Anda di halaman 1dari 11

SEKOLAH PESANTREN DAN INS KAYUTANAM

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Pendidikan


Dosen Pengampu: Dr. Dyah Kumalasari, M.Pd

Oleh:
Rizky Annisa 16718251009
Cintatia Salsabila 16718251014

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


FAKULTAS PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2017

1
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan khas yang hanya ada pada dunia manusia, dan
sepenuhnya ditetukan oleh manusia, tanpa manusia maka pendidikan tidak
akan pernah ada. Pada waktu kapanpun dan dimanapun pendidikan selalu saja
diselenggarakan (Arif Rohman: 2009: 2 ) termasuk salah yang akan dibahas
dalam makalah ini yaitu pendidikan pesantren dan INS Kayutanam yang
terletak di Sumatra Barat. Sebagaimana kita ketahui bahwa pendidikan masa
penjajahan Belanda tidak diabaikan. Dapat kita lihat pada masa Daendels
misalnya yang memerintahkan bahwa regen-regen di Jawa bagian utara dan
timur harus mendirikan sekolah atas biaya sendiri untuk mendidik anak
mematuhi adat dan kebiasaan sendiri. (S. Nasution: 2001: 10).
Usaha bangsa Belanda untuk mendirikan sekolah-sekolah guna
mencerdaskan bangsa indonesia adalah sejalan dengan keinginan politik
kolonialnya yang ingin mengeruk dan mengambil kekayaan bangsa dan bumi
indonesia untuk kepentingan negaranya. Adapun tujuan utama pemerintah
Belanda mendirikan sekolah-sekolah adalah untuk mendidik rakyat menjadi
pandai tulis, baca dan dapat dijadikan tenaga pekerja (pegawai) murah di
Indonesia (Nurhayati, Nainggolan dkk: 1982: 38).
Paradigma pendidikan pada masa kolonial bersifat diskriminatif, tentu
sesuai dengan tujuannya yaitu pendidikan adalah alat untuk menjalankan
fungsi-fungsi kekuasaan, bukan demi kemajuan rakyat jajahan atau bersifat
emansipatoris. Akhirnya pendidikan dan pengajaran dalam paradigma seperti
itu akan menghasilkan manusia-manusia robotisme yang memiliki
keterampilan teknis yang tinggi, tetapi bermental jongos karena kesetiaannya
kepada tuan kolonal dan karier yang disediakan pemerintah lebih penting
daripada memberikan baktinya untuk masyarakatnya. Bila kemudian lahir
sejumlah elit terpelajar yang membangkang terhadap rejim kolonial, dan
menjadi kelompok kritis yang peduli dengan keadaan masyarakat, maka semua
itu jelas merupakan penyimpangan dari pola umum atau berada di luar kawalan
penguasa kolonial.

2
B. Pesantren Masa Penjajahan Belanda di Indonesia
Ketika Belanda berhasil menduduki wilayah Hindia Belanda, lalu satu
demi satu Belanda berhasil memperluas jajahannya ke berbagai daerah dan
diakui bahwa Belanda datang ke Indonesia bermotif ekonomi, politik dan
agama. Tahun 1882 M pemerintah Belanda membentuk suatu badan khusus
untuk mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam. Selanjutnya pada
tahun 1932 M keluar peraturan yang dapat memberantas dan menutup
madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau memberi pelajaran yang
tidak disukai penjajah. Tekanan yang diberikan pihak penjajah justru tidak
dihiraukan terbukti dalam sejarah masyarakat muslim Indonesia pada saat itu
organisasi Islam laksana air hujan yang sulit dibendung. (Muhammad
Sabaruddin: 2015: 148)
Kesadaran bahwa pemerintahan penjajah merupakan pemerintahan kafir
yang menjajah agama dan bangsa mereka, semakin mendalam tertanam di
benak para santri (Khaeruddin: 2004: 78). Pesantren yang merupakan pusat
pendidikan Islam pada waktu itu mengambil sikap anti Belanda. Sampai uang
yang diterima seseorang sebagai gaji dari pemerintah Belanda, dinilainya
sebagai uang haram. Celana dan dasi pun dianggap haram karena dinilai
sebagai pakaian identitas Belanda. Sikap konfrontasi kaum santri dengan
pemerintah penjajah ini terlihat pula pada letak pesantren di Jawa pada waktu
itu yang pada umumnya tidak terletak di tengah kota atau desa tapi kemudian
berpindah di pinggir atau bahkan di luar keduanya.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang tertua di Indonesia.
Dalam perkembangannya pondok pesantren mengalami dinamika sesuai
dengan situasi dan kondisi bangsa Indonesia. Pada awalnya pondok pesantren
bersifat tradisional non klasikal dengan metode sorongan dan wetonan dan
materi khusus mempelajari agama. Sebagai pendidikan Islam tertua Pesantren
berfungsi sebagai salah satu benteng pertahanan ummat Islam, pusat dakwah
dan pusat pengembangan masyarakat muslim di Indonesia. (Nurul Aini: 2009:
47).

3
Pada masa penjajahan Belanda, pesantren merupakan tempat belajar yang
sangat bergengsi atau idola bagi generasi muda Muslim, anak-anak muslim
(yang bukan priyayi) merasa rendah jika mereka tidak dapat memasuki
pesantren. Selain itu keluarga akan bangga memasukkan anaknya ke pesantren
apalagi jika pesantren tersebut jauh letaknya dan dipimpin oleh seorang kyai
yang terkenal. Pada saat itu pesantren mengalami perkembangan yang sangat
pesat, karena pesantren merupakan alternatif lembaga pendidikan bagi
masyarakat dan sebagai organisasi Islam modren. Hal ini menimbulkan
kekhawatiran pemerintah Belanda, mereka takut perkembangan dan kedudukan
organisasi pesantren akan menggoyangkan kekuasaan Belanda di Nusantara.
Di pulau Jawa pendidikan yang lebih mendalam adalah pendidikan
pesantren yang pada umumnya terletak jauh dari kota besar, lembaga ini juga
lepas dari pengajian dasar. Di Sumatra Barat disebut pendidikan surau dan di
Aceh disebut pendidikan meunasah. Surau dan meunasah dipakai juga untuk
tempat sholat dan pengajian al-Quran, sehingga tempat pendidikan itu tidak
terlalu terpisah seperti di Jawa. Tugas pesantren sebenarnya tidaklah mendidik
santri agar menjadi pegawai atau petugas tertentu. Setelah tamat murid dapat
diharapkan menjadi guru pesantren atau guru pengaji Quran, imam masjid
atau penghulu, tapi sebagian besar hanya mencari ilmu untuk bekal pribadi.
Kelanjutan dari hidup pesantren terletak pada lembaga desa perdikan dan anak
kyai atau menantunya (Karel A. Steenbrink: 1984: 52-53). Pesantren memilki
asrama atau pondok untuk parasantri yang walaupun sekarang muncul
madrasah model atau boarding school madrasah khusus yang kesemuanya
mengadopsi ciri asrama dari pesantren.
Pada tahun 1882 didirikan Priesterraden (pengadilan agama) yang
bertugas mengadakan pengawasan terhadap pesantren. Kemudian pada tahun
1905 dikeluarkan Ordonansi yang berisi ketentuan-ketentuan pengawasan
terhadap perguruan yang hanya mengajarkan agama (pesantren) dan guru-guru
agama yang akan mengajar harus mendapatkan izin dari pemerintah
setempat. Tapi kenyataannya pesantren tetap eksis dan berkembang pesat pada
awal abad ke XX dengan dibukanya sistem madrasah yang didukung para

4
ulama yang baru kembali dari tanah suci, maka untuk mengekang dan
membatasi perkembangan tersebut, Belanda mengeluarkan Ordonansi Guru
Baru pada tahun 1925 sebagai ganti Ordonansi tahun 1905. Kebijaksanaan
pemerintah Belanda tersebut jelas merupakan pukulan bagi pertumbuhan
pesantren. Akan tetapi sebagaimana disebutkan sebelumnya, pesantren ternyata
mampu bertahan. Bahkan pada tahun sekitar tahun 1930-an perkembangan
pesantren justru amat pesat. Bila pada sekitar tahun 1920 M pesantren besar
hanya memiliki sekitar 200 santri, maka pada tahun 1930-an pesantren besar
memiliki lebih dari 1500 santri. Pada masa ini sitem klasikal masih diterapkan
dan mata pelajaran umum mulai diajarkan. (Adi Fadli: 2012: 37)
Selain Ordonansi Guru pemerintah Hindia Belanda juga memberlakukan
Ordonansi Sekolah Liar. Ketentuan ini mengatur bahwa penyelenggaraan
pendidikan harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari pemerintah. Laporan-
laporan mengenai kurikulum dan keadaan sekolahpun harus diberikan secara
berkala. Ketidak lengkapan laporan sering dijadikan alasan untuk menutup
kegiatan pendidikan dikalangan masyarakat tertentu. Karena kebiasaan
lembaga pendidikan Islam yang masih belum tertata, Ordonansi itu dengan
sendirinya menjadi faktor penghambat. Reaksi negatif terhadap Ordonansi
Sekolah Liar ini juga datang dari para penyelenggera pendidikan diluar gerakan
Islam.
Pendidikan tradisional pesantren yang sepenuhnya mengambil jarak
dengan pemerintah penjajah. Disamping mengambil lokasi di daerah-daerah
terpencil, pesantren juga mengembangkan kurikilum tersendiri yang hampir
seluruhnya berorientasi pada pembinaan mental keagamaan. Pesantren dalam
hal ini memposisikan diri sebagai lembaga pendidikan yang menjadi benteng
pertahanan umat atas penetrasi penjajah, khususnya dalam bidang pendidikan.
Dengan posisi defensif ini pesantren pada kenyataannya memang bebas dari
campur tangan pemerintah Hindia Belanda, meskipun dengan resiko harus
terasing dari perkembangan masyarakat modern. (Muhammad Sabaruddin
2015: 152)

5
C. Sekolah Umum INS Kayu Tanam
1. Sejarah Berdirinya INS Kayutanam
INS Kayutanam merupakan singkatan dari Indonesia Nederlandche
School Kayutanam yang sering disebut sebagai ruang pendidik INS
kayutanam. INS Kayutanam merupakan sebuah lembaga pendidikan
menengah swasta yang bercorak khusus. Sekolah ini didirikan di
Kayutanam, Padang Pariaman, Sumatera Barat pada tanggal 31 Oktober
1926 oleh seseorang yang bernama Muhammad Syafei. Moh Syafei
dilahirkan pada tahun 1893 di Ketapang Kalimantan Barat. INS
merupakan sekolah yang diciptakan dan dipimpin oleh Moh Syafei yang
mendapatkan ijazah dari Belanda mengenai bidang musik, menggambar
dan pekerjaan tangan (Leo Agung & Suparman, 2012: 44). Tujuan awal
pendidikan Ruang Pendidik INS Kayutanam adalah mendidik manusia
supaya menjadi manusia, membimbing anak didik kepada diri dan bakat
yang dimilikinya. Ruang Pendidik INS Kayutanam lebih di kenal sebagai
Sekolah Ahli Tukang.
Pada awal berdiri nama perguruan ini memakai bahasa Belanda
yakni Indonesisch Nederlandsch School dengan kependekan INS. Maksud
nama ini menggunakan bahasa Belanda dikarenakan sewaktu berdiri
negara Indonesia berada di bawah kekuasaan Belanda agar tidak
menimbulkan rasa curiga terhadap sekolah yang didirikan oleh
Mohammad Sjafei. Pada masa pendudukan Jepang, singkatan dari INS
berganti arti yakni Indonesia Nippon School. Penamaan ini bertujuan
sebagai pelindung diri atas kekejaman tentara Jepang. Pada periode
kemerdekaan Indonesia, kependekan dari INS berubah menjadi Indonesia
National School, nama ini sesuai dengan kondisi daerah Kayutanam saat
itu. Pada tahun 1972 dalam rapat Munas di Jakarta, atas usulan dari Prof.
Dr. Deliar Noer mengusulkan agar singkatan dari INS diganti menjadi
Institut Nasional Sjafei dan masyarakat Kayutanam sendiri menyebut
sekolah ini dengan sebutan INS Kayutanam.

6
Berdirinya INS ini tentu tidak lepas dari perjuangan pendirinya yaitu
Moh syafei yang juga merupakan teman seperjuangan Ki hajar yang
merasa tidak puas dengan sistem pendidikan dan pengajaran yang
diselenggrakan oleh pemerintah penjajahan Belanda yang hanya
mementingkan kecerdasan saja. Sekolah pada waktu itu sama sekali tidak
memperhatikan mengenai perkembangan rasa, kecakapan dan
ketangkasan. Keadaan ini mendorong Moh. Syafei untuk menciptakan
sistem pendidikan dan pengajaran yang menuju kepada harmoni dan
disesuaikan dengan dasar serta pembawaan anak dan kepada masyaraakt di
sekitarnya.
Sekolah dari Moh syafei merupakan reaksi dari sekolah-sekolah
pemerintah Hindia Belanda. Pada waktu itu INS (Indonesische National
School) di Kayutanam (Sumatera Barat). Sekolah ini kurang terkenal
seperti sekolah Muhammadiyah dan Taman Siswa. Dasarnya berlainan,
dimana Muhammadiyah dan Taman Siswa menambahkan pada sekolah-
sekolahnya, yang di sekolah Hindia Belanda tidak ada atau kurang
diperhatikan. Tapi kedua-dua nya rencana pelajarannya mendekati rencana
pelajaran sekolah-sekolah pemerintah. Hal ini berbeda dengan sekolah dari
Moh Syafei. Rencana pelajarannya menggunakan metode tersendiri.
Pada tahun 1926 dimualilah memimpin sekolah kepunyaan pegawai
kereta api di Kayutanam. Sekolah itu dimulainya dengan sederhana hingga
pada akhirnya meluas dan memiliki tempat untuk bertukang, berolahraga,
mempunyai kolam renang, dan toko koperasi. Segala bangunan yang ada
di tempat itu merupakan hasil kerja tangan para siswa dengan mengadakan
pertujukan dan mencari batu, bertukang hingga mendirikan sekolah itu
sendiri.
Sebagaimana Taman Siswa, INS Kayutanam pun mengupayakan
gagasan-gagasan pendidikan nasional. Upaya-upaya pengembangan
pendidikan INS Kayutanam diarahkan dalam kerangka pengembangan dan
kemajuan sistem pendidikan nasional sebagai bagian dari usaha
mewujudkan cita-citanya, untuk mencerdaskan seluruh rakyat Indonesia.

7
2. Pola Pendidikan INS Kayutanam
Dalam membuat rancangan dan metode pendidikan sekolah Moh.
Syafei mendekati rancangan dari Dewey di Amerika Serikat yang mana
menurut pandangan dari Dewey corak pendidikan seperti belajar dan
bekerja akan membentuk watak, rasa sosial dan saling menolong antar
anak didik. Anak didik diajarkan pada suatu pekerjaan yang sesuai dengan
pembawaan dan kemauannya untuk penghidupan nanti, dengan harapan
dapat membentuk pemuda-pemuda yang mampu berdiri sendiri dan tidak
menggantungkan hidupnya pada pemerintah. Ini yang diterapkan oleh
Moh Syafei di INS kayutanam, para siswa mendapatkan banyak latihan
menggunakan tangannya dan membuat barang-barang yang berguna bagi
kehidupan sehari-hari.
Pada awal didirikan, sekolah pendidikan INS kayutanam memilik
asas-asas seperti berikut:
a. Berfikir dan rasional
b. Keaktifan dan kegiatan
c. Pendidikan masyarakat
d. Memperhatikan pembawaan anak
e. Menentang intelektualisme
Kemudian setelah kemerdekaan asas tersebut dikembangkan menjadi
28 dasar pendidikan. Tujuan dari INS kayutanam sesuai dengan asas yang
dijelaskan di atas adalah sebagai berikut:
a. Mendidik rakyat ke arah kemerdekaan
b. Memberikan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan rakyat
c. Mendidik para pemuda agar berguna untuk masyarakat
d. Menanamkan kepercayaan terhadap diri sendiri dan berani
bertanggung jawab
e. Mengusahakan mandiri dalam pembiayaan (Setya Raharja,
2008:12).
Terkai tentang program pendidikan dan kurikulum pendidikan INS
kayutanam. Program-program yang dilakukan oleh Moh Syafei dalam

8
mengembangkan pendidikan INS menurut (Umar Tirtaraharja dan La
Sulo, 2005: 220) sebagai berikut:
a. Memantapkan dan menyebarluaskan gagasan-gagasan tentang
pendidikan nasional
b. Pengembangan kelembagaan, sarana prasarana pendidikan
c. Pemberantasan buta huruf
d. Penerbitan majalah anak-anak

Dalam bidang kelembagaan, INS kayutanam menyelenggarakan


berbagai jenjang pendidikan, yaitu:
a. Ruang rendah (7 tahun, setara sekolah dasar)
b. Ruang dewasa (4 tahun sesudah ruang rendah, setara dengan
sekolah menengah)
c. Program khusus untuk menjadi guru, yaitu tambahan 1 tahun
setelah ruang dewasa untuk pembekalan kemampuan mengajar dan
praktik mengajar.
Dalam proses pembelajarannya pendidikan di INS Kayutanam
menggunakan metode aktif-kreatif dimana siswa sebagai subjek, dan guru
sebagai objeknya. Selain itu beberapa mata pelajaran yang diajarkan di
INS Kayutanam ini meliputi seni menggambar, pekerjaan tangan. Bahasa
yang digunakan sebagai pengantar adalah bahasa Indonesia, khusus untuk
orang dewasa ditambah bahasa Inggris.

3. Kurikulum INS Kayutanam


Syafei merumuskan kurikulum INS kayutanam ke dalam tiga bidang
pengajaran yaitu Akademik (otak), kreatifitas (tangan) dan akhlak mulia
(hati). Bidang akademis, anak didik dibekali pengetahuan umum layaknya
sekolah biasa, meski lebih ditekankan pada penguasaan materi dan aplikasi
di lapangan. Sementara itu, bidang kreatifitas dibagi lagi menjadi beberapa
subbidang ketrampilan seperti pertukangan, keramik, kriya, seni ukir, seni
lukis, sanggar musik, teater, sastra, dan beberapa ketrampilan lainnya.

9
Sedangkan hal-hal yang menyangkut kecerdasan spiritual, diramu dan
diaplikasikan dalam bidang akhlak mulia. Ketiga bidang ini tak bisa
dipisahkan satu sama lain. Ketiganya harus saling mengisi dan saling
menopang dalam wacana menciptakan inteletual yang berakhlak mulia,
berintegritas dan beretos kerja keras.
Pada tahun 1975 Ruang Pendidik SMA INS Kayutanam memakai
kurikulum nasional yang diintegrasikan dengan kurikulum Mohammad
Sjafei dengan falsafahnya Alam Takambang Jadi Guru yang menekan
pada keseimbangan otak, hati dan tangan seperti yang telah disebutkan
diatas. Istilah pada kurikulum nasionalnya yakni keseimbangan kognitif,
afektif dan psikomotor.
Kognitif adalah pendidikan yang diberikan kepada siswa untuk
meningkatkan kemampuan akademik mereka dalam bentuk kecerdasan,
logika, daya analisis, sistematika berpikir, etika dalam pergaulan serta
berbahasa yang baik dan benar. Afektif merupakan prilaku spritual yang
menyangkut kepribadian anak, akhlak mulia, ikhlas, sabar, serta berbudi
pekerti yang luhur dan menjadi suri tauladan dalam keluarga dan
masyarakat. Psikomotor merupakan suatu aplikasi terhadap sikap yang
berkaitan dengan keterampilan.

10
Daftar Pustaka
Buku:
Khaeruddin. 2004. Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia. Makasar: CV.
Berkah Utami.

Leo Agung dan Suparman. 2012. Sejarah Pendidikan. Yogyakarta: Ombak.

Nainggolan, Nurhayati dkk. 1982. Sejarah Pendidikan Daerah Sulawesi Tengah.


Palu: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.

Nasution. 2001. Sejarah Pendidikan Indonesia. Jakarta: PT Bumi Aksara

Rohman. Arif. 2009. Memahami Pendidikan & Ilmu Pendidikan. Yogyakarta:


LaksBang Mediatama.

Steenbrink, Karel A. 1984. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad Ke-
19. Jakarta: Bulan Bintang.

Umar Tirtarahardja dan La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan, Edisi Revisi.


Jakarta: Rieneka Cipta.

Jurnal:

Aini, Nurul. 2009. Pesantren Organisasi Modern Islam di Masa Penjajahan.


Jurnal Darussalam, Vol 8 No. 1

Fadli, Adi. 2012. Pesantren: Sejarah dan Perkembangannya. EL-HIKAM: Jurnal


Pendidikan dan Kajian Keislaman, Vol 5 No.1

Sabaruddin, Muhammad. 2015. Pola dan Kebijakan Pendidikan Islam Masa Awal
dan Sebelum Kemerdekaan. Jurnal Tarbiya Volume: 1 No: 1
Setya Raharja. 2008. Penyelenggaraan Pendidikan Indonesia Nederlandche
School (INS) Kayu Tanam. Jurnal Manajemen Pendidikan, No. 1.

11

Anda mungkin juga menyukai