Anda di halaman 1dari 32

UNSUR KEBUDAYAAN UNIVERSAL

MASYARAKAT BATAK TOBA DI KABUPATEN HUMBANG


HASUNDUTAN
Diajukan Untuk memenuhi tugas kuliah Budaya dan Multikultur

Dosen:

DR. IR. KRISTIANUS, M.SI.

OLEH:

SAPNA MARITO YULIA BR. SIHOMBING

(NIM 22101164)

PRODI PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN AGAMA KATOLIK


SEKOLAH TINGGI AGAMA KATOLIK NEGERI PONTIANAK
2022
KATA PENGANTAR

Indonesia adalah negara yang memiliki banyak suku bangsa dengan bahasa daerah
terbanyak di dunia, 719 bahasa daerah yang dituturkan di seluruh kepulauan di Indonesia.
Indonesia memiliki 34 provinsi yang tersebar dari sabang sampai merauke. Salah satu
Provinsi yang ada di Indonesia adalah Provinsi Sumatra Utara. Sumatra Utara merupakan
provinsi yang memiliki wilayah yang luas. Provinsi Sumatra Utara memiliki beragam kesenian
dan tradisi yang telah diakui secara nasional bahkan salah satunya ada yang sudah
dipatenkan sebagai kekayaan dan warisan kebudayaan tak benda dari indonesia.

Kabupaten Humbang Hasundutan merupakan salah satu Kabupaten yang ada di


Sumatra Utara. Ibu Kota dari Kabupaten Humbang Hasundutan terletak di Dolok Sanggul.
Dolok Sanggul merupakan salah satu nama dari kecamatan dan desa. Di daerah Tapian Nauli
terdapat sebuah kesenian yang tercipta di desa tersebut. Desa tersebut tercipta dari sejarah
yang pernah terjadi di desa tersebut sehingga memunculkan 7 unsur budaya universal. Unsur
Budaya tersebut sampai saat ini masih tetap dirayakan dan dijadikan tradisi yang tetap
dilaksankan oleh masyarakat Tapian Nauli.

Dengan demikian sangat perlu untuk mengetahui keunikan yang dimiliki oleh Suku
Bata Toba di Desa Tapian Nauli. Agar dalam pelestariannya dapat diteruskan oleh generasi-
generasi selanjutnya. Panduan ini akan lebih efektif dan efisien jika disajikan dalam bentuk
Karya Ilmiah.Karya Ilmiah ini disusun secara terpadu dengan mempertimbangkan
keseimbangan antara aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Karya Ilmiah ini terdiri dari 8; Bab I KEBUDAYAAN (Letak geografis dan Bentuk
Kebudayaan), BAB II SISTEM BAHASA, BAB III SISTEM PENGETAHUAN, BAB IV SISTEM
ORGANISASI SOSIAL,BAB V SISTEM MATA PENCAHARIAN , BAB VI SISTEM PERALATAN
HIDUP DAN TEKNOLOGI, BAB VII SISTEM RELIGI Dan BAB VIII KESENIAN.

Karya Ilmiah ditulis dengan sangat sederhana, dan masih banyak hal yang perlu dikaji
dan teliti. Banyak hal menarik yang harus dipelajari. Semoga dapat bermanfaat.

Sungai Raya, 24 Oktober 2022

Penulis
DAFTAR ISI

COVER .....................................................................................................................................................................................................

KATA PENGANTAR...........................................................................................................................................................................

DAFTAR ISI ...........................................................................................................................................................................................

BAB I KEBUDAYAAN ........................................................................................................................................................................

Letak Geografis ...........................................................................................................................................................................


Asal Usul .........................................................................................................................................................................................

BAB II SISTEM BAHASA .................................................................................................................................................................

Asal usul Aksara ........................................................................................................................................................................


Aksara Batak Toba ....................................................................................................................................................................
Perkembangan Bahasa Batak Toba .................................................................................................................................

BAB III SISTEM PENGETAHUAN ................................................................................................................................................

Lak-lak Pustaha Batak Toba .................................................................................................................................................


Isi Pustaha .....................................................................................................................................................................................

BAB IV SISTEM KEKERABATAN ATAU ORGANISASI SOSIAL MASYARAKAT......................................................

Dalihan Natolu Sebagai Sistem Kekerabatan ...............................................................................................................


Perkawinan ...................................................................................................................................................................................

BAB V MATA PENCAHARIAN ......................................................................................................................................................

BAB VI SISTEM PERALATAN HIDUP DAN TEKNOLOGI ................................................................................................

BAB VII SISTEM RELIGI .................................................................................................................................................................

BAB VIII KESENIAN .........................................................................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................................................................................


BAB I

KEBUDAYAAN

LETAK GEOGRAFIS
Sebagian besar dari suku Batak mendiami daerah pegunungan Sumatera Utara, mulai dari
perbatasan dengan D.I. Aceh sampai ke perbatasan dengan Riau dan Sumatera Barat. Suku
Batak juga mendiami tanah datar antara daerah pegunungan dengan pantai Timur
SumateraUtara dan Pantai Barat di Sumatera Utara. Dengan demikian, maka sukuBatak itu
mendiami daerah Dataran Tinggi Karo, Langkah Hulu, DeliHulu, Serdang Hulu, Simalungun,
Dairi, Toba, Humbang, Silindung,Angkola, Mandailing dan Kabupaten Tapanuli Tengah.

Humbang Hasundutan adalah sebuah kabupaten di Sumatra Utara, Indonesia. Dibentuk pada
28 Juli 2003, kabupaten ini mempunyai luas sebesar 2.335,33 km² dan beribu kotakan Dolok
Sanggul. Kondisi fisik kabupaten ini berada pada ketinggian 330-2.075 meter dpl.

Menurut data tahun Sensus Penduduk 2010 penduduknya berjumlah 171.650 jiwa, dan
diakhir tahun 2020, penduduknya berjumlah 197.751 jiwa. Motto daerah kabupaten ini
adalah Bona pasogit nauli yang dalam bahasa Batak Toba berarti "Kampung halaman yang
indah". Kabupaten Humbang Hasundutan dipimpin oleh Bupati Dosmar Banjarnahor dan
Oloan Paniaran Nababan sebagai wakil bupati.

Mayoritas penduduk kabupaten Humbang Hasundutan merupakan suku Batak Toba, sama
halnya dengan kabupaten pemekaran Kabupaten Tapanuli Utara lainnya yakni Kabupaten
Samosir dan Kabupaten Toba. Marga-marga Batak Toba yang memiliki populasi signifikan di
Kabupaten Humbang Hasundutan meliputi: Sihombing, Silaban, Hutasoit, Simamora, Manalu,
Purba, Marbun, Sihite, Simanullang, Sinaga, Situmorang, Nainggolan dan lainnya. Terkhusus di
wilayah Papatar (kecamatan Pakkat, Parlilitan dan Tara Bintang) terdapat populasi suku
Batak Pakpak yang signifikan. Marga-marga Pakpak yang memiliki populasi signifikan di
Kabupaten Humbang Hasundutan meliputi: Tumanggor, Berutu, Tinambunan, Barasa, Meka,
Mungkur, Maharaja, Baringin, dan lainnya.

Selain Batak Toba dan Pakpak, ada sebagian kecil yang merupakan etnis Batak lainnya, yakni
Karo, Simalungun, dan Angkola-Mandailing. Ada pula sebagian kecil suku Jawa, Aceh,
Minangkabau dan Tionghoa-Indonesia, yang banyak terdapat di Dolok Sanggul, pusat-pusat
kecamatan.
ASAL USUL SUKU BATAK TOBA

Menurut sejarah di kalangan suku Batak terutama pada suku Batak Toba, tempat
perkampungan leluhur suku bangsa Batak yang pertama adalah pada mulanya berada di tepi
Danau Toba yang bernama Sianjur Mula-mula, di kaki gunung Pusuk Buhit Pangururan di
pulau Samosir. Dan tempat inilah keturunannya menyebar, mula-mula ke daerah sekitarnya
dan lambat laun ke seluruh penjuru Tanah Batak. Suku bangsa Batak khususnya orang Batak
Toba beranggapan bahwa mereka berasal dari satu keturunan nenek moyang (geneologis)
yang sama yaitu si RajaBatak.

Si Raja Batak adalah turunan dari Mula Jadi Na Bolon, anak dari Si Raja Batak ada tiga orang
yaitu :

Guru Tatea (Satia) Bulan, puteranya lima orang yaitu:


Saribu Raja
Limbong Mulana
Sagala Raja
Malau Raja
Raja Biak-biak
Puterinya empat orang yaitu :
Boru Paromas
Boru Pareme
Boru Bidang Laut
Nan Tijo
Raja Isombaon (Naga sumba), puteranya tiga orang yaitu :
Tuan Sori Mangaraja
Raja Asi-Asi
Sangkar Somalidang

Selama beberapa abad lamanya, pergaulan mereka dengan suku-suku bangsa Indonesia
lainnya sangat terbatas, sehingga di kemudian hari terdapat keanekaragaman dalam suku
bangsa Batak tersebut. Orang Batak tidak pernah mengatakan dirinya dengan kata suku
Batak, akan tetapi selalu mengatakan bahwa dirinya adalah bangsa Batak. Hal ini dikarenakan
orang Batak mempunyai daerah, yang disebut Tano Batak, bahasa Batak, tulisan atau huruf,
serta budaya Batak yang mempunyai ciri khas tersendiri.

Adat Batak menunjuk pada norma, aturan atau ketentuan yang dibuat oleh
penguasa/pemimpin dalam suku Batak untuk mengatur kehidupan atau kegiatan sehari-hari
orang Batak di kampungnya dan di dalam keluarga besar orang Batak. Dapat dikatakan bahwa
semua orang Batak bersaudara, karena bangsa Batak berasal dari satu nenek moyang yang
menurunkan orang Batak. Pemimpin adat Batak biasanya disebut sebagai Mangaraja Adat
yaitu yang diangkat dan diberi gelar Mangaraja yang disandangnya seumur hidup. Hal ini
dikarenakan orang tersebut mengetahui seluk-beluk aturan norma-norma, ketentuan, dan
hukum yang 17 berlaku dalam adat Batak. Pemimpin adat bukan berarti yang mempunyai
kuasa dalam adat, akan tetapi fungsinya adalah memberitahu, mengarahkan cara
melaksanakan satu adat tertentu, bentuk, jenis dan sifatnya dan pihak saja yang terlibat dalam
lingkaran adat tersebut. Oleh karena itu seorang Mangaraja harus menjadi panutan dan
menjadi guru adat di dalam, masyarakat di daerahnya.
BAB II

SISTEM BAHASA

1.ASAL USUL AKSARA

Pada awalnya nenek moyang kita Siraja Batak mengukir aksara Batak untuk dapat menulis
bahasa Batak, bukan untuk dapat menulis bahasa-bahasa yang lain. Barangkali pada waktu
aksara Batak itu disingahon Siraja Batak, mereka tidak teipikir bahwa masih ada bahasa-
bahasa yang lain selain bahasa daerah Batak. Akan tetapi setelah Siraja Batak marpinompari,
mereka menyebar ke desa na uwalu, barulah mereka tahu bahwa sebenarnya masih ada
bahasa daerah selain bahasa Batak. Hal ini terjadi setelah datangnya sibontar mata (bangsa
asing), kemudian menyusul dengan perang Batak dan perang Padri, barulah terbuka mata
para pendahulu kita bahwa sebetulnya masih banyak bahasa-bahasa yang mereka temui di
luar Tano Batak. Kemudian kita merdeka, maka semakin banyak pula pergaulan orang Batak
dalam rangka mencari upaya-upaya peningkatan taraf hidup. Mereka bisa sekolah di negeri
masing-masing bahkan bisa di luar Tano Batak dan akhirnya bisa ke Batavia.

Pengetahuan kita semakin terbuka sehingga selain bahasa Indonesia masih banyak bahasa-
bahasa daerah lain dibumi persada kita ini. Kalau kita melihat bahasa daerah Sunda, Jawa, Bali
dan lain-lain, aksara Batak itu hanya bisa menulis bahasa Indonesia selain bahasa Batak.
Aksara Batak tidak bisa menulis bahasa Sunda, Jawa, Aceh, Bali dan sebagainya maupun
bahasa-bahasa asing seperti bahasa Inggris, Perancis, Jerman. Untuk mengantisipasi
perkembangan zaman, sesuai dengan amanat GBHN, maka tokoh-tokoh masyarakat Batak
melalui seminar pada tanggal 17 Juli 1988, telah mencoba mengembangkan aksara Batak dari
19 induk huruf menjadi 29 induk huruf. Dengan demikian, maka bahasa Indonesia akan dapat
dituliskan dengan aksara Batak. Surat Batak yang di sepakati 17 Juli 1988 dikembangkan oleh
masyarakat Batak Angkola-Sipirok-Padang Lawas-Mandailing-Toba-Toba-Dairi-Simalungun
dan Batak Karo.

2. AKSARA BATAK TOBA


Aksara / huruf Batak atau disebut ‘Surat Batak’ adalah huruf-huruf yang dipakai dalam
naskah-naskah asli suku Batak (Toba, Angkola/Mandailing, Simalungun, dan Karo). Kelompok
bahasa sub suku ini mempunyai kemiripan satu sama lain dan sebenarnya adalah cabang dari
suatu bahasa Batak tua (Proto Batak). Naskah asli itu sebagian besar berupa pustaha (laklak),
sebagian kecil lainnya dituliskan pada bambu dan kertas. Hampir semua orang Batak yang
menulis buku tentang Batak selalu memasukkan satu bab atau bagian bukunya tentang Surat
Batak atau paling tidak ia membuat sebuah tabel abjad Batak. Ini menunjukkan mereka
bangga akan warisan budaya leluhurnya itu. Tetapi sayang sekali karena kurangnya
pemahaman kerap kali salah kaprah dan tidak jelas. Kekeliruan ini akan nyata kalau kita
terapkan untuk membaca suatu naskah asli Pustaha. Berani saya bertaruh, pasti akan sulit
kita baca, alias membuat kita bingung sendiri. Bahkan dalam buku-buku wajib pelajaran
aksara Batak yang dipakai di sekolah di daerah Tapanuli banyak dijumpai kekeliruan ini.
Soalnya sekarang bagaimana membenahi ini semua ? Banyak buku bermutu dari pakar asing
yang sangat baik bisa dipakai sebagai rujukan. Tetapi masalahnya adalah semuanya ditulis
dalam bahasa asing, Jerman atau Belanda. Sekarang ini sudah jarang kita yang menguasainya.
Batak Toba yang merupakan suku asli dan dominan di Kabupaten Humbang Hasundutan,
memengaruhi pada bahasa komunikasi yang digunakan dalam kehidupan
bermasyarakat. Bahasa Batak Toba adalah Bahasa utama yang digunakan oleh penduduk
Humbang Hasundutan, selain dari Bahasa Indonesia yang merupakan bahasa resmi Indonesia.
Aksara dasar (ina ni surat) dalam surat Batak merepresentasikan satu suku kata dengan
vokal inheren /a/. Terdapat aksara dasar yang dimiliki semua varian aksara Batak, sementara
beberapa aksara dasar yang hanya digunakan pada varian tertentu. Bentuknya dapat dilihat
sebagaimana berikut:

Ina ni Surat (ibu kata)

h p N w d m N n
a ka ba ga ja ra ta sa ya la i u
a a a a a a ga ya

Bat
ak
To
ba

Bentuk-bentuk di atas merupakan bentuk yang digeneralisasi, tidak jarang suatu naskah
menggunakan varian bentuk aksara atau tarikan garis yang sedikit berbeda jika dibandingkan
dengan bahasa Batak lainnya, sesuai daerah asal dan media yang digunakan.
Anak Ni Surat

Anak Ni Surat terdiri dari bunyi /a/ pada ina ni surat dapat diubah dengan menambah nilai
fenotisnya. Pengubahan ini disebut dengan diakritik. Diakritik dalam anak ni surat sebagai
berikut:

Bunyi /e/ (pepet/keras) disebut 'hatadingan', dengan menambah garis kecil di sebelah
kiri atas ina ni surat.
Bunyi /ng/ disebut 'paninggil', dengan menambah garis kecil disebalah kanan atas ina ni
surat. Bunyi /u/ disebut 'haborotan' disebelah bawah ina ni surat.
Bunyi /i/ disebut 'hauluan' bentuk lingkaran kecil setelah ina ni surat.
Bunyi /o/ disebut 'sihora' atau 'siala' berupa tanda kali setelah ina ni surat.
Tanda mati untuk menghilangkan bunyi /a/ pada ina ni surat disebut 'pangolat'.

Aksara Batak Toba Sebagai Kearifan Lokal Aksara Batak Toba merupakan hal penting di Desa
Tapian Nauli, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Aksara Batak Toba bukan
sekedar simbol identitas melainkan juga sebagai pedoman untuk tetap mempertahankan
nilai-nilai yang terkandung di dalam kearifan lokal. Aksara Batak Toba di Desa Tapian Nauli
tercipta dari pola pikir suku Toba sehingga aksara Batak Toba penggunaannya sangat
berbeda dibandingkan aksara lainnya. Aksara Batak Toba digunakan untuk menuliskan
petuah, ilmu mantera, jenis penyakit, dan obat-obatan. Aksara ditulis dalam lembaran-
lembaran kulit kayu yang tipis dan bisa dilipat-lipat. Lembaran itu disebut Pustaha Laklak
(Pustaha = bacaaan, Laklak = kulit kayu). Tulisan yang terdapat dalam aksara Batak Toba
sangat membantu kehidupan masyarakat pada waktu itu. Bahkan beberapa pesannya, seperti
ramuan obat-obatan tradisional masih digunakan hingga saat ini.

PERKEMBANGAN BAHASA BATAK TOBA

Syukurlah beberapa tahun lalu, Dr. Uli Kozok, seorang ahli bahasa kuno (filolog)
berkebangsaan Jerman, yang menyunting putri Tanah Karo, telah menulis sebuah buku
panduan ringkas Surat Batak yang sangat baik dalam bahasa Indonesia “Warisan Leluhur,
Sastra Lama dan Aksara Batak”, 1999. Kozok yang pernah menjadi pengajar di Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara (1990-1991) menulis disertasi tentang sastra Batak Ratapan
(andung-andung). Dengan buku panduan Dr.Kozok ini diharapkan putra asli Batak yang
berminat bisa memiliki bahan acuan yang baik untuk meneliti naskah-naskah tua yang
hampir punah, dan masih tersebar di berbagai tempat di luar ataupun di dalam negeri. Ia juga
telah membuat suatu font Surat Batak sehingga sekarang kita boleh melakukan pengetikan
komputer dengan aksara Batak. Naskah pustaha sekarang sudah sangat langka dan tersebar
di beberapa perpustaakan di Eropa. Diperkirakan jumlahnya hanya 2000 buah. Bagaimana
caranya mengembalikannya ke tanah air perlu dipikirkan. Naskah batak yang ditemukan
dalam bentuk bambu ataupun tulang kerbau dan kertas sangat kecil jumlahnya. Perlu dicatat,
sastra Batak kebanyakan tidak ditulis melainkan dialihkan turun temurun secara lisan. Surat
Batak hanya dipergunakan untuk ilmu kedukunan, surat menyurat (ancaman). Di daerah
Karo, Simalungun, Angkola juga dipakai untuk menulis syair/nyanyian ratapan. Jadi legenda,
mitos, cerita rakyat (turi-turian), umpama, umpasa, teka-teki (torhan-torhanan), silsilah
(tarombo) tidak akan anda jumpai dalam bentuk naskah Batak asli. Khusus mengenai silsilah
marga yang diturunkan dengan tradisi lisan, belakangan menimbulkan berbagai versi. Tidak
jarang pecah perselisihan, yang sebenarnya lebih berpangkal pada ego kelompok dan
tribalisme. Kebanyakan naskah berbentuk pustaha. Pustaha adalah semacam buku terbuat
dari kulit kayu (laklak) yang dilipat sedemikian rupa dengan sampul terbuat dari kayu alim
(lampak) yang lebih keras. Yang dituliskan pada pustaha pada pokoknya adalah soal-soal yang
menyangkut ilmu kedukunan (hadatuon). P.VoorhoeveL.Manik yang meneliti 461 pustaha di
beberapa perpustakaan di Eropa, sebagaimana dikutip oleh Kozok, membagi ilmu hadatuon :

1. Ilmu hitam (Pangulubalang, Pamunu tanduk, gadam dll)

2. Ilmu putih (Pagar, Sarang timah, Porsimboraon, dll)

3. Ilmu lain-lain (Tamba tua, Dorma, Parpangiron dll)

4. Obat-obatan

5. Nujum
BAB III

SISTEM PENGETAHUAN

Sistem pengtahuan masyarakat Batak tampak pada perubahan-perubahan musim yang


diakibatkan oleh siklus alam, misalnya musim hujan dan musim kemarau. Perubahan dua
jenis musim tersebut dipelajari masyarakat Batak sebagai pengetahuan untuk keperluan
bercocok tanam.

Selain pengetahuan tentang perubahan musim, masyarakat suku Batak juga menguasai
konsep pengetahuan yang berkaitan dengan jenis tumbuh-tumbuhan di sekitar mereka.
Pengetahuan tersebut sangat penting artinya dalam membantu memudahkan hidup mereka
sehari-hari, seperti makan, minum, tidur, pengobatan, dan sebagainya. Jenis tumbuhan bambu
misalnya dimanfaatkan suku masyarakat Batak untuk membuat tabung air, ranting-ranting
kayu menjadi kayu bakar, sejenis batang kayu dimanfaatkan untuk membuat lesung dan alu,
yang kegunaannya untuk menumbuk padi.

LAKLAK PUSTAHA BATAK TOBA

Pustaha ditulis di atas kulit kayu yang dilipat menggunakan mode concertina (semacam
akordion) dan terkadang dilengkapi dengan papan. Meskipun bahasa Batak memiliki banyak
dialek, akan tetapi bahasa tulis yang digunakan dalam pustaha tetap seragam tanpa
mengurangi ciri khas lokalnya.

Di Sumatera Utara (Sumut), setidaknya ada lima jenis aksara yang ditinggalkan nenek
moyangnya. Yaitu; Aksara Toba, Aksara Karo, Aksara Mandailing, Aksara Dairi, dan Aksara
Simalungun. Peninggalan lima aksara tersebut yang kemudian dijadikan dasar penulisan
karya tulis pustaha laklak etnis Batak.

Naskah-naskah Batak pada umumnya ditulis pada tiga jenis bahan: kulit kayu (laklak), bambu,
dan tulang kerbau. Putaha Laklak merupakan kitab peniggalan nenek moyang batak yang
bertuliskan Aksara Toba. Putaha Laklak yang ada di Sumatera Utara umumnya berisi tentang
ilmu-ilmu hitam seperti pangulubalang, tunggal panaluan, pamunu tanduk, gadam, dan lain
sebagainya.

Selain itu juga tentang ilmu putih seperti penolak balak dan pagar. Ada juga tentang ilmu
nujum seperti meramal dengan menggunakan tanda-tanda binatang dan masih banyak ilmu-
ilmu lainnya. Ini dicatat Uli Kozok di karyanya yang berjudul Surat Batak Sejarah
Perkembangan Tulisan Batak yang diterbitkan EFEO dan Kepustakaan Populer Gramedia
pada tahun 2009.

Ada juga yang tidak kalah penting ialah rahasia pengobatan tradisional menggunakan ramuan
tanaman rempah-rempah. ”Saat ini di Eropa, di belahan dunia sebelah sana, para ilmuwannya
sedang melakukan penelitian ilmiah tentang khasiat rempah dan teknik pengobatan ini,” kata
Rusmin Tumanggor, antropolog Universitas Indonesia, di acara Jalur Rempah, yang
diselenggarakan di Museum Nasional, Jakarta, beberapa waktu yang lalu.

Prosess Pembuatan Pustaha Laklak

Seperti diungkap oleh Churmatin Nasoichan dalam bukunya Media Penulisan Pustaha Laklak,
tidak semua orang memiliki kemampuan dalam penulisan pustaha laklak. Ia harus dilakukan
dengan ritual yang dipimpin oleh seorang datu dan dilakukan pada hari-hari tertentu. Oleh
sebab itu, pustaha laklak merupakan suatu kitab sakral yang pembuatannya seperti halnya
membuat objek-objek sakral lainnya semisal patung pangulubalang dan tongkat tunggal
panaluan.

Pustaha laklak terbuat dari kertas sebuah pohon yang bernama kayu alim. Kayu ini
merupakan salah satu spesies dalam genus Aquilaria yang berasal dari Asia Tenggara,
khususnya di hutan hujan tropis baik itu Indonesia, Malaysia, Thailand, Kamboja, Laos,
Vietnam, maupun di India Utara.

Di Sumatera Utara, pohon kayu alim dapat dijumpai di daerah Barus Hulu, di sekitar
Pardomuan, Kabupaten Dairi dan juga daerah Pulau Raja, Kecamatan Bandar Pulau, serta
Kabupaten Asahan. Kulit kayu tersebut dikupas dari pokoknya dalam kupasan yang
panjangnya dapat mencapai 7 meter dan lebarnya hingga 60 cm tergantung pada besarnya
pohon.

Kulit kayu alim ini diolah menjadi buku yang disebut pustaha yang bentuk dan ukurannya
berbeda-beda dan tidak memiliki sampul kayu untuk menjilidnya. Pustaha yang mewah, pada
umumnya menggunakan sampul (lampak) yang memiliki ukiran indah.

Pustaha laklak ini dituliskan berlembar-lembar dengan menggunakan tinta hitam. Penulisan
yang dibuat berlipat-lipat dan bolak-balik memiliki tujuan untuk memudahkan dalam
pembacaannya. Sebuah pustaha atau buku terdiri dari laklak dan lampak. Laklak adalah
kertasnya, yaitu lembaran-lembaran sebagai media penulisan, sedangkan lampak adalah
sampul bukunya.

Lembaran-lembaran pustaha tersebut berwarna cokelat muda kejinggaan dan terdapat serat-
serat halus yang memang menunjukkan bahannya dari kulit kayu. Umumnya kertas-kertas
tersebut lebih tebal dibanding dengan kertas-kertas produksi sekarang.

Pustaha laklak ini dapat dijumpai di Museum Negeri Provinsi Sumatera Utara yang tercatat
ada lebih dari 200 pustaha laklak yang disimpan, baik itu di ruang tata pamer maupun di
ruang koleksi. Selain itu, pustaha laklak juga disimpan di Museum Nasional Jakarta. Ratusan
pustaha laklak juga disimpan di museum-museum luar negeri seperti di Belanda dan Jerman.
(K-LH)
Sumber: Indonesia.go.id Pustaha Laklak. Foto: Dok. Perpustakaan Budaya

Pengetahuan tentang beberapa pohon, kulit kayu (lak-lak), serta batu, yang dimanfaatkan
masyarakat Batak untuk keperluan makam raja-raja. Sedangkan dari kulit kayu biasanya
masyarakat Batak memanfaatkannya untuk menulis ilmu kedukunan, surat menyurat dan
ratapan. Kulit kayu (lak-lak) tidak ditonjolkan tetapi secara tersirat ada, karena yang
menggunakan lak-lak tersebut hanya seorang Datu. Masyarakat Batak mengetahui dan
menguasai kegunaan bagian-bagain tumbuhan dan bebatuan secara efektif dan
memanfaatkan untuk acara tergambar pemakaman raja-raja. Upacara pemakaman itu hanya
untuk raja-raja, tetua adat, dan para tokoh yang mempunyai kedudukan saja. Hal itu
disebabkan pelaksanaan upacara pemakaman membutuhkan dana yang cukup besar.

ISI PUSTAHA

Alkisah, turiturian marhahomion (mitologi) Si Raja Batak atau Mitologi Batak sendiri sudah
mewariskan Pustaha Agong dan Pustaha Tumbaga Holing yang kitas sebut The Mythology of
Batak Literature, yakni dua Kitab Suci Batak pemberian dan amanat Debata Mulajadi Nabolon,
beraksara Batak yang dipercaya tidak bisa terhapus kendati terendam air dan tidak hangus
dilalap api, karena kedua pustaha itu telah ditaruh (ditulis ) Debata dalam batin dan hati
kedua putera Si Raja Batak yakni Guru Tatea Bulan dan Raja Isumbaon dan keturunannya.
(Ban: Yeremia 31:33). Kedua Pustaha itu adalah:
1) Pustaha Agong (Pustaha Agung) yang berisi Sahala Hamalimon (Wibawa
Kepercayaan/Kemaliman/Kesucian) tentang kepercayaan atas keagungan dan hahomion
(rahasia kemuliaan) Debata Mulajadi Nabolon, Sang Khalik alam semesta, kisah penciptaan,
dan hubungan dengan ciptaan, kemaliman dan penyembahan, upacara ritual, pernujuman,
parhalaan (astronomi), kesaktian, dan pengobatan yang bersifat spiritual-religius;
Diamanatkan kepada putera pertama Si Raja Batak yakni Guru Tatea Bulan: Raja Kemaliman,
Raja Marsahala Hamalimon.

2) Pustaha Tumbaga Holing, Pustaka Tembaga Berkilau yang berisi Sahala Harajaon
(Wibawa Kerajaan), yang kuat laksana tembaga berkilau, wibawa kearifan kepemimpinan,
nilai-nilai ideal, filosofis, sistem sosial (kekerabatan), adat dohot uhum (adat dan hukum),
amsal (umpama-umpasa), kesejahteraan sosial dan kemakmuran bersama, ketertiban dan
keamanan, ilmu pengetahuan, dan sebagainya untuk memelihara dan memaknai kehidupan di
Banua Tonga dan akhirat Banua Ginjang; Diamanatkan kepada putera kedua Si Raja Batak
yakni Raja Isumbaon: Raja Dimuliakan, Raja Marsahala Harajaon.

Secara empiris habatahon (kebatakan), kedua Pustaha atau Kitab Sicu Batak tersebut adalah
bersifat religius (mitologi) dan satu kesatuan utuh yang tidak terpisahkan. Demikian pula
pengamanatan kedua Pustaha Batak tersebut tidaklah bersifat mutlak (hitam putih), tetapi
merupakan pemberian amanat kearifan (habisuhon) secara simbolis yang marhahomion
(spiritual religius). Hal mana keturunan kedua putera Si Raja Batak (Guru Tatea Bulan dan
Raja Isumbaon) adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan sebagai pewaris kedua pustaha
Batak tersebut. Dalam kearifan mitologi Batak tentang pustaha tersebut bahwa Guru Tatea
Bulan sebagai penerima Pustaha Agong, yang berisi amanat utama sahala hamalimon
(wibawa kemaliman) adalah bersifat simbolis religius mewakili seluruh keturunan Si Raja
Batak. Demikian pula sebaliknya Raja Isumbaon sebagai penerima Pustaha Tumbaga Holing,
yang berisi amanat utama sahala harajaon (wibawa kerajaan) adalah bersifat simbolis religius
mewakili seluruh keturunan Si Raja Batak.

Dalam makna bahwa kedua keturunan Si Raja Batak tersebut adalah sama-sama merupakan
pewaris Sahala Hamalimon dan Sahala Harajaon. Dalam paparan sejarah lisan (oral story)
berikutnya dari masing-masing keturunan Guru Tatea Bulan dan Raja Isumbaon, terbukti
sama-sama lahir tokoh-tokoh yang memiliki Sahala Hamalimon dan Sahala Harajaon (Malim,
Guru/Datu dan Raja/Tuan). Seorang Guru/Datu tidak hanya memiliki Sahala Hamalimon,
tetapi juga memiliki Sahala Harajaon. Sebaliknya, seorang Raja/Tuan tidak hanya memiliki
Sahala Harajaon, tetapi juga Sahala Hamalimon. Karena semua orang Batak, terutama para
tokoh Batak, adalah (diamanatkan) menjadi insan-insan berkarakter anak ni raja na malim
(anak raja yang malim, anak raja religius).

Kemudian, penyebutan nama Pustaha (Pustaka) menegaskan, setidak-nya, menyiratkan,


tentang adanya naskah tertulis kedua pustaka tersebut; Yang juga berarti bahwa leluhur
Batak, saat mitologi itu dikisahkan, sudah memiliki, setidaknya diamanatkan untuk memiliki,
aksara sendiri (Surat Batak). Dan, terbukti, leluhur Batak memiliki bahasa dan Surat Batak
sendiri.

Namun, di sisi lain, dalam kisah mitologi kedua pustaka Batak (Pustaha Agong dan Pustaha
Tumbaga Holing) tersebut, juga menyebut bahwa kedua pustaka pemberian dan amanat
Debata Mulajadi Nabolon beraksara Batak tersebut, yang dipercaya tidak bisa terhapus
kendati terendam air dan tidak hangus dilalap api; Hal ini menyiratkan bahwa naskah kedua
pustaka tersebut tertulis dalam hati leluhur Batak yang diwariskan secara lisan turun-
temurun dan teraplikasi (dilakukan) dalam pengalaman hidup empiris keseharian (tradisi,
karakter dan jatidiri) orang Batak. Sehingga disebut tidak bisa terhapus kendati terendam air
dan tidak hangus dilalap api; karena memang tertulis dan hidup dalam hati manusia Batak,
tidak (hanya) di pustaha laklak, bambu atau media kertas lainnya. Inilah suatu amanat
kearifan (strategi kebudayaan) turiturian lisan Pustaha Agong dan Pustaha Tombaga Holing,
dan turiturian Batak lainnya.
BAB IV

SISTEM KEKERABATAN ATAU ORGANISASI SOSIAL MASYARAKAT

Kekerabatan pada masyarakat Batak memiliki dua jenis, yaitu kekerabatan yang berdasarkan
pada garis keturunan atau geneologis dan berdasarkan pada sosiologis.Semua suku bangsa
Batak memiliki marga, inilah yang disebut dengan kekerabatan berdasarkan
geneologis.Sementara kekerabatan berdasarkan sosiologis terbentuk melalui perkawinan.
Sistem kekerabatan muncul di tengah-tengah masyarakat karena menyankut hukum antar
satu sama lain dalam pergaulan hidup.

Untuk menentukan seorang bangsa Batak berasal garis keturunan mana, mereka
menggunakan Torombo.Dengan tarombo seorang Batak mengetahui posisinya dalam sebuah
marga.Orang Batak meyakini, bahwa kekerabatan menggunakan Torombo ini dapat diketahui
asal-usulnya yang berujung pada Si Raja Batak.

A. DALIHAN NATOLU SEBAGAI SISTEM KEKERABATAN

“Dalihan Natolu” adalah “Dalihan” artinya sebuah tungku yang dibuat dari batu, sedangkan
“Dalihan Natolu” ialah tungku tempat memasak yang diletakkan diatas dari tiga batu. Ketiga
dalihan yang dibuat berfungsi sebagai tempat tungku tempat memasak diatasnya. Dalihan
yang dibuat haruslah sama besar dan diletakkan atau ditanam ditanah serta jaraknya
seimbang satu sama lain serta tingginya sama agar dalihan yang diletakkan tidak miring dan
menyebabkan isinya dapat tumpah atau terbuang.

Dulunya, kebiasaan ini oleh masyarakat Batak khususnya Batak Toba memasak di atas tiga
tumpukan batu, dengan bahan bakar kayu. Tiga tungku jika diterjemahkan langsung dalam
bahasa Batak Toba disebut juga dalihan natolu. Namun sebutan dalihan natolu paopat
sihalsihal adalah falsafah yang dimaknakan sebagai kebersamaan yang cukup adil dalam
kehidupan masyarakat Batak.

Ketiga istilah dalam Dalihan Na Tolu tersebut melekat pada diri setiap orang Batak. Setiap
orang Batak pada suatu waktu akan berposisi sebagai salah satu diantara hula-hula, atau
berposisi sebagai boru dan atau berposisi sebagai dongan tubu. Hal itu tergantung sebagai
apa posisinya dalam adat pada waktu sebuah pesta adat dilaksanakan. Contohnya pada
sebuah acara perkawinan, saya akan berposisi sebagai hula-hula terhadap saudara
perempuan saya, namun dilain pihak saya beserta istri juga akan berposisi sebagai boru
terhadap saudara laki-laki dari pihak istri. Dan saya akan berposisi sebagai dongan tubu
ketika saya bertemu dengan saudara yang semarga dengan saya.

Meskipun terlihat simple, namun ketika dirunut dalam sebuah pesta besar maka akan sangat
sulit dan hanya raja adat dan para orang tualah biasanya yang sudah memahaminya dengan
benar. Untuk prosesi pelaksanaan acara adat, selalu disesuaikan fungsi seseorang dalam acara
adat tersebut. Terciptanya pola pikir demikian, karena relasi kekerabatan ditata dalam sistem
dalihan na tolu yang diwariskan turun temurun. Apabila melanggar tatanan adat, berarti
melanggar petuah leluhur yang berarti pula menentang kehendak masyarakat sekitarnya
yang tentu saja dapat menjadi bahan pembicaraan, atau dikucilkan dari lingkungan
masyarakatnya.

Setiap orang Batak dalam sebuah pesta/acara adat pasti akan berposisi diantara salah
satunya yaitu mungkin akan melakoni sebagai hula-hula, atau boru atau dongan tubu. Itulah
sebabnya diawal saya menyatakannya sebagai sebuah “roda yang berputar“ atau sebagai
tungku yang berkaki tiga. Dengan adat yang kompleks seperti itu, Tak salah jika orang Batak
disebut sebagai sebuah bangsa karena memiliki dan menjujung adat Dalihan Na Tolu yang
terkenal hingga keluar negeri.

Berikut ini penjabaran singkat tentang makna filsafah Dalihan Natolu dalam kehidupan Batak
Toba serta contoh penerapan bersosial dalam adat Batak Toba.

1. Somba Marhula-Hula

Hula-hula dalam adat Batak adalah keluarga laki-laki dari pihak istri atau ibu, yang lazim
disebut tunggane oleh suami dan tulang oleh anak. Dalam adat Batak yang paternalistik, yang
melakukan peminangan adalah pihak lelaki, sehingga apabila perempuan sering datang ke
rumah laki-laki yang bukan saudaranya, disebut bagot tumandangi sige.Itulah sebabnya,
Bagot tidak bisa bergerak, yang datang adalah sige. Sehingga, perempuan yang mendatangi
rumah laki-laki dianggap menyalahi adat.

Hula-hula dalam adat Batak akan lebih kelihatan dalam upacara Saurmatua (meninggal
setelah semua anak berkeluarga dan mempunyai cucu). Biasanya akan dipanggil satu-persatu,
antara lain : Bonaniari, Bonatulang, Tulangrorobot, Tulang, Tunggane, dengan sebutan hula-
hula.

2. Manat Mardongan Tubu.

Dongan tubu dalam adat Batak adalah kelompok masyarakat dalam satu rumpun marga.
Rumpun marga suku Batak mencapai ratusan marga induk. Silsilah marga-marga Batak hanya
diisi oleh satu marga. Namun dalam perkembangannya, marga bisa memecah diri menurut
peringkat yang dianggap perlu, walaupun dalam kegiatan adat menyatukan diri. Misalnya:
Toga Sihombing yakni Lumbantoruan, Silaban, Nababan dan Hutasoit.

Dongan Tubu dalam adat batak selalu dimulai dari tingkat pelaksanaan adat bagi tuan rumah
atau yang disebut Suhut. Kalau marga A mempunyai upacara adat, yang menjadi pelaksana
dalam adat adalah seluruh marga A yang kalau ditarik silsilah ke bawah, belum saling kimpoi.

Gambaran dongan tubu adalah sosok abang dan adik. Secara psikologis dalam kehidupan
sehari-hari hubungan antara abang dan adik sangat erat. Namun satu saat hubungan itu akan
renggang, bahkan dapat menimbulkan perkelahian. seperti umpama “Angka naso manat
mardongan tubu, na tajom ma adopanna’. Ungkapan itu mengingatkan, na mardongan tubu
(yang semarga) potensil pada suatu pertikaian. Pertikaian yang sering berakhir dengan adu
fisik.

Dalam adat Batak, ada istilah panombol atau parhata yang menetapkan perwakilan suhut
(tuan rumah) dalam adat yang dilaksanakan. Itulah sebabnya, untuk merencanakan suatu
adat (pesta kimpoi atau kematian) namardongan tubu selalu membicarakannya terlebih
dahulu. Hal itu berguna untuk menghindarkan kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan adat.
Umumnya, Panombol atau parhata diambil setingkat di bawah dan/atau setingkat di atas
marga yang bersangkutan.

3. Elek Marboru

Boru ialah kelompok orang dari saudara perempuan kita, dan pihak marga suaminya atau
keluarga perempuan dari marga kita. Dalam kehidupan sehari-hari sering kita dengar istilah
elek marboru yang artinya agar saling mengasihi supaya mendapat berkat(pasu-pasu). Istilah
boru dalam adat batak tidak memandang status, jabatan, kekayaan oleh sebab itu mungkin
saja seorang pejabat harus sibuk dalam suatu pesta adat batak karena posisinya saat itu
sebagai boru.

Pada hakikatnya setiap laki-laki dalam adat batak mempunyai 3 status yang berbeda pada
tempat atau adat yg diselenggarakan misalnya: waktu anak dari saudara perempuannya
menikah maka posisinya sebagai Hula-hula, dan sebaliknya jika marga dari istrinya
mengadakan pesta adat, maka posisinya sebagai boru dan sebagai dongan tubu saat teman
semarganya melakukan pesta.

B. PERKAWINAN

Bagi bangasa Batak, khusunya Batak Toba, sesama satu marga dilarang saling mengawini. Jika
melanggar ketetapan ini, maka si pelanggar akan mendapatkan sanksi adat. Hal ini ditujukan
untuk menghormati marga seseorang.Juga supaya keturunan marga tersebut dapat
berkembang.Ini menunjukan bahwa mereka sangat menjunjung tinggi nilai-nilai adat dan
marga memiliki kedudukan yang tinggi.

Bagi bangsa Batak, perkawinan mengandung nilai sakral.Oleh karenya kesakralan tersebut
harus disertai dengan sebuah adat perkawinan.Dikatakan sakral karena bermakna
pengorbanan bagi pihak pengantin perempuan.Ia “berkorban” memberikan satu nyawa
manusia yang hidup yaitu anak perempuan kepada orang lain pihak paranak, pihak
penganten pria. Pihak pria juga harus menghargainya dengan mengorbankan atau
mempersembahkan satu nyawa juga berupa penyembelihan seekor sapi atau kerbau. Hewan
tersebut akan menjadi santapan atau makanan adat dalam ulaon unjuk (adat perkawinan
Batak).
Terdapat beberapa rangkaian upacara adat perkawinan bangsa Batak. Rangkaian pertama
sebagai pembuka adalah Mangariksa dan Pabangkit Hata. Mangariksa adalah kunjungan dari
pihak mempelai laki-laki kepada pihak wanita, lalu dilanjutkan dengan proses Pabangkit Hata
atau lamara. Rangkaian kedua adalah Marhori-Hori Dinding, yaitu membicarakan lebih lanjut
mengenai rencana perkawinan serta pestanya.Ketiga adalah Patua Hata, yakni para orang tua
memberikan petuah atau nasihat sebagai bekal kepada kedua mempelainya nanti. Proses ini
merupakan proses yang amat serius.

Keempat adalah rangkaian yang dinamakan Marhata Sinamot, yakni pihak pria mendatangi
pihak wanita untuk membicarakan uang jujur atau dalam bahasa Batak adalah
tuhor.Selanjutnya adalah Pudun Sauta atau makan bersama kedua belah pihak.Makanan yang
dibawa berasal dari pihak pria. Lalu dilanjutkan dengan rangkaian keenam yakni Martumpol,
yaitu penandatanganan surat perstejuan kedua belah pihak. Kemudian rangkaian ketujuah
adalah Martonggo Raja, yaitu seremoni atau pernikahan yang akan digelar. Prosesi ini
memberitahukan kepada masyarakat mengenai pernikahan yang akan digelar.

Rangkaian kedelapan adalah Manjalo Pasu-pasu Parbagosan, yaitu pemberkatan kedua


pengantin yang dilakukan oleh pihak gereja bila agama mereka adalah Kristen
Protestan.Prosesi ini merupakan hal yang terpenting dan tak boleh dilewatkan karena orang
Batak adalah penganut Kristen yang taat.Rangkaian terakhir adalah Pesta Unjuk.Prosesi ini
merupakan rangkaian terakhir dari keseluruhan rangkaian pernikahan.Semua keluarga
berpesata dan membagikan jambar atau daging kepada pihak keluarga.

Rangkaian tersebut memang nampak ribet, rumit dan merepotkan.Tetapi itu merupakan
suatu kebudayaan yang dimiliki salah satu suku bangsa Indonesia.

C. MARGA SEBAGAI DASAR ORGANISASI SOSIAL

Dalam suatu huta itu terdapat ruma adat Batak, Tugu marga, makan nenek moyang (tambak),
Sopo yang merupakan warisan nenek moyang yang dahulunya tinggal di huta tersebut. Di
samping itu, huta yang menjadi tempat masyarakat Batak Toba beraktivitas juga menjadi
tempat untuk membentuk organisasi-organisasi adat sebagai tanda identitas kebudayaan
mereka. Organisasi ini dilandasi satu kesamaan identitas. Semua yang ada pada huta ini
mendapatkan perhatian kembali dari para perantau. Para perantau ini berasal dari berbagai
daerah.

Perhatian kepada bona pasogit yang dlakukan oleh keluarga Batak Toba teraplikasi melalui
ritual adat seperti pesta mengangkat tulang belulang para leluhur (mangokal holi), pendirian
tempat makam leluhur (tambak) melakukan renovasi rumah adat leluhur yang digunakan di
masa hidup leluhur di zamannya (ruma maupun sopo), ikut dalam organisasi marga untuk
dapat berkomunikasi sesama marga, dan berlibur kekampung halaman dimana leluhur
dulunya tinggal. Pengenalan terhadap budaya Batak Toba seperti peningalan-peninggalan
nenek moyang, tarombo yaitu pengetahuan tentang sistem kekerabatan dalam suku Batak,
menceritakan perjalanan hidup nenek moyang kepada generasi muda.

Orang Batak Toba selalu berdiskusi dalam membahas tentang sistem kekerabatan yang ada
dalam suku tersebut. Pembahasan ini diberi wadah oleh organisasi marga yang dibentuk oleh
orang Batak Toba tersebut. Organisasi marga terbentuk berdasarkan sistem kekerabatan yang
berlaku dalam suku masyarakat Batak Toba. Sistem kekerabatan di dalam masyarakat Batak
Toba merupakan hal yang sangat penting dan mampu berperan dalam menentukan perilaku
hidup orang Batak Toba. Sistem kekerabatan orang Batak adalah patrilineal yaitu menurut
garis keturunan ayah. Sistem kekerabatan patrilineal itulah yang menjadi tulang punggung
masyarakat Batak. Organisasi marga pun terbentuk berdasarkan sistem tersebut yang berlaku
dalam suku Batak.

Hal yang paling utama dalam sistem kekerabatan yang menjadi dasar terbentuknya organisasi
marga yaitu bisa berupa kelompok dongan sabutuha (satu keturunan yang sama) generasi
pertama, satu huta, maupun clan sub kecil yang berdasarkan generasi keberapa yang menjadi
pokok utama landasan berdirinya kelompok tersebut. Peneliti melakukan wawancara awal
mendapatkan bahwa satu diantara marga dalam Batak Toba telah mencapai generasi ke-22
dan dalam wawancara ini kelompok marga ada didasari dari generasi ke-10. Kelompok
terbesar berdasarkan nama generasi pertama pembawa marga dalam suku Batak Toba
tersebut.

Organisasi marga-marga merupakan wadah yang dipakai Suku Batak Toba untuk mempererat
hubungan antar sesama mereka pada era globalisasi. Beberapa organisasi marga yang
dibentuk dengan beraneka ragam fungsi dan struktur. Peneliti nantinya akan berusaha
menggali struktur, peranan dan fungsi organisasi budaya tersebut yang berkaitan dengan
suku Batak Toba dan berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat di Era Globalisasi.
BAB V

SISTEM MATA PENCAHARIAN

Orang Batak dewasa ini untuk bagian terbesar mendiami wilayah Sumatra Utara. Mulai dari
perbatasan daerah istimewa Aceh di utara sampai perbatasan dengan Riau dan Sumatra barat
di sebelah Selatan. Selain daripada itu, orang Batak juga mendiami tanah datar yang berada
diantara pegunungan dengan pantai timur Sumatra utara dan pantai barat Sumatra utara.
Dengan demikian maka orang batak ini mendiami dataran Tinggi karo,Langkat hulu, Deli hulu,
Serdang hulu, Simalungun, Dairi, Toba, Humbang, Silindung, Angkola, dan Mandailing dan
kabupaten tapanuli Tengah.

Pada umumnya daerah ini terkenal iklim musim tanah di datar di antara daerah pegunungan
dan pantai merupakan daerah subur untuk pertanian, sedangkan daerah pegunungan terdiri
dari padang rumput. Daerah pegunungan itu, masih dapat memberikan hidup kepada
penghuninya berkat penggunaan teknik irigasi dan penggunaan pupuk. Teknik pengolahanya
dengan sistim tegalan dan sawah. Daerah sawah sehabis panen padi lalu di tanam palawija
yang merupakan barang ekspor utama dari daerah itu. Ditempat yang penanaman padinya
kurang menguntungkan maka di tanam seperti bawang kacang, buah-buahan dan nilam
disamping hasil hutan lainya.

Suatu hal yang menguntungkan bagi orang batak ialah, sejak jaman kemerdekaan jaringan
jalan-jalan raya telah mencapai sampai keplosok-plosok. Dengan demikian prasarana yang
menghubungkan dan memperkenalkan orang batak dengan dunia luar telah tersedia.

Umumnya masyarakat Batak bercocok tanam padi di sawah dan di ladang. Lahan ini
didapatkan dari pembagian yang didasarkan dari marga. Setiap keluarga akan mendapatkan
tanah namun tidak bleh menjualnya. Selian tanah Ulayat ada juga tanah yang dimiliki
perseorangan.

Mereka juga beternak, diantaranya beternak kerbau, babi, sapi, ayam, kambing dan bebek.
Menangkap ikan dilakukan oleh sebagian warga yang tinggal disekitar danau Toba. Kerajinan
juga berkembang seperti tenun, ukiran kayu, anyaman rotan, tembikar dan lainnya yang
berkaitan dengan pariwisata.

a. Bercocok Tamam

Pada umumnya masyarakat batak bercocok tanam padi di sawah dan ladang. Lahan didapat
dari pembagian yang didasarkan marga. Setiap kelurga mandapat tanah tadi tetapi tidak
boleh menjualnya. Selain tanah ulayat adapun tanah yang dimiliki perseorangan
b. Beternak

Perternakan juga salah satu mata pencaharian suku batak antara lain perternakan kerbau,
sapi, babi, kambing, ayam, dan bebek.

c. Menagkap Ikan

Penangkapan ikan dilakukan sebagian penduduk disekitar danau Toba dengan perahu (sohe).
Ikan-ikan hasil tangkapan dijual ke pasar kemudian dibawa ke kota Balige.

d. Membuat Kerajinan

Sektor kerajinan juga berkembang. Misalnya tenun, anyaman rotan, ukiran kayu, temmbikar,
yang ada kaitanya dengan pariwisata.
BAB VI

SISTEM PERALATAN HIDUP DAN TEKNOLOGI

a. Alat-alat Produktif

Masyarakat Batak telah mengenal dan mempergunakan alat-alat sederhana yang


dipergunakan untuk bercocok tanam dalam kehidupannya. Seperti cangkul, bajak, tongkat
tunggal, sabit (sabi-sabi) atau ani-ani.

b. Senjata

Masyarakat Batak juga memiliki senjata tradisional yaitu, piso surit (sejenis belati), piso gajah
dompak (sebilah keris yang panjang), hujur (sejenis tombak), podang (sejenis pedang
panjang).

c. Pakaian

Unsur teknologi lainnya yaitu kain ulos yang merupakan kain tenunan yang mempunyai
banyak fungsi dalam kehidupan adat Batak. Misalnya : Ulos godang, Sibolang, Mangiring,
Sitoluntuho, Ragi Hidup, Sadum, dan Ragi Hotang.

Pada upacara adat kaum pria mengenakan tutup kepala yang disebut sabe-sabe dari Ulos
Mangiring, dibahunya disampirkan Ulos Ragi Hotang dan mengenakan kain sarung. Kaum
wanitanya mengenakan Ulos Sadum yang disampirkan di kedua bahunya dilit dengan Ulos
Ragi Hotang dan mengenakan sarung suji.

d. Tempat berlindung

Tempat berlindung Suku Batak berupa rumah adat yang disebut Jabu Parsakitan dan Jabu
Bolon. Jabu parsakitan adalah rumah adat di daerah Batak Toba, merupakan tempat
penyimpanan barang-barang pusaka dan tempat pertemuan untuk membicarakan hal-hal
yang berhubungan dengan penyelengaraan adat. Jabu Bolon adalah rumah pertemuan suatu
keluarga besar. Berbentuk panggung dan ruang atas untuk tempat tinggal. Pada ruang ini tak
ada kamar-kamar dan biasanya 8 keluarga tinggal bersama-sama.
BAB VII

SISTEM RELIGI

Pada abad 19 agama islam masuk daerah penyebaranya meliputi batak selatan. Agama kristen
masuk sekitar tahun 1863, penyebaranya meliputi batak utara oleh penyiar agama dari
jerman dan belanda. Walaupun demikian banyak sekali masyarakat batak di daerah pedesaan
yang masih mempertahankan konsep asli religi penduduk batak.

Orang batak mempunyai konsep bahwa alam semesta beserta isinya diciptakan oleh Debeta
Mula Jadi (maha pencipta) dan Na Balon (penguasa dunia mahluk halus) yang bertempat
tinggal di atas langit.

Adapun yang menjadi system kepercayaan Suku Batak Toba adalah sebagai berikut: Dalam
system kepercayaannya orang batak memiliki konsep utama kepercayaan, yaitu mengenai
Penciptaan, Jiwa, Roh, dan juga tentang kematian atau dunia akhirat.

Gambar 1.1. Ugamo Malim-Wikipedia


A. Konsep tentang Penciptaan

Konsepsi tentang penciptaan,Orang batak toba mempunyai konsepsi bahwa alam ini dan
seluruh isinya,diciptakan oleh Debata (ompung)mulajadi na bolon yang bertempat tinggal di
atas langit dan mempunyai nama-nama lain sesuai dengan tugas dan tempat
kedudukannya.Sebagai Debata Mulai jadi na Bolon, ia tinggal di langit dan merupakan maha
pencipta.Sebagai penguasa dunia tengah,ia bertempat tinggal di dunia ini dan bernama Silaon
na Bolon.Sebagai penguasa dunia makhluk halus ia bernama Pane na Bolon. Selain daripada
pencipta,Debata Mulaijadi na Bolon juga menciptakan dan mengatur kejadian gejala-gejala
alam,seperti hujan,kehamilan,sedangkan Pane na Bolon mengatur setiap penjuru-mata angin.

B. Konsep tentang Jiwa

Konsep tentang jiwa yang dikenal oleh orang batak toba adalah tondi. Tondi merupakan jiwa
atau roh orang itu sendiri dan sekaligus juga merupakan kekuatan. Tondi diterima oleh
seseorang itu pada waktu ia masih ada di dalam rahim ibunya dan demikian pula sahala atau
sumangat.Demikian tondi itu juga merupakan kekuatan yang memberi hidup kepada bayi
(calon manusia),sedangkan sahala adalah kekuatan yang akan menentukan wujud dan jalan
orang itu dalam hidup selanjutnya.Seperti halnya dengan sahala ,yang dapat berkurang atau
bertambah,tondi itu dapat pergi meninggalkan badan. Bila tondi meninggalkan badan untuk
sementara,maka orang yang bersangkutan itu sakit, bila untuk seterusnya,orang itu
mati.Keluarnya tondi dari badan disebabkan karena ada kekuatan lain(sambaon) yang
menawannya.

Jadi Sebelum agama Islam dan Kristen masuk ke Tanah Batak, suku Batak Toba percaya
bahwa roh atau tondi adalah tenaga yang menghidupkan segala sesuatu yang ada di bumi,
termasuk pohon, batu, besi, dan peralatan yang digunakan manusia dalam kehidupan sehari-
hari.

Menurut ilmuwan D. Joh. Warneck, tondi dalam animisme orang Batak Toba terdiri dari
tujuh jenis sesuai fungsinya yaitu sebagai berikut:

1. Tondi sigomgom: roh yang tidak pernah meninggalkan tubuh yang ditempatinya, kecuali
bila tubuh itu sudah tak bernyawa/meninggal.

2. Tondi sijungjung: roh pelindung.

3.Tondi sipalospalos: roh jahat yang menyebabkan penyakit.

4. Tondi sibahota: roh yang memiliki daya cipta.

5. Tondi sipalilohot: roh yang menjadikan seseorang kaya.

6. Tondi siparorot: roh pengasuh.


7. Tondi saudara: roh yang tidak menyatu dengan tubuh, tapi bergabung dengan plasenta dan
turut dikuburkan.

Jadi menurut falsafah orang Batak, setiap manusia memiliki tondi yang menentukan nasibnya:
tondi itu bisa bersikap bersahabat atau sebaliknya bermusuhan dengan tubuh yang
didiaminya. Misalnya, walaupun orang berusaha agar tubuhnya gemuk, tapi bila tondi-nya
menentukan harus kurus maka dia akan tetap kurus selamanya. Keadaan seseorang, baik
kesehatan maupun kemampuannya, dianggap sebagai karunia tondi.

C. Konsep Tentang Roh

Konsep tentang Roh yang dikenal oleh orang batak toba adalah Sahala. menurut kamus
bahasa Batak - Indonesia mengartikan sahala adalah sebagai kharisma dan wibawa. namun
ada yang mengartikan bahwa Sahala adalah merupakan Roh kekuatan yang dimiliki
seseorang. Vergouewen memaknakan Sahala sebagai daya khusus dari tondi (jiwa). Menurut
kepercayaan agama Malim, sahala adalah roh suci yang bersumber dari Debata mulajadi
Nabolon yang diturunkan melalui Balabulan kepada seseorang manusia yang terpilih. Perlu
kita ketahui bahwa semua orang memiliki tondi namun tidak semua orang memiliki sahala.
Setiap orang yang memiliki Sahala pastilah jumlah dan kualitasnya berbeda-beda. sebagai
contoh Sahala dari seorang raja lebih banyak dan lebih kuat dari sahala orang biasa. Sahala itu
dapat berkurang dan menentukan peri kehidupan seseorang. Berkurangnya sahala
menyebabkan seseorang kurang disegani.

D. Konsep Tentang Kematian

begu, adalah seperti tingkah laku manusia, hanya secara kebalikannya,yaitu misalnya apa
yang dilakukan oleh manusia pada siang hari di lakukan begu pada malam hari.Orang batak
mengenal begu yang baik dan yang jahat.Sesuai dengan kebutuhannya,begu di puja dengan
sajian(pelean). Begu juga dikenal sebagai makhluk roh dari orang yang telah meninggal

Di kalangan orang batak toba,begu yang terpenting ialah sumangot ni ompu (begu dari nenek
moyang).Kalau begu yang dulunya sebagai tondi menduduki tubuh manusia yang kaya,yang
berkuasa,dan yang mempunyai keturunan yang banyak,maka upacara untuk menghormatinya
juga bersifat besar-besaran.Upacara seperti itu di sertai dengan gondang (musik batak) dan
dengan sajian yang di sebut tibal-tibal yang di tempatkan di atas pangumbari.

Beberapa golongan begu yang ditakuti atau dihormati orang batak toba adalah:

1. Sombaon, yaitu sejenis begu yang bertempat tinggal di pengunungan atau di hutan rimba
yang padat,gelap,dan mengerikan(parsombaonan)
2. Solobean, yaitu begu yang di anggap sebagai penguasa dari tempat –tempat tertentu dari
toba.

3. Silan, yaitubegu yang serupa dengan sombaon menempati pohon besar atau batu yang
aneh bentuknya,tetapi khususnya di anggap sebagai nenek moyang pendiri kuta dan juga
nenek moyang dari marga.

4. Begu ganjang,yaitu begu yang sangat di takuti karena dapat dipelihara oleh orang agar
dipergunakan untuk membinasakan orang-orang lain yang di benci oleh si pemelihara tadi.

Dalam hubungannya dengan roh dan jiwa orang batak mengenal tiga konsep yaitu :

Tondi : jiwa atau roh yang merupakan kekuatan, tondi diterima ketika seseorang berada
dalam rahim. Jika todi keluar sementara orang akan sakit dan seterusnya mati.

Sahala : kekuatan yang menentukan hidup seseorang yang diperoleh bersamaan dengan
tondi.

Begu : Tondi orang yang sudah mati. Begu dapat bertingkahlaku seperti manusia ada yang
baik dan ada pula yang jahat, agar tidak menganggu begu sering diberi sesajen. Orang batak
juga percaya dengan kekuatan sakti dari jimat yang disebut Tongkal.
BAB VIII

SISTEM KESENIAN

Beragam kesenian tersebut, mulai dari seni tari, seni musik, seni kerajinan, seni sastra, hingga
seni rupa, hidup menyatu dalam adat istiadat dan sisi religi masyarakat Batak Toba. Semua
kesenian tradisional tersebut menjadi bagian kehidupan mereka, bahkan hingga saat ini.
Meskipun dunia sudah berkembang semakin modern, ragam kesenian tradisional itu tetap
bisa bertahan, bahkan malah menjadi bagian penting dalam dunia pariwisata.

Para turis yang berlibur ke Danau Toba dan daerah-daerah sekitarnya, memang tidak hanya
untuk menyaksikan keindahan alam yang dimiliki wilayah tersebut. Tetapi, mereka juga
tertarik untuk menikmati kebudayaan dan kesenian tradisional dalam masyarakat Batak
Toba. Untuk mengetahuinya lebih lanjut, berikut ini pembahasan mengenai lima ragam seni
yang hidup dan terus bertahan dalam tatanan budaya Batak Toba tersebut.

1. Seni Tari

Tari Tortor menjadi salah satu kesenian yang paling menonjol dalam kebudayaan masyarakat
Batak Toba. Manortor (menari, bahasa Batak Toba) merupakan lambang bentuk syukur
kepada Mulajadi Nabolon, dewa pencipta alam semesta, dan rasa hormat kepada hula-hula
dalam konsep kekeluargaan mereka. Oleh karena itu, tari ini biasanya dilakukan dalam
upacara ritual, ataupun dalam upacara adat, seperti acara pernikahan.

Gambar 1.2. Tor-tor Batak-Sapna


2. Seni Musik

Sejumlah alat musik juga menjadi bagian dalam pelaksanaan upacara ritual dan upacara adat
dalam kebudayaan orang-orang Batak Toba. Dua jenis ansambel musik, gondang sabangunan
dan gondang hasapi merupakan alat musik tradisional yang paling sering dimainkan. Menurut
mitologi etnik Batak Toba, kedua alat musik tersebut merupakan milik Mulajadi Nabolon,
sehingga harus dimainkan untuk menyampaikan permohonan kepada sang dewa.

Gambar 1.3 Gondang Batak-Music Production

3. Seni Kerajinan

Martonun, atau keterampilan dalam membuat kais ulos dengan alat tenun tradisional,
merupakan salah satu seni kerajinan dalam tradisi adat Batak Toba, yang hingga saat ini
masih bisa dijumpai di pedalaman Pulau Samosir dan daerah-daerah lainnya di sekitar Danau
Toba. Masyarakat Batak Toba melakukan berbagai seni kerajinan sesuai dengan peran dan
fungsinya dalam struktur adat dan religi yang mereka percaya.
Gambar 1.4. Martonun-Tobatabo.com

4. Seni Sastra

Ada banyak seni sastra yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Batak Toba, meliputi
sastra lisan dan sastra tulisan. Beragam cerita rakyat, seperti terjadinya Danau Toba dan Batu
Gantung, menjadi legenda yang sampai saat ini masih bisa kita dengar. Pantun-pantun yang
disebut umpasa juga ada dalam kebudayaan Batak Toba, yang menjadi kearifan lokal etnik
tersebut. Semua seni sastra itu memiliki makna filosofis dalam kehidupan mereka.

Gambar 1.5. Umpasa Batak-hahorason.blogspot.com


5. Seni Rupa

Seni pahat dan seni patung menjadi keterampilan utama dalam seni rupa tradisional yang
hidup di Batak Toba. Ukiran-ukiran yang terdapat gorga atau ornamen rumah adat mereka,
menjadi bukti keindahan dari seni pahat masyarakat Batak Toba. Sedangkan, seni patung bisa
dilihat dari banyak peralatan tradisional, seperti sior dan hujur (panah), losung gaja (lesung
besar), serta parpagaran dan sigale-gale (alat untuk memanggil kekuatan gaib).

Gambar 1.6 Losung gaja-Gobatak

Semua jenis kesenian tradisional dalam budaya Batak Toba itulah yang hingga sekarang
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan mereka. Mereka terus menjaganya
agar tetap hidup dalam tatanan adat istiadat dan kehidupan religi masyarakat tersebut. Itu
pula yang kemudian menjadi daya tarik dalam dunia pariwisata, yakni sebagai hiburan bagi
para turis asing, yang selama ini mungkin belum pernah melihatnya.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu 7 Unsur Kebudayaan Suku Batak

https://2.bp.blogspot.com Wilayah Persebaran Suku Batak

https://www.kompas.com Mengapa Suku Batak Mempunyai Banyak Marga

http://msoecahyo.blogspot.com 7 Unsur Kebudayaan Batak

https://wikipedia.org Bahasa Batak Toba

https://www.academia.edu Sejarah Aksara Batak

https://images.app.goo.gl Gambar:Mari Kita Belajar Aksara Batak Toba

https://images.app.goo.gl Gambar:Penelitian Uli Kozok mengenai Aksara Batak

https://blog.unnes.ac.id Sistem Kekerabatan Suku Batak

https://mojok.co Memahami Beragam Panggilan Dalam Masyarakat Batak

https://id.m.wikipedia.org Partuturan Batak Toba

Anda mungkin juga menyukai