Anda di halaman 1dari 186

Aliran - Aliran dalam Pendidikan i

i
ii Pengantar Pendidikan

PENGANTAR PENDIDIKAN
viii, 186 hlm, Tab, 16 cm

Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Hak Cipta @ Husamah, Arina Restian, Rohmad Widodo


Hak Terbit pada UMM Press

Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang


Jl. Raya Tlogomas No. 246 Malang 65144
Telpon (0341) 464318 Psw. 140,
Fax (0341) 460435
E-mail: ummpress@gmail.com
http://ummpress.umm.ac.id

Cetakan Pertama September, 2015

ISBN : 978-979-796-360-6

Setting, Layout & Cover : Andi Firmansah

Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang


memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan
cara apapun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis dari
penerbit. Pengutipan harap menyebutkan sumbernya.
Aliran - Aliran dalam Pendidikan iii

Sanksi Pelanggaran pasal 72: Undang-undang No. 19 Tahun 2002, Tentang Hak Cipta:

1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/ atau denda paling sedikit Rp.
1.000.000,00 (Satu Juta Rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/
atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (Lima miliar rupiah)

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual


kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
iv Pengantar Pendidikan
Aliran - Aliran dalam Pendidikan v

Kata Pengantar

Segala puja dan puji hanya untuk Allah SWT, karena atas
perkenanNya jualah sehingga penulisan buku ajar Pengantar
Pendidikan terselesaikan. Ya Allah ya Rabb, izinkanlah kami, para
hamba-Mu yang lemah ini memanjatkan rasa terima kasih karena
Engkau selalu menuntun jalanku untuk terus memahami, memaknai,
belajar, berkarya dan berbagi kepada sesama.
Buku Pengantar Pendidikan disusun untuk kepentingan sebagai
buku pegangan yang diikhtiarkan untuk membantu para mahasiswa
yang menempuh mata kuliah Belajar dan Pembelajaran yang ditempuh
pada semester pertama oleh seluruh mahasiswa program studi di
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Khususnya di Universitas
Muhammadiyah Malang.
Secara tradisi, di Indonesia, mata kuliah Belajar dan Pembelajaran
yang diberlakukan di fakultas pendidikan atau LPTK disajikan pada
semester awal untuk mengawali sekaligus membekali para mahasiswa
yang akan akan mempelajari dan mendalami tentang dunia pendidikan.
Karena itu, buku Pengantar Pendidikan disusun dan mengacu
berdasarkan Rencana Pembelajaran Semester yang terumuskan dalam
Lokakarya Kurikulum KKNI di Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Muhammadiyah Malang.
Buku ini terdiri dari 6 (enam) Bab, yaitu: Bab I membahas tentang
hakikat manusia dan pengembangannya; Bab II membicarakan
mengenai pengertian dan konsep dasar pendidikan, unsur-unsur
pendidikan dan pendidikan sebagai sistem; Bab III menguraikan
tentang peran dan kedudukan tripusat pendidikan; Bab IV memaparkan
tentang landasan, asas-asas pendidikan dan penerapannya; Bab V
menjelaskan tentang aliran-aliran dalam pendidikan; bahasan diakhiri
pada Bab VI yang menggambarkan masalah yang berkaitan sistem
pendidikan nasional, pembaharuan pendidikan dan inovasi pendidikan
di Indonesia. Penajaman bahasan dalam buku ini diperkaya dengan

v
vi Pengantar Pendidikan

tugas yang diberikan kepada mahasiswa dengan melakukan analisis


artikel ilmiah terkini serta diskusi. Hal itu dimaksudkan agar bisa
menambah statistik pemahaman dan pengetahuan mahasiswa.
Pada akhirnya, buku ini dapat terselesaikan atas berbagai saran
dan dukungan banyak pihak. Dalam hal ini penulis menghaturkan
ucapan terima kasih kepada sejumlah pihak. Khususnya kepada
pimpinan universitas yang selama ini menaburkan benih semangat
dan inspirasi kepada penulis. Selain itu, pimpinan di tingkat fakultas
yang memberikan kesempatan untuk belajar dan mengabdi di kampus
putih. Selain itu, disampaikan juga ucapan terima kasih kepada guru
penulis dari sekolah dasar, SMP dan SMA serta para dosen yang
memiliki memiliki kesabaran untuk membimbing penulis dalam
membuka mata dunia melalui ilmu pengetahuan. Semoga Allah SWT
memberikan pahala berlimpah atas ilmu dan kebaikan yang telah
ditebarkan. Ucapan cinta yang tulus penuh hormat, doa khusyuk
dan bakti yang ikhlas kami haturkan kepada para orang tua kami.
Terima kasih atas doa, nasihat, pembelajaran, cinta, dukungan dan
nilai-nilai yang diwariskan. Khusus kepada istri, suami, dan anak-
anak kami terima kasih atas kekuatan dan support yang telah diberikan
oleh keluarga besar kami.
Secara khusus kami mengucapkan terima kasih kepada penerbit
UMM Press, direktur, editor, dan staf serta distributor yang telah
bersedia menerbitkan dan mengedarkan buku-buku kami sehingga
sampai ke tangan pembaca/pengguna, khususnya para mahasiswa.
Penulis menyadari bahwa buku yang tengah dibaca pembaca
masih jauh dari sempurna dan masih dihiasi sejumlah kekurangan.
Karena itu, penulis membuka ruang selebar mungkin kepada pembaca
dalam memberikan saran dan kritik kepada penulis agar bisa
meningkatkan isi buku kemudian hari. Semoga buku ini memberi
manfaat bagi para mahasiswa atau pengguna dan sekaligus
memperkaya khasanah keilmuan serta dunia pendidikan Indonesia.

Malang, Agustus 2015


Tim Penyusun,

Husamah
Arina Restian
Rohmad Widodo
Aliran - Aliran dalam Pendidikan vii

Daftar Isi

BAB I Hakikat Manusia Dan Pengembangannya ........................ 1


A. Hakikat Manusia .............................................................. 1
B. Wujud Sifat Hakikat Manusia ........................................ 9
C. Manusia Sebagai Makhluk Monoprularis dan Monodualis 11
D. Dimensi Hakikat Mausi ...................................................
E. Pengembangan Potensi dan Hakikat Manusia ........... 13
F. Konsep Manusia Seutuhnya ........................................... 25

BAB II Pengertian dan Konsep Dasar Pendidikan, Unsur Pendidikan


dan Pendidikan Sebagai Sistem ........................................... 29
A. Pengertian dan Konsep Dasar Pendidikan ................... 29
B. Unsur-Unsur Pendidikan ............................................... 41
C. Pendidikan Sebagai Sebuah Sistem ............................... 45

BAB III Peran dan Kedudukan Tripusat Pendidikan ...................... 53


A. Pendahuluan ..................................................................... 53
B. Pengertian dan Fungsi Lingkungan Pendidikan ........ 54
C. Definisi Tripusat Pendidikan .......................................... 54
D. Pendidikan Informal Formal dan Nonformal ............. 56
E. Peran Keluarga, Masyarakat dan Sekolah ................... 57
F. Fungsi dan Jenis Lingkungan Sekolah .......................... 61

BAB IV Landasan, Asas Pendidikan dan Penerapannya ............... 69


A. Landasan Pendidikan ...................................................... 69
B. Asas-Asas Pendidikan ..................................................... 78
C. Penerapan Asas-Asas Pendidikan ................................ 80
D. Masalah Peningkatan Mutu Pendidikan ...................... 83

vii
viii Pengantar Pendidikan

BAB V Aliran Pendidikan ................................................................... 85


A. Aliran Klasik Pendidikan ................................................ 85
B. Gerakan Baru dalam Pendidikan .................................. 94
C. "Aliran " Pokok Pendidikan Indonesia .......................... 106

BAB VI Sistem Pendidikan Nasional, Pembaharuan dan


Inovasi Pendidikan di Indonesia .......................................... 127
A. Sistem Pendidikan Indonesia ......................................... 127
B. Permasalahan Pendidikan dan Tantangan
Pembangunan Pendidikan Nasional ........................... 148
C. Inovasi dan Pembaharuan Pendidikan Indonesia ..... 155

Daftar Pustaka .......................................................................................... 159


Glosarium ................................................................................................. 167
Indeks ..................................................................................................... 171
Profil Singkat Penulis ............................................................................. 175
Hakekat Manusia dan Pengembangannya 1

BAB I

HAKIK
HAKIKAAT MANUSIA DAN
DAN
PENGEMBANGANNY
PENGEMBANGANNYA A

A. Hakikat Manusia
Secara faktual, kegiatan pendidikan merupakan kegiatan antar
manusia, oleh manusia dan untuk manusia. Itulah mengapa pembicaraan
tentang pendidikan tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan tentang
manusia. Para ahli telah mengemukakan berbagai pendapat tentang
pendidikan, pada umumya mereka sepakat bahwa pendidikan itu
diberikan atau diselenggarakan dalam rangka mengembangkan seluruh
potensi kemanusiaan ke arah yang positif (Dardiri, 2010). Kegiatan
pendidikan merupakan kegiatan yang melibatkan manusia secara penuh,
dilakukan oleh manusia, antar manusia, dan untuk manusia. Dengan
demikian berbicara tentang pendidikan tidak dapat dilepaskan dari
pembicaraan tentang manusia. (Khasina, 2013).
Manusia adalah keyword yang harus dipahami terlebih dahulu bila
ingin memahami pendidikan (Sardiman, 2007). Socrates mengatakan
bahwa belajar yang sebenarnya adalah belajar tentang manusia.
Berdasarkan fakta adanya pertautan yang sangat intim antara pendidikan
dan manusia, maka sangat masuk akan apabila kajian dalam mata
kuliah pengantar pendidikan ini diawali dengan diskusi atau bahasan
menyangkut hakikat manusia itu sendiri.

1
2 Pengantar Pendidikan

Manusia menurut Socrates adalah makhluk yang selalu ingin tahu


tentang segala sesuatu. Kewajiban setiap orang untuk mengetahui dirinya
sendiri lebih dahulu jika ingin mengetahui hal-hal di luar dirinya.
Manusia ternyata tidak cukup hanya mengkaji tentang alam sekitarnya,
ia selanjutnya juga berpikir tentang Tuhan dan berbagai aspek yang
berhubungan dengan kehidupan. Manusia akhirnya juga berpikir segala
sesuatu tentang dirinya, yaitu siapa, bagaimana, dimana dan untuk apa
manusia itu diciptakan (Khobir, 1997). Manusia adalah makhluk yang
pandai bertanya, bahkan ia mempertanyakan dirinya sendiri,
keberadaannya, dan dunia seluruhnya (van der Weij, 1991).
Berdiskusi tentang manusia akan selalu menarik dan karena menarik
itulah maka masalahnya tidak pernah tuntas laksana sebuah permainan
yang tak kunjung usai. Pertanyaan mengenai manusia selalu saja muncul.
Hal ini menjadi wajar mengingat manusia merupakan makhluk ciptaan
Tuhan yang menakjubkan, makhluk unik multidimensi, serba meliputi,
sangat terbuka, dan mempunyai potensi agung (Nawawi, 1996).
Pertanyaan mengenai “siapakah manusia” tampaknya cukup
sederhana, tetapi tidak mudah menemukan jawaban yang tepat, alih-alih
memuaskan. Orang umumnya akan menjawab pertanyaan tersebut sesuai
latar belakang dan ketertarikanya. Bila ia fokus pada kajian kemampuan
manusia berpikir maka ia akan memberi pengertian manusia dengan
animal rational, hayawan nathiq, atau hewan yang berpikir/bernalar. Jika ia
lebih berfokus pada adanya pembawaan kodrat manusia untuk hidup
bermasyarakat, maka tentu memberi pengertian manusia sebagai zoon
politicon, homo socius, atau makhluk sosial. Seseorang yang menitikberatkan
pada aktivitas manusia untuk mencukupi kebutuhan hidup, maka
pengertiannya adalah homo economicus atau makhluk ekonomi. Sementara
itu, bila sudut pandang seseorang lebih pada keistimewaan manusia
menggunakan simbol-simbol seperti pemikiran Cassirer, maka tentu
pengertian manusia menurutnya adalah animal symbolicum (Basyir, 1984).
Berbeda dengan lainnya, orang yang berpandangan bahwa manusia
adalah makhluk yang selalu membuat bentuk-bentuk baru dari bahan-
bahan alam untuk mencukupi segala kebutuhan hidupnya, maka
pengertian yang diberikan pastilah sama dengan Bergson yaitu homo
faber, hewan pembuat perkakas atau tool-making animal (Heschel, 1965).
Banyak pakar yang mendefinisikan manusia dengan istilah homo
sapiens, artinya makhluk yang mempunyai budi (akal). Revesz menyebut
manusia sebagai homo loquen yaitu makhluk yang pandai menciptakan
Hakekat Manusia dan Pengembangannya 3

bahasa, menjelmakan pikiran dan perasaan dalam kata-kata yang


tersusun. Aristoteles sendiri mengatakan manusia zoon politicon atau
animal ridens, makhluk yang bisa humor. Homo religious yaitu manusia
pada dasarnya beragama (Pulungan, 1984).
Dengan ungkapan yang berbeda kita mengenal pula definisi tentang
manusia yaitu animal educandum, hewan yang memerlukan pendidikan.
Tanpa pendidikan manusia tidak mungkin menjadi manusia atau
mewujudkan kemanusiaannya. Manusia adalah animal educabili, berarti
ia mempunyai potensi untuk dididik atau dikembangkan. Apabila
manusia itu dilahirkan sudah sempurna maka manusia tidak lagi
memerlukan pendidikan. Manusia diciptakan oleh Maha Pencipta
dengan segala kesempurnaannya tetapi juga dilahirkan di dalam berbagai
kelemahannya sebagai manusia, oleh sebab itu ia memerlukan
pendidikan untuk mewujudkan kemanusiaannya sebagai potensi. Harus
diingat pula bahwa proses pendidikan bukan suatu proses satu arah
tetapi suatu proses dua arah antara pendidik dan peserta didik. Tugas
pendidik adalah tugas yang paling tua di dunia ini sebagaimana tugas
seorang ibu sebagai pendidik utama bagi anak-anaknya. Jadi hakikat
manusia bukan hanya sebagai animal educandum, animal educabili, tetapi
juga sebagai animal educator.
Sains modern cenderung memahami manusia dari aspek spasial
dan biologisnya sebagai benda dan hewan. Pemahaman ini maksimal
menempatkan manusia sebagai “hewan plus”. Jiwa manusia, tak lebih
dari metabolisme yang menghasilkan panas dan darah hangat, respirasi
paru-paru, otak yang besar, pikiran terus berpetualang, kreativitas tangan,
ingatan, mimpi, kehendak, organisasi sosial, kekeluargaan, kesadaran,
dan kebudayaan. Ini sejatinya adalah lanjutan dari pemikiran filosofis
Aristoteles yang menempatkan manusia sebagai unit dari kerajaan
hewan. Manusia dalam Aristotelian “secara kodrati adalah hewan
beradab” dan “hewan yang mampu mengumpulkan pengetahuan”,
selain sebagai hewan yang berjalan di atas dua kaki, hewan berpolitik,
satu-satunya hewan yang punya kemampuan memilih, dan sebagai
hewan peniru atau imitative (Nugroho, 2012).
Mengutip pendapat Heschel, lebih lanjut menurut Nugroho (2012)
konsep yang tak kalah buruk dari gagasan “manusia adalah hewan
plus”, adalah konsep modern bahwa manusia itu mesin. Manusia
hanyalah “mesin yang bila kita masukkan makanan ke dalamnya akan
memproduksi pikiran”, suatu “rakitan dan karya pertukangan yang
4 Pengantar Pendidikan

ulung”. Pemikiran ini pertama kali dieksplisitkan oleh La Mettrie (1709-


51) dalam L’Homme machine yang menggambarkan aktivitas psikis
manusia sebagai fungsi-fungsi mekanis dari otak.
Dalam konteks yang lain, menurut Kosasih (2012) pertanyaan filosofis
atau mendasar tentang sosok manusia adalah “What is man, and what of
is man made?”Apa dan terbuat dari apa manusia itu. Untuk menjawab
pertanyaan tersebut banyak filosof dengan pandangan filsafatnya yang
memberikan batasan atau definisi tentang manusia. Sigmund Freud
misalnya berpandangan bahwa hakikat manusia sebenarnya bisa ditinjau
dari struktur jiwa yang dimiliki yang terdiri dari tiga hal, yaitu das Es,
das Ich dan das Uber Ich. Das Es bagian dasar (the Id) yang sama sekali
terisolasi dari dunia luar, hanya mementingkan masalah kesenangan
dan kepuasan (lust principle) yang merupakan sumber nafsu kehidupan,
yakni hasrat-hasrat biologis (libido-seksualis) dan bersifat a-sadar, a-
moral a-sosial dan egoistis. Das Ich (aku = ego), sifatnya lebih baik dari
pada das Es, das Ich dapat mengerti dunia a-sadar, a-sosial dan a-
moral, lebih realistis tapi belum ethis.Yang ketiga das Uber Ich (superego),
ini adalah bagian jiwa yang paling tinggi dan paling sadar norma dan
paling luhur, bagian ini sering dinamakan budinurani (consciencia).
Superego atau das Uber Ich ini selalu menjunjung tinggi nilai-nilai moral,
etika, dan religius.

1. Polarisasi Pemikiran tentang Manusia


Banyaknya definisi tentang manusia, membuktikan bahwa manusia
adalah makhluk multidimensional, manusia memiliki banyak wajah
(Dardiri, 2010). Berdasarkan fakta tersebut, maka Piedade (1986) mencoba
membuat polarisasi pemikiran tentang manusia, yaitu pola pemikiran
biologis, pola pemikiran psikologis, pola pemikiran sosial-budaya, dan
pola pemikiran teologis (Dardiri lebih menyukai menggunakan istilah
religius daripada teologis).

a. Manusia Menurut Pola Pemikiran Biologis


Menurut pola pemikiran ini, manusia dan kemampuan kreatifnya
dikaji dari struktur fisiologisnya. Salah satu tokoh dalam pola ini adalah
Portmann yang berpendapat bahwa kehidupan manusia merupakan
sesuatu yang bersifat sui generis meskipun terdapat kesamaan-kesamaan
tertentu dengan kehidupan hewan atau binatang. Dia menekankan
aktivitas manusia yang khas, yakni bahasa, posisi vertikal tubuh, dan
ritme pertumbuhannya. Semua sifat ini timbul dari kerja sama antara
Hakekat Manusia dan Pengembangannya 5

proses keturunan dan proses sosial-budaya. Aspek individualitas manusia


bersama sifat sosialnya membentuk keterbukaan manusia yang berbeda
dengan ketertutupan dan pembatasan deterministis binatang oleh
lingkungannya. Manusia tidak membiarkan dirinya ditentukan oleh
alam lingkungannya. Menurut pola ini, manusia dipahami dari sisi
internalitas, yaitu manusia sebagai pusat kegiatan internal yang
menggunakan bentuk lahiriah tubuhnya untuk mengekspresikan diri
dalam komunikasi dengan sesamanya.

b. Manusia Menurut Pola Psikolgis


Kekhasan pola ini adalah perpaduan antara metode-metode psikologi
eksperimental dan suatu pendekatan filosofis tertentu, misalnya
fenomenologi. Tokoh-tokoh yang berpengaruh besar pada pola ini antara
lain Ludwig Binswanger, Levis Strauss, dan Erich Fromm. Binswanger
mengembangkan suatu analisis eksistensial yang bertitik tolak dari
psikoanalisis Freud. Namun pendirian Binswanger bertolak belakang
dengan pendirian Freud tentang kawasan bawah sadar manusia yang
terungkap dalam mimpi, nafsu, dan dorongan seksual. Freud dengan
psikoanalisisnya lebih menekankan faktor internal manusia, sementara
pandangan behaviorisme lebih menekankan faktor eksternal. Pandangan
psikologi humanistik lebih menekankan kemampuaan manusia untuk
mengarahkan dirinya, baik karena pengaruh faktor internal maupun
eksternal. Hal ini menunjukkan bahwa manusia tidak serta merta atau
otomatis melakukan suatu tindakan berdasarkan desakan faktor inter-
nal, karena desakan faktor internal bisa saja ditangguhkan
pelaksanaannya.

c. Manusia Menurut Pola Pemikiran Sosial-Budaya


Manusia menurut pola pemikiran ini tampil dalam dimensi sosial
dan kebudayaannya, dalam hubungannya dengan kemampuan untuk
membentuk sejarah. Menurut pola ini, kodrat manusia tidak hanya
mengenal satu bentuk yang uniform (seragam) melainkan berbagai
bentuk. Salah satu tokoh yang termasuk dalam pola ini adalah Erich
Rothacker. Dia berupaya memahami kebudayaan setiap bangsa melalui
suatu proses yang dinamakan reduksi pada jiwa-jiwa nasional dan
melalui mitos-mitos. Reduksi pada jiwa-jiwa nasional adalah proses
mempelajari suatu kebudayaan tertentu dengan mengembalikannya
pada sikap-sikap dasar serta watak etnis yang melahirkan pandangan
bangsa yang bersangkutan tentang dunia, atau weltanschauung.
6 Pengantar Pendidikan

Pengalaman purba itu dapat direduksi lagi. Dengan demikian, meskipun


orang menciptakan dan mengembangkan lingkup kebudayaan
nasionalnya, kemungkinan-kemungkinan pelaksanaan dan
pengembangannya sudah ditentukan, karena semuanya itu sudah
terkandung dalam warisan ras. Tokoh lain yang dapat dimasukkan
dalam pola ini adalah Ernst Cassirer yang merumuskan manusia sebagai
animal symbolicum, makhluk yang pandai menggunakan simbol.

d. Manusia Menurut Pola Pemikiran Religius


Pola pemikiran ini bertolak dari pandangan manusia sebagai homo
religiosus. Salah satu tokohnya adalah Mircea Eliade. Menurut Eliade,
homo religiosus adalah tipe manusia yang hidup dalam suatu alam
yang sakral, penuh dengan nilai-nilai religius dan dapat menikmati
sakralitas yang ada dan tampak pada alam semesta, alam materi, alam
tumbuh-tumbuhan, dan manusia. Pengalaman dan penghayatan akan
Yang Suci ini selanjutnya mempengaruhi, membentuk, dan ikut
menentukan corak serta cara hidupnya. Eliade mempertentangkan
homo religiosus dengan alam homo non-religiosus, yaitu manusia tidak
beragama, manusia modern yang hidup di alam yang sudah
didesakralisasikan, bulat-bulat alamiah, apa adanya, dirasa atau dialami
tanpa sakralitas. Bagi manusia non-religiosus, kehidupan ini tidak
sakral lagi, melainkan profane saja.
Pembahasan hakikat manusia tidak akan pernah selesai apabila hanya
berdasarkan pada pandangan-pandangan manusia sendiri yang
mengandalkan kemampuan akal semata. Oleh karena itu diperlukan
penjelasan dari sumber yang meyakinkan, yaitu sumber yang diperoleh
langsung dari Tuhan sebagai Penciptanya yaitu Al-Qur’an. Bagaimanapun
harus disadari sepenuhnya bahwa manusia tidak lain adalah makhluk
ciptaan Allah SWT yang memiliki fitrah, akal, kalbu, kemauan, dan amanah.
Manusia dengan segenap potensi (kemampuan) kejiwaan naluriah,
seperti akal pikiran, kalbu kemauan yang ditunjang dengan kemampuan
jasmaniahnya, manusia akan mampu melaksanakan amanah Allah
dengan sebaik-baiknya. Pelaksanaan amanah mendorong pencapaian
derajat manusia yang sempurna (beriman, berilmu, dan beramal)
manakala manusia memiliki kemauan serta kemampuan menggunakan
dan mengembangkan segenap kemampuan. Manusia juga dianggap
sebagai khalifah di bumi yang mengemban tanggung jawab sosial yang
berat. Sebagai khalifah, manusia merupakan mahluk sosial yang multi-
interaksi, memiliki tanggung jawab baik kepada Allah maupun kepada
Hakekat Manusia dan Pengembangannya 7

sesama manusia. Hubungan dengan Allah merupakan hubungan yang


harus dibina manusia dimanapun ia berada. Hubungan manusia dengan
manusia harus dibangun atas dasar saling menghargai atau menghormati
agar tercipta suasana ideal, karena sejatinya manusia terbaik adalah
manusia yang paling bermanfaat bagi sesamanya (Hasan, 2006).
Sebagaimana yang terdapat di dalam Al Qur’an, Islam menegaskan
bahwa manusia adalah makhluk Tuhan, baik sebagai makhluk individu
maupun sosial, mempunyai kedudukan yang sama di hadapan-Nya
(Herawati, 2012).
Sehubungan dengan itu, Al-Qur'an memperkenalkan tiga istillah
kunci (key term) yang digunakan untuk menunjukkan arti pokok manusia,
yaitu al-Insan, al-Basyar dan al-Nas. Kata al-Insan dipakai untuk menyebut
manusia dalam konteks kedudukan manusia sebagai makhluk yang
mempunyai kelebihan-kelebihan, yaitu 1) manusia sebagai makhluk
berpikir, 2) makhluk pembawa amanat, dan 3) manusia sebagai makhluk
yang bertanggung jawab pada semua yang diperbuat. Kata insan
menunjuk suatu pengertian adanya kaitan dengan sikap, yang lahir dari
adanya kesadaran penalaran (Asy'arie, 1992) Kata insan digunakan al-
Qur'an untuk menunjukkan kepada manusia dengan seluruh totalitasnya,
jiwa dan raga. Manusia yang berbeda antara seseorang dengan yang
lain adalah akibat perbedaan fisik, mental, dan kecerdasan (Shihab,
1996).
Kata al-Insan yang dengan segala bentuk derivasinya dapat
disimpulkan bahwa secara proses lahirnya diawali dengan konsep spiri-
tual, namun dari aspek fisik mengandung makna jinak sebagai makhluk
yang memiliki sifat keramahan dan kemampuan yang sangat tinggi.
Istilah lain yang sering digunakan dalam al-Qur’an ialah makhluk sosial
dan makhluk kultural (Salim, 2002). Menurut Seha (2010) al-Qur’an
secara konsepsional mencanangkan sesuatu bentuk membangun hidup
bersama, tolong menolong dalam kebaikan dengan konsep ta‘?wun
dalam QS Al-Maidah ayat 2.
Kata al-Basyar dipakai untuk menyebut semua makhluk baik laki-
laki ataupun perempuan, baik satu ataupun banyak. Kata ini memberikan
referensi kepada manusia sebagai makhluk biologis yang mempunyai
bentuk tubuh yang mengalami pertumbuhan dan perekembangan
jasmani. Selanjutnya kata al-Nas, mengacu kepada manusia sebagai
makhluk sosial. Penjelasan konsep ini dapat ditunjukkan dalam dua hal,
yaitu 1) banyak ayat yang menunjukkan kelompok-kelompok sosial
8 Pengantar Pendidikan

dengan karakteristiknya masing-masing yang satu dengan yang lain


belum tentu sama dan 2) pengelompokkan manusia berdasarkan
mayoritas (Hasan, 2004).
Selain ketiga istilah kunci itu, dikenal pula istilah abd Allah, Bani
Adam, Bani Hasyr, dan Khalifah Allah. Konsep Abd Allah menunjukkan
bahwa manusia adalah hamba yang segala bentuk aktivitas
kehidupannya untuk menghambakan diri kepada Allah. Konsep Bani
Adam berarti manusia berasal dari nenek moyang yang sama, yaitu
Adam dan Hawa yang terdiri dari berbagai ras. Konsep Bani Hasyr
menggambarkan manusia sebagai makhluk biologis terdiri dari unsur
materi yang membutuhkan makan dan minum, bukan keturunan
makhluk bukan manusia. Konsep Khalifah Allah menunjukkan manusia
mengemban tugas untuk mewujudkan serta membina sebuah tatanan
kehidupan yang harmonis di bumi (Rakhmat, 2011).

2. Pandangan Para Ahli Mengenai Hakikat Manusia


Prayitno (2009) secara sistematis mengemukakan beberapa
pandangan tentang manusia dengan merujuk dari pandangan-
pandangan para ahli berikut mulai dari pandangan yang paling lama
sampai pada pandangan yang paling baru:
a. Plato. Manusia pada hakikatnya ditandai oleh adanya kesatuan antara
apa yang ada pada dirinya, yaitu pikiran, kehendak, dan nafsu.
b. Hsun Tsu. Manusia pada hakikatnya adalah jahat, oleh karenanya
untuk mengembangkannnya diperlukan latihan dan disiplin yang
keras, terutama disiplin kepada tubuhnya.
c. Agustinus. Manusia merupakan kesatuan jiwa dan badan, yang
dimotivasi oleh prinsip kebahagiaan; kesemuanya itu diwarnai oleh
dosa warisan dari pendahulunya.
d. Descarten. Manusia terdiri dari unsur dualistik, jiwa dan badan. Jiwa tidak
bersifat bendawi, abadi dan tidak dapat mati, sedangkan badan bersifat
bendawi dapat sirna dan menjadi sasaran filsafat fisika. Antara badan
dan jiwa terdapat pertentangan yang berkelanjutan tak terjembatani;
badan dan jiwa itu masing-masing mewujudkan diri dalam berbagai
hal sendiri-sendiri. Namun demikian, manusia adalah jiwanya.
Pandangan yang lebih baru tentang manusia, antara lain
dikemukakan oleh pemikir-pemikir sebagai berikut:
a. Freud. Manusia tidak memegang nasibnya sendiri. Tingkah laku
manusia ditunjukan untuk memenuhi kebutuhan biologis dan insting-
Hakekat Manusia dan Pengembangannya 9

instingnya, dan dikendalikan oleh pengalaman-pengalaman masa


lampau, dan ditentukan oleh faktor-faktor interpersonal dan intrapsikis.
b. Adler. Manusia tidak semata-mata bertujuan memuaskan dorongan-
dorongan dirinya, tetapi juga termotivasi untuk melaksanakan
tanggung jawab sosial dan pemenuhan kebutuhan dalam mencapai
segala sesuatu. Tingkah laku individu ditentukan oleh lingkungan,
pembawaan, dan individu itu sendiri.
c. Rogers. Manusia adalah makhluk rasional, tersosialisasikan, dan dapat
menentukan nasibnya sendiri. Dalam kondisi yang memungkinkan,
manusia akan mampu mengarahkan diri sendiri, maju, dan menjadi
individu yang positif dan konstruktif.
d. Skinner. Manusia adalah makhluk reaktif yang tingkah lakunya
dikontrol oleh faktor-faktor di luar dirinya. Tingkah laku manusia
dipelajari ketika individu berinteraksi dengan lingkungannya, melalui
hukum-hukum belajar.
e. Glasser. Tindakan manusia didorong untuk memenuhi kebutuhan
dasar (baik psikologikal maupun fisiologikal), yang sama untuk semua
orang. Kebutuhan fisologikal adalah segala sesuatu untuk
mempertahankan kesadaran organisme, sedangkan kebutuhan
psikologikal terarah untuk mencintai dan dicintai, serta berguna bagi
diri sendiri dan orang lain.
f. Ellis. Manusia memiliki kemampuan inheren untuk berbuat secara
rasional ataupun tidak rasional. Berpikir dan merasa itu sangat dekat
dan bergandengan satu sama lain: pikiran seseorang dapat menjadi
perasaannya, dan sebaliknya.
g. Sartre. Manusia dipandang sebagai nol yang me-nol-kan diri, pour
soi yang dirinya itu bukan merupakan objek, melainkan subjek, dan
secara kodrati dirinya itu adalah bebas.

B. Wujud Sifat Hakikat Manusia


Kaum eksistensialis berpandangan bahwa wujud sifat hakikat
manusia terdiri dari tujuh, meliputi kemampuan menyadari diri,
kemampuan bereksistensi, kata hati, tanggung jawab, rasa kebebasan,
kewajiban dan hak, dan kemampuan menghayati kebahagiaan
(Tirtarahardja & Sulo, 2005). Uraian dari masing-masing wujud sifat
hakikat tersebut akan diuraikan satu persatu, sebagai berikut.

1. Kemampuan menyadari diri


Kemampuan menyadari diri adalah bahwa manusia itu berbeda
dengan makhluk lain, karena manusia mampu mengambil jarak dengan
10 Pengantar Pendidikan

obyeknya termasuk mengambil jarak terhadap dirinya sendiri. Dia bisa


mengambil jarak terhadap obyek di luar maupun ke dalam diri sendiri.
Pengambilan jarak terhadap obyek di luar memungkinkan manusia
mengembangkan aspek sosialnya, sedangkan pengambilan jarak
terhadap diri sendiri, memungkinkaan manusia mengembangkan aspek
individualnya.

2. Kemampuan bereksistensi
Adanya kemampuan mengambil jarak dengan obyekya berarti
manusia mampu menembus atau menerobos dan mengatasi batas-batas
yang membelenggu dirinya. Kemampuan menerobos ini bukan hanya
dalam kaitannya dengan soal ruang melainkan juga soal waktu. Manusia
tidak terbelenggu oleh ruang (di ruang ini atau di sini), dia juga tidak
terbelenggu oleh waktu (waktu ini atau sekarang ini), tetapi mampu
menembus ke masa depan atau ke masa lampau. Kemampuan
menempatkan diri dan menembus inilah yang disebut kemampuan
bereksistensi. Justru karena mampu bereksistensi inilah, maka dalam
dirinya terdapat unsur kebebasan.

3. Kata hati
Kata hati adalah kemampuan membuat keputusan tentang yang
baik dan yang buruk bagi manusia sebagai manusia. Orang yang tidak
memiliki pertimbangan dan kemampuan untuk mengambil keputusan
tentang yang baik atau yang buruk, atau pun kemampuannya dalam
mengambil keputusan tersebut dari sudut pandang tertentu saja,
misalnya dari sudut kepentingannya sendiri dikatakan bahwa kata
hatinya tidak cukup tajam. Manusia memiliki pengertian yang menyertai
tentang apa yang akan, yang sedang, dan yang telah dibuatnya, bahkan
mengerti pula akibat keputusannya baik atau buruk bagi manusia
sebagai manusia.

4. Tanggung jawab
Tanggung jawab adalah kesediaan untuk menanggung akibat dari
perbuatan yang menuntut jawab. Wujud tanggung jawab bermacam-
macam. Ada tanggung jawab kepada diri sendiri, kepada masyarakat
dan kepada Tuhan. Tanggung jawab kepada diri sendiri berarti
menanggung tuntutan kata hati, misalnya dalam bentuk penyesalan
yang mendalam. Tanggung jawab kepada masyarakat berarti
menanggung tuntutan norma-norma sosial, yang berarti siap
Hakekat Manusia dan Pengembangannya 11

menanggung sanksi sosial manakala tanggung jawab sosial itu tidak


dilaksanakan. Tanggung jawab kepada Tuhan berarti menanggung
tuntutannorma-norma agama, seperti siap menanggung perasaan
berdosa, terkutuk, dan sebagainya.

5. Rasa kebebasan
Rasa kebebasan adalah perasaan yang dimiliki oleh manusia untuk
tidak terikat oleh sesuatu, selain terikat (sesuai) dengan tuntutan
kodrat manusia. Manusia bebas berbuat sepanjang tidak bertentangan
(sesuai) dengan tuntutan kodratnya sebagai manusia. Orang mungkin
hanya merasakan adanya kebebasan batin apabila ikatan-ikatan yang
ada telah menyatu dengan dirinya, dan menjiwai segenap
perbuatannya.

6. Kewajiban dan hak


Kewajiban dan hak adalah dua macam gejala yang timbul sebagai
manifestasi dari manusia sebagai makhluk sosial. Keduanya tidak bisa
dilepaskan satu sama lain, karena yang satu mengandaikan yang lain.
Hak tak ada tanpa kewajiban, dan sebaliknya. Kenyataan sehari-hari
menunjukkan bahwa hak sering diasosiasikan dengan sesuatu yang
menyenangkan, sedangkan kewajiban sering diasosiasikan dengan beban.
Ternyata, kewajiban itu suatu keniscayaan, artinya, selama seseorang
menyebut dirinya manusia dan mau dipandang sebagai manusia, maka
wajib itu menjadi suatu keniscayaan, karena jika mengelaknya berarti
dia mengingkari kemanusiaannya sebagai makhluk sosial.

7. Kemampuan menghayati kebahagiaan


Kebahagiaan manusia itu tidak terletak pada keadaannya sendiri
secara faktual, atau pun pada rangkaian prosesnya, maupun pada
perasaan yang diakibatkannya, tetapi terletak pada kesanggupannya
atau kemampuannya menghayati semuanya itu dengan keheningan
jiwa, dan mendudukkan hal-hal tersebut dalam rangkaian atau ikatan
tiga hal, yaitu usaha, norma-norma dan takdir.

C. Manusia Sebagai Makhluk Monoprularis dan Monodualis


Hakikat manusia bila dikaitkan pada kesatuan unsur-unsur yang
membentuknya, ada yang mengatakan monodualis dan juga monopluralis.
Pandangan monodualis menetapkan hakikat manusia pada kesatuan dua
unsur. Kata mono berasal dari bahasa Yunani, yaitu monos yang berarti
12 Pengantar Pendidikan

tunggal atau satu dan dualism (dualist) yang berarti dua. Monodualis
berarti suatu keadaan yang terbagi dua atau terdiri dari dua bagian tetapi
terikat satu. Pandanga monodualis menggap manusia tidak dilihat dari
asas-asas pembentukan dirinya seperti monisme atau pluralisme, secara
fungsional manusia hidup dan berada baik dari aspek dualitas maupun
pluralitas metafisik. Sementara itu, pluralis merupakan kualitas atau
kondisi tentang ada lebih dari satu bagian atau bentuk. Pandangan
monopluralis meletakkan hakikat manusia pada kesatuan semua unsur
yang membentuknya (Asy’arie, 2001).
Manusia adalah makhluk monopluralis, maksudnya makhluk yang
memiliki banyak unsur kodrat (plural), tetapi merupakan satu kesatuan
yang utuh (mono). Jadi, manusia terdiri dari banyak unsur kodrat yang
merupakan satu kesatuan yang utuh. Dilihat dari segi kedudukan, susunan,
dan sifatnya masing-masing bersifat monodualis. Riciannya yaitu dilihat
dari kedudukan kodratnya manusia adalah makhluk monodualis; terdiri
dari dua unsur (dualis), tetapi merupakan satu kesatuan (mono); yakni
sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri sekaligus sebagai makhluk Tuhan.
Dilihat dari susunan kodratnya, manusia sebagai makhluk monodualis,
terdiri dari dua unsur yakni unsur raga dan unsur jiwa (dualis), tetapi
merupakan satu kesatuan yang utuh (mono). Dilihat dari sifat kodratnya,
manusia juga sebagai makhluk monodualis, yakni terdiri dari unsur
individual dan unsur sosial (dualis), tetapi merupakan satu kesatuan
yang utuh (mono) (Dardiri, 2010; Dardiri, 2011).
Kesepuluh unsur kodrati manusia tersebut seperti pada Gambar 1.1
berikut.

Raga pribadi Makhluk


berdiri sendiri Kedudukan Tuhan

Anorganik Akal
Vegetatif Raga Susunan Jiwa Kehendak
Animal Rasa

Individu Sifat Sosial

Gambar 1.1 Sepuluh Unsur Kodrati Manusia


(Sumber: Dardiri, 2011)
Hakekat Manusia dan Pengembangannya 13

Menurut sudut pandang susunan kodrat manusia monodualis,


manusia hakikatnya adalah tersusun atas jiwa dan raga. Jiwa tanpa raga
bukan manusia, demikian juga raga tanpa jiwa juga bukan manusia,
dengan demikian jelaslah bahwa manusia ini disusun atas dua hal
tersebut. Jiwa manusia ini tersusun atas sumber daya: akal, rasa,
kehendak, sedangkan raga manusia tersusun atas zat benda mati, zat
nabati, dan zat hewani.
Menurut sudut pandang sifat kodrat manusia monodualis, manusia
hakikatnya adalah bersifat individu dan juga bersifat sosial. Hal ini
dapat dibuktikan bahwa manusia dapat merasakan bahwa sewaktu-
waktu sifat individunya yang lebih besar dan dapat juga sewaktu-waktu
sifat sosialnya yang lebih dominan. Dua sifat kodrat ini tidak dapat
dihilangkan salah satu atau kedua-duanya, karena merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan sebagai unsur kodrat manusia. Sifat
kodrat manusia sebagai makhluk sosial, dalam kehidupannya tidak
dapat hidup sendiri namun selalu membutuhkan orang lain dalam
bentuk hubungan interaksi sosial, dan dari interaksi akan menumbuhkan
suatu komunitas atau masyarakat.
Menurut sudut pandang sifat kodrat manusia monodualis, manusia
adalah makhluk pribadi berdiri sendiri sekaligus sebagai makhluk Tuhan.
Sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri, manusia dalam batas-batas
tertentu memiliki kemauan bebas (free will) yang menjadikan manusia
memiliki kemandirian dan kebebasan. Sebagai makhluk Tuhan, manusia
tidak bisa melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan Tuhan (takdir-Nya).

D. Dimensi Hakikat Manusia


Manusia adalah makhluk berdimensi banyak, yakni dimensi
keindividualan, dimensi kesosialan, dimensi kesusilaan, dimensi
keberagamaan (religiusitas), dimensi kesejarahan (historis), dimensi
komunikasi, dan dimensi dinamika.

1. Dimensi Keindividualan
Manusia adalah suatu kesatuan yang tak dapat dibagi-bagi antara
aspek jasmani dan rohani. Manusia juga bersifat unik atau khas, artinya
berbeda antara manusia yang satu dengan manusia lainnya baik secara
fisik, psikis, maupun sosial. Menurut Tirtarahardja & Sulo (2005) setiap
individu memiliki keunikan. Setiap anak manusia sebagai individu
ketika dilahirkan telah dikaruniai potensi untuk menjadi diri sendiri,
14 Pengantar Pendidikan

berbeda dari yang lain. Tidak ada diri individu yang identik dengan
orang lain di dunia ini, bahkan dua anak kembar sejak lahir tidak bisa
dikatakan identik. Adanya individualitas ini menyebabkan setiap orang
memiliki kehendak, perasaan, cita-cita, kecenderungan, semangat, dan
daya tahan yang berbeda.
Individu dalam diri manusia terkait dengan sisi luar manusia
atau jasmani. Dengan individualitasnya manusia ada di dunia, sehingga
ia mampu berinteraksi dengan sesama dan lingkungannya.
Individualitas dalam setiap diri manusia berbeda dengan yang lain.
Individualitas dalam diri manusia berdasarkan pada sisi rohani, ini
membuat manusia bukan sebuah ulangan dari suatu jenis. Manusia
itu berharga karena dirinya sendiri dan bukan karena kesamaan dengan
jenisnya. Perbedaan manusia dengan sesamanya tidak bersifat
kuantitatif tetapi bersifat kualitatif. Individualitas membuat manusia
mampu menampakkan sisi personalitasnya, yang membuat manusia
memiliki keunikan dari sesamanya (Sneijders, 2004).
Individu adalah ”orang-seorang”, sesuatu yang merupakan suatu
keutuhan yang tidak dapat dibagi-bagi (in devide). Setiap orang
memiliki individualitas. Kesanggupan untuk memikul tanggung jawab
sendiri merupan ciri yang yang sangat esensial dari adanya
individualitas pada diri manusia. Setiap anak memiliki dorongan
untuk mandiri yang sangat kuat, meskipun di sisi lain pada anak
terdapat rasa tidak berdaya, sehingga memerlukan pihak lain yang
dapat dijadikan tempat bergantung untuk memberi perlindungan dan
bimbingan.
Manusia sebagai makhluk individu, tidak hanya dalam arti
makhluk keseluruhan jiwa raga, melainkan juga dalam arti bahwa
tiap-tiap orang itu merupakan pribadi (individu) yang khas menurut
corak kepribadiannya, termasuk kecakapan-kecakapan serta kelemahan-
kelemahannya. Individu adalah seorang manusia yang tidak hanya
memiliki peranan yang khas di dalam lingkungan sosialnya, melainkan
juga memiliki kepribadian serta pola tingkah laku spesifik dirinya.
Persepsi terhadap individu atau hasil pengamatan manusia dengan
segala maknanya merupakan suatu keutuhan ciptaan Tuhan yang
mempunyai tiga aspek melekat pada dirinya, yaitu aspek organik
jasmaniah, aspek psikis rohaniah, dan aspek sosial kebersamaan. Ketiga
aspek tersebut saling mempengaruhi, keguncangan pada satu aspek
akan membawa akibat pada aspek yang lainnya (Soelaeman, 1988).
Hakekat Manusia dan Pengembangannya 15

2. Dimensi Kesosialan
Manusia itu pada dasarnya adalah mahluk yang mampu
bermasyarakat, memiliki kecenderungan untuk bekerja sama, bergotong-
royong, dan saling tolong-menolong. Menurut Tirtarahardja & Sulo
(2005) setiap manusia dilahirkan telah dikaruniai potensi untuk hidup
bersama dengan orang lain. Manusia dilahirkan memiliki potensi sebagai
makhluk sosial. Menurut Immanuel Kant, manusia hanya menjadi
manusia jika berada di antara manusia. Hidup bersama dan berada di
antara manusia lain, akan memungkinkan seseorang dapat
mengembangkan kemanusiaannya. Sebagai makhluk sosial, manusia
saling berinteraksi. Hanya dalam berinteraksi dengan sesamanya, dalam
saling menerima dan memberi seseorang menyadari dan menghayati
kemanusiaannya.
Dimensi sosial ini mambuat manusia tidak dapat hidup seorang
diri. Manusia senantiasa membutuhkan sesamanya. Kehadiran sesama
dalam hidup manusia semakin membuat manusia menyadari dirinya.
Oleh karena itu, manusia selalu hidup pada suatu kelompok sosial
tertentu, dimana ia dapat belajar tentang nilai-nilai budaya yang
diciptakan oleh generasi sebelumnya. Kondisi ini akan membuat manusia
bertindak secara khas sebagai manusia. Kehadiran sesama bagi manusia
juga membuat hidupnya semakin memiliki arti (Sneijders, 2004).
Hidup bersama dengan sesama membuat hidup manusia selalu
terkait dalam relasi dengan sesamanya. Terkait dengan itu, Bertens
(1990) mengutip pendapat Martin Buber bahwa dalam diri manusia
terdapat dua jenis relasi yang mendasar. Relasi tersebut ialah relasi aku-
objek (I-it) serta relasi aku-engkau (I-thou). Relasi aku-objek (I-it) berarti
manusia dapat mempergunakan serta menguasai objek dengan sesuka
hatinya. Relasi aku-engkau (I-thou) manusia menghargai sesamanya
dengan segala keunikannya. Sesama dipandang sebagai anugerah yang
akan semakin menyempurnakan setiap person yang terlibat dalam
relasi tersebut.

3. Dimensi Kesusilaan (Moralitas)


Manusia ketika dilahirkan bukan hanya dikaruniai potensi
individualitas dan sosialitas, melainkan juga potensi moralitas atau
kesusilaan. Eksistensi manusia memiliki dimensi moralitas. Manusia
memiliki dimensi moralitas sebab ia memiliki kata hati yang dapat
membedakan antara baik dan jahat. Adapun menurut Immanuel Kant
16 Pengantar Pendidikan

disebabkan pada manusia terdapat rasio praktis yang memberikan


perintah mutlak atau categorical imperative (van der Weij, 1991). Manusia
adalah mahluk yang memiliki keterikatan dengan nilai-nilai dan norma-
norma, baik norma masyarakat, norma agama, maupun norma hukum.
Manusia memiliki kata hati artinya mampu membedakan hal yang baik
dengan yang tidak baik (buruk).
Menurut Tirtarahardja & Sulo (2005) dimensi kesusilaan atau
moralitas maksudnya adalah bahwa dalam diri manusia ada kemampuan
untuk berbuat kebaikan seperti bersikap jujur dan bersikap/berlaku adil.
Manusia susila adalah manusia yang memiliki nilai-nilai, menghayati,
dan melaksanakan nilai-nilai tersebut. Agar anak dapat berkembang
dimensi moralitasnya, diperlukan upaya pengembangan dengan banyak
diberi kesempatan untuk melakukan kebaikan.
Kebebasan manusia bukanlah kebebasan yang mutlak tetapi kebebasan
yang bertanggungjawab. Kebebasan manusia memiliki batasan-batasan,
seperti faktor dari luar dan faktor dari dalam. Faktor yang membatasi
kebebasan manusia dari luar adalah lingkungan dan pendidikan, sedangkan
faktor yang membatasi dari dalam adalah bakat serta kemampuan.
Kebebasan manusia juga memiliki aturan dalam berbagai norma, seperti
norma kesopanan, norma etiket, norma sosial, norma moral, norma agama,
norma adat istiadat, dan norma hukum (Azani, 2012).

4. Dimensi Keberagamaan (Religiusitas)


Religiusitas adalah seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh
keyakinan, seberapa pelaksanaan ibadah dan kaidah, dan seberapa
dalam penghayatan atas agama yang dianut (Nashori & Diana, 2002).
Manusia adalah makhluk religius, memiliki kecenderungan untuk
mengakui, menyadari, dan meyakini akan adanya zat yang memiliki
kekuatan supranatural di luar dirinya atau adanya yang Maha (Maha
Esa, Maha Kuasa, dan Maha Besar). Manusia memiliki dorongan untuk
menyembah Tuhan (Assegaf, 2005). Beragama (menyembah Tuhan)
merupakan kebutuhan manusia karena manusia adalah makhluk yang
lemah sehingga memerlukan tempat bertopang. Manusia memerlukan
agama demi keselamatan hidupnya. Dapat dikatakan bahwa agama
menjadi sandaran vertikal manusia. Manusia dapat menghayati agama
melalui proses pendidikan agama.
Menurut Tirtarahardja & Sulo (2005) sesuatu yang disebut
supranatural itu dalam sejarah manusia disebut dengan berbagai nama
Hakekat Manusia dan Pengembangannya 17

sebutan, satu di antaranya adalah sebutan Tuhan. Sebagai orang yang


beragama, manusia meyakini bahwa Tuhan telah mewahyukan kepada
manusia pilihan yang disebut rasul yang dengan wahyu Tuhan tersebut,
manusia dibimbing ke arah yang lebih baik, lebih sempurna dan lebih
bertakwa.
Segala bentuk tanggung jawab pribadi dan sosialnya adalah
manifestasi diri sebagai hamba Tuhan, atas amanah-Nya untuk menjadi
khalifah di muka bumi. Dengan demikian, upaya untuk dapat memayu
hayuning bawana (selalu berusaha mempercantik kecantikan dunia) dapat
dilakukan dengan budi pekerti atau perilaku yang arif dan bijaksana.
Manusia sebagai makhluk Tuhan, dalam konteks agama juga memiliki
kewajiban untuk selalu berdakwah dan menebarkan amar ma’ruf nahi
mungkar (Ilyas, 2003).

5. Dimensi Kesejarahan (Historis)


Dunia manusia bukan sekedar suatu dunia vital seperti pada hewan-
hewan. Manusia tidak identik dengan sebuah organisme. Kehidupannya
lebih dari sekedar peristiwa biologis semata. Berbeda dengan kehidupan
hewan, manusia menghayati hidup ini sebagai “hidupku” dan
“hidupmu”- sebagai tugas bagi sang aku dalam masyarakat tertentu
pada kurun sejarah tertentu. Keunikan hidup manusia ini tercermin
dalam keunikan setiap biografi dan sejarah. Dimensi kesejarahan ini
bertolak dari pandangan bahwa manusia adalah makhluk historis,
makhluk yang mampu menghayati hidup di masa lampau, masa kini,
dan mampu membuat rencana-rencana kegiatan-kegiatan di masa yang
akan datang. Dengan kata lain, manusia adalah makhluk yang
menyejarah (Tirtarahardja & Sulo, 2005). Manusia dan sejarah tidak
dapat dipisahkan, sejarah tanpa manusia adalah khayal. Manusia dan
sejarah merupakan kesatuan dengan manusia sebagai subyek dan obyek
sejarah. Bila manusia dipisahkan dari sejarah maka ia bukan manusia
lagi, tetapi sejenis mahluk biasa, seperti hewan (Ali, 2005).
Keberadaan manusia pada saat ini terpaut kepada masa lalunya, ia
belum selesai mewujudkan dirinya sebagai manusia, ia mengarah ke
masa depan untuk mencapai tujuan hidupnya. Sementara itu menurut
Nata (2002) manusia adalah makhluk yang historis. Hakikat manusia
sendiri adalah suatu sejarah, suatu peristiwa yang bukan semata-mata
datum. Hakikat manusia hanya dapat di lihat dalama perjalanan
sejarahnya, dalam sejarah bangsa manusia. Apa yang di peroleh dari
pengamatan atas pengalaman manusia adalah suatu rangkaian
18 Pengantar Pendidikan

anthropological constants yaitu dorongan-dorongan dan orientasi yang


tetap. Anthropological constants yang dapat ditarik dari pengalaman
sejarah umat manusia, yaitu (1) relasi manusia dengan kejasmanian,
alam, dan lingkungan ekologis; (2) keterlibatan dengan sesama; (3)
keterikatan dengan struktur sosial dan institusional; (4) ketergantungan
masyarakat dan kebudayaan pada waktu dan tempat; (5) hubungan
timbal balik antara teori dan praktis; (6) kesadaran religius dan
parareligius. Keenam anthropological constants ini merupakan suatu
sintesis dan masing-masing saling berpanguruh satu dengan lainnya.

6. Dimensi Komunikasi
Kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dari aktivitas
komunikasi, karena komunikasi merupakan bagian integral dari sistem
dan tatanan kehidupan sosial manusia. Aktivitas komunikasi dapat
dilihat pada setiap aspek kehidupan manusia, sejak bangun tidur sampai
beranjak tidur. Manusia berinteraksi atau berkomunikasi baik secara
vertikal (dengan Tuhannya) maupun secara horizontal (dengan sesama
manusia dan alam semesta) untuk mencapai tujuan hidupnya.
Komunikasi merupakan proses menyamakan persepsi, pikiran, dan
rasa antara komunikator dengan komunikan. Menurut Effendy (2006)
secara paradigmatis, komunikasi adalah proses penyampaian suatu
pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau
mengubah sikap, pendapat, atau perilaku, baik langsung secara lisan
maupun tak langsung melalui media.
Komunikasi merupakan suatu proses sosial yang sangat mendasar
dan vital dalam kehidupan manusia. Dikatakan mendasar karena setiap
masyarakat manusia, baik yang primitif maupun yang modern,
berkeinginan mempertahankan suatu persetujuan mengenai berbagai
aturan sosial melalui komunikasi. Dikatakan vital karena setiap individu
memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan individu-individu
lainnya sehingga meningkatkan kesempatan individu itu untuk tetap
hidup (Rakhmat, 1998).
Komunikasi antar manusia merupakan suatu rangkaian proses yang
halus dan sederhana. Komunikasi selalu dipenuhi berbagai unsur-sinyal,
sandi, dan arti, tak peduli bagaimana sederhananya sebuah pesan atau
kegiatan itu. Komunikasi antar manusia juga merupakan rangkaian
proses yang beraneka ragam. Ia dapat menggunakan beratus-ratus alat
yang berbeda, ketika manusia berinteraksi saat itulah mereka
berkomunikasi (Blake & Haroldsen, 2003).
Hakekat Manusia dan Pengembangannya 19

7. Dimensi Dinamika
Menurut Drijakarja, manusia mempunyai atau berupa dinamika
(manusia sebagai dinamika), artinya manusia tidak pernah berhenti,
selalu dalam keaktifan, baik dalam aspek fisiologik maupun spiritualnya.
Dinamika mempunyai arah horisontal (ke arah sesame dan dunia)
maupun arah transendental (ke arah Yang Mutlak). Adapun dinamika
itu adalah untuk penyempurnaan diri baik dalam hubungannya dengan
sesama, dunia dan Tuhan. Manusia adalah subjek, sebab itu ia dapat
mengontrol dinamikanya. Namun demikian karena ia adalah kesatuan
jasmani-rohani (yang mana ia dibekali nafsu), sebagai insan sosial, dan
sebagainya, maka dinamika itu tidak sepenuhnya selalu dapat
dikuasainya. Terkadang muncul dorongan-dorongan negatif yang
bertentangan dengan apa yang seharusnya, kadang muncul pengaruh
negatif dari sesamanya yang tidak sesuai dengan kehendaknya, kadang
muncul kesombongan yang tidak seharusnya diwujudkan, kadang
individualitasnya terlalu dominan atas sosialitasnya, dan sebagainya.
Sehubungan dengan itu, idealnya manusia harus secara sengaja dan
secara prinsipal menguasai dirinya agar dinamikanya itu betul-betul
sesuai dengan arah yang seharusnya (Suyitno, 2010).

E. Pengembangan Potensi dan Hakikat Manusia


Kajian tentang manusia dengan segala hakikat, dimensi dan
potensinya tetap amat penting serta menarik untuk dilakukan dan
dikembangkan (Amir, 2012). Manusia adalah makhluk yang memiliki
kemanusiaan manusianya (hakikat, dimensi dan potensi) yang dapat
menjadi objek dan subjek pendidikan serta sumber pendidikan itu
sendiri bagi pengembangan diri. Pendidikan harus berpijak pada
kemanusiaan yang dimiliki oleh manusia, karena kemanusiaan manusia
itu tidak akan bisa berkembang tanpa adanya pelayanan pendidikan
terhadapnya (Prayitno, 2009). Berikut ini akan diuraikan potensi manusia
dan pengembangannya serta hakikat dan dimensi.

1. Potensi Manusia dan Pengembangannya


Berbeda dengan makhluk lainnya, manusia adalah ciptaan Allah
yang paling potensial. Potensi yang dibekali oleh Allah untuk manusia
sangatlah lengkap dan sempurna. Hal ini menyebabkan manusia mampu
mengembangkan dirinya melalui potensi-potensi (innate potentials atau
innate tendencies) tersebut. Secara fisik manusia terus tumbuh, secara
mental manusia terus berkembang, mengalami kematangan dan
20 Pengantar Pendidikan

perubahan. Kesemua itu adalah bagian dari potensi yang diberikan


Allah kepada manusia sebagai ciptaan pilihan. Potensi yang diberikan
kepada manusia itu sejalan dengan sifat-sifat Tuhan, dan dalam batas
kadar dan kemampuannya sebagai manusia. Jika tidak demikianmaka
manusia akan mengaku dirinya Tuhan (Langgulung, 2008).
Jalaluddin (2003) dan Khasinah (2013) mengatakan bahwa ada 4 potensi
yang utama yang merupakan fitrah dari Allah kepada manusia, yaitu.

a. Potensi Naluriah (Emosional) atau Hidayat al-Ghariziyyat


Potensi naluriah ini memiliki beberapa dorongan yang berasal dari
dalam diri manusia. Dorongan-dorongan ini merupakan potensi atau
fitrah yang diperoleh manusia tanpa melalui proses belajar. Makanya
potensi ini disebut juga potensi instingtif, dan potensi ini siap pakai
sesuai dengan kebutuhan manusia dan kematangan perkembangannya.
Dorongan yang pertama adalah insting untuk kelangsungan hidup
seperti kebutuhan akan makan, minum penyesuaian diri dengan
lingkungan. Dorongan yang kedua adalah dorongan untuk
mempertahankan diri. Dorongan ini bisa berwujud emosi atau nafsu
marah, dan mempertahankan diri dari berbagai macam ancaman dari
luar dirinya, yang melahirkan kebutuhan akan perlindungan seprti
senjata, rumah, dan sebagainya. Dorongan yang ketiga adalah dorongan
untuk berkembang biak atau meneruskan keturunan, yaitu naluri seksual.
Dengan dorongan ini manusia bisa tetap mengembangkan jenisnya dari
generasi ke generasi.

b. Potensi Inderawi (Fisikal) atau Hidayat al-Hasiyyat


Potensi fisik ini bisa dijabarkan atas anggota tubuh atau indra-indra
yang dimiliki manusia seperti indra penglihatan, pendengaran, penciuman,
peraba dan perasa. Potensi ini difungsikan melalui indra-indra yang sudah
siap pakai hidung, telinga, mata, lidah, kulit, otak dan sisten saraf manusia.
Pada dasarnya potensi fisik ini digunakan manusia untuh mengetahui hal-
hal yang ada di luar diri mereka, seperti warna, rasa, suara, bau, bentuk
ataupun ukuran sesuatu. Jadi bisa dikatkan poetensi merupakan alat bantu
atau media bagi manusia untuk mengenal hal-hal di luar dirinya. Potensi
fisikal dan emosional ini terdapat juga pada binatang.

c. Potensi Akal (Intelektual) atau Hidayat al-Aqliyat


Potensi akal atau intelektual hanya diberikan Allah kepada manusia
sehingga potensi inilah yang benar-benar membuat manusia menjadi
makhluk sempurna dan membedakannya dengan binatang. Potensi
Hakekat Manusia dan Pengembangannya 21

akal memberi kemampuan kepada manusia untuk memahami


simbolsimbol, hal-hal yang abstrak, menganalisa, membandingkan,
maupun membuat kesimpulan yang akhirnya memilih dan memisahkan
antara yang benar dengan yang salah. Kebenaran akal mendorong
manusia berkreasi dan berinovasi dalam menciptakan kebudayaan serta
peradaban. Manusia dengan kemampuan akalnya mampu menguasai
ilmu pengetahuan dan teknologi, mengubah serta merekayasa
lingkungannya, menuju situasi kehidupan yang lebih baik, aman, dan
nyaman.

d. Potensi Agama (Spiritual) atau Hidayat al-Diniyyat


Selain potensi akal, sejak awal manusia telah dibekali dengan fitrah
beragama atau kecenderungan pada agama. Fitrah ini akan mendorong
manusia untuk mengakui dan mengabdi kepada sesuatu yang
dianggapnya memiliki kelebihan dan kekuatan yang lebih besar dari
manusia itu sendiri. Nantinya, pengakuan dan pengabdian ini akan
melahirkan berbagai macam bentuk ritual atau upacara-upacara sakral
yang merupakan wujud penyembahan manusia kepada Tuhannya.
Dalam pandangan Islam kecenderungan kepada agama ini merupakan
dorongan yang bersal dari dalam diri manusia sendiri yang merupakan
anugerah dari Allah.
Keempat potensi dasar manusia seperti yang dijelaskan di atas
harus dikembangkan agar bisa berfungsi secara optimal dan dapat
mencapai tujuan yang sebenarnya. Pengembangan potensi manusia ini
harus dilakukan secara terarah, bertahap dan berkelanjutan serta dapat
dilakukan dengan berbagai cara dan pendekatan. Jalaluddin (2003) dan
Khasinah (2013) mengatakan ada beberapa pendekatan yang bisa
digunakan dalam mengembangkan potensi manusia.

a. Pendekatan Filosofis
Menurut pandangan filosofis manusia diciptakan untuk memberikan
kesetiaan, mengabdi dan menyembah hanya kepada penciptanya.
Manusia memang diciptakan untuk taat dan mengabdi kepada
penciptanya. Sesuai dengan kakikat penciptaannya, maka keberadaan
atau eksistensi manusia itu baru akan berarti, bermakna dan bernilai
apabila pola hidup manusia telah sesuai dengan blue-print yang sudah
ditetapkan oleh Tuhan. Pengembangan potensi manusia harus bisa
mengarahkan manusia untuk menjadi abdi Tuhannya dan mengikuti
nilai-nilai yang benar menurut kebenaran ilahiah yang hakiki.
22 Pengantar Pendidikan

b. Pendekatan Kronologis
Pendekatan kronologis memandang manusia sebagai makhluk
evolutif. Manusia tumbuh dan berkembang secara bertahap dan
berangsur. Petumbuhan fisik dan mental manusia diawali dari proses
konsepsi, pada tahap selanjutnya menjadi janin, kemudian lahir menjadi
bayi, anak-anak, remaja, dewasa hingga meninggal. Hal ini terjadi
sesuai dengan tahapan-tahapan pertumbuhan dan perkembangan yang
berlaku. Pengembangan potensi manusia juga harus mengikuti
pertumbuhan fisiknya dan perkembangan mentalnya, artinya
pengembangan potensi manusia harus diarahkan dan dibina sesuai
tahapan-tahapan tumbuh kembang manusia.

c. Pendekatan Fungsional
Potensi-potensi yang dimiliki manusia diberikan Tuhan untuk dapat
dipergunakan dan difungsikan dalan kehidupan mereka. Karena tidak
mungkin Tuhan menciptakan sesuatu yang tidak bermanfaat. Semua
ciptaan Tuhan mempunyai maksud dan tujuan, temasuk potensi-potensi
yang diberikan kepada manusia. Pengembangan potensi manusia harus
dilaksanakan sesuai dengan manfaat dan fungsi potensi itu sendiri.
Misalnya, dorongan seksual, harus dibina dan diarahkan untuk menjaga
kelestarian jenis manusia, bukan untuk berbuat maksiat atau mencari
kesenangan semata. Dorongan naluri lain lainnya seperti makan, minum
dan mempertahankan diri harus diarahkan untuk kelangsungan hidup,
bukan mengumbar nafsu.

d. Pendekatan Sosial
Pendekatan ini memandang manusia sebagai makhluk sosial.
Manusia dianggap sebagai makhluk yang cenderung untuk hidup
bersama dalam kelompok kecil (keluarga) maupun besar (masyarakat).
Sebagai makhluk sosial manusia harus mampu mengembangkan
potensinya untuk bisa berinteraksi di dalam lingkungannya dan mampu
memainkan peran dan fungsinya di tengah lingkungannya. Dalam
upaya mengembangkan potensi-potensinya manusia membutuhkan
dukungan dan bantuan dari pihak lain di luar dirinya untuk
membimbing, mengarahkan, dan menuntunnya agar pengembangan
potensi tersebut berhasil secara maksimal. Upaya pengembangan potensi
ini dilihat dari sudut pandang manapun akan merujuk kepada
pendidikan.
Hakekat Manusia dan Pengembangannya 23

Tugas pendidikan dalam pengembangan potensi manusia, adalah


dalam upaya menjaga dan mengerahkan fitrah atau potensi tersebut
menuju kebaikan dan kesempurnaan. Pengembangan berbagai potensi
manusia (fitrah) ini dapat dilakukan dengan kegiatan belajar, yaitu
melalui institusi-institusi. Belajar yang dimaksud tidak harus melalui
pendidikan di sekolah saja, tetapi juga dapat dilakukan di luar sekolah,
baik dalam keluarga maupun masyarakat ataupun melalui institusi
sosial yang ada. Kesimpulannnya adalah manusia bisa mengembangkan
seluruh potensinya melalui pendidikan, baik itu pendidikan formal,
informal maupun pendidikan nonformal (Khasinah, 2013).

2. Pengembangan Dimensi Hakikat Manusia


Semua unsur hahekat manusia yang monopluralis atau dimensi-
dimensi kemanusiaan tersebut memerlukan pengembangan agar dapat
lebih meyempurnakan manusia itu sendiri. Pengembangan semua
potensi atau dimensi kemanusiaan itu dilakukan melalui dan dengan
pendidikan. Atas dasar inilah maka antara pedidikan dan hakikat
manusia ada kaitannya. Dengan dan melalui pendidikan, semua potensi
atau dimensi kemanusiaan dapat berkembang secara optimal. Arah
pengembangan yang baik dan benar yakni ke arah pengembangan yang
utuh dan komprehensif.
Pendidikan telah lahir dalam kehidupan manusia sejak adanya
manusia, entah berapa abad yang lalu mendahului kehadiran kita
sekarang ini. Banyak orang mengecam pendidikan sebagai biang keladi
yang menyebabkan kemerosotan ekonomi, kemerosotan ahlak,
kemerosotan kualitas hidup dan lain sebagainya. Tetapi, hingga dewasa
ini belum ada yang mengusulkan agar pendidikan disingkirkan atau
dihilangkan dari perikehidupan manusia. Hal ini menunjukkan bahwa
pendidikan diperlukan oleh manusia (Suyitno, 2010).
Pada dasarnya pendidikan merupakan upaya manusia untuk
memperbaiki kehidupan manusia, dalam masyarakat dan interelasi
kemanusiaan. Disadari atau tidak, setiap pendidik memiliki seperangkat
dasar pemikiran untuk melaksanakan tugasnya tersebut. Dasar pemikiran
tersebut, berkaitan dengan pandangan hidup, pandangan tentang
manusia dan pandangan tentang bagaimana melaksanakan tugasnya
itu. Untuk itulah para pendidik perlu mengkaji landasan filsafi yang
membahas persoalan hidup dan tujuan hidup, masalah hakikat manusia
dan pengembangannya, masalah nilai baik dan buruk, serta masalah
tujuan pendidikan.
24 Pengantar Pendidikan

Telah panjang lebar diuraikan di atas bahwa sasaran pendidikan


adalah manusia sehingga dengan sendirinya pengembangan manusia
menjadi tugas pendidikan. Manusia lahir telah dikarunia hakikatmanusia
tetapi masih dalam potensi, belum teraktualisasi menjadi wujud
kenyataan atau aktualisasi. Bergerak dari kondisi potensi menjadi wujud
aktualisasi terdapat rentangan proses yang mengundang pendidikan
untuk berperan dalam memberikan jasanya. Meskipun tidak dapat
disangkal bahwa pendidikan pada dasarnya adalah baik tetapi dalam
pelaksanaannya bisa saja terjadi kesalahan (lazimnya disebut salah
didik). Terkait dengan itu, ada 2 kemungkinan yang bisa terjadi, yaitu.

a. Pengembangan yang Utuh


Menurut Tirtarahardja & Sulo (2005) tingkat keutuhan perkembangan
dimensi hakikat manusia ditentukan oleh dua faktor, yaitu kualitas
dimensi hakikat manusia itu sendiri secara potensial dan kualitas
pendidikan yang disediakan untuk memberikan pelayanan atas
perkembangannya. Pengembangan yang utuh dapat dilihat dari berbagai
segi, yaitu:
1) Wujud Dimensinya
Keutuhan terjadi antara aspek jasmani dan rohani, antara dimensi
keindividualan, kesosialan, kesusilaan, keberagamaan. historisitas,
komunikasi, dan dinamika, juga antara aspek kognitif, afketif, dan
psikomotor. Pengembangan aspek jasmani dan rohani dikatakan utuh
jika keduanya mendapat pelayanan secara seimbang.
2) Arah Pengembangan
Keutuhan pengembangan dimensi hakikat manusia dapat diarahkan
kepada pengembangan dimensi keindividualan, kesosialan,
kesusilaan, keberagamaan, historisitas, komunikasi, dan dinamika
secara terpadu.

b. Pengembangan yang Tidak Utuh


Menurut Tirtarahardja & Sulo (2005) pengembangan yang tidak utuh
terjadi jika dalam proses pengembangan unsur-unsur dimensi hakikat
manusia terabaikan untuk ditangani. Pengembangan yang tidak utuh
pada perkembangannya akan berakibat terbentuknya kepribadian yang
pincang dan tidak mantap (lazimnya disebut pengembangan patologis).
Tingkat keutuhan perkembangan hakikat manusia ditentukan oleh
2 faktor, yaitu kualitas dimensi hakikat manusia itu sendiri secara
potensial dan kualitas pendidikan yang disediakan untuk memberi
Hakekat Manusia dan Pengembangannya 25

pelayanan atas perkembangannya. Menurut Mujidin (2005)


pengembangan manusia secara utuh sebagai pribadi meliputi segala
dimensi dan kompleksitasnya. Pengembangan jangan terfokus pada
yang simpel misalnya aspek fisik/emosi atau intelektual dari pribadi
dengan meninggalkan lebih banyak alam kedalaman yang tak tergali,
dan karenanya tak terealisasikan. Pendidikan memungkinkan setiap
orang mampu mengembangkan dirinya secara utuh sebagai manusia
yang bermanfaat.

F. Konsep Manusia Seutuhnya


Sebelumnya telah diuraikan konsep pengembangan manusia yang
bersifat utuh dan tidak utuh. Selanjutnya kita pun perlu memahami
konsep manusia seutuhnya. Pembangunan manusia seutuhnya
merupakan tujuan pendidikan nasional yang tersirat dalam Pembukaan
Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan
bangsa. Sejalan dengan pembukaan itu, pada batang tubuh UUD 1945
diantaranya Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal
32 juga mengamanatkan bahwa pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan
keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlaq
mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur
dengan undang-undang. UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dengan jelas menegaskan bahwa pendidikan
merupakan upaya memberdayakan peserta didik untuk berkembang
menjadi manusia Indonesia seutuhnya, yaitu yang menjunjung tinggi
dan memegang dengan teguh norma dan nilai yaitu norma agama dan
kemanusiaan, norma persatuan bangsa, norma kerakyatan dan
demokrasi, dan norma keadilan sosial.
Manusia (masyarakat) Indonesia seutuhnya adalah manusia
(masyarakat) yang memiliki nilai keadilan, adil dengan sesama dan
dengan alam sekitarnya. Manusia (masyarakat) seutuhnya adalah
manusia (masyarakat) yang memiliki moral bersyukur, bersabar dan
berikhlas atau dengan kata lain memiliki jiwa spiritual atau kecerdasan
spiritual (Suhartono, 2007). Manusia seutuhnya yaitu manusia yang
dididik untuk mencapai keselarasan dan keseimbangan, baik dalam
hidup manusia sebagai pribadi, makhluk sosial, dalam hubungan
manusia dengan masyarakat, sesama manusia, dengan alam, dan dengan
Tuhannya dalam mengejar kemajuan dan kebahagiaan rohaniah (Pelly
& Menanti, 1994).
26 Pengantar Pendidikan

Membangun manusia Indonesia seutuhnya berarti membangun


manusia yang memiliki kecerdasan, watak dan kepribadian Indonesia.
Kecerdasan berarti kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan
kecerdasan spiritual. Memiliki watak berarti memiliki watak yang lembut,
sopan, penyayang dan sebagainya. Kepribadian artinya memiliki
kepribadian pekerja keras, disiplin sesuai dengan kepribadian
Indonesia. Manusia seperti inilah yang akan dibentuk oleh pendidikan
(Idris, 2013). Manusia seutuhnya tertuang dengan jelas dalam tujuan
pendidikan Indonesia yaitu mewujudkan manusia Indonesia yang
beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa (religious) dan
berbudi pekerti luhur (bermoral), memiliki pengetahuan dan
keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap
dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan
(Soedijarto, 2008).
Manusia akan menjadi manusia yang sebenarnya apabila mendapat
pendidikan. Manusia yang tidak memperoleh pendidikan tidak akan
mampu menjalani kehidupannya dengan sempurna, tidak akan berguna
bagi kehidupan. Proses pendidikan menjadi sarana untuk memanusiakan
manusia dan mewariskan kebudayaan kepada generasi penerusnya.
Terkait dengan manusia seutuhnya, Prayitno & Amti (2004) dengan
merujuk dari para pemikir Barat, khusunya dalam bidang psiko-
humanistik, seperti Frankl, Jung, Maslow dan Rogers telah pula
mengajukan berbagai rumusan sejalan dengan konsep manusia
seutuhnya. Mereka memakai istilah (berfungsi unsur-unsur kemanusiaan
secar ideal) sebagai perwujudan manusia seutuhnya. Ciri-ciri yang
dapat berfungsi secara ideal itu adalah:

1. Menurut Frankl
a. Mencapai penghayatan yang penuh tentang makna hidup dan
kehidupan
b. Bebas memilih dan bertindak
c. Bertanggung jawab secara pribadi terhadap segala tindakan
d. Melibatkan diri dalam kehidupan bersama orang lain.

2. Menurut Jung
a. Memiliki pemahaman yang mendalam tentang diri sendiri
b. Menerima diri sendiri, termasuk kekuatan dan kelemahannya
Hakekat Manusia dan Pengembangannya 27

c. Menerima dan bersikap toleran terhadap hakikat dan keberadaan


kemanusiaan secara umum
d. Menerima hal-hal yang masih belum dapat diketahui atau misterius,
serta bersedia mempertimbangkan hal-hal yang bersifat tidak rasional
tanpa meninggalkan cara-cara berpikir logis.

3. Menurut Maslow
Manusia yang berfungsi secara ideal ialah mereka yang
mengembangkan seluruh kemampuan dan potensinya. Lebih jauh,
Maslow menyebutkan bahwa mereka adalah orang-orang yang telah
berhasil mewujudkan diri sendiri secara penuh. Dari pandangan-
pandanagn terhadap manusia seperti yang telah dijelaskan di atas,
secara sederhana hakikat manusia dapat dijelaskan sebagai berikut.
a. Manusia sebagai makhluk individu, bahwa mansuia sebagai makhluk
individu yang mempunyai ciri-ciri atau kekhasan tersendiri. Oleh
karena itu manusia juga disebut sebagai makhluk yang unik.
b. Manusia sebagai makhluk sosial, bahwa manusia sebagai makhluk sosial
mempunyai sifat sosialitas yang menjadi dasar dan tujuan dari
kehidupan manusia yang sewajarnya.
c. Manusia sebagai makhluk psikofisik, bahwa manusia merupakan totalitas
jasmani dan rohani. Setiap bagian tubuh dan kegiatan prganisme yang
biologis sifatnya pasti mengabdikan diri kepada aktivitas psikis, juga
sebaliknya.
d. Manusia sebagai makhluk monodualis, bahwa manusia sebagai makhluk
monodualis tidak dapat memisahkan antara jiwa dan raga sebagai
satu kesatuan dalam perkembangannya.
e. Manusia sebagai makhluk bermoral, bahwa manusia yang normal pada
intinya mengambil keputusan susila dan mampu membedakan hal-
hal yang baik dan buruk. Selain itu juga mampu membedakan hal
yang benar dan yang salah untuk kemudian mengarahkan hidupnya
ke tujuan-tujuan yang berarti sesuai dengan pilihan dan keputusan
hati nurani dalam mempertimbangkan baik/buruk dan salah/benar.
f. Manusia sebagai makhluk religius, bahwa manusia sebagai makhluk
religius mengndung kemungkinan baik dan jahat, sesuai dengan
pandangan manusia itu sendiri sebagai makhluk Tuhan. Manusia
mempunyai nafsu-nafsu baik maupun jahat.
g. Manusia sebagai makhluk berpikir/filosofis, bahwa manusia itu
mempunyai akal dan budi. Akal digunakan untuk berpikir agar
menjadi berbudi.
28 Pengantar Pendidikan

h. Manusia sebagai makhluk berketerampilan, bahwa manusia sudah


mempunyai bakat dan minat masing-masing dalam mengembangkan
keterampilannya.
Pemberdayaan manusia seutuhnya berarti memperlakukan peserta
didik sebagai subyek merupakan penghargaan terhadap peserta didik
sebagai manusia yang utuh. Peserta didik memiliki hak untuk
mengaktualisasikan dirinya secara optimal dalam aspek kecerdasan
intelektual, spiritual, sosial, dan kinestetik. Paradigma ini merupakan
fondasi dari pendidikan yang menyiapkan peserta didik untuk berhasil
sebagai pribadi yang mandiri (makhluk individu), sebagai elemen dari
sistem sosial yang saling berinteraksi dan mendukung satu sama lain
(makhluk sosial) dan sebagai pemimpin bagi terwujudnya kehidupan
yang lebih baik di muka bumi (makhluk tuhan) (Kemendiknas, 2010).
Pengertian dan Konsep Dasar Pendidikan, Unsur Pendidikan 29
dan Pendidikan Sebagai Sistem

BAB II

PENGERTIAN DAN KONSEP DASAR


PENDIDIKAN, UNSUR PENDIDIKAN, DAN
PENDIDIKAN SEBAGAI SISTEM

A. Pengertian dan Konsep Dasar Pendidikan

1. Pengertian Pendidikan
Pengertian tentang pendidikan yang dibuat oleh para ahli beraneka
ragam, dan kandungannya berbeda yang satu dari yang lain. Perbedaan
pengertian tersebut dipengaruhi oleh perbedaan orientasinya, konsep
dasar yang digunakan, aspek yang menjadi tekanan, atau karena falsafah
yang melandasinya. Pada semua definisi pendidikan pada dasarnya
terdapat titik temu satu dengan yang lain.

a. Pendidikan sebagai Proses Transformasi Budaya


Sebagai proses transformasi budaya, pendidikan diartikan sebagai
kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang lain.
Nilai-nilai budaya tersebut mengalami proses transformasi dari generasi
tua ke generasi muda. Ada tiga bentuk transformasi yaitu nilai-nilai
yang masih cocok diteruskan misalnya nilai-nilai kejujuran, rasa tanggung
jawab, dan lain-lain.

b. Pendidikan sebagai Proses Pembentukan Pribadi


Sebagai proses pembentukan pribadi, pendidikan diartikan sebagi
suatu kegiatan yang sistematis dan sistemik terarah kepada terbentuknya

29
30 Pengantar Pendidikan

kepribadian peserta didik. Proses pembentukan pribadi melalui 2 sasaran


yaitu pembentukan pribadi bagi mereka yang belum dewasa oleh mereka
yang sudah dewasa dan bagi mereka yang sudah dewasa atas usaha
sendiri.

c. Pendidikan sebagai Proses Penyiapan Warga Negara


Pendidikan sebagai penyiapan warganegara diartikan sebagai suatu
kegiatan yang terencana untuk membekali peserta didik agar menjadi
warga negara yang baik.

d. Pendidikan sebagai Penyiapan Tenaga Kerja


Pendidikan sebagai penyiapan tenaga kerja diartikan sebagai kegiatan
membimbing peserta didik sehingga memiliki bekal dasar utuk
bekerja.Pembekalan dasar berupa pembentukan sikap, pengetahuan,
dan keterampilan kerja pada calon luaran. Ini menjadi misi penting dari
pendidikan karena bekerja menjadi kebutuhan pokok dalam kehidupan
manusia.
Berdasarkan beberapa definisi tersebut menunjukkan melihat
pendidikan dari sudut pandang yang berbeda, yaitu melihat dari sudut
pandang psikologis, dan dari sudut pandang sosiologis. Banyak sudut
pandang untuk dapat merumuskan pengertian pendidikan sehingga
banyak juga definisi tentang pendidikan. Namun demikian, yang jelas
bahwa pendidikan adalah proses untuk membina diri seseorang dan
masyarakat agar dapat survive dalam menjalani hidupnya.
Berikut beberapa pengertian pendidikan menurut beberapa sumber.
1. Pengertian Pendidikan Menurut UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003
pasal 1 ayat (1) Tentang Sistem Pendidikan Nasional mendefinisikan
pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiri-
tual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan negara.
2. Kamus Besar Bahasa Indonesia
Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa pendidikan
berasal dari kata “didik” dan mendapat imbuhan berupa awalan ‘pe’
dan akhiran ’an’ yang berarti proses atau cara perbuatan mendidik.
Maka definisi pendidikan menurut bahasa yakni perubahan tata laku
Pengertian dan Konsep Dasar Pendidikan, Unsur Pendidikan 31
dan Pendidikan Sebagai Sistem

dan sikap seseorang atau sekelompok orang dalam usahanya


mendewasakan manusia lewat pelatihan dan pengajaran.
3. Ki Hadjar Dewantara
Pendidikan yaitu tuntutan dalam hidup tumbuhnya anak-anak
yang bermaksud menuntun segala kekuatan kodrati pada anak-
anak itu supaya mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat
mampu menggapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-
tingginya.
4. Gunning dan Kohnstamm
Pendidikan adalah proses pembentukan hati nurani. Sebuah
pembentukan dan penentuan diri secara etis yang sesuai dengan hati
nurani.
5. Carter. V. Good
Proses perkembangan kecakapan individu dalam sikap dan perilaku
bermasyarakat. Proses sosial dimana seseorang dipengaruhi oleh suatu
lingkungan yang terorganisir, seperti rumah atau sekolah, sehingga
dapat mencapai perkembangan diri dan kecakapan sosial.
f. John Dewey
Pendidikan sinergis dengan pertumbuhan dan tidak memiliki akhir
selain dirinya sendiri.
g. Theodore Brameld
Pendidikan memiliki fungsi yang luas yaitu sebagai pengayom dan
pengubah kehidupan suatu masyarakat jadi lebih baik dan
membimbing masyarakat yang baru supaya mengenal tanggung jawab
bersama dalam masyarakat. Jadi pendidikan adalah sebuah proses yang
lebih luas dari sekedar periode pendidikan di sekolah. Pendidikan
adalah sebuah proses belajar terus menerus dalam keseluruhan aktifitas
sosial sehingga manusia tetap ada dan berkembang.
h. H. Horne
Dalam spektrum yang luas, pendidikan adalah alat dimana kelompok
sosial melanjutkan keberadaannya dalam mempengaruhi diri sendiri
serta menjaga idealismenya.
i. Stella van Petten Henderson
Pengertian pendidikan adalah kombinasi pertumbuhan,
perkembangan diri dan warisan sosial.
j. Martinus Jan Langeveld
Pendidikan adalah upaya menolong anak untuk dapat melakukan
tugas hidupnya secara mandiri supaya dapat bertanggung jawab
32 Pengantar Pendidikan

secara susila. Pendidikan merupakan usaha manusia dewasa dalam


membimbing manusia yang belum dewasa menuju kedewasaan.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
pendidikan merupakan salah satu bentuk pertolongan atau bimbingan
yang diberikan orang yang mampu, dewasa dan memiliki ilmu terhadap
perkembangan orang lain untuk mencapai kedewasaan dengan tujuan
supaya pribadi yang dididik memiliki kecakapan yang cukup dalam
melaksanakan segala kebutuhan hidupnya secara mandiri.

2. Konsep Dasar, Fungsi dan Tujuan Pendidikan


Dasar pendidikan nasional adalah Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Pendidikan nasional
berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
Rumusan konstitusional tersebut apabila dicermati menegaskan
bahwa arah dan tujuan pendidikan nasional adalah untuk membentuk
manusia yang beriman dan bertaqwa, berbudi pekerti luhur, sehat
jasmani rohani, cakap, berilmu, dan kreatif, mengembangkan
kemandirian serta menjadi warga negara yang baik. Ini semua dalam
rangka membangun watak bangsa yang beradab dan bermartabat.
Rumusan tujuan pendidikan nasional tersebut sangat ideal dan
komprehensif untuk memberikan suasana kebatinan dan semangat
serta motivasi bagi setiap komponen manusiawi yang terkait dan terus
berusaha untuk mencapai cita-cita yang ideal itu. Dijelaskan pula dalam
UU No. 20 Tahun 2003 pasal 1, butir 1, bahwa pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Jadi menurut amanat UU No.
20 Tahun 2003 ini, peserta didik harus didorong untuk aktif
mengembangkan potensinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, mampu mengendalikan diri, memiliki kepribadian yang
kuat, akhlak yang mulia serta ketrampilan-ketrampilan yang diperlukan
Pengertian dan Konsep Dasar Pendidikan, Unsur Pendidikan 33
dan Pendidikan Sebagai Sistem

yang implikasinya pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan


bernegara.
Pemahaman tentang konsep dasar, fungsi dan tujuan pendidikan
dirasa sangat perlu supaya kita bisa lebih tahu tentang arti penting
pendidikan bagi kelangsungan umat manusia. Bahwa pendidikan
adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-
anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah
kedewasaan (Purwanto, 2002). Rumusan tentang pendidikan, lebih
jauh termuat dalam UU. No. 20 Tahun 2003, bahwa pendidikan Indo-
nesia bertujuan agar masyarakat Indonesia mempunyai pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Artinya, arah dari
proses pendidikan nasional mencakup berbagai aspek kehidupan diri
manusia dan masyarakat untuk survive dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.

a. Konsep Dasar Pendidikan


Pendidikan bukan hanya sebuah kewajiban, lebih dari itu pendidikan
merupakan sebuah kebutuhan akan lebih berkembang dengan adanya
pendidikan. Tujuan pendidikan itu beragam, tergantung pribadi tiap
individu memandang pendidikan itu sendiri, ada yang memandang
pendidikan yang baik dapat memperbaiki status kerjanya, sehingga
mendapatkan pekerjaan nyaman, ada pula yang memandang pendidikan
adalah sebuah alat transportasi untuk membawanya menuju jenjang itu
semua.
Terlepas dari pandangan itu semua, sebenarnya pendidikan adalah
sesuatu hal yang luhur, suatu pendidikan tak hanya sebatas dalam
lembaga formal saja tetapi pendidikan juga ada dilingkungan informal,
karena hakikatnya kita lahir sampai akhir hayat. Belajar adalah
bagaimana kita berkembang untuk terus menjadi baik menjadi pemimpin
di bumi ini.
Konsep dasar pendidikan di Indonesia sendiri didefinisikan sebagai
berikut:
1. Menurut Notoatmodjo
Pendidikan adalah semua usaha atau upaya yang sudah direncanakan
untuk mempengaruhi orang lain baik kelompok, individu, maupun
masyarakat sehingga mereka akan melakukan apa yang diharapkan
oleh pelaku pendidikan.
34 Pengantar Pendidikan

2. Menurut Mudyaharjo
Pendidikan merupakan upaya dasar yang dilakukan oleh keluarga,
masyarakat, serta pemerintah, dengan melalui pengajaran atau
latihan, kegiatan bimbingan, yang berlangsung di dalam sekolah dan
di luar sekolah sepanjang hidupnya, yang bertujuan untuk
mempersiapkan anak didik supaya mampu memainkan peranan pada
berbagai kondisi lingkungan hidup dengan tepat di waktu yang akan
datang.
3. Menurut Fuad Hasan
Pendidikan merupakan upaya dalam menumbuhkan dan
mengembangkan segala potensi-potensi yang di bawa sejak lahir baik
potensi jasmani ataupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang di anut
masyarakat dan kebudayaan.
4. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
Pendidikan adalah suatu proses untuk mengubah sikap dan tingkah
laku seseorang maupun kelompok orang dengan tujuan untuk
mendewasakan seseorang melalui usaha pengajaran dan pelatihan.
Dari definisi pendidikan tersebut dapat dipahami bahwa konsep
dasar pendidikan di Indonesia bertujuan untuk membentuk sikap yang
baik, sesuai nilai yang berlaku. juga menumbuhkan potensi-potensi
yang dimiliki untuk dikembangkan lebih lanjut.

b. Fungsi Pendidikan
Lembaga pendidikan memiliki beberapa fungsi yang nyata, yaitu
1. Menanamkan keterampilan yang diperlukan untuk ikut ambil bagian
dalam demokrasi.
2. Mengembangkan bakat yang dimiliki tiap orang demi kepentingan
pribadi dan masyarakat
3. Mempersiapkan anggota masyarakat untuk dapat mencari nafkah
4. Melestarikan kebudayaan
5. Mengurangi pengendalian orang tua. Melalui mekanisme pendidikan
di sekolah, orang tua melimpahkan wewenang dan tugas dalam
mendidik anak pada pihak sekolah
6. Sebagai sarana untuk mengakomodir perselisihan paham seperti
perbedaan pandangan antara pihak sekolah dan pihak umum tentang
beberapa nilai tertentu misalnya keterbukaan, pendidikan seks dan
lain sebagainya
Pengertian dan Konsep Dasar Pendidikan, Unsur Pendidikan 35
dan Pendidikan Sebagai Sistem

7. Menjaga sistem kelas sosial. Pendidikan sekolah adalah sebagai sarana


siswa melangkah ke tahapan dimana pada akhirnya dapat memiliki
status sosial yang sama atau lebih tinggi dari orang tuanya. Di sekolah
juga diajarkan untuk dapat menerima berbagai perbedaan dan status
yang ada di masyarakat.
8. Pendidikan sekolah juga dianggap mampu memperpanjang masa
remaja seseorang karena peserta didik dianggap masih tergantung
secara psikologis dan finansial pada orang tuanya
Menurut David Popenoe, pendidikan memiliki fungsi-fungsi yang
berhubungan dengan perkembangan persepsi sosial seseorang seperti
sumber inovasi sosial, sarana pengajaran tentang adanya berbagai corak
dan kultur kepribadian, transmisi kebudayaan, menjamin integrasi sosial
dan memilih serta mengajarkan berbagai peranan dalam kehidupan
sosial. Diharapkan pada kemudian hari seseorang dapat menjadi pribadi
yang peka akan kehidupan sosial di sekitarnya.

c. Tujuan Pendidikan
Pendidikan memuat gambaran tentang nilai-nilai yang baik, luhur,
pantas, benar dan indah untuk kehidupan. Karena itu tujuan pendidikan
mempunyai dua fungsi yaitu, memberikan arah kepada segenap kegiatan
pendidikan dan merupakan suatu yang ingin dicapai oleh segenap
kegiatan pendidikan. Dapat dikatakan bahwa segenap komponen dari
seluruh kegiatan pendidikan dilakukan semata-mata terarah kepada
atau ditujukan untuk pencapaian tujuan tersebut. Proses pendidikan
merupakan kegiatan memobilisasi segenap komponen pendidikan oleh
pendidik terarah kepada pencapaian tujuan pendidikan. Bagaimana
proses pendidikan itu dilaksanakan sangat menentukan kualitas hasil
pencapaian tujuan pendidikan. Pengelolaan proses pendidikan meliputi
ruang lingkup makro, meso dan mikro.
Menurut Ahmadi (2001) tujuan itu menunjukkan ketentuan arah
daripada suatu usaha, sedangkan arah itu menunjukkan jalan yang
harus dilalui. Jalan yang harus dilalui itu dimulai dari titik start yaitu
pandangan hidup dan berakhir pada titik finis yaitu tercapainya
kepribadian hidup yang dicita-citakan. Ketentuan arah tujuan hidup
suatu bangsa akan tertuang pada UUD bangsa itu sendiri dan adapun
jalan yang harus dilalui yaitu cara-cara melaksanakan aktivitas.
Tujuan umum pendidikan adalah persiapan atas tugas pelayanan
publik. Secara psikologi, tujuan pendidikan adalah pembentukkan
karakter yang berwujud dalam kesatuan esensial si subyek dengan
36 Pengantar Pendidikan

perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Para pakar pendidikan


sepakat untuk mengatakan “perlunya keseimbangan antara dimensi
kognitif dan afektif dalam proses pendidikan”. Artinya untuk membentuk
manusia seutuhnya tidak cukup hanya dengan mengembangkan
kecerdasan berpikir atau IQ anak didik melalui segudang ilmu
pengetahuan, melainkan juga harus dibarengi dengan pengembangan
perilaku dan kesadaran moral. Hanya kombinasi seperti itulah peserta
didik akan mampu manghargai nilai-nilai dalam dirinya dan orang lain
(Ali, 2007).
Tujuan pendidikan memuat gambaran tentang nilai-nilai yang baik,
luhur, pantas, benar dan indah bagi kehidupan. Karena itu tujuan
pendidikan mempunyai dua fungsi yaitu, memberikan arah kepada
segenap kegitan pendidikan dan merupakan sesuatu yang ingin dicapai
oleh segenap kegiatan pendidikan.
Sebagai suatu komponen pendidikan, tujuan pendidikan menduduki
posisi penting diantara komponen-komponen penting lainnya. Dapat
dikatakan bahwa segenap komponen dari seluruh kegiatan pendidikan
dilakukan semata-mata terarah kepada atau ditujukan untuk pencapain
tujuan tersebut. Dengan demikian maka kegiatan-kegiatan yang tidak
relevan dengan tujuan tersebut dianggap menyimpan, tidak fungsional,
bahkan salah, sehingga harus dicegah terjadinya. Terlihat bahwa tujuan
pendidikan itu bersifat normatif, yaitu mengandung unsur norma yang
bersifat memaksa, tetapi tidak bertantangan dengan hakekat
perkembangan peserta didik serta dapat diterimah oleh masyarakat
sebagai nilai hidup yang baik. Bagi pendidk untuk memahaminya,
kekuran pahaman pendidik terhadap tujuan pendidik dapat
mengakibatkan kesalahan di dalam melaksanakan pendidikan. Gejala
demikian tujuan pendidikan bersifat abstrak karena memuat nilai nilai
yang bersifat abstrak. Tujuan demikian bersifat umum, ideal dan
kandungannya sangat luas sehingga sangat sulit untuk dilaksanakan di
dalam praktek,sedangkan pendidikan harus berupa tindakan yang
ditujunkan pada peserta didik dalam kondisi tertentu, dan waktu tertentu
dengan menggunakan alat tertentu. Tujuan pendidikan adalah untuk
menghasilkan anak- anak bangsa yang cerdas agar bisa bersaing dengan
negara-negara lain.
Tujuan pendidikan bersifat abstrak karena memuat nilai-nilai yang
bersifat abstrak. Tujuan demikian bersifat umum, ideal dan
kandungannya sangat luas sehingga sangat sulit untuk dilaksanakan di
dalam praktek. Sedangkan pendidikan harus berupa tindakan yang di
Pengertian dan Konsep Dasar Pendidikan, Unsur Pendidikan 37
dan Pendidikan Sebagai Sistem

tujukan pada peserta didik dalam kondisi tertentu, tempat tertentu, dan
waktu tertentu dengan menggunakan alat tertentu.
Pelaksanaannya hanya mungkin apabila tujuan yang ingin dicapai
itu dibuat jelas (eksplisit), kontret, dan lingkup kandungannya terbatas.
Dengan kata lain tujuan umum perlu dirinci sehingga menjadi tujuan
yang lebih khusus dan terbatas agar mudah direalisasikan dalam praktek.
Di dalam praktek pendidikan khususnya pada sistem persekolahan, di
dalam rentangan antara tujuan umum dengan tujuan yang sangat
khusus terdapat sejumlah tujuan antara. Tujuan antara berfungsi untuk
menjembatani pencapaian tujuan umum dari sejumlah tujuan rincian
khusus.
Umumnya ada 4 jenjang tujuan yang didalamnya terdapat tujuan
antara, yaitu: tujuan umum, tujuan institusional, tujuan kurikuler dan
tujuan instruksional.
1. Tujuan umum juga disebut tujuan total, tujuan yang sempurna atau
tujuan akhir
Dalam hal ini Kohnstan dan Gunning mengatakan bahwa tujuan
akhir dari pendidikan yaitu untuk membentuk insan kamil atau
manusia sempurna. Manusia dapat dikatakan sebagai insan kamil,
apabila dalam hidupnya menunjukkan adanya keselarasan/harmonis
antara jasmaniah dan rohaniah. Harmonis antara segi-segi dalam
kejiwaan, antara kehidupan sebagai individu dan kehidupan
bersama. Kehidupan sebagai insan kamil adalah merupakan suatu
kehidupan dimana terjamin adanya ketiga inti hakikat manusia, yaitu
manusia sebagai makhluk individual, makhluk sosial, dan makhluk
susila.
2. Tujuan institusional
Tujuan yaitu tujuan yang menjadi tugas dari lembaga pendidikan
tertentu untuk mencapainya. Misalnya tujuan pendidikan tingkat SD
berbeda dari tujuan tingkat menengah, dan seterusnya.
3. Tujuan kurikuler
Tujuan kurikuler yaitu tujuan bidang studi atau tujuan bidang mata
pelajaran.
4. Tujuan instruksional
Tujuan instruksional materi kurikulum yang berupa bidang studi-
bidang studi terdiri dari pokok-pokok bahasan dan sub-pokok
bahasan. Tujuan pokok bahasan dan tujuan sub-pokok bahasan
disebut tujuan instruksional, yaitu penguasaan materi pokok bahasan/
38 Pengantar Pendidikan

sub pokok bahasan. Saat ini dikenal istilah Standar Kompetensi,


Kompetensi Dasar, Kompetensi Inti dan Capaian Pembelajaran.
Silahkan baca liteatur terkait untuk memperkaya wawasan
pembaca.
Secara keseluruhan macam-macam tujuan tersebut merupakan suatu
kebulatan.Tujuan umum memberikan arah kepada semua tujuan yang
lebih rinci dan yang jenjangnya lebih rendah. Sebaliknya tujuan yang
lebih khusus menunjang pencapaian tujuan yang lebih luas dan yang
jenjangnya lebih tinggi untuk sampai kepada tujuan umum. Tujuan
pendidikan akan menentukan kearah mana anak didik akan dibawa. Di
samping itu pendidikan berfungsi untuk mengembangkan kemampuan
serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia.
Tujuan pendidikan tidak berdiri sendiri, melainkan dirumuskan atas
dasar sikap hidup bangsa dan cita-cita Negara dimana pendidikan itu
dilaksanakan. Sikap dasar itu dilandasi oleh norma-norma yang berlaku
bagi semua warganegara.
Berikut ini merupakan tujuan pendidikan menurut pandangan
beberapa tokoh:
1. Socrates (469-399 SM), tujuan pendidikan ialah mengembangkan daya
pikir seseorang untuk mengerti pokok-pokok kesusilaan.
2. Plato (427-345 SM), tujuan pendidikan adalah menyajikan individu
bahagia dan berguna bagi Negara.
3. Aristoteles (384-332 SM), tujuan pendidikan ialah membuat kehidupan
rasional. Individual bersama-sama dengan orang lain hendaknya
tingkah lakunya selalu dipimpin oleh akal.
4. Augustinus (354-430 SM), tujuan pendidikan adalah cinta sepenuhnya
kepada Tuhan agar mendapat kesenangan di alam baqa kelak.
5. Francois Rabelais (1483-1553), tujuan pendidikan ialah pembentukan
manusia yang lengkap, cakap, dalam kesenian dan industri,
perkembangan manusia dalam segala seginya: jasmani, kesusilaan
dan akalnya.
6. Kohnstam (Belanda, 1875), tujuan pendidikan menolong manusia
yang sedang berkembang, supaya ia memperoleh perdamaian batin
yang sedalam-dalamnya tanpa mengganggu atau menjadi beban
orang lain.
7. John Milton (Inggris, 1608-1674), tujuan pendidikan adalah persiapan
untuk kehidupan yang sebenarnya didunia nyata ini.
Pengertian dan Konsep Dasar Pendidikan, Unsur Pendidikan 39
dan Pendidikan Sebagai Sistem

8. Richard Mulcaster (Inggris, 1531-1611), tujuan pendidikan ialah


membantu kodrat kearah kesempurnaan.
9. Francois Bacon (Inggris, 1561-1626), tujuan adalah mengusahakan agar
manusia dapat menguasai benda-benda, meningkatkan kekuatan
manusia dengan penggunaan ilmu pengetahuan.
10. John Locke (Inggris, 1632-1704), tujuan pendidikan ialah
pembentukkan watak, perkembangan manusia sebagai kebulatan
moral, jasmani dan mental.
11. Jean Jacques Rousseau (Geneva, 1712-1778), tujuan pendidikan adalah
mengembengkan pembawaan anak itu menurut alamnya.
12. John Dewey (AS, 1859-1952), tujuan pendidikan adalah membentuk
anak menjadi warganegara yang baik.

3. Konsep Pendidikan Sepanjang Hayat


Manusia adalah makhluk yang tumbuh dan berkembang. Ia ingin
mencapai suatu kehidupan yang optimal. Selama manusia barusaha
untuk meningkatkan kehidupannya, baik dalam meningkatkan dan
mengembangkan pengetahuan, kepribadian, maupun keterampilannya,
secara sadar atau tidak sadar, maka selama itulah pendidikan masih
berjalan terus.
UNESCO Institute for education (UIE Hamburg) menetapkan suatu
definisi kerja yakni pendidikan seumur hidup adalah pendidikan yang
harus:
a. Meliputi seluruh hidup setiap individu.
b. Mengarah kepada pembentukan, pembaruan, peningkatan, dan
penyempurnaan secara sistematis pengetahuan, keterampilan, dan
sikap yang dapat meningkatkan kondisi hidupnya.
c. Tujuan akhirnya adalah mengembangkan penyadaran diri setiap
individu.
d. Meningkatkan kemampuan dan motivasi untuk belajar mandiri.
e. Mengakui kontribusi dari semua pengaruh pendidikan yang mungkin
terjadi, termasuk yang formal, non formal dan informal.
Pendidikan sepanjang hayat merupakan asas pendidikan yang cocok
bagi orang-orang yang hidup dalam dunia transformasi, dan di dalam
masyarakat yang saling mempengaruhi seperti saat zaman globalisasi
sekarang ini. Setiap manusia dituntut untuk menyesuaikan dirinya
secara terus menerus dengan situasi baru.
40 Pengantar Pendidikan

Pendidikan sepanjang hayat merupakan jawaban terhadap kritik-


kritik yang dilontarkan pada sekolah. Sistem sekolah secara tradisional
mengalami kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan perubahan
kehidupan yang sangat cepat dalam abad terakhir ini, dan tidak dapat
memenuhi kebutuhan-kebutuhan atau tutuntutan manusia yang makin
meningkat. Pendidikan di sekolah hanya terbatas pada tingkat
pendidikan dari sejak kanak-kanak sampai dewasa, tidak akan memenuhi
persyaratan-persyaratan yang dibutuhkan dunia yang berkembang sangat
pesat. Dunia yang selalu berubah ini membutuhkan suatu sistem yang
fleksibel. Pendidikan harus tetap bergerak dan mengenal inovasi secara
terus menerus.
Menurut konsep pendidikan sepanjang hayat, kegiatan-kegiatan
pendidikan dianggap sebagai suatu keseluruhan. Seluruh sektor
pendidikan merupakan suatu sistem yang terpadu. Konsep ini harus
disesuaikan dengan kenyataan serta kebutuhan masyarakat yang
bersangkutan. Suatu masyarakat yang telah maju akan memiliki
kebutuhan yang berbeda dengan masyarakat yang belum maju. Apabila
sebagian besar masyarakat suatu bangsa masih yang banyak buta huruf,
maka upaya pemeberantasan buta huruf di kalangan orang dewasa
mendapat prioritas dalam sistem pendidikan sepanjang hayat. Tetapi, di
negara industri yang telah maju pesat, masalah bagaimana mengisi
waktu senggang akan memperoleh perhatian dalam sistem ini.
Pendidikan bukan hanya berlangsung di sekolah. Pendidikan akan
mulai segera setelah anak lahir dan akan berlangsung sampai manusia
meninggal dunia, sepanjang ia mampu menerima pengaruh-pengaruh.
Oleh karena itu, proses pendidikanakan berlangsung dalam keluarga,
sekolah, dan masyarakat.
Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi proses
perkembangan seorang individu sekaligus merupakan peletak dasar
kepribadian anak. Pendidikan anak diperoleh terutama melalui interaksi
antara orang tua-anak. Dalam berinteraksi dengan anaknya, orang tua
akan menunjukkan sikap dan perlakuan tertentu sebagai perwujudan
pendidikan terhadap anaknya.
Pendidikan di sekolah merupakan kelanjutan dalam keluarga.
Sekolah merupakan lembaga tempat dimana terjadi proses sosialisasi
yang kedua setelah keluarga, sehingga mempengaruhi pribadi anak dan
perkembangan sosialnya. Sekolah diselenggarakan secara formal. Di
sekolah anak akan belajar apa yang ada di dalam kehidupan, dengan
Pengertian dan Konsep Dasar Pendidikan, Unsur Pendidikan 41
dan Pendidikan Sebagai Sistem

kata lain sekolah harus mencerminkan kehidupan sekelilingnya. Oleh


karena itu, sekolah tidak boleh dipisahkan dari kehidupan dan kebutuhan
masyarakat sesuai dengan perkembangan budayanya. Dalam kehidupan
modern seperti saat ini, sekolah merupakan suatu keharusan, karena
tuntutan-tuntutan yang diperlukan bagi perkembangan anak sudah
tidak memungkinkan akan dapat dilayani oleh keluarga. Materi yang
diberikan di sekolah berhubungan langsung dengan pengembangan
pribadi anak, berisikan nilai moral dan agama, berhubungan langsung
dengan pengembangan sains dan teknologi, serta pengembangan
kecakapan-kecakapan tertentuyang langsung dapat dirasakan dalam
pengisian tenaga kerja.

B. Unsur - Unsur Pendidikan


Pendidikan sebagai sistem memiliki komponen-konponen tertentu
yang diperlukan untuk mencapai tujuan pendidikan. Komponen-
komponen penting dalam pendidikan antara lain subjek yang dibimbing,
orang yang membimbing (pendidik), interaksi edukatif, materi
pendidikan, alat dan metode, dan lingkungan pendidikan.

1. Subjek yang dibimbing (peserta didik)


Pesertra didik adalah seseorang yang ingin belajar atau memperoleh
pendidikan. Peserta didik adalah seseorang memiliki hak untuk
memperoleh layanan pendidikan (pembelajaran) dari pemerintah atau
masysrakat luas sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Menurut
Ahmadi (2001) peserta didik adalah anak yang belum dewasa, yang
memerlukan usaha, bantuan, bimbingan orang lain untuk menjadi
dewasa, guna dapat melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Tuhan,
sebagai umat manusia, sebagai warga negara, sebagai anggota
masyarakat dan sebaga suatu pribadi atau individu.
Ciri khas peserta didik yang perlu dipahami oleh pendidik ialah:
a. Individu yang memiliki potensi fisik dan psikis yang khas, sehingga
merupakan insan yang unik.
b. Individu yang sedang berkembang.
c. Individu yang membutuhkan bimbingan individual dan perlakuan
manusiawi.
d. Individu yang memiliki kemampuan untuk mandiri.
42 Pengantar Pendidikan

2. Orang yang membimbing (pendidik)


Pendidik adalah orang yang bertanggungjawab terhadap
pelaksanaan pendidikan peserta didik. Peserta didik mengalami
pendidikannya dalam tiga lingkunga yaitu lingkungan keluarga,
lingkungan sekolah, dan lingkungan masayarakat. Sebab itu yang
bertanggung jawab terhadap pendidikan ialah orang tua, guru, pemimpin
program pembelajaran, latihan, dan masyarakat. Pendidik adalah tenaga
kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong
belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang
sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam
menyelenggarakan pendidikan.

3. Interaksi antara peserta didik dengan pendidik (interaksi edukatif)


Interaksi edukatif adalah interaksi yang berlangsung dalam suatu
ikatan untuk tujuan pendidikan dan pengajaran. Interaksi edukatif
sebenarnya komunikasi timbal balik antara pihak yang satu dengan
pihak yang lain, sudah mengandung maksud-maksud tertentu yakni
untuk mencapai tujuan (dalam kegiatan belajar berarti untuk mencapai
tujuan belajar). Interaksi edukatif pada dasarnya adalah komunikasi
timbal balik antara peserta didik dengan pendidik yang terarah kepada
tujuan pendidikan. Pencapaian tujuan pendidikan secara optimal
ditempuh melalui proses berkomunikasi intensif dengan manipulasi isi,
metode, serta alat-alat pendidikan.

4. Ke arah mana bimbingan ditujukan (tujuan pendidikan)


Tujuan pendidikan adalah seperangkat hasil pendidikan yang dicapai
oleh peserta didik setelah diselenggarakan kegiatan pendidikan. Seluruh
kegiatan pendidikan, yakni bimbingan pengajaran atau latihan, diarahkan
untuk mencapai tujuan pendidikan itu. Dalam konteks ini tujuan
pendidikan merupakan komponen dari sistem pendidikan yang
menempati kedudukan dan fungsi sentral. Itu sebabnya setiap tenaga
pendidikan perlu memahami dengan baik tujuan pendidikan (Suardi,
2010).
Pendidikan diupayakan dengan berawal dari manusia apa adanya
(aktualisasi) dengan mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang
apa adanya (potensialitas), dan diarahkan menuju terwujudnya manusia
yang seharusnya atau manusia yang dicita-citakan (idealitas). Tujuan
pendidikan itu tiada lain adalah manusia yang beriman dan bertaqwa
kapada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, cerdas, berperasaan,
Pengertian dan Konsep Dasar Pendidikan, Unsur Pendidikan 43
dan Pendidikan Sebagai Sistem

berkemauan, dan mampu berkarya; mampu memenuhi berbagai


kebutuhan secara wajar, mampu mngendalikan hawa nafsunya;
berkepribadian, bermasyarakat dan berbudaya. Implikasinya, pendidikan
harus berfungsi untuk mewujudkan (mengembangkan) berbagai potensi
yang ada pada manusia dalam konteks dimensi keberagaman, moralitas,
moralitas, individualitas/personalitas, sosialitas dan keberbudayaan secara
menyeluruh dan terintegrasi. Dengan kata lain, pendidikan berfungsi
untuk memanusiakan manusia.

5. Pengaruh yang diberikan dalam bimbingan (materi pendidikan)


Secara garis besar dapat dikemukakan bahwa materi pendidikan
atau pembelajaran (instructional materials) adalah pengetahuan,
keterampilan, dan sikap yang harus dikuasai peserta didik dalam
rangka memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan. Materi
pembelajaran menempati posisi yang sangat penting dari keseluruhan
kurikulum, yang harus dipersiapkan agar pelaksanaan pembelajaran
dapat mencapai sasaran. Sasaran tersebut harus sesuai dengan Standar
Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang harus dicapai oleh peserta
didik. Artinya, materi yang ditentukan untuk kegiatan pembelajaran
hendaknya materi yang benar-benar menunjang tercapainya standar
kompetensi dan kompetensi dasar,serta tercapainya indikator. Materi
dipilih seoptimal mungkin untuk membantu peserta didik dalam
mencapai standar kompetensi dan kompetensi dasar. Hal-hal yang
perlu diperhatikan berkenaan dengan pemilihan materi pembelajaran
adalah jenis, cakupan, urutan, dan perlakuan (treatment) terhadap
materi pembelajaran tersebut.

6. Cara yang digunakan dalam bimbingan (alat dan metode)


Secara umum, alat pendidikan adalah segala sesuatu yang
digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan. Dalam praktek
pendidikan, istilah alat pendidikan sering diidentikkan dengan media
pendidikan, walaupun sebenarnya pengertian alat lebih luas dari pada
media. Media pendidikan adalah alat, metode dan teknik yang
digunakan dalam rangka meningkatkan efektivitas komunikasi dan
interaksi edukatif antara guru dan siswa dalam proses pendidikan dan
pengajaran di sekolah.
Secara umum metode adalah cara untuk mencapai sebuah tujuan
dengan jalan yang sudah ditentukan, dalam metode pendidikan
dapat diartikan sebagai cara. Metode bisa dikatakan sebagai cara
44 Pengantar Pendidikan

untuk mencapai tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Setiap


pendidik harus bisa menentukan metode pendidikan yang cocok
sesuai dengan materi yang diajarkan dan kondisi peserta didik.
Oleh karena itu metode pendidikan sangatlah penting dalam proses
belajar mengajar. Beberapa metode yang bisa digunakan pendidik
dalam mengajar antara lain metode ceramah, tanya jawab, diskusi,
demonstrasi dan eksperimen, metode pemecahan masalah dan masih
banyak lagi.
Proses belajar-mengajar yang baik adalah jika anak berinteraksi
dengan pendidik, yaitu orangtua dan guru. Maka pendidik harus pandai
menciptakan situasi yang nyaman, membangkitkan semangat belajar,
dan anak antusias belajar dengan memberikan metode pengajaran yang
tepat. Jika tipe belajar anak lebih aktif melalui alat pendengarannya
(auditif), maka anak diajarkan dengan mendengarkan kaset yang
diselingi dengan menunjukkan gambarnya (demonstrasi). dapat juga
dengan memutarkan video agar anak dapat melihat (visual) dengan
jelas apa yang terjadi. Dengan harapan, tujuan pembelajaran akan lebih
mudah tercapai.

7. Tempat dimana peristiwa bimbingan berlangsung (lingkungan


pendidikan)
Lingkungan pendidikan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar
manusia, baik berupa benda mati, makhluk hidup ataupun peristiwa-
peristiwa yang terjadi termasuk kondisi masyarakat terutama yang
dapat memberikan pengaruh kuat kepada individu. Lingkungan ini
kemudian secara khusus disebut sebagai lembaga pendidikan sesuai
dangan jenis dan tanggung jawab yang secara khusus menjadi bagian
dari karakter lembaga. Lingkungan pendidikan biasanya disebut tri
pusat pendidikan yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat.
Peran lingkungan pendidikan adalah sebagai berikut:
a. sebagai pengalaman (masa kanak-kanak sampai dewasa),
b. menanamkan dasar pendidikan moral,
c. memberikan dasar pendidikan sosial,
d. meletakkan dasar pendidikan agama,
e. menanamkan budi pekerti
f. memberikan latihan keterampilan, dan
g. memberikan pendidikan etika.
Pengertian dan Konsep Dasar Pendidikan, Unsur Pendidikan 45
dan Pendidikan Sebagai Sistem

C. Pendidikan Sebagai Sebuah Sistem

1. Pengertian Pendidikan Sebagai Sistem


Banyak ahli yang berpendapat berbeda tentang definisi sistem.
Namun, pada kesimpulannya ada titik temu atau persamaan diantara
definisi-definisi tersebut. Kata sistem berasal dari bahasa Yunani, yaitu
systema yang berarti adalah “cara atau strategi”. Dalam bahasa Inggris
sistem berarti “system, jaringan, susunan, cara”. Sistem juga diartikan
“suatu strategi atau cara berpikir”.
Sistem adalah kesatuan yang terdiri atas komponen-komponen atau
elemen-elemen atau unsur-unsur sebagai sumber-sumber yang
mempunyai hubungan fungsional yang teratur, tidak sekadar acak,
yang saling membantu untuk mencapai suatu hasil (produk). Sistem
memiliki komponen-konponen sebagai-berikut:
a. Adanya suatu keseluruhan (totalitas)
b. Adanya komponen-komponen
c. Berfungsinya komponen-komponen secara teratur
d. Adanya keterkaitan antara semua komponen
e. Adanya tujuan yang hendak dicapai secara efektif dan efisien
Kata pendidikan itu berasal dari kata “Pedagogi”, kata tersebut
berasal dari bahasa yunani kuno, yang jika dieja menjadi 2 kata
yaitu Paid yang artinya anak dan Agagos yang artinya membimbing.
Dengan demikian Pendidikan bisa di artikan sebagai usaha sadar
dan terencana untuk mewujudkan proses pembelajaran dan
suasana belajar agar para pelajar dididik secara aktif dalam
mengembangkan potensi dirinya yang diperlukan untuk dirinya
dan masyarakat.
Sistem kependidikan merupakan perangkat sarana yang terdiri dari
bagian-bagian yang saling berkaitan satu sama lain dalam rangka
melaksanakan proses pembudayaan masyarakat yang menumbuhkan
nilai-nilai yang sama sebangun dengan cita-cita yang diperjuangkan
oleh masyarakat itu sendiri. Sistem pendidikan pada hakikatnya adalaah
seperangkat sarana yang dipolakan untuk membudayakan nilai-nilai
budaya masyarakat yang dapat mengalami perubahan-perubahan bentuk
dan model sesuai dengan tuntutan kebutuhan hidup masyarakat dalam
rangka mengejar cita-cita hidup yang sejahtera lahir maupun batin
(Pidarta, 2007; Ihsan, 2008).
46 Pengantar Pendidikan

Jadi, bisa disimpulkan bahwa sistem pendidikan adalah suatu


strategi atau cara yang akan di pakai untuk melakukan proses belajar
mengajar untuk mencapai tujuan agar para pelajar tersebut dapat secara
aktif mengembangkan potensi di dalam dirinya yang diperlukan untuk
dirinya sendiri dan masyarakat.

2. Komponen-Komponen Sistem Pendidikan


Komponen merupakan bagian dari suatu sistem yang memiliki
peran dalam keseluruhan berlangsungnya suatu proses untuk mencapai
tujuan sistem. Komponen pendidikan berarti bagian-bagian dari sistem
proses pendidikan yang menentukan berhasil atau tidaknya atau ada
atau tidaknya proses pendidikan. Komponen-komponen yang
memungkinkan terjadinya proses pendidikan adalah; tujuan pendidikan,
peserta didik, pendidikan, orang tua, guru/pendidik, pemimpin
masyarakat dan keagamaan, interaksi edukatif peserta didik dan
pendidik, isi pendidikan. Bahkan dapat dikatakan bahwa untuk
berlangsungnya proses kerja pendidikan diperlukan keberadaan
komponen-komponen tersebut. Manusia selama hidupnya selalu akan
mendapat pengaruh dari keluarga, sekolah, dan masyarakat luas. Ketiga
lingkungan itu sering disebut sebagai tripusat pendidikan, yang akan
mempengaruhi manusia secara bervariasi. Lingkungan pendidikan
merupakan salah satu komponen dalam pendidikan (Hardiyanti, 2011).
Pendidikan sebagai sebuah sistem terdiri dari sejumlah komponen.
Sistem-sistem tersebut terdiri atas instrumental input, raw input, input,
process, output, environmental, dan outcomes. Masing-masing komponen
mempunyai fungsi tertentu dan secara bersama-sama melaksanakan
fungsi struktur, yaitu mencapai tujuan sistem.

a. Masukan (Input) Pada Sistem Pendidikan


Input pada sistem pendidikan dibedakan dalam tiga jenis, yaitu
input mentah (raw input), input alat (instrumental input), dan input
lingkungan (environmental input). Masukan mentah (raw input) akan
diproses menjadi tamatan (output) dan input pokok dalam sistem
pendidikan adalah dasar pendidikan, tujuan pendidikan, dan anak
didik atau peserta didik.
1) Dasar Pendidikan
Pendidikan sebagai proses timbal balik antara pendidik dan anak didik
dengan melibatkan berbagai faktor pendidikan lainnya,
diselenggarakan guna mencapai tujuan pendidikan dengan senantiasa
Pengertian dan Konsep Dasar Pendidikan, Unsur Pendidikan 47
dan Pendidikan Sebagai Sistem

didasari oleh nilai-nilai tertentu. Nilai-nilai itulah yang kemudian


disebut sebagai dasar pendidikan.
2) Tujuan Pendidikan
Sebagai suatu komponen pendidikan, tujuan pendidikan menduduki
posisi penting di antara komponen-komponen pendidikan lainnya.
Dapat dikatakan bahwa segenap komponen dari seluruh kegiatan
pendidikan dilakukan semata-mata terarah kepada atau ditujukan
untuk pencapaian tujuan tersebut. Dengan tujuan pendidikan
diharapkan terbentuknya manusia yang utuh dengan memperhatikan
aspek jasmani dan rohani, aspek diri (individualitas) dan aspek sosial,
aspek kognitif, afektif, dan psikomotor, serta segi serba keterhubungan
manusia dengan dirinya (konsentris), dengan lingkungan sosial dan
alamnya (horizontal), dan dengan Tuhannya (vertikal).
Tujuan merupakan batasan dari hal-hal yang hendak dicapai. Baiknya
tujuan yang ingin dicapai dalam satu usaha perlu dikonkritkan terlebih
dahulu sebelum usaha tersebut dimulai, sebab tujuan mempunyai
fungsi yang tertentu terhadap satu usaha. Tujuan pendidikan dapat
dilihat dalam kurikulum pendidikan yang terjabar mulai dari: tujuan
nasional (UUD 1945), tujuan pembangunan nasional dalam sistem
pendidikan nasional, tujuan institusional (dalam lembaga
pendidikan), tujuan kurikuler (tiap bidang studi pelajaran/kuliah),
tujuan instrukisonal (standar kompetensi dan kompetensi dasar).
Dengan demikian terlihat bahwa tujuan pendidikan itu semuanya
bersumber pada Pancasila dan UUD 1945.
3) Anak didik (Peserta Didik)
Sasaran dari pendidikan adalah peserta didik, peserta didik dapat
dikatakan sebagai pihak yang dididik, dipimpin, diarahkan, dan diberi
berbagai macam ilmu pengetahuan dan keterampilan oleh pendidik.
Peserta didik juga bisa dikatakan sebagai pihak yang dihumanisasikan
yang biasa di sebut pelajar atau mahasiswa.
Peserta didik berstatus sebagai subjek didik karena peserta didik
(tanpa pandang usia) adalah subjek atau pribadi yang otonom, yang
ingin diakui keberadaannya dan ingin mengembangkan diri
(mendidik diri) secara terus-menerus guna memecahkan masalah-
masalah hidup yang dijumpai sepanjang hidupnya. Ciri khas peserta
didik yang perlu dipahami oleh pendidik adalah: Individu yang
memiliki potensi fisik dan psikis yang khas, sehingga merupakan insan
yang unik; Individu yang sedang berkembang; Individu yang
membutuhkan bimbingan individual dan perlakuan manusiawi; dan
Individu yang memiliki kemampuan untuk mandiri.
48 Pengantar Pendidikan

b. Proses (Process) Pada Sistem Pendidikan


Proses pendidikan merupakan kegiatan mobilisasi segenap
komponen pendidikan oleh pendidik terarah kepada pencapaian tujuan
pendidikan. Kualitas proses pendidikan menggejala pada dua segi,
yaitu kualitas komponen dan kualitas pengelolaannya. Kedua segi
tersebut satu sama lain saling bergantung.
Adapun komponen-komponen yang saling berkesinambungan pada
proses pendidikan adalah sebagai berikut:
1) Pendidik dan Non Pendidik
Pendidik adalah orang yang melaksanakan pendidikan, orang ini biasa
di sebut guru atau dosen. Orang tersebut sebagai pihak yang mendidik
dengan norma-norma, pihak yang turut membentuk anak, pihak yang
memberikan anjuran, pihak yang terlibat dalam menghumanisasikan
anak, memiliki ragam pengetahuan dan kecakapan.
Pendidik ialah orang yang memikul tanggung jawab untuk
membimbing. Pendidik berbeda dengan pengajar sebab pengajar
berkewajiban untuk menyampaikan materi pelajaran kepada murid,
sedangkan pendidik tidak hanya bertanggung jawab menyampaikan
materi pengajaran, tetapi juga membentuk kepribadian anak didik.
Non pendidik yang sering disebut sebagai tenaga kependidikan adalah
anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk
menunjang penyelenggaraan pendidikan. (UU No. 20 Tahun 2003
Pasal 1, BAB 1 Ketentuan Umum). Atau juga bisa diartikan merupakan
tenaga yang bertugas merencanakan dan melaksanakan administrasi,
pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis
untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan. (UU
No.20 THN 2003, pasal 39 ayat (1)).
2) Kurikulum (Materi Pendidikan)
Materi pendidikan yang sering juga disebut dengan istilah kurikulum
karena kurikulum menunjukkan makna pada materi yang disusun
secara sistematika guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Lester
D. Crow dan Alice Crow, yang melakukan penelitian tentang hasil
studi terhadap anak menyarankan hubungan salah satu komponen
pendidikan, yaitu kurikulum dengan anak didik adalah sebagai
berikut: (a) Kurikulum hendaknya disesuaikan dengan keadaan
perkembangan anak; (b) Isi kurikulum hendaknya mencakup
keterampilan, pengetahuan, dan sikap yang dapat digunakan anak
dalam pengalamannya sekarang dan berguna untuk menghadapi
kebutuhannya pada masa yang akan datang. (c) Anak hendaknya
Pengertian dan Konsep Dasar Pendidikan, Unsur Pendidikan 49
dan Pendidikan Sebagai Sistem

didorong untuk belajar, karena kegiatannya sendiri dan tidak sekadar


menerima pasif apa yang dilakukan oleh guru. (d) Materi yang
dipelajari anak harus mengikuti minat dan keinginan anak sesuai
dengan taraf perkembangannya dan bukan menurut keputusan
orang dewasa tentang minat mereka.
3) Prasarana dan Sarana
Alat pendidikan adalah sesuatu apa pun yang membantu
terlaksananya proses belajar mengajar dalam rangka mencapai
tujuannya, baik berupa benda atau pun bukan berupa benda.
Prasarana pendidikan adalah segala macam alat yang tidak secara
langsung digunakan dalam proses pendidikan sedangkan sarana
pendidikan adalah segala macam alat yang digunakan secara
langsung dalam proses pendidikan. Prasarana pendidikan dapat juga
diartikan segala macam peralatan, kelengkapan, dan benda-benda
yang digunakan guru dan murid untuk memudahkan
penyelenggaraan pendidikan dan sarana pendidikan dapat juga
diartikan segala macam peralatan yang digunakan guru untuk
memudahkan penyampaian materi pelajaran.
Perbedaan sarana pendidikan dan prasarana pendidikan adalah
pada fungsi masing-masing, yaitu sarana pendidikan untuk
“memudahkan penyampaian (mempelajari) materi pelajaran”,
sedangkan prasarana pendidikan untuk “memudahkan
penyelenggaraan pendidikan”.
4) Administrasi
Administrasi pendidikan adalah segenap kegiatan yang berkenaan
dengan penataan sumber, penggunaan, dan pertanggungjawaban
dana pendidikan di sekolah atau lembaga pendidikan. Kegiatan yang
ada dalam administrasi pembiayaan meliputi tiga hal, yaitu:
penyusunan anggaran, pembukuan, dan pemeriksaan.
5) Anggaran
Anggaran adalah biaya yang dipersiapkan dengan suatu rencana
terperinci. Secara lebih khusus dapat dikatakan bahwa anggaran
adalah rencana yang disusun secara terorganisasikan untuk menerima
dan mengeluarkan dana bagi suatu periode tertentu.
c. Lingkungan (Enviromental) Pada Sistem Pendidikan
Proses pendidikan selalu dipengaruhi oleh lingkungan yang ada di
sekitarnya, baik lingkungan itu menunjang maupun menghambat proses
pencapaian tujuan pendidikan. Lingkungan yang mempengaruhi proses
pendidikan tersebut, yaitu:
50 Pengantar Pendidikan

1) Lingkungan keluarga.
2) Lingkungan sekolah atau lembaga pendidikan.
3) Lingkungan masyarakat.
4) Lingkungan keagamaan, yaitu nilai-nilai agama yang hidup dan
berkembang di sekitar lembaga pendidikan.
5) Lingkungan sosial budaya, yaitu nilai-nilai sosial dan budaya yang
hidup dan berkembang di sekitar lembaga pendidikan.
6) Lingkungan alam, baik keadaan iklim maupun geografisnya.
7) Lingkungan ekonomi, yaitu kondisi ekonomi yang ada di sekitar
lembaga pendidikan dan masyarakat sekitar.
8) Lingkungan keamanan, baik keamanan di sekitar lembaga pendidikan
maupun di luar lembaga pendidikan.
9) Lingkungan politik, yaitu keadaan politik yang terjadi pada daerah di
mana lembaga pendidikan tersebut berdiri atau melaksanakan
pendidikan.
d. Luaran (Output) Pada sistem Pendidikan
Output pada sistem pendidikan adalah hasil keluaran dari proses
yang terjadi di dalam sistem pendidikan. Adapun output pada sistem
pendidikan adalah lulusan atau tamatan. Lulusan pendidikan adalah
hasil dari proses pendidikan agar sesuai dengan tujuan pendidikan
tersebut. Diharapkan lulusan yang dihasilkan dapat memberikan nilai-
nilai kehidupan bagi dirinya, lingkungan, dan Tuhannya. Setidaknya,
lulusan tersebut dapat mentransformasikan (mengembangkan dan
melestarikan) budaya yang ada di lingkungan, kepribadiannya dapat
terbentuk dengan baik, menjadi warga negara yang baik yang didasarkan
atas landasan-landasan pendidikan, serta mampu bersaing di dunia
kerja. Jika proses yang terjadi di dalam komponen-komponen pendidikan
yang sudah dijelaskan di atas berjalan dengan baik tanpa adanya
hambatan maka hasil lulusan tersebut pun akan baik. Oleh sebab itu,
proses berkesinambungan dari komponen-komponen pendidikan
menentukan hasil nyata dari pendidikan tersebut yang didasarkan
kepada tujuan dan dasar pendidikan.
Kadang kala proses komponen-komponen pendidikan yang terjadi
tidak sesuai dengan apa yang sudah direncanakan sebab adanya
hambatan yang ada pada komponen-komponen tersebut sehingga peserta
didik yang menjadi input dalam sistem pendidikan akan berhenti untuk
melangsungkan pendidikannya (putus sekolah). Putus sekolah
Pengertian dan Konsep Dasar Pendidikan, Unsur Pendidikan 51
dan Pendidikan Sebagai Sistem

disebabkan oleh berbagai macam faktor hambatan pendidikan, baik


dari diri peserta didik, proses pendidikan yang terjadi, maupun
lingkungan sekitar pendidikan.
Sementara itu, Combs (1982) mengemukakan dua belas komponen
pendidikan seperti berikut:
1. Tujuan dan Prioritas. Tujuan dan prioritas berfungsi mengarahkan
kegiatan sistem. Hal ini merupakan informasi tentang apa yang
hendak dicapai oleh sistem pendidikan dan urutan pelaksanaannya.
2. Peserta Didik. Peserta didik berfungsi untuk belajar. Diharapkan
peserta didik mengalami proses perubahan tingkah laku sesuai
dengan tujuan umum pendidikan.
3. Manajemen atau Pengelolaan. Manajemen atau pengelolaan
fungsinya mengkoordinasikan, mengarahkan, dan menilai sistem
pendidikan. Komponen ini bersumber pada sistem nilai dan cita-cita
yang merupakan informasi tentang pola kepemimpinan dalam
pengelolaan sistem pendidikan.
4. Struktur dan Jadwal Waktu. Struktur dan jadwal waktu fungsinya
mengatur pembagian waktu dan kegiatan.
5. Isi dan Bahan Pengajaran. Isi dan bahan pengajaran fungsinya untuk
menggambarkan luas dan dalamnya bahan pelajaran yang harus
dikuasai peserta didik.
6. Guru dan Pelaksana. Guru dan pelaksana fungsinya menyediakan
bahan pelajaran dan menyelenggarakan proses belajar untuk peserta
didik.
7. Alat Bantu Belajar. Alat bantu belajar fungsinya untuk
memungkinkan terjadinya proses pendidikan yang lebih menarik dan
lebih bervariasi.
8. Fasilitas. Fasiltas fungsinya untuk tempat terselenggaranya proses
pendidikan.
9. Teknologi. Teknologi fungsinya memperlancar dan meningkatkan
hasil guna proses pendidikan. Teknologi ialah semua teknik yang
digunakan sehingga sistem pendidikan berjalan dengan efisien dan
efektif.
10. Pengawasan Mutu. Pengawasan mutu berfungsi membina peraturan-
peraturan dan standar pendidikan.
11. Penelitian. Penelitian fungsinya untuk memperbaiki dan
mengembangkan ilmu pengetahuan dan penampilan sistem
pendidikan.
52 Pengantar Pendidikan

12. Biaya. Biaya fungsinya melancarkan proses pendidikan dan menjadi


petunjuk tentang tingkat efesiensi sistem pendidikan.
Pendidikan sebagai suatu sistem dapat pula digambarkan dalam
bentuk model dasar input-output. Segala sesuatu yang masuk dalam
sistem dan berperan dalam proses pendidikan disebut masukan
pendidikan. Lingkungan hidup menjadi sumber masukan pendidikan.
Faktor-faktor yang berpengaruh dalam pendidikan diantaranya: filsafat
negara, agama, sosial, kebudayaan, ekonomi, politik, dan demografi.
Ketujuh faktor ini merupakan supra sistem pendidikan. Jadi, pendidikan
sebagai suatu sistem berada bersama, terikat, dan tertenun di dalam
supra sistemnya yang terdiri dari tujuh sistem tersebut. Berarti
membangun suatu lembaga pendidikan baru atau memperbaiki lembaga
pendidikan lama, tidak dapat memisahkan diri dari supra sistem
tersebut.
Peran dan Kedudukan Tripusat Pendidikan 53

BAB III

PERAN DAN KEDUDUKAN


TRIPUSAT PENDIDIKAN

A. Pendahuluan
Pertumbuhan dan perkembangan kehidupan manusia sejalan
dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Tuntutan akan
lingkungan yang berbeda, penyebab individu bertingkah lebih efektif
dan efisien, mencari dan menemukan lingkungan baru yang lebih baik.
Perkembangan ekonomi, sosial dan budaya antara sekelompok manusia
di dalam daerah, di kota ataupun di desa bervariasi menuntut latar
belakang penduduknya. Untuk dapat meningkatkan kemajuan dan
perbaikan dalam suatu masyarakat, diperlukan teknologi.
Untuk dapat memahami dan menggunakan teknologi, dibutuhkan
pendidikan, baik formal, nonformal dan informal. Pendidikan dalam
lingkungan keluarga dibenahi, pendidikan formal di tingkatkan, dan
pendidikan non formal dikembangkan. Tiga jalur pendidikan tersebut
akan mampu mengembangkan segala potensi yang ada dalam
masyarakat sesuai dengan keberadaan masing-masing. Melalui
pendidikan kita meningkatkan pengetahuan, keterampilan nilai dan
sikap tiap-tiap individu. Manusia terdidik adalah pemegang nilai-nilai
dan norma-norma kehidupan.

53
54 Pengantar Pendidikan

B. Pengertian dan Fungsi Lingkungan Pendidikan


Lingkungan pendidikan yaitu segala kondisi dan pengaruh dari
luar terhadap kegiatan pendidikan. Manusia memiliki sejumlah
kemampuan yang dapat dikembangkan melalui pengalaman.
Pengalaman itu terjadi karena interaksi manusia dengan lingkunganya,
baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial manusia secara efisien
dan efektif itulah yang disebut pendidikan. Dan latar tempat
berlangsungnya pendidikan itu disebut lingkungan pendidikan,
khususnya pada tiga lingkungan utama pendidikan yakni keluarga,
sekolah, dan masyarakat. Meskipun lingkungan tidak bertanggungjawab
atas kedewasaan anak didik, namun merupakan faktor yang sangat
menentukan yaitu pengaruhnya sangat besar bagi peserta didik, sebab
bagaimanapun anak tinggal dalam suatu lingkungan pasti akan
mempengaruhi anak tersebut.
Secara umum fungsi lingkungan pendidikan adalah membantu
peserta didik dalam berinteraksi dengan berbagai lingkungan sekitarnya
(fisik, sosial, budaya), utamanya berbagai sumber daya pendidikan yang
tersedia, agar dapat dicapai tujuan pendidikan yang optimal. Penataan
lingkungan pendidikan itu terutama dimaksudkan agar proses
pendidikan dapat berkembang efisien dan efektif. Seperti diketahui,
proses pertumbuhan dan perkembangan manusia sebagai akibat interaksi
dengan lingkungan akan berlangsung secara alamiah dengan
konsekuensi bahwa tumbuh kembang itu mungkin berlangsung lambat
dan menyimpang dari tujuan pendidikan. Pelaksanaan pendidikan
dilakukan melalui tiga kegiatan: membimbing, terutama berkaitan
dengan pemantapan jati diri dan pribadi dari segi-segi periaku umum
(aspek kebudayaan), mengajar, terutama berkaitan dengan penguasaan
ilmu pengetahuan, melatih, terutama berkaitan dengan keterampilan,
dan kemahiran (aspek teknologi).

C. Definisi Tripusat Pendidikan


Istilah tripusat pendidikan berasal dari istilah yang dipakai oleh Ki
Hadjar Dewantoro, dalam memberdayakan semua unsur masyarakat
untuk membangun pendidikan. Adapun yang dimaksud Tripusat
pendidikan adalah setiap pribadi manusia akan selalu berada dan
mengalami perkembangan dalam tiga lembaga pendidikan, yaitu
keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ketiga lembaga ini secara bertahap
dan mengemban tanggung jawab pendidikan bagi generasi muda.
Peran dan Kedudukan Tripusat Pendidikan 55

Kemudian tripusat pendidikan ini dijadikan prinsip pendidikan, bahwa


pendidikan berlangsung seumur hidup dan di laksanakan di dalam
lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Orientasi kelembagaan
tripusat pendidikan ini bersifat alamiah sesuai dengan kenyataan dalam
tata kebudayaan manusia.
Tata kehidupan manusia secara mendasar dan menyeluruh di
jadikan dasar untuk dapat memahami tata kehidupam pendidikan.
Secara sederhana, kita memerlukan realitas kehidupan bahwa manusia
dilahirkan dalam lingkungan keluarga. Keluarga sebagai kelompok kecil
masyarakat sangat dipegaruhi oleh tingkah laku masyarakat, hubungan
timbal balik antara keluarga dan masyarakat sebagai sarana terjadinya
proses pendidikan.
Dari awalnya, dalam tata pendidikan masyarakat tradisional hanya
ada dua lembaga pendidikan, yaitu lembaga pendidikan keluarga dan
lembaga pendidikan masyarakat. Kedua lembaga pendidikan tersebut
di adakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada saat tertentu.
Keberadaan keluarga sebagai lingkungan yang pertama dan utama bagi
perkembangan anak, dianggap sebagai kehidupan yang azasi dan
alamiah yang pasti dialami oleh kehidupan seorang manusia. Setiap
keluarga pasti melaksanakan interaksi dengan keluarga yang lain,
sehingga terbentuk sebuah masyarakat, yakni lingkungan sosial yang
ada di sekitar keluarga itu, seperti kampung, desa, kampung, marga
atau pulau. Lembaga pendidikan keluarga dan lembaga pendidikan
masyarakat berlangsung alamiah dari waktu ke waktu selalu mengalami
perkembangan dan perubahan seiring dengan kemajuan kebudayaan
masyarakat.

D. Pendidikan Informal, Formal dan Nonformal


Landasan yuridis tentang pendidikan informal, formal dan non
formal termaktub dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
Nomor 20 Tahun 2003. Uraian lengkap ketiganya disajikan pada Bab VI
bagian A khususnya mengenai “Sistem Pendidikan Nasional Menurut
Landasan Yuridis “.

1. Pendidikan Informal
Pendidikan informal ialah yang diperoleh sesorang dari pengalaman
sehari-hari dengan sadar atau tidak sadar, sejak seseorang lahir sampai
mati, di dalam keluarga dalam pekerjaan atau pergaulan sehari-hari.
56 Pengantar Pendidikan

Sebagaimana telah diutarakan bahwa keluarga merupakan lingkungan


yang pertama kali ditemui oleh anak dalam kehidupannya dan juga
merupakan lingkungan utama. Pendidikan informal dimaksudkan
timbulnya pengaruh-pengaruh dari orang dewasa kepada anak sebagai
akibat komunikasi yang erat dalam pergaulan sehari-hari.
Dasar-dasar tanggung jawab keluarga terhadap anak diuraikan oleh
Syam (1986), antara lain:
a. Dorongan/motivasi cinta kasih sayang yang menumbuhkan sikap rela
mengabdikan hidupnya untuk sang anak.
b. Dorongan/motivasi kewajiban moral sebagai konsekuensi kedudukan
orang tua terhadap keturunannya, meliputi nilai religius yang dijiwai
Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menjaga martabat dan kehormatan
keluarga.
c. Tanggung jawab sosial berdasarkan kesadaran bahwa keluarga sebagai
anggota masyarakat, bangsa, negara, bukan kemanusiaan.
Pelaksanaan pendidikan informal dalam keluarga harus
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Kemampuan dasar yang dibawa anak sejak lahir.
b. Hubungan kodrati orang tua dan anak yang sangat erat.
c. Keadaan anak secara fisis maupun psikis.
d. Ketidakberdayaan anak dan ketergantungan anak.

2. Pendidikan Formal
Menurut Combs (1982) pendidikan formal adalah pendidikan yang
berstruktur, mempunyai jenjang/tingkat, dalam periode waktu tertentu,
berlangsung dari sekolah dasar sampai universitas dan tercakup di
samping studi akademis umum, juga berbagai program khusus dan
lembaga untuk latihan teknis dan profesional. Melalui pendidikan for-
mal, anak didik dapat dikembangkan pengetahuan, keterampilan dan
sikap, serta nilai-nilai.
Pendidikan formal di sekolah merupakan lanjutan atau
pengembangan pendidikan yang telah diberikan oleh orang tua terhadpa
anak-anaknya dalam keluarga, dimana hal tersebut dikarenakan beberapa
faktor antara lain, a) Keterbatasan pengetahuan orang tua. b) Kesempatan
waktu. c) Perkembangan anak. d) Lingkungan. Kehidupan di sekolah
merupakan jembatan bagi anak, yang menghubungkan kehidupan dalam
keluarga dengan kehidupan dalam masyarakat kelak.
Peran dan Kedudukan Tripusat Pendidikan 57

3. Pendidikan Non Formal


Pendidikan non formal ialah pendidikan yang teratur dengan sadar
dilakukan tetapi tidak terlalu mengikuti peraturan-peraturan yang tetap
dan kuat. Pendidikan non formal merupakan pendidikan di luar sekolah
yang secara potensial dapat membantu, dan menggantikan pendidikan
formal dalam aspek-aspek tertentu seperti pendidikan dasar atau
ketrampilan kejuruan khusus.
Keuntungan dari pendidikan non formal adalah sebagai berikut:
a. Biaya yang digunakan untuk suatu program cukup rendah.
b. Waktu yang dipakai tidak lama dan dapat diselesaikan dengan situasi
dan kondisi partisipan.
c. Program yang dilaksanakan dapat membantu dan memenuhi
kebutuhan langsung dari partisipan.

E. Peran Keluarga, Masyarakat dan Sekolah


Kemajuan masyarakat dan perkembangan iptek yang semakin cepat
serta makin menguatnya era globalisasi akan mempengaruhi peran dan
fungsi ketiga lingkungan pendidikan. Fungsi dan peranan tripusat
pendidikan, sebagai berikut.

1. Lingkungan keluarga
Keluarga merupakan lembaga pendidikan tertua yang bersifat
informal, yang pertama dan utama yang dialami oleh anak serta lembaga
pendidikan yang bersifat kodratif orang tua bertanggung jawab
memelihara, merawat, melindungi dan mendidik anak agar tumbuh
dan berkembang dengan baik. Secara sederhana keluarga di artikan
sebagai kesatuan hidup bersama yang pertama dikenal anak, dan karena
itu di sebut primary community.
Pendidikan keluarga ini berfungsi, a) Sebagai pengalaman pertama
masa kanak-kanak. b) Menjamin kehidupan emosional anak. c)
Menanamkan dasar pendidikan moral. d) Menanamkan dasar
pendidikan sosial. e) Meletakkan dasar-dasar pendidikan agama bagi
anak-anak.
Menurut Ki Hajar Dewantoro, suasana kehidupan keluarga
merupakan tempat yang sebaik-baiknya untuk melakukan pendidikan
individual maupun pendidikan sosial. Keluarga itu tempat pendidikan
yang sempurna sifat dan wujudnya untuk melangsungkan ke arah
58 Pengantar Pendidikan

pembentukan pribadi yang utuh, peranan orang tua sangat berpengaruh


dalam lingungan keluarga sebagai penuntun, pengajar dan pemberi
contoh bagi anak-anak mereka. Lingkungan keluarga sungguh-sungguh
merupakan pusat pendidikan yang peting dan menentukan sikap watak
dan budi pekerti.
Keluarga merupakan institusi sosial yang bersifat universal
multifungsional, yaitu fungsi pengawasan, sosial, pendidikan,
keagamaan, perlindungan, dan rekreasi. Menurut Oqburn, fungsi
keluarga adalah kasih sayang, ekonomi, pendidikan, perlindungan,
rekreasi, status keluarga, dan agama. Sedangkan fungsi keluarga menurut
Bierstatt adalah menggantikan keluarga, mengatur dan mengurusi
impuls-impuls seksual, bersifat membantu menggerakkan nilai-nilai
kebudayaan, dan menunjukkan status. Keluarga dan masyarakat tidak
lepas dari pengaruh-pengaruh tersebut, sehingga perubahan apa yang
terjadi di masyarakat berpengaruh pula di keluarga.
Peranan keluarga terutama dalam penanaman sikap dan nilai
hidup, pengembangan bakat dan minat serta pembinaan bakat dan
kepribadian. Sehubungan dengan itu penanaman nilai-nillai pancasila,
nila-nilai keagamaan dimulai dari keluarga. Reymond. W. Murray
mengemukakan fungsi keluarga sebagai kesatuan turunan dan juga
kebahagiaan bermasyarakat berkewajiban untuk melaksanakan dasar
pendidikan, rasa keagamaan, kemauan, rasa kesukaan kepada
keindahan, kecakapan berekonomi, dan pengetahuan penjagaan diri
pada anak.
Peranan seorang ibu dalam keluarga dalam membimbing anaknya
adalah sangat berpengaruh dalam kepribadian seorang anak. Bahkan
sejak seorang ibu mengandung, telah terjadi hubungan antara anak
dengan ibunya. Proses pertumbuhan anak dalam kandungan sedari
dini, telah ditentukan oleh pelayanan dari ibu yang sedang
mengandung. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kemampuan
(intelegensi) anak masih dapat dipengaruhi oleh bermutu atau tidaknya
makanan ibu pada waktu mengandung, bahkan sampai usia tiga
tahun. Dengan demikian jelaslah bahwa lingkungan keluarga adalah
merupakan lingkungan yang pertama dalam membentuk pribadi anak
didik, dalam lingkungan ini anak mulai dibina dan dilatih fisik,
mental, sosial dan bahasa serta ketrampilanya. Semua pendidikan
yang di terima oleh anak dari keluarganya merupakan pendidikan
informal, tidak terbatas dan melalui tauladan dalam pergaulan keluarga.
Peran dan Kedudukan Tripusat Pendidikan 59

2. Lingkungan Sekolah
Tidak semua tugas mendidik dapat dilaksanakan oleh orang tua
dalam keluarga, terutama dalam hal ilmu pengetahuan dan berbagai
macam ketrampilan. Oleh karena itu di kirimkan anak ke sekolah.
Sekolah bertanggung jawab atas pendidikan anak-anak selama mereka
diserahkan kepadanya. Karena itu sebagai sumbangan sekolah sebagai
lembaga pendidikan adalah:
a. Sekolah membantu orang tua mengerjakan kebiasaan-kebiasaan yang
baik serta menanamkan budi pekerti yang baik.
b. Sekolah memberikan pendidikan untuk kehidupan di dalam
masyarakat yang sukar atau tidak dapat di berikan di rumah.
c. Sekolah melatih anak-anak memperoleh kecakapan-kecakapan seperti
membaca, menulis, berhitung, mengambarkan kecerdasan, dan
pengetahuan.
d. Di sekolah diberikan pelajaran etika, keagamaan, estetika,
membedakan benar atau salah, dan sebagainya.
Sekolah sebagai lingkungan pendidikan bukan mengambil peranan
dan fungsi orang tua dalam mendidik anaknya dalam lingkungan
keluarga tetapi sekolah bersama-sama dengan orang tua membantu
mendidik anak-anaknya. Di rumah ia mendapatkan pendidikan sesuai
dengan batas kemampuan lingkungan keluarga. Hal itu disebabkan
karena kemampuan yang terbatas dan banyaknya tugas dan tanggung
jawab lain yang harus dilaksanakan. Apabila kita hubungkan dengan
pendidikan dalam lingkungan keluarga, maka jelaslah bahwa pendidikan
di sekolah itu bukanlah mengambil tanggung jawab orang tua, tetapi
melengkapi dan menyempurnakan pendidikan anak-anak dengan
pembangunan bangsa dan negara. Di dalam keluarga mereka dibina di
sekolah mereka dikembangkan dan ditingkatkan agar lebih mampu
melanjutkan kehidupan bangsa.
Dalam lingkungan pendidikan sekolah ini anak dipersiapkan unuk
memecahkan berbagai masalah hidup, seperti mengurus kesehatanya,
mencari pekerjaan, bergaul dengan orang lain yang bukan anggota keluarga,
mengurus barang-barang yang menjadi miliknya mempertahankan diri
dari ancaman berbagai ancaman, dan mengenal dirinya sendiri.

3. Lingkungan Masyarakat
Lingkungan masyarakat merupakan lingkunngan ketiga dalam
proses pembentukan kerpribadian anak-anak sesuai dengan
60 Pengantar Pendidikan

kepribadiannya. Pada lingkungan keluarga telah dikemukakan perananya


dalam membentuk anak-anak, demikian juga lingkungan sekolah.
Lingkungan masyarakat akan memberikan peranan yang sangat berarti
dalam diri anak, apabila diwujudkan dalam proses dan pola yang tepat.
Tidak semua ilmu pengetahuan, sikap, dan ketrampilan dapat
dikembangkan oleh sekolah ataupun dalam keluarga, karena keterbatasan
dana, dan kelengkapan lembaga tersebut.
Bentuk dan jenis lingkungan sangat menentukan dan memberi
pengaruh terhadap pembentukan pribadi tiap individu dalam
masyarakat, dengan mengingat ketiga fungsi tersebut. Bagi daerah yang
masih terisolir, atau karena komunikasi belum lancar dan pendidikan
melalui sekolah formal belum sampai secara merata pada daerah itu,
pembentukan tiap individu melaui lingkungan pendidikan dimasyarakat
lebih berperan secara aktif di bandingkan dengan daerah lain. Bagi
daerah seperti itu lingkungan pendidikan yang menyediakan ilmu
pengetahuan, ketrampilan, atau performans yang berfungsi dapat
menggantikan pendidikan dasar adalah yang di utamakan.
Masyarakat adalah salah satu lingkungan pendidikan yang
berpengaruh besar terhadap perkembangan pribadi seseorang.
Pandangan hidup, cita-cita bangsa, dan perkembangan ilmu pengetahuan
akn mewarnai keadaan masyarakat tersebut. Dengan pendidikan di
lingkungan masyarakat ini mereka diajarkan konsep-konsep dan sikap
tingkah laku dalam pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

4. Hubungan Timbal Balik antara Keluarga, Masyarakat, dan Sekolah


Perkembangan peserta didik, seperti juga tumbuh-kembang anak
pada umumnya, di pengaruhi oleh berbagai faktor yakni hereditas,
lingkungan proses perkembangan. Khusus untuk faktor lingkungan
peranan tripusat pendidikan itulah yang paling menentukan, baik secara
sendiri-sendiri ataupun secara bersama-sama. Di kaitkan dengan ketiga
proses kegiatan utama pendidikan (membimbing, mengajar, dan
melatih).
Pengaruh timbal balik antara keluarga, sekolah, masyarakat terhadap
perkembangan peserta didik antara lain:
a. Akibat adanya interaksi antara sekolah dan masyarakat, maka mata
pelajaran yang fungsional bagi kehidupan diperdalam.
b. Lingkungan pendidikan keluarga, sekolah, dan masyarakat bersama-
sama menanamkan etos kerja pada peserta didik.
Peran dan Kedudukan Tripusat Pendidikan 61

c. Ketiga lingkungan pendidikan menanamkan jiwa keagamaan pada


peserta didik.
d. Peningkatan semangat belajar pada peserta didik. Ketiga lingkungan
pendidikan makin menyadari akan pentingnya mencerdaskan
kehidupan bangsa.

F. Fungsi dan Jenis lingkungan Sekolah


1. Pengertian Dan Fungsi Lingkungan Pendidikan
Manusia selama hidupnya selalu akan mendapat pengaruh dari
keluarga Sekolah, dan masyarakat luas. Ketiga lingkungan itu sering
disebut sebagai tripusat pendidikan, yang akan mempengaruhi manusia
secara berfariasi. Seperti diketahui, setiap bayi manusia dilahirkan dalam
lingkungan keluarga tertentu, yang merupakan lingkungan pendidikan
terpenting sampai anak masuk taman kanak-kanak ataupun sekolah.
Oleh karena itu keluarga sering dipandang sebagai lingkungan
pendidikan pertama dan utama. Makin berambah usia manusia, peranan
sekolah dan masyarakat luas makin penting, namun peran kelurga
tidak terputus.
Manusia memiliki sejumlah kemampuan yang dapat dikembangkan
melalui pengalaman. Pengalaman itu terjadi karena interaksi manusia
dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial
manusia secara efisien dan efektif itulah yang disebut pendidikan. Dan
latar tempat berlangsungnya pendidikan itu disebut lingkungan
pendidikan, khususnya pada tiga lingkungan utama yakni keluarga
sekolah dan masyarakat (Tirtaraharja & Sulo, 2005). Seperti diketahui,
lingkungan pendidikan pertama dan utama keluarga. Makin bertambah
usia seseorang, peranan lingkungan pendidikan lainnya (yakni sekolah
dan masyarakat) semakin penting meskipun pengaruh lingkungan
keluarga masih tetap berlanjut.
Berdasarkan perbedaan ciri-ciri penyelenggaraan pendidikan pada
ketiga pendidikan itu, maka ketiganya sering dibedakan sebagai
pendidikan informal, pendidikan formal, dan pendidikan nonformal.
Pendidikan yang terjadi dalam lingkungan keluarga berlangsung secara
alamiah dan wajar serta disebut pendidikan informal. Sebaiknya,
pendidikan di sekolah adalah pendidikan yang secara sengaja dirancang
dan dilaksanakan dengan aturan-aturan yang ketat, seperti harus
berjenjang dan berkesinambungan sehingga disebut pendidikan formal.
62 Pengantar Pendidikan

Sedangkan pendidikan di lingkungan masyarakat (umpamanya


kursus dan kelompok belajar) tidak dipensyaratkan berjenjang dan
berkesinambungan, serta dengan aturan-aturan yang lebih longar
sehingga disebut pendidikan nonformal. Pendidikan informal, formal,
dan nonformal itu sering dipandang sebagai subsistem dari sistem
pendidikan (Tirtarahardja & Sulo, 2005). Sebagai pelaksana pasal 3l
Ayat 2 dari UUD 1945, telah ditetapkan UU RI No. 20 Tahun 2003
tentang Sisdiknas (beserta peraturan pelaksanaanya) yang menata
kembali pendidikan di Indonesia, termasuk lingkungan pendidikan.
Sisdiknas itu membedakan dua jalur pendidikan, yakni jalur pendidikan
sekolah dan jalur pendidikaan luar sekolah.
Jalur pendidikan sekolah adalah pendidikan yang diselenggarakan
disekolah melalui kegiatan belajar-mengajar yang berjenjang dan
berkesinambungan, mulai dari pendidikan prasekolah (taman kanak-
kanak) pendidikan dasar (SD dan SLTP), pendidikan menengah, dan
pendidikan tinggi. Sedangkan jalur pendidikan luar sekolah merupakan
pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah melalui kegiatan belajar
mengajar yang harus berjenjang dan berkesinambungan, baik yang
dilembagakan maupun tidak, yang meliputi pendidikan keluarga,
pendidikan prasekolah (seperti kelompok bermain dan penitipan anak),
kursus, kelompok belajar, dan sebagainya.
Secara umum fungsi lingkungan pendidikan adalah membantu
peserta didik dalam berinteraksi dengan berbagai lingkungan sekitarnya
(fisik, sosial, dan budaya), utamanya berbagai sumber daya pendidikan
yang tersedia, agar dapat dicapai tujuan pendidikan yang optimal.
Penataan lingkungan pendidikan itu terutama dimaksudkan agar proses
pendidikan dapat berkembang efisien dan efektif. Seperti diketahui,
proses pertumbuhan dan perkembangan manusia sebagai akibat interaksi
dengan lingkungannya akan berlangsung secara alamiah dengan
konskuensi bahwa tumbuh berkembang itu mungkin berlangsung lambat
dan menyimpang dari tujuan pendidikan.
Oleh karena itu, diperlukan berbagai usaha sadar untuk mengatur
dan mengendalikan lingkungan itu sedimikian rupa agar dapat diperoleh
peluang pencapaian tujuan secara optimal. Dan dalam waktu serta
dengan daya atau dana yang seminimal mungkin. Dengan demikian,
diharapkan mutu sumber daya manusia makin lama semakin meningkat.
Hal itu hanya dapat diwujudkan apabila setiap lingkungan pendidikan
tersebut dapat melaksanakan fungsi sebagaimana mestinya.
Peran dan Kedudukan Tripusat Pendidikan 63

Masyarakat akan dapat berfungsi dengan sebaik-baiknya jika setiap


individu belajar berbagai hal, baik pola-pola tingkah laku umum maupun
peranan yang berbeda-beda. Untuk itu proses pendidikan harus berfungsi
untuk mengajarkan tingkah laku umum dan untuk menyeleksi atau
mempersiapkan individu untuk peranan-peranan tertentu. Sehubungan
dengan fungsi yang kedua ini pendidikan bertugas untuk mengajarkan
berbagai macam keterampilan dan keahlian.
Meskipun pendidikan informal juga berperan melaksanakan kedua
fungsi tersebut, tetapi Sangat terbatas, khususnya dilaksanakan oleh
masyarakat yang masih primitif. Pada masyarakat yang sudah maju,
fungsi yang kedua dari pendidikan itu hampir sepenuhnya diambil alih
oleh lembaga pendidikan formal. Pendidikan formal berfungsi untk
mengajarkan pengetahuan umum dan pengetahuan-pengaahuan yang
bersifat, khusus dalam rangka mempersiapkan anak untuk pekerjaan-
pekerjaan tertentu.
Program umum yang diberikan oleh pendidikan formal didasarkan
pada asumsi bahwa setiap anak harus memiliki pengetahuan umum
seperti, pengetahuan membaca, menulis, dan berhitung. Di samping
itu, program umum perlu dilakukan untuk memberikan dasar
kebudayaan umum perlu dilakukan untuk memberikan dasar
kebudayaan yang kuat demi kelangsungan hidup dan perkembangan
masyarakat karena perkembangan industri yang membuat spesialisasi
kemampuan dan keterampilan, maka pendidikan formal memberikan
program yang berbeda-beda. Program pendidikan yang berbeda-beda
yang mempersiapkan individu untuk berbagai posisi di dalam
masyarakat amat menentukan peranan pendidikan untuk
mengalokasikan individu-individu di berbagai posisi dalam masyarakat
(Mudyohardjo, 1992).
Kemajuan masyarakat perkembangan ipteks yang semakin cepat,
serta makin menguatnya era globalisasi akan mempengaruhi peranan
dan fungsi ketiga lingkungan pendidikan itu Di samping terjadinya
pergeseran peran seperti telah tampak pada keluarga modern,
dituntut pula suatu peningkatan kualitas dari peran itu, sebagai
contoh, di masa depan yang dekat, manusia Indonesia akan
dihadapkan pada ”tiga budaya’’ antara lain budaya Indonesia dan
budaya dunia. Oleh karena itu pemantapan jati diri setiap manusia
Indonesia merupakan kunci keberhasilannya dalam memilih
pengaruh’’tiga budaya” itu.
64 Pengantar Pendidikan

Pemantapan ketiga sisi tujuan pendidikan itu yakni manusia yang


sadar akan harkat dan martabatnya menguasai ilmu pengetahuan dan
memiliki suatu spesialisasi atau keterampilan tertentu yang disebut
sebagai manusia seutuhnya. Di masa depan, ketiga sisi tersebut semakin
penting karena harus mampu menyesuaikan diri dengm era globalisasisi
dan kemajuan ipteks dan dari segi lain, harus mampu memenangkan
persaingan yang semakin ketat dan tampil sebagai yang unggul dalam
bidang spesialisasinya. Karena itu penigkatan fungsi ketiga lingkungan
pendidikan, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama
akan sangat penting dalam mewujudkan sumber daya manusia yang
bermutu.

2. Tripusat Pendidikan
Manusia sepanjang hidupnya selalu akan menerima pengaruh dari
tiga lingkungan pendidikan yang utama yakni keluarga, sekolah dan
masyarakat, dan ketiganya disebut tripusat pendidikan. Lingkungan
yang mula-mula tetap terpenting adalah keluarga. Pada masyarakat
yang masih sederhana dengan struktur sosial yang belum kompleks,
cakrawala anak sebagian besar masih terbatas pada keluarga. Pada
masyarakat tersebut keluarga mempunyai dua fungsi: fungsi produksi
dan fungsi konsumsi. Kedua fungsi ini mempunyai pengaruh yang
sangat besar terhadap anak. Kehidupan masa depan anak pada
masyarakat tradisional umumnya tidak jauh berbeda dengan kehidupan
orang tuanya. Pada masyarakat tersebut, orang tua yang mengajar
pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup, orang tua
pula yang melatih dan memberi petunjuk tentang berbagai aspek
kehidupan, sampai anak menjadi usia dewasa dan berdiri sendiri.
Tetapi pada masyarakat modern di mana industrialisasi semakin
berkembang dan memerlukan spesialisasi maka pendidikan yang semula
menjadi tanggung jawab keluarga itu kini sebagian besar diambil alih
oleh sekolah dan lembaga-lembaga sosial lainnya Pada tingkat paling
permulaan fungsi ibu sebagian sudah diambil alih oleh sekolah-sekolah
dan perguruan tinggi. Bahkan fungsi pembetukan watak dan sikap
mental pada masyarakat modern berangsur-ansur diambil alih oleh
sekolah dan organisasi sosial lainya, seperti perkumpulan pemuda dan
pramuka, lembaga - lembaga keagamaan, media massa, dan sebagainya.
Meskipun keluarga kehilangan sejumlah fungsi yang semula menjadi
tanggungjawabnya, namun keluarga masih tetap merupakan lembaga
Peran dan Kedudukan Tripusat Pendidikan 65

yang paling dalam proses sosialisasi anak, karena keluarga yang


memberikan tuntunan dan contoh-contoh semenjak masa anak sampai
dewasa dan berdiri sendiri. Adanya perubahan fungsi keluarga
mempunyai pengaruh besar terhadap proses pendidikan pada umumnya
termasuk pendidikan formal. Dalam keluarga pada masyarakat yang
belum maju, orang tua menerapakan sumber dan keterampilan yang
diwariskan atau diajarkan kepada anak-anaknya.
Dalam keluarga semacam ini orang tua memegang otoritas
sepenuhnya. Sebaliknya, dalam masyarakat modern orang tua harus
membagi otoritas dengan orang lain, terutama guru dan pemuka
masyarakat, bahkan dengan anak mereka sendiri yang memperoleh
pengetahuan baru dari luar keluarga. Hubungan keluarga pun berubah
dari hubungan yang besifat otoritatif menjadi hubungan yang bersifat
kolegial. Dalam keluarga ini lebih dapat ditumbuhkan perasaan aman,
saling menyayangi, dan sifat demokratis pada diri anak sebab keputusan
yang diambil selalu dibicarakan bersama oleh seluruh anggota keluarga
(Mudyohardojo, 1992).
Dalam peraturan Dasar Perguruan Nasional Taman Siswa (Putusan
Kongres X tanggal 5 -6 Desember 1966) pasal 15 ditetapkan bahwa:
a. Untuk mencapai tujuan pendidikannya Taman siswa melaksanakan
kerjasama yang harmonis antara ketiga pusat pendidikan yaitu:
1) Lingkungan keluarga
2) Lingkungan perguruan.
3) Lingkungan masyarakat/pemuda
b. Sistem pendidikan tersebut dinamakan sistem “Tripusat”. Bagi taman
siswa, di samping siswa yang tetap tinggal di lingkungan keluarga
sebagai siswa tinggal di asrama (Wisna Priya dan Wisnu Rini) yang
dikelola secara kekeluargaan dengan menerapkan Sistem Among.
Sedangkan pada lingkungan masyarakat, menerapkan penekanan
pemupukan semangat kebangsaan (Suparlan, 1984).

3. Pengaruh Timbal Balik Tripusat Pendidikan Terhadap


Perkembangan anak
Seperti diketahui tumbuh-kembang anak pada umumya, dipengaruhi
oleh berbagai faktor yakni hereditas, lingkungan proses perkembangan
dan anugerah khusus untuk faktor lingkungan, peranan tripusat
pedidikan itulah yang paling menentukan, baik secara sendiri-sendirai
ataupun secara bersama-sama. Dikaitkan dengan tiga poros kegiatan
66 Pengantar Pendidikan

utama pendidikan (membimbing, mengajar, dan melatih), peranan ketiga


tripusat pendidikan itu bervariasi meskipun ketiganya melakukan tiga
kegiatan pokok dalam pendidikan tersebut.
Kaitan antara tripusat pendidikan dengan tiga kegiatan pendidikan
untuk mewujudkan jati diri yang mantap penguasaan pengetahuan dan
kemahiran keterampilan. Setiap pusat pendidikan dapat berpeluang
memberi kontribusi yang besar dalam ketiga kegiatan pendidikan yakni:
a. Pembimbingan dalam upaya pemantapan pribadi yang berbudaya.
b. Pengajaran dalam upaya penguasaan pengetahuan.
c. Pelatihan dalam upaya pemahiran keterampilan.
Konstribusi itu akan berada bukan hanya antar individu, tetapi juga
faktor pusat pendidikan itu sendiri yang bervariasi di seluruh wilayah
Nusantara. Namun kecenderungan umum, utamanya pada masyarakat
modern, konstribusi keluarga pada aspek penguasaan pengetahuan dan
pemahiran keterampilan makin mengecil dibandingkan dengan
konstribusi sekolah dan masyarakat.
Selain peningkatan kontribusi setiap pusat pendidikan terbadap
perkembangan anak, diprasyaratkan pula keserasian kontribusi itu,
serta kerja sama yang erat dan harmonis antar pusat tersebut. Berbagai
upaya dilakukan agar program-program pendidikan dari setiap pusat
pendidikan tersebut saling mendukung dan mernperkuat antara satu
dengan yang lainnya. Di lingkungan keluarga telah diupayakan berbagai
hal (perbaikan gizi, permainan eduktif, dan sebagainya) yang dapat
menjadi landasan perkembangan selanjutnya di sekolah dan masyarakat.
Lingkungan sekolah mengupayakan berbagai hal yang lebih
mendekatkan sekolah dengan orang tua siswa (organisasi orang tua
siswa, kunjungan rumah oleh personel sekolah dan sebagainya).
Selanjutnya sekolah juga mengupayakan agar programnya berkaitan
erat dengan masyarakat di sekitarnya (siswa ke masyarakat, narasumber
dari masyarakat kesekolah dan sebagainya). Akhirnya lingkungan
masyarakat mengusahakan berbagai kegiatan atau program yang
menunjang atau melengkapi program keluarga dan sekolah. Dengan
kontribusi tripusat pendidikan yang saling memperkuat dan saling
melengkapi itu akan memberi peluang mewujudkan sumber daya
manusia terdidik yang bermutu.
Di samping isi kurikulum, muatan lokal juga dapat berkaitan dengan
cara penyampaian isi kurikulum tersebut. Cara penyampaian itu meliputi
baik kegiatan intra-kurikuler, maupun ko-kurikuler ataupun ekstra-
Peran dan Kedudukan Tripusat Pendidikan 67

kurikuler. Dalam cara penyampaian kurikulum, muatan lokal itu akan


sangat meningkatkan kadar relevansi kurikulum dengan situasi dan
kebutuhan setempat pemilihan atau metode atau teknik belajar mengajar,
sumber belajar (termasuk narasumber), serta sarana pendukung lainya
yang tersedia di sekitar siswa akan sangat bermanfaat mendekatkan
siswa dengan lingkunganya, mengakrabkan dengan bidang-bidang
keterampilan yang ada di sekitarnya, serta memahami daerahnya.
Dari segi lain perlu pula dikemukakan bahwa muatan lokal
kurikulum memerlukan kajian secara cermat agar aspek kebhinnekaan
itu tetap dalam latar memantapkan atau memperkaya ketunggalikaan.
Muatan lokal didalam kurikulum tidak boleh menghambat mobilitas
anak, baik secara horizontal maupun vertikal. Dengan kata lain, muatan
lokal di dalam kurikulum harus diupayakan sedimikian rupa sehingga
menghasilkan bukannya ”manusia lokal” akan tetapi “manusia nasional’’
di suatu lokal tertentu, yakni manusia lndonesia yang akrab dan mampu
menyesuaikan diri dengan lingkungan, sebagai pribadi dengan jati diri
Indonesia yang terintegrasi dengan masyarakat sekitarnya serta mampu
mengembangkan minat dan kemampuannya yang khas untuk
disumbangkan pada masyarakat.
Dalam petunjuk penerapan muatan lokal kurikulum dikemukakan
beberapa tujuan yang lebih rinci dari muatan lokal tersebut yang dapat
dikategorikan dalam beberapa kelompok, sebagai berikut:
a. Tujuan-tujuan yang segera dapat dicapai, yakni:
1) Bahan pengajarannya mudah diserap oleh murid.
2) Sumber belajar di daerah dapat lebih dimanfaatkan untuk
kepentingan pendidikan.
3) Murid dapat menerapkan pengetahuan untuk memecahkan
masalah yang ditemuinya di sekitarnya.
4) Murid lebih mengenal kondisi alam, lingkungan sosial, dan
lingkungan budaya terdapat di daerahnya.
b. Tujuan yang memerlukan waktu yang relatif lama untuk mencapainya,
yakni:
1) Murid dapat meningkatkan pengetahuan mengenai
daerahnya.
2) Murid diharapkan dapat menolong orang tuanya dan
menolong dirinya sendiri, dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidupnya.
68 Pengantar Pendidikan

3) Murid menjadi akrab dengan lingkungannya dan terhindar


dari keterasingan terhadap lingkungan sendiri.
Muatan lokal kurikulum tersebut seyogyanya makin diperluas atau
ditingkatkan, agar dapat terlaksana dengan semestinya, berdasarkan
tujuan muatan lokal, perluasan dan peningkatan muatan lokal dilakukan
dengan memperhatikan:
a. GBPP/Silabus yang berlaku.
b. Sumberdaya yang tersedia.
c. Kekhasan lingkungan (alam, sosial, dan budaya) dan kebutuhan
daerah.
d. Mobilitas murid.
e. Perkembangan dan kemampuan murid. Dengan demikian
pendidikan akan mampu melaksanakan secara serentak fungsi
pelestarian kebudayaan dan fungsi pengembangan dari kebudayaan
yang diembannya itu. Sering dengan itu, sekolah sebagai pusat
pendidikan akan lebih dekat dengan pusat-pusat lainya yakni keluarga
dan masyarakat. Dengan demikian, tripusat pendidikan itu
diharapkan dapat menunaikan tugasnya untuk membangun manusia
Indonesia seutuhnya dan membangun seluruh masyarakat
Indonesia.
Landasan, Asas Pendidikan dan Penerapannya 69

BAB IV

LANDASAN, ASAS PENDIDIKAN


DAN PENERAPANNYA

A. Landasan Pendidikan
Secara umum Pendidikan sebagai usaha sadar yang sistematis-
sistemik selalu bertolak dari sejumlah landasan serta pengindahan
sejumlah asas-asas tertentu. Landasan dan asas tersebut sangat penting,
karena pendidikan merupakan pilar utama terhadap perkembangan
manusia dan masyarakat bangsa tertentu. Beberapa landasan pendidikan
tersebut adalah landasan filosofis, sosiologis, dan kultural, yang sangat
memegang peranan penting dalam menentukan tujuan pendidikan.
Selanjutnya landasan ilmiah dan teknologi akan mendorong pendidikan
untuk mnjemput masa depan.
Umumnya ada lima landasan pendidikan utama yang menjadi
norma dasar pendidikan, yakni: (1) Landasan Filosofis Pendidikan, (2)
Landasan Sosiologis Pendidikan, (3) Landasan Kultural Pendidikan, (4)
Landasan Psikologis Pendidikan, (5) Landasan Ilmiah dan Teknologi.

1. Landasan Filosofis Pendidikan


Menurut Tatang (2010) ada 3 aliran utama filsafat di dunia sampai
sekarang, yaitu idealisme, realisme, dan pragmatisme. Adapun uraian
dari masing-masing adalah sebagai berikut.

69
70 Pengantar Pendidikan

a. Idealisme
Hakikat realitas bersifat kejiwaan/spiritual/rohaniah/ideal. Manusia
memperoleh pengetahuan melalui berpikir, intuisi, atau mengingat
kembali. Kebenaran pengetahuan diuji melalui koherensi/konsistensi
ide-idenya. Adapun hakikat nilai diturunkan dari realitas absolut
(Tuhan). Implikasinya adalah pendidikan hendaknya bertujuan untuk
mengembangkan bakat, kepribadian, dan kebajikan sosial para siswa,
agar mereka dapat melaksanakan kehidupan yang baik di dalam
masyarakat/negara sesuai nilai-nilai yang diturunkan dari Yang Absolut.
Untuk itu kurikulum berisikan pendidikan liberal dan pendidikan
vokasional/praktis; kurikulum harus memuat pengetahuan dan nilai-
nilai esensial kebudayaan; sebab itu kurikulum pendidikan cenderung
sama untuk semua siswa.
Kurikulum Idealisme bersifat subject matter centered. Metode dialektik
diutamakan, namun demikian beberapa metode yang efektif yang
mendorong belajar dapat diterima; kecenderungannya mengabaikan
dasar-dasar fisiologis dalam belajar”. Guru harus unggul dalam hal
intelektual maupun moral; bekerjasama dengan alam dalam proses
pengembangan manusia; dan bertanggung jawab menciptakan
lingkungan Landasan Filosofis Pendidikan pendidikan bagi para siswa.
Adapun siswa berperan bebas mengembangkan kepribadian dan bakat-
bakatnya.

b. Realisme
Hakikat realitas bersifat fisik/material dan objektif; keberadaan dan
perkembangan realitas diatur dan diorganisasikan oleh hukum alam.
Manusia adalah bagian dan dihasilkan dari alam itu sendiri; hakikat
pribadi tertentukan dari apa yang dapat dikerjakannya; manusia mampu
berpikir tetapi ia dapat bebas atau tidak bebas. Pengetahuan diperoleh
manusia melalui pengalaman pengindraan; kebenaran pengetahuan
diuji melalui korespondensinya dengan fakta. Nilai hakikatnya
diturunkan dari hukum alam dan konvensi/kebiasaan serta adat istiadat
masyarakat. Implikasinya: pendidikan bertujuan agar siswa mampu
menyesuaikan diri dengan lingkungannya, dan mampu melaksanakan
tanggungjawab sosial.
Kurikulum pendidikan berpusat kepada isi mata pelajaran; adapun
mata pelajarannya terdiri atas sains/IPA, matematika, ilmu kemanusiaan
dan IPS, serta nilai-nilai. Kurikulum tersebut harus memuat pengetahuan
Landasan, Asas Pendidikan dan Penerapannya 71

dan nilai-nilai esensial kebudayaan yang diberlakukan sama untuk


semua siswa. Kurikulum direncanakan dan ditentukan oleh guru.
Kurikulum Realisme bersifat subject matter centered. Metode mengajar
yang utama adalah pembiasaan; para siswa hendaknya belajar melalui
pengalaman langsung ataupun pengalaman tidak langsung. Peranan
guru cenderung bersifat otoriter; guru harus menguasai pengetahuan
dan keterampilan teknik-teknik mengajar; Guru memiliki kewenangan
dalam membentuk prestasi siswa. Adapun siswa berperan untuk
menguasai pengetahuan, harus taat pada aturan dan disiplin. Realisme
dan Idealisme memiliki kesamaan dalam orientasi pendidikannya, yaitu
Essensialisme. Namun demikian karena kedua aliran ini memiliki
gagasan yang berbeda mengenai filsafat umumnya, maka kedua aliran
ini tetap memiliki perbedaan pula dalam hal tujuan pendidikan, isi
kurikulumnya, metode pendidikan, serta peranan pendidik dan peranan
peserta didik/siswanya.

c. Pragmatisme
Realitas hakikatnya adalah sebagaimana dialami manusia; bersifat
plural, dan terus menerus berubah. Manusia adalah hasil evolusi
biologis, psikologis dan sosial. Pengetahuan diperoleh manusia melalui
pengalaman (metode sains), pengetahuan bersifat relatif; teori uji
kebenaran pengetahuan dikenal sebagai pragmatisme/
instrumentalisme, sebab pengetahuan dikatakan benar apabila dapat
diaplikasikan. Hakikat nilai berada dalam proses, yaitu dalam perbuatan
manusia, bersifat kondisional, relatif, dan memiliki kualitas individual
dan sosial. Pendidikan bertujuan agar siswa dapat memecahkan
permasalahan hidup individual maupun sosial. Tidak ada tujuan akhir
pendidikan.
Kurikulum pendidikan hendaknya berisi pengalaman-pengalaman
yang telah teruji, yang sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa (child
centered) dan berpusat pada aktivitas siswa (activity centered). Adapun
kurikulum tersebut mungkin berubah. Pragmatisme mengutamakan
metode pemecahan masalah (problem solving method) serta metode
penyelidikan dan penemuan (inquiry and discovery method). Guru
hendaknya berperan sebagai fasilitator, yaitu memimpin dan
membimbing siswa belajar tanpa ikut campur terlalu jauh atas minat
dan kebutuhan siswa. Adapun siswa berperan bebas untuk
mengembangkan minat dan bakatnya. Orientasi pendidikan
Pragmatisme adalah Progresivisme dan atau Rekonstruksionisme.
72 Pengantar Pendidikan

2. Landasan Sosiologis Pendidikan


Sejalan dengan uraian di atas, landasan sosiologis mengandung
norma dasar pendidikan yang bersumber dari norma kehidupan
masyarakat yang dianut oleh suatu bangsa. Untuk memahami kehidupan
bermasyarakat suatu bangsa kita harus memusatkan perhatian kita
pada pola hubungan antara pribadi an antar kelompok dalam masyarakat
tersebut. Untuk terciptanya kehidupan bermasyarakat yang rukun dan
dama, terciptalah nilai-nilai sosial yang dalam perkembangannya menjadi
norma-norma sosial yang mengikat kehidupan bermasyarakat dan harus
dipatuhi oleh masing-masing anggota masyarakat.
Dalam kehidupan bermasyarakat dibedakan tiga macam norma
yang dianut oleh pengikutnya: (1) paham individualisme, (2) paham
kolektivisme, (3) paham integralistik. Paham individualisme dilandasi
teori bahwa manusia itu lahir merdeka dan hidup merdeka. Masing-
masing boleh berbuat apa saja menurut keinginannya masing-masing,
asalkan tidak mengganggu keamanan orang lain (Oesman & Alfian,
1992). Dampak individualisme menimbulkan cara pandang lebih
mengutamakan kepentingan individu di atas kepentingan masyarakat.
Dalam masyarakat seperti ini, usaha untuk mencapai pengembangan
diri, antara anggota masyarakat satu dengan yang lain saling
berkompetisi sehingga menimbulkan dampak yang kuat selalu menang
dalam bersaing dengan yang kuat sajalah yang dapat eksis.
Berhadapan dengan paham di atas adalah paham kolektivisme
yang memberikan kedudukan yang berlebihan kepada masyarakat dan
kedudukan anggota masyarakat secara perseorangan hanyalah sebagai
alat bagi masyarakatnya. Masyarakat yang menganut paham integralistik
masing-masing anggota masyarakat saling berhubungan erat satu sama
lain secara organis merupakan masyarakat. Sedangkan menurut Oesman
& Alfian (1992) masyarakat integralistik mnempatkan manusia tidak
secara individualis melainkan dalam konteks strukturnya manusia adalah
pribadi, namun juga merupakan relasi. Kepentingan masyarakat secara
keseluruhan diutamakan tanpa merugikan kepentingan pribadi.
Landasan sosiologis pendidikan di Indonesia menganut paham
integralistik yang bersumber dari norma kehidupan masyarakat: (1)
kekeluargaaan dan gotong royong, kebersamaan, musyawarah untuk
mufakat, (2) kesejahteraan bersama menjadi tujuan hidup bermasyarakat,
(3) negara melindungi warga negaranya, dan (4) selaras serasi seimbang
antara hak dan kewajiban. Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia
Landasan, Asas Pendidikan dan Penerapannya 73

tidak hanya meningkatkan kualitas manusia orang perorang melainkan


juga kualitas struktur masyarakatnya.

3. Landasan Kultural Pendidikan


Landasan kultural mengandung makna norma dasar pendidikan
yang bersumber dari norma kehidupan berbudaya yang dianut oleh
suatu bangsa. Untuk memahami kehidupan berbudaya suatu bangsa
kita harus memusatkan perhatian kita pada berbagai dimensi
(Sastrapratedja, 1992). Kebudayaan terkait dengan ciri manusia sendiri
sebagai mahluk yang “belum selesai” dan harus berkembang, maka
kebudayaan juga terkait dengan usaha pemenuhan kebutuhan manusia
yang asasi: (1) kebudayaan dapat dipahami sebagai strategi manusia
dalam menghadapi lingkungannya, dan (2) kebudayaan merupakan
suatu sistem dan terkait dengan sistem sosial. Kebudayaan dari satu
pihak mengkondisikan suatu sistem sosial dalam arti ikut serta
membentuk atau mengarahkan, tetapi juga dikondisikan oleh sistem
sosial.
Dengan memperhatikan berbagai dimensi kebudayaan tersebut di
atas dapat dikemukakan, bahwa landasan kultural pendidikan di
Indonesia haruslah mampu memberi jawaban terhadap masalah berikut:
(1) semangat kekeluargaan dalam rumusan Undang-Undang Dasar
1945 sebagai landasan pendidikan, (2) rule of law dalam masyarakat
yang berbudasya kekeluargaan dan kebersamaan, (3) apa yang menjadi
“etos” masyarakat Indonesia dalam kaitan waktu, alam, dan kerja, serta
kebiasaan masyarakat Indonesia yang menjadi “etos” sesuai dengan
budaya Pancasila; beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras
tangguh bertanggung jawab, mandiri, cerdas dan terampil, sehat jasmani
dan rohani, dan (4) cara bagaimana masyarakat menafsirkan dirinya,
sejarahnya, dan tujuan-tujuannya. Bagaimana tiap warga memandang
dirinya dalam masyarakat yang integralistik, bagaimana perkembangan
cara peningkatan hrkat dan martabat sebagai manusia, apa yang menjadi
tujuan pembentukan manusia Indonesia seutuhnya.

4. Landasan Psikologis Pendidikan


Landasan psikologis mengandung makna norma dasar pendidikan
yang bersumber dari hukum-hukum dasar perkembangan peserta didik.
Hukum-hukum dasar perkembangan peserta didik sejak proses
terjadinya konsepsi sampai mati manusia akan mengalami perubahan
74 Pengantar Pendidikan

karena bertumbuh dan berkembang. Pertumbuhan itu bersifat jasmaniah


maupun kejiwaan. Jadi sepanjang kehidupan manusia terjadi proses
pertumbuhan yang terus-menerus. Proses perubahan itu terjadi secara
teratur dan terarah, yaitu ke arah kemajuan, bukan kemunduran. Tiap
tahap kemajuan pertumbuhan ditandai dengan meningkatnya
kemampuan dan cara baru yang dimiliki. Pertumbuhan merupakan
peralihan tingkah laku atau fungsi kejiwaan dari yang lebih rendah
kepada tingkat yang lebih tinggi. Perubahan-perubahan yang selalu
terjadi itu dimaksudkan agar orang didalam kehidupannya dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Lingkungan manusia terdiri dari lingkungan fisik dan lingkungan
sosial. Lingkungan fiik adalah segala sesuatu yang ada di sekitar anak
yang non manusia; sedangkan lingkungan sosial adalah semua orang
yang ada didalam kehidupan anak, yakni orang yang bergaul dengan
anak, melakukan kegiatan bersama atau bekerja sama.
Tugas pendidikan yang terutama adalah memberikan bimbingan
agar pertumbuhan anak dapat berlangsung secara wajar dan optimal.
Oleh karena itu, diperlukan pngetahuan tentang hukum-hukum dasar
perkembangan kejiwaan manusia agar tindakan pendidikan yang
dilaksanakan berhasil guna dan berdaya guna. Beberapa hukum dasar
yang perlu kita perhatikan dalam membimbing anak dalam proses
pendidikan.

a. Tiap-Tiap Anak Memiliki Sifat Kepribadian yang Unik


Anak didik merupakan pribadi yang sdang bertumbuh dan
berkembang. Apabia kita amati secara seksama, mungkin kita
menghadapidua anak didik yang tidak sama benar. Di samping memiliki
kesamaan-kesamaan, tentu masing-masing punya sifat yang khas, yang
hanya dimiliki oleh diri masing-masing. Dikatakan, bahwa tiap-tiap
anak memiliki sifat kepribadian yang unik; artinya anak memiliki sifat-
sifat khas yang dimiliki oleh dirinya sendiri dan tidak oleh anak lain.
Keunikan sifat pribadi seseorang itu terbentuk karena peranan tiga
faktor penting, yakni: (1) keturunan/heredity, (2) lingkungan/
environment, (3) diri/self.

b. Faktor Keturunan
Sejak terjadinya konsepsi, yakni proses pembuahan sel telur oleh sel
jantan, anak memperoleh warisan sifat-sifat pembawaan dari kedua
orang tuanya yang merupakan potensi-potensi tertentu. Potensi ini
Landasan, Asas Pendidikan dan Penerapannya 75

relatif sudah terbentuk (fixed) yang sukar berubah baik melalui usaha
kegiatan pendidikan maupun pemberian pengalaman. Beberapa ahli
ilmu pengetahuan terutama ahli biologi menekankan pentingnya faktor
keturunan ini bagi pertumbuhan fisik, mental, maupun sifat kepribadian
yang diinginkan. Pandangan ini nampaknya memang cocok untuk
dunia hewan. Namun demikian, dalam lingkungan kehidupan manusia
biasanya potensi individu juga merupakan masalah penting. Sedang
para ahli ilmu jiwa yang menekankan pentingnya lingkungan seseorang
dalam pertumbuhannya cenderung mengecilkan pengaruh pembawaan
ini (naïve endowment). Mereka lebih menekankan pentingnya penggunaan
secara berdaya guna pengalaman sosial dan edukasional agar seseorang
dapat bertumbuh secara sehat dengan penyesuaian hidup secara baik.

c. Faktor Lingkungan
Sebagaimana diterangkan di muka, lingkungan kehidupan itu terdiri
dari lingkungan yang bersifat sosial dan fisik. Sejak anak dilahirkan
bahkan ketika masih dalam kandungan ibu, anak mendapat pengaruh
dari sekitarnya. Macam dan jumlah makanan yang diterimanya, keadaan
panas lingkungannya dan semua kondisi lingkungan baik yang bersifat
membantu pertumbuhan maupun yang menghambat pertumbuhan.
Sama pentingnya dengan kondisi lingkungan anak yang berupa sikap,
perilaku orang-orang di sekitar anak. Kebiasaan makan, berjalan,
berpakaian, itu bukan pembawaan, melainkan hal-hal yang diperoleh
dan dipelajari anak dari lingkungan sosialnya. Bahasa yang dipergunakan
merupakan media penting untuk menyerap kebudayaan masyarakat
dimana anak tinggal. Tidak saja makna hafiah kata yang terdapat
dalam bahasa itu melainkan juga asosiasi perasaan yang menyertai kata
dalam perbuatan.

d. Faktor Diri
Faktor penting yang sering diabaikan dalam memahami prinsip
pertumbuhan anak ialah faktor diri (self), yaitu faktor kejiwaan seseorang.
Kehidupan kejiwaan itu terdiri dari perasaan, usaha, pikiran, pandangan,
penilaian, keyakinan, sikap, dan anggapan yang semuanya akan
berpengaruh dalam membuat keputusan tentang tindakan sehari-hari.
Apabila dapat dipahami diri seseorang, maka dapat dipahami pola
kehidupannya. Pengetahuan kita tentang pola hidup seseorang akan
dapat membantu kita untuk memahami apa yang menjadi tujuan orang
itu di balik perbuatan yang dilakukan. Seringkali kita menginterpretasikan
76 Pengantar Pendidikan

pengaruh pembawaan dan lingkungan secara mekanis tanpa


memperhitungkan faktor lain yang tidak kurang pentingnya bagi
pertumbuhan anak, yaitu diri (self). Memang pengaruh pembawaan
dan lingkungan bagi pertumbuhan anak saling berkaitan dan saling
melengkapi; tetapi masalah pertumbuhan belum berakhir tanpa
memperhitungkan peranan self, yakni bagaimana seseorang
menggunakan potensi yang dimiliki dan lingkungannya. Di sinilah
pemahaman tentang self atau pola hidup dapat membantu memahami
seseorang. Self mempunyai pengaruh yang besar untuk
menginterprestasikan kuatnya daya pembawaan dan kuatnya daya
lingkungan. Contoh yang ekstrim ada anak yang cacat fisik, tetapi
beberapa fungsinya tetap berdaya guna, sedang anak cacat yang lain
menggunakan kecacatannya sebagai suatu alasan untuk
ketidakmampuannya. Ini tidak lain karena pernana self. Self berinteraksi
dengan pembawaan dan lingkungan yang membentuk pribadi
seseorang.

e. Tiap Anak Memiliki Kecerdasan yang Berbeda-beda


Sebagaimana diterangkan di atas, sejak anak dilahirkan, mereka itu
memiliki potensi yang berbeda-beda dan bervariasi. Pendidikan memberi
hak kepada anak untuk mengembangkan potensinya. Kalau kita
perhatikan siswa-siswa, kita akan segera mengetahui bahwa mereka
memiliki kecerdasan yang berbeda-beda, meskipun mereka mempunyai
usai kalender yang sama, tetapi kemampuan mentalnya tidak sama.
Dikatakan mereka memiliki usia kronologis yang sama, tetapi usia
kecerdasan yang tidak sama. Jadi setiap anak memiliki indeks kecerdasan
yang berbeda-beda. Indeks kecerdasan atau IQ diperoleh dari hasil
membagi usia kecerdasan denga usia kalender (usia senyatanya)
dikalikan 100. Baik usia kecerdasan maupun usia kronologis (usia
senyatanya) dinyatakan dalam satuan bulan.
Contohnya: Seorang anak dengan usia kecerdasan 10 tahun dan 6
bulan (126 bulan) diambil dari hasil tes intelegensi yang valid dan
reliabel. Usia kronologisnya 10 tahun dan 6 bulan (126 bulan), maka IQ
anak tersebut 100. Untuk kepentingan praktis IQ normal ditentukan
antara 90 – 10. Dengan melihat indeks kecerdasan anak, kita dapat
mengklasifikasi anak itu pada kecerdasan tertentu.
Anak golongan idiot mempunyai kemampuan mental yang paling
rendah. Golongan ini tidak dapat melindungi dirinya dari bahaya atau
melayani kebutuhan dirinya sendiri. Umurnya biasanya tidak panjang
Landasan, Asas Pendidikan dan Penerapannya 77

dan hanya mampu menumbuhkan kemampuan mentalnya pada tingkat


usia 4 tahun. Golongan imbicile satu tingkat lebih baik daripada golongan
idiot. Anak golongan imbicile dapat dilatih untuk melayani kebutuhan
dirinya dan menguasai ketrampilan sederhana dengan bimbingan
khusus. Anak golongan ini dapat mencapai usia dewasa, tetapi jarang
sekali mencapai usia kecerdasan lebih dari tingkatan usia 8 tahun.
Sedangkan golongan moron mampu melayanai kebutuhan dirinya.
Dengan pendidikan sekolah yang direncanakan dengan seksama, mereka
dapat mempelajari hal-hal yang sederhana dan menguasai ketrampilan
yang terbatas untuk lapangan pekerjaan yang sederhana. Usia mental
golongan moron jarang sekali mencapai tingkat usia 12 tahun. Terbuka
kemungkinan memasuki lapangan pekerjaan yang menguntungkan
dirinya sendiri dan yang mengerjakannya. Golongan genius pada waktu
sekarang lebih mendapat perhatian para ahli daripada sebelumnya.
Kemampuan berpikir dan penalaran golongan pada tingkatan
kemampuan mental yang tinggi, sehingga mampu melakukan kegiatan
yang bersifat kreatif dan invertif. Anak-anak berbakat ini ditemukan
ada pada semua bangsa dan pada semua tingkatan sosial ekonomi dan
semua jenis (laki-laki atau perempuan). Berdasarkan data yang ada
ternyata jumlah jenius laki-laki lebih banyak dari perempuan.
Berdasarkan penyelidikan Terman; anak-anak berbakat, kondisi fisiknya
lebih baik dari yang normal, lebih kuat dan sehat dari umumnya anak-
anak pada usia yang sama. Dalam hal penyesuaian sosial sama baiknya.

f. Tiap Tahap Pertumbuhan Mempunyai Ciri-ciri Tertentu


Karena tiap tahap pertumbuhan itu memiliki ciri-ciri tertentu hal ini
dapat membantu pendidik untuk mengatur strategi pendidikan dengan
kesiapan anak muda untuk menerima, memahami dan menguasai
bahan pendidikan sesuai dengan kemampuan. Jadi strategi pendidikan
untuk siwa Sekolah Taman Kanak-kanak akan berbeda dengan strategi
yang diperuntukkan siswa Sekolah Dasar. Demikian juga dengan jenjang
persekolahan yang lain.

g. Landasan Ilmiah dan Teknologi Pendidikan


Landasan ilmiah dan teknologi pendidikan mengandung makna
norma dasar yang bersumber dari perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang mengikat dan mengharuskan pelaksana pendidikan
untuk menerapkannya dalam usaha pendidikan. Norma dasarnya yang
bersumber dari ilmu pengetahuan dan teknologi itu harus mengandung
78 Pengantar Pendidikan

ciri-ciri keilmuan yang hakiki, yaitu. (1) Ontologis, yakni adanya objek
penalaran yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diamati
dan diuji. (2) Epistomologis, yakni adanya cara untuk menelaah objek
tersebut dengan metode ilmiah, dan (3) Aksiologis, yakni adanya nilai
kegunaan bagi kepentingan dan kesejahteraan lahir batin.
Bagi pendidikan di Indonesia yang menjadi objek penalaran seluruh
aspek kehidupan diklasifikasikan ke dalam bidang ideologi, politik,
ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, serta agama. Yang
dalam pengembangannya senantiasa harus dipedomi nilai-nilai Pancasila.
Demikian pula cara telaah objek penalaran aspek kehidupan tersebut
selain memperhatikan segi ilmiahnya tidak boleh bertentangan dengan
nilai-nilai Pancasila.
Nilai kegunaan ilmu pengetahuan dan teknologi hendaknya terkait
dengan peningkatan kesejahteraan lahir batin, kemajuan peradaban,
serta ketangguhan dan daya saing sebagai bangsa, serta tidak
bertentangan dengan nilai agama dan budaya bangsa. Manfaat ilmu
pengetahuan dan teknologi yang melandasi pendidikan harus mampu
(1) memberikan kesejahteraan lahir dan batin setinggi-tingginya, (2)
mendorong pemanfaatan pengembangan sesuai tuntutan zaman, (3)
menjamin penggunaannya secara bertanggung jawab, (4) memberi
dukungan nilai-nilai agama dan nilai luhur budaya bangsa, (5)
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (6) meningkatkan produktivitas,
efisiensi, dan efektivitas sumber daya manusia.

B. Asas - Asas Pendidikan


Sebelum kita membicarakan tentang asas-asas pendidikan yang
berlaku di Indonesia, terlebih dahulu kita memiliki kesatuan pendapat
tentang arti asas pendidikan. Asas pendidikan memiliki arti hukum
atau kaidah yang menjadi acuan kita dalam melaksanakan kegiatan
pendidikan.
Dalam masalah ini, berturut-turut akan kita bicarakan dua asas
pendidikan yang berlaku di Indonesia: (1) asas Tut Wuri Handayani, dan
(2) asas Belajar Sepanjang Hayat.

1. Asas Tut Wuri Handayani


Asas Tut Wuri Handayani merupakan gagasan yang mula-mula
dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara seorang perintis kemerdekaan
dan pendidikan nasional. Tut Wuri Handayani mengandung arti pendidik
Landasan, Asas Pendidikan dan Penerapannya 79

dengan kewibawaan yang dimiliki mengikuti dari belakang dan memberi


pengaruh, tidak menarik-narik dari depan, membiarkan anak mencari
jalan sendiri, dan bila anak melakukan kesalahan baru pendidik
membantunya. Gagasan tersebut dikembangkan Ki Hajar Dewantara
pada masa penjajahan dan masa perjuangan kemerdekaan. Dalam era
kemerdekaan gagasan tersebut serta merta diterima sebagai salah satu
asas pendidikan nasional Indonesia.
Asas Tut Wuri Handayani memberi kesempatan anak didik untuk
melakukan usaha sendiri, dan ada kemungkinan mengalami berbuat
kesalahan, tanpa ada tindakan (hukuman) pendidik. Hal itu tidak
menjadikan masalah, karena menurut Ki Hajar Dewantara, setiap
kesalahan yang dilakukan anak didik akan membawa pidananya sendiri,
kalau tidak ada pendidik sebagai pemimpin yang mendorong datangnya
hukuman tersebut. Dengan demikian, setiap kesalahan yang dialami
anak tersebut bersifat mendidik. Menurut asas tut wuri handayani (1)
pendidikan dilaksanakan tidak menggunakan syarat paksaan, (2)
pendidikan adalah penggulowentah yang mengandung makna: momong,
among, ngemong. Among mengandung arti mengembangkan kodrat alam
anak dengan tuntutan agar anak didik dapat mengembangkan hidup
batin menjadi subur dan selamat. Momong mempunyai arti mengamat-
amati anak agar dapat tumbuh menurut kodratnya. Ngemong berarti
kita harus mengikuti apa yang ingin diusahakan anak sendiri dan
memberi bantuan pada saat anak membutuhkan, (3) pendidikan
menciptakan tertib dan damai (orde en vrede), (4) pendidikan tidak ngujo
(memanjakan anak), dan (5) pendidikan menciptakan iklim, tidak
terperintah, memerintah diri sendiri dan berdiri di atas kaki sendiri
(mandiri dalam diri anak didik.

2. Asas Belajar Sepanjang Hayat


Pendidikan Indonesia bertujuan meningkatkan kecerdasan, harkat,
dan martabat bangsa, mewujudkan manusia Indonesia yang beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkualitas, mandiri
hingga mampu membangun diri sendiri dan masyarakat sekelilingnya,
memenuhi kebutuhan pembangunan dan bertanggung jawab atas
pembangunan bangsa. Gambaran tentang manusia Indonesia itu
dilandasi pandangan yang menganggap manusia sebagai suatu
keseluruhan yang utuh, atau manusia Indonesia seutuhnya, keseluruhan
segi-segi kepribadiannya merupakan bagian-bagian yang tak terpisahkan
satu dengan yang lain atau merupakan suatu kebulatan. Oleh karena
80 Pengantar Pendidikan

itu, pengembangan segi-segi kepribadian melalui pendidikan


dilaksanakan secara selaras, serasi, dan seimbang. Untuk mencapai
integritas pribadi yang utuh harus ada keseimbangan dan keterpaduan
dalam pengembangannya.
Keseimbangan dan keterpaduan dapat dilihat dari segi: (1)
jasmani dan rohani; jasmani meliputi: badan, indera, dan organ
tubuh yang lain; sedangkan rohani meliputi: potensi pikiran, perasaan,
daya cipta, karya, dan budi nurani, (2) material dan spiritual;
material berkaitan dengan kebutuhan sandang, pangan, dan papan
yang memadai; sedangkan spiritual berkaitan dengan kebutuhan
kesejahteraan dan kebahagiaan yang sedalam-dalamnya dalam
kehidupan batiniah, (3) individual dan sosial; manusia mempunyai
kebutuhan untuk memenuhi keinginan pribadi dan memenuhi
tuntutan masyarakatnya, (4) dunia dan akhirat; manusia selalu
mendambakan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat sesuai
dengan keyakinan agam masing-masing, dan (5) spesialisasi dan
generalisasi; manusia selalu mendambakan untuk memiliki
kemampuan-kemampuan yang umumnya dimiliki orang lain, tetapi
juga menginginkan kemampuan khusus bagi dirinya sendiri.
Untuk mencapai integritas pribadi yang utuh sebagaimana gambaran
manusia Indonesia seutuhnya sesuai dengan nilai-niai Pancasila,
Indonesia menganut asas pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan
sepanjang hayat memungkinkan tiap warga negara Indonesia: (1)
mendapat kesempatan untuk meningkatkan kualitas diri dan kemandirian
sepanjang hidupnya, (2) mendapat kesempatan untuk memanfaatkan
layanan lembaga-lembaga pendidikan yang ada di masyarakat. Lembaga
pendidikan yang ditawarkan dapat bersifat formal, informal, non formal,
(3) mendapat kesempatan mengikuti program-program pendidikan sesuai
bakat, minat, dan kemampuan dalam rangka pengembasngan pribadi
secara utuh menuju profil Manusia Indonesia Seutuhnya (MIS)
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan (4) mendapat
kesempatan mengembangkan diri melalui proses pendidikan jalur, jenjang,
dan jenis pendidikan tertentu.

C. Penerapan Asas - Asas Pendidikan


Sebagaimana telah dibicarakan dalam bahasan terdahulu ada dua
asas-asas utama yang menjadi acuan pelaksanaan pendidikan, yakni:
(1) Asas Belajar Sepanjang Hayat, dan (2) Asas Tut Wuri Handayani.
Landasan, Asas Pendidikan dan Penerapannya 81

Untuk memberi gambaran bagaimana penerapan asas-asas tersebut


di atas berturut-turut akan dibicarakan: (1) keadaan yang ditemui
sekarang, (2) permasalahan yang ada, dan (3) pengembangan penerapan
asas-asas pendidikan.

1. Keadaan yang Ditemui Sekarang


Dalam kaitan asas belajar sepanjang hayat, dapat dikemukakan
beberapa keadaan yang ditemui sekarang:
a. Usaha pemerintah memperluas kesempatan belajar telah mengalami
peningkatan. Terbukti dengan semakin banyaknya peserta didik dari
tahun ke tahun yang dapat ditampung baik dalam lembaga
pendidikan formal, non formal, dan informal; berbagai jenis
pendidikan; dan berbagai jenjang pendidikan dari TK sampai
perguruan tinggi.
b. Usaha pemerintah dalam pengadaan dan pembinaan guru dan tenaga
kependidikan pada semua jalur, jenis, dan jenjang agar mereka dapat
melaksanakan tugsnya secara proporsional. Dan pada gilirannya dapat
meningkatkan kualitas hasil pendidikan di seluruh tanah air.
Pembinaan guru dan tenaga guru dilaksanakan baik didalam negeri
maupun diluar negeri.
c. Usaha pembaharuan kurikulum dan pengembangan kurikulum dan
isi pendidikan agar mampu memenuhi tantangan pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya yang berkualitas melalui pendidikan.
d. Usaha pengadaan dan pengembangan sarana dan prasarana yang semakin
meningkat: ruang belajar, perpustakaan, media pengajaran, bengkel kerja,
sarana pelatihan dan ketrampilan, sarana pendidikan jasmani.
e. Pengadaan buku ajar yang diperuntukan bagi berbagai program
pendidikan masyarakat yang bertujuan untuk: (1) meningkatkan
sumber penghasilan keluarga secara layak dan hidup bermasyarakat
secara berbudaya melalui berbagai cara belajar, (2) menunjang
tercapainya tujuan pendidikan manusia seutuhnya.
f. Usaha pengadaan berbagai program pembinaan generasi muda:
kepemimpinan dan ketrampilan, kesegaran jasmani dan daya kreasi,
sikap patriotisme dan idealisme, kesadaran berbangsa dan bernegara,
kepribadian dan budi luhur.
g. Usaha pengadaan berbagai program pembinaan keolahragaan dengan
memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anggota
masyarakat untuk melakukan berbagai macam kegiatanolahraga untuk
meningkatkan kesehatan dan kebugaran serta prestasi di bidang olahraga.
82 Pengantar Pendidikan

h. Usaha pengadaan berbagai program peningkatan peran wanita


dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya dalam upaya
mewujudkan keluarga sehat, sejahtera dan bahagia; peningkatan ilmu
pngetahuan dan teknologi, ketrampilan serta ketahanan mental.
Sesuai dengan uraian di atas, maka secara singkat pemerintah
secara lintas sektoral telah mengupayakan usaha-usaha untuk menjawab
tantangan asas pendidikan sepanjang hayat dengan cara pengadaan
sarana dan prasarana, kesempatan serta sumber daya manusia yang
menunjang.
Dalam kaitan penerapan asas Tut Wuri Handayani, dapat
dikemukakan beberapa keadaan yang ditemui sekarang, yakni:
a. Peserta didik mendapat kebebasan untuk memilih pendidikan dan
ketrampilan yang diminatinya di sema jenis, jalur, dan jenjang
pendidikan yang disediakan oleh pemerintah sesuai peran dan
profesinya dalam masyarakat. Peserta didik bertanggung jawab atas
pendidikannya sendiri.
b. Peserta didik mendapat kebebasan untuk memilih pendidikan
kejuruan yang diminatinya agar dapat mempersiapkan diri
u n t u k m e m a s u k i l a p a n g a n k e r j a b i d a n g t e r t e n t u ya n g
diinginkannya.
c. Peserta didik memiliki kecerdasan yang luar biasa diberikan
kesempatan untuk memasuki program pendidikan dan ketrampilan
sesuai dengan gaya dan irama belajarnya.
d. Peserta didik yang memiliki kelainan atau cacat fisik atau mental
memperoleh kesempatan untuk memilih pendidikan dan ketrampilan
sesuai dengan cacat yang disandang agar dapat bertumbuh menjadi
manusia yang mandiri.
e. Peserta didik di daerah terpencil mendapat kesempatan untuk
memperoleh pendidikan dan ketrampilan agar dapat berkembang
menjadi manusia yang memiliki kemampuan dasar yang memadai
sebagai manusia yang mandiri, yang beragam dari potensi dibawah
normal sampai jauh diatas normal.

2. Asas Tut Wuri Handayani


Sebagai asas pertama, tut wuri handayani merupakan inti dari
sitem Among perguruan. Asas yang dikumandangkan oleh Ki Hajar
Dwantara ini kemudian dikembangkan oleh Drs. R.M.P. Sostrokartono
dengan menambahkan dua semboyan lagi, yaitu Ing Ngarso Sung Sung
Tulodo dan Ing Madyo Mangun Karso.
Landasan, Asas Pendidikan dan Penerapannya 83

Kini ketiga semboyan tersebut telah menyatu menjadi satu kesatuan


asas yaitu:
a. Ing Ngarso Sung Tulodo ( jika di depan memberi contoh)
b. Ing Madyo Mangun Karso (jika ditengah-tengah memberi dukungan
dan semangat)
c. Tut Wuri Handayani (jika di belakang memberi dorongan)

3. Asas Belajar Sepanjang Hayat


a. Asas belajar sepanjang hayat (life long learning) merupakan sudut
pandang dari sisi lain terhadap pendidikan seumur hidup (life long
education). Kurikulum yang dapat meracang dan diimplementasikan
dengan memperhatikan dua dimensi yaitu dimensi vertikal dan
horisontal.
b. Dimensi vertikal dari kurikulum sekolah meliputi keterkaitan dan
kesinambungan antar tingkatan persekolahan dan keterkaitan dengan
kehidupan peserta didik di masa depan.
c. Dimensi horisontal dari kurikulum sekolah yaitu katerkaitan antara
pengalaman belajar di sekolah dengan pengalaman di luar sekolah.

4. Asas Kemandirian dalam Belajar


Dalam kegiatan belajar mengajar, sedini mungkin dikembangkan
kemandirian dalam belajar itu dengan menghindari campur tangan
guru, namun guru selalu suiap untuk ulur tangan bila diperlukan.
Perwujudan asas kemandirian dalam belajar akan menempatkan guru
dalamperan utama sebagai fasilitator dan motivator.

D. Masalah Peningkatan Mutu Pendidikan


Kebijakan peningkatan mutu pendidikan tidak harus
dipertimbangkan dengan kebijaksanaan pemerataan pendidikan. Karena
peningkatan kualitas pendidikan harus diimbangi dengan peningkatan
kualitas pendidikan. Pendidikan bertujuan membangun sumber daya
manusia yang mutunya sejajar dengan mutu sumber daya manusia
negara lain.
Pemerintah mengusahakan berbagai cara dalam upaya peningkatan
mutu pendidikan, antara lain: (1) Pembinaan guru dan tenaga pendidikan
di semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan yang menyelenggarakan
pendidikan, (2) Pengembangan sarana dan prasarana sesuai dengan
perkembangan ilmu dan teknologi, (3) Pengembangan kurikulum dan
84 Pengantar Pendidikan

isi pendidikan sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi serta


pengembangan nilai-nilai budaya bangsa, (4) Pengembangan buku ajar
sesuai dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta perkembangan budaya bangsa.
Sesuai dengan uraian diatas secara singkat dapat dikemukakan:
dalam menghadapi masalah peningkatan sumber daya manusia sesuai
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pemerintah telah dan
sedang mengupayakan peningkatan: mutu guru dan tenaga
kependidikan, mutu sarana dan prasarana pendidikan, mutu kurikulum
dan isi kurikulum sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta perkembangan nilai-nilai budaya bangsa.
Aliran Pendidikan 85

BAB V

ALIRAN PENDIDIKAN

A. Aliran Klasik Pendidikan


Secara umum, pendidikan diartikan sebagai usaha manusia untuk
membina ke-pribadiannya sesuai dengan nilai-nilai dan budaya
masyarakat. Bagaimana pun sederhananya peradaban suatu masyarakat,
di dalamnya pasti berlangsung suatu proses pendidikan, sehingga sering
dikatakan bahwa pendidikan telah ada sepanjang peradaban umat
manusia (Samad, 2013). Proses pendidikan berada dan berkembang
bersama perkembangan hidup dan kehidupan manusia, bahkan
keduanya merupakan proses yang satu (Nanuru, 2013).
Sejak manusia menghendaki kemajuan dalam kehidupan, maka
sejak itu timbul gagasan untuk melakukan pengalihan, pelestarian dan
pengembangan kebudayaan melalui pendidikan. Pendidikan di dalam
masyarakat senantiasa menjadi perhatian utama dalam rangka
memajukan kehidupan generasi yang sejalan dengan tuntutan,
perkembangan dan kemajuan masyarakat dari zaman ke zaman
(Nadirah, 2013). Mengingat perkembangan kehidupan dan pelaksanaan
pendidikan bersifat dinamis, maka gagasan-gagasan yang muncul pun
bersifat dinamis (sesuai dengan alam pikir dan dinamika manusianya).
Kondisi akhirnya mendorong lahirnya aliran-aliran dalam pendidikan

85
86 Pengantar Pendidikan

Aliran-aliran dalam pendidikan perlu dikuasai oleh para calon


pendidik karena pendidikan tidak cukup dipahami hanya melalui
pendekatan ilmiah yang bersifat parsial dan deskriptif saja, melainkan
perlu dipandang pula secara holistik (menyeluruh). Menurut
Tirtarahardja & Sulo (2005) aliran-aliran pendidikan telah dimulai sejak
awal hidup manusia, karena setiap kelompok manusia selalu dihadapkan
dengan generasi muda keturunannya yang memerlukan pendidikan
yang lebih baik dari orang tuanya. Di dalam kepustakaan tentang aliran-
aliran pendidikan, pemikiran-pemikiran tentang pendidikan telah dimulai
dari zaman Yunani kuno sampai kini, dikenal dengan istilah rumpun
aliran klasik dan aliran (gerakan) baru.
Bahasan bagian ini hanya dibatasi pada beberapa rumpun aliran
klasik. Aliran-aliran klasik yang dimaksud adalah aliran empirisme,
nativisme, naturalisme, dan konvergensi. Sampai saat ini aliran aliran
tersebut masih sering digunakan walaupun dengan pengembangan-
pengembangan yang disesuaikan dengan perkembangan zaman.

1. Aliran Empirisme
Empirisme berasal dari kata empire, artinya pengalaman. Tokoh
utama aliran ini ialah John Locke (1632-1704). Nama asli aliran ini
adalah “The School of British Empiricism” (aliran empirisme Inggris).
Namun aliran ini lebih berpengaruh terhadap para pemikir Amerika
Serikat, sehingga melahirkan sebuah aliran filsafat bernama
“environmentalisme” (aliran lingkungan) dan psikologi bernama
“environmental psychology” (psikologi lingkungan) yang relatif masih
baru (Syah, 2002). Selain Locke, terdapat juga ahli pendidikan lain yang
mempunyai pandangan hampir sama, yaitu Helvatus, ahli filsafat Yunani
yang berpendapat, bahwa manusia dilahirkan dengan jiwa dan watak
yang hampir sama yaitu suci dan bersih. Pendidikan dan lingkungan
yang akan membuat manusia berbeda-beda (Djumransjah, 2004).
Locke memandang bahwa anak yang dilahirkan itu ibaratnya meja
lilin putih bersih yang masih kosong belum terisi tulisan apa-apa,
karenanya aliran atau teori ini disebut juga Tabularasa, yang berarti
meja lilin putih. Masa perkembangan anak menjadi dewasa itu sangat
dipengaruhi oleh lingkungan atau pengalaman dan pendidikan yang
diterimanya sejak kecil. Pada dasarnya manusia itu bisa didik apa saja
menurut kehendak lingkungan (dalam arti luas), pengalaman dari
lingkungan itulah yang menentukan pribadi seseorang (Ahmadi &
Uhbiyati, 1991; Thoib, 2008).
Aliran Pendidikan 87

Manusia-manusia dapat dididik apa saja (ke arah yang baik dan ke
arah yang buruk) menurut kehendak lingkungan atau pendidikan.
Dalam hal ini, alamlah yang membentuknya. Pendapat kaum empiris
ini terkenal dengan nama optimisme paedagogis, karena upaya pendidikan
hasilnya sangat optimis dapat mempengaruhi perkembangan anak,
sedangkan pembawaan tidak berpengaruh sama sekali (Suryabrata,
2002; Purwanto, 2004).
Aliran ini mengandaikan bahwa pertumbuhan dan perkembangan
hidup manusia ditentukan sepenuhnya oleh faktor-faktor pengalaman
yang berada di luar diri manusia, baik yang sengaja di desain melalui
pendidikan formal maupun pengalaman-pengalaman tidak disengaja
yang diterima melalui pendidikan informal, non formal, dan alam
sekitar. Aliran ini berpendapat bahwa pendidikanlah yang menentukan
masa depan manusia, sedangkan faktor-faktor yang berasal dari dalam,
seperti bakat dan keturunan tidak mempunyai pengaruh sama sekali
dalam menentukan masa depan manusia (Setianingsih, 2008).
Menurut Mudyahardjo et al (1992) empirisme dipandang sebagai
hal yang paling produktif, karena dalam dunia pendidikan lingkunganlah
yang berperan besar untuk membentuk potensi dan pengetahuan peserta
didik. Ada beberapa lingkungan yang berperan dalam proses pendidikan,
diantaranya adalah lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat. Dalam
proses ini inderawi sepenuhnya sangat berperan dalam berlangsungnya
proses pendidikan dan menjadi hal yang nyata dalam praktek
pendidikan.
Aliran empirisme berkembang luas di dunia Barat terutama Amerika
Serikat. Aliran ini dalam perkembangannya menjelma menjadi aliran/
teori belajar behaviorisme yang dipelopori oleh William James dan
Large. Banyak pula pengaruh aliran ini terhadap pandangan tokoh
pendidikan Barat lainnya, seperti Watson, Skinner, Dewey, dan
sebagainya.

2. Aliran Nativisme
Aliran nativisme berlawanan 180o dengan aliran empirisme.
Nativisme berasal dari kata nativus yang berarti kelahiran atau native
yang artinya asli atau asal. Tokoh utama aliran ini adalah Arthur
Schopenhauer (1788-1860) seorang filosof Jerman (Ilyas, 1997). Dalam
artinya yang terbatas, juga dapat dimasukkan dalam golongan Plato,
Descartes, Lomborso, dan pengikut-pengikutnya yang lain. Nativisme
88 Pengantar Pendidikan

berpendapat bahwa sejak lahir anak telah memiliki/membawa sifat-sifat


dan dasar-dasar tertentu, yang bersifat pembawaan atau keturunan.
Sifat-sifat dan dasar-dasar tertentu yang bersifat keturunan (herediter)
inilah yang menentukan pertumbuhan dan perkembangan anak, serta
hasil pendidikan sepenuhnya (Nadirah, 2013).
Aliran nativisme mengesampingkan peranan lingkungan sosial,
pembinaan dan pendidikan. Aliran nativisme ini nampaknya begitu
yakin terhadap potensi batin yang ada dalam diri manusia dan aliran ini
erat kaitannya dengan aliran intuisme dalam penentuan baik dan buruk
manusia. Aliran ini tampak kurang menghargai atau kurang
memperhitungkan peran pembinaan dan pendidikan (Nata, 2002).
Nativisme menganggap pendidikan dan lingkungan boleh dikatakan
tidak berarti, tidak mempengaruhi perkembangan anak didik, kecuali
hanya sebagai wadah dan memberikan rangsangan saja. Apabila seorang
anak berbakat jahat, maka ia akan menjadi jahat, begitu pula sebaliknya.
Apabila seorang anak mempunyai potensi intelektual rendah maka
akan tetap rendah (Djumransjah, 2004). Pandangan tersebut dikenal
dengan pesimisme paedagogis, karena sangat pesimis terhadap upaya-
upaya dan hasil pendidikan.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, aliran nativisme menolak
dengan tegas adanya pengaruh eksternal. Pendidikan tidak berpengaruh
sama sekali dalam membentuk manusia menjadi baik. Pendidikan tidak
bermanfaat sama sekali. Sebaliknya, kalau kita menginginkan manusia
menjadi baik, maka yang perlu dilakukan adalah memperbaiki kedua
orang tuanya karena merekalah yang mewariskan faktor-faktor bawaan
kepada anak-anaknya. Nativisme jelas merupakan aliran yang mengakui
adanya daya-daya asli yang telah terbentuk sejak lahirnya manusia ke
dunia. Daya-daya tersebut ada yang dapat tumbuh dan berkembang
sampai pada titik maksimal kemampuan manusia dan ada yang dapat
tumbuh berkembang hanya sampai pada titik tertentu sesuai dengan
kemampuan individual manusia (Setianingsih, 2008). Para ahli yang
berpendirian Nativis biasanya mempertahankan kebenaran konsep ini
dengan menunjukkan berbagai kesamaan atau kemiripan antara orang
tua dengan anak-anaknya (Sabri, 1996).
Beberapa tokoh yang berhubungan dengan aliran nativisme adalah
Rochacher, Rosear, dan Basedow. Rochacher mengatakan bahwa manusia
adalah hasil proses alam yang berjalan menurut hukum tertentu. Manusia
tidak dapat mengubah hukum-hukum tersebut. Rosear mengatakan
Aliran Pendidikan 89

bahwa manusia tidak dapat dididik. Pendidik malah akan merusak


perkembangan anak. Pendidikan adalah persoalan yang membiarkan
atau membebaskan pertumbuhan anak secara kodrati. Sementara itu,
Basedow mengatakan bahwa pendidikan adalah pelanggaran atas
kecenderungan berkembang yang wajar dari anak. Aliran ini juga
disebut predestinatif yang menyatakan bahwa perkembangan atas nasib
manusia telah ditentukan sebelumnya, yakni tergantung pada bawaan
dan bakat yang dimilikinya.
Aliran ini masih memungkinkan adanya pendidikan. Namun,
mendidik menurut aliran ini membiarkan anak tumbuh berdasarkan
pembawaannya. Berhasil tidaknya perkembangan anak tergantung
kepada tinggi rendahnya dan jenis pembawaan yang dimiliki anak.
Apa yang patut dihargai dari pendidikan atau manfaat yang diberikan
oleh pendidikan, tidak lebih dari sekadar memoles permukaan peradaban
dan tingkah laku sosial, sedangkan lapis yang mendalam dan kepribadian
anak, tidak perlu ditentukan.

3. Aliran Naturalisme
Natur atau natura artinya alam, atau apa yang dibawa sejak lahir.
Aliran ini ada persamaannya dengan aliran nativisme (beberapa ahli
menyebut dengan istilah “sama”, “hampir sama” dan “senada”. Istilah
natura telah dipakai dalam filsafat dengan bermacam-macam arti, dari
dunia fisika yang dapat dilihat oleh manusia, sampai kepada sistem
total dari fenomena ruang dan waktu.
Aliran Naturalisme dipelopori oleh Jean Jaquest Rousseau. Ia
mengatakan, “Segala sesuatu adalah baik ketika ia baru keluar dari
alam, dan segala sesuatu menjadi jelek manakala ia sudah berada di
tangan manusia ”. Seorang anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi
anak yang baik, maka anak tersebut harus diserahkan ke alam. Kekuatan
alam akan mengajarkan kebaikan-kebaikan yang terlahir secara alamiah
sejak kelahiran anak tersebut. Dengan kata lain Rousseaue menginginkan
perkembangan anak dikembalikan ke alam yang mengembangkan anak
secara wajar karena hanya alamlah yang paling tepat menjadi guru.
Menurut Ilyas (1997) naturalisme bependapat bahwa pada
hakekatnya semua anak manusia adalah baik pada waktu dilahirkan
yaitu dari sejak tangan sang pencipta, tetapi akhirnya rusak sewaktu
berada di tangan manusia. Oleh karena itu, Rousseau menciptakan
konsep pendidikan alam, artinya anak hendaklah dibiarkan tumbuh
90 Pengantar Pendidikan

dan berkembang sendiri menurut alamnya, manusia jangan banyak


mencampurinya. Rousseau juga berpendapat bahwa jika anak melakukan
pelanggaran terhadap norma-norma, hendaklah orang tua atau pendidik
tidak perlu untuk memberikan hukuman, biarlah alam yang
menghukumnya. Jika seorang anak bermain pisau, atau bermain api
kemudian terbakar atau tersayat tangannya, atau bermain air kemudian
ia gatal-gatal atau masuk angin. Ini adalah bentuk hukuman alam.
Biarlah anak itu merasakan sendiri akibatnya yang sewajarnya dari
perbuatannya itu yang nantinya menjadi insaf dengan sendirinya.

4. Aliran Konvergensi
Salah satu tokoh pendidikan bernama William Stern (1871-1939)
telah menggabungkan pandangan yang dikenal dengan teori atau aliran
konvergensi. Aliran ini ingin mengompromikan dua macam aliran yang
eksterm, yaitu aliran empirisme dan aliran nativisme, dimana
pembawaan dan lingkungan sama pentingnya, kedua-duanya sama
berpengaruh terhadap hasil perkembangan anak didik. Stern
berpendapat bahwa pembawaan dan lingkungan merupakan dua garis
yang menuju kepada suatu titik pertemuan (garis pengumpul), oleh
karena itu perkembangan pribadi sesungguhnya merupakan hasil proses
kerjasama antara potensi heriditas (internal) dan lingkungan, serta
pendidikan (eksternal) (Djumaranjah, 2004).
Aliran konvergensi menyatakan bahwa pembawaan tanpa
dipengaruhi oleh faktor lingkungan tidak akan bisa berkembang,
demikian juga sebaliknya. Potensi yang ada pada pembawaan dari
seorang anak akan berkembang ketika mendapat pendidikan dan
pengalaman dari lingkungan. Sedangkan secara psikis untuk mengetahui
potensi yang ada pada anak didik yaitu dengan cara melihat potensi
yang dimunculkan pada anak tersebut. Pembawaan yang disertai
disposisi telah ada pada masing-masing individu yang membutuhkan
tempat untuk merealisasikan dan mengembangkannya. Pada dasarnya
pembawaan adalah seluruh kemungkinan-kemungkinan atau
kesanggupan-kesanggupan (potensi) yang terdapat pada suatu individu
dan ayang selama masa perkembangannya benar-benar dapat
direalisasikan.
Aliran konvergensi pada prinsipnya berpendapat bahwa
pembawaan dan lingkungan sama pentingnya. Perkembangan jiwa
seseorang tergantung pada bakat sejak lahir dan lingkungannya,
khususnya pendidikan. Peran pendidikan adalah memberi pengalaman
Aliran Pendidikan 91

belajar agar anak dapat berkembang secara optimal. Menurut aliran


konvergensi perkembangan pribadi merupakan hasil proses kerjasama
antara potensi hereditas (internal) dan lingkungan (eksternal). Jadi
menurut aliran konvergensi: (1) pendidikan dapat diberikan kepada
semua orang, (2) pendidikan diartikan sebagai pertolongan yang
diberikan kepada peserta didik untuk mengembangkan pembawaannya
yang baik dan mencegah pembawaan yang buruk, (3) hasil pendidikan
tergantung dari pembawaan dan lingkungan (Moerdiyanto, 2011).
Banyak bukti yang menunjukkan, bahwa watak dan bakat seseorang
yang tidak sama dengan orang tuanya itu, setelah ditelusuri ternyata
waktu dan bakat orang tersebut sama dengan kakek atau ayah/ibu
kakeknya. Dengan demikian, tidak semua bakat dan watak seseorang
dapat diturunkan langsung kepada anak-anaknya, tetapi mungkin
kepada cucunya atau anak-anaknya cucunya. Alhasil, bakat dan watak
dapat tersembunyi sampai beberapa generasi (Syah, 2002).
Teori konvergensi ini pada umumnya diterima secara luas sebagai
pandangan yang tepat dalam memahami tumbuh-kembang manusia
(Tirtarahardja & Sulo, 2005), meskipun masih ada juga beberapa kritik
terhadapnya. Aliran konvergensi dikritik sebagai aliran yang cocok
untuk hewan dan tumbuhan, kalau bibitnya baik dan lingkungannya
baik maka hasilnya pasti baik. Padahal bagi manusia itu belum tentu,
karena masih ada faktor lain yang mempengaruhi, yaitu pilihan atau
seleksi dari yang bersangkutan.

5. Pengaruh Aliran Klasik Terhadap Dunia Pendidikan Indonensia


Awalnya atau sebelum sistem persekolahan ‘modern’ seperti yang
semula diperkenalkan oleh kolonialis Belanda, terdapat berbagai ‘institusi’
pendidikan dalam lingkup masyarakat-masyarakat tradisional, baik
dalam keterkaitannya dengan berbagai kebudayaan etnik maupun
dengan berbagai sistem pemerintahan tradisional yang dalam banyak
hal juga sedikit-banyak terkait dengan etnisitas (Tim Paradigma
Pendidikan BSNP, 2010). Pendidikan di Nusantara sebenarnya telah ada
sebelum pemerintah colonial Belanda mencetuskan trias politika. Ketika
pengaruh Hindu-Buda masih kental di Nusantara, pendidikan dikenal
dengan istilah padepokan, kemudian pada saat pengaruh Islam masuk,
pendidikan dikenal dengan pesantren. Kedua model pendidikan tersebut
merupakan pendidikan agama. Pendidikan disampaikan secara
tradisional dan belum memiliki kurikulum formal. Sebelum abad ke-20
umat Islam Indonesia hanya mengenal satu jenis lembaga pendidikan
92 Pengantar Pendidikan

yang disebut “lembaga pengajaran asli”, pengajaran ini dalam berbagai


bentuk,1 yaitu pendidikan di langgar dan di pesantren (Poerbakawatja,
1970).
Awalnya pendidikan di Indonesia terutama diselenggarakan oleh
keluarga dan masyarakat, misalnya kelompok belajar/padepokan,
lembaga keagamaan/pesantren, dan lain-lain. Pendidikan oleh keluarga
dan masyarakat dalam konteks ini diasosiasikan dengan pendidikan di
pondok pesantren (sistem asrama). Hal ini karena pada umumnya,
pondok pesantren adalah milik kyai atau sekelompok keluarga. Tak
jarang pondok pesantren didirikan atas prakarsa penguasa, raja-raja,
atau orang kaya lain. Pondok pesantren sebagai lembaga bagi pendidikan
dan penyebaran agama Islam lahir dan berkembang semenjak masa-
masa permulaan kedatangan Islam di Indonesia.
Aliran-aliran pendidikan klasik mulai di kenal di Indonesia melalui
upaya-upaya pendidikan, utamanya persekolahan, dari penguasa
penjajah Belanda dan kemudian disusul oleh adanya orang-orang Indo-
nesia yang belajar di negeri Belanda. Dunia pendidikan Indonesia
dikelola secara modern baru dikenal setelah kedatangan bangsa Barat,
terutama setelah pemerintah Hindia Belanda melaksanakan kebijakan
baru dalam politiknya yang dibuktikan dengan diterapkannya politik
etis di Indonesia pada awal abad ke-20. Tujuan dari kebijakan ini adalah
untuk memperbaiki taraf hidup rakyat Indonesia, salah satu cara untuk
mencapai sasaran tersebut adalah dengan memberikan pendidikan
pada rakyat Indonesia. Selain itu alasan pemerintah Hindia Belanda
adalah untuk mempertahankan posisinya sebagai penguasa dan dapat
memenuhi kebutuhan dalam pemerintahnya. Selanjutnya, menurut
Tirtarahardja & Sulo (2005) pasca kemerdekaan, gagasan-gagasan dari
aliran-aliran pendidikan itu masuk ke Indonesia melalui orang-orang
Indonesia yang belajar di berbagai Negara di Eropa, Amerika, dan lain-
lain. Seperti diketahui, sistem persekolahan diperkenalkan oleh
pemerintah kolonial Belanda di Indonesia.
Penjajah Belanda pada masa itu tidak hanya menghegemoni secara
langsung melalui kebijakannya namun juga melalui buku bacaan, koran,
dan sejenisnya. Seiring waktu berlalu, persebaran media cetak dan
hubungan internasional oleh pemerintahan yang terjadi dengan negara-
negara di Eropa dan Amerika kemudian menjadi acuan dalam penetapan
kebijakan di bidang pendidikan di Indonesia. Salah satu organisasi
massa keagaaman yang cepat merespon dan kemudian mengembangkan
sistem persekolahan itu adalah Muhammadiyah.
Aliran Pendidikan 93

Semua aliran klasik pendidikan pada dasarnya telah mempengaruhi


dunia pendidikan di Indonesia. Keempat aliran klasik tersebut banyak
diadopsi dalam mengatur sistem pendidikan di sekolah-sekolah di
berbagai negara termasuk Indonesia. Aliran-aliran tersebut memiliki
kecenderungan untuk mengemukakan satu faktor dominan saja dalam
mengembangkan manusia. Sebagai hasilnya, penganut aliran klasik,
sebagaimana kebanyakan sekolah formal yang ada di Indonesia, belum
mampu untuk mensinergikan yang dididik dengan lingkungannya serta
memposisikan yang dididik menjadi subyek pendidik juga, sebagaimana
yang dilakukan oleh penganut aliran baru dalam pendidikan.
Aliran empirisme misalnya, menurut Suyitno (2009) pada
perkembangnnya spirit empirisme telah banyak mempengaruhi
pendidikan. Empirisme menganjurkan agar kita kembali ke alam untuk
mendapatkan pengetahuan. Menurut mereka pengetahuan ini tidak ada
secara apriori di benak kita, melainkan harus diperoleh dari pengalaman.
Berkembanglah pola berpikir empiris, yang semula berasal dari sarjana-
sarjana Islam dan kemudian terkenal di dunia Barat lewat tulisan
Francis Bacon (1561-1626) dalam bukunya Novum Organum. Rasionalisme
dikenal oleh ahli-ahli fikir Barat lewat hasil-hasil karya filosof Islam
terhadap filsafat Yunani, yaitu oleh Al-Kindi (809 – 873), Al-Farabi (881-
961), Ibnu Sina (980-1037), dan Ibnu Rusyd (1126-1198). Al-Khawarizmi
sebagai ilmuwan Islam, telah mengembangkan aljabar, Al-Batani
menemukan goniometri dan angka desimal. Dunia Timur lainnya seperti
India telah menemukan matematika dan angka nol, sementara Cina
telah menemukan kompas, mesiu, mesin cetak dan kertas. Semua hal
itu kini telah berkembang pesat dan mewarnai kehidupan bangsa
Indonesia, tak terkecuali dunia pendidikan Indonesia.
Sementara itu, menurut Darajat (2005) dalam perspektif aliran
konvergensi pendidik yang mempunyai tugas untuk mendidik dan
mengarahkan anak didik seharusnya mengetahui dan sadar akan potensi
yang telah dibawa oleh anak sejak lahir (nativisme dan naturalisme),
sehingga dalam mengarahkan akan menjadi lebih mudah (empirisme).
Akan tetapi dalam kenyataan, kebanyakan para pendidik dalam
mengasuh anak didik sering sekali mengabaikan potensi yang ada pada
anak didik, sehingga menghambat perkembangan dan menjadikan
matinya bakat yang telah dibawa sejak lahir. Usaha-usaha tersebut di
atas diharapkan dapat membantu perkembangan potensi (pembawaan)
yang telah ada pada diri anak sejak anak itu dilahirkan demi tercapainya
tujuan dan keberhasilan pendidikan. Dengan demikian implikasi aliran
94 Pengantar Pendidikan

konvergensi dalam pendidikan memberikan kemungkinan bagi pendidik


untuk dapat membantu perkembangan individu sesuai dengan apa
yang diharapkan, namun demikian pelaksanaan harus tetap
memperhatikan faktor-faktor hereditas peserta didik, kematangan, bakat,
kemampuan, keadaan mental dan sebagainya.
Menurut Pramudia (2006) dalam perkembangannya aliran-aliran
tersebut telah mengilhami pelaku pendidikan di Indonesia bahwa
pendidikan berarti suatu proses humanisasi, oleh sebab itu hak-hak
asasi manusia perlu dihormati. Anak didik bukanlah robot tetapi manusia
yang harus dibantu di dalam proses pendewasaannya agar dia dapat
mandiri dan berpikir kristis. Selain itu pendidikan merupakan hak asasi
manusia, oleh karena itu pemerataan pendidikan haruslah dilaksanakan
secara konsekuen.

B. Gerakan Baru Pendidikan


1. Pengajaran Alam Sekitar
Aliran pendidikan yang mendekatkan anak dengan sekitarnya adalah
gerakan pengajaran alam sekitar yang dirintis oleh Fr. A. Finger dengan
heimatkunde (pengajaran alam sekitar) di Jerman, J. Ligthart di Belanda
dengan Het Volle Leven (kehidupan senyatanya). Prinsip yang dianut
dalam heimatkunde yakni (Tirtarahardja & Sulo, 2005):
a. Dalam pengajaran alam sekitar, guru dapat memeragakan secara
langsung.
b. Pengajaran alam sekitar memberikan kesempatan sebanyak-
banyaknya agar anak berpartisipasi aktif.
c. Pengajaran alam sekitar memungkinkan untuk diberlakukan
pengajaran totalitas dengan ciri segala bahan pengajaran berhubung-
hubungan satu sama lain.
d. Pengajaran alam sekitar memberi kepada anak bahan apersepsi
intelektual yang kukuh dan tidak verbalistis.
e. Pengajaran alam sekitar memberikan apersepsi emosional terhadap
anak didik.
Sementara Het Volle Leven memiliki prinsip sebagai berikut
(Tirtarahardja & Sulo, 2005):
a. Pengajaran alam sekitar mengajarkan anak untuk mengetahui
barangnya terlebih dahulu sebelum mendengar namanya.
Aliran Pendidikan 95

b. Pengajaran sesungguhnya harus mendasarkan pada pengajaran


selanjutnya atau mata pengajaran yang lain harus dipusatkan atas
pengajaran itu.
c. Harus diadakan perjalanan memasuki hidup agar murid paham akan
hubungan antara bermacam-macam lapangan dalam hidupnya.
Pada dasarnya, banyak faktor yang mempengaruhi sistem
pendidikan baik faktor yang berasal dari dalam maupun luar. Secara
makro, faktor dari luar merupakan sistem yang berada di luar
pendidikan, antara lain ideologi, ekonomi, politik, sosial budaya,
lingkungan alam, dan lain-lain. Faktor itu saling berinteraksi dan saling
mempengaruhi dengan sistem pendidikan. Dengan demikian,
pendidikan akan dipengaruhi oleh bahkan berinteraksi dengan
lingkungan sosial maupun lingkungan alam dalam ekosistem yang
lebih luas. Konsep ini mengarahkan pada pemahaman dan pembahasan
pendidikan dilihat dalam perspektif ekologi.

2. Pengajaran Pusat Perhatian


Menurut Tirtarahardja & Sulo (2005) pengajaran pusat perhatian
dirintis oleh Ovideminat Declory (1871-1932) dari Belgia dengan
pengajaran melalui pusat-pusat minat (centres d’nternet), di samping
pendapatnya tentang pengajaran global. Pendidikan menurut Declory
berdasar pada semboyan ecole pour ia vie, par la vie (sekolah untuk hidup
dan oleh hidup). Anak harus dididik untuk dapat hidup dalam
masyarakat dan dipersiapkan dalam masyarakat, anak harus diarahkan.
Oleh karena itu, anak harus mempunyai pengetahuan terhadap diri
sendiri (tentang hasrat dan cita-citanya) dan pengetahuan tentang
dunianya (lingkungannya, terdapat hidup di hari depannya).
Pengetahuan anak harus bersifat subjektif dan objektif.
Penelitian secara tekun yang dilakukan Decroly menyumbangkan
dua pendapat yang sangat berguna bagi pendidikan dan pengajaran,
yang merupakan dua hal yang khas, yaitu:
a. Metode global (keseluruhan)
Berdasarkan observasi dan tes, ia berpandangan bahwa anak-anak
mengamati dan mengingat secara global (keseluruhan). Mengingat
keseluruhan lebih dulu daripada bagian-bagian. Jadi ini berdasar atas
prinsip psikologi Gestalt. Dalam mengajarkan membaca dan menulis,
ternyata dengan mengajarkan kalimat lebih mudah diajarkan daripada
mengajarkan huruf-huruf secara tersendiri. Metode ini bersifat video
96 Pengantar Pendidikan

visual sebab arti sesuatu kata yang diajarkan itu selalu diasosiasikan
dengan tanda (tulisan) atau suatu gambar yang dapat dilihat.
b. Centre d’internet (pusat-pusat minat).
Berdasarkan penyelidikan psikologik, ia menetapkan bahwa anak-anak
mempunyai minat yang spontan (sewajarnya). Pengajaran harus
disesuaikan dengan minat-minat spontan tersebut. Sebab apabila tidak,
yaitu misalnya minat yang ditimbulkan oleh guru, maka pengajaran
itu tidak tidak akan banyak hasilnya. Anak mempunyai minat-minat
spontan terhadap diri sendiri dan terhadap masyarakat (biososial).
Minat terhadap diri sendiri itu dapat kita bedakan menjadi:
1) Dorongan mempertahankan diri,
2) Dorongan mencari makan dan minum dan
3) Dorongan memelihara diri.
Sedangkan minat terhadap masyarakat ialah:
1) Dorongan sibuk bermain-main.
2) Dorongan meniru orang lain.
Dorongan-dorongan inilah yang digunakan sebagai pusat-pusat
minat. Sedangkan pendidikan dan pengajaran harus selalu dihubungkan
dengan pusat-pusat minat tersebut.
Asas-asas Pengajaran Pusat Perhatian adalah sebagai berikut:
a. Pengajaran ini didasarkan atas kebutuhan anak dalam hidup dan
perkembangannya.
b. Setiap beban pengajaran harus merupakan keseluruhan, tidak
mementingkan bagian tetapi mementingkan keberartian dari
keseluruhan ikatan bagian itu.
c. Anak didorong dan dirangsang untuk selalu aktif dan di didik untuk
menjadi anggota masyarakat yang dapat berdiri sendiri dan
bertanggung jawab.
d. Harus ada hubungan kerjasama yag erat antara rumah dan keluarga.
Gerakan pengajaran pusat perhatian telah mendorong berbagai upaya
agar dalam kegiatan belajar mengajar diadakan berbagai variasi (cara
mengajar dan lain-lain) agar perhatian siswa tetap terpusat pada bahan
ajaran. Dengan kemajuan teknologi pengajaran, peluang mengadakan
variasi tersebut menjadi terbuka lebar, dan dengan demikian upaya
menarik minat menjadi lebih besar. Pemusatan perhatian dalam pengajaran
biasanya dilakukan bukan hanya pada pembukaan pengajaran, tetapi
juga pada setiap kali akan membahas sub topik yang baru.
Aliran Pendidikan 97

3. Sekolah Kerja
Menurut Tirtarahardja & Sulo (2005) dan Sagala (2010) gerakan
sekolah kerja dapat dipandang sebagai titik kulminasi dari pandangan-
pandangan yang mementingkan pendidikan keterampilan dalam
pendidikan. Tokoh pendidikan sekolah kerja ini adalah G. Kerschensteiner
(1854-1932) dengan konsep “Arbeitschule” (Sekolah Kerja) di Jerman.
Sekolah kerja bertolak dari pandangan bahwa pendidikan tidak hanya
demi kepentingan individu, tetapi juga demi kepentingan masyarakat.
Dengan kata lain sekolah berkewajiban menyiapkan Negara yang baik
yakni: (a) tiap orang adalah pekerja dalam salah satu lapangan jabatan;
(b) tiap orang wajib menyumbangkan tenaganya untuk kepentingan
negara; dan (c) dalam menunaikan kedua tugas tersebut harus diusahakan
kesempurnaannya, agar dengan jalan itu tiap warga negara ikut berbuat
sesuai dengan kesusilaan serta menjaga keselamatan negara.
Tujuan sekolah kerja ini menurut Kerschensteiner sebagai pencetus
sekolah kerja adalah a) menambah pengetahuan anak, yaitu pengetahuan
yang didapat dari buku atau orang lain, dan yang didapat dari
pengalaman sendiri; b. agar anak dapat memiliki kemampuan dan
kemahiran tertentu; dan c. agar anak dapat memiliki pekerjaan sebagai
persiapan jabatan dalam mengabdi Negara. Kerschensteiner berpendapat
bahwa kewajiban utama sekolah adalah mempersiapkan anak-anak
untuk dapat bekerja. Bekerja di sini bukan pekerjaan otak yang
dipentingkan, melainkan pekerjaan tangan (Tirtarahardja & Sulo, 2005;
Sagala, 2010).

4. Pengajaran Proyek
Dasar filosofis dan pedagogis dari pengajaran-pengajaran proyek
diletakkan oleh John Dewey (1859-1952) namun pelaksanaannya
dilakukan oleh pengikut utamanya W. H. Kilpartrick. Pengajaran proyek
memberi kebebasan pada anak untuk menentukan pilihannya,
merancang serta memimpinya. Proyek yang ditentukan oleh anak
mendorongnya mencari jalan pemecahan bila dia menemui kesukaran.
Anak dengan sendirinya giat dan aktif karena sesuai dengan apa yang
diinginkannya. Dalam pengajaran proyek, pekerjaan dikerjakan secara
berkelompok untuk menghidupkan rasa gotong-royong. Pengajaran
proyek digunakan sebagai salah satu metode mengajar di Indonesia,
antara lain dengan nama pengajaran proyek,pengajaran unit,dan
sebagainya. Yang perlu ditekankan bahwa pengajaran proyek akan
menumbuhkan kemampuan untuk memandang dan memecahkan
98 Pengantar Pendidikan

persoalan secara komprehensif dengan kata lain, menumbuhkan


kemampuan pemecahan masalah secara multidisiplin (Tirtarahardja &
Sulo, 2005).
Praktek belajar dan pembelajaran dekade terakhir ini mengenalkan
kita pada istilah PjBL atau Pembelajaran Berbasis Proyek. Para ahli
memberi pengertian tentang PjBL. Menurut University of Nottingham,
metode pengajaran sistematik yang mengikutsertakan pelajar ke dalam
pembelajaran pengetahuan dan keahlian yang kompleks, pertanyaan
authentic dan perancangan produk dan tugas. Menurut Baron,
pendekatan cara pembelajaran secara konstruktif untuk pendalaman
pembelajaran dengan pendekatan berbasis riset terhadap permasalahan
dan pertanyaan yang berbobot, nyata dan relevan bagi kehidupannya.
Menurut Blumenfeld et al, pendekatan komprehensif untuk pengajaran
dan pembelajaran yang dirancang agar pelajar melakukan riset terhadap
permasalahan nyata. Sementara itu, Boud & Felleti mengartikannya
sebagai cara yang konstruktif dalam pembelajaran menggunakan
permasalahan sebagai stimulus dan berfokus kepada aktivitas pelajar
(Husamah, 2013).
Project Based Learning adalah sebuah model atau pendekatan
pembelajaran yang inovatif, yang menekankan belajar kontekstual melalui
kegiatan-kegiatan yang kompleks. Fokus pembelajaran terletak pada
konsep-konsep dan prinsip-prinsip inti dari suatu disiplin studi,
melibatkan pebelajar dalam investigasi pemecahan masalah dan kegiatan
tugas-tugas bermakna yang lain, memberi kesempatan pebelajar bekerja
secara otonom mengkonstruk pengetahuan mereka sendiri, dan mencapai
puncaknya menghasilkan produk nyata.
Project Based Learning pada umumnya memerlukan beberapa tahapan
dan beberapa durasi, tidak sekedar merupakan rangkaian pertemuan
kelas, serta belajar kelompok kolaboratif. Proyek memfokuskan pada
pengembangan produk atau unjuk kerja (performance), yang secara umum
pebelajar melakukan kegiatan: mengorganisasi kegiatan belajar kelompok
mereka, melakukan pengkajian atau penelitian, memecahkan masalah,
dan mensintesis informasi. Proyek seringkali bersifat interdisipliner.
Menurut Husamah (2013) selama berlangsungnya proses belajar
dalam PjBL pelajar akan mendapat bimbingan dari narasumber atau
fasilitator, tergantung dari tahapan kegiatan yang dijalankan. Narasumber
bertugas menyusun trigger problems, sebagai sumber pembelajaran untuk
informasi yang tidak ditemukan dalam sumber pembelajaran bahan
Aliran Pendidikan 99

cetak atau elektronik, melakukan evaluasi hasil pembelajaran. Secara


umum peran fasilitator adalah memantau dan mendorong kelancaran
kerja kelompok, serta melakukan evaluasi terhadap efektifitas proses
belajar kelompok.
Secara lebih rinci peran fasilitator adalah:
a. Mengatur kelompok dan menciptakan suasana yang nyaman.
b. Memastikan bahwa sebelum mulai setiap kelompok telah memiliki
seorang anggota yang bertugas membaca materi, sementara teman-
temannya mendengarkan, dan seorang anggota yang bertugas
mencatat informasi yang penting sepanjang jalannya diskusi.
c. Memberikan materi atau informasi pada saat yang tepat, sesuai
dengan perkembangan kelompok.
d. Memastikan bahwa setiap sesi diskusi kelompok diakhiri dengan self-
evaluation.
e. Menjaga agar kelompok terus memusatkan perhatian pada
pencapaian tujuan.
f. Memonitor jalannya diskusi dan membuat catatan tentang berbagai
masalah yang muncul dalam proses belajar, serta menjaga agar proses
belajar terus berlangsung, agar tidak ada tahapan dalam proses belajar
yang dilewati atau diabaikan dan agar setiap tahapan dilakukan dalam
urutan yang tepat.
g. Menjaga motivasi pelajar dengan mempertahankan unsur tantangan
dalam penyelesaian tugas dan juga memberikan pengarahan untuk
mendorong pelajar keluar dari kesulitannya.
h. Membimbing proses belajar pelajar dengan mengajukan pertanyaan
yang tepat pada saat yang tepat. Pertanyaan ini hendaknya merupakan
pertanyaan terbuka yang mendorong pelajar mencari pemahaman
yang lebih mendalam tentang berbagai konsep, ide, penjelasan, sudut
pandang, dan lain-lain.
i. Mengevaluasi kegiatan belajar pelajar, termasuk partisipasinya dalam
proses kelompok. Pengajar perlu memastikan bahwa setiap pelajar
terlibat dalam proses kelompok dan berbagi pemikiran dan pandangan.
j. Mengevaluasi penerapan pembelajaran yang telah dilakukan.
Project Based Learning menuntut siswa bekerja bersama tugas yang
diberikan pengajar agar aktif. Siswa dapat bekerja secara individu
maupun kelompok. Dalam banyak kasus, Siswa mengerjakan proyek
secara bersamaan di dalam kelompok kecil. Terdapat dua jenis kelompok,
yakni kelompok off-campus dan kelompok on-campus. Kebutuhan dua
100 Pengantar Pendidikan

jenis kelompok ini sedikit berbeda. Siswa dalam kelompok on-campus


dapat bertemu secara fisik, tidak memerlukan alat bantu komunikasi
canggih, tetapi memerlukan koordinasi kerja (perencanaan, penjadwalan,
dan lain-lain). Siswa di dalam suatu kelompok off-campus memerlukan
komunikasi luas untuk mengerjakan tugas secara kolaboratif. Oleh
karena itu, pelajar memerlukan fasilitas synchronous dan asynchronous
sebagai tambahan terhadap koordinasi kerja.
Menurut Husamah (2013) kegiatan siswa dapat dikelompokkan tiga
kategori aktifitas individu, aktivitas dalam kelompok, dan aktivitas
antar-kelompok. Aktivitas di dalam kategori yang ketiga ini dilaksanakan
oleh individu atau kelompok siswa.
a. Secara Individual
Setiap individu pelajar mempunyai kebutuhan yang tidak perlu sama
dalam suatu kelompok. Tiap-tiap pelajar mempunyai kemampuan
yang berbeda, pendekatan belajar, dan penyelesaian tugas. Selama
mengerjakan proyek, tiap pelajar melaksanakan aktifitas seperti:
memvisualisasikan aktifitas proyek dan mencari tugas yang akan
dikerjakan, mengatur jadwal, mengorganisir materi pembelajaran,
menata dokumen (computer-files), mengirimkan pesan kepada
pengajar atau ahli, dan self assessment. Para siswa dapat memberikan
kontribusi terhadap proyek yang berbeda secara simultan.
b. Di dalam Kelompok
Ketika seseorang bekerja di dalam kelompok, para siswa harus bekerja
sama. Kerja sama berlangsung dalam wujud aktifitas dasar seperti:
brainstorming, diskusi, melakukan editing dokumen secara bersama-
sama, sinkronisasi komunikasi lewat audio, video, atau text, menata
dokumen kelompok, task scheduling, dan peer assessment. Sebagian dari
aktivitas ini dapat dilakukan bersama kelompok on-campus tanpa
perangkat spesifik, sedangkan para siswa dalam kelompok off-
campus didukung oleh perangkat yang memadai.
c. Antar Kelompok
Para siswa menyelesaikan aktivitas lain dalam bentuk berbagi informasi
dan pengetahuan dengan kelompok lain. Contoh aktivitas ini adalah:
presentasi, peer reviews, memberikan kontribusi pada forum diskusi.

5. Pengaruh Gerakan Baru dalam Pendidikan Terhadap


Penyelenggaraan Pendidikan di Indonesia
Telah dikemukakan bahwa gerakan baru dalam pendidikan terutama
berkaitan dengan kegiatan belajar mengajar di sekolah, namun dasar –
Aliran Pendidikan 101

dasar pikirannya tentulah menjangkau semua segi dari pendidikan,


baik aspek konseptual maupun operasional. Sebab itu, mungkin saja
gerakan-gerakan itu tidak diadopsi seutuhnya di suatu masyarakat atau
negara tertentu, namun asas pokoknya menjiwai kebijakan – kebijakan
pendidikan dalam masyarakat atau negara itu. Sebagai contoh yang
telah dikemukakan pada setiap paparan tentang gerakan itu, untuk
Indonesia, seperti muatan lokal dalam kurikulum untuk mendekatkan
peserta didik dengan lingkungannya, berkembangnya sekolah kejuruan
(SMK), pemupukan semangat kerja sama multidisiplin dalam
menghadapi masalah, dan sebagainya.
Pembelajaran proyek pun saat ini semakin dikenal, dengan istilah
pembelajaran berbasis proyek atau Project Based Learning (PjBL). PjBL
menjadi salah satu motede/model pembelajaran aktif yang dianjurkan
oleh pemerintah dalam upaya implementasi Kurikulum 2013. Di sisi
lain, PjBL dianggap merupakan representasi pembelajaran yang
mendorong pengembangan kemampuan/keterampilan berpikir
(thinking skills atau habits of mind) siswa dan mahasiswa sebagai “sesuatu”
yang harus dimiliki oleh generasi abad ke-21.
Sementara itu, pengaruh pengajaran alam sekitar misalnya dapat
dilihat bahwa Indonesia sejak tahun 1989 telah dirilis alternatif
pendidikan yang mengarah pada pengajaran alam sekitar oleh Lendo
Novo, mantan staf ahli Menteri Negara BUMN. Lendo Novo
mengaplikasikan aliran pengajaran alam sekitar di Indonesia dengan
menggagas sekolah alam, yaitu sekolah yang memiliki basis prinsip
bahwa sekolah adalah tempat untuk dialektika, kebudayaan, membangun
peradaban, dan sebagainya. Saat ini pun telah banyak bermunculan
sekolah-sekolah alam di hampir seluruh penjuru Indonesia dan menjadi
alternatif yang semakin memperkaya pelaksanaan pendidikan
pembelajaran di Indonesia.
Pokok-pokok pendapat pengajaran alam tersebut telah banyak
dilakukan di sekolah, baik dengan peragaan, penggunaan bahan lokal
dalam pengajaran dan lain-lain. Mengacu pada konsep pendidikan
alam sekitar, misalnya telah ditetapkan adanya materi pelajaran muatan
lokal dalam kurikulum, termasuk penggunaan alam sekitar. Dengan
kurikulum muatan lokal tersebut diharapkan peserta didik semakin
dekat dengan alam sekitar dan masyarakat lingkungannya. Di samping
alam sekitar sebagai isi bahan ajar, alam sekitar juga menjadi kajian
empirik melalui percobaan, studi banding, dan sebagainya. Dengan
memanfaatkan sumber-sumber dari alam sekitar dalam kegiatan
102 Pengantar Pendidikan

pembelajaran, dimungkinkan peserta didik akan lebih menghargai,


mencintai, dan melestarikan lingkungan alam sekitar sebagai sumber
kehidupannya (Usman, 2012).
Perkembangan pendidikan dan pembelajaran berikutnya
memperkenalkan kepada kita istilah-istilah baru yang berkaitan atau
senada dengan pengajaran alam sekita yaitu pembelajaran kelas alam
outdoor study dan outdoor learning. Pembelajaran di luar ruang akan
membawa peserta didik dapat berintegrasi dengan alam. Alam akan
membuka cakrawala pandang siswa lebih luas dibanding dengan
pembelajaran yang dilakukan di dalam kelas. Metode ini juga diharapkan
dapat menjalin keselarasan antara materi pembelajaran dengan
lingkungan sekitar. Tidak semua materi dapat menerapkan metode ini,
namun alangkah baiknya apabila sesekali siswa diajak langsung untuk
terjun ke lapangan melihat dunia nyata/aktual. Para siswa diharapkan
dapat menimba ilmu secara langsung dari pengalaman nyata yang ada,
sehingga materi pembelajaran lebih mudah dipahami dan diingat untuk
jangka panjang. Sebagaimana ada pepatah mengatakan bahwa apa
yang dilihat apa yang diingat.
Secara substansi sekolah berbasis alam atau pembelajaran berbasis
alam merupakan sistem sekolah yang menawarkan bagaimana mengajak
siswa untuk lebih akrab dengan alam, sekaligus menjadikannya spirit
untuk melakukan kegiatan belajar mengajar. Pembelajaran berbasis alam
sebetulnya dapat secara fleksibel dilakukan, tidak harus dengan bentuk
outbond, tetapi dapat dilakukan di lingkungan sekitar sekolah yang
terdekat. Banyak pendekatan yang dapat dilakukan untuk menerapkan
model belajar berbasis alam. Salah satu contoh model belajar berbasis
alam antara lain pendekatan belajar berbasis masalah (Santyasa, 2008).
Berbagai benda yang terdapat di lingkungan atau alam sekitar kita
dapat kita kategorikan ke dalam jenis sumber belajar yang dimanfaatkan
(by design resources) ini. Dibanding dengan dengan jenis sumber belajar
yang dirancang, jenis sumber belajar yang dimanfaatkan ini jumlah dan
macamnya jauh lebih banyak. Oleh karena itu, sangat dianjurkan setiap
guru mampu mendayagunakan sumber belajar yang ada di lingkungan
ini. Pengertian lingkungan dalam hal ini adalah segala sesuatu baik
yang berupa benda hidup maupun benda mati yang terdapat di sekitar
kita (di sekitar tempat tinggal maupun sekolah).
Sebagai guru, kita dapat memilih berbagai benda yang terdapat di
lingkungan untuk kita jadikan media dan sumber belajar bagi siswa di
Aliran Pendidikan 103

sekolah. Bentuk dan jenis lingkungan ini bermacam macam, misalnya:


sawah, hutan, pabrik, lahan pertanian, gunung, danau, peninggalan
sejarah, musium, dan sebagainya. Media di lingkungan juga bisa
berupa benda-benda sederhana yang dapat dibawa ke ruang kelas,
misalnya: batuan, tumbuh-tumbuhan, binatang, peralatan rumah tangga,
hasil kerajinan, dan masih banyak lagi contoh yang lain. Semua benda
itu dapat kita kumpulkan dari sekitar kita dan dapat kita pergunakan
sebagai media pembelajaran di kelas. Benda-benda tersebut dapat kita
perloeh dengan mudah di lingkungan kita sehari-hari. Jika mungkin,
guru dapat menugaskan para siswa untuk mengumpulkan benda-
benda tertentu sebagai sumber belajar untuk topik tertentu. Benda-
benda tersebut juga dapat kita simpan untuk dapat kita pergunakan
sewaktu-waktu diperlukan (Husamah, 2013).
Sehubungan dengan penerapan kurikulum 2013, menurut Husamah
(2013) untuk menjadi kreatif, siswa diberi kesempatan untuk mengamati
fenomena alam, fenomena sosial, dan fenomena seni budaya, kemudian
bertanya dan menalar dari hasil pengamatan tersebut. Hal ini
menunjukkan siswa benar-benar belajar dari lingkungan. Berdasarkan
kreativitas tersebut, timbul inovasi dan kreasi yang menjadikan siswa
memiliki beragam alternatif jawaban dalam setiap masalah yang
dihadapinya. Selain itu, pembelajaran di luar ruangan kelas merupakan
salah satu upaya terciptanya pembelajaran terhindar dari kejenuhan,
kebosanan, dan persepsi belajar hanya di dalam kelas Pola pikir kreatif
dan inovatif seperti itu diharapkan akan lahir dari implementasi
Kurikulum 2013.
Outdoor learning merupakan satu jalan bagaimana kita meningkatkan
kapasitas belajar anak. Anak dapat belajar secara lebih mendalam melalui
objek-objek yang dihadapi dari pada jika belajar di dalam kelas yang
memiliki banyak keterbatasan. Lebih lanjut, belajar di luar kelas dapat
menolong anak untuk mengaplikasikan pengetahuan yang dimiliki. Selain
itu, pembelajaran di luar kelas lebih menantang bagi siswa dan
menjembatani antara teori di dalam buku dan kenyataan yang ada di
lapangan. Kualitas pembelajaran dalam situasi yang nyata akan memberikan
peningkatan kapasitas pencapaian belajar melalui objek yang dipelajari
serta dapat membangun keterampilan sosial dan personal yang lebih baik.
Pembelajaran outdoor dapat dilakukan kapan pun sesuai dengan rancangan
program yang dibuat oleh guru. Pembelajaran outdoor dapat dilakukan
waktu pembelajaran normal, sebelum kegiatan pembelajaran di sekolah
atau sesudahnya, dan saat-saat liburan sekolah.
104 Pengantar Pendidikan

Pembelajaran dalam ruang yang bersifat kaku dan formalitas dapat


menimbulkan kebosanan, termasuk juga kejenuhan terhadap rutinitas
di sekolah. Pendidikan luar kelas dijadikan sebagai alternatif baru
dalam meningkatkan pengetahuan dalam pencapaian kualitas manusia.
Alam sebagai media pendidkan adalah suatu sarana efektif untuk
meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan pola pikir serta sikap
mental positif seseorang. Konsep belajar dari alam adalah mengamati
fenomena secara nyata dari lingkungan dan memanfaatkan apa yang
tersedia di alam sebagai sumber belajar.
Dewasa ini ada kecenderungan untuk kembali ke pemikiran bahwa
anak didik akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah.
Kegiatan belajar mengajar akan menarik dan disukai oleh para siswa
jika guru dapat mengemas materi pembelajaran dengan sebaik-baiknya.
Salah satu cara untuk menjadikan pembelajaran itu menarik adalah
dengan melakukan pembelajaran di luar ruang kelas (outdoor). Namun
demikian, kegiatan ini sebaiknya diprogram dengan baik agar lebih
mengenai sasaran.
Proses pembelajaran bisa terjadi di mana saja, di dalam atau pun di
luar kelas, bahkan di luar sekolah. Proses pembelajaran yang dilakukan di
luar kelas atau di luar sekolah, memiliki arti yang sangat penting untuk
perkembangan siswa, karena proses pembelajaran yang demikian dapat
memberikan pengalaman langsung ke pada siswa, dan pengalaman
langsung memungkinkan materi pelajaran akan semakin kongkrit dan
nyata yang berarti proses pembelajaran akan lebih bermakna.
Contoh pembelajaran tersebut, misalnya guru mengajak siswa keluar
ruangan kelas untuk mengamati tanaman di sekitar sekolah. Kemudian
guru menanyakan kepada siswa-siswanya kenapa daun berwarna hijau.
Siswa diajak menemukan jawaban kenapa daun berwarna hijau.
Kemudian ditanyakan lagi kenapa ada daun yang berwarna hijau namun
ada juga yang berwarna kuning, dan lain-lain. Ini menampik anggapan
bahwa proses pembelajaran ini akan memerlukan laboratorium yang
mahal dan lengkap. Laboratoriumnya adalah alam di sekitar kita. Materi-
materi yang dibahas selain fenomena alam, juga berupa fenomena
sosial serta fenomena seni dan budaya.
Outdoor learning sejalan dengan pendapat Paulo Freire yang
mengatakan bahwa every place is a school, everyone is teacher. Artinya
bahwa setiap orang adalah guru, guru bisa siapa saja, dimana saja, serta
hadir kapan saja, tanpa batas ruang, waktu, kondisi apapun. Dengan
Aliran Pendidikan 105

demikian siapa saja dapat menjadi guru dan pembelajaran tidak harus
berlangsung di dalam kelas, sebab setiap tempat dapat menjadi tempat
untuk belajar. Konsep Paulo Freire sangat tepat bila dihubungkan dengan
metode outdoor learning. Outdoor learning dapat menjadi salah satu
alternatif bagi pengayaan sumber pembelajaran. Kajian lebih mendalam
tentang Outdoor learning serta hubunganya dengan pengajaran/
pembelajaran alam sekitar dapat diperdalam dengan membaca buku
Pembelajaran Luar Kelas; Outdoor Learning yang ditulis secara komprehensif
oleh Husamah (Jakarta: Prestasi Pustaka Raya, 2013).
Sementara itu, dewasa ini, di Indonesia sekolah kerja dikenal dengan
sekolah menengah kejuruan (SMK) yang bertujuan untuk menyiapkan
peserta didik untuk siap bekerja atau menggunakan keterampilan yang
diperoleh setelah tamat dari sekolah tersebut. Peranan sekolah kejuruan
merupakan tulang punggung penyiapan tenaga terampil yang diperlukan
negara-negara berkembang seperti Indonesia. Bagi para generasi muda
Indonesia, pendidikan keterampilan itu sangat diperlukan terlebih bagi
setiap orang yang akan memasuki lapangan kerja atau menciptakan
lapangan kerja (Usman, 2012). SMK merupakan pendidikan yang
mempersiapkan pesertanya memasuki dunia kerja atau lebih mampu
bekerja pada bidang pekerjaan tertentu (earning a living).
Saat ini, melalui jargon SMK BISA, sekolah kejuruan menjadi
primadona karena dinggap memiliki kelebihan yaitu lulusan menjadi
lebih siap kerja tetapi kuliah pun mereka bisa. Melihat keberadaan
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) saat ini pemerintah berharap
posisinya sebagai wahana pengembangan pengetahuan dan keterampilan
dan mampu menjawab tantangan dunia kerja secara nyata. Lulusannya
diharapkan dapat memenuhi tuntutan dunia usaha akan tenaga kerja
tingkat menengah.
Akhirnya, perlu ditekankan lagi bahwa kajian tentang pemikiran-
pemikiran pendidikan pada masa lalu akan sangat bermanfaat untuk
memperluaas pemahaman tentang seluk beluk pendidikan, serta
memupuk wawasan historis dari setiap tenaga kependidikan. Kedua
hal itu sangan penting karena setiap keputusan dan tindakan di bidang
pendidikan,termasuk dibidang pembelajaran, akan membawa dampak
bukan hanya pada masa kini tetapi juga masa depan. Oleh karena
itu,setiap keputusan dan tindakan harus dapat dipertanggungjawabkan
secara profesional. Sebagai contoh, beberapa tahun terakhir ini telah
terjadi polemik tentang peran pokok pendidikan (utamanya jalur sekolah)
106 Pengantar Pendidikan

yakni tentang masalah relevansi tentang duni kerja (siap pakai); apakah
tekanan pada pembudayaan manusia yang menyadari harkat dan
martabatnya, ataukah memberi bekal keterampilan untuk memasuki
dunia kerja. Kedua hal itu tentulah sama pentingnya dalam membangun
sumber daya manusia di Indonesia yang bermutu.

C. “Aliran” Pendidikan Indonesia


Pada jaman penjajahan Belanda telah terdapat upaya-upaya pendirian
dan pelaksanaan lembaga-lembaga pendidikan tertentu. Oleh
pemerintahan kolonial pada waktu itu masalah pendidikan dianggap
penting sehingga dimasukkan dalam Undang-Undang Tahun 1848, dan
dianggarkan 25.000 gulden untuk sektor pendidikan. Pada tahun 1851
didirikan sekolah “dokter Jawa” yang didirikan untuk suatu alasan
praktis, yaitu melatih kaum pribumi untuk menjadi “mantri cacar”
karena ketika itu penyakit cacar sedang mewabah. Tahun 1851 itu juga
dibuka dua kweekschool untuk melatih guru bantu bagi sekolah-sekolah
modern sistem barat. Pembukaan lembaga-lembaga pendidikan itu,
sebagaimana dikatakan oleh seorang tokoh Belanda, adalah untuk
“membentengi Belanda dari “vulcano Islam”. Pada tahun 1867 pemerintah
kolonial membentuk departemen sendiri untuk masalah mendidikan,
yaitu yang disebut Departeman Pendidikan, Agama, dan Industri. Dari
pengaturan itu tumbuhlah sekitar 300 sekolah pribumi di Jawa dan
sekitar 400 di luar Jawa (Tim Paradigma Pendidikan BSNP, 2010).
Selanjutnya pada tahun 1902 di Batavia dibuka sekolah kedokteran
yang dinamakan School tot Opleiding voor Indische Artsen (STOVIA) dan
sekolah sejenis didirikan pula pada tahun 1913 di Surabaya, dinamakan
Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS). Pada tahun 1927 STOVIA
ditingkatkan menjadi pendidikan tinggi, dengan nama Geneeskundige
Hogeschool, bertempat di Jalan Salemba 6, Jakarta. Ini menjadi cikalbakal
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Kemudian didirikan pula
Rechtkundige Hogeschool yang menjadi cikal-bakal Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, kemudian juga Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte
yang menjadi cikal-bakal Fakultas Sastra (kemudian Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya) Universitas Indonesia. Technische Hogeschool yang
didirikan pada tahun 1920 di Bandung merupakan cikal-bakal Institut
Teknologi Bandung, sedangkan Landbouwkundige Fakulteit merupakan
cikal-bakal Institut Pertanian Bogor. Adapun Bestuurs Academie yang
didirikan tahun 1930-an tentulah merupakan awal dari Institut
Aliran Pendidikan 107

Pemerintahan Dalam Negeri yang di kemudian hari diselenggarakan


oleh Pemerintah Indonesia.
Pendidikan yang diselenggarakan pemerintah hanyalah untuk
mencetak pegawai-pegawai berpendidikan yang murah, sehingga
pendidikan tersebut tidak memperhatikan pendidikan moral bagi murid-
murid pribumi, yang diutamakan adalah bisa membaca, menulis, dan
berhitung. Pendidikan diukur dan diarahkan kepada pembentukan suatu
elite sosial untuk selanjutnya dipergunakan sebagai alat bagi kepentingan
supremasi politik dan ekonomi Belanda di Nusantara. Kondisi pendidikan
semacam ini menggerakkan seseorang dan beberapa badan swasta (di
luar pemerintrah Hindia Belanda) untuk mendirikan pendidikan yang
juga mengajarkan agama serta ilmu-ilmu pengetahuan lainnya.
Mengingat ciri-ciri pendidikan yang diselenggarakan pemerintah
kolonial Belanda yang tidak memungkinkan bangsa Indonesia untuk
menjadi cerdas, bebas, bersatu, dan merdeka, maka kaum pergerakan
semakin menyadari bahwa pendidikan yang bersifat nasional harus
segera dimasukkan ke dalam program perjuangannya. Oleh karena itu,
sejak Kebangkitan Nasional (1908) sifat perjuangan rakyat Indonesia
dilakukan melalui berbagai partai dan organisasi, baik melalui jalur
politik praktis, jalur ekonomi, sosial-budaya. dan khususnya melalui
jalur pendidikan. Sifat perjuangan bangsa kita saat itu tidak lagi hanya
menitikberatkan pada perjuangan fisik. Usaha-usaha kaum pergerakan
melalui jalur pendidikan demi kemerdekaan dan rintisan ke arah
pendidikan nasional tampak jelas. Hampir setiap organisasi pergerakan
nasional mencantumkan dan melaksanakan pendidikan dalam anggaran
dasar dan/atau dalam program kerjanya (Tatang, 2010).
Djumhur & Danasuparta (1976) mengemukakan bahwa setelah
tahun 1900 usaha-usaha partikelir di bidang pendidikan berlangsung
dengan sangat giatnya. Untuk mengubah keadaan akibat penjajahan,
kaum pergerakan memasukan pendidikan ke dalam program
perjuanganya. Lahirlah sekolah-sekolah partikelir (perguruan nasional)
yang diselenggarakan para perintis kemerdekaan. Sekolah-sekolah itu
mula-mula bercorak dua: 1) Sekolah-sekolah yang sesuai haluan politik,
seperti yang diselenggarakan oleh: Ki Hadjar Dewantara (Taman Siswa),
Dr. Douwes Dekker atau Dr. Setyabudhi (Ksatrian Institut), Mohammad
Sjafe’i (INS Kayutanam) dan sebagainya. 2) Sekolah-sekolah yang sesuai
tuntutan agama (Islam), seperti yang diselenggarakan oleh:
Muhammadiyah (dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan), Nahdlatul Ulama
108 Pengantar Pendidikan

(dipelopori oleh KH. Hasyim Asy’ari), Sumatera Tawalib di


Padangpanjang, dan lain sebagainya. Selain itu, sebelumnya telah
diselenggarakan pula pendidikan oleh tokoh-tokoh wanita seperti R.A.
Kartini (di Jepara), Rd. Dewi Sartika (di Bandung), dan Rohana Kuddus
(di Sumatera).
Umumnya dalam buku-buku Pengantar Pendidikan hanya
menguraikan dua “aliran” pokok yaitu Perguruan Kebangsaan Taman
Siswa dan INS Kayutanam. Mengingat kiprah, pengaruh, dan
perkembangnya saat ini maka kami memasukkan pembahasan tentang
Gerakan Pendidikan Muhammadiyah. Hal ini didasari pandangan
Raharja (2008) bahwa perjuangan pendidikan Perguruan Kebangsaan
Taman Siswa, INS Kayutanam dan Muhammadiyah berkembang
beriringan dan secara signifikan berpengaruh terhadap pola pikir
masyarakat pada saat itu hingga kini. Gerakan ketiganya sangat berguna
bagi masyarakat pada zaman perjuangan melawan penjajah saat itu.
Ketiganya secara bersama-sama berupaya untuk membawa para pemuda
Indonesia menjadi warga yang tidak buta huruf, membela bangsa dan
negaranya, serta mampu mandiri untuk hidup di masyarakat (corak
dan ciri nasionalisme).

1. Perguruan Kebangsaan Taman Siswa


Sementara berlangsung pemerintahan kolonial itu, ada pula dua
tokoh pemuka Indonesia sendiri yang merintis suatu sistem persekolahan
tersendiri, yang secara teknis bersifat modern seperti sekolah-sekolah
yang diperkenalkan oleh Belanda, namun dalam semangat dan isi
pelajaran sangat berjiwa ketimuran dengan membawa cita-cita
kemandirian bangsa. Tokoh pertama adalah R.M. Soewardi Soerjaningrat,
atau lebih dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara. Perguruan Kebangsaan
Taman Siswa didirikan pada tahun 1921 atau tahun Caka 1852 yang
memiliki semboyan “Lawan Sastra Ngesti Mulia”. Setahun kemudian
pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta muncul organisasi baru benama Persatuan
Taman Siswa yang memiliki semboyan “Suci Tata Ngesti Tunggal”.
Secara lengkap nama perguruan itu adalah “Nationaal Onderwijs Instituut
Taman Siswa”.
Sebagai tokoh pergerakan nasional, Ki Hajar Dewantara tidak ragu
mencantumkan kata “nationaal” pada nama perguruannya, dan dengan
itu yang dimaksudkannya tentulah kenasionalan Indonesia yang bersatu
untuk mengupayakan kemerdekaan bangsa dari belenggu penjajahan.
Aliran Pendidikan 109

Falsafah pendidikan yang dikembangkannya bertolak dari penekanan


kepada pembentukan kemandirian dalam hubungan yang berkomunikasi
hangat antara guru dan murid.
Pada tanggal 6 Januari 1923, dalam National Onderwijs Instituut
Taman Siswa dibentuk majelis yang disebut “Instituutraad”, yang
bertugas memperlancar jalannya pendidikan. Dalam konferensinya
di Yogyakarta tanggal 20-22 Oktober 1923, perguruan ini memperluas
Institut menjadi Hoofdraat (Majelis Luhur). Pada tahun 1930, National
Onderwijs Instituut Tamansiswa diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia menjadi Perguruan Nasional Taman Siswa. Dalam
menjalankan proses pendidikannya dengan menggunakan “Sistem
Among” yang mendasarkan pada: Pertama, kemerdekaan sebagai
syarat untuk menghidupkan dan menggerakan kekuatan lahir batin,
sehingga dapat hidup berdiri sendiri. Kedua, kodrat alam sebagai
syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan dengan secepat-
cepatnya dan sebaik-baiknya (Sulistya, 2002).
Tercatat bahwa pada tahun 1942 cabang Taman Siswa berjumlah
199 sekolah tersebar di beberapa daerah, terutama di pulau-pulau Jawa,
Bali, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku, dengan pada waktu
itu mempunyai sekitar 650 orang guru (Hassan, 2005; Tim Paradigma
Pendidikan BSNP, 2010). Menurut Tirtarahardja & Sulo (2005) awalnya
Perguruan Kebangsaan Taman Siswa dalam bentuk yayasan, selanjutnya
mulai didirikan Taman Indria (Taman Kanak-Kanak) dan Kursus Guru,
selanjutnya Taman Muda (SD), disusul Taman Dewasa merangkap
Taman Guru (Mulo-Kweekschool). Sekarang ini, telah dikembangkan
sehingga meliputi pula Taman Madya, Prasarjana, dan Sarjana Wiyata.
Dengan demikian, Taman Siswa telah meliputi semua jenjang
persekolahan, dari pendidikan prasekolah, pendidikan dasar, pendidikan
menengah, dan pendidikan tinggi.
Falsafah pendidikan Ki Hajar Dewantara yang terkenal yang
diungkapkan dalam bahasa Jawa berbunyai: “ing ngarsa sung tuladha,
ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”, sebagai pedoman perilaku
bagi guru yang artinya: “di depan memberi teladan, di tengah menyemangati,
dan mengiringkan dari belakang sambil memberi kekuatan”. Tokoh ini
mendorong diberikannya juga bahan-bahan ajar yang digali dari
kebudayaan setempat, sehingga dapat dikatakan bahwa kiprahnya dalam
penyelenggaraan pendidikan itu adalah juga merupakan suatu gerakan
budaya.
110 Pengantar Pendidikan

a. Konsep Pendidikan Taman Siswa


Menurut Suprayoko (2006) ada tujuh konsep pendidikan dalam
pandangan Taman siswa, yaitu
1) Pendidikan adalah Badan Perjuangan
Tamansiswa adalah badan perjuangan kebudayaan dan
pembangunan masyarakat yang menggunakan pendidikan dalam
arti luas untuk mencapai cita-citanya. Bagi Tamansiswa,
pendidikan bukanlah tujuan tetapi media untuk mencapai tujuan
perjuangan, yaitu mewujudkan manusia Indonesia yang merdeka
lahir dan batinnya. Merdeka lahiriah artinya tidak dijajah secara
fisik, ekonomi, politik, dan sebagainya; sedangkan merdeka secara
batiniah adalah mampu mengendalikan keadaan.
2) Anti Intelektualisme
Tamansiswa anti intelektualisme; artinya siapa pun tidak boleh
hanya mengagungkan kecerdasan dengan mengabaikan faktor-
faktor lainnya. Tamansiswa mengajarkan azas keseimbangan
(balancing), yaitu antara intelektualitas di satu sisi dan personalitas
di sisi yang lain. Maksudnya agar setiap anak didik itu
berkembang kecerdasan dan kepribadiannya secara seimbang.
3) Asas Pancadarma
Pendidikan Tamansiswa berciri khas Pancadarma, yaitu Kodrat
Alam (memperhatikan sunatullah), Kebudayaan (menerapkan teori
Trikon), Kemerdekaan (memperhatikan potensi dan minat maing-
masing indi-vidu dan kelompok), Kebangsaan (berorientasi pada
keutuhan bangsa dengan berbagai ragam suku), dan Kemanusiaan
(menjunjung harkat dan martabat setiap orang).
4) Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan Tamansiswa adalah membangun anak didik
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, merdeka lahir batin, luhur akal budinya, cerdas dan
berketerampilan, serta sehat jasmani dan rohaninya untuk
menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan bertanggung
jawab atas kesejahteraan bangsa, tanah air, serta manusia pada
umumnya. Meskipun dengan susunan kalimat yang berbeda
namun tujuan pendidikan Tamansiswa ini sejalan dengan tujuan
pendidikan nasional.
5) Konsep Tringa
Kalau di Barat ada “Teori Domein” yang diciptakan oleh
Benjamin S. Bloom yang terdiri dari kognitif, afektif dan
Aliran Pendidikan 111

psikomotorik maka di Tamansiswa ada “Konsep Tringa” yang


terdiri dari ngerti (mengetahui), ngrasa (memahami) dan nglakoni
(melakukan). Maknanya ialah, tujuan belajar itu pada dasarnya
ialah meningkatkan pengetahuan anak didik tentang apa yang
dipelajarinya, mengasah rasa untuk meningkat-kan pemahaman
tentang apa yang diketahuinya, serta meningkatkan kemampuan
untuk melaksanakan apa yang dipelajarinya.
6) Sistem Among
Pendidikan Tamansiswa dilaksanakan berdasar Sistem Among,
yaitu suatu sistem pendidikan yang berjiwa kekeluargaan dan
bersendikan kodrat alam dan kemerdekaan. Dalam sistem ini
setiap pendidik harus meluangkan waktu sebanyak 24 jam setiap
harinya untuk memberikan pelayanan kepada anak didik
sebagaimana orang tua yang memberikan pelayanan kepada
anaknya. Sistem Among tersebut berdasarkan cara berlakunya
disebut Sistem Tutwuri Handayani. Dalam sistem ini orientasi
pendidikan adalah pada anak didik, yang dalam terminologi baru
disebut student centered. Di dalam sistem ini pelaksanaan
pendidikan lebih didasarkan pada minat dan potensi apa yang
perlu dikembangkan pada anak didik, bukan pada minat dan
kemampuan apa yang dimiliki oleh pendidik. Apabila minat anak
didik ternyata akan ke luar “rel” atau pengembangan potensi anak
didik di jalan yang salah maka pendidik berhak untuk
meluruskannya.
7) Kerjasama
Untuk mencapai tujuan pendidikannya, Tamansiswa
menyelanggarakan kerja sama yang selaras antartiga pusat
pendidikan yaitu lingkungan keluarga, lingkungan perguruan,
dan lingkungan masyarakat. Pusat pendidikan yang satu dengan
yang lain hendaknya saling berkoordinasi dan saling mengisi
kekurangan yang ada.
b. Asas dan Tujuan Taman Siswa
Menurut Tirtarahardja & Sulo (2005) Perguruan Kebangsaan Taman
Siswa mempunyai tujuh asas perjuangan untuk menghadapi
pemerintah Kolonial Belanda serta sekaligus untuk mempertahankan
kelangsungan hidup bersifat nasional, dan demokrasi. Ketujuh asas
tersebut dikenal dengan “asas 1922”, sebagai berikut:
1) Bahwa setiap orang mempunyai hak mengatur dirinya sendiri
(zelf besschikkingsrecht) dengan mengingat terbitnya persatuan
dalam peri kehidupan umum.
112 Pengantar Pendidikan

2) Bahwa pengajaran harus memberi pengetahuan yang berfaedah


yang dalam arti lahir dan batin dapat memerdekakan diri.
3) Bahwa pengajaran harus berdasar pada kebudayaan dan
kebangsaan sendiri.
4) Bahwa pengajaran harus tersebar luas sampai dapat menjangkau
kepada seluruh rakyat.
5) Bahwa sebagai konsekuensi hidup dengan kekuatan sendiri maka
mutlak harus membelanjai sendiri segala usaha yang dilakukan
(zelfbegrotings-system).
6) Bahwa sebagai konsekuensi hidup dengan kekuatan sendiri maka
mutlak harus membelanjai sendiri segala usaha yang dilakukan
(Zelfbegrotings-system).
7) Bahwa dalam mendidik anak-anak perlu adanya keikhlasan lahir
dan batin untuk mengorbankan segala kepentingan pribadi demi
keselamatan dan kebahagiaan anak-anak (berhamba pada anak
didik).
Didirikannya perguruan Taman siswa disebabkan karena keadaan
pendidikan bagi rakyat Indonesia yang sangat kurangnya pengajaran
yang diberikan oleh Belanda kepada bangsa Indonesia, pendidikannya
sangat tidak sesuai dengan kepentingan hidup bangsa Indonesia sendiri,
dan bahkan meracuni jiwa anak, menanamkan jiwa budak pengabdi
kepentingan kolonial sehingga sangat mengecewakan rakyat Indonesia.
Seperti diketahui, ketika Pemerintah Kolonial melaksanakan politik etis,
jumlah sekolah yang didirikan bertambah banyak. Walaupun jumlah
sekolah dibandingkan dengan jumlah anak usia sekolah masih sangat
jauh dari cukup. Sekolah-sekolah tersebut dimaksudkan untuk memenuhi
kepentingan kolonial, baik kepentingan dalam bidang politik, ekonomi
maupun administrasi yang sama sekali tidak ditujukan untuk
kepentingan rakyat Indonesia (Setiono et al., 2013).
Menurut Tirtaraharda & Sulo (2005) tujuan Taman Siswa adalah
sebagai badan perjuangan kebudayaan dan pembangunan masyarakat
yang tertib dan damai. Tertib yang sebenarnya tidak akan ada jika tidak
ada damai antara manusia. Damai antara manusia hanya akan ada
dalam keadilan sosial sebagai wujud berlakunya kedaulatan adab
kemanusiaan, yang menghilangkan segala rintangan oleh manusia
terhadap sesamanya dalam sarat-sarat hidupnya, serta menjamin
terbaginya sarat-sarat hidup lahir batin, secara sama rata sama rasa.
Sedangkan tujuan pendidikan Taman Siswa ialah membangun anak
didik beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjadi
Aliran Pendidikan 113

manusia yang merdeka lahir dan batin, luhur akal budinya, , cerdas dan
berketerampilan serta sehat jasmaninya untuk menjadi anggota
masyarakat yang berguna dan bertanggung jawab atas keserasian bangsa,
tanah air, serta manusia pada umumnya. Oleh karena itu, menurut
Setiono et al (2013) tujuan didirikannya Taman Siswa tidak lain adalah
untuk mendidik dan menggembleng golongan muda serta menanamkan
rasa cinta tanah air dan semangat anti penjajahan. Taman Siswa berperan
dalam menumbuhkan rasa nasionalisme bangsa Indonesia. Meskipun
menggunakan sistem pendidikan modern Belanda, tetapi taman siswa
tidak mengambil kepribadian Belanda.
Taman Siswa berusaha untuk mencapai tujuannya, di lingkungan
perguruan, dengan berbagai jalan, yaitu (1) menyelenggarakan tugas
pendidikan dalam bentuk perguruan dari tingkat dasar sampai tingkat
tinggi; (2) mengikuti dan mempelajari perkembangan dunia di luar
Taman Siswa; (3) menumbuhkan lingkungan hidup keluraga Taman
Siswa, sehingga dapat tampak wujud masyarakat Taman Siswa yang
dicita-citakan; (4) meluaskan kehidupan ke Taman Siswa-an di luar
lingkungan masyarakat perguruan, (5) menjalankan kerja pendidikan
untuk masyarakat umum dengan dasar-dasar dan hidup Taman Siswa;
(6) menyelenggarakan usaha-usaha kemasyarakatan dalam masyarakat
dalam bentuk-bentuk badan sosial, Usaha-usaha pembentukan kesatuan
hidup kekeluargaan sebagai pola masyarakat baru Indonesia, usaha
pendidikan kader pembangunan, dan (7) mengusahakan terbentuknya
pusat – pusat kegiatan kemasyarakatan dalam berbagai bidang kehidupan
dan penghidupan masyarakat. Berbagai hal seperti pemikiran tentang
pendidikan nasional, lembaga-lembaga pendidikan dari Taman Indria
sampai dengan Sarjana Wiyata, dan sejumlah besar alumni perguruan.
Ketiga pencapaian itu merupakan pencapaian sebagai suatu yayasan
pendidikan (Tirtarahardja & Sulo, 2005).

2. Ruang Pendidik INS Kayutanam


Sumatera Barat telah melahirkan pemikir-pemikir yang memiliki
jiwa-jiwa besar dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia dan memiliki
peran penting di bidang pendidikan, salah satunya adalah Engku
Mohammad Sjafe’i (Zubir, 2001). Mohammad Sjafe’i lahir di Matan,
Kalimantan Barat tahun 1895 (Tirtarahardja & Sulo, 2005). Mohammad
Sjafe’i, seorang anak yatim yang ditinggalkan Ayahnya semasa kecil dan
diasuh ibunya bernama Sjafia, buta huruf yang pekerjaannya membuat
kue untuk dijajakan Sjafe’i. Ibu Sjafe’i tidak dapat menentukan hari dan
114 Pengantar Pendidikan

tanggal lahir anaknya, namun dapat diperkirakan tanggal 31 Oktober


1893 (Baihaqi, 2007). Mohammad Sjafe’i dijadikan anak angkat oleh
Ibrahim Mara Sutan (seorang guru negeri yang berpindah tugas ke
beberapa tempat di Sumatera, kemudian juga ke Pontianak, Kalimantan
Barat) dan Andung Chalidjah (Navis, 1996; Zed, 2012).
Mohammad Sjafe’i mendirikan Ruang Pendidik INS Kayutanam
pada tanggal 31 Oktober 1926 di Kabupaten Padang Pariaman Sumater
Barat. INS Kayutanam adalah satu sekolah modern bercorak nasional
yang peranannya cukup besar pada perkembangan dunia pendidikan
Indonesia, khususnya di Sumatera Barat (Halimah, 2012). Setidaknya
ada 3 alasan mengapa kita memberikan perhatian khusus pada pemikiran
pendidikan Mohammad Sjafe’i, yaitu (1) tak diragukan lagi ia termasuk
salah seorang di antara sedikit tokoh pemikir besar dan praktisi di
bidang pendidikan bangsa yang telah menunjukkan reputasinya di
masa lalu lewat ”ruang pendidikan INS” yang dibinanya sejak tahun
1926; (2) ia telah menanam dan buah pendidikan yang dihasilkannya
tidak hanya melahirkan orang-orang ber-keahlian di bidangnya masing-
masing, melainkan juga menelorkan generasi terpelajar yang telah
tercerahkan dan mencerahkan kesadaran kebangsaan di zaman
penjajahan; (3) buah pendidikan para pendahulu ini, pada gilirannya
telah menjadi bagian dari mata-rantai center of excellence (”pusat
keunggulan”) yang diperlukan bangsa Indonesia dalam membangun
harga diri bangsa, lewat “pendidikan yang memerdekakan” (Zed, 2012).
Pendidikan ini berkembang beriringan dengan perjuangan
pendidikan Muhammadiyah maupun Taman Siswa. Pendidikan INS
Kayu Taman ini berpengaruh secara signifikan terhadap pola pikir
masyarakat pada saat itu. INS Kayutanam pada mulanya dipimpin oleh
ayah angkatnya, kemudian diambil alih oleh Mohammad Sjafe’i
(Rahardja, 2008). Terletak di atas lahan erfpacht seluas 18 ha, komplek
INS mulanya sangat sederhana. Saat pertama kali dibuka, minggu 31
Oktober 1926, yakni satu tahun setelah Sjafe’i pulang dari pendidikan di
Belanda, bangunan sekolah itu masih menggunakan rumah penduduk
yang disewa, terletak di tengah-tengah Nagari Kayutanam, tidak jauh
dari stasiun kereta api. Murid angkatan pertama berjumlah 79 orang.
Mereka datang dari berbagai daerah. Gurunya hanya Sjafe’i seorang,
sehingga murid dibagi dalam 2 kelas, belajar berganti hari. Waktu itu
belum punya bangku dan meja dalam ruangan. Para murid belajar di lantai
beralas tikar, sedangkan papan tulis disandarkan pada kursi (Zed, 2012).
Aliran Pendidikan 115

Lahirnya Ruang Pendidik INS Kayutanam tidak terlepas dari upaya


Mohammad Sjafe’i mewujudkan cita-cita dari kedua orang tua angkatnya.
Ia juga didukung oleh sebuah organisasi perkumpulan buruh kereta api
yang bernama Vereeniging Bumi Poetra Staats-Spoors (VBPSS) berkedudukan
di Padang yang dipimpin oleh Abdul Rachman. Tujuan awal pendidikan
Ruang Pendidik INS Kayutanam adalah mendidik manusia supaya
menjadi manusia, membimbing anak didik kepada diri, dan bakat yang
dimilikinya. Ruang Pendidik INS Kayutanam lebih di kenal sebagai
“Sekolah Ahli Tukang”, maksudnya lulusan Ruang Pendidik INS
Kayutanam ini setiap muridnya memiliki talenta dan kemauan untuk
berkarya. Seperti kata Mohammad Sjafe’i, murid yang datang ke INS
masuk dengan satu pintu dan keluar dengan banyak pintu.
Barnadib (1983) dan Raharja (2008) menjelaskan bahwa sekolah dari
Mohammad Sjafe’i sebagai bentuk reaksi dari sekolah-sekolah Pemerintah
Hindia Belanda. Sekolah ini memang kurang terkenal karena tidak
mempunyai cabang seperti sekolah-sekolah Muhammadiyah maupun
Taman Siswa. Perkembangan sekolah ini mengalami pasang surut, sesuai
dengan keadaan Indonesia saat itu. Pada bulan Desember 1948 sewaktu
Belanda menyerang ke Kayutanam, seluruh gedung INS dihanguskan,
termasuk ruang pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan di Padang
Panjang. INS bangkit lagi pada bulan Mei 1950, dengan 30 murid.
Menurut Fhadilla (2014) pada awal berdiri nama perguruan ini
memakai bahasa Belanda yakni Indonesisch Nederlandsch School dengan
kependekan INS. Maksud nama ini menggunakan bahasa Belanda
dikarenakan sewaktu berdiri negara Indonesia berada di bawah
kekuasaan Belanda agar tidak menimbulkan rasa curiga terhadap sekolah
yang didirikan oleh Mohammad Sjafe’i. Sebelumnya sekolah-sekolah
yang didirikan oleh pemerintah Belanda dalam pemberian nama selalu
mendahulukan kata Hollandsch baru setelah itu kata Indonesisch. Pada
masa pendudukan Jepang, kependekan dari INS berganti arti yakni
Indonesia Nippon School. Penamaan ini bertujuan sebagai pelindung diri
atas kekejaman tentara Jepang. Pada periode kemerdekaan Indonesia,
kependekan dari INS berubah menjadi Indonesia National School, nama
ini sesuai dengan kondisi daerah Kayutanam saat itu. Pada tahun 1972
dalam rapat Munas di Jakarta, atas usulan dari Prof. Dr. Deliar Noer
mengusulkan agar kepanjangan dari INS diganti menjadi Institut
Nasional Sjafe’i dan masyarakat Kayutanam sendiri menyebut sekolah
ini dengan sebutan “INS Kayutanam”. Pada tahun 1975 Ruang Pendidik
SMA INS Kayutanam memakai kurikulum nasional yang diintegrasikan
dengan kurikulum Mohammad Sjafe’i.
116 Pengantar Pendidikan

Mohammad Sjafe’i terkenal dengan falsafahnya “Alam Takambang


Jadi Guru” yang menekan pada keseimbangan otak, hati dan tangan.
Beberapa ungkapan lain yang bermuatan falsafah pendidikan dari tokoh
ini antara lain adalah: “Jangan minta buah mangga kepada pohon
rambutan, tapi jadikanlah setiap pohon menghasilkan buah yang manis”;
“Salah satu alat besar yang bisa mengubah keadaan kita dan menolong
mengejar ketinggalan-ketinggalan adalah Pendidikan yang bersifat aktif
positif dan belajar menurut bakat”; “Barang siapa yang mengeluh, ia
kalah”; “Bangsa Indonesia tak dapat tidak akan mendapat manfaat
yang sangat besar apabila juga berpikir kritis dan logis”; “Pelajaran
pekerjaan tangan tidak hanya mengenai ketrampilan saja, banyak lagi
sangkutannya dengan perkembangan jiwa si pelajar”, “Jadilah engkau,
menjadi engkau”, dan lain-lain. Kiranya kutipan-kutipan itu dapat
menggambarkan pendekatannya dalam melaksanakan upaya
pendidikan. Dapat pula dikatakan bahwa Mohammad Sjafe’i telah lebih
dahulu menerapkan pendekatan pendidikan yang jauh di kemudian
hari dirumuskan orang sebagai “student-centered learning” (Tim Paradigma
Pendidikan BSNP, 2010).
a. Dasar dan Tujuan Pendidikan INS Kayutanam
Pada awal didirikan, Pendidikan INS Kayutanam memiliki asas-asas,
yaitu (1) berfikir dan rasional, (2) keaktifan dan kegiatan, (3)
pendidikan msyarakat, (4) memperhatikan pembawaan anak, dan (5)
menentang intelektualisme (Tirtarahardja & Sulo, 2005). Menurut
Raharja (2008) setelah kemerdekaan, asas-asas tersebut dikembangkan
menjadi dasar-dasar pendidikan yang mencakup sebagai berikut.
1) Ketuhanan yang mahaesa.
2) Kemanusiaan.
3) Kesusilaan.
4) Kerakyatan.
5) Kebangsaan.
6) Gabungan antara pendidikan ilmu umum dan kejuruan.
7) Percaya diri sendiri juga pada Tuhan.
8) Berakhlak (bersusila) setinggi mungkin.
9) Bertanggung jawab atas keselamatan nusa dan bangsa.
10) Berjiwa aktif positif dan aktif negatif.
11) Mempunyai daya cipta.
12) Cerdas, logis, dan rasional.
Aliran Pendidikan 117

13) Berperasaan tajam, halus, dan estetis.


14) Gigih atau ulet yang sehat.
15) Correct atau tepat.
16) Emosional atau terharu.
17) Jasmani sehat dan kuat.
18) Cakap berbahasa Indonesia, Inggris, dan Arab.
19) Sanggup hidup sederhana dan bersusah payah.
20) Sanggup mengerjakan sesuatu pekerjaan dengan alat serba
kurang.
21) Sebanyak mungkin memakai kebudayaan nasional waktu
mendidik.
22) Waktu mengajar, para guru sebanyak mungkin menjadi objek,
dan murid-murid menjadi subjek. Bila hal ini tidak mungkin
barulah para guru menjadi subjek dan murid menjadi objek.
23) Sebanyak mungkin para guru mencontohkan pelajaran-
pelajarannya, tidak hanya pandai menyuruh saja.
24) Diusahakan supaya pelajar mempunyai darah ksatria; berani
karena benar.
25) Mempunyai jiwa konsentrasi.
26) Pemeliharaan (perawatan) sesuatu usaha.
27) Menepati janji. Sebelum pekerjaan dimulai dibiasakan
menimbangnya dulu sebaik-baiknya. Kewajiban harus
dipenuhi.
28) Hemat.
Menurut Raharja (2008) sesuai dengan asas dan dasar pendidikan
tersebut di atas, pendidikan INS Kayutanam memiliki tujuan sebagai
berikut.
1) Mendidik rakyat ke arah kemerdekaan.
2) Memberi pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
3) Mendidik para pemuda agar berguna untuk masyarakat.
4) Menanamkan kepercayaan terhadap diri sendiri dan berani
bertanggung jawab.
5) Mengusahakan mandiri dalam pembiayaan.
Sehubungan dengan itu, menurut Tim Paradigma Pendidikan
BSNP (2010) ada lima garapan utama yang dikembangkan dalam INS
Kayutanam tersebut, yaitu
118 Pengantar Pendidikan

1) kemerdekaan berpikir (dalam bentuk inovasi/kreativitas),


2) pengembangan ilmu pengetahuan, talenta/bakat (sebagai rakhmat
Tuhan), dan potensi diri,
3) kemandirian dan entrepreneurship,
4) etos kerja, serta
5) akhlak mulia (sebagai pengejawantahan dari agama, etika, dan
estetika).
b. Program Pendidikan dan Kurikulum Pendidikan INS Kayutanam
Menurut Tirtarahardja & Sulo (2005) terdapat beberapa program yang
dilakukan oleh Mohammad Sjafe’i dan kawan-kawan dalam
mengembangan pendidikan nasional, antara lain:
1) memantapkan dan menyebarluaskan gagasan-gagasan tentang
pendidikan nasional;
2) pengembangan kelembagaan, sarana prasarana pendidikan;
3) pemberantasan buta huruf; dan
4) penerbitan majalah anak-anak.
Menurut Raharja (2008) dalam bidang kelembagaan, antara lain INS
Kayutanam menyelenggarakan berbagai jenjang pendidikan, seperti:
1) ruang rendah (7 tahun, setara sekolah dasar),
2) ruang dewasa (4 tahun sesudah ruang rendah, setara sekolah
menengah).
3) program khusus untuk menjadi guru, yaitu tambahan 1 tahun
setelah ruang dewasa untuk pembekalan kemampuan mengajar
dan praktik mengajar.
INS Kayutanam telah mempraktikkan “community oriented project”
di sekolahnya, sebelum perumusan itu menjadi seluas sekarang dalam
pembangunan pendidikan di Indonesia. Dengan demikian, tidaklah
berlebihan jika Mohammad Sjafe’i dianggap sebagai salah satu pelopor
aliran modern dalam pendidikan di Indonesia. Pengajaran dan
pendidikan di sekolah harus berdasarkan kebutuhan masyarakat, antara
sekolah dan masyarakat harus ada hubungan yang erat, sekolah adalah
bagian yang hidup dari masyarakat. Program pendidikannya
mengutamakan pendidikan ketarampilan-kerajinan dengan
mengutamakan menggambar, pekerjaan tangan, dan sejenisnya.
Mohammad Sjafe’i melengkapi pendidikan dan pengajaran dengan
mengutamakan “pelajaran ekspresi” yaitu menggambar, menyanyi, dan
pekerjaan tangan. Pelajaran olah raga dan kesenian sangat dipentingkan.
Aliran Pendidikan 119

Rencana pelajaran dan metode pendidikan sekolah Mohammad Sjafe’i


mendekati rancangan John Dewey di Amerika Serikat dan
Kerschensteiner di Jerman (Raharja, 2008).
Lebih lanjut menurut Rahardja (2008) di INS Kayutanam, para
siswanya mendapat banyak latihan mempergunakan tangannya dan
membuat barang-barang yang berguna bagi keperluan hidup sehari-
hari. Mohammad Sjafe’i sependapat dengan Dewey dan menganggap
corak pendidikan seperti itu (belajar dan bekerja) akan membentuk
watak, rasa sosial dan saling menolong anak didik. Anak didik diajarkan
suatu pekerjaan yang sesuai dengan pembawaan dan kemauannya
untuk penghidupannya nanti, dengan harapan dapat membentuk
pemuda-pemuda Indonesia yang tegak sendiri, berusaha sendiri, hidup
bebas dan tidak bergantung buat seumur hidupnya pada pemerintah.
Mohammad Sjafei berpendapat bahwa inisiatif seseorang dan perasaan
tanggung jawab adalah sifat watak yang terpenting yang harus
dikembangkan. Usaha lain INS Kayutanam adalah menerbitkan
“Sendi” (majalah anak-anak), buku bacaan dalam rangka
pemberantasan buta huruf atau aksara dan angka “Kunci 13”, serta
mencetak buku-buku pelajaran. Semua upaya tersebut dilakukan
sebagai usaha mandiri, menolak bantuan-bantuan yang mungkin
membatasi kebebasannya.
INS Kayutanam juga mengupayakan gagasan-gagasan tentang
pendidikan nasional, terutama pendidikan keterampilan atau kerajinan,
beberapa jenjang pendidikan, dan sejumlah alumni. INS Kayutanam
juga berupaya dapat melakukan penyegaran dan dinamisasi, seiring
dengan perkembangan masyarakat dan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Di samping itu, upaya-upaya pengembangan pendidikan INS Kayutanam
ini diarahkan dalam kerangka pengembangan dan kemajuan sistem
pendidikan nasional sebagai bagian dari usaha mewujudkan cita-citanya,
yaitu mencerdaskan seluruh rakyat Indonesia.
Prinsip pertama yang dipegang teguh oleh Mohammad Sjafe’i dalam
pendidikannya adalah “belajar, bekerja, dan berbuat”. Apabila murid
hanya mendengarkan saja ilmu pengetahuan yang diajarkan guru melalui
kata-kata yang kadang-kadang tidak dimengerti, tidak akan berguna
bagi murid karena mereka tidak tahu dan tidak akan pandai
mempergunakan pengetahuan tersebut dalam kehidupannya atau untuk
memperbaiki tingkat kehidupannya kelak di kemudian hari sesudah
tamat belajar.
120 Pengantar Pendidikan

Menurut Mohammad Sjafe’i pada setiap manusia terdapat tiga hal


pokok yang dapat dikembangkan untuk mendidik manusia itu ke arah
yang dikehendaki, yaitu: melihat (45%), mendengar (25%) dan bergerak
(35%). Apabila melihat saja yang dilatih selama masa pendidikan,
murid akan merupakan orang yang tidak berdaya dalam kehidupan
masyarakat di kemudian hari, karena mereka tidak akan dapat berbuat.
Begitu juga dengan mendengar saja, akan membentuk manusia peniru
yang baik tanpa kesadaran. Dengan sistem yang demikian, Mohammad
Sjafe’i berusaha menanamkan watak yang teguh dan pendirian yang
kuat terhadap murid-muridnya serta merupakan pekerja yang ulet dan
pantang menyerah. Hal demikianlah yang menyebabkan tamatan INS
selalu berhasil dalam setiap bidang usahanya dalam masyarakat
(Halimah, 2012).

3. Gerakan Pendidikan Muhammadiyah


Muhammadiyah lahir di Kampung Kauman Yogyakarta, pada 18
November 1912 bertepatan dengan tanggal 18 Dzuhijjah 1330 Hijriah
dengan diprakarsai oleh KH. Ahmad Dahlan (Hambali, 2006;
Fakhruddin, 2005). KH. Ahmad Dahlan (waktu mudanya bernama
Raden Ngabehi Muhammad Darwis), lahir pada tanggal 1 Agustus 1868
di Kampung Kauman Yogyakarta. Ayahnya seorang alim bernama K.H.
Haji Abu Bakar, pejabat Khatib di Masjid Agung Kesultanan Yogyakarta.
Ibunya adalah putri Haji Ibrahim, pejabat penghulu kesultanan (Burhani,
2004). Dalam silsilah ia termasuk keturunan yang kedua belas dari
Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka
diantara Wali Songo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran
dan pengembangan Islam di Tanah Jawa.
KH. Ahmad Dahlan tidak mengenyam pendidikan formal sebab
orang-orang Islam melarang anaknya masuk sekolah Gubernemen
Belanda. Ia mendapat didikan dari ayahnya sendiri selanjutnya mengaji
Bahasa Arab, Tafsir, Hadis dan Fikih kepada Ulama-ulama di Yogyakarta.
Pada umur 15 tahun, beliau pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima
tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan
pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad
Abduh, al-Afghani, Rashid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Pada tahun 1903,
beliau bertolak kembali ke Makkah dan menetap selama dua tahun.
Pada masa ini, beliau sempat berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Al-
Minanagkabawi yang juga guru dari pendiri NU yakni Hasyim Asy’ari.
Dua kali di Mekah belajar pada Syekh Ahmad Khatib Al-Minanagkabawi,
Aliran Pendidikan 121

belajar Ilmu Tauhid, Fikih, Tasawuf, Falah dan yang menarik hatinya
adalah Tafsir Al-Manar karya Muhammad Abduh. Keprihatinan Ahmad
Dahlan melihat pengalaman Islam di Indonesia membuat ia bertekad
untuk bekerja keras mengembalikan Islam sebagaimana landasan aslinya
yaitu Al-Quran dan Al-Hadis (Salam, 1968; Jurdi, 2010).
Muhammadiyah itu bahasa Arab, berasal dari kata-kata “Muhammad”
kemudian mendapat tambahan kata “iyyah”. “iyyah” itu menurut tata
bahasa Arab (Nahwu) bernama ya’ nisby, artinya untuk menjeniskan.
Jadi Muhammadiyah berarti sejenis dari Muhammad. Tegasnya
golongan-golongan yang berkemauan mengikuti Sunnah Nabi
Muhammad SAW (Fakhruddin, 2005). Secara terminologi,
Muhammadiyah merupakan gerakan Islam, dakwah amar ma’ruf nahi
munkar, berazaskan Islam, bersumber pada Al-Qur’an dan Sunah (Hadis).
Pemberian nama Muhammadiyah dengan maksud berpengharapan
baik (bertafa’ul), mencontoh dan menteladani jejak perjuangan Nabi
Muhammad SAW. Semua ditujukan demi terwujudnya kejayaan Islam,
sebagai idealitas dan kemuliaan hidup umat Islam sebagai realitas
(Pasha & Darban, 2000).
Setting sosial yang mengitari KH. Ahmad Dahlan telah memberikan
inspirasi cemerlang untuk mendirikan Muhammadiyah. Berdirinya
Muhammadiyah di samping merupakan hasil dan telaah terhadap
ajaran Al-Quran juga tidak terlepas dari kondisi sosial masyarakat pada
waktu itu. Pada saat kondisi yang tidak menentu K.H. Ahmad Dahlan
muncul sebagai salah seorang yang peduli terhadap kondisi yang
dihadapi oleh masyarakat pribumi secara umum atau masyarakat
Muslim secara khusus.
Sejak kelahirannya, Muhammadiyah telah menetapkan garis
perjuangan (khittah) untuk bergerak di bidang da‘wah, sosial, dan
pendidikan. Gagasan pendidikan yang dipelopori kyai Ahmad Dahlan,
merupakan pembaruan karena mampu mengintegrasikan aspek “iman”
dan “kemajuan”, sehingga dihasilkan sosok generasi muslim terpelajar
yang mampu hidup di zaman modern tanpa terpecah kepribadiannya
(Kuntowijoyo, 1985). Apresiasi sejarah terhadap Muhammadiyah tidak
bisa dilepaskan oleh faktor besarnya partisipasi organisasi ini dalam
dunia Pendidikan. Partisipasi Muhammadiyah dalam memperkuat
bangsa ini dalam konteks Pendidikan dimulai sejak Muhammadiyah
lahir pada tahun 1912. Hal ini mengingat bahwa salah satu faktor yang
mendorong lahirnya Muhammadiyah adalah adanya realitas obyektif
122 Pengantar Pendidikan

yang menunjukkan bahwa kondisi Pendidikan bangsa ini di awal abad


20-an cukup memprihatinkan alias tertinggal. Setidaknya salah satu
problem yang dihadapi umat Islam pada fase awal abad ke- 20 adalah
adanya kemunduran Islam yang berpusat di pondok pesantren karena
terisolasi dari perkembangan ilmu dan masyarakat modern. Salah satu
yang melatarbelakangi lahirnya Muhammadiyah adalah realitas sosial-
pendidikan di Indonesia (Rokhim, 2014).
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa pada zaman
kolonial Belanda, pendidikan yang diselenggarakan pemerintah hanyalah
untuk mencetak pegawai pegawai berpendidikan yang murah, sehingga
pendidikan tersebut tidak memperhatikan pendidikan moral dan agama
bagi murid-murid pribumi. Sementara nasib pesantren yang mendalami
ilmu agama mengalami kemunduran pada akhir abad ke-19, karena
pemerintah mengawasi dengan ketat perkembangan pesantren.
Pemerintah menganggap, pesantren merupakan sumber perlawanan
terhadap pemerintah, karena pemerintah melihat perlawanan yang
dilakukan tokoh-tokoh ulama seperti: Tuanku Imam Bonjol, Teuku Cik
di Tiro dan Pangeran Diponegoro. Ordonansi pengawasan terhadap
sekolah-sekolah yang mengajarkan agama dikeluarkan pada 1905. Guru-
guru agama yang akan mengajar harus mendapatkan izin mengajar
dari pemerintahan setempat. Sementara itu dari pihak pesantren, selalu
menolak bentuk-bentuk intervensi dari pihak Barat (Belanda) dan sikap
nonkooperatif inilah yang kemudian mengakibatkan isolasi dalam
kehidupan pesantren dan membuat pesantren mengalami kemunduran
yang diakibatkan oleh dikeluarkannya peraturan itu.
Kondisi pendidikan semacam ini menggerakkan seseorang dan
beberapa badan swasta untuk mendirikan pendidikan yang juga
mengajarkan agama serta ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Salah satu
badan swasta tersebut adalah Muhammadiyah. KH. Ahmad Dahlan
mempersiapkan sekolah-sekolah yang dapat menjadi penengah di antara
dua model sekolah tersebut, yaitu yang mengajarkan pengetahuan
agama dan umum secara bersama-sama.
Buku Muhammadiyah 100 Tahun Menyinari Negeri (Febriansyah et al.,
2013) menjelaskan bahwa Perkembangan Muhammadiyah ternyata
sangat cepat. Beberapa tahun setelah berdiri saja, telah berdiri cabang-
cabang Muhammadiyah. Di Srandakan, Wonosari, Imogiri, dan lain
sebagainya. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan terjadi–
saat itu Pemerintah Hindia Belanda tidak merestui perkembangan
Aliran Pendidikan 123

Muhammadiyah, karena awalnya hanya diberikan izin untuk bergerak


di daerah Yogyakarta saja– akhirnya di luar Yogyakarta, cabang
Muhammadiyah berdiri dengan nama lain. Sebut saja Nurul Islam di
Pekalongan, Al-Munir di Makassar, Ahmadiyah di Garut, dan
perkumpulan SATF (Shiddiq, Amanah, Tabligh, Fathonah) di Surakarta.
Mulailah berturut-turut, Muhammadiyah mendirikan sekolah. Di
Karangkajen, Yogyakarta pada 1913, di Lempuyangan tahun 1915, di
Pasar Gede (Kota Gede) tahun 1916, dan seterusnya. Tahun 1918
didirikanlah sekolah bagi calon guru agama yang dinamakan Qismul
Arqa (sempat berganti nama menjadi Kweekschool Muhammadiyah
dan Kweekschool Isteri). Qismul Arqa ini yang kemudian kelak menjadi
Madrasah Mu’allimin dan Mu’allimaat Muhammadiyah Yogyakarta
(berganti nama lagi pada kongres Muhammadiyah ke 23 di Yogyakarta
pada tahun 1935), sekolah kader enam tahun yang dikelola langsung
oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Menyadari bahwa Muhammadiyah harus tumbuh berkembang terus,
tidak hanya di Yogyakarta saja, K.H. Ahmad Dahlan mengajukan
permohonan untuk diizinkan mendirikan cabang-cabang
Muhammadiyah di luar Yogyakarta. Permohonan itu diajukan pada 7
Mei 1921 dan dikabulkan baru pada 2 September 1921. Setelah keluarnya
izin tersebut, baru mulailah terbentuk Cabang-cabang Muhammadiyah
di luar Yogyakarta. Berkembangnya Cabang-cabang Muhammadiyah di
luar Yogyakarta ini erat kaitannya dengan dakwah dan perdagangan.
Meski pada awalnya beberapa cabang berdiri tidak dengan nama
Muhammadiyah karena memang tidak diperbolehkan oleh Pemerintah
Kolonial Belanda, namun perlahan tapi pasti Muhammadiyah mulai
berani menunjukkan eksistensinya di luar Yogyakarta.
Tercatat dalam sejarah bahwa Cabang Muhammadiyah yang pertama
berdiri di luar Yogyakarta adalah di wilayah timur Jawa yakni di
Surabaya dan Blora pada 27 November 1921. Menyusul tidak terlalu
lama kemudian adalah Cabang Muhammadiyah di Kepanjen Malang
pada 21 Desember 1921. Pada tahun 1922 Muhammadiyah mulai
menggeliat di daerah Jakarta, Surakarta, Purwokerto, Pekalongan, dan
Pekajangan. Tercatat pada tahun 1923 Muhammadiyah melebarkan
sayapnya ke daerah Jawa Barat khususnya di Garut. Namun demikian,
pada tahun 1920 pengaruh Muhammadiyah sudah mulai dirasakan di
daerah Minangkabau dimana pada tahun itulah Muhammadiyah mulai
dikenal oleh masyarakat di luar Pulau Jawa. Berturut-turut kemudian,
124 Pengantar Pendidikan

pada tahun 1925 Muhammadiyah berdiri di Sungai Batang dan Agam.


Diawali dari Sumatera inilah mulainya Muhammadiyah berkembang di
daerah Sulawesi dan Kalimantan. Pada tahun 1927 Muhammadiyah
dirasakan juga di daerah Bengkulu dan Banjarmasin. Pada tahun 1930,
Muhammadiyah menancapkan panjinya di ujung timur negeri ini yakni
dengan resmi terbentuknya Muhammadiyah cabang Merauke. Baru
kemudian pada tahun 1938 secara masif Muhammadiyah mengepakkan
sayapnya di seluruh bumi Nusantara.
Muhammadiyah telah melakukan proses-proses pencerahan,
perubahan dan pengembangan masyarakat melalui jalan modernisasi.
Maksudnya, modernisasi dalam masyarakat muslim Indonesia sebagai
sebuah model untuk melihat fenomena-fenomena yang terjadi di
Nusantara. Dengan modernisasi ini, Muhammadiyah telah meningkatkan
harkat dan martabat bangsa Indonesia sebagai bangsa yang modern.
Sebab model-model tradisional yang pernah menjadi bagian kehidupan
bangsa ini, perlahan-lahan berubah. Modernisasi Muhammadiyah
sebenarnya yang paling terang dapat dilihat dari model-model
pendidikan yang dikembangkan Muhammadiyah sejak awalnya. Model
pendidikan Muhammadiyah, sebenarnya merupakan model pendidikan
ala Barat Kristen yang diadopsi untuk kemudian disesuaikan dengan
kondisi masyarakat Indonesia. Modernisasi Muhammadiyah juga terlihat
dalam bentuk pembangunan rumah sakit dan panti asuhan, yang
merupakan karakteristik pelayanan sosial yang dilakukan oleh Barat
Kristen dalam melakukan pelayanan gerejawi. Di saat para Kiai masih
menganggap sekolah yang memakai kursi dan meja untuk belajar itu
merupakan sekolah orang kafir, Ahmad Dahlan melampaui pemikiran
itu dengan mendirikan sekolah yang bahkan tidak hanya mengajarkan
ilmu agama saja, tetapi juga ilmu-ilmu umum.
Menurut Febriansyah et al (2013) sesungguhnya, pendidikan yang
digagas oleh Muhammadiyah sejak awal organisasi ini didirikan adalah
pendidikan yang diletakkan pada dasar/asas Islam dengan berpedoman
Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Pendidikan Muhammadiyah ditujukan
untuk membentuk manusia yang alim dalam ilmu agama, berpandangan
luas dengan memiliki pengetahuan umum, serta siap berjuang mengabdi
dalam rangka menyantuni nilai-nilai keutamaan pada masyarakat. Tujuan
pendidikan Muhammadiyah dapat diperjelas antara lain sebagai berikut:
a. Untuk membentuk pribadi berakhlak mulia;
b. Sebagai persiapan bekal menuju kehidupan dunia dan akhirat;
Aliran Pendidikan 125

c. Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi manfaat;


d. Menumbuhkan semangat ilmiah bagi para pelajar;
e. Menyiapkan pelajar dari segi profesi dan teknik agar dapat menguasai
profesi atau ketrampilan tertentu;
f. Menumbuhkan potensi dan bakat asal pada anak didik;
g. Menumbuhkan kesadaran manusia untuk mengabdi, dan takut
kepada Allah;
h. Menguatkan ukhuwah islamiyah dikalangan kaum muslim; dan
i. Untuk mencapai keridhaan Allah, menjauhkan murka dan siksaan-
Nya serta melaksanakan pengabdian yang tulus ikhlas kepada-Nya.
Sementara itu, menurut Qaidah PTM, Perguruan Tinggi
Muhammadiyah merupakan lembaga pendidikan yang menyelenggarakan
pendidikan tinggi di lingkungan Persyarikatan Muhammadiyah, bertugas
menyelenggarakan pembinaan ketakwaan dan keimanan kepada Allah
SWT, melaksanakan pendidikan dan pengajaran, penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat menurut tuntunan ajaran Islam.
Pendidikan Muhammadiyah terus berkembang. Tidak hanya di
Jawa saja, bahkan hingga ke seluruh pelosok tanah air. Perlahan tapi
pasti, di masing-masing daerah didirikan Sekolah. Menurut data Laporan
Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam Muktamar 1 Abad
Muhammadiyah, sampai Mei 2010 tercatat jumlah lembaga pendidikan
yang dikelola oleh Muhammadiyah dan Aisyiyah sebagai berikut: Taman
Kanak-Kanak 4.623 buah, PAUD 6.723 buah, SLB 15 buah, SD 1.370
buah, Madrasah Ibtidaiyah 1.079 buah, Madrasah Diniyah 347 buah,
SMP 1.178 buah, Madrasah Tsanawiyah 507 buah, SMA 589 buah,
Madrasah Aliyah 158 buah, SMK 396 buah, Madrasah Muallimin/
Muallimat 7 buah, Pondok Pesantrem 107 buah, dan Sekolah Menengah
Farmasi 3 buah. Dalam data Majelis Pendidikan Tinggi PP
Muhammadiyah, sampai Oktober 2012 tercatat sebanyak 158 Perguruan
Tinggi Muhammadiyah, terdiri dari 40 Universitas, 97 Sekolah Tinggi
(terutama Sekolah Tinggi Ilmu Pendidikan, Ilmu Ekonomi, Agama
Islam, Ilmu Tarbiyah, Ilmu Kesehatan), 17 Akademi (terutama Akademi
Kebidanan dan Keperawatan), dan 4 Politeknik Muhammadiyah
(Magelang, Pekalongan, Tegal dan Yogyakarta).
Muhammadiyah merupakan gerakan modernis Islam yang
mempunyai dampak paling luas di Indonesia bahkan di dunia. Melihat
pada skala amal usaha yang demikian besar, maka dapat dikatakan
Muhammadiyah adalah sebuah gerakan modernis di dunia yang menuai
126 Pengantar Pendidikan

keberhasilan yang signifikan. Gerakan Ikhwanul Muslimin yang dipimpin


Sayyid Qutb di Mesir dan Jama’at Islam pimpinan Abdul A’la Al-
Maududi di Pakistan, yang keduanya juga termasuk gerakan Islam
modernis, jika diukur segi ini, tertinggal jauh dibanding Muhammadiyah.
Patut disadari bahwa pada mulanya organisasi ini mendapat
tantangan dan hambatan, terutama dari kaum adat dan ulama
tradisional. Muncul tuduhan bahwa Muhammadiyah menyimpang dari
garis ahlus-sunnah wal-jama‘ah. Lambat laun masyarakat mengalami
“pencerahan pemikiran” bahwa modernisasi memang suatu keharusan.
Kegiatan Muhammadiyah yang dahulu dicela kini ditiru dan diikuti
diam-diam. Sekolah-sekolah modern yang dahulu menjadi tuduhan
kepada Muhammadiyah meniru Belanda terpaksa didirikan oleh orang
lain atau lembaga-lembaga dan ormas lain juga. Golongan-golongan
yang dahulu menghambat langkah Muhammadiyah akhirnya tidak
mendapat jalan lain kecuali meniru, mengikuti, dan bergabung dalam
jejak Muhammadiyah.
Sistem Pendidikan Nasional, Pembaharuan dan Inovasi
127
Pendidikan di Indonesia

BAB VI

SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL,


PEMBAHARUAN DAN INOVASI
PENDIDIKAN DI INDONESIA

A. Sistem Pendidikan Nasional

1. Landasan Filosofis Sistem Pendidikan Nasional


Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 memberikan landasan filosofis serta berbagai prinsip dasar
dalam pembangunan pendidikan. Berdasarkan landasan filosofis
tersebut, sistem pendidikan nasional menempatkan peserta didik sebagai
makhluk yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan segala
fitrahnya dengan tugas memimpin kehidupan yang berharkat dan
bermartabat serta menjadi manusia yang bermoral, berbudi luhur, dan
berakhlak mulia. Pendidikan merupakan upaya memberdayakan peserta
didik untuk berkembang menjadi manusia Indonesia seutuhnya, yaitu
yang menjunjung tinggi dan memegang dengan teguh norma dan nilai
sebagai berikut:
a. norma agama dan kemanusiaan untuk menjalani kehidupan sehari-hari,
baik sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, makhluk individu,
maupun makhluk sosial;
b. norma persatuan bangsa untuk membentuk karakter bangsa dalam
rangka memelihara keutuhan bangsa dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia;

127
128 Pengantar Pendidikan

c. norma kerakyatan dan demokrasi untuk membentuk manusia yang


memahami dan menerapkan prinsip-prinsip kerakyatan dan
demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara; dan
d. nilai-nilai keadilan sosial untuk menjamin terselenggaranya pendidikan
yang merata dan bermutu bagi seluruh bangsa serta menjamin
penghapusan segala bentuk diskriminasi dan bias gender serta
terlaksananya pendidikan untuk semua dalam rangka mewujudkan
masyarakat berkeadilan sosial.

2. Sistem Pendidikan Nasional Menurut Landasan Yuridis


Praktik pendidikan nasional diselenggarakan dengan mengacu
kepada landasan yuridis tertentu yang telah ditetapkan, baik berupa
undang-undang maupun peraturan pemerintah mengenai pendidikan.
Para pendidik dan tenaga kependidikan perlu memahami berbagai
landasan yuridis sistem pendidikan nasional tersebut dan menjadikannya
sebagai titik tolak pelaksanaan peranan yang diembannya. Dengan
demikian diharapkan akan tercipta tertibnya penyelenggaraan sistem
pendidikan nasional yang menjadi salah satu prasyarat untuk dapat
tercapainya tujuan pendidikan nasional. Landasan yuridis sistem
pendidikan nasional termaktub dalam UUD 1945, UU RI No. 20 Tahun
2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) dan Undang-
Undang RI No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen (Tatang, 2010).
Sampai saat ini telah banyak landasan yuridis sebagai turunan dari UU
Sisdiknas dan UU Guru dan Dosen, baik dalam bentuk Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Menteri, dan
Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dinyatakan bahwa salah satu tujuan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah mencerdaskan kehidupan
bangsa. Sejalan dengan pembukaan UUD itu, batang tubuh konstitusi
itu di antaranya Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31, dan
Pasal 32, juga mengamanatkan bahwa pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional untuk meningkatkan
keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak
mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur
dengan undang-undang. Sistem pendidikan nasional tersebut harus
mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, setiap warga
negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya” peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi
Sistem Pendidikan Nasional, Pembaharuan dan Inovasi
129
Pendidikan di Indonesia

manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan


tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global. Untuk itu,
perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah,
dan berkesinambungan (Kemendiknas, 2010). Pasal 31 ayat (4) UUD
1945 bahkan mengamanatkan agar: “Negara memprioritaskan anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan
belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah
untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”.
Sistem Pendidikan Nasional Indonesia telah diatur melalui Undang-
Undang (UU). Sejak Undang-undang (UU) No. 4 Tahun 1950, melalui
UU No. 2 Tahun 1989 dan terakhir UU No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, penyelenggara Negara Nampak telah
berusaha untuk menterjemahkan amanat yang tertulis dalam UUD 1945
tersebut. Upaya mencerdaskan kehidupan melalui diusahakannya dan
diselenggarakannya satu sistem pendidikan nasional, sebagai terbukti
dari rumusan tujuan pendidikan nasional yang hakekatnya
menggambarkan karakteristik manusia Indonesia yang terdidik yang
selalu meliputi dimensi karakter, kepribadian, di samping kecerdasan
yang bila tercapai akan melahirkan generasi muda yang mampu
mendukung terwujudnya masyarakat bangsa Indonesia yang cerdas
kehidupannya (Soedijarto, 2008).
Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
Pasal 1 Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional
Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Sistem
pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang
saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Pendidikan merupakan proses sistematis untuk meningkatkan
martabat manusia secara holistik. Hal ini dapat dilihat dari filosofi
pendidikan yang intinya untuk mengaktualisasikan ketiga dimensi
kemanusiaan paling elementer, yakni: (1) afektif yang tercermin pada
kualitas keimanan dan ketakwaan, etika dan estetika, serta akhlak mulia
dan budi pekerti luhur; (2) kognitif yang tercermin pada kapasitas pikir
dan daya intelektualitas untuk menggali ilmu pengetahuan dan
mengembangkan serta menguasai teknologi; dan (3) psikomotorik yang
tercermin pada kemampuan mengembangkan ketrampilan teknis dan
kecakapan praktis (Depdiknas, 2005).
130 Pengantar Pendidikan

a. Dasar, Visi, Misi, Fungsi, Tujuan, Strategi Pendidikan nasional, dan


Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan
1) Dasar Pendidikan Nasional
Menurut Pasal 2 Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003: “Pendidikan
nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945”.
2) Visi dan Misi Pendidikan Nasional
Menurut Penjelasan atas UU RI No. 20 Tahun 2003, visi Pendidikan
nasional adalah terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial
yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga
negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas
sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang
selalu berubah. Dengan visi pendidikan tersebut, pendidikan nasional
mempunyai misi, yaitu (a) mengupayakan perluasan dan pemerataan
kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh
rakyat Indonesia; (b) membantu dan memfasilitasi pengembangan
potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat
dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar; (c) meningkatkan
kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk
mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral; (d)
meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan
sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan ,
pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan
global; dan (e) memberdayakan peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam
konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3) Fungsi dan Tujuan Pendidikan Nasional
Menurut pasal 3 UU RI No. 20 Tahun 2003: “Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa”. Tujuan pendidikan nasional adalah untuk
“berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
4) Strategi Pembangunan Pendidikan Nasional
Menurut Penjelasan atas UU RI No. 2 Tahun 2003, pembaharuan
sistem pendidikan memerlukan strategi tertentu. Adapun strategi
pembangunan pendidikan nasional meliputi:
Sistem Pendidikan Nasional, Pembaharuan dan Inovasi
131
Pendidikan di Indonesia

a) Pelaksanaan pendidikan agama serta akhlak mulia;


b) pengembangan dan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi;
c) proses pembelajaran yang mendidik dan dialogis;
d) evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi pendidikan yang
memberdayakan;
e) peningkatan keprofesionalan pendidik dan tenaga kependidikan;
f) penyediaan sarana belajar yang mendidik;
g) pembiayaan pendidikan yang sesuai dengan prinsip pemerataan
dan berkeadilan;
h) penyelenggaraan pendidikan yang terbuka dan merata;
i) pelaksanaan wajib belajar;
j) pelaksanaan otonomi manajemen pendidikan;
k) pemberdayaan peran masyarakat;
l) pusat pembudayaan dan pembangunan masyarakat; dan
m) pelaksanaan pengawasan dalam sistem pendidikan nasional.
5) Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan
Menurut Pasal UU RI No. 20 Tahun 2003, dalam konteks sistem
pendidikan nasional, ditegaskan agar penyelenggaraan pendidikan
didasarkan kepada prinsip-prinsip sebagai berikut:
a) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan
serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan
bangsa.
b) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik
dengan sistem terbuka dan multi makna.
c) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan
dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang
hayat.
d) Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan,
membangun kamauan, dan mengembangkan kreativitas peserta
didik dalam proses pembelajaran.
e) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya
membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga
masyarakat.
f) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua
komponen masyarakat melalui peran serta dalam
penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
132 Pengantar Pendidikan

b. Hak dan Kewajiban warga Negara, Orang Tua, Masyarakat, dan


Pemerintah
1) Hak dan Kewajiban Warga Negara. Pasal 31 ayat (1) UUD 1945
memberikan jaminan bahwa: “Tiap-tiap warga negara berhak
mendapat pendidikan”. Selanjutnya dalam Pasal 5 ayat (1) UU RI No.
20 Tahun 2003 dijabarkan lagi bahwa:
a) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu.
b) Warga negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional,
mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh
pendidikan khusus.
c) Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta
masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan
layanan khusus.
d) Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat
istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.
e) Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan
pendidikan sepanjang hayat.
2) Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus
Pasal 5 ayat (2) sampai dengan ayat (4) dan Pasal 32 UU RI No. 20
Tahun 2003 menyatakan:
a) Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik
yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses
pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial,
dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
b) Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta
didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang
terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan
tidak mempu dari segi ekonomi.
c) Ketentuan mengenai pelaksanaan pendidikan khusus dan
pendidikan layanan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Selanjutnya Pasal 6 UU RI Tahun 2003 menyatakan:
a) Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas
tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.
b) Setiap warga negara bertanggungjawab terhadap
keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan.
Sistem Pendidikan Nasional, Pembaharuan dan Inovasi
133
Pendidikan di Indonesia

3) Hak dan Kewajiban Orang Tua.


Hak dan kewajiban orang tua termaktub pada pasal 7 UU RI No. 20
tahun 2003, yaitu:
a) Orang tua berperan serta dalam memilih satuan pendidikan dan
memperoleh informasi tentang perkembangan pendidikan
anaknya.
b) Orangtua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan
pendidikan dasar kepada anaknya.
4) Hak dan Kewajiban Masyarakat. Hak dan kewajiban masyarakat
termaktub pada pasal 8 dan pasal 9 UU RI Tahun 2003. Pasal 8
menyatakan: “Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan”.
Adapun pasal 9 menyatakan bahwa: “Masyarakat berkewajiban
memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan
pendidikan”.
5) Hak dan Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Menurut pasal 10 UU RI No. 20 Tahun 2003, “Pemerintah dan
pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu,
dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Selanjutnya menurut Pasal 11 UU RI No. 20 Tahun 2003 bahwa:
a) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan
layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya
pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa
diskriminasi.
b) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya
dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara
yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.
c. Wajib Belajar
Pasal 34 UU RI No. 2003 menyatakan sebagai berikut:
1) Setiap warga negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti program
wajib belajar.
2) Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib
belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut
biaya.
3) Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang
diselenggarakan oleh lembaga pendidikan pemerintah, pemerintah
daerah, dan masyarakat.
134 Pengantar Pendidikan

4) Keteneuan mengenai wajib belajar sebagaimana dimaksud pada ayat


(1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.
d. Jalur Pendidikan
Dalam sistem pendidikan nasional terdapat tiga jalur pendidikan,
termaktub pada Pasal 13 UU RI No. 20 Tahun 2003 bahwa: (1) Jalur
pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal
yang dapat saling melangkapi dan memperkaya. (2) Pendidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dengan sistem
terbuka melalui tatap muka dan/atau melalui jarak jauh.
1) Jalur Pendidikan Formal
Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan
berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah,
dan pendidikan tinggi (Pasal 1 ayat 11 UU RI No. 20 Tahun 2003).
Ditegaskan pada Pasal 14 bahwa: “Jenjang pendidikan formal terdiri
atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi”.
a) Pendidikan Dasar
Pasal 17 UU RI No. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa:
(1) Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang
melandasi jenjang pendidikan menengah. (2) Pendidikan dasar
berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau
bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP)
dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.
(3) Ketentuan mengenai pendidikan dasar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan (2) diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah. Penjelasan atas pasal 17 ayat
(2) menyatakan bahwa “Pendidikan yang sederajat dengan SD/
MI adalah program seperti Paket A dan yang sederajat dengan
SMP/MTs adalah program seperti Paket B.
b) Pendidikan Menengah
Pasal 18 UU RI Tahun 2003 menyatakan bahwa (1) Pendidikan
menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar. (2) Pendidikan
menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan
pendidikan menengah kejuruan. (3) Pendidikan menengah
berbentuk sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA),
sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah
kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat. (4) Ketentuan
mengenai pendidikan menengah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan
Sistem Pendidikan Nasional, Pembaharuan dan Inovasi
135
Pendidikan di Indonesia

pemerintah. Dalam Penjelasan atas pasal 18 ayat (3) di atas


dikemukakan bahwa: “Pendidikan yang sederajat dengan SMA/
MA adalah program seperti Paket C.
c) Pendidikan Tinggi
Pasal 19 UU RI No. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa (1)
Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah
pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan
diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang
diselenggarakan oleh pendidikan tinggi. (2) Pendidikan tinggi
diselenggarakan dengan sistem terbuka.
Menurut Pasal 20 bahwa (1) Perguruan tinggi dapat berbentuk
akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas. (2)
Perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan,
penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. (3) Perguruan
tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, profesi, dan/
atau vokasi.
Pasal 21 menyatakan bahwa (1) Perguruan tinggi yang memenuhi
persyaratan pendirian dan dinyatakan berhak menyelenggarakan
program pendidikan tertentu dapat memberikan gelar akademik,
profesi, atau vokasi sesuai dengan program pendidikan yang
diselenggarakannya. (2) Perseorangan, organisasi, atau
penyelenggara pendidikan yang bukan perguruan tinggi dilarang
memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi. (3) Gelar
akademik, profesi, atau vokasi hanya digunakan oleh lulusan dari
perguruan tinggi yang dinyatakan berhak memberikan gelar
akademik, profesi, atau vokasi. (4) Penggunaan gelar akademik,
profesi, atau vokasi lulusan perguruan tinggi hanya dibenarkan
dalam bentuk dan singkatan yang diterima dari perguruan tinggi
yang bersangkutan. (5) Penyelenggara pendidikan yang tidak
memenuhi persyaratan pendirian sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) atau penyelenggara pendidikan bukan perguruan tinggi yang
melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) dikenakan sanksi administratif berupa penutupan
penyelenggaraan pendidikan. (6) Gelar akademik, profesi, atau
vokasi yang dikeluarkan oleh penyelenggara pendidikan yang tidak
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau
penyelenggara pendidikan yang bukan perguruan tinggi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dinyatakan tidak sah.
(7) Ketentuan mengenai gelar akademik, profesi, atau vokasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4),
ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
136 Pengantar Pendidikan

Kemudian Pasal 22 menyatakan bahwa: “Universitas, institut, dan


sekolah tinggi yang memiliki program doktor berhak memberikan
gelar doktor kehormatan (doktor honoris causa) kepada setiap
individu yang layak memperoleh penghargaan berkenaan dengan
jasa-jasa yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan,
teknologi, kemasyarakatan, keagamaan, kebudayaan, atau seni”.
Sementara itu Pasal 23 menjelaskan bahwa: (1) Pada universitas,
institut, dan sekolah tinggi dapat diangkat guru besar atau
profesor sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. (2) Sebutan guru besar atau profesor hanya dipergunakan
selama yang bersangkutan masih aktif bekerja sebagai pendidik
di perguruan tinggi.
Selanjutnya Pasal 24 menegaskan bahwa: (1) Dalam
penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu
pengetahuan, pada perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik
dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan. (2)
Perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri
lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi,
penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat. (3)
Perguruan tinggi dapat memperoleh sumber dana dari
masyarakat yang pengelolaannya dilakukan berdasarkan prinsip
akuntabilitas publik. (4) Ketentuan mengenai penyelenggaraan
pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Sehubungan dengan itu dalam Pasal 25 termaktub: (1) Perguruan
tinggi menetapkan persyaratan kelulusan untuk mendapatkan
gelar akademik, profesi, atau vokasi. (2) Lulusan perguruan tinggi
yang karya ilmiahnya digunakan untuk memperoleh gelar
akademik, profesi, atau vokasi terbukti merupakan jiplakan
dicabut gelarnya. (3) Ketentuan mengenai persyaratan kelulusan
dan pencabutan gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
2) Jalur Pendidikan Nonformal
Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan for-
mal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang (Pasal
1 ayat 12 UU RI No. 20 Tahun 2003). Jalur pendidikan nonformal
dijelaskan dalam pasal 26 UU RI No. 20 Tahun 2003 bahwa:
(1) Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang
memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti,
penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka
Sistem Pendidikan Nasional, Pembaharuan dan Inovasi
137
Pendidikan di Indonesia

mendukung pendidikan sepanjang hayat. (2) Pendidikan nonformal


berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan
pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta
pengembangan sikap dan kepribadian profesional. (3) Pendidikan
nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia
dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan,
pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja,
pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk
mengembangkan kemampuan peserta didik. (4) Satuan pendidikan
nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok
belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta
satuan pendidikan yang sejenis. (5) Kursus dan pelatihan
diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal
pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk
mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri,
dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. (6) Hasil
pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program
pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh
lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah
dengan mengacu pada standar nasional pendidikan. (7) Ketentuan
mengenai penyelenggaraan pendidikan nonformal sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat
(6) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
3) Jalur Pendidikan Informal
Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan
(Pasal 1 ayat 13 UU RI No. 20 Tahun 2003). Jalur pendidikan nonformal
dijelaskan dalam pasal 27 UU RI No. 20 Tahun 2003 bahwa:
(1) Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan
lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. (2) Hasil
pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diakui sama dengan
pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian
sesuai dengan standar nasional pendidikan. (3) Ketentuan mengenai
pengakuan hasil pendidikan informal sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
e. Jenis Pendidikan
Jenis pendidikan adalah kelompok pendidikan yang didasarkan
pada kekhususan tujuan pendidikan suatu satuan pendidikan (Pasal 1
ayat 9). “Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, pendidikan
kejuruan, pendidikan akademik, pendidikan profesi, pendidikan vokasi,
pendidikan keagamaan, dan pendidikan khusus” (Pasal 15 UU RI
No.20 Tahun 2003). Penjelasan atas Pasal 15 ini adalah sebagai berikut:
138 Pengantar Pendidikan

Pendidikan umum merupakan pendidikan dasar dan menengah yang


mengutamakan perluasan pengetahuan yang diperlukan oleh peserta
didik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang
mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang
tertentu. Pendidikan akademik merupakan pendidikan tinggi program
sarjana dan pascasarjana yang diarahkan terutama pada penguasaan
disiplin ilmu pengetahuan tertentu. Pendidikan profesi merupakan
pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta
didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus.
Pendidikan vokasi merupakan pendidikan tinggi yang mempersiapkan
peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu
maksimalsetara dengan program sarjana. Pendidikan keagamaan
merupakan pendidikan dasar, menengah, dan tinggi yang
mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang
menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau
menjadi ahli ilmu agama. Pendidikan khusus merupakan
penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau
peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan
secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat
pendidikan dasar dan menengah.

f. Satuan Pendidikan
Jalur, jenjang, dan jenis pendidikan dapat diwujudkan dalam bentuk
satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah
Daerah, dan/atau masyarakat (Pasal 16 UU RI No. 20 Tahun 2003).
Adapun yang dimaksud “satuan pendidikan adalah kelompok layanan
pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur pendidikan
formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis
pendidikan” (Pasal 1 ayat 10 UU RI No. 20 Tahun 2003).
Pasal 53 UU RI No. 20 Tahun 2003 menyatakan: (1) Penyelenggara
dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah
atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. (2) Badan hukum
pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi memberikan
pelayanan pendidikan kepada peserta didik. (3) Badan hukum
pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berprinsip nirlaba dan
dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan
pendidikan. (4) Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur
dengan undang-undang tersendiri.
Sistem Pendidikan Nasional, Pembaharuan dan Inovasi
139
Pendidikan di Indonesia

g. Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Kedinasan, Pendidikan


Keagamaan, dan Pendidikan Jarak Jauh
1) Pendidikan Anak Usia Dini
Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang
ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun
yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk
membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar
anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut
(Pasal 1 ayat 14 UU RI No. 20 Tahun 2003). Pasal 28 UU RI No. 20
Tahun 2003 selanjutnya menyatakan: (1) Pendidikan anak usia dini
diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar. (2) Pendidikan
anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan
formal, nonformal, dan/atau informal. (3) Pendidikan anak usia dini
pada jalur pendidikan formal berbentuk taman kanak-kanak (TK),
raudatul athfal (RA) atau bentuk lain yang sederajat. (4) Pendidikan
anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk kelompok
bermain (KB), taman penitipan anak (TPA), atau bentuk lain yang
sederajat. (5) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan
informal berbentuk pendidikan keluarga, atau pendidikan yang
diselenggarakan oleh lingkungan. (6) Ketentuan mengenai pendidikan
anak usia dini sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat
(3), dan ayat (4), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Penjelasan atas Pasal 28 ayat (1): Pendidikan anak usia dini
diselenggarakan bagi anak sejak lahir sampai dengan enam tahun
dan bukan merupakan prasyarat untuk mengikuti pendidikan dasar.
Penjelasan atas Pasal 28 ayat (3): Taman kanak-kanak (TK)
menyelenggarakan pendidikan untuk mengembangkan kepribadian
dan potensi diri sesuai dengan tahap perkembangan peserta didik.
Raudhatul athfal (RA) menyelenggarakan pendidikan keagamaan
Islam yang menanamkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan kepada
peserta didik untuk mengembangkan potensi diri seperti pada taman
kanak-kanak.
2) Pendidikan Kedinasan
Pasal 29 UU RI No. 20 Tahun 2003 menyatakan: (1) Pendidikan
kedinasan merupakan pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh
departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen. (2) Pendidikan
kedinasan berfungsi meningkatkan kemampuan dan keterampilan
dalam pelaksanaan tugas kedinasan bagi pegawai dan calon pegawai
negeri suatu departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen.
(3) Pendidikan kedinasan diselenggarakan melalui jalur pendidikan
140 Pengantar Pendidikan

formal dan nonformal. (4) Ketentuan mengenai pendidikan kedinasan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur
lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
3) Pendidikan Keagamaan
Pasal 30 UU RI No. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa: (1) Pendidikan
keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok
masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. (2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan
peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan
mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu
agama. (3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur
pendidikan formal, nonformal, dan informal. (4) Pendidikan
keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman,
pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis. (5) Ketentuan
mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.
4) Pendidikan Jarak Jauh
Pendidikan jarak jauh adalah pendidikan yang peserta didiknya
terpisah dari pendidik, dan pembelajarannya menggunakan berbagai
sumber belajar melalui teknologi komunikasi informasi, dan media
lain (Pasal 1 ayat 15 UU RI No. 20 Tahun 2003). Selanjunya menurut
Pasal 31 bahwa: (1) Pendidikan jarak jauh diselenggarakan pada jalur,
jenjang, dan jenis pendidikan. (2) Pendidikan jarak jauh berfungsi
memberikan layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang
tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler. (3)
Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai bentuk,
modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar
serta sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan
standar nasional pendidikan. (4) Ketentuan mengenai
penyelenggaraan pendidikan jarak jauh sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.
h. Kurikulum, Bahasa Pengantar, Peserta Didik, Pendidik dan Tenaga
kependidikan
1) Kurikulum
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara-cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai
tujuan pendidikan tertentu (Pasal 1 ayat 19 UU RI No. 20 Tahun 2003).
Sistem Pendidikan Nasional, Pembaharuan dan Inovasi
141
Pendidikan di Indonesia

Di dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 terdapat tiga pasal yang mengatur


tentang kurikulum, yaitu Pasal 36, 37, dan 38. Pasal 36:
(1) Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada
standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional. (2) Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan
dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan
pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. (3) Kurikulum
disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan: a.
peningkatan iman dan takwa; b. peningkatan akhlak mulia; c.
peningkatan potensi, keserdasan, dan minat peserta didik; d.
keragaman potensi daerah dan lingkungan; e. tuntutan
pembangunan daerah dan nasional; f. tuntutan dunia kerja; g.
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; h. agama; i.
dinamika perkembangan global; dan j. persatuan nasional dan nilai-
nilai kebangsaan. (4) Ketentuan mengenai pengembangan
kurikulkum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2), dan ayat (3)
diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 37: (1) Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib
memuat: a. pendidikan agama; b. pendidikan kewarganegaraan; c.
bahasa; d. matematika; e. ilmu pengetahuan alam; f. ilmu pengetahuan
sosial; g. seni dan budaya; h. pendidikan jasmani dan olahraga; i.
keterampilan/kejuruan; dan j. muatan lokal. (3) Ketentuan mengenai
kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah.
Pasal 38: (1) Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan dasar
dan menengah ditetapkan oleh Pemerintah. (2) Kurikulum pendidikan
dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh
setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/
madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau
kantor departemen agama kabupaten/kota untuk pendidikan dasar
dan provinsi untuk pendidikan menengah.
2) Bahasa Pengantar
Pasal 33 UU RI No. 20 Tahun 2003 menyatakan: (1) Bahasa Indonesia
sebagai Bahasa Negara menjadi bahasa pengantar dalam pendidikan
nasional. (2) Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa
pengantar dalam tahap awal pendidikan apabila diperlukan dalam
penyampaian pengetahuan, dan/atau keterampilan tertentu.
(3) Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar pada
satuan pendidikan tertentu untuk mendukung kemampuan berbahasa
asing peserta didik.
142 Pengantar Pendidikan

3) Peserta Didik
Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha
mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang
tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu (Pasal 1
ayat 4 UU RI No. 20 Tahun 2003).
Hak peserta didik termaktub dalam Pasal 12 ayat (1) UU RI No. 20
Tahun 2003 bahwa: “Setiap peserta didik pada setiap satuan
pendidikan berhak: a. mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan
agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang segama; b.
mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan
kemampuannya; c. mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang
orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya; d.
menndapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak
mampu membiayai pendidikannya; e. pindah ke program pendidikan
pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara; f. menyelesaikan
program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing
dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan.
Kewajiban peserta didik termaktub dalam Pasal 12 ayat (2) bahwa:
“Setiap peserta didik berkewajiban: a. menjaga norma-norma
pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses dan
keberhasilan pendidikan; b. ikut menanggung biaya penyelenggaraan
pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban
tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 12 ayat (3) UU RI No. 20 Tahun 2003 menegaskan bahwa: “Warga
Negara asing dapat menjadi peserta didik pada satuan pendidikan
yang diselenggarakan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia”. Selanjutnya ayat (4) menyatakan bahwa: “Ketentuan
mengenai hak dan kewajiban peserta didik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah”
4) Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru,
dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur,
fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta
berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. Adapun yang
dimaksud tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang
mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan
pendidikan (Lihat Pasal 1 ayat 6 dan 7 UU RI No. 20 tahun 2003).
Dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 terdapat enam pasal yang mengatur
tentang pendidik dan tenaga kependidikan yaitu: pasal 39, 40, 41, 42,
43, dan 44.
Sistem Pendidikan Nasional, Pembaharuan dan Inovasi
143
Pendidikan di Indonesia

Pasal 39: (1) Tenaga kependidikan bertugas melaksanakan


administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan
pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan
pendidikan. (2) Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas
merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta
melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama
bagi pendidik pada perguruan tinggi.
Pasal 40: (1) Pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh:
a. penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan
memadai; b. penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja; c.
pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas;
d. perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil
kekayaan intelektual; e. kesempatan untuk menggunakan sarana,
prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran
pelaksanaan tugas. (2) Pendidik dan tenaga kependidikan
berkewajiban: a. menciptakan suasana pendidikan yang bermakna,
menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis. b. mempunyai
komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan;
dan c. memberi keteladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi,
dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan
kepadanya.
Pasal 41: (1) Pendidik dan tenaga kependidikan dapat bekerja secara
lintas daerah. (2) Pengangkatan, penempatan, dan penyebaran
pendidik dan tenaga kependidikan diatur oleh lembaga yang
mengangkatnya berdasarkan kebutuhan satuan pendidikan formal.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan
pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang
diperlukan untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang
bermutu. (4) Ketentuan mengenai pendidik dan tenaga kependidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2), dan ayat (3) diatur lebih
lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 42: (1) Pendidik harus mempunyai kualifikasi minimum dan
sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani
dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan
pendidikan nasional. (2) Pendidik untuk pendidikan formal pada
jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan
menengah, dan pendidikan tinggi dihasilkan oleh perguruan tinggi
yang terakreditasi. (3) Ketentuan mengenai kualifikasi pendidik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah.
144 Pengantar Pendidikan

Pasal 43: (1) Promosi dan penghargaan bagi pendidik dan tenaga
kependidikan dilakukan berdasarkan latar belakang pendidikan,
pengalaman, kemampuan, dan prestasi kerja dalam bidang
pendidikan. (2) Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan
tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang
terakreditasi. (3) Ketentuan mengenai promosi, penghargaan, dan
sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 44: (1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membina dan
mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. (2)
Penyelenggara pendidikan oleh masyarakat berkewajiban membina
dan mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan
yang diselenggarakannya. (3) Pemerintah dan pemerintah daerah
wajib membantu pembinaan dan pengembangan tenaga
kependidikan pada satuan pendidikan formal yang diselenggarakan
oleh masyarakat.
i. Sarana dan Prasarana, Pendanaan, Pengelolaan Pendidikan, dan Peran
Serta Masyarakat dalam Pendidikan
1) Sarana dan Prasarana Pendidikan
Tentang sarana dan prasarana pendidikan dinyatakan pada Pasal 45
UU RI No. 20 Tahun 2003, yaitu: (1) Setiap satuan pendidikan formal
dan nonformal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi
keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan
perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional,
dan kejiwaan peserta didik. (2) Ketentuan mengenai penyediaan
sarana dan prasarana pendidikan pada semua satuan pendidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah.
2) Pendanaan Pendidikan. Dalam UU RI No. 20 tahun 2003, tentang
pendanaan pendidikan dinyatakan pada Pasal 46 sampai dengan Pasal
49.
Pasal 46: (1) Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama
antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. (2)
Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab menyediakan
anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (3)
Ketentuan mengenai tanggung jawab pendanaan pendidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah.
Sistem Pendidikan Nasional, Pembaharuan dan Inovasi
145
Pendidikan di Indonesia

Pasal 47: (1) Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan


prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan. (2) Pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang
ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yangberlaku. (3)
Ketentuan mengenai sumber dana pendidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah.
Pasal 48: (1) Pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip
keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik. (2)
Ketentuan mengenai pengelolaan dana pendidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh peraturan pemerintah.
Pasal 49: (1) Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya
pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan
minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
(2) Gaji guru dan dosen yang diangkat oleh Pemerintah dialokasikan
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). (3) Dana
pendidikan dari Pemerintah dan pemerintah daerah untuk satuan
pendidikan diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. (4) Dana pendidikan dari
Pemerintah kepada pemerintah daerah diberikan dalam bentuk hibah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (5)
Ketentuan menganai pengalokasian dana pendidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih
lanjut dengan peraturan pemerintah.
3) Pengelolaan Pendidikan
Dalam UU RI No. 20 tahun 2003 mengenai pengelolaan pendidikan
dinyatakan pada Pasal 50 sampai dengan Pasal 52. Pasal 50: (1)
Pengelolaan sistem pendidikan nasional merupakan tanggung jawab
menteri. (2) Pemerintah menentukan kebijakan nasional dan standar
nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional. (3)
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan
sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang
pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang
bertaraf internasional. (4) Pemerintah daerah provinsi melakukan
koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga
kependidikan, dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan
lintas daerah kabupaten/kota untuk tingkat pendidikan dasar dan
menengah. (5) Pemerintah kabupaten/kota mengelola pendidikan
dasar dan pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang
berbasis keunggulan lokal. (6) Perguruan tinggi menentukan kebijakan
146 Pengantar Pendidikan

dan memiliki otonomidalam mengelola pendidikan di lembaganya.


(7) ketentuan mengenai pengelolaan pendidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat
(6) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 51: (1) Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan
dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar
pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/
madrasah. (2) Pengelolaan satuan pendidikan tinggi dilaksanakan
berdasarkan prinsip otonomi, akuntabilitas, jaminan mutu, dan
evaluasi yang transparan. (3) Ketentuan mengenai pengelolaan satuan
pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 52: (1) Pengeloaan satuan pendidikan nonformal dilakukan oleh
pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. (2) Ketentuan
mengenai pengelolaan satuan pendidikan nonformal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.
4) Peran Serta Masyarakat Dalam Pendidikan
Mengenai peran serta masyarakat dalam pendidikan dinyatakan
dalam Pasal 54 sampai dengan 56 UU RI No. 20 Tahun 2003. Berikut
ini beberapa pasal dan ayat mengenai peran masyarakat dalam
pendidikan. Peran masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta
perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha dan
organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian
mutu pelayanan pendidikan (Pasal 50 ayat 2). Masyarakat berhak
menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan
formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan
sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat (Pasal 55 ayat 1).
Penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan
dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta
manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional
pendidikan (Pasal 55 ayat 2).
5) Dewan Pendidikan
Masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan
yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program
pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah
(Pasal 56 ayat 1 UU RI No. 20 Tahun 2003). Dewan pendidikan sebagai
lembaga madiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu
pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan
dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan
Sistem Pendidikan Nasional, Pembaharuan dan Inovasi
147
Pendidikan di Indonesia

pendidikan pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota yang


tidak mempunyai hubungan hirarkis (Pasal 56 ayat 2 UU RI No. 20
Tahun 2003).
6) Komite sekolah/Madrasah
Komite sekolah/madrasah, sebagai lembaga mandiri dibentuk dan
berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan
pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana,
serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan (Pasal
56 ayat 3 UU RI No. 20 Tahun 2003).
j. Evaluasi, Akreditasi, dan Sertifikasi
1) Evaluasi
Pasal 57 UU RI No. 20 Tahun 2003 menyatakan: (1) Evaluasi dilakukan
dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai
bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak
yang berkepentingan. (2) Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik,
lembaga, dan program pendidikan pada jalur formal dan nonformal
untuk semua jenjang, satuan, dan jenis pendidikan. Selanjutnya Pasal
58 UU RI No. 20 Tahun 2003 menyatakan: (1) Evaluasi hasil belajar
peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses,
kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara
berkesinambungan. (2) Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan
program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala,
menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian
standar nasional pendidikan (Pasal 58 ayat 2).
2) Akreditasi
Pasal 60 UU RI No. 20 Tahun 2003 menyatakan: (1) Akreditasi
dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan satuan
pendidikan pada jalur pendidikan formal dan nonformal pada setiap
jenjang dan jenis pendidikan. (2) Akreditasi terhadap program dan
satuan pendidikan dilakukan oleh Pemerintah dan/atau lembaga
mandiri yang berwenang sebagai bentuk akuntabilitas publik. (3)
Akreditasi dilakukan atas dasar kriteria yang bersifat terbuka.
3) Sertifikasi
Pasal 61 UU RI No. 20 Tahun 2003 menyatakan: (1) Sertifikat berbentuk
ijazah dan sertifikat kompetensi. (2) Ijazah diberikan kepada peserta
didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau
penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang
diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi. (3)
Sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan
148 Pengantar Pendidikan

lembaga pelatihan pada peserta didik dan warga masyarakat sebagai


pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu
setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan
pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi.

B. Permasalahn Pendidikan dan Tantangan Pembangunan


Pendidikan Nasional
1. Permasalahan Pendidikan
Sementara itu, menurut Wahab (2007) dan DITNAGA-DIKTI (2010),
hambatan atau permasalahan dalam rangka menegakkan sistem
pendidikan nasional, dapat diidentifikasi ada beberapa hambatan dan
tantangan yang perlu dihadapi.

a. Personalia Pengelolaan dan Pengawasan Pendidikan


Profesionalisme pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan masih
rendah (termasuk dalam permasalahan efisiensi pendidikan).
Pengelolaan atau birokrasi pendidikan masih menunjukkan efektivitas
dan efisiensi yang belum menggembirakan yang diindikasikan dengan
beberapa hal, di antaranya: penentuan pejabat di lingkungan pendidikan
tidak selalu ber-track record baik di bidang pendidikan; penentuan
kepala sekolah dan penempatannya masih kurang transparan, sehingga
tidak selalu diperoleh the right man on the right place. Setelah
penyelenggaraan pendidikan diotonomikan, ada kecenderungan bahwa
penentuan para pejabat di lingkungan dinas pendidikan kurang begitu
mempertimbangkan track-record-nya. Demikian pula dalam penentuan
Kepala sekolah tidak jarang muatan politisnya lebih menonjol, sehingga
berkonsekuensi logis terhadap rendahnya kemandirian kerja mereka.
Hal yang juga sangat penting disadari, bahwa masih banyak pendidik
belum memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagaimana
yang diharapkan dalam Undang-undang Guru dan Dosen (UUGD).
Sementara itu, sistem pengawasan penyelenggaraan pendidikan
cenderung dilakukan oleh pengawas yang belum membanggakan.
Penentuan pengawas seringkali tidak didasarkan pada kompetensi,
melainkan karena usia. Sering kali penentuan pengawas hanya
ditentukan oleh kepentingan untuk memperpanjang masa pensiun.

b. Kualifikasi dan Kompetensi Guru


Kualifikasi dan kompetensi guru masih under-qualified. Jika mengacu
pada tuntutan undang-undang dan kualitas pendidikan yang diharapkan,
mayoritas kualifikasi dan kompetensi guru masih jauh dari yang
Sistem Pendidikan Nasional, Pembaharuan dan Inovasi
149
Pendidikan di Indonesia

seharusnya. Guru yang profesional harus memiliki kualifikasi dan ciri-


ciri tertentu, sebagaimana diamanahkan oleh UU Sisdiknas, UU Guru
dan Dosen, dan PP Standar Nasional Pendidikan (SNP). Menurut
Suyanto (2007) dari ciri-ciri profesionalisme yang dikemukakan di atas
jelaslah bahwa guru tidak bisa datang dari mana saja tanpa melalui
sistem pendidikan profesi dan seleksi yang baik. Itu artinya pekerjaan
guru tidak bisa dijadikan sekedar sebagai usaha sambilan, atau pekerjaan
sebagai moon-lighter (usaha objekan). Namun kenyataan dilapangan
menunjukkan adanya guru, yang tidak berasal dari pendidikan guru,
dan mereka memasuki pekerjaan sebagai guru tanpa melalui sistem
seleksi profesi.
Rendahnya kualitas guru Indonesia ditunjukkan dengan Hasil Uji
Kompetensi Guru pada tahun 2012 terhadap 460.000 guru, dimana nilai
rata-rata uji kompetensi guru adalah 44,5, jauh di bawah Standar yang
diharapkan yaitu 70 (Baswedan, 2014). Kualifikasi dan kompetensi guru
yang rendah menyebabkan proses pembelajaran dan pendidikan yang
ada cenderung masih di bawah standar. Proses pembelajaran cenderung
hanya menuntut low level thinking skills, misalnya lebih banyak menuntut
hafalan. Proses pembelajaran lebih cenderung one-way trafic system dan
kurang melibatkan peserta didik. Selain itu, dinamika sosial dan budaya
yang terjadi dewasa ini berpengaruh secara berarti terhadap kemampuan,
kesiapan dan komitmen peserta didik dalam belajar. Permasalahannya,
kondisi ini belum sepenuhnya dijadikan landasan pijak guru dalam
mengembangkan program dan proses pendidikan dan pembelajarannya,
sehingga tidak bisa dipungkiri bahwa kualitas pendidikan belum
sepenuhnya menggembirakan, karena belum dapat menjamin kepuasan
stakeholders utamanya.

c. Sertifikasi guru dan dosen


Program sertifikasi guru dan dosen juga menyisakan problem yang
tidak sedikit. Bagi guru program ini mengakibatkan kesenjangan yang
jelas antara guru yang sudah mendapatkan sertifikasi dengan yang
belum. Di samping karena masalah gaji yang berbeda, ternyata prestis di
antara guru yang professional dengan yang belum juga berbeda.
Akibatnya adalah terjadi kinerja yang kurang maksimal di kalangan
para guru yang belum profesional dengan alasan kurangnya gaji yang
diterima dibanding dengan guru yang sudah profesional. Hal yang
sama juga terjadi di kalangan dosen. Bahkan problem besar di kalangan
dosen terkait dengan kebijakan ini adalah banyaknya dosen yang
150 Pengantar Pendidikan

profesional ini tidak mau melanjutkan studi ke jenjang berikutnya


(Strata 3/program doktor) karena jika melanjutkan studi tunjangan
sertifikasinya akan dihentikan. Namun demikian, tidak sedikit juga
dosen yang mengambil keputusan tetap harus melanjutkan studi karena
ada harapan untuk meraih kesejahteraan yang lebih baik lagi, yakni
ketika pada akhirnya memperoleh jabatan guru besar yang mendapatkan
tunjangan kehormatan di samping juga mendapatkan tunjangan
sertifikasi (Marzuki, 2010).

d. Anggaran Pendidikan
Anggaran pendidikan yang ditetapkan dengan ukuran minimal
20% baik untuk APBN maupun APBD pada hakekatnya berpotensi
bagi tingkat kelancaran penyelenggaraan pendidikan. Dana yang
dialokasikan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi relatif
tinggi, jika dikaitkan dengan kewenangan yang diberikan. Sebaliknya
dana yang dialokasikan oleh pemerintah kabupaten/kota relatif sedikit
jika dikaitkan dengan kewenangan tanggung jawab yang harus dipikul,
terutama sebagai penyelenggara pendidikan dasar dan menengah. Hal
ini cenderung dan rentan menimbulkan masalah. Seharusnya daerah
mengalokasikan dana lebih besar untuk pendidikan, karena Laporan
Bank Dunia pada tahun 2013 menunjukkan keterkaitan antara
keberpihakan kepemimpinan lokal dengan kinerja pendidikan.
Temuannya adalah bahwa daerah yang memprioritaskan pendidikan
dan menyisihkan anggaran lebih besar cenderung mendapatkan hasil
kinerja pendidikan yang lebih baik (Baswedan, 2014). Keterbatasan
anggaran karena kemampuan pemerintah yang terbatas dan rendahnya
partisipasi masyarakat termasuk permasalahan efisiensi pendidikan
(Sauri, 2009).
Sementara itu menurut Marzuki (2010) kebijakan pendidikan
berupa praktik pelaksanaan wajib belajar yang kemudian memunculkan
jargon “Sekolah Gratis” belum semuanya ditanggapi dengan baik dan
diterima secara penuh oleh semua warga sekolah. Masih ada pihak-
pihak yang merasa dirugikan dengan adanya kebijakan ini, sehingga
melakukan hal-hal yang merugikan sekolah, yang akhirnya merugikan
siswa dan orang tua siswa. Ketika terjadi pengetatan dana dengan
dalih kebijakan “sekolah gratis”, program-program yang sudah berjalan
dengan baik mulai sedikit demi sedikit terabaikan. Sebagai konsekuensi
adanya “sekolah gratis” bagi sekolah negeri menjadikan sebagian dari
sekolah-sekolah yang dikelola oleh swasta menjadi “mati”.
Sistem Pendidikan Nasional, Pembaharuan dan Inovasi
151
Pendidikan di Indonesia

e. Fasilitas
Keterbatasan dalam hal sarana, prasarana, aksesibilitas, tenaga guru,
dan fasilitas pendidikan lainnya merupakan permasalahan terkait aspek
pemerataan pendidikan. Sarana dan prasarana pendidikan yang tersedia
masih belum mencukupi, terlebih-lebih untuk sekolah dasar yang
sebagian besarnya merupakan bangunan inpres (Instruksi Presiden).
Banyak sekolah yang bagunannya sudah tidak layak pakai dan rusak.
Demikian pula sarana-prasarana sekolah yang ada di daerah pedesaan,
apalagi sekolah-sekolah yang tersedia di pedesaan jauh lebih banyak.
Kalau sekiranya sudah tersedia, masih dijumpai cukup banyak yang
belum diptimalkan penggunaannya.
Sarana dan prasarana pendidikan yang jauh memadai dari ukuran
standar secara potensial dapat menghambat proses pendidikan, apalagi
jika dikaitkan dengan dinamika masyarakat dan kemajuan IPTEKS
dewasa ini. Fasilitas untuk akses informasi melalui teknologi informasi
dan komunikasi yang sudah mendesak tidak dapat dihindarkan. Jika
kondisi ini tidak segera dapat diwujudkan, sangat mungkin
ketertinggalan bangsa Indonesia dalam mencapai pendidikan bermutu
menjadi problem yang serius.
Kondisi sekolah yang tidak mendukung ini dibuktikan dengan data
bahwa 75% sekolah di Indonesia tidak memenuhi standar layanan
minimal pendidikan. Hal ini berdasarkan pemetaan oleh Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan terhadap 40.000 sekolah pada tahun 2012
(Baswedan, 2014).

f. Standardisasi Pendidikan
Kebijakan adanya standardisasi pendidikan juga menyisakan
beberapa problem, terutama bagi sekolah-sekolah swasta. Tidak banyak
sekolah swasta yang mampu membenahi kelembagaannya sehingga
dapat mewujudkan sekolah yang berstandar nasional. Kebijakan ini
memang menjadi tantangan tersendiri bagi para pengelola sekolah,
sebab jika tidak bisa mewujudkan sekolah yang berstandar akan berakibat
berkurangnya minat masyarakat bersekolah di sekolah tersebut. Jika hal
ini terjadi akan mengurangi pemasukan dana yang menjadi tulang
punggung sekolah untuk menjalankan program-program sekolahnya.

g. Evaluasi Pendidikan
Sistem evaluasi pendidikan yang digunakan belum komprehensif.
Sistem evaluasi pendidikan lebih cenderung mengandalkan penilaian
152 Pengantar Pendidikan

akademik untuk menentukan keberhasilan pendidikan peserta didik,


misalanya hanya melalui keberhasilan mengikuti Ujian Nasional atau
sejenisnya, di samping belum melibatkan aspek-aspek lainnya, sehingga
terjadi ketidak-ajegan dalam proses pendidikan, karena tidak sejalan
dengan tujuan pendidikan nasional.
Menurut Yusuf (2012) sistem evaluasi pendidikan melahirkan
anomali reformasi yang besar. Sistem evaluasi pendidikan, misalnya
Ujian Nasional, hingga sekarang belum menunjukkan signifikansi
pengaruh terhadap perbaikan mutu belajar. Efeknya malah memalingkan
siswa dari kepercayaan terhadap sekolah formal. Peserta didik
berbondong ikut bimbingan belajar yang diselenggarakan oleh lembaga
pendidikan informal seperti kursus dan privat. Motivasinya jelas adalah
kecemasan menyambut ujian akhir atau ujian nasional.

h. Relevansi Pendidikan dan Dukungan Masyarakat


Permasalahan relevansi pendidikan bisa dilihat dari tiga indikator
yakni kemitraan dengan Dunia Usaha dan Dunia Industri (DUDI)
yang belum optimal, kurikulum yang belum berbasis masyarakat dan
potensi daerah, serta kecakapan hidup (life skill) yang dihasilkan
belum optimal. Jika dicermati sungguh-sungguh bahwa dukungan
masyarakat, terutama masyarakat dunia usaha dan dunia industri
(DUDI) terhadap penyelenggaraan semua jenjang pendidikan masih
terbatas. Padahal tanggung jawab pendidikan ada di pundak
pemerintah, sekolah, dan masyarakat. DUDI cenderung menanti
lulusan untuk rekruitmen tenaga barunya, tanpa ada sharing yang
cukup dalam proses pendidikannya.

i. Arus Globalisasi
Globalisasi memungkinkan adanya akses yang terbuka terutama
dalam kehidupan ekonomi, dengan begitu transaksi ekonomi tidak ada
pembatasan yang mutlak, sejak terhitung saat konvensi telah disepakati.
Seperti diketahui, di era globalisasi dewasa ini telah terjadi pergeseran
paradigma tentang keunggulan suatu Negara, dari keunggulan
komparatif (comperative adventage) kepada keunggulan kompetitif
(competitive advantage). Keunggulam komparatif bertumpu pada kekayaan
sumber daya alam, sementara keunggulan kompetitif bertumpu pada
pemilikan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Ketidaksiapan
setiap warga negara Indonesia dalam berkompetisi dapat menyebabkan
bangsa Indonesia akan menjadi tamu di negara sendiri.
Sistem Pendidikan Nasional, Pembaharuan dan Inovasi
153
Pendidikan di Indonesia

Globalisasi jika tidak diantisipasi dapat mengancam eksistensi


Indonesia sebagai suatu negara. Globalisasi justru melahirkan semangat
cosmopolitantisme dimana anak-anak bangsa boleh jadi akan memilih
sekolah-sekolah di luar negeri sebagai tempat pendidikan mereka,
terutama jika kondisi sekolah-sekolah di dalam negeri secara kompetitif
under-quality (berkualitas rendah).

j. Arus informasi dan Kemajuan IPTEK


Arus informasi yang begitu deras seiring dengan globalisasi tidak
dapat dibendung dengan mudah. Lebih membahayakan lagi jika arus
informasi itu memiliki muatan nilai-nilai budaya yang bertentangan
dengan nilai-nilai Pancasila. Pengendalian dan filterisasi pengaruh
budaya luar yang tidak dapat dilakukan secara efektif dan mantap,
cenderung dapat merusak sendi-sendi nilai bangsa, bahkan bisa
mengancam disintegrasi.
Kemajuan IPTEKS di samping mendatangkan kesejahteraan, juga
dapat berdampak negatif terhadap kesehatan lingkungan dan polusi-
polusi lain yang membahayakan kesehatan manusia. Untuk dapat
memanfaatkan kehadiran kemajuan IPTEKS, sangat dituntut bangunan
masyarakat yang berbasis pengetahuan.

k. Persoalan Karakter
Menurut DITNAGA-DIKTI (2010) di kalangan pelajar dan
mahasiswa dekadensi moral ini tidak kalah memprihatinkan. Perilaku
menabrak etika, moral dan hukum dari yang ringan sampai yang berat
masih kerap diperlihatkan oleh pelajar dan mahasiswa. Kebiasaan
“mencontek” pada saat ulangan atau ujian masih dilakukan. Keinginan
lulus dengan cara mudah dan tanpa kerja keras pada saat ujian nasional
menyebabkan mereka berusaha mencari jawaban dengan cara tidak
beretika. Mereka mencari bocoran jawaban dari berbagai sumber yang
tidak jelas. Apalagi jika keinginan lulus dengan mudah ini bersifat
institusional karena direkayasa atau dikondisikan oleh pimpinan sekolah
dan guru secara sistemik. Pada mereka yang tidak lulus, ada di antaranya
yang melakukan tindakan nekat dengan menyakiti diri atau bahkan
bunuh diri. Perilaku tidak beretika juga ditunjukkan oleh mahasiswa.
Plagiarisme atau penjiplakan karya ilmiah di kalangan mahasiswa juga
masih bersifat massif. Bahkan ada yang dilakukan oleh mahasiswa
program doktor. Semuanya ini menunjukkan kerapuhan karakter di
kalangan pelajar dan mahasiswa.
154 Pengantar Pendidikan

2. Tantangan Pembangunan Pendidikan Nasional


Menurut Kemendiknas (2010) berdasarkan analisis faktor eksternal,
Internal, potensi, dan permasalahan pendidikan dapat diidentifikasi
berbagai tantangan yang dihadapi dalam melaksanakan pembangunan
pendidikan lima tahun ke depan. Tantangan-tantangan tersebut adalah
sebagai berikut.
a. Melengkapi peraturan turunan yang diamanatkan undang-undang
di bidang pendidikan;
b. Memenuhi komitmen global untuk pencapaian sasaran-sasaran
Millenium Development Goals (MDGs), Education For All (EFA), dan
Education for Sustainable Development (EfSD). Saat ini juga telah
diterapkan Sustainable Development Goals (SDGs)
c. Menjamin tingkat kesejahteraan tenaga pendidik dan kependidikan
di daerah terdepan, terpencil, dan rawan bencana;
d. Menjamin keberpihakan terhadap masyarakat miskin untuk
memperoleh akses pendidikan bermutu seluas-luasnya pada semua
satuan pendidikan;
e. Menerapkan Standar Nasional Pendidikan dengan menekankan
keseimbangan antara olah pikir, olah rasa, olah hati, dan olahraga;
f. Mengembangkan kebijakan pemberdayaan tenaga pendidik dan
kependidikan dengan memperhatikan profesionalisme;
g. Mempertahankan peningkatan kualitas pendidikan dalam upaya
pemenuhan Standar Pelayanan Minimal (SPM) antargender dan
antarwilayah;
h. Meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikan kejuruan/vokasi
untuk memenuhi kebutuhan lokal dan nasional serta mampu bersaing
secara global;
i. Menghasilkan SDM kreatif melalui pendidikan yang diperlukan
dalam pengembangan ekonomi kreatif;
j. Menyusun struktur biaya total pendidikan setiap satuan pendidikan
dengan mempertimbangkan indeks daya beli masyarakat;
k. Mengembangkan kebijakan-kebijakan untuk memperkuat dan
memperluas penerapan sistem penganggaran berbasis kinerja dan
kerangka pengeluaran jangka menengah;
l. Meningkatkan kemitraan yang sinergis dengan dunia usaha dan
industri, organisasi masyarakat, dan organisasi profesi;
Sistem Pendidikan Nasional, Pembaharuan dan Inovasi
155
Pendidikan di Indonesia

m. Meningkatkan koordinasi yang efektif dengan kementerian/lembaga


lain dan pemerintah daerah;
n. Mengembangkan kebijakan yang mengintegrasikan muatan budi
pekerti, kebanggaan warga negara, peduli kebersihan, peduli
lingkungan, dan peduli ketertiban dalam penyelenggaraan
pendidikan;
o. Menjamin efektivitas pelaksanaan otonomisasi satuan pendidikan
termasuk penyelenggaraan Badan Hukum Pendidikan (BHP);
p. Memperbaiki dan meningkatkan kredibilitas sistem Ujian Nasional;
q. Mengembangkan kebijakan dalam penyelenggaraan parenting
education dan homeschooling;
r. Mengembangkan kebijakan dalam penyelenggaraan PAUD;
s. Mengembangkan kebijakan yang kondusif untuk menghasilkan
perguruan tinggi berdaya saing global (World Class University/
WCU);
t. Mengembangkan kebijakan-kebijakan untuk memperkuat dan
memperluas pemanfaatan TIK di bidang pendidikan.

C. Inovasi dan Pembaharuan Pendidikan Indonesia


Pembaruan pendidikan merupakan suatu keharusan karena faktor
sosial-budaya masyarakat selalu mengalami perubahan, terutama
disebabkan oleh perkemba-ngan teknologi informasi yang kian cepat
(Baharuddin, 2013). Sebagaimana telah dipaparkan pada bagian
sebelumnya, secara umum bangsa Indonesia menghadapi berbagai
permasalahan menyangkut kualitas pendidikan yang masih rendah,
yang mengakibatkan daya saing bangsa, baik di tingkat regional ASEAN,
terlebih lagi di tingkat dunia, kalah bersaing dengan negara lain. Hal
tersebut perlu direspon dengan cepat melalui pembenahan di sektor
pendidikan, mengingat saat ini perubahan semakin dinamis, sehingga
setiap permasalahan yang muncul akan berpengaruh pada berbagai
sektor lainnya.
Word Education Forum (2010) menegaskan bahwa kunci utama dan
majunya pembangunan pendidikan di suatu negara adalah karena
adanya kepedulian pemerintah yang begitu serius dalam menangani
sektor pendidikan. Soemarto (2002) menambahkan, keberhasilan suatu
bangsa dalam membangun pendidikan menjadi barometer tingkat
kemajuan bangsa yang bersangkutan. Hal ini patut dicermati mengingat
pembangunan pendidikan di Indonesia relatif masih tertinggal
156 Pengantar Pendidikan

dibandingkan negara-negara lain, bahkan di kawasan Asia Tenggara


sekalipun, kecuali dengan negara baru Timor Leste.

1. Paradigma Pendidikan Nasional Abad 21


Badan Standar Nasional Pendidikan (2010) telah mempublikasikan buku
tentang “Paradigma Pendidikan Nasional Abad XXI”. Beberapa ketentuan
yang tertuang dalam buku tersebut akan disampaikan secara sekilas.

a. Tujuan Pendidikan Nasional Abad 21


Tujuan pendidikan nasional abad 21 dapat dirumuskan sebagai
berikut: “Pendidikan Nasional abad XXI bertujuan untuk mewujudkan cita-
cita bangsa, yaitu masyarakat bangsa Indonesia yang sejahtera dan bahagia,
dengan kedudukan yang terhormat dan setara dengan bangsa lain dalam dunia
global, melalui pembentukan masyarakat yang terdiri dari sumber daya manusia
yang berkualitas, yaitu pribadi yang mandiri, berkemauan dan berkemampuan
untuk mewujudkan cita-cita bangsanya”. Dengan kata kesejahteraan
tercakup kesejahteraan spiritual yang mungkin lebih tepat dikatakan
sebagai kebahagiaaan dalam kehidupan, dan kesejahteraan fisik yang dapat
pula dikatakan sebagai hidup yang berkecukupan.

b. Paradigma Pendidikan Nasional Abad 21


Paradigma pendidikan nasional abad XXI dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1) Untuk menghadapi abad XXI yang makin syarat dengan teknologi
dan sains dalam masyarakat global di dunia ini, maka pendidikan
kita haruslah berorientasi pada ilmu pengetahuan matematika dan
sains alam disertai dengan sains sosial dan kemanusiaan (humaniora)
dengan keseimbangan yang wajar.
2) Pendidikan ilmu pengetahuan, bukan hanya membuat seorang peserta
didik berpengetahuan, melainkan juga menganut sikap kelilmuan dan
terhadap ilmu pengetahuan, yaitu kritis, logis, inventif dan inovatif,
serta konsisten, namun disertai pula dengan kemampuan beradaptasi.
Di samping memberikan ilmu pengetahuan, pendidikan ini harus
disertai dengan menanamkan nilai-nilai luhur dan menumbuh
kembangkan sikap terpuji untuk hidup dalam masyarakat yang
sejahtera dan bahagia di lingkup nasional maupun di lingkup
antarbangsa dengan saling menghormati dan saling dihormati.
3) Untuk mencapai ini mulai dari pendidikan anak usia dini, pendidikan
dasar, menengah dan pendidikan tinggi haruslah merupakan suatu
sistem yang tersambung erat tanpa celah, setiap jenjang menunjang
Sistem Pendidikan Nasional, Pembaharuan dan Inovasi
157
Pendidikan di Indonesia

penuh jenjang berikutnya, menuju ke frontier ilmu. Namun demikian,


penting pula pada akhir setiap jenjang, di samping jenjang untuk ke
pendidikan berikutnya, terbuka pula jenjang untuk langsung terjun
ke masyarakat.
4) Bagaimanapun juga, pada setiap jenjang pendidikan perlu ditanamkan
jiwa kemandirian, karena kemandirian pribadi mendasari
kemandirian bangsa, kemandirian dalam melakukan kerjasama yang
saling menghargai dan menghormati, untuk kepentingan bangsa.
5) Khusus di perguruan tinggi, dalam menghadapi konvergensi berbagai
bidang ilmu pengetahuan, maka perlu dihindarkan spesialisasi yang
terlalu awal dan terlalu tajam.
6) Dalam pelaksanaan pendidikan perlu diperhatikan kebhinnekaan
etnis, budaya, agama dan sosial, terutama di jenjang pendidikan awal.
Namun demikian, pelaksanaan pendidikan yang berbeda ini
diarahkan menuju ke satu pola pendidikan nasional yang bermutu.
7) Untuk memungkinkan seluruh warganegara mengenyam pendidikan
sampai ke jenjang pendidikan yang sesuai dengan kemampuannya,
pada dasarnya pendidikan harus dilaksanakan oleh pemerintah dan
masyarakat dengan mengikuti kebijakan yang ditetapkan oleh
pemerintah (pusat dan daerah).
8) Untuk menjamin terlaksananya pendidikan yang berkualitas, sistem
monitoring yang benar dan evaluasi yang berkesinambungan perlu
dikembangkan dan dilaksanakan dengan konsisten. Lembaga
pendidikan yang tudak menunjukkan kinerja yang baik harus dihentikan.

2. Berbabagai Inovasi/Pembaruan Pendidikan di Indonesia


Pelaksanaan inovasi pendidikan seperti inovasi kurikulum dan
pembelajaran tidak dapat dipisahkan dari inovator dan pelaksana inovasi
itu sendiri. Inovasi pendidikan seperti yang dilakukan di Kemendiknas
atau Kemendikbud yang disponsori oleh lembaga-lembaga asing
cenderung merupakan “Top-Down Inovation”. Inovasi ini sengaja
diciptakan sebagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan atau
pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, ataupun sebagai
usaha untuk meningkatkan efesiensi dan sebagainya.
Perkembangan terkini sistem pendidikan dan pembelajaran sebagai
manifestasi dari pembaruan dan inovasi pendidikan mempunyai
implikasi yang banyak, jauh dan menyeluruh dalam penyelenggaraan
pendidikan di semua jejang, pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi.
Banyak contoh inovasi atau pembaruan yang dilakukan oleh
158 Pengantar Pendidikan

Kemendiknas atau Kemendikbud selama beberapa dekade terakhir ini,


seperti Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), guru pamong, sekolah persiapan
pembangunan, Sekolah kecil, Sistem Pengajaran Modul, Sekolah terbuka,
Sistem Belajar Jarak Jauh, dan lain-lain.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) telah
menetapkan pemberlakuan kembali Kurikulum 2013 setelah sebelumnya
dievalusi oleh para ahli yang ditunjuk. Sebelum ditarik dan akhirnya
diberlakukan kembali, Kurikulum 2013 diberlakukan untuk mengganti
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Sebelum adanya KTSP
pemerintah pernah mengimplementasikan Kurikulum 2013. Sementara
itu di level perguruan tinggi saat ini diberlakukan Kurikulum Perguruan
Tinggi merujuk Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) dan
Standar Nasional Pendidikan TInggi.
Sehubungan dengan itu dalam hal inovasi dan pembaruan
pembelajaran di Indonesia dikenal istilah-istilah pembelajaran tematik,
pembelajaran bermakna, inovasi pembelajaran kontekstual, pembelajaran
kompetensi, inovasi pembelajaran menggunakan multimedia dan
internet, pembelajaran terpadu dan PAIKEM (Pembelajaran Aktif Inovatif
Kreatif Efektif Menyenangkan). Sebagai upaya peningkatan kualitas
pembelajaran maka pemerintah telah memperkenalkan konsep studi
pembelajaran (Lesson Study) dengan mengadopsi dari Jepang. Terkait
pembaruan pendidikan di level sekolah dasar telah diimplementasikan
sistem Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
Daftar Pustaka 159

Daftar Pustaka

Ahmadi, A. & Uhbiyati, N. 1991. Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.


Ahmadi, A. 2001. Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Ali, R. M. 2005. Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia. Yogyakarta: LKIS.
Ali, Mohamad (Eds) (2007). Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung:
IMTIMA.
Anshari, M. H. 1983. Pengantar Ilmu Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
Assegaf, A. R. 2005. Studi Islam Kontekstual. Yokyakarta: Gama Media.
Asy’arie, M. 1992. Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an.
Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam (LESFI).
Asy’arie, M. 2001. Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir. Yogyakarta:
Lembaga Studi Filsafat Islam (LESFI).
Azani. 2012. Gambaran Psychological Well-being Mantan Narapidana.
EMPATHY, 1(1): 1-18.
Baharuddin, H. 2013. Pembaruan Pendidikan Islam Azyumardi Azra:
Melacak Latar Belakang Argumentasinya. Lentera Pendidikan, 16(2):
196-204.
Baihaqi, M. I. F. 2007. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan: dari Abendanon Hingga
KH. Imam Zarkasyi. Bandung: Nuansa.
Barnadib, S. I. 1983. Sejarah Pendidikan. Yogyakarta: Andi Offset.
Basyir, A. A. 1984. Falsafah Ibadah Dalam Islam. Yogyakarta: UII.
Baswedan, A. 2014. Gawat Darurat Pendidikan Indonesia. Paparan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan dalam Silaturahmi Kementerian dengan
Kepala Dinas Jakarta, 1 Desember.
Bertens, K. 1990. Filsafat Barat Abad XX Inggri-Jerman. Jakarta: PT
Gramedia.

159
160 Pengantar Pendidikan

Blake, R. H. & Haroldsen, E. O. 2003. Taksonomi Konsep Komunikasi. Cetakan


Ke-1. Terj. Hasan Bahanan. Surabaya: Papyrus.
Burhani, A. N. 2004. Muhammadiyah Jawa. Jakarta: Al-Wasat.
Combs, A.W. 1982. Affective Education or None at All. Educational
Leadership, 39(7): 494-497.
Darajat, Z. 2004. Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam. Jakarta: Bumi
Aksara.
Dardiri, A. 2010. Urgensi Memahami Hakekat Manusia. Makalah. Yogyakarta:
FIP UNY.
Dardiri, A. 2011. Manusia dan Pendidikan: Sebuah Tinjauan Filosofis. Makalah.
Yogyakarta: FIP UNY.
Depdiknas. 2005. Rencana strategis Departemen Pendidikan Nasional 2005-
2009. Jakarta: Pusat Informasi dan Humas Depdiknas.
DITNAGA-DIKTI. 2010. Kerangka Acuan Pendidikan Karakter Tahun 2010.
Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional.
Dewantara, B. S. 1989. Ki Hadjar Dewantara Ayahku. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Djumhur, I. & Danasuparta. 1976. Sejarah Pendidikan. Bandung: CV. Ilmu.
Djumransjah. 2004. Pengantar Filsafat Pendidikan. Malang: Bayumedia
Publishing.
Effendy, O. C. 2006. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Fakhruddin, A. R. 2005. Mengenal dan Menjadi Muhammadiyah. Malang:
UMM Press.
Febriansyah, M. R., Budiman, A. C., Passandre, Y. R., Nashiruddin, M. A.,
Widiyastuti, & Nasri, I. 2013. Muhammadiyah 100 Tahun Menyinari
Negeri. Yogyakarta: Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Pusat
Muhammadiyah.
Fhadilla, A. 2014. Ruang Pendidik SMA INS Kayutanam Tahun 1967-2010.
Skripsi tidak diterbitkan. Padang: Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Andalas.
Fathoni, M. 2012. Hakikat Manusia dan Pengetahuan. Makalah. OKU Timur:
Pondok Pesantren Nurul Huda.
Hadikusumo, K. 1996. Pengantar Pendidikan. Semarang: IKIP Semarang
Press.
Halimah, A. 2012.Sistem Pendidikan Muhammad Syafei (Tokoh Pendidikan
dari Sumatera Barat). Artikel Jurnal Volume 1 Nomor 1 2012. Makassar:
Fakutas Tarbiyah dan Keguruan UIN Alauddin Makassar.
Daftar Pustaka 161

Hambali, H. 2006. Ideologi dan Strategi Muhammadiyah. Yogyakarta: Suara


Muhammadiyah.
Hardiyanti, Y. 2011. Komponen-Komponen Pendidikan. Makalah Filsafat
Pendidikan. Makassar: Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin
Hasan, A. B. P. 2006. Psikologi Perkembangan Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Hasan, M. T. 2004. Dinamika Kehidupan Religius. Jakarta: Listafariska Putra.
Hassan, F. 2005. Ensiklopedi Umum untuk Pelajar. Jilid 10. Jakarta: Ichtiar
Baru van Hoeve. Idris, R. 2013. Pendidikan Sebagai Agen Perubahan
Menuju Masyarakat Indonesia Seutuhnya. Lentera Pendidikan, 16(1):
62-72.
Husamah. 2013. Pembelajaran Luar Kelas; Outdoor Learning.Jakarta: Prestasi
Pustaka Raya.
Ihsan, F. 2008. Dasar Dasar Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Ihsan, F. 2010. Dasar-Dasar Kependidikan: Komponen MDK. Jakarta: Rineka
Cipta.
Ilyas, A. 1997. Prinsip-prinsip Pendidikan Anak dalam Islam. Bandung: Al
Bayan.
Jalaluddin. 2003. Teologi Pendidikan, Jakarta: Raja GrafindoPersada.
Jurdi, S. 2010. 1 ABAD Muhammadiyah - Gagasan Pembaharuan Sosial
Keagamaan. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.
Kemendiknas. 2010. Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Pendidikan
Nasional tahun 2010—2014. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional
RI.
Khasinah, S. 2013. Hakikat Manusia Menurut Pandangan Islam dan Barat.
Jurnal Ilmiah DIDAKTIKA, 13(2): 296-317.
Khobir, A. 2010. Hakikat Manusia dan Implikasinya dalam Proses
Pendidikan (Tinjauan Filsafat Pendidikan Islam). Forum Tarbiyah, 8(1):
1-15.
Kosasih, A. 2012. Konsep Insan Kamil Menurut al-Jili. (Online).( http://
www.file.upi.edu, diakses 30 Juli 2015].
Langgulung, H. 2008. Azas-Azas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka, Al-
Husna.
Maunah, B. 2009. Landasan Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Teras.
Marzuki. 2012. Politik Pendidikan Nasional dalam Bingkai Undang-
Undang Sistem Pendidikan Nasional. Jurnal Penelitian Humaniora,
17(2): 16-38.
162 Pengantar Pendidikan

Moerdiyanto. 2011. Tren Pengembangan Pendidikan IPS di Sekolah Dasar dan


Menengah. Makalah. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi
Universitas Negeri Yogyakarta
Mujidin. 2005. Garis Besar Psikologi Transpersonal: Pandangan Tentang
Manusia dan Metode Penggalian Transpersonal serta Aplikasinya
dalam Dunia Pendidikan. Humanitas: Indonesian Psychological Journal,
2(1): 54- 64.
Mudyahardjo. R., Wasyidin, W.& Soegiyanto, S. 1992. Materi Pokok Dasar-
Dasar Kependidikan. Modul 1-6. Jakarta: P2TK-PT Depdikbud.
Mudyahardjo, R. 2002. Pengantar Pendidikan: Sebuah Study Awal Tentang
Dasar-Dasar Pendidikan Pada Umum dan Pendidikan di Indonesia. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
Nadirah, S. 2013. Anak Didik Perspektif Nativisme, Empirisme, dan
Konvergensi. Lentera Pendidikan, 16(2): 188-195.
Nanuru, R. F. 2013. Progresivisme Pendidikan dan Relevansinya di
Indonesia. Jurnal UNIERA, 2(2): 133-143.
Nashori, F. & Diana, R. 2002. Mengembangkan Kreativitas Dalam Perspektif
Psikologi Islam. Yogyakarta: Menara Kudus.
Nata, A. 2002. Filsalat Pendidikan Islam I. Jakarta: Logos Wacana Ilmu..
Nugroho, E. C. 2012. Menghargai Modus-Modus Esensial Manusia Sebagai
Upaya Mengatasi Problem Dehumanisasi di Indonesia. Makalah Filsafat
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro.
Oesman, O. & Alfian. 1992. Pancasila Sebagai Ideologi, Dalam Berbagai bidang
Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa Dan Bernegara. Jakarta: BP-7 Pusat.
Padil, M. & Supriyatno, T. 2010. Sosiologi Pendidikan. Malang : UIN-Maliki Press.
Pasha, M. K. & Darban, A. A. 2000. Muhamadiyah sebagai Gerakan Islam
(dalam Perspektif Historis dan Idiologis). Yogyakarta: LPPI.
Pelly, U. & Menanti, A. 1994. Teori-Teori Sosial Budaya. Jakarta: Dirjen Dikti
Depdiknas.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 Tentang
Standar Nasional Pendidikan
Pidarta, M. 2007. Landasan Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Piedade, J. I. 1986. Problematika Manusia dalam Antropologi Filsafat. Basis,
XXXV-10.
Poerbakawatja, S. 1970. Pendidikan Dalam Alam Indonesia. Jakarta: Gunung
Agung.
Pramudia, J. R. 2006. Orientasi Baru Pendidikan: Perlunya Reorientasi Posisi
Pendidik Dan Peserta Didik. Jurnal Pendidikan Luar Sekolah, 3(1): 29-38.
Daftar Pustaka 163

Prayitno. 2009. Dasar Teori dan Praksis Pendidikan. Jakarta: Grasindo.


Prayitno & Amti, E. 2004. Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta:
Rineka Cipta.
Pulungan, S. M. 1984. Manusia Dalam al-Qur’an. Surabaya: Bina Ilmu.
Purwanto, M. N. 2004. Psikologi Pendidikan. Cet. XX; Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Raharja, S. 2008. Penyelenggaraan Pendidikan Indonesia Nederlandche School
(INS) Kayu Tanam dalam Perspektif Pendidikan Humanis-Religius.
Jurnal Manajemen Pendidikan, 1(4): 9-19.
Rakhmat, J. 1998. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Rakhmat, J. 2011. Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sejarah dan Pemikirannya.
Jakarta: Kalam Mulia.
Rokhim. 2014. Peran Organisasi Muhammadiyah dalam Bidang
Pendidikan di Kecamatan Sukorejo Kabupaten Kendal. Jurnal Ilmiah
Pendidikan Sejarah IKIP Veteran Semarang, 2(1): 23-31.
Sabri, M. A. 1996. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya.
Sagala, S. 2010. Konsep dan Makna Pembelajaran untuk Membantu Memecahkan
Problematika Belajar dan Mengajar. Cet. VIII; Bandung: Alfabeta.
Salam, Y. 1968. Riwayat Hidup KH. Ahmad Dahlan. Yogyakarta: TB Yogya.
Salim, M. 2002. Konsep Kekuasaan Politik Dalam AlQur’an. Cet. III. Jakarta :
Raja Grafindo Persada.
Samad, M. Y. 2013. Pendidikan Islam dalam Perspektif Aliran Kalam:
Qadariyah, Jabariyah, dan Asy’ariyah. Lentera Pendidikan, 16(1): 73-
82.
Santyasa, I.W. 2008. Pembelajaran Berbasis Masalah dan Pembelajaran
Kooperatif. Disajikan dalam Pelatihan tentang Pembelajaran dan
Asesmen Inovatif bagi Guru-guru Sekolah Menengah Kecamatan
Nusa Penida tanggal 22-24 Agustus.
Sardiman. 2007. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta: Rajawali Press.
Sastrapratedja. M. 1992. Karakter Manusia dalam Pembangunan. Yogyakarta:
UGM.
Sauri, S. 2009. Masalah-masalah Pokok Pendidikan di Indonesia dalam Perspektif
Filosofis, Teoretik dan Empirik. Makalah Disajikan pada Seminar
Nasional bagi guru-guru di Kabupaten Subang, 8 Agustus.
Seha, S. 2010. Manusia Dalam Al-Qur’an Menurut Persfektif Filsafat
Manusia. Al-Fikr, 14(3): 399-410.
Setianingsih, D. 2008. Pemikiran Pendidikan Islam Muhammad Tholhah Hasan.
Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Fakultas Tarbiyah UIN Malang.
164 Pengantar Pendidikan

Setiono, T. H., Wartoyo, F. X. & Widjijanto. 2013. Ki Hadjar Dewantara


Perannya dalam Memperjuangkan Pendidikan Nasional Tahun 1922-1959.
Naskah Jurnal. Sidoarjo: STKIP PGRI Sidoarjo.
Shihab, M. Q. 1996. Wawasan al-Qur’an. Bandung: Mizan.
Sneijders, A. 2004. Antropologi Filsafat Manusia: Paradoks dan Seruan.
Yogyakarta: Kanisius.
Soedijarto. 2008. Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita. Jakarta: PT
Kompas Media Nusantara.
Soedijarto. 2008.Tercapainya Tujuan Pendidikan Nasional Sebagai Ukuran
bagi Pendidikan yang Bermutu dan Implikasinya. Jurnal Pendidikan
Penabur, 11(7): 37-41.
Soelaeman, M. I. 1988. Suatu Telaah tentang Manusia-Religi-Pendidikan.
Jakarta: Depdikbud.
Soemarto. 2002. Faktor-Faktor Lingkungan Stratejik dalam Pengembangan
Perguruan Tinggi Swasta: Studi tentang Faktor-Faktor Lingkungan
Perguruan Tinggi Swasta yang Terakreditasi di Jawa Barat. Disertasi tidak
dipublikasikan. Bandung: PPS-UPI.
Suardi, E. 2010. Sistem dan Tujuan Pendidikan. Bandung: Angkasa.
Sulistya, A. V. 2002. Buku Panduan Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta.
Yogyakarta: Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata
Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya.
Suhartono, S. 2007. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Suparlan, P. 1984. Kebudayaan Kemiskinan, dalam Kemiskinan di Perkotaan.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia – Sinar Harapan.
Suprayoko, K. 2006. Taman Siswa dan Konsepnya. Dipresentasi dalam
Seminar Nasional Kontribusi Tamansiswa dan INS Kayutanam dalam
membangun Karakter bangsa Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Depan yang
diselenggarakan oleh Depdiknas,, Hotel Sahid, Ballroom Lantai 2,
Jakarta, 24 Agustus.
Suryabrata, S. 2002. Psikologi Pendidikan, Cet. XI. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Suyanto. 2007. Tantangan Profesionalisme Guru di Era Global. Pidato Dies
Natalis ke-43 Universitas Negeri Yogyakarta, 21 Mei.
Suyitno, Y. 2010. Modul 1 Manusia dan Pendidikan. Bandung: Fakultas
Pendidikan UPI.
Suyitno, Y. 2009. Landasan Filosofis Pendidikan. Bandung: Fakultas
Pendidikan UPI.
Syah, M. 2002. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Cet. V Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Daftar Pustaka 165

Syam, M. N. 1986. Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan


Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional.
Tatang, S. 2010. Landasan Filosofis Pendidikan. BBM 2. (Online). (http://
file.upi.edu/Direktori/DUAL-MODES/LANDASAN-PENDIDIKAN/
BBM_2. pdf, Diakses 4 Agustus 2015).
Thoib, I. 2008. Wacana Baru Pendidikan.Yogyakarta: Genta Press.
Tim Paradigma Pendidikan BSNP. 2010. Paradigma Pendidikan Nasional
Abad XXI. Jakarta: Badan Standar Nasional Pendidikan.
Tirtarahardja, U. & Sulo, S. L. L. 2005. Pengantar Pendidikan. Edisi Revisi.
Jakarta: Rineka Cipta.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru
dan Dosen.
Usman, M. I. 2012. Model Mengajar Dalam Pembelajaran: Alam Sekitar,
Sekolah Kerja, Individual, dan Klasikal. Lentera Pendidikan, 15(2): 251-
266.
van der Wij, P. A. 1991. Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia. Jakarta: Penerbit
PT Gramedia Pustaka Utama.
Wahab, Z. 2007. Menegakkan Sistem Pendidikan Nasional Berdasarkan
Pancasila. Makalah diprsentasikan dalam Sarasehan dalam rangka
memperingati Hari lahir Pancasila drai Klaster Pendidikan dengan
tema ”Sistem Pendidikan Nasional untuk Membangun Peradaban
Indonesia yang dijiwai oleh Nilai-nilai Pancasila” di Balai Senat UGM
Bulaksumur Yogyakarta, 30 April - 1 Mei.
World Economic Forum. 2010. The Global Competitiveness Report 2008-2009.
Yusuf, A. M. 1996. Pengantar Ilmu Pendidikan. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Yusuf, M. T. 2012. Anomali Reformasi Penyelenggaraan Pembelajaran di
Indonesia. Lentera Pendidikan, 15(1): 85-91.
Zed, M. 2012. Engku Mohammad Sjafe’i dan INS Kayutanam: Jejak
Pemikiran Pendidikannya. TINGKAP, 8(2): 173-188.
Zubir, G. 2001. Peranan Masyarakat Dalam Pembangunan Sumber Daya
Manusia di Ranah Minang. Makalah Seminar Nasional Industri
Pendidikan. Jakarta.
166 Pengantar Pendidikan
Glosarium 167

Glosarium

Dimensi: segi yang menjadi pusat tinjauan ilmiah.

Hakikat: kata benda yang berarti kebenaran atau yang benar-benar ada.
Kata ini berasal dari kata pokok hak (al-Haq), yang berarti milik (ke-
punyaan) atau benar (kebenaran).

Gender: kesamaan peluang dan kesempatan dalam bidang sosial, politik


dan ekonomi antara laki-laki dan perempuan, kaya miskin, orang cacat
dan tidak, desa kota, atau sifat-sifat yang dilekatkan pada laki-laki
atau perempuan yang dibangun oleh sosial dan budaya.

Hak: segala sesuatu yang harus di dapatkan oleh setiap orang yang telah
ada sejak lahir bahkan sebelum lahir.

Hegemoni: dominasi satu kelompok terhadap kelompok lainnya dengan


atau tanpa ancaman kekerasan, sehingga ide-ide yang disampaikan
oleh kelompok dominan terhadap kelompok yang didominasi diterima
sebagai sesuatu yang wajar.

Inovasi: suatu ide, barang, kejadian, metode, yang dirasakan atau diamati
sebagai suatu hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang
(masyarakat), baik itu berupa hasil invensi maupun diskoveri. Inovasi
diadakan untuk mencapai tujuan tertentu atau untuk memecahkan
suatu masalah tertentu.

167
168 Pengantar Pendidikan

Kata hati: kemampuan membuat keputusan tentang yang baik dan yang
buruk bagi manusia sebagai manusia.

Kebahagiaan dalam kehidupan suatu masyarakat: tercerminan dalam


bentuk kehidupan bermasyarakat yang nyaman, mulai dari
lingkungan rumah tangga sampai ke lingkungan antara bangsa
dengan saling dihormati dan menghormati.

Kesejahteraan material atau hidup berkecukupan: kehidupan yang


terbebas dari kemiskinan, walaupun tidak harus berupa kemewahan.

Landasan: dasar tempat berpijak atau tempat di mulainya suatu perbuatan.


Dalam bahasa Inggris, landasan disebut dengan istilah foundation,
yang dalam bahasa Indonesia menjadi fondasi. Fondasi merupakan
bagian terpenting untuk mengawali sesuatu.

Ordonansi: peraturan atau ketetapan pemerintah; surat pemerintah;


peraturan kerajaan.

Paradigma: ”world view”, suatu pers-pektif umum, cara pemilahan


kompleksitas dunia nyata. Selaku demikian, ”tindakan kita di dunia,
termasuk perbuatan yang dilakukan seseorang atau kelompok selaku
ilmuwan, peneliti, ahli pendidikan, politisi, tidak bisa terjadi tanpa
mengacu kepada paradigma yang dianutnya. Paradigma
menginstruksikan kita tentang apa yang dianggap ”penting”,
”legitimate” dan ”masuk akal” dalam hidup.

Perguruan: Lembaga pendidikan dimana guru dan para murid hidup


bersama di padepokan, dan para murid berguru kepada para cerdik
cendekia (guru).

Polarisasi: pembagian atas dua bagian (kelompok orang yang


berkepentingan dan sebagainya) yang berlawanan/berbeda.
Perguruan ini lambat laun dikenal sebagai pesantren yaitu tempat para
santri (catrik) berguru.
Glosarium 169

Sistem Among: cara pendidikan yang dipakai dalam sistem Taman Siswa
dengan maksud mewajibkan pada guru supaya mengingati dan
mementingkan kodrati adatnya pada siswa dengan tidak melupakan
segala keadaan yang mengelilinginya.

Stratifikasi Sosial: pembedaan anggota masyarakat berdasarkan status


yang dimilikinya.

Tata Nilai: Pandangan hidup dan kesepakatan atas norma dalam


mengelola organisasi

Wajib belajar: program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga
negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah
daerah.

Yuridis: menurut hukum; secara hukum.


170 Pengantar Pendidikan
Indeks 171

Indeks

A C
Abd Allah, 8 categorical imperative, 16
activity centered, 70 Centre d’internet, 96
al-Basyar, 71 child centered, 70
al-Insan, 71 community oriented project, 118
al-Nas, 7 comperative adventage, 152
al-Qur’an, 6, competitive advantage, 152
amar ma’ruf nahi mungkar, 17
animal educabili, 3 D
animal educandum, 3 das Es, 4
animal educator, 3 das Ich, 4
animal ridens, 3 das Uber Ich, 4
animal rational, 3 deterministis, 5
animal symbolicum, 3
anthropological constants, 18 E
aspek spasial, 3 empirisme, 86
auditif, 44 environmental input, 46
entrepreneurship, 118
B etnis, 5
Bani Adam, 8
Bani Hasyr, 8 F
budinurani, 4 fenomenologi, 5
free will, 13

171
172 Pengantar Pendidikan

H K
hayawan nathiq, 2 kawasan bawah sadar, 5
hewan yang berpikir, 2 Kayutanam, 107
Hidayat al-Aqliyat, 20 kerajaan hewan, 3
Hidayat al-Diniyyat, 21 khalifah, 6
Hidayat al-Ghariziyyat, 21 kreativitas tangan, 3
Hidayat al-Hasiyyat, 21 kodrat, 2
homo economicus, 20 konsentris, 47
homo faber, 2 konvergensi, 86
homo loquen, 2
homo religious, 21 L
homo sapiens, 2 libido-seksualis, 4
homo socius, 2 life long learning, 83
horizontal, 18 lust principle, 4

M
I makhluk biologis, 7
I-it, 15 makhluk ekonomi, 2
I-thou, 15 makhluk evolutif, 22
idealisme, 31 makhluk kultural, 7
imitative, 3 makhluk reaktif, 9
innate potentials, 19 makhluk sosial, 2
innate tendencies, 19 memayu hayuning bawana, 16
inovasi, 35 metode global, 95
insan kamil, 37 monisme, 12
instructional materials, 43 monodualis, 11
instrumental input, 46 monopluralis, 11
interaksi edukatif, 41 Muhammadiyah, 9
interpersonal, 49
intrapsikis, 9 N
nativisme, 86
J naturalism, 86
jiwa-jiwa nasional, 5
Indeks 173

O T
orde en vrede, 79 teologis, 4
Teori Domein, 110
P the Id, 4
paham individualism, 72 tool-making animal, 2
paham integralistik, 72 tripusat, 47
paham kolektivisme, 72 tujuan institusional, 37
pendidikan seks, 34 tujuan instrukisonal, 37
pengembangan patologis, 24 tujuan kurikuler, 37
pluralisme, 12 Tut Wuri Handayani, 78
pour soi, 9
pragmatisme, 69 W
primary community, 57 warisan ras, 6
problem solving method, 71 weltanschauung, 5
Project Based Learning, 98 Wisna Priya, 65
psikoanalisis, 4 Wisnu Rini, 65
psikofisik, 27
psiko-humanistik, 26 Z
zelfbegrotings-system, 112
R zelf besschikkingsrecht, 112
rasa kebebasan, 9 zoon politicon, 2
rasio praktis, 16
raw input, 46
realisme, 69

S
sakral, 6
salah didik, 24
sekolah kejuruan, 101
sistem among, 65
struktur jiwa, 4
sui generis, 4
superego, 4
174 Pengantar Pendidikan
Profil Singkat Penulis 175

Profil Singkat Penulis

Husamah dilahirkan pada tanggal 18 Oktober


1985 di sebuah pulau terpencil nan indah, yaitu
Pulau Pagerungan Kecil, Sapeken, Sumenep. Ia
menamatkan studi di SDN Pagerungan Kecil III,
SMP Negeri 2 Sapeken, dan SMA Negeri 1
Banyuwangi. Gelar sarjana pendidikan (S.Pd.) ia
peroleh dari Prodi Pendidikan Biologi FKIP
Universitas Muhammadiyah Malang (2008) dan
magister pendidikan (M.Pd.) dari Prodi Pendidikan Biologi Universitas
Negeri Malang (2014).
Suami dari Yanur Setyaningrum, S.Pd., M.Pd. dan ayah dari Cyra
Azalia Aufaa serta Ibrahim Azka Alfatih adalah Dosen Tetap di Prodi
Pendidikan Biologi FKIP UMM. Ia aktif menulis, mengajar, dan meneliti,
serta diamanahi untuk mengepalai Pusat Studi Lingkungan dan
Kependudukan UMM.
Hobi menulisnya dimulai sejak menjadi mahasiswa. Ia merupakan
Juara I Mahasiswa Berprestasi UMM dan Kopertis VII Jawa Timur
tahun 2008; beberapa kali menjuarai lomba penulisan ilmiah tingkat
lokal, regional, dan nasional; beberapa kali memperoleh pendanaan
Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) dan menjadi finalis PIMNAS.
Sampai saat ini, artikel ilmiah dan opininya telah dimuat di jurnal
ilmiah nasional dan internasional, prosiding seminar nasional dan
internasional, serta media massa lokal dan nasional.
Ia telah berhasil menerbitkan beberapa buku yang ia sebut sebagai
“karya kecil untuk menginspirasi Indonesia” seperti Cerdas Menjadi Juara
Karya Ilmiah (Tim, Pinus Group, 2010), Teacherpreneur, Cara Cerdas Menjadi
Guru Banyak Penghasilan (Pinus Group, 2011), Panduan Penulisan Skripsi
(Tim, Penerbitan Biologi UMM, 2009), KIR Itu Selezat Ice Cream (Tim,
Pinus Group, 2011), Kamus Penyakit Pada Manusia (Andi, 2012) Guru
Profesional Perspektif Siswa Indonesia (Editor; Aditya Media, 2012), Kamus

175
176 Pengantar Pendidikan

Praktis Biologi (Tim, Penerbitan Biologi UMM, 2012); Outdoor Learning:


Pembelajaran Luar Kelas (Prestasi Pustaka Raya, 2013), Pembelajaran
Berbasis Pencapaian Kompetensi: Panduan dalam Merancang Pembelajaran
untuk Mendukung Implementasi Kurikulum 2013 (Tim, Prestasi Pustaka
Raya, 2013; Cet. II 2015), Science for Grade 1 (Tim, Aditya Media, 2013);
Kamus Super Biologi (Tim, Prestasi Pustaka Raya, 2014), Pembelajaran
Bauran: Blended Learning (Prestasi Pustaka Raya, 2014), Kamus A to Z
Kamus Psikologi Super Lengkap (Andi, 2015), Pencerahan Pendidikan
Masa Depan (Tim, UMM Press & FKIP UMM), Belajar dan Pembelajaran
(Tim, Proses terbit di UMM Press) dan buku Pengantar Pendidikan yang
ada di tangan Anda ini.
Untuk diskusi dan koresponsdensi dengan penulis dapat
mengirimkan pesan ke e-mail/facebook: usya_bio@yahoo.com; atau
Instagram: @papanya_cyra_n_abym.

Arina Restian S,Pd M.Pd adalah Dosen


Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) FKIP
UMM. Ia terlahir di Blitar pada 14 juni 1988.
Menyelesaikan Pendidikan di SD Negeri Karang
Tengah 1V Tahun 1994, SLTPN 6 Blitar Tahun 2000
, SMA N 1 Kademangan Blitar tahun lulus tahun
2006, Menyelesaikan S-I Pendidikan Seni Tari
Universitas Negeri Malang (UM) Tahun 2010, dan
Mendapat beasiswa Unggulan Program Dikti ,Pada
tahun 2012 menyelesaikan Program S-2 Pascasarjana Pendidikan Seni
Budaya (UNESA) .
Berbagai tulisan dan kegiatan dibidang pendidikan antara lain: 1)
Menulis di JP2SD di Universitas Muhammadiyah Malang tentang
pendidikan PAIKEM GEMBROT"Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif,
Menyenangkan, Gembira Dan Berbobot"Bidang Seni, 2) Narasumber
Kemendikbud Nasional K13 Mapel Seni Budaya 2014, Wilayah JATIM,
3) Narasumber Nasional Pelatihan Diklat Kepala Dinas Dan Kepala
Sekolah Mapel Seni Budaya 2014, 4) Narasumber Prakarya Kurikulum
2013 Dinas Provinsi Jawa Timur Th 2014 SMP Muhamadiyah Jawa
Timur, 5) Panitia Seminar Internasional Membangun Peradapan Bangsa
Melalui Politik Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Internasional Dan
Bahasa Ilmu Pengetahuan, Dome UMM, 6) Juri Lomba Kreativitas
Profil Singkat Penulis 177

Desain Batik Mahasiswa UMM, 7) Seminar Internasional On Special


Education For Southeast Asia Region (Ukm Malasya, Upi, Unesa, Seameo
Sen) 2015 Presenter (Implementasi Sistem Evaluasi Penilaian Anak
Autis Pada Pendidikan Iklusi Di Sekolah Dasar), 8) Seminar Nasional
Pgsd 2015 " Mewujudkan Mutu Pendidikan Yang Unggul Dan Berjatidiri
Melalui Publikasi Ilmiah Untuk Jurnal Nasional Dan International
Bereputasi, Pemakalah (Pendidikan Karakter Masa Kini), 9) Seminar
International 2015 UNY 2nd International Kenference on current isues
in education (1CCIE 2015) 10). Konferensi Nasional ASWGI (Asosiasi
Pusat Studi Wanita/ Gender Dan Anak Seluruh Indonesia) 2015.

Drs. Rohmad Widodo, M.Si lahir di


Trenggalek, 07 April 1967. Ia adalah DPK
Kopertis VII, dan mengajar di Program Studi
Civic Hukum (PPKn). Di Prodi itu pula ia selama
beberapa periode diamani menjadi Ketua Prodi.
Ia menyelesaikan pendidikan S1 di jurusan PMP-
Kn IKIP Malang (sekarang menjadi Universitas
Negeri Malang atau U) tahun 1991. Sementara
itu pendidikan S-2 ai selesaikan pada tahun
2008 di jurusan Sosiologi Program Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Malang.
Saat ini ia aktif mengajar, menulis dan melakukan penelitian (melalui
dana DIKTI dan dana internal UMM). Beberapa artikelnya telah
dipublikasikan dalam jurnal ilmiah atau dipresentasikan dalam seminar
nasional/internasional. Ia menulis secara mandiri atau berkelompok/
tim. Buku ini adalah beberapa diantara karya yang ia tulis dan secara
khusus didedikasikan untuk pengembangan pendidikan di Indonesia.
178 Pengantar Pendidikan

Anda mungkin juga menyukai