar.
Makalah yang kami susun adalah EKONOMI DALAM PERSPEKTIF BUDDHIS. Kami
menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntunan Tuhan
Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak untuk itu dalam kesempatan ini
kami menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesarnya kepada semua pihak
yang membantu dalam pembuatan makalah ini. Terutama kepada Bapak Widarto, S.Ag,
M.M selaku Dosen Pengampu Agama Buddha ini.
Dengan ini kami menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, kami telah
berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga makalah ini
dapat selesai dengan baik dan oleh karenanya, kami dengan rendah hati menerima
masukan, saran, dan usul guna penyempurnaan makalah ini. Akhirnya kami berharap agar
makalah ini bisa bermanfaat bagi seluruh pembacanya.

Sadhu… Sadhu… Sadhu…

Pekanbaru, November 2018

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................. 1


DAFTAR ISI ........................................................................................................... 2

BAB 1 PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG .......................................................................... 3
B. TUJUAN PENULISAN ....................................................................... 3

BAB 2 PEMBAHASAN
A. Pengertian Ekonomi Secara Umum ..................................................... 4
B. Pengertian Ekonomi Menurut Para Ahli ............................................... 4
C. Konsep Ekonomi Secara Umum ......................................................... 5
D. Konsep Ekonomi Menurut Agama Buddha .......................................... 6
BAB 3 PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 12

2
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Banyak orang bekerja keras tetapi tidak bias menjamin kebutuhannya. Diantaranya, seperti
hasil pemantauan Kepala Dinas P & K Jawa Tengah, banyak guru yang menjadi setres karena
kondisi ekonominya yang kurang mencukupi. Produktivitas seorang guru, atau pegawai negeri
umumnya, yang telah bekerja keras secara halal pada jam kerja, tidak dengan sendirinya langsung
meningkatkan penghasilan. Lain alnya produktivitas seorang pengusaha atau wiraswasta dapat
segera mempengaruhi tingkat perolehanya.
Kebanyakna orang bekerja mendapatkan uang. Dalam proses dilapangan bersaing selain
mendaptkan uang sebanyak-banyaknya tapi juga egopun semakin besar pula. Tetapi bagi orang
yang bekerja sebagai amal ibadah atau demi suatu pengabdian, yang bertujuan menyempurnakan
diri (menempurnakan paramita). Menurut Hukum Kamma, barang siapa yang menanam maka cepat
atau lambat ia akan memetik atau mendapatkan hasil dari kamma baik. Jika yang ditanam tersebut
adaalh perbuatan bajik, tetapi jika menanam perbuatan jahat maka yang diperoleh adaalh
penderitaan.
Orang yang mengejar kekayaan hanya untuk mendapatkan kebahagiaan dengan membuat orang lain
bahagia. Hal itu bisa dilakukan, seperti yang terdapat di dalam Anguttara Nikaya V, 4:41, yaitu
”kekayaan diperoleh karena bekerja denagn giat, dikumpulkan dengankekuatan tanggan dan cucuran
keringat sendiri secara halal, berguna untuk kesanangan dan mempertahankan kebahagiaan dirinya
sendir, untuk memelihara dan membuat orang tuanya bahagia; demikian pula membahagiakan istri
dan anak-anaknya, membahagiakan para karyawan dan anak buahnya. Inilah lasan pertama untuk
menerjar kekayaan.”

B. Tujuan Penulisan

Memberikan kesempatan kepada Umat Buddha untuk mengenal Dhamma lebih dalam,
sehingga dapat mengerti bagaimana ekonomi dalam agama Buddha, dan bagaimana cara
memperoleh kekayaan dengan jalan yang baik dan benar.

3
BAB 2
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ekonomi Secara Umum

Ekonomi merupakan salah satu ilmu sosial yang mempelajari aktivitas manusia yang
berhubungan dengan produksi, distribusi, dan konsumsi terhadap barang dan jasa. Istilah "ekonomi"
sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu οἶκος (oikos) yang berarti "keluarga, rumah tangga" dan
νόμος (nomos) yang berarti "peraturan, aturan, hukum". Secara garis besar, ekonomi diartikan
sebagai "aturan rumah tangga" atau "manajemen rumah tangga." Sementara yang dimaksud
dengan ahli ekonomi atau ekonom adalah orang menggunakan konsep ekonomi, dan data dalam
bekerja.

B. Pengertian Ekonomi Menurut Para Ahli

1. Menurut Aristoteles
Pengertian ilmu ekonomi menurut Aristoteles merupakan sebagai sutau cabang dapat
digunakan dengan dua jalan yaitu kemungkinan untuk dipakai dan kemungkinan untuk
ditukarkan dengan barang. Nilai pemakaian dan nilai pertukaran.

2. Menurut Suherman Rosydi


Ilmu ekonomi adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang berdaya upaya untuk
memberikan pengetahuan dan pengertian tentang gejala-gejala masyarakat yang timbul
karena perbuatan manusia dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhan atau untuk
mencapai kemakmuran.

3. Menurut Prof. Paul Anthony Samuelson


Ilmu ekonomi adalah studi tentang manusia dalam kegiatan hidup mereka sehari-hari untuk
mendapat dan menikmati kehidupan.

4. Menurut Adam Smith


Ilmu ekonomi merupakan ilmu secara sistematis memprlajari tingkah laku manusia dalam
usahanya untuk mengalokasikan sumber-sumber daya yang terbatas guna mencapai tujuan
tertentu

5. Menurut Case and Fair


Ilmu ekonomi adalah studi tentang bagaimana individu dan masyarakat mengambil pilihan
untuk menggunakan sumber daya yang langka yang telah disediakan oleh alam dengan
generasi sebelumnya.

6. Menurut Penson
Ilmu ekonomi adalah ilmu pengetahuan yang selalu mendalami mengenai kesejahteraan
material di setiap diri manusia.

7. Menurut Alfred Marshall


Ilmu ekonomi merupakan ilmu atau studi yang mempelajari kehidupan manusia sehari-hari.

8. Menurut Richard G. Lipsey


Ilmu ekonomi merupakan suatu studi tentang pemanfaatan sumber daya yang langka untuk
memenuhi kebutuhan manusia yang tidak terbatas.

4
C. Konsep Ekonomi Secara Umum

Kegiatan ekonomi yang dilakukan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari dapat


dikelompokan menjadi kegiatan produksi, distribusi dan konsumsi. Antara ketiga konsep itu
saling berkaitan satu sama lain :
1. Kegiatan Konsumsi.
Kegiatan ini menyangkut tindakan manusia dalam masyarakat baik secara induvidu
maupun kelompok dalam menggunakan, memakai, menghabiskan barang dan jasa.
Barang dan jasa ini dihasilkan oleh para produsen / penghasil dengan cara
menukarkannya dengan uang mereka. Konsumsi banyak dipengaruhi oleh tingkat
pendapatan seseorang, kebiasaan, dan budaya mereka, sehingga diperlukan
perhitungan yang lebih bijaksana.
Konsumsi yang lebih bijaksana artinya adanya keseimbangan antara pendapatan
dan pengeluaran / konsumsi seseorang, baik secara rutin maupun harian, mingguan,
bulanan serta tahunan. Jangan sampai besar pasak dari pada tiang. Lebih besar
pengeluaran dari pada pendapatan. Konsumsi ini dilakukan oleh individu/perorangan
maupun kelompok, masyarakat dan negara, dalam penggunaan barang barang dan
jasa. Contohnya, kapan kita membutuhkan makanan dan minman, kebutuhan alat-
alat, pakaian dan perumahan. Konsumsi untuk keluarga, misalnya menyangkut
kebutuhan secara keseluruhan, biasanya diatur oleh ayah dan ibu. Ayah pekerja
mencari pendapatan dan ibu yang mengatur tentang penggunaan uang dalam
keluarga secara tepat menyangkut kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan,
kesehatan serta hiburan.
2. Kegiatan Produksi.
Kegiatan ekonomi yang menyangkut produksi ialah kegiatan yang berkenaan dengan
usaha meningkatnya nilai guna suatu barang dan jasa. Langkah pertama kegiatan
produksi itu adalah menghimpun faktor produksi seperti, sumber alam, sember
tenaga kerja manusia, modal, dan skill yang berasal dari masyarakat atau konsumen
melalui distribusi. Setelah terhimpun, faktor produksi itu diolah menjadi hasil produksi
yang berupa barang dan jasa.
3. Kegiatan Distribusi
Kegiatan distribusi ini dalam ilmu ekonomi menyangkut kegiatan yang membantu
melancarkan produksi dan konsumsi. Artinya mempercepat arus barang dan jasa dari
produsen ke konsumen, maupun dari konsumen ke produsen.
Pengaturan penyebaran barang dan jasa tergantung pada banyaknya barang yang
ditawarkan (supplai). Dan permintaan barang dan jasa dari masyarakat / konsumen
(demand). Hal ini terjadi terutama dinegara maju yang mengunakan pasar bebas
(liberal). Di Indonesia, distribusi barang dan jasa banyak ditentukan oleh pemerintah
dan masyarakat. Pembahasan distribusi dalam masyarakat erat kaitannya dengan
persoalan pasar, sebab pasar merupakan kegiatan dalam menyalurkan barang dari
produsen ke konsumen. Agen, pedagang besar, pedagang kecil, penjual
pikulan,penjaja dan pedagang kali lima, kesemuanya itu orang atau lembaga yang
terlibat dalam kegiatan distribusi barang dan jasa. Dewasa ini peranan distribusi
sangat besar artinya bagi pengembangan perekonomian suatu bangsa.

5
D. Konsep Ekonomi dalam Agama Buddha
Konsep ekonomi dalam agama Buddha terdapat didalam Sigalovada Sutta disitu Buddha
menganjurkan bahwa “orang-orang hendaknya bekerja keras memanfaatkan waktu berharga mereka
secara efektif dan efisien untuk mendapatkan uang, menabung untuk masa depan, memenuhi tugas
dan kewajiban untuk menopang keluarga, hati-hati dalam mengeluarkan uang dan menghindari sifat
boros)”
Sang Buddha menganjurkan untuk “tidak menunda-nunda suatu pekerjaan, karena ciri dari
keberhasilan adalah tidak menunda-nunda suatu pekerjaan, ini merupakan suatu konsep dasar
dalam pencaharian kekayaan.”. Peryataan ini menunjukkan bahwa seseorang harus selalu aktif agar
perekonomian stabil. Perlu diingat bahwa banyak masalah sosial yang diakibatkan karena
perekonomian yang labil.
Penghidupan Benar (Samma Ajiva)
Penghidupan benar merupakan kelompok latihan moralitas (Sila) bagian dari Jalan Tengah
Berunsur Delapan yang diajarkan oleh Buddha. Penghidupan benar berarti bahwa mata pencaharian
seseorang dilakukan dengan cara yang tidak membahayakan dan merugikan orang lain. Terdapat
lima jenis mata pencaharian yang hendaknya dihindari oleh umat Buddha. Ke-lima mata pencaharian
tersebut adalah: “Sattha-Vanijja (berdagang senjata), Satta-Vanijja(berdagang makhluk
hidup), Manisa-Vanijja (berdagang daging), Majja-Vanijja (berdagang minuman yang
memabukkan), Visa-Vanijja (berdagang racun)”. Sebagai umat Buddha yang baik, hendaknya tidak
melegalkan ke-lima Miccha-Vanijja dengan alasan apapun dan mencari pekerjaan di luar ke-
lima Miccha-Vanijja ini. Contohnya adalah: guru, wirausaha garmen, wirausaha sembako, sopir,
arsitek, dosen, desainer, dan masih banyak lagi.

Menurut Mahatma Gandhi, “para ekonomis yang melukai kesejahteraan moral dari individu
atau satu bangsa adalah tidak bermoral dan karenanya mereka berdosa”.[7] Peryataan ini
menunjukkan bahwa penghidupan benar merupakan jalan yang hendaknya kita laksanakan, karena
penghidupan benar merupakan cara yang dilegalkan dalam agama Buddha untuk mencari materi
dalam rangka pemenuhan kebutuhan

Beberapa petunjuk Sang Buddha tentang cara mengumpulkan kekayaan

Pattakamma Sutta, Samyutta Nikaya menyebutkan bahwa terdapat empat hal di dunia ini
yang dicita-citakan, diagung-agungkan, dan diharapkan oleh setiap orang, tetapi sangat susah untuk
mendapatkannya. Empat hal tersebut adalah harapan untuk mendapatkan kekayaan dengan jalan
Dhamma, cita-cita agar menjadi orang terpandang dalam masyarakat, harapan agar mempunyai
umur panjang dan selalu sehat, serta setelah meninggal bisa terlahir di alam-alam bahagia, yaitu
terlahir di alam surga. Tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataanya keempat hal hal tersebut
memang diharapkan oleh setiap orang. Perlu diingat bahwa untuk mendapatkan kekayaan adalah
cukup mudah didapat, tetapi untuk mendapatkan kekayaan dengan jalan Dhamma merupakan hal
yang sulit didapat. Demikian juga setelah mendapatkan kekayaan kita mempunyai harapan agar kita
menjadi orang yang terpandang. Jika seseorang mengumpulkan kekayaan dengan jalan yang benar,
maka dia akan dihormati masyarakat, dan tentunya akan membawa efek kepada keluarga dan juga
para gurunya. Perbuatan baik yang telah kita tanam menyebabkan orang bisa mendapatkan
kesehatan dan umur panjang, tetapi menurut Agama Buddha tidak ada sesuatu yang terbentuk
bersifat kekal. Oleh karena itu, setelah mendapatkan hal-hal tersebut di atas, maka harapan terahkir
adalah kelahiran di alam-alam yang membahagiakan. Jadi, sudah jelas bahwa Sang Buddha
menasihatkan kepada kita bahwa kekayaan atau materi bukanlah satu-satunya tujuan dalam hidup

6
kita, dan dalam mengumpulkan materi seseorang diharapkan untuk memperhatikan norma-norma
etika dan norma-norma keagamaan, sesuai dengan Dhamma.

Lebih lanjut, sutta tersebut menerangkan bahwa dalam mengumpulkan kekayaan, sebaiknya
seseorang mengumpulkannya dengan usaha dan semangat yang tinggi (utthanaviriyadhigatehi),
dengan keringat sendiri (sedavakkhitehi), dan dengan jalan Dhamma (dhammikehidhammaladdhehi).
Hal ini diterangkan lebih lanjut oleh Sang Buddha dalam Vyagghapajja Sutta, di mana setelah
seorang milyuner yang bernama Dighajanu bertanya kepada Sang Buddha untuk mendapatkan
beberapa nasihat agar dia bisa berbuat untuk kebahagiaan di dunia ini dan dunia berikutnya.
Kemudian Sang Buddha mengajarkan bahwa hendaknya untuk mendapatkan kemajuan materi atau
kekayaan, seseorang diharapkan melakukan segala pekerjaan dengan penuh usaha (utthana
sampada), menjaga kekayaan yang telah ia dapat (arakkha sampada), hidup seimbang
(samajivikata), dan bergaul dengan para sahabat yang bisa hidup bersama baik dalam keadaan
susah dan senang (kalyanamitta)

Sedangkan untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia-dunia berikutnya, Pattakamma Sutta dan


Vyagghapajja Sutta menerangkan empat syarat yang diperlukan agar seseorang bisa mendapatkan
kebahagiaan di alam-alam berikutnya, yaitu:

1. Saddha: seseorang mempunyai keyakinan kepada penerangan sempurna yang telah dicapai
oleh Sang Buddha (Tathagatassa bodhi saddha), dimana Sang Buddha adalah seorang yang
mendapat sebutan Bhagava, Arahat, Sammasambuddho, sempurna dalam pengetahuan
serta tindak-tanduk-Nya, Sugato, pengenal segenap alam, pembimbing manusia yang tiada
taranya untuk mencapai pembebasan, guru para dewa dan manusia, dan Beliau adalah
seorang Buddha.
2. Sila: seorang yang telah menyatakan dirinya sebagai upasaka atau upasika diharapkan untuk
melaksanakan Pancasila, yaitu menghindari diri dari pembunuhan, pencurian, perzinaan,
berbohong, dan minum-minuman keras yang memabukkan.
3. Caga: praktik kemurahan hati, misalnya dengan jalan berdana yang ditujukan untuk
mengurangi kemelekatan kepada materi.
4. Pabba: pengembangan kebijaksanaan yang ditujukan untuk pembebasan dari penderitaan.
Dalam hal ini seseorang akan bebas dari nafsu-nafsu keserakahan akan materi, keinginan
jahat, kelambanan, kemalasan dan keragu-raguan.

Keempat hal ini adalah sangat penting, di mana seseorang tidak hanya mengejar materi belaka atau
memandang materi sebagai tujuan yang harus dikumpulkan untuk pribadi, tetapi seseorang akan
berpikir bahwa materi seharusnya digunakan sebagai salah satu sarana untuk melenyapkan
penderitaan.

Dalam usaha mengumpulkan kekayaan, hendaknya seseorang harus melakukan segala kegiatannya
dengan jalan yang benar. Misalnya, kepada para pedagang, Sang Buddha telah menasihati untuk
menghindari penipuan dengan jalan menipu alat pengukur timbangan (tulakuta), dan menipu dalam
dengan memalsu uang dan sebagainya.
Selanjutnya, Angguttara Nikaya menjelaskan seseorang seharusnya menghindari diri dari lima
macam perdagangan yang bisa membahayakan bagi dirinya sendiri dan juga mahkluk lain, seperti :
1. satta vanijja (perdagangan perbudakan),
2. sattha vanijja (perdagangan persenjataan),
3. mamsa vanijja (perdagangan mahluk hidup),
4. majja vanijja (perdagangan minum-minuman keras), dan
5. visa vanijja (perdagangan racun, termasuk ganja, morfin, dan sebagainya).

Ambalatthika Rahulovada Sutta menegaskan kriteria tentang pekerjaan terbaik yang dilakukan oleh
para pengikut Sang Buddha. Jika suatu pekerjaan yang dilakukan adalah menimbulkan manfaat
untuk dirinya sendiri dan bermanfaat untuk orang lain serta bermanfaat untuk kedua-duanya maka
pekerjaan tersebut adalah pekerjaan yang terpuji. Beberapa jenis pekerjaan seperti kerajinan,
pertanian dan sebagainya merupakan pekerjaan yang terpuji.

7
Penggunaan kekayaan
Setelah seseorang mengumpulkan materi atau kekayaan, maka dia mempunyai kewajiban yang
sangat penting, baik bagi dirinya sendiri dan orang lain. Pattakamma Sutta menjelaskan adanya
empat hal yang harus di perhatikan bagi seorang perumah tangga dalam hal kekayaan yang telah
dikumpulkanya (cattari kammani katta). Keempat hal tersebut adalah sebagai berikut :

1. Dia sebaiknya mempergunakan kekayaannya untuk kepentingan diri sendiri dan untuk
pemenuhan kewajiban keluarga. Secara singkat dia harus menggunakan kekayaanya untuk
dinikmati sebagai hasil jerih payahnya (attanam sukheti pineti sammasukham pariharati),
sebagian kekayaan digunakan untuk merawat orang tua (matapitaro sukheti pineti
sammasukham pariharati), dia juga harus merawat putra-putrinya, pembantu-pembantunya
dan para pekerja yang telah membantu dalam usaha (puttadaradasakammakaraporise
sukheti pineti sammasukham pariharati), serta dia mempunyai kewajiban untuk menjamu
teman dan para pendatang dengan cara yang benar (mittamacce sukheti pineti
sammasukham pariharati). Perlu diperhatikan bahwa istilah "sammasukham pariharati" atau
"penggunaan secara benar" adalah sangat penting. Jadi sudah jelas bahwa kekayaan
menurut Pattakamma Sutta sebaiknya digunakan untuk kepentingan diri sendiri dan juga
untuk kebahagiaan orang lain.
2. Dia mempunyai kewajiban untuk menjaga kekayaan yang telah dikumpulkanya dari bahaya-
bahaya yang mungkin terjadi, seperti kebakaran (aggito), kebanjiran (udakato), pencurian
(corato), dan dari pewaris yang tidak diinginkan (dayadato), serta orang-orang lain yang tidak
diinginkan (tatharupasu apadasu bhogehi pariyodhaya vattanti).
3. Dia mempunyai lima kewajiban yang lain (pabcabalim), yaitu: kewajiban kepada raja,
misalnya membayar pajak (rajabali), kewajiban untuk menjamu tamu-tamu yang datang
(atithibali), kewajiban kepada para deva (devatabali), dan kewajiban kepada para leluhur
yang telah meninggal (pubbapetabali).
4. Seorang perumah tangga juga mempunyai kewajiban kepada para samana dan brahmana
yang telah melenyapkan kekotoran bathin, penuh perhatian, dan kesabaran
(samanabrahmana madappamada pativirata khanti soracce vivattha attanam damenti). Dana,
jika diberikan kepada para samana dan brahmana yang berpraktik sila dan penuh perhatian
serta kesabaran akan membuahkan hasil yang baik, akan membuahkan kebahagian dan
menghantarkan seseorang terlahir ke alam-alam yang bahagia (sukhavipakam
saggasamvattanikam). Dana yang demikian, menurut agama Buddha, dikatakan sebagai
kekayaan yang tidak dapat dicuri oleh siapapun. Kekayaan yang digunakan dengan cara
tersebut di atas dikatakan sebagai kekayaan yang telah menuju ke tempat yang tepat
(thanam gatam hoti pattagatam ayatanaso paribhuttam).
Dari apa yang telah diterangkan di atas, sudah jelas bahwa meskipun seseorang menggunakan
kekayaan miliknya sendiri, dia diharapkan agar mempergunakannya untuk kepentingannya sendiri
dan untuk kepentingan orang lain secara benar.

Pengaturan tentang kekayaan yang telah kita dapat, dapat dilihat di dalam Sigalovada Sutta
yang terdapat dalam kitab Digha Nikaya sebagai berikut:

"ekena bhoge bhubjeyya (satu bagian untuk dinikmati) dvihi kammam payojaye (dua bagian untuk
ditanamkan kembali ke dalam modalnya) catutabca nidhapeyya (bagian ke empat disimpan) apadasu
bhavissanti (untuk menghadapi masa depan yang sulit)".

Menurut kitab ini bahwa kekayaan yang telah kita dapatkan dengan jalan yang benar, sebaiknya
dibagi dalam empat kelompok, yaitu seperempat bagian untuk dinikmati sebagai hasil jerih payah,
duaperempat bagian untuk diinvestasikan ke modalnya, dan seperempat bagian lagi disimpan
sebagai cadangan jika mengalami kesulitan di masa yang akan datang. Mengenai bagian yang
keempat, kata "nidhapeyya" dapat diartikan sebagai "disimpan" dalam pengertian yang lebih luas,
misalnya disimpan di bank ataupun digunakan untuk menanam pubba kamma (kebajikan), misalnya
untuk diberikan kepada tempat ibadah, para pertapa, dan sebagainya. Nasihat yang demikian
ditegaskan dalam beberapa sutta yang ada dalam Tipitaka, misalnya Sangarava Sutta menyebutkan
adanya tiga jenis orang, yang dikelompokkan berdasarkan pada tindakan mereka dalam
penggunakan kekayaan yang telah ia dapatkan. Jenis pertama adalah mereka yang tidak
menggunakan kekayaannya, baik untuk dirinya sendiri dan tidak membagi-bagi kekayaanya kepada
orang lain untuk mendapatkan kebajikan (na attanam sukheti pineti na vibhajati na puññakaroti).
Jenis orang yang kedua adalah ia yang menggunakan kekayaan untuk kebahagiaan dirinya sendiri,

8
tetapi tidak untuk memanam kebajikan (attanam sukheti pineti na samvibhajati na puññam karoti).
Sedangkan jenis orang ketiga adalah ia yang bisa menggunakan kekayaan untuk dinikmati bagi
dirinya sendiri dan untuk kepentingan orang lain, demi memanam kebajikan (attanam sukheti pineti
samvibhajati puññam karoti). Jenis orang yang ketiga adalah orang yang dipuji, karena ia tidak
melekat pada kekayaan (adinnavadassanani) dan tahu penggunaan kekayaan untuk jalan kebebasan
(nissaranapabba). Tentunya nasihat yang telah diberikan oleh Sang Buddha lebih dari duaribu
limaratus tahun yang lampau ini, masih berguna bagi kehidupan yang kita sekarang. Pembagian
tersebut adalah cara pembagian yang sangat sederhana, tetapi memiliki daya guna yang sangat
efektif untuk mengembangkan ekonomi. Menurut kitab ini, separuh (duaperempat) bagian digunakan
untuk pengembangan usaha, yang berarti bahwa Sang Buddha menekankan bahwa dalam dunia
bisnis, faktor modal adalah sangat penting.

Sebagai seorang perumah tangga yang baik, sebaiknya dia harus bisa hidup dengan seimbang, tahu
akan berapa banyak uang atau kekayaan yang telah didapatkan dan tahu berapa banyak kekayaan
yang bisa digunakan (samajivikata). Hendaknya dia tidak hidup dengan kikir (ajjadumarika) dan juga
sebaliknya, dia tidak jatuh dalam gaya hidup yang bersifat konsumerisme, hidup dengan glamour,
dan penuh dengan foya-foya (udumbarakhadika). Seseorang yang hidup dalam dunia konsumerisme
yang berlebihan, diibaratkan oleh Sang Buddha sebagai seseorang yang ingin memetik sebuah apel
untuk dimakan, tetapi menyebabkan jatuhnya semua apel yang ada di pohon tersebut. Sebaiknya,
orang yang terlalu kikir diibaratkan sebagai seekor ayam yang hidup di timbunan padi, tetapi mati
kelaparan dikarenakan kekurangan makanan. Jadi, penggunaan dan konservasi yang tepat dari
kekayaan individu yang telah di dapat akan mempengaruhi kualitas hidupnya dan juga
mempengaruhi ekonomi nasional.

Dalam kaitannya dengan penggunaan kekayaan, Sang Buddha memuji mereka yang mengetahui
berapa banyak uang yang didapat oleh seseorang dan mengetahui berapa banyak uang yang harus
dikeluarkan, baik untuk kepentingan diri sendiri dan untuk kepentingan orang lain.

Andha Sutta; Anguttara Nikaya menyebutkan bahwa


 orang yang tidak tahu cara mengumpulkan kekayaan dan juga cara menggunakan kekayaan
diibaratkan sebagai orang buta (andha),
 orang yang hanya tahu cara mengumpulkan uang, tetapi tidak tahu cara menggunakannya
diibaratkan sebagai orang yang mempunyai mata satu (ekacakkhu) dan
 seseorang yang mengetahuhi cara menggumpulkan dan menggunakan kekayaan yang telah
didapatkannya dengan jalan yang benar diibaratkan sebagai orang yang bisa melihat dengan
kedua matanya (dvecakkhu).

Menurut Agama Buddha peningkatan ekonomi suatu masyarakat ditujukan untuk menciptakan
kondisi di mana mereka bisa meningkatkan kualitas hidupnya. Sang Buddha juga menyadari
sepenuhnya bahwa setiap orang mempunyai peranan yang besar dalam peningkatan perkembangan
ekonomi negara. Oleh karena itu untuk mencipatakan kondisi ekonomi yang baik, Beliau memberikan
tuntunan untuk mengatur secara tepat tentang ekonomi, terutama di rumah tangga, sehingga tingkat
kehidupan masyarakat semakin baik. Mengingat adanya kecenderungan dari setiap orang untuk
mengumpulkan kekayaan dengan segala cara, maka sering terjadi persaingan yang tidak sehat,
pertengkaran, berlomba-lomba untuk mendapatkan kedudukan dan sebagainya. Oleh karena itu,
maka Sang Buddha menasihatkan untuk mengumpulkan dan menggunakan kekayaan dengan jalan
yang benar, sesuai dengan Dhamma. Hal ini semua ditujukan demi kesejahteraan manusia, baik di
alam ini dan alam-alam berikutnya.

Tamotama Parayana Sutta menjelaskan bahwa orang yang kaya, bisa mengerti akan kegunaan
kekayaan dan menggunakannya dengan jalan yang benar akan terlahir di alam-alam yang
membahagiakan (joti joti parayano). Demikian juga Sang Buddha memuji seseorang yang meskipun
tidak kaya, tetapi menggunakan kekayaannya dengan benar akan terlahir di alam-alam yang
membahagiakan (tamo joti parayano). Sebaliknya, seseorang yang menggunakan kekayaannya
hanya untuk kepentingan dirinya sendiri, misalnya untuk berfoya-foya, maka setelah meninggal akan
terlahir di alam-alam yang menyedihkan (joti tamo parayano). Tentunya jenis orang yang keempat
yaitu "tamotama parayano" atau orang yang pergi dari tempat yang gelap menuju ke tempat yang
gelap tidak dianjurkan. Memang orang yang miskin cenderung untuk melakukan kejahatan, tetapi
seperti yang telah diterangkan oleh Sang Buddha, dia bisa menjadi orang yang selamat dan bahagia
di alam-alam berikutnya dengan berusaha dan berjuang keras.

9
Menurut Agama Buddha kondisi ekonomi dan status sosial seseorang bisa berubah-ubah sesuai
dengan usaha dan tindakan yang telah dilakukannya.

Seorang perumah tangga, juga diharapkan untuk menghindari dari beberapa sebab yang membuat
hilangnya kekayaan (apayamukha). Sigalovada Sutta menjelaskan adanya enam alasan yang
menyebabkan hilangnya harta kekayaan, yaitu :
1. kecanduan akan minuman atau obat-obatan yang memabukkan,
2. pergi ke jalan-jalan pada waktu yang tidak sesuai,
3. terlalu sering pergi ke tempat-tempat pertunjukan,
4. berjudi,
5. bergaul dengan teman-teman yang tidak baik, dan
6. kebiasaan bermalas-malasan.

Lebih lanjut Anguttara Nikaya menerangkan bahwa pergi ke tempat-tempat pelacuran adalah salah
satu sebab hilangnya kekayaan dan nama baik seseorang. Demikian juga Parabhava Sutta
menjelaskan bahwa hal-hal tersebut di atas merupakan sebab-sebab keruntuhan seseorang.

10
BAB 3
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam situasi perkembangan perekonomian yang semakin memuncak, di mana para


pengusaha real estate, pemegang saham, pedagang dan hampir setiap orang bersaing untuk
memenangkan pertandingan perebutan uang, manusia cenderung semakin serakah dan menjadi
mahluk yang mementingkan kepentingannya sendiri (egois). Hal yang demikian menyebabkan
masalah-masalah sosial yang harus kita pecahkan bersama. Setelah mengetahui bahwa kekayaan
yang ada bukanlah satu-satunya tolok ukur kebahagiaan, maka sebagian masyarakat mulai berpikir
melalui cara pandang yang lain. Seperti yang telah diterangkan di atas, Sang Buddha setelah melihat
akan bahaya dari paham materialisme, menerangkan tentang berbagai cara untuk mendapatkan
kekayaan dan setelah itu menggunakannya dengan jalan yang benar demi manfaat kehidupan ini dan
kehidupan-kehidupan yang akan datang. Boleh dikatakan bahwa Sang Buddha adalah seorang
ekonom yang mementingan rakyat banyak, terutama rakyat kecil.

Agama Buddha memberikan anjuran kepada para umat untuk mengembangkan kesejahteraannya,
baik kesejahteraan materi maupun kesejahteraan batin. Seorang ekonom barat bernama E.F.
Schumacher dalam bukunya "Small is Beautiful" setuju dengan Agama Buddha yang mengajarkan
bahwa lobha (keserakahan) dan dosa (kebencian) akan menghambat seseorang untuk
mengembangkan pandangan yang menitik-beratkan pada nilai-nilai kemanusiaan.

Dalam pandangan Agama Buddha, manusia bukanlah sebagai penguasa alam yang berkuasa untuk
mengatur alam ini sesuai dengan apa yang diinginkannya. Kedudukan manusia di alam semesta ini
tidaklah tertinggi (supreme), tetapi manusia adalah bagian dari alam; sehingga dia harus berusaha
menyesuaikan diri dengan alam dan berusaha untuk menggunakan sumber-sumber kekayaan alam
dengan sebaik-baiknya. Pandangan yang demikian tentunya cukup berbeda dengan teori yang
mengatakan bahwa binatang dan segala sesuatu yang ada di dunia ini diciptakan oleh Tuhan untuk
kepentingan manusia; dan kedudukan manusia di dunia adalah tertinggi (supreme). Pandangan yang
demikian membuat manusia lebih agresif untuk menguras sumber-sumber kekayaan alam dan
menaklukkan alam. Tetapi pada kenyataannya mereka mulai menyadari bahwa di satu sisi manusia
boleh merasa bangga atas kemenangan dalam perang melawan alam, tetapi di sisi yang lain, setelah
terjadi penipisan lapisan ozon, adanya berbagai jenis polusi, musnahnya beberapa spesis binatang
dan tumbuhan dan sebagainya, mereka semua termasuk mahluk yang tidak berdosa harus
menanggung akibat dari kemenangan tersebut. Oleh karena itu, introspeksi dan evaluasi diri adalah
sangat penting.

11
DAFTAR PUSTAKA
Maurice Walshe, Digha Nikaya, DhammaCitta Press, 2009
Drs. A. Joko Wuryanto, S.Sos, M.Si, Wirausaha Buddhis, CV. YANWREKO WAHANA KARYA,
2007
Lloyd Field, Ph.D, BUSINESS AND THE BUDDHA, KARANIYA, 2009
Sugono Dendy dkk, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008
Y.M. Bhikkhu Suguno, Pandangan Agama Buddha Tentang Ekonomi,
(http://artikelbuddhist.com/2011/05/pandangan-agama-buddha-tentang-ekonomi.html diakses pada
tanggal 20 Maret 2015 pada pukul 10:24 WIB)
Wijaya-Mukti,K. 2003. Berebut Kerja Berebut Surga. Penerbit Yayasan Dharma Pembangunan:
Jakarta.

12

Anda mungkin juga menyukai