GALERI
5 Votes
Selain itu, tantangan modernisasi dan globalisasi membuat formulasi Aswaja klasik mengalami
kemunduran, karena dirasa kurang mampu menjawab tuntutan dinamika zaman. Maka, menjadi suatu
keniscayaan melakukan penyegaran dan pembaruan doktrin Aswaja. Salah satunya adalah menjadikan
Aswaja sebagai manhaj al-fikr (metodologi berpikir) dalam membaca realitas secara dinamis, analitis,
produktif, dan solutif. Persoalan muncul lagi, bagaimana mengaplikasikan Aswaja sebagai manhaj al-
fikr dalam organisasi dan program-programnya. Disinilah pentingnya membumikan Aswaja
sebagai manhaj al-fikr dalam organisasi dan program-programnya supaya operasional kuatitatif sehingga
bisa meningkatkan kualitas warga NU secara maksimal.
Latar Belakang Historis Lahirnya Aswaja
Lahirnya Aswaja tidak bias dilepaskan dari munculnya pergolakan firqoh-firqoh dalam
Islam wafatnya Rasulullah Saw. Setelah Rasulullah Saw wafat peran
sebagai kepala Negara digantikan oleh para sahabat-sahabatnya, yang disebut khulafaur
Rasyidin yakni Abu Bakar, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, dan Ali bin
Abi Thalib. Namun, ketika pada masa Utsman bin Affan mulai timbul
adanya perpecahan antara umat Islam yang disebabkan oleh banyaknya fitnah yang timbul pada
masa itu. Sejarah mencatat, akibat dari banyaknya fitnah yang timbulkan pada masa itu menyebabkan
perpecahan pada umat Islam, dari masalah politik sampai pada masalah teologis.
Dalam sejarah Islam telah tercatat adanya firqah-firqah (faham/golongan) dalam lingkungan umat Islam,
dimana satu dengan lainnya bertentangan faham secara tajam dan sulit untuk didamaikan. Didalam
buku Bugyatul Mustarsyidin karangan Mufti Sheikh Sayid Abdurrahman bin Muhammad bin Husein bin
Umar, bahwa ada 72 firqah yang sesat bertumpu pada 7 firqah yaitu :
1. Faham Syi’ah, kaum yang berlebih-lebihan memuja Saidina Ali bin Abi Thalib. Mereka tidak
mengakui Khalifah Rasyidin yang lain seperti Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq, Khalifah Umar Ibnu
Khattab dan Khalifah Utsman bin Affan. Kaum Syi’ah terpecah menjadi 22 aliran, termasuk di
antaranya adalah Kaum Bahaiyah dan Kaum Ahmadiyah Qad-yan.
2. Faham Khawarij, yaitu kaum kaum yang berlebih-lebihan membenci Saidina Ali bin Abi Thalib,
bahkan di antaranya ada yang mengkafirkan Saidina Ali. Firqah ini berfatwa bahwa orang-orang
yang membuat dosa besar menjadi kafir. Kaum Khawarij terpecah menjadi 20 aliran.
3. Faham Mu’tazilah, yaitu kaum yang berfaham bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, bahwa
manusia membuat pekerjaannya sendiri, Tuhan tidak bisa dilihat dengan mata dalam surga, orang
yang mengerjakan dosa besar diletakkan di antara dua tempat, dan mi’raj Nabi Muhammad SAW
hanya dengan roh saja, dll. Kaum Mu’tazilah terpecah menjadi 20 aliran, termasuk di antaranya
adalah Kaum Qadariyah.
4. Faham Murjiah, yaitu kaum yang memfatwakan bahwa membuat maksiat (kedurhakaan) tidak
memberi mudharat jika sudah beriman, sebaliknya membuat kebaikan dan kebajikan tidak
bermanfaat jika kafir. Kaum ini terpecah menjadi 5 aliran.
5. Faham Najariyah, yaitu kaum yang memfatwakan bahwa perbuatan manusia adalah makhluk,
yaitu dijadikan Tuhan, tetapi mereka berpendapat bahwa sifat Tuhan tidak ada. Kaum Najariyah
terpecah menjadi 3 aliran.
6. Faham Jabariyah, yaitu kaum yang memfatwakan bahwa manusia “majbur”, artinya tidak berdaya
apa-apa. Kasab atau usaha tidak ada sama sekali. Kaum ini hanya 1 aliran.
7. Faham Musyabbihah, yaitu kaum yang memfatwakan bahwa ada keserupaan Tuhan dengan
manusia, misal bertangan, berkaki, duduk di kursi, naik dan turun tangga dll. Kaum ini hanya 1
aliran saja. Kaum Ibnu Taimiyah termasuk dalam golongan ini, dan Kaum Wahabi adalah termasuk
kaum pelaksana dari faham Ibnu Taimiyah.
Sebagai reaksi dari timbulnya firqah-firqah yang sesat tadi, maka pada akhir abad ketiga Hijriyah
muncullah golongan yang yang bernama Ahlussunnah wal Jama’ah yang dipelopori oleh dua orang ulama
besar dalam Ushuluddin yaitu Sheikh Abu Hasan Ali al-Asy’ari dan Sheikh Abu Mansur al-Maturidi.
Perkataan Ahlussunnah wal Jama’ah kadang-kadang dipendekkan menjadi Ahlussunnah saja atau Sunni
saja dan kadang-kadang disebut Asy’ari atau Asy’ariyah, dikaitkan kepada guru besarnya yang pertama
yaitu Abu Hasan ‘Ali al-Asy’ari.
Ahlusunnah wal jama’ah berarti kaum atau golongan yang menganut serta mengamalkan ajaran Islam
yang murni sesuai ajaran Rosulullah SAW dan para sahabatnya. I’tiqad Nabi dan sahabat-sahabat itu telah
terdapat dalam Al-Quran dan dalam Sunnah Rasul secara terpencar-pencar, belum tersusun rapi dan
teratur, tetapi kemudian dikumpulkan dan dirumuskan dengan rapi oleh seorang ulama Ushuluddin yang
besar, yaitu Sheikh Abu Hasan ‘Ali al-Asy’ari. Karena itu ada orang yang memberi nama kepada kaum
Ahlussunnah wal Jama’ah dengan kaum Asya’irah. Dalam buku-buku Ushuluddin biasa dijumpai
perkataan Sunnisebagai kependekan dari Ahlussunnah wal Jama’ah dan pengikut-pengikutnya
dinamai Sunniyun.
Di dalam buku ‘Ihtihaf Sadatul Muttaqin’ karangan Imam Muhammad bin Muhammad al-Husni Az-Zabidi,
yaitu buku Syarah dari Ihya Ulumuddin disebutkan bahwa apabila disebut kaum Ahlussunnah wal
Jama’ah, maka maksudnya adalah orang-orang yang mengikut rumusan (faham) Asy’ari dan faham Abu
Mansur al-Maturidi.
Paling tidak ada tiga faktor yang melatarbelakangi berdirinya Nahdlatul ‘Ulama yaitu : Pertama, Usaha
untuk mempertahankan faham Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah dan rasa cinta tanah air (untuk Persatuan dan
Kesatuan). Kedua, Berkembangnya Ajaran wahabiyah (haram Ziarah kubur, tidak mengakui waliyullah,
haram Tahlilan, berdoa langsung pada Allah, Haram Dhiba’/Berjanzi, Haram shodaqoh untuk orang yang
telah meninggal, dsb). Ketiga, Berdirinya Komite Hijaz.
Besarnya pengaruh kyai/ulama melalui lembaga pendidikan pesantren mengakibatkan Nahdlatul ‘Ulama
mudah berkembang dengan pesat, khususnya di daerah basis pesantren. Sebagai Jam’iyyah Diniyah yang
bermotif keagamaan dan berlandaskan keagamaan, segala sikap, perilaku, dan karakteristik perjuangan
Nahdlatul ‘Ulama selalu disesuaikan dan diukur dengan norma dan ajaran agama Islam Ahlus sunnah wal
jama’ah, serta bercita-cita keagamaan yakni Izzul Islam Wal Muslimin atau dengan kata lain
tercapainya Sa’adatud darain bagi umat dan warganya.
Sejak awal Nahdlatul ‘Ulama menegaskan bahwa ia merupakan penganut Ahlusunnah wal Jama’ah,
sebuah paham keagamaan yang bersumber pada Al Qur’an, As sunnah, Al Ijma’, dan Al Qiyas. Secara
harfiah Ahlusunnah wal Jama’ah berarti penganut sunnah Nabi Muhammad saw dan jama’ah (para
sahabat) atau segolongan pengikut sunnah Rasulullah saw yang didalam melaksanakan ajaran-ajarannya
berjalan di garis yang dipraktekkan oleh jama’ah (para sahabat). Menurut NU, faham Ahlusunnah wal
Jama’ah tidak dapat dipisahkan dari haluan bermadzhab, sebagaimana ditegaskan dalam Naskah Khittah
NU pada butir 3 sebagai berikut :
1. a. Nahdlatul ‘Ulama mendasarkan faham keagamaannya kepada sumber ajaran Islam: Al Qur’an,
As-Sunnah, Al Ijma’, dan Al Qiyas.
2. Dalam memahami, menafsirkan Islam dari sumber ajarannya, Nahdlatul ‘Ulama mengikuti faham
Ahlusunnah wal Jama’ah dan menggunakan jalan pendekatan al-Madzhab, yaitu: Pertama, dalam
bidang aqidah, Nahdlatul ‘Ulama mengikuti faham Ahlusunnah wal Jama’ah yang dipelopori oleh
Imam Abu Hasan Al Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al Maturidi.Kedua, dalam bidang hukum Islam
(fiqih), Nahdlatul ‘Ulama mengikuti jalan pendekatan (al Madzhab) salah satu dari madzhab Imam
Abu Hanifah an Nu’man, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, dan Imam
Ahmad bin Hambal. Ketiga, dalam bidang tasawuf mengikuti antara lain Imam Al Junaid Al
Baghdadi dan Imam Al Ghazali, serta imam-imam yang lain.
Aswaja sebagai Mazhab
Aswaja, selama ini sering dipandang hanya sebagai mazhab (aliran, sekte, ideologi, atau sejenisnya). Hal
ini menyebabkan aswaja dianut sebagai sebuah doktrin yang diyakini kebenarannya, secara apriori
(begitu saja). Kondisi ini menabukan kritik, apalagi mempertanyakan keabsahannya.
Jadi, tatkala menganut aswaja sebagai mazhab, seseorang hanya mengamalkan apa yang menjadi doktrin
Aswaja. Doktrin-doktrin ini sedemikian banyak dan menyatu dalam kumpulan kitab yang pernah
dikarang para ulama terdahulu. Di kalangan pesantren Nusantara, kiranya ada beberapa tulisan yang
secara eksplisit menyangkut dan membahas doktrin Aswaja.
Hadrotus-Syeikh Hasyim Asy’ari menjelaskan Aswaja dalam kitab Qanun NU dengan melakukan
pembakuan atas ajaran aswaja, bahwa dalam hal tawhid aswaja (harus) mengikuti Al-Maturidi, ulama
Afganistan atau Abu Hasan Al Asy’ari, ulama Irak. Bahwa mengenai fiqh, mengikuti salah satu di antara 4
mazhab. Dan dalam hal tasawuf mengikuti Imam al-Ghazali atau Al-Junaidi.
Selain itu, KH Ali Maksum Krapyak, Jogjakarta juga menuliskan doktrin aswaja dengan judul Hujjah Ahlus
Sunnah wal Jamaah, kitab yang cukup populer di pesantren dan madrasah NU. Kitab ini membuka
pembahasan dengan mengajukan landasan normatif Aswaja. Beberapa hadits (meski dho’if) dan atsar
sahabat disertakan. Kemudian, berbeda dengan Kyai Hasyim yang masih secara global, Mbah Maksum
menjelaskan secara lebih detail. Beliau menjelaskan persoalan talqin mayit, shalat tarawih, adzan Jumat,
shalat qabliyah Jumat, penentuan awal ramadhan dengan rukyat, dan sebagainya.
Itu hanya salah sat di antara sekian pembakuan yang telah terjadi ratusan tahun sebelumnya. Akhirnya,
kejumudan (stagnasi) melanda doktrin Aswaja. Dipastikan, tidak banyak pemahaman baru atas teks-teks
keagamaan yang muncul dari para penganut Aswaja. Yang terjadi hanyalah daur ulang atas pemahaman
ulama-ulama klasik, tanpa menambahkan metodologi baru dalam memahami agama.
1. 2. Al I’tidal
I’tidal berarti tegak lurus, tidak condong ke kanan dan tidak condong ke kiri. I’tidal juga berarti berlaku
adil, tidak berpihak kecuali pada yang benar dan yang harus dibela.
1. 3. At-Tasamuh
Tasamuih berarti sikap toleran pada pihak lain, lapang dada, mengerti dan menghargai sikap pendirian
dan kepentingan pihak lain tanpa mengorbankan pendirian dan harga diri, bersedia berbeda pendapat,
baik dalam masalah keagamaan maupun masalah kebangsaan, kemasyarakatan, dan kebudayaan.
1. 4. At-Tawazun
Tawazun berarti keseimbangan, tidak berat sebelah, tidak kelebihan sesuatu unsur atau kekurangan
unsur lain.
Berbeda dengan konsep aswaja sebagai manhaj al-fikr, yang belakangan dikembangkan juga
sebagai manhaj al-amal(pendekatan melakukan kegiatan), aswaja diposisikan sebagai metode berpikir
dan bertinadak yang berarti menjadi alat (tools)untuk mencari, menemukan, dan menyelesaikan
berbagai permasalahan sosial. Sebagai alat, maka sikap pro aktif untuk mencari penyelesaian menjadi
lebih bersemangat guna melahirkan pikiran-pikiran yang kreatif dan orisinil. Dalam hal
ini pendapat para ulama terdahulu tetap ditempatkan dalam kerangka lintas-komparatif, namun tidak
sampai harus menjadi belenggu pemikiran yang dapat mematikan atau membatasi kreativitas
Perubahan kultur dan pola pikir ini juga dapat dilihat dalam prosedur perumusan hukum dan ajaran
Ahlusunnah wal Jama’ah dalam tradisi jam’iyah Nahdlatul ‘Ulama yang menggunakan pola Maudhu’iyah
(tematik) atau terapan (Qonuniyah) yang berbentuk tashawur lintas disiplin keilmuan empiric
dan Waqi’iyah(kasuistik) dengan pendekatan tathbiq al-syari’ah dan metode takhayyur (eklektif).
Nilai-nilai ini bila dikembangkan akan menyebabkan aswaja semakin shalih likulli zamân wa makân,
aplikabel di setiap masa dan ruang. Disamping itu NU menjadi sentral gerakan dalam menjaga stabilitas
sosial keagamaan yang rahmatan lil ‘alamin. Menurut Badrun (2000), terdapat lima ciri yang perlu
diperhatikan dalam memosisikan aswaja sebagai manhaj al-fikr atau manhaj al-amal :
(1) Selalu mengupayakan untuk interpretasi ulang dalam mengkaji teks-teks fiqih untuk mencari
konteksnya yang baru;
(2) Makna bermadzhab diubah dari bermadzhab secara tekstual (madzhab qauly) menjadi bermadzhab
secara metodologis (madzhab manhajy);
(3) Melakukan verifikasi mendasar terhadap mana ajaran yang pokok (ushul) dan mana yang
cabang (furu’);
(4) Fiqih dihadirkan sebagai etika sosial, bukan sebagai hukum positif;
(5) Melakukan pemahaman metodologi pemikiran filosofis terutama dalam masalah-masalah sosial dan
budaya.
Dalam upaya “Revitalisasi NU untuk masyarakat dan bangsa yang damai dan berkeadilan bagi
semua”, perlu upaya dan strategi yang terencana dan dapat diaplikasikan secara efektif di semua
tingkatan dengan tujuan dapat tercipta sebuah organisasi dan infra struktur NU yang kuat dan mandiri.
Upaya-upaya yang dilakukan meliputi:
(1) Perspektif umat, melakukan pemberdayaan warga nahdliyyin dan kelompok masyarakat
terpinggirkan melalui advokasi kebijakan publik pada level lokal, dan melakukan aksi-aksi praktis
pendampingan kelompok-kelompok warga pada tingkat local dan akar rumput;
(2) Perspektif finansial, melakukan revitalisasi Badan atau unit-unit usaha warga atau organisasi NU,
membangun kemitraan dengan berbagai pihak, pemerintah, swasta dengan menerapkan manajemen
keuangan yang professional, transparan dan akuntabel;
(3) Perspektif organisasi, mengupayakan terciptanya tata laksana organisasi yang modern, rasional, dan
terpercaya dengan berbdasis teknologi informasi dimana mekanisme, pembinaan dan penguatan berjalan
efektif dengan orientasi yang jelas pada kepentingan warga;
(4) Perspektif sumber Daya Manusia; mengupayakan terciptanya jaringan SDM multi disiplin dan talenta
yang berkualitas, kompeten, jujur, peduli dan konsisten dengan semangat pengorbanan dan
kesetiakawanan yang tinggi bagi tercapainya tujuan bersama